• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFERAT DEMAM TIFOID.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFERAT DEMAM TIFOID.docx"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

DEMAM TIFOID

Pembimbing : dr. Swa Kurniati, DTM&H

Penyusun :

Rulita Situmorang 2014-061-071 Erika Oktaviana 2014-061-072

Elen Angela 2015-061-030

Kepaniteraan Klinik DepartemenIlmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1

Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada 441.435 sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan Cina, didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid lebih tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam, Cina).2

WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6% dengan 12 provinsi yang memiliki prevalensi diatas angka nasional, yaitu: Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3

Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang pun tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur agar darah, identifikasi biokimia, aglutinasi antibodi, dsb.

(3)

Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella enterica subsp. enterica serotipe Typhi (Salmonella Typhi).1

Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi antibiotik, kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga terdapat variasi nilai cut-off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi oleh vaksinasi. American Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak merekomendasikan pemeriksaan Widal.4 Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak

merekomendasikan Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji Serologis, WHO lebih merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot sebagai ujia serologis yang lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa diagnosis definitif terbaik tetap menggunakan teknik isolasi kuman. 5

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi demam tifoid

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1

Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.6

WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka

prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.3

Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-2002.5

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta

(5)

sanitasi lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8

2.2. Etiologi demam tifoid

Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp. salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp. diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 9

Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe, beberapa diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.9

Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.

Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66o

C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.10

(6)

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11

1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

2.3.Patogenesis demam tifoid

Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11

(7)

Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11

Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan

(8)

gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11

Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi usus.11

2.4. Manifestasi klinis demam tifoid

Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.11

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam

yang meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11

Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8

kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi

karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

2.5.Diagnosis Demam Tifoid

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode

(9)

terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12

2.5.1. Pemeriksaan darah tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13

Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14

2.5.2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.12,16 Hasil biakan yang positif memastikan

demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 10,12

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur

hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi

(10)

sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.12,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi

adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.17

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17

Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.17,20 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai

dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17

2.5.3. Uji serologis 2.5.3.1. Uji Widal

Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.11,22

(11)

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.22

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.

b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.

c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier. 2.5.3.2. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini sering

dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.1,24

2.5.3.3. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,29

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30

(12)

penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.30

2.5.3.4. Uji Tubex®

Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL

Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10

menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.23,27

Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;

bagian bawah, hasil positif.27

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara

membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale

yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru).27

Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL

Biotech 2008: 11,27

(13)

2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang. 3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.

4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).

Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan

gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.27

2.5.3.5. Uji Typhidot®

Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi

oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif

apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.28

Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes;

bagian bawah, interpretasi hasil tes.28

(14)

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

2.6. Terapi Demam Tifoid

Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia, penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS ( decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar. Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam waktu 14 hari.

Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada terapi demam tifoid.

Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral

(15)

sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.

Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

(16)
(17)

Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 ( KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )

2.7. Komplikasi Demam Tifoid

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu

(18)

ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

(19)

BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.

Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. [WHO] Background document :   The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.

2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. http://www.who.int/ bulletin/volumes/86/4/06039818/ en/#content. [31 Mei 2013].

3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/ bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].

4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia.

2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid. [31

Mei 2013].

5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7. http://www.who. int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].

6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1): 246–247. http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.

[ 31 Oktober 2013 ].

7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M Anti Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-1090. http://ojs.unud.ac.id /index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].

8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 1774.

9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella Typhi, the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 31 Oktober 2013 ].

10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.

(21)

11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober 2013].

12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.

13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.

14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.

15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.

16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.

17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18. 18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of

bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.

19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract]

20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013 ].

21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.

22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No. %20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.

[31 Oktober 2013].

23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31 Oktober 2013]

(22)

24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA. www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].

25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002; 51:173-177.

26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A Comparative Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3) : 244-6. http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].

27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31 Oktober 2013 ].

28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-%204058.A.pdf.

[ 31 Oktober 2013 ].

29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.

Gambar

Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990- 1990-2002
Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae.  10
Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi . 12
Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex ® . Bagian atas, hasil negatif;
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan yaitu Penelitian Tindakan Kelas. Dengan menggunakan PTK, guru akan memperoleh manfaat praktis yaitu dapat mengetahui secara

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perbandingan struktur bangunan yang menggunakan kolom bulat terhadap kolom persegi pada bangunan empat lantai

selama 2 menit, hal ini disebabkan karena pada heat treatment 200 o C selama 2 menit lebih mendekati suhu transisi glass polimer PI (Tg = 320 o C), sehingga pemanasan asimetris

Bagian ini membahas mengenai rencana program investasi infrastruktur Bidang Cipta Karya untuk masing-masing sektor, yaitu sektor Pengembangan Kawasan Permukiman, Penataan Bangunan

Tabrani (1996:14) “metode pemberian tugas merupakan salah satu cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas agar siswa giat belajar. Metode pemberian tugas

Untuk pembangunan bangunan pengendali tersebut diperlukan suatu kegiatan Pengukuran dan Perencanaan Teknis pada aliran muara sungai Batang Muaro Samuik yang akan

sehingga peranan relatif sektor industri lebih sehingga peranan relatif sektor industri lebih tinggi dari sektor pertanian dan ditunjang oleh tinggi dari sektor pertanian dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani tidak saja ditentukan oleh kemampuan manajerial dari petani yang lebih banyak diukur dari kemampuan petani untuk