• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengusahaan Hutan dan Deforestasi

Bapedal (1995) dalam Defriyoza (2000), menyebutkan laju konversi hutan di Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan bahwa 900 ribu hektar sampai 1,3 juta hektar hutan dibuka se tiap tahun di Indonesia untuk berbagai macam keperluan. Diperkirakan juga hanya 61 persen habitat alami yang tersisa. Di pulau Jawa dan Bali, lenyapnya habitat mungkin mencapai 91 persen, sementara di Papua hanya 7%. Di Jawa laju penebangan adalah 1,7% nomor dua tertinggi setelah di Sumatera. Khusus di Propinsi Riau menurut Pemda Riau dalam Defriyoza (2000) terjadi pengurangan hutan konversi dari 4.770.085 ha pada tahun 1986 menjadi 1.560.044 ha pada tahun 1992 yang ditujukan untuk penggunaan perkebunan dan transmigrasi.

Lebih lanjut Defriyoza (2000) mengatakan konversi hutan dilakukan baik oleh pengusaha maupun masyarakat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Selain untuk kebutuhan tempat tinggal (transmigrasi) juga untuk memenuhi keperluan dalam bidang pertanian dan kehutanan. Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan perkebunan menjadi pilihan utama dalam konversi dan penggunaan lahan, baik HTI dan perkebunan yang berskala kecil dan besar.

Hasil studi FAO pada tahun 1990 yang dikutip oleh Sunderlin dan Resosudarmo (1996) menyebutkan bahwa kondisi hutan di Indonesia mengalami penurunan luas dari 74% menjadi 50% dalam selang waktu 30-40 tahun terakhir. Mengacu pada penelitian yang dilakukan FAO (1990) dalam Sunderlin dan Resosudarmo (1996) terjadi peningkatan deforestasi dalam estimasi setiap tahunnya : pada tahun 1970-an sebesar 300.000 ha/tahun; pada tahun 1987 sebesar 600.000 ha/tahun; sedangkan pada tahun 1990 mencapai 1 juta ha/tahun.

Sedangkan di Propinsi Riau sendiri menurut data RePPProt tahun 1985 luas total 9.859.700 ha, yang berhutan 5.936.500 ha (60,2%). Sedangkan data dari Dephutbun pada tahun 1997 luas total 9.661.817 ha (tubuh air tidak dimasukkan dalam perhitungan luas), yang berhutan 5.071.891 ha (52,5%) dan lain-lain (berawan/tidak ada data) 2.506 ha. Dari data tersebut laju pengurangan hutan selama 12 tahun seluas 864.609 ha (14,6%) (BLK Pekanbaru, 2001)

(2)

B. Fragmentasi Habitat

Fragmentasi habitat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebanyakan habitat mengalami fragmentasi oleh pembuatan jalan, tanah pertanian, perkotaan atau kegiatan manusia lain. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen (Wilcove et al. 1986; Shafer 1990 dalam Primack et al. 1998). Sewaktu habitat dirusak, sebagian darinya mungkin dibiarkan begitu saja. Fragmen- fragmen yang ditinggalkan ini adakalanya terisolasi satu dengan lainnya oleh adanya daerah yang terdegradasi. Situasi seperti ini mirip dengan model biogeografi pulau. Fragmen habitat berlaku seperti pulau yang dikelilingi oleh lautan daerah yang telah diubah oleh manusia. Fragmentasi dapat terjadi pada daerah yang sangat tereduksi atau pada daerah yang hanya sedikit mengalami reduksi ( Schonewald-Cox dan Buecher 1992

dalam Primack et al. 1998). Habitat yang telah terfragmentasi berbeda dari

habitat asal dalam hal fragmen yang memiliki daerah tepi. Satu contoh permasalahan yang akan diikuti oleh masalah- masalah yang lain dalam kaitannya dengan daerah tepi.

Lebih lanjut Forman dan Godron (1986) menyatakan bahwa fragmentasi habitat adalah proses dinamis yang menghasilkan perubahan pada pola habitat pada lansekap berdasarkan waktu. Istilah fragmentasi secara umum digunakan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi ketika blok luas dari vegetasi dimana penebangan memisahkan blok yang lebih kecil dengan yang lainnya. Proses dari fragmentasi memiliki 3 komponen yang dikenal dengan :

q Kehilangan menyeluruh dari habitat pada lanskap (kehilangan habitat)

q Pengurangan pada ukuran blok dari habitat yang diikuti dengan pembagian dan pembersihan (pengurangan habitat) dan

q Meningkatnya isolasi habitat untuk penggunaan lahan baru yang diokupasi pada lingkungan yang terganggu

Habitat terisolasi pada daratan utama, seperti puncak gunung, danau, hutan terfragmentasi dan cagar alam, dapat dilihat sebagai “pulau” yang dikelilingi “laut” dari habitat yang tidak sesuai. Selanjutnya teori equilibrium menjadi teori kerangka kerja pertama untuk menginterpretasi distribusi dan dinamika fauna pada habitat yang terganggu. Ini diperkuat dengan penelitian tentang ukuran tubuh pada konsekuensi dari fragmentasi habitat dan isolasinya bagi satwa (Simberloff 1974; Gilbert 1980; Shafer 1990 dalam Bennet 1999).

(3)

C. Dampak Fragmentasi terhadap Spesies

Fragmentasi habitat dapat mengancam keberadaan spesies dengan berbagai cara. Pertama, fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi. Banyak spesies burung, mamalia dan serangga pada daerah pedalaman hutan tidak akan dapat menyeberangi daerah terbuka oleh karena adanya bahaya dimakan pemangsa, walaupun daerah terbuka ini tidak begitu luas. Akibatnya, banyak spesies yang tidak mengkolonisasi lagi daerah asalnya setelah populasi awalnya hilang (Lovejoy et al. 1980 dalam Primack et al. 1998). Primack et al. (1998) melanjutkan bahwa penurunan kemampuan penyebaran hewan yang diakibatkan oleh fragmentasi habitat dapat mempengaruhi pula kemampuan penyebaran tumbuhan yang bergantung padanya. Hal ini berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah berdaging (yang menjadi makanan hewan) dan tumbuh-tumbuhan yang bijinya dapat melekat pada hewan tertentu. Dengan demikian, fragmentasi habitat yang terisolasi tidak akan dikolonisasi oleh spesies asli yang sebenarnya dapat tumbuh di daerah tersebut. Jika pada setiap fragmen spesies punah melalui proses populasi dan suksesi, spesies baru tidak akan mengkolonisasi daerah ini oleh karena adanya penghalang penyebaran, dan akhirnya jumlah spesies pada fragmen habitat tersebut akan mengalami penurunan.

Aspek kedua menurut Primack et al. (1998) yang berbahaya oleh adanya fragmentasi habitat adalah pengurangan daerah jelajah dari hewan asli. Kebanyakan spesies hewan, baik sebagai individu atau kelompok sosial, harus memiliki daerah jelajah yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan-hewan ini harus dapat berjalan dari satu sumber makanan ke sumber makanan yang lain atau yang kadang- kadang tersedia berdasarkan musimnya seperti buah, biji, rumput, genangan air dll. Suatu sumber makanan mungkin saja dibutuhkan hanya beberapa minggu atau bahkan sekali per tahunnya. Jika habitat terfragmentasi, spesies yang berada dalam satu fragmen tidak dapat berjalan ke fragmen lain yang awalnya merupakan daerah jelajahnya juga. Misalnya, pagar dapat menghalangi migrasi ilmiah yang dilakukan oleh hewan pemakan rumput seperti bison di Amerika atau wildebeest di Afrika, sehingga memaksa hewan-hewan ini untuk mengeksploitasi daerah yang sebenarnya tidak sesuai sehingga menyebabkan meraka kelaparan dan mengakibatkan pula penurunan kualitas daerah tersebut.

(4)

Fragmentasi habitat dapat mempercepat pengecilan atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas. Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih rentan terhadap tekanan silang dalam (inbreeding

depression), genetic drift, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan

populasi yang berukuran kecil. Suatu habitat yang luas dapat mendukung suatu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen mungkin saja tidak ada satu fragmen pun mendukung sub populasi yang cukup untuk bertahan (Primack, 1993).

Beberapa studi yang dilakukan di beberapa pulau sebagai lokasi pengamatan, baik di kawasan temperate maupun tropis menunjukkan hasil yang sama, yang dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu bila luas pulau berkisar 1 hingga 25 km2

, seperti luas cagar alam dan suaka margastawa pada umumnya, maka laju kepunahan jenis-jenis burung dalam 100 tahun mencapai 10- 50% laju kepunahan diduga akan semakin tinggi di kawasan yang kecil dan mengalami fragmentasi. Menurut penelitian Willis 1979 dalam Wilson (1993), di areal seluas 0,2 sampai 14 km2 di kawasan hutan di Brazil yang terisolasi oleh lahan pertanian, menunjukkan laju kepunahan burung berkisar 14% sampai 64% dalam 100 tahun.

Menurut Harris (1984); Wilcove, et al. (1986); Saunders (1991) dalam Entebe (2005) aktivitas manusia menyebabkan terganggunya status dan distribusi populasi serta habitat satwa liar dalam dua hal yaitu (1) pengurangan total area dari habitat alami dan jumlah populasi sebagai akibat kegiatan pembangunan dan (2) habitat alami dan kisaran distribusi spesies yang sensitif mengalami fragmentasi ke dalam potongan-potongan areal yang disebut “pulau”. Konsekuensi dari terbentuknya “pulau-pulau” habitat, menyebabkan kualitas habitat bagi spesies bervariasi secara spasial dan kebanyakan spesies yang terdistribusi dalam sistem metapopulasi dari populasi lokal yang terhubung oleh penyebaran. Ketahanan metapopulasi sangat tergantung pada efisiensi penyebaran individual spesies dari satu patch ke patch lain (Meffe et al, 1994;

dalam Entebe, 2005).

D. Keanekaragaman

Menurut Odum (1971) dalam Entebe (2005) keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam mempelajari suatu komunitas baik tumbuhan

(5)

maupun hewan. Keanekaragaman jenis (species diversity) merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan menarik dalam ekologi, baik teori maupun terapan (Magurran, 1988). Oleh karena itu ahli ekologi harus mengetahui bagaimana mengukur keanekaragaman jenis dan memahami hasil pengukurannya. Permasalahannya adalah banyak sekali metode pengukuran yang telah dikembangkan dan sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara ahli ekologi tentang metode tersebut.

Namun banyaknya metode pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas dari konsep keragaman jenis yang mempunyai dua komponen yaitu (1) jumlah jenis (species richness) yang disebut kepadatan jenis (species density), berdasarkan pada jumlah total jenis yang ada dan (2) kesamaan/kemerataan (evenness atau equatability) yang berdasarkan pada kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Krebs, 1992; Magurran, 1988).

1 Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh McIntossh tahun 1967. Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis/spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut : (1) metode rarefaction yang pertama kali dikemukakan oleh Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Magurran, 1988), (2) indeks kekayaan jenis Margalef; (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis Jacknife.

2 Kemerataan Jenis

Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Llyod dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) yang dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi di antara setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah : (1) indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shannon-Wiener, (3) indeks kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs (1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam

(6)

Ludwig dan Reynolds (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill’s evenness

number.

3 Kelimpahan jenis

Kelimpahan jenis atau species abundance merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis (Magurran, 1988). Diantara sekian banyak indeks kelimpahan jenis, ada tiga indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yaitu indeks Simpson, indeks Shannon-Wiener dan indeks Brillouin (Poole, 1974, Krebs, 1992).

E. Keanekaragaman Jenis Burung

Keanekaragaman jenis burung berbeda dari satu tempat ke tempat lain, tergantung kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah keragaman konfigurasi dan ketinggian pohon; sehingga hutan yan g memiliki ukuran pohon dan bentuk yang berbeda-beda dari satu jenis pohon akan memiliki keanekaragaman jenis burung lebih tinggi daripada tegakan pohon dari jenis yang berbeda namun memiliki struktur bentuk yang seragam (MacArthur and MacArthur 1961 dalam Welty 1982).

Menurut Keast (1985), tingginya keanekaragaman jenis burung di hutan tropis disebabkan oleh kondisi iklim tropis yang relatif stabil dan bersahabat yang memungkinkan terjadinya relung ekologi dan “ species packing” terbentuk, struktur vegetasi habitat yang beragam, tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan (floristic), beragamnya tipe pakan yang tersedia serta tingginya jumlah jenis burung yang jarang (rare) dan spesialis (specialized).

F. Ekologi Lanskap

Lanskap adalah suatu wilayah daratan yang heterogen dimana sekelompok interaksi terjadi dan ekosistem-ekosistem yang homogen ditemukan berulang dalam bentuk yang sama. Lanskap dibentuk oleh tiga mekanisme yang bekerja didalamnya proses geomorfologi alami, pola kolonisasi organisme dan gangguan lokal terhadap kedudukan komponennya. Gangguan termasuk aktivitas manusia seperti kegiatan pertanian dan penebangan hutan (Forman, 1995).

Ekologi lanskap adalah studi tentang pola lanskap, interaksi antara

(7)

berubah sepanjang waktu. Lebih lanjut ekologi lanskap terlibat dalam hal penerapan prinsip-prinsip ini dalam formulasi pemecahan masalah yang ada di dunia. Ekologi lanskap mempertimbangkan perkembangan dan dinamika dari ruang heterogen dan dampaknya terhadap proses-proses ekologi dan manajemen dari ruang yang heterogen tersebut. (McGarigal, 2004).

Ekologi lanskap memfokuskan perhatiannya pada tiga karakter lanskap yaitu : (1) struktur, merupakan hubungan spasial di antara ekosistem atau elemen yang terdapat didalamnya seperti aliran energi, materi dan spesies yang berhubungan dengan ukuran bentuk, jumlah dan macam konfigurasi ekosistem; (2) fungsi, yaitu interaksi antara elemen spasial seperti aliran energi, materi dan spesies di antara komponen ekosistem; (3) perubahan, yaitu perubahan struktur dan fungsi yang berlangsung terus- menerus ( McGarigal, 2004).

G. Struktur Lanskap

G.1. Patch dan Matriks Habitat

Menurut Forman dan Godron (1986) patch adalah daerah yang relatif homogen yang berbeda dengan sekitarnya yang biasanya patch terdapat dalam suatu matrik yaitu wilayah yang mengelilinginya yang mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda. Patch lanskap dapat dicirikan dengan mengacu pada beberapa tipe dasar dimana asal- usulnya melibatkan gangguan, heterogenitas habitat dan aktivitas pertanian, yaitu :

a. Disturbance patch, terjadi mengikuti gangguan lokal (kebakaran, penggundulan) di dalam suatu matriks dan secara normal dicirikan oleh vegetasi suksesi.

b. Remnant patch adalah satu patch dari matriks habitat asli yang merupakan sisa ketika gangguan yang luas terjadi disekitarnya, misalnya suatu kumpulan tegakan dari hutan asli dikelilingi oleh tanah pertanian.

c. Environmental resource patch, adalah suatu patch dimana kumpulan sumberdaya fisik berbeda dari yang mengelilingi mereka dan mempengaruhi komposisi biotik (contoh : tipe tanah khusus, suatu selokan atau parit).

d. Introduced patch, terjadi mengikuti introduksi spesies dan dipelihara oleh manusia

Untuk lebih jelas posisi patch dalam matriks dan definisi patch dapat dilihat pada Gambar 2.

(8)

Keterangan : patch matriks Gambar 2 : Patch-patch yang tersebar dalam matriks

Pada Gambar 2, dimana keadaan matrik yang terfragmentasi menyebabkan terjadinya patch-patch, dengan kata lain fragmentasi

menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan berubah menjadi pulau-pulau kecil yang terpencar (patch-patch dianggap sebagai pulau-pulau). Di bidang biologi konservasi pernah terjadi debat berkepanjangan, mengenai pada keadaan manakah kekayaan spesies akan dapat dicapai secara maksimal : satu cagar alam (tunggal) yang berukuran besar atau cagar alam yang berukuran sama namun terpecah-pecah dalam beberapa lokasi yang lebih kecil (Diamond 1975; Simberloff dan Abele 1976, 1982; Terborgh 1986). Perdebatan ini dikenal sebagai SLOSS debate (single large or

several small, satu besar atau beberapa kecil). Para pendukung cagar alam

tunggal berpendapat bahwa bagi spesies yang berukuran besar yang memiliki jelajah luas serta memiliki kerapatan individu yang kecil (misalnya karnivora besar) hanya cagar alam yang besar akan dapat mempertahankannya dalam jumlah yang mencukupi sehingga mewujudkan populasi umur panjang.

Di lain pihak, beberapa ahli biologi konservasi berpendapat bahwa cagar alam kecil yang ditempatkan secara baik akan mempunyai berbagai kelebihan (dibandingkan satu blok cagar alam yang berukuran serupa) karena dapat mencakup tipe-tipe habitat yang lebih beragam, serta dapat menampung lebih banyak populasi spesies langka (Simberloff dan Gotelli, 1984). Namun pada akhirnya terbentuk juga konsensus, bahwa strategi mengenai ukuran cagar alam akan disesuaikan dengan kelompok spesies yang akan dilindungi (Soule dan Simberloff 1986). Telah dapat diterima bahwa dibandingkan dengan cagar alam yang kecil), cagar alam yang berukuran besar akan lebih menampung banyak

(9)

spesies, karena mampu menampung lebih banyak individu dan karena memiliki habitat yang lebih beragam. Bagaimanapun, cagar alam yang berukuran kecil namun dikelola dengan baik juga bermanfaat, karena dapat menyediakan perlindungan bagi banyak spesies tumbuhan, avertebrata dan vertebrata ukuran kecil (Lesica dan Alendorf, 1992).

Struktur lanskap mempengaruhi pergerakan satwa (Forman dan Godron, 1986), karena fragmentasi lanskap yang terjadi menyebabkan gap yang memisahkan populasi satwa ke dalam patch-patch habitat dan menghalangi pergerakan satwa. Sampai sejauh mana suatu matrik (gap) dapat menghalangi pergerakan satwa sangat tergantung pada konfigurasi spasial gap tersebut yang kemudian diterima oleh satwa secara berbeda pada skala spasial yang sangat spesifik (Kotliar dan Wiens, 1990, Keith et al . 1997 dalam St. Clair et al. 1988

dalam Cahyadi, 2002). Pergerakan satwa melintasi gap antar patch akan

bervariasi antar tiap spesies, tipe patch habitat, tipe matrik dan faktor lain seperti variasi cuaca, musim, rute alternatif, serta resiko yang mungkin dihadapi (predator, jarak perjalanan) (St.Clair, et al. 1988 dalam Cahyadi, 2002)

G.2. Struktur Patch (Daerah Tepi (Edge) dan Daerah Inti (Core))

Thomas et al. (1979), mendefinisikan edge sebagai tempat pertemuan dua komunitas tumbuhan yang berbeda, yang jika dilihat dari struktur lanskapnya,

edge dapat dibedakan menjadi 1). Inheren edge yaitu edge yang terbentuk dari

pertemu an dua komunitas yang berbeda tingkat suksesinya dan 2). Induced

edge yaitu edge yang terbentuk karena adanya gangguan, misalnya

penggembalaan, logging, kebakaran. Fragmentasi habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi (edge). Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Oleh karena spesies tumbuhan dan hewan biasanya beradaptasi untuk suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Ilustrasi patch yang memiliki edge dan core dapat dilihat pada Gambar 3.

Tingkat keanekaragaman hayati pada setiap edge juga berbeda dengan daerah core (bagian tengah hutan). Edge dipandang sebagai suatu ekosistem tersendiri yang diakibatkan oleh pertemuan dua tipe ekosistem. Keanekaragaman pada edge lebih tinggi dari pada daerah core. Leopold (1933) menyatakan bahwa edge mempunyai kelimpahan jenis dan spesies yang besar,

(10)

karena efek aditif dari fauna karena adanya pertemuan patch dan matriks yang berbeda.

Bentuk, luas, dan konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak edge. Fragmentasi adalah proses perubahan dari matriks homogen dan kompak, menjadi matriks yang heterogen dan terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terfragmentasi ini akan berbeda dengan matriks awal dalam hal : (a) matriks yang terfragmen akan mempunyai area edge yang lebih luas, (b) jarak pusat matriks dengan edge menjadi lebih dekat (c) core area menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan komposisi/biodiversitasnya.

Gambar 3. Patch yang terdiri dari edge dan core

Masing- masing patch yang elemen lanskapnya terdiri dari edge, akan menunjukkan edge effect (misalnya pada edge didominasi oleh spesies yang hanya ditemukan di daerah tepi). Daerah terdalam dari elemen lanskap yang dianggap sebagai core, didominasi oleh spesies yang hanya ditemukan pada daerah yang jauh dari daerah tepi. Border adalah garis yang memisahkan edge dari elemen lanskap yang berbatasan. Dua edge membentuk wilayah perbatasan (boundary), dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan spasial dari daerah perbatasan (boundary), garis batas (border) dan daerah tepi (edge) (Forman, 1995).

patch

(11)

H. Efek Tepi (Edges effect)

Fragmentasi habitat secara dramatis menambah luas daerah tepi. Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis (Kapos 1989, Bierregaard et al. 1992 dalam Primack et al. 1998). Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 m ke dalam hutan (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998). Oleh karena spesies tumbuhan dan hewan biasanya teradaptasi untuk suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Spesies tumbuhan liar yang toleran pada naungan di daerah beriklim sedang, spesies pepohonan yang muncul belakangan pada suksesi di daerah tropik dan hewan-hewan yang sensitif pada kelembaban seperti amfibi biasanya dapat dengan cepat termusnahkan oleh fragmentasi habitat dan akhirnya akan menyebabkan perubahan komposisi spesies dari suatu komunitas.

Spesies tumbuhan belukar dan spesies pemula (pionir) yang lain dapat tumbuh dengan cepat sebagai reaksi terhadap meningkatnya intensitas cahaya. Tetumbuhan ini dapat berfungsi sebagai penghalang yang mengurangi efek dari gangguan lingkungan bagi bagian dalam fragmen. Dalam hal ini, daerah tepi hutan memegang peranan yang penting untuk menjaga komposisi spesies dari fragmen hutan, tetapi dalam proses selanjutnya, komposisi spesies dari daerah tepi hutan akan berubah sehingga daerah sebelah dal am akan berkurang (Primack, 1993).

Jika hutan telah terfragmentasi, pertambahan kecepatan angin, rendahnya kelembaban dan tingginya suhu pada daerah tepi akan menyebabkan daerah itu lebih mudah mengalami kebakaran. Kebakaran hutan dapat menyebar ke fragmentasi habitat dari tanah pertanian di dekatnya yang dibakar secara teratur. Misalnya pada saat pemanenan tebu atau dari kegiatan petani yang melakukan perladangan berpindah (Gomez- Pompa dan Kaus 1992 dalam Primack 1993). Di Kalimantan seluas jutaan hektar hutan hujan tropik terbakar selama musim kemarau yang panjang antara tahun 1982 dan 1983. Penyebab dari bencana alam ini adalah gabungan dari praktek-praktek pertanian dan tebang pilih, serta kegiatan manusia lainnya (Leighton dan Wirawan 1986 dalam Primack et al. 1998).

(12)

Fragmentasi habitat memperbesar kerentanan fragmen akan invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu. Daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies pengganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke bagian dalam fragmen hutan (Paton 1994 dalam Primack, 1993). Di Amerika Serikat, hewan-hewan omnivora seperti raccoons, sigung, dan bluejays dapat bertambah jumlahnya di tepi fragmen. Hewan-hewan ini dapat memperoleh makanan baik dari habitat yang terganggu maupun dari daerah yang tidak terganggu. Pemangsa yang agresif ini akan memakan telur dan anak-anak burung hutan sehingga mencegah keberhasilan reproduksi dari banyak spesies burung yang berada beberapa ratus meter dari daerah tepi. Burung parasit yang hidup di lapangan terbuka dan tepi hutan mempergunakan habitat tepi sebagai basis untuk menginvasi bagian dalam fragmen hutan. Disini, anak-anak mereka menghancurkan telur dan mengganggu kehidupan anak-anak burung penyanyi. Gabungan dari fragmentasi habitat, kenaikan pemangsa selama masa kecil dan perusakan hutan tropik menyebabkan penurunan yang drastis pada spesies burung migran di Amerika Utara, seperti red-eyed vireo, eastern wood pe wee, dan hooded warbler (Terborgh 1989 dalam Primack et al. 1998), walapun belum ada kata sepakat mengenai penyebab sebenarnya serta seberapa jauh mereka menyebar (James et al. sedang naik cetak dalam Primack dkk, 1998).

Primack (1993) melanjutkan bahwa fragmentasi habitat juga menyebabkan spesies liar menjadi dekat dengan tumbuhan dan hewan peliharaan. Penyakit spesies peliharaan ini akan dengan mudah menular ke spesies lain yang tidak mempunyai imunitas tinggi terhadap penyakit tersebut. Keadaan yang sebaliknya dapat terjadi, yaitu penyakit menular dari spesies liar ke spesies peliharaan bahkan juga ke manusia.

Fragmentasi hutan tidak sama dengan forests patch dilihat dari komposisi dan bentuk dari areal hutan yang terjadi sebagai akibat dari gangguan dan tekanan dari manusia. (Harris, 1992).

I. Komposisi Jenis Burung di Daerah Tepi (edge)

Komunitas burung pada berbagai tempat mewakili tahapan-tahapan suksesi yang berbeda sebagai contoh adanya perubahan secara langsung pada komposisi spesies dari awa l hingga akhir suksesi, spesies dan kekayaan jenis paling tinggi terdapat pada hutan umur medium (Karr, 1971; May, 1982 dalam

(13)

Parody et al. 2001). Hasil-hasil tersebut menyatakan bahwa hutan-hutan yang telah matang komposisi komunitas menunjukkan spesies dan kekayaan jenis paling tinggi terdapat pada hutan umur medium..

Komposisi jenis burung tajuk bawah mengikuti permudaan menunjukkan dipengaruhi perubahan cepat pada penutupan vegetasi yang digambarkan oleh (Stoneman et al (1988) dalam Johnson & Williams 2000). Populasi spesies tajuk bawah menyediakan bahan untuk rekolonisasi, saat kembalinya struktur vegetasi yang sesuai (Rowley & Russel, 1991). Sebagaimana jenis tajuk bawah-permukaan yang bertentangan melalui studi setelah penebangan (White breasted robin, Grey fantail dan Red- winged fairy wren) umum pada kepadatan vegetasi di luar hutan, ini sepertinya mereka secara cepat meningkat kembali dalam lingkungan daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. (Johnson & Williams, 2000).

Perubahan tidak sebesar jenis tajuk bawah permukaan pada jalur dibandingkan daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. Dampak lokal kebakaran terhadap avifauna terjadi sementara, karena permudaan yang cepat pada tajuk bawah di Hutan Karri. Bagaimanapun juga, terdapat sedikit perubahan pada jalur lain yang dapat ditambahkan pada kegiatan terpisah berkaitan dengan kegiatan penebangan. Sebagai contoh kenampakan dari Splendid wren diobservasi pada tahun kedua setelah penebangan dapat ditambahkan dengan pembangunan jalan dalam kaitannya dengan kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan berpengaruh terhadap kehadiran dan kelimpahan jenis, oleh karena, memperluas areal pada kegiatan penebangan diperlukan. Pendekatan segala arah pada studi mungkin saja dibutuhkan untuk mengindikasi perubahan di berbagai bentuk komunitas di seluruh daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. (Johnson & Williams, 2000).

Jokimaki & Suhone (1993), Blair (1996) dalam Parody et al. (2001) menyatakan bahwa hutan-hutan yang telah matang komposisi komunitas menunjukkan perubahan secara langsung ketika kekayaan jenis mencapai puncak dan kemudian menurun mendekati tahap klimaks. Perbandingan komunitas burung sepanjang peningkatan urbanisasi di lain pihak menunjukkan peningkatan kekayaan jenis pada kondisi kawasan yang berpenghuni sedikit atau menengah tetapi akan menurun menuju pusat hunian. Hal ini mengimplikasikan bahwa level gangguan pada tingkat intermediate mempertahankan level yang paling tinggi dalam diversitas.

(14)

J. Respon Spesies terhadap Daerah Tepi (Edge)

Pandangan umum melihat bahwa terdapat tiga kategori respon terhadap

edge yaitu beberapa spesies meningkat kelimpahannya, beberapa menurun dan

beberapa secara relatif tidak berpengaruh. Variasi ketiga kemungkinan tersebut muncul tergantung apakah spesies tersebut habitat generalis yang terjadi pada kedua sisi dari edge atau habitat spesialis yang terjadi hanya pada satu tipe habitat yang berbatasan. Klasifikasi respon terhadap edge memungkinkan analisis pada level populasi terhadap efek daerah tepi. Menurut Sisk dan Margules (1995) ada enam klasifikasi respon spesies terhadap daerah tepi dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Berbagai respon spesies terhadap edge (Sisk dan Margules, 1992)

Habitat 1 Edge Habitat 2

Habitat 1 Edge Habitat 2 Habitat 1 Edge Habitat 2

Habitat 1 Edge Habitat 2 Habitat 1 Edge Habitat 2

Habitat 1 Edge Habitat 2 a) HABITAT GENERALIST e) HABITAT GENERALIST EDGE AVOIDER f) HABITAT SPESIALIST EDGE AVOIDER c) HABITAT GENERALIST EDGE EXPLOITER

d) HABITAT SPECIALIST EDGE EXPLOITER b) HABITAT SPECIALIST

(15)

Keterangan :

a) Habitat Generalist; merupakan spesies yang dapat hidup pada semua wilayah (habitat 1, edge dan habitat 2)

b) Habitat Specialist; merupakan spesies yang hanya dapat hidup pada habitat 1, pada edge mengalami penurunan kelimpahan, ditunjukkan dengan respon yang tajam (hard response) sedangkan pada habitat 2 mengalami penurunan kelimpahan, ditunjukkan dengan respon yang tidak begitu tajam (soft

response).

c) Habitat Generalist Edge Exploiter; merupakan spesies yang dapat hidup di semua wilayah (habitat 1, habitat 2 dan khusus pada edge kelimpahannya meningkat

d) Habitat Specialist Edge Exploiter; merupakan spesies yang dapat hidup pada habitat 1 dan pada edge kelimpahannya meningkat, spesies ini cenderung mendekati edge.

e) Habitat Generalist Edge Avoider; merupakan spesies yang dapat hidup pada Habitat 1 dan habitat 2 dan khusus pada edge kelimpahannya menurun, jadi spesies ini cenderung menghindari edge.

f) Habitat Specialist Edge Avoider; merupakan spesies yang dapat hidup pada habitat 1 dan pada edge kelimpahannya menurun, spesies ini cenderung menghindari edge.

K. Taman Hutan Raya

Berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1990 Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.

Sedangkan berdasarkan Dephut (1988), Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensifnya pemanfaatan sumberdaya alam telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan potensi sumberdaya alam, hal ini mendorong upaya untuk berusaha menetapkan kawasan konservasi yang tidak saja berfungsi sebagai penyangga proses ekologi dan pelestarian sumberdaya alam, namun juga pemanfaatan sumberdaya alam tersebut untuk kesejahteraan masyarakat secara luas dan berwawasan lingkungan.

Gambar

Gambar 5. Berbagai respon spesies terhadap edge (Sisk dan Margules, 1992)

Referensi

Dokumen terkait

02 Jumlah Model Pengembangan Inovasi Teknologi Pertanian Bioindustri 79 model 03 Jumlah Teknologi yang Didiseminasikan ke Pengguna 164 teknologi 04 Jumlah Rekomendasi

Masalah utama sebagai sebuah lembaga jasa pelayanan dalam mengantisipasi persaingan yang semakin ketat maka Rumah Sakit Husada ini harus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat

Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian

Supaya tidak terdapat cacat di muka, maka insisis dilakukan di bawah bibir, di bagian superior ( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan diatas tulang pipi

Es gibt verschiedene Typen von Aufgaben: die Schüler sollen verschiedene Sätze vollenden, selbst etwas schreiben, einen Hörtext hören und danach eine Aufgabe lösen, in einer

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana

Mengacu pada hasil pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa waktu transaksi untuk sistem pembayaran tol elektronik berbasis RFID yang dihasilkan lebih kecil dari nominal

• DIPERKENANKAN MELAKUKAN PENAMBAHAN GEDUNG UNTUK MENAMPUNG KEGIATAN PENUNJANG DARI ALIHFUNGSI BANGUNAN GEDUNG KANTOR PT TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN BOROBUDUR DAN RATU BOKO.. •