• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dituturkan. Tuturan tersebut dapat direalisasikan dalam suatu tindakan, sehingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dituturkan. Tuturan tersebut dapat direalisasikan dalam suatu tindakan, sehingga"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

Dalam berkomunikasi, manusia selalu memiliki maksud dari setiap apa yang dituturkan. Tuturan tersebut dapat direalisasikan dalam suatu tindakan, sehingga disebut sebagai tindak tutur. Dalam suatu situasi, ketika seseorang meminta tolong orang lain untuk mengambilkan buku di meja, aktifitas mengambil buku merupakan realisasi suatu tindakan dari tuturan yang dituturkan oleh penutur. Dari fenomena tersebut, dapat dikatakan suatu tuturan bukan hanya dituturkan tetapi juga direalisasikan dalam suatu tindakan disebut sebagai tindak tutur.

Seorang Filsuf Oxford, John Austin (1962) dalam bukunya How To Do Things With Words memiliki pemikiran dasar mengenai tindak tutur dapat digunakan untuk melakukan sebuah tindakan (Parker, 2014: 31). Dalam menuturkan sebuah kalimat, seseorang dapat melakukan sesuatu seperti halnya mengatakan sesuatu. Yule mendefinisikan tindak tutur sebagai suatu tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, dan permohonan (2006: 82). Dalam bertutur, penutur memiliki harapan bahwa maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat dipahami oleh lawan tuturnya. Oleh karena itu tindak tutur diartikan sebagai berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yaitu penutur dan mitra tutur dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. (Chaer, 2010: 16).

(2)

Dalam kaitannya dengan tindak tutur, Searle, (1969) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat lima tipe dasar tindakan yang dapat terjadi dalam sebuah tuturan ilokusi (tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya) (Levinson, 1983: 240), diantaranya adalah; Representatif (asertif), yaitu tuturan yang digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian, Direktif, yaitu tuturan yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan apa yang ada dalam tuturan tersebut, Komisif, yaitu tuturan yang mengikat penutur untuk melakukan seperti apa yang diujarkan, Ekspresif, yaitu tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan sesuatu, dan Deklaratif, yaitu tuturan yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru.

Adapun dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengkaji tindak tutur direktif karena terdapat variasi modus kalimat dalam menuturkannya. Secara konvensional, kalimat berdasarkan modusnya dibagi menjadi tiga tipe; deklaratif, imperatif, dan interogatif begitupun juga yang terdapat dalam tindak tutur direktif. Pertama, secara sintaksis ke-tiga modus kalimat tersebut menduduki fungsi kalimat masing-masing. Namun, jika modus kalimat tersebut bergantung pada sebuah konteks maka fungsi dari kalimat akan berbeda. Dari perbedaan fungsi tersebut, dari penelitian ini, konteks dapat menjelaskan semakin banyak variasi yang terjadi dalam suatu tuturan.

Konteks yang muncul dalam tuturan direktif bukan hanya melibatkan faktor kebahasaan namun juga faktor di luar kebahasaan (ekstralingual). Hal ini bukan hanya ditilik dari segi sintaksis dan semantisnya saja, akan tetapi juga dari

(3)

konteks sosial dan budaya yang berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini disebut sebagai kajian sosiopragmatik karena menggunakan kacamata pragmatik dan juga sosiolinguistik dalam kaitannya melihat latar belakang penutur dan mitra tutur.

Kedua, dalam komunikasi sehari-hari, entitas imperatif dipastikan selalu hadir dalam tingkat keseringan yang tinggi (Rahardi, 2004; Rahardi, 2006 dalam Rahardi, 2009). Tanpa kita sadari komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur pasti memunculkan unsur imperatif baik itu secara langsung antara penutur dan mitra tutur maupun tidak langsung seperti yang terjadi dalam sebuah media massa, textbook, atau bahkan karya sastra. Dalam konteks media massa, penutur adalah penulis dan mitra tutur adalah pembaca. Media massa lebih menarik dikaji dan masih belum banyak dilakukan oleh para ahli bahasa sebelumnya mengenai tindak tutur direktif dalam suatu media massa terlebih dalam bahasa Inggris. Oleh karenanya peneliti tertarik untuk mengkaji tindak tutur direktif dalam media massa berbahasa Inggris.

Media massa memiliki peran penting dalam masyarakat bahasa. Denis McQuali (1987) mengemukakan peran media massa salah satunya sebagai lokasi (forum) untuk menampilkan peristiwa masyarakat, wahana pengembangan kebudayaan; tatacara, mode, gaya hidup, dan norma, dan juga sumber dominan pencipta citra individu, kelompok, dan masyarakat. Kaitannya dengan citra individu atau kelompok, dalam suatu media massa terdapat rubrik yang disebut dengan Editorial. Editorial lebih sering dikenal masyarakat luas dengan Tajuk Rencana, dalam istilah lain seperti Dari Redaksi, Redaksi Menulis, Notepad, dan

(4)

Beranda. Dari Editorial pembaca dapat mengetahui perspektif, ide, gagasan, dan kecenderungan dari suatu media massa. Selain itu, hal yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti Editorial karena berisi tentang opini suatu media terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media yang bersangkutan. Dari hal tersebut, redaksi juga diharapkan dapat mengungkapkan gagasan mereka dengan sopan dan tidak melukai perasaan lawan tuturnya (pembaca). Hal ini akan memberikan poin positif dalam penyampaian opini menggunakan kesopanan berbahasa yakni untuk meningkatkan citra media tersebut. Kaitannya dengan kesopanan bahasa, penelitian ini menggunakan strategi kesopanan yang dicetuskan pertama kalinya oleh ahli bahasa asal Inggris, Brown dan Levinson(1987).

Secara Internasional, media massa berbahasa Inggris yang menjadi salah satu sorotan dunia adalah berita-berita yang dimuat dalam media massa The New York Times. Selain itu, media massa ini diakui sebagai news creator karena mampu mengemas berita secara akurat dan tidak dengan cara menyalin dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Kaitannya dengan tindak tutur direktif, salah satu rubrik yang terdapat dalam media massa The New York Times yaitu Editorial memiliki karakter unik. Karakter dari Editorial akan terlihat pada akhir artikel dalam bentuk kalimat-kalimat yang memiliki fungsi menyarankan/ memberikan sebuah saran kepada pembaca. Oleh sebab itu, peneliti memilih The New York Times sebagai objek data primer dalam penelitian ini.

(5)

Kaitannya dengan tindak tutur direktif, berikut di bawah ini terdapat contoh tuturan direktif yang terdapat dalam Editorial The New York Times:

(1) Pope Francis praised Pope Paul‟s decision in his speech in Manila. But instead of looking to his predecessors, he should listen to Catholics today. (D:41;Tpk:Agm)

„Paus Francis menghargai keputusan Paus Paulus dalam sambutannya (Paus Paulus) di Manila. Terlepas dari memperhatikan pendahulunya, dia seharusnya mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang Katolik saat ini‟

“I suggest Pope Paul to listen to Catholics today”.

Konteks : penutur (Editorial) menyarankan mitra tutur (Paus Paulus) untuk mendengarkan orang-orang Katolik saat ini dan bukan hanya memperhatikan apa yang dikatakan leluhurnya. Tuturan ini dituturkan dengan maksud agar kebijakan yang akan dibuat mengenai alat kontrasepsi diputuskan berdasarkan suara ummat Katoliknya.

(The New York Times, Editorial, 21 September 2015) (2) A review conducted by European and American experts recently concluded that scientists lack detailed knowledge of the physical and chemical conditions on the surface of Mars and know too little about the ability of terrestrial life to reproduce on other worlds. Will it require one cell from a single species or a million cells for that life-form to take root on Mars? (D:67;Tpk:30)

„Sebuah tinjauan yang dilakukan oleh para ahli Eropa dan Amerika baru-baru ini menyimpulkan bahwa para ilmuwan tidak memiliki pengetahuan rinci tentang kondisi fisik dan kimia di permukaan planet Mars dan tahu terlalu sedikit tentang kemampuan kehidupan di darat untuk bereproduksi di dunia lain. Apakah akan membutuhkan satu sel dari satu spesies atau satu juta sel untuk bentuk kehidupan di permukaan planet Mars?‟

“I ask the scientist to look for the information whether it will require one cell from a single species or a million cells for that life-form to take root on Mars.”

Konteks : penutur meminta mitra tutur (para ilmuwan) untuk meneliti lebih dalam seberapa banyakkah sel yang dibutuhkan untuk dapat hidup di planet Mars. Tuturan ini dituturkan karena (NASA) belum memiliki banyak pengetahuan mengenai kondisi fisik dan kimia yang ada di permukaan planet Mars sehingga mereka membutuhkan banyak informasi mengenai bagaiamana cara hidup di planet Mars supaya tidak membahyakan kehidupan manusia bumi saat mereka mendarat di planet Mars.

(6)

Contoh (1) merupakan contoh tindak tutur dengan menggunakan modus kalimat deklaratif dan makna yang terkandung dalam tuturan tersebut adalah makna menyarankan. Sedangkan kalimat (2) menggunakan modus kalimat interogatif dan berdasarkan konteks kalimatnya kalimat tersebut bukan lagi sekedar bertanya namun memiliki fungsi „meminta‟. Dari kedua contoh kalimat tersebut kalimat (1) dikategorikan sebagai tindak tutur langsung karena menyarankan dengan tuturan secara langsung. Sedangkan kalimat (2) dikategorikan sebagai kalimat tidak langsung karena fungsi meminta dengan menggunakan modus kalimat interogatif.

Adapun faktor yang mempengaruhi tuturan direktif dari kalimat (1) adalah norma. Norma mengacu pada aturan dalam berinteraksi dan juga mengacu pada penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Pada kalimat di atas, norma interaksi terlihat dari fungsi tindak tutur direktifnya yakni fungsi menyarankan. Pada kata yang dipertebal dan miring should listen „seharusnya mendengarkan‟ penutur menyarankan mitra tutur (Paus Paulus) untuk mendengarkan suara ummat Katolik hari ini bukan kepada leluhur sebelumnya saja. Selain dilihat dari konstruksi sintaksisnya bahwa modal should memiliki fungsi memberi saran atau nasihat, konteks kalimat juga memperlihatkan norma interaksi yang diujarkan oleh penutur kepada mitra tutur. Oleh karenanya, kalimat (1) membuktikan bahwa tindak tutur direktif berfungsi menyarankan telah dipengaruhi oleh norma.

Sedangkan dengan strategi kesopanan yang digunakan, kalimat (1) menggunakan strategi kesopanan negatif karena penutur tidak ingin keinginannya

(7)

dihalangi oleh pihak lain. Supaya tidak melanggar muka negatif mitra tutur, penutur memberikan penghargaan. Penutur memberikan penghargaan kepada Pope Francis dan Pope Paulus dengan sebutan Pope „Paus‟ karena jabatan mereka yang menjadi seorang Paus dari sebuah Gereja di Vatikan. Di dalam media massa The New York Times, penyebutan penghargaan nama digunakan karena supaya berita yang disampaikan lebih terkesan santun.

Dari gambaran analisis data di atas, sangat penting diketahui bagaimana jenis dan fungsi tindak tutur direktif dalam Editorial The New York Times beserta faktor apa saja yang mempengaruhinya dan juga strategi kesopanan apa saja yang digunakan dalam tindak tutur tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini memiliki tiga rumusan masalah, yakni:

1. Bagaimana jenis dan fungsi tindak tutur direktif dalam Editorial The New York Times?

2. Apa faktor dominan yang mempengaruhi munculnya tindak tutur direktif dalam Editorial The New York Times?

3. Bagaimana strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif dalam Editorial The New York Times?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

(8)

1. Mendeskripsikan jenis dan fungsi tindak tutur direktif dalam Editorial The New York Times.

2. Mendeskripsikan faktor dominan yang mempengaruhi munculnya tindak tutur direktif dalam Editorial The New York Times.

3. Mendeskripsikan strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif dalam Editorial The New York Times.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman bagi para penutur bahasa mengenai tuturan-tuturan berbahasa Inggris yang terdapat dalam suatu media massa khususnya tindak tutur direktif dalam perspektif Linguistik. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum tentang berbagai kesopanan berbahasa dalam suatu media massa serta dapat diketahui mengapa suatu tuturan bisa dikatakan sopan dan tuturan yang lain tidak. Sehubungan dengan praktek jurnalistik dari sebuah media massa, diharapkan dalam penggunaan tuturan direktif disesuaikan dengan konteks tutur yang terjadi sehingga berita dapat tersampaikan dengan jelas dan tidak memunculkan kalimat-kalimat ambigu atau redundansi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah informasi ilmu Linguistik pragmatik khususnya kajian sosiopragmatik. Dari keberagaman konteks yang muncul dilihat berdasarkan konteks situasi dan fungsi komunikasi,

(9)

penelitian ini diharapkan dapat memeperlihatkan variasi tindak tutur direktif yang lebih luas dari sebuah media massa berbahasa Inggris. Sejauh pengamatan penulis, kajian sosiopragmatik berkaitan dengan tindak tutur direktif dalam bahasa Inggris yang terdapat dalam media massa masih sedikit dilakukan sampai menyeluruh pada setting pragmatiknya. Oleh karenanya, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi peneliti yang tertarik melakukan dan mengembangkan penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiopragmatik.

1.5 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah dalam penelitian ini dibatasi pada jenis dan fungsi tindak tutur direktif, faktor dominan yang mempengaruhi munculnya tindak tutur direktif serta strategi kesopanan yang digunakan dalam Editorial di surat kabar The New York Times. Dalam pemilihan data, data diambil dari Editorial surat kabar The New York Times edisi september 2015.

1.6 Tinjaun Pustaka

Penelitian Linguistik yang berkaitan dengan tindak tutur direktif telah banyak dilakukan, dalam penelitian ini, tindak tutur dikelompokkan ke dalam bentuk ragam bahasa informal dan formal. Diantara penelitian terdahulu yang menggunakan ragam bahasa informal adalah penelitian dari Nadar (2006), Jalal (2006), Sumarsih (2012), dan Ad-Darraji, dkk (2012). Sedangkan penelitian yang menggunakan ragam bahasa formal yaitu dari Nadar (2009), dan Lailiyah (2013).

Penelitian pertama yang dijadikan rujukan adalah Desertasi dari Nadar (2006) tentang “Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia: Kajian

(10)

Pragmatik tentang Realisasi Strategi Kesopanan Berbahasa. Di dalamnya membahas bentuk-bentuk penolakan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia berdasarkan jenis tindak tutur yang terdapat dalam tuturan penolakan tersebut. Hasil dari penelitian ini memunculkan tindak tutur direktif yang juga digunakan sebagai unsur tuturan penolakan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia beserta konteks situasi yang terjadi.

Selanjutnya Jalal (2006) dalam Tesisnya “Tindak tutur direktif bahasa Jawa dialek Surabaya dalam cerita Ludruk Kartalo” menguraikan tentang jenis dan penggunaan bentuk-bentuk tuturan direktif bahasa Jawa dialek Surabaya. Dari penelitian ini ditemukan dua jenis tindak tutur direktif yaitu 1) tuturan direktif langsung dengan mengunakan (1) modus imperatif, (2) tuturan performatif explisit, (3) tuturan dengan minta persetujuan, pernyataan keharusan, dan ancaman. 2) tuturan direktif tidak langsung dengan menggunakan tuturan pernyataan keinginan, saran, bertanya, sindiran, deklaratif, dan nglulu. Sedangkan dalam pemakaian ragam tuturan direktif dalam bahasa Jawa dialek Surabaya terdapat perbedaan dari berbagai konteks situasi tutur dan setting pragmatiknya. Penggunaan tuturan direktif tidak langsung lebih menguatkan kualitas suruhan sebuah tuturan direktif dari pada tuturan tidak langsung. Dalam penelitian ini ragam bahasa informal yang digunakan merupakan ragam bahasa lisan yang berupa cerita Ludruk Kartalo.

Selain itu, penelitian tindak tutur oleh Ad-Darraji dkk (2012) meneliti tentang penawaran sebagai tindak tutur komisif dan direktif: sebuah kajian mengenai komunikasi lintas budaya. Penelitian ini membahas tentang variasi penawaran

(11)

dilihat dari berbagai perspektif. Penawaran sebagai tindak tutur komisif dan direktif dilihat dari sudut pandang filosofis, sosial, dan budaya. Hasil dari penilitian ini menunjukkan bahwa strategi khusus yang digunakan orang Inggris untuk menawarkan adalah dengan menggunakan kata Could, Would, Should, will, dan shall yang biasanya difungsikan sebagai kalimat interogatif. Selain itu mereka menekankan apa yang ingin dikatakan kepada lawan tutur dengan menggunakan kata perhaps, dan if clause, untuk memperhalus.

Sumarsih (2012) dengan judul Tesis “Tuturan direktif remaja dalam media: Studi Kasus pada Surat Pembaca Majalah “Hai dan Kawanku” meneliti penggunaan bahasa remaja dalam hal memerintah. Pembahasan penelitian tersebut meliputi modus tuturan yang digunakan, jenis tuturan, strategi kesantunan yang digunakan untuk mengekspresikan tuturan dan fungsi kesantunan dalam tuturan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tuturan direktif remaja dapat berupa modus 1) imperatif, 2) deklaratif, dan 3) interogatif. Sedangkan fungsi pemakaiannya ditemukan delapan jenis tuturan direktif remaja yaitu tuturan direktif 1) suruhan, 2) permohonan, 3) permintaan, 4) larangan, 5) penyaranan, 6) pengharusan, 7) pengharapan, dan 8) pembiaran. Dalam penggunaan strategi kesantunan diterapkan strategi positif dan negatif. Dan fungsi kesantunan dalam tuturan direktif remaja dapat berfungsi sebagai 1) pelunak, 2) penanda keakraban, 3) penanda penghormatan, dan 4) pengharapan.

Setelah ditemukan beberapa penelitian menggunakan ragam bahasa informal terdapat pula penelitian yang menggunakan ragam bahasa formal. Nadar dalam penelitian selanjutnya (2009) yakni terkait kesopanan berbahasa menggunakan

(12)

data berupa tuturan politisi yang terdapat dalam media cetak di Indonesia. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya tuturan-tuturan politisi yang sopan dengan mengikuti maksim-maksim tertentu dan juga tuturan politisi yang tidak sopan berdasarkan maksim yang dianggap universal diakui keberadaannya dalam penggunaan berbahasa. Bahasa politisi yang tidak sopan diutarakan karena tekanan atau faktor eksternal. Selain itu dari penyampaian politisi, penggunaan kesopanan berbahasa juga memberi pengaruh pada pemerolehan suara dalam pemilihan umum. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama menggunakan subjek media massa akan tetapi objek yang dikaji hanyalah strategi kesopanannya saja.

Selanjutnya Lailiyah (2013) meneliti “Tindak tutur direktif dalam rubrik reader‟s forum di The Jakarta Post”. Penelitian ini membahas jenis, makna tindak tutur direktif, dan strategi kesopanan yang digunakan dalam rubrik reader‟s forum di The Jakarta Post. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan jenisnya tindak tutur direktif terbagi menjadi tindak tutur langsung dengan modus kalimat imperatif, dan tindak tutur tidak langsung dengan kalimat interogatif dan literal. Adapun makna yang terkandung dalam tuturan direktif bermakna memerintah, melarang, meminta, menyarankan, mengajak, memperingatkan, mengharapkan, dan membiarkan. Sedangkan strategi kesopanan yang digunakan yaitu strategi kesopanan positif dan negatif.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas bahwa baik dengan menggunakan ragam bahasa formal atau informal, penelitian tindak tutur direktif telah banyak dilakukan. Namun masih sedikit yang ditemukan

(13)

dalam ragam bahasa formal seperti dalam media massa berbahasa Inggris. Meski terdapat penelitian yang memiliki objek yang sama dengan menggunakan media massa berbahasa Inggis seperti dalam media massa The Jakarta Post, penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena pendekatan yang dilakukan bukan hanya menggunakan pendekatan pragmatik akan tetapi juga menggunakan pendekatan sosiopragmatik. Pendekatan sosiopragmatik digunakan untuk menguraikan faktor eksternal bahasa yang mempengaruhi munculnya tindak tutur direktif dilihat dari sejarah dan budaya yang ada dalam masyarakat Amerika pada umumnya yang terdapat dalam sebuah media massa berbahasa Inggris dalam kolom Editorial The New York Times.

1.7 Landasan Teori 1.7.1 Sosiopragmatik

Istilah sosioprgamtaik (sociopragmatics) pertama-tama disampaikan Leech (1983) ketika ia menjelaskan tentang jangkauan pragmatik umum (general pragmatics) dalam bukunya yang sangat ternama, Pragmatics (Rahardi, 2009: 14). Entitas sosiopragmatik dipandang oleh pakar bahasa ini sebagai salah satu sisi dari pragmatik dimana tindak tutur yang pertama disampaikan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) beserta komponen situasi tutur dari Hymes ( 1972) secara variatif berlaku dalam komunitas-komunitas bahasa yang tidak sama. Menurut para ahli bahasa, secara umum pragmatik merupakan studi kebahasaan yang terikat konteks. Dengan perkataan lain, Leech (1983) mengatakan bahwa sosiopragmatik pada dasarnya adalah pragmatik yang terjadi dalam konteks sosial dan konteks kultural tertentu.

(14)

1.7.2 Tindak Tutur Direktif

Dengan mendasarkan gagasan pendahulunya, Austin (1962) dan John R. Searle (1969) dalam buku Speech Act : An Essay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa tindak tutur merupakan tuturan yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah tindakan. Pada praktiknya penggunaan bahasa setidaknya terdapat tiga macam tindak tutur (Wijana, 2009: 20). Ketiga macam tindak tutur atau speech act tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tindak lokusi (Locutionary Act), adalah tindak tutur untuk menyatakn sesuatu. Tindak tutur itu disebut sebagai The Act of Saying. Di dalam tindak lokusi tidak terkandung makna lain yang ada dalam tuturan atau hanya mengandung makna semantis.

2. Tindak ilokusi (Illocutionary Act), adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya. Tindak tutur ini dikenal dengan The Act of Doing Something. Jadi, terdapat semacam daya atau force di dalamnya yang diperlihatkan oleh makna dari sebuah tuturan.

3. Tindak perlokusi (Perlocutionary Act) adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur.

Selanjutnya Searl (1977) seorang Filfus Amerika yang juga mengembangkan pemikiran Austin tentang tindak tutur (dalam Levinson, 1983: 240) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam aktivitas bertutur ke dalam lima macam bentuk tuturan, yaitu:

(15)

(1) Asertif, bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang sedang diungkapkannya dalam tuturan itu. Bentuk tutur asertif diantaranya menyatakan (stating), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming),

(2) Direktif, bentuk tuturan yang dimaksudkan oleh penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan-tindakan yang dikehendakinya seperti berikut ini: memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon/meminta (requesting), menasehati (advising), menyarankan (suggesting), mengingatkan (warning), mengajak (invite) dan merekomendasi (recommending),

(3) Ekspresif, bentuk tutur yang berfungsi menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis si penutur terhadap keadaan tertentu seperti berterima kasih (give thanks), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbela sungkawa (condoling),

(4) Komisif, tuturan yang mengikat penutur untuk melakukan seperti apa yang diujarkan, seperti berjanji (promising), bersumpah (swearing), dan menawarkan sesuatu (offering) dan

(5) Deklaratif, tuturan yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru seperti berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis (baptizing), memberi nama (naming), mengangkat (appointing),dan mengucilkan (excommunicating).

(16)

Aktifitas bertutur yang dikelompokkan oleh Searl (1977) di atas dapat berupa tuturan lisan maupun tulisan. Hal ini tuturan lisan sering terjadi pada percakapa sehari-hari dan tuturan tulisan terdapat dalam sebuah wacana dan karya sastra.

1.7.3 Jenis – jenis Tindak Tutur

Dalam menuturkan suatu ujaran dapat dilakukan dengan beberapa cara. Wijana (2009) membagi jenis tutur tindak ke dalam dua jenis. Tindak tutur langsung dan Tindak tutur tidak langsung.

1.7.3.1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung

Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat perintah (imperatif), dan kalimat tanya (interogatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberikan suatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Jika kesemua modus kalimat itu dituturkan sesuai dengan fungsinya maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung (direct speech act), namun jika fungsi kalimatnya berbeda dari makna sebenarnya maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) (Wijana, 2009), seperti kalimat (6) dibawah ini:

(3) One thing the government should do immediately is to withdraw the army from areas where it had been deployed. (D:69:Tpk:30)

„Satu hal yang harus dilakukan pemerintah dengan segera adalah penarikan tentara dari daerah-daerah yang telah disebar.‟

(17)

“I ask the Nepal‟s Government to do immediately withdrawing the army from areas where it had been deployed”.

Konteks : penutur (Editorial) bukan hanya sekedar menyampaikan informasi kepada mitra tutur (Kepala Pemerintah Nepal) tentang penarikan tentara tetapi juga meminta agar fenomena pemberontakan kelompok-kelompok etnis ditindak lanjuti secara tegas karena para pemrotes disana sudah terlalu banyak dan jika para tentara tidak dilibatkan akan memakan lebih banyak korban.

(The New York Times, Editorial, 30 September 2015)

Dalam kalimat (6) modus kalimat berita (deklaratif) bukan hanya difungsikan untuk memberi informasi namun secara tidak langsung penutur meminta mitra tutur (pemerintah Nepal) untuk menurunkan para tentara ke daerah-daerah yang telah disebar terkait pemberontakan kelompok-kelompok etnis.

1.7.4 Aspek Situasi Tutur

Dalam kajian sosiopragmatik, konteks pemakaian bahasa merupakan aspek yang sangat penting dalam memahami sebuah tuturan. Sementara itu, yang dimaksud konteks dalam pragmatik adalah semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur (Wijana, 1996: 24). Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ekstralingual memegang peranan penting di dalam analisis pragmatik (Levinson, 1983). Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan mengucapkan sesuatu (Nadar, 2009: 7). Adapula konteks-konteks jenis lain yang dilibatkan dalam proses analisis yakni konteks yang sifatnya tekstual (cotext), dan konteks yang melibatkan situasi (situational context) (Rahardi: 2009: 5).

(18)

Leech (1983: 19) membagi aspek situasi tutur menjadi empat situasi yang digunakan sebagai acuan dalam membedakan apakah situasi yang terjadi dalam sebuah percakapan merupakan fenomena pragmatis atau fenomena semantis.

1. Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur juga digunakan dalam pembedaan antara penulis dan pembaca dalam suatu media massa. Hal ini perlu dibedakan antara penutur dan lawan tutur karena bisa saja lawan tutur adalah orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan namun bukan orang yang disapa. Aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang, sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban dan lain sebagainya.

2. Konteks tuturan

Konteks telah diberi berbagai arti: antara lain diartikan sebagai aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan.

3. Tujuan tuturan

Istilah tujuan lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan. 4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak tutur

(19)

Tata bahasa berurusan dengan wujud-wujud statis yang abstrak (abstract static entities), seperti kalimat (dalam sintaksis), dan proposisi (dalam semantik) sedangkan pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret dari pada tata bahasa.

1.7.5 Komponen Situasi Tutur

Selain aspek situasi tutur, sehubungan dengan komponen situasi tutur, Gumperz dan Hymes (1972) mengemukakan adanya komponen situasi tutur yang menandai terjadinya peristiwa tutur dengan singkatan SPEAKING, yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari faktor yang dimaksudkan. Berikut uraian dari masing-masing huruf:

S : Setting adalah tempat dan waktu terjadinya pertuturan, termasuk di dalamnya kondisi psikologis dan kultural yang menyangkut pertuturan trsebut; P : Participant menyangkut peserta tutur;

E : Ends menunjuk pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu situasi tutur; A : Acts of Sequence menunjuk pada saluran tutur yang dapat merupakan lisan maupn tertulis;

K : Key menunjukkan cara ataupun jiwa dari peraturan yang dilangsungkan. I : Instrumentalities menunjukkan penggunaan kaidah berbahasa dalam peraturan;

(20)

G : Genre adalah kategori tuturan yang dapat merupakan puisi, surat, artikel, dan lain sebagainya.

1.7.6 Strategi Kesopanan

Dalam percakapan penutur dan lawan tutur pastilah akan menghindari tindakan melukai perasaan lawan tutur dengan cara menggunakan strategi tertentu untuk mengurangi perasaan yang kurang senang dari lawan tuturnya. Misalnya, penolakan mungkin saja dapat dilakukan dengan tuturan yang pendek, tetapi untuk menjaga kesopanan penolakan sering diungkapkan dengan permintaan maaf, ketidakmampuan melakukan sesuatu, saran, dan lain-lain yang dapat meminimalisir kekecewaan orang yang ditolak.

Dalam strategi kesopanan, Yule (1996) memperkenalkan konsep face „muka‟. Adapun yang dimaksud dengan „muka‟ adalah citra diri (self image) yang harus diperhatikan oleh lawan tutur (Wijana, 2009: 59). Muka yang ditawarkan berbeda-beda tergantung pada situasi pembicaraan. Pada suatu saat „muka‟ itu sebagai teman dekat, pada saat lain sebagai orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Di suatu sisi „muka‟ menawarkan kegembiraan di sis lain „muka‟ menawarkan kesedihan, kemarahan, kebencian, dll. Oleh karenanya, peserta pertuturan harus menafsirkan dan memahami kata-kata yang diutarakan oleh lawan tuturnya sesuai dengan „muka‟ yang ditawarkan.

Konsep tentang muka penting dalam kajian penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Brown dan Levinson (1987) membagi tipe muka menjadi dua yaitu muka negatif dan positif. Muka negatif adalah keinginan individu agar setiap

(21)

keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain (dalam Nadar, 2009: 32).

Agar ujaran terdengar santun, Brown dan Levinson (1987) menawarkan beberapa strategi yang digunakan untuk meminimalkan ancaman muka positif dan muka negatif (Nadar, 2009: 43). Strategi-strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif antara lain:

1. Startegi 1: memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, barang-barang lawan tutur.

2. Strategi 2: melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap lawan tutur.

3. Strategi 3: meningkatkan rasa tertarik terhadap lawan tutur.

4. Strategi 4: menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok.

5. Strategi 5: mencari dan mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur. 6. Strategi 6: menghindari pertentangan dengan lawan tutur.

7. Strategi7: mempresuposisikan atau menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur.

8. Strategi 8: membuat lelucon.

9. Strategi 9: mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tuturnya.

10. Strategi 10: membuat penawaran dan janji. 11. Strategi 11: menunjukkan rasa optimisme.

(22)

12. Strategi 12: berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertentu.

13. Strategi 13: memberikan dan meminta alasan.

14. Strategi 14: Menawarkan suatu tindakan timbal balik, yaitu lawan tutur melakukan X mka penutur akan melakukan Y.

15. Strategi 15: memberikan rasa simpati kepada lawan tutur.

Tingkat kesopanan bukan hanya diukur dari muka positifnya namun juga muka negatif, Brown dan Levinson (1987) juga menawarkan strategi untuk mengurangi pelanggaran terhadap muka negatif lawan tutur, diantaranya adalah:

1. Strategi 1 : mengungkapkan secara tidak langsung.

2. Strategi 2 : menggunakan bentuk pertanyaan dengan partikel tertentu. 3. Strategi 3 : melakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimistik.

4. Strategi 4 : mengurangi kekuatan atau daya ancaman terhadap muka lawan tutur.

5. Strategi 5 : memberikan penghormatan. 6. Strategi 6 : menggunakan permohonan maaf.

7. Strategi 7 : tidak menyebutkan penutur dan lawan tutur.

8. Strategi 8 : menyatakan tindakan mengancam wajah sebagai suatu ketentuan sosial umum yang berlaku.

9. Strategi 9 : menominalkan pernyataan.

10. Strategi 10 : menyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang) atau tidak kepada lawan tutur.

(23)

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan Data yang digunakan berupa tuturan-tuturan bahasa Inggris yang terdapat dalam Editorial media massa The New York Times. Adapun objek penelitiannya adalah tuturan-tuturan yang mengandung tindak tutur direktif yang terdapat dalam media massa tersebut.

1.8.1 Metode pengumpulan data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak atau observasi. Metode simak adalah metode pengumpulan data oleh seorang peneliti dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Nadar, 2009: 108). Metode simak dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap atau disebut dengan SBLC karena peneliti tidak terlibat langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati (Sudaryanto : 1988 dalam Mastoyo, 2007: 44). Dalam hal ini, data diakses melalui website resmi media online yang terdapat dalam http://www.nytimes.com.

Dalam pemilihan data, data yang diambil berupa kalimat-kalimat yang memuat tindak tutur yang terdapat dalam Editorial pada media massa The New York Times edisi september 2015. Peneliti mengambil edisi tersebut karena terdapat banyak persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat baik secara nasional maupun internasional. Seperti halnya permaslahan yang berhubungan dengan pemimpin Negara Amerika Serikat beserta keadaan masyarakatnya. Selain itu persoalan-persoalan tersebut meliputi berbagai aspek mulai dari sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, pemerintah,

(24)

dan kesehatan. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya yaitu mencatat data kedalam tabel.

1.8.2 Metode analisis data

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode kontekstual (Rahardi, 2009: 4). Di dalam metode kontekstual, konteks dijadikan sebagai pijakan dalam menganalisis suatu tuturan dengan memperhitungkan konteks situasi beserta komponen situasi tutur. Dalam penelitian ini terdapat beberapa tahapan dalam menganalisis data:

1. Usai pengumpulan data, data diklasifikasikan ke dalam tabel. Tabel berisi tanggal edisi Editorial, judul Editorial , tuturan direktif, konteks, modus kalimat, dan fungsi tuturan.

2. Setelah melakukan tabelisasi, data dikelompokkan jenis dan fungsi tuturan direktifnya ke dalam dua kelompok, tuturan direktif langsung dan tidak langsung.

3. Setelah mengetahui jenis dan fungsinya, kemudian mencari faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya tuturan direktif dengan menggunakan komponen tutur dari Dell Hymes (1972) atau teori SPEAKING. Dalam melihat faktor-faktor eksternal seperti bagaimana budaya politik dan hukum di Amerika, peneliti mencari informasi selain dari beberapa artikel juga kepada sarjana hukum yang faham tentang kondisi hukum internasional.

4. Tahap selanjutnya yaitu menentukan strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif.

(25)

5. Setelah menganalisis semua data, langkah terakhir adalah mengklarifikasi data dengan dua native speaker berasal dari Amerika untuk memahami konteks bahasa yang terdapat dalam Editorial The New York Times. 1.8.3 Metode penyajian analisis data

Dalam penyajian analisis data, metode yang digunakan adalah metode informal yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam penyajian ini, rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami (Mastoyo, 2007: 71).

1.9 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disajikan dalam lima bab :

Bab I pendahuluan. Bab ini akan menguraikan sembilan poin diantaranya latar belakang peneliti memilih topik tindak tutur direktif beserta alasan-alasan kenapa topik tersebut menarik, penting, dan layak untuk diteliti. Selanjutnya yakni rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan jenis-jenis dan fungsi tindak tutur direktif beserta contoh-contoh tuturan direktif dengan menggunakan teori tindak tutur (Austin: 1962).

Bab III mendeskripsikan faktor dominan yang mempengaruhi munculnya tindak tutur direktif dengan menggunakan teori aspek situasi dan komponen situasi tutur yang lebih sering dikenal dengan teori SPEAKING (Dell Hymes dan John Gumperz: 1972).

(26)

Bab IV mendeskripsikan strategi kesopanan yang digunakan dalam tindak tutur direktif dengan menggunakan strategi kesopanan Brown dan Levinson (1987).

Bab V berisi kesimpulan dari hasil analisis penelitian dan saran yang ditujukan untuk para peneliti selanjutnya yang memiliki interest sama terhadap topik tindak tutur direktif dengan aspek yang lebih luas dan padat.

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Saya menjadi pribadi yang semakin lengkap dengan mendapatkan program ini, dimana saya menjadi semakin dapat menggali potensi diri saya, semakin lebih tajam dalam memahami apa

Indeks harga konsumsi rumah tangga (inflasi pedesaan) Bulan Juni 2011 naik sebesar 0,24 persen dari 132,53 pada bulan Mei 2011 menjadi 132,84 bulan Juni 2011, Kenaikan indeks

Hasil dari penelitian ini adalah Sistem Informasi Kegiatan Sekolah telah memenuhi standar ISO 25010 pada karakteristik functional suitability dengan nilai 100% (sangat

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mulai membagikan kartu sakti berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu

Keuntungan atas biaya tunai usaha yang dijalankan oleh peternak nonmitra lebih tinggi dibandingkan peternak mitra, namun sebaliknya keuntungan atas biaya total usaha

Dalam konteks penelitian ini, maka yang dimaksud dengan sikap pengemudi angkutan taksi (taksi blue bird) adalah ungkapan perasaan seorang pengemudi terhadap

Sedangkan saluran pemasaran yang paling efisien untuk ikan sagela asap asal Desa Pasalae dan Pentadu Barat adalah saluran yang langsung dari produsen ke konsumen sedangkan di