• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Knowledge Sharing dalam Mewujudkan Green IT di Pemerintah Kabupaten Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Knowledge Sharing dalam Mewujudkan Green IT di Pemerintah Kabupaten Semarang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Knowledge Sharing dalam Mewujudkan Green IT di

Pemerintah Kabupaten Semarang

Cahyo Nugroho Raharjo1, Sri Suning Kusumawardani2, Lukito Edi Nugroho3

1,2,3 Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, DTETI, Universitas Gadjah Mada

Email: 1cahyo.cio15@mail.ugm.ac.id, 2suning@ugm.ac.id, 3lukito@ugm.ac.id

Abstrak

Beberapa tahun terakhir, istilah green IT menjadi familiar dengan diadakannya berbagai macam konferensi yang membahas tentang hal itu. Beberapa perusahaan di Indonesia pun mulai mengimplementasikannya dalam operasional perusahaan. Namun di pemerintah daerah, gaung green IT belum nampak, bahkan banyak daerah yang belum melaksanakannya. Pengadaan barang elektronik yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil selain menyebabkan terjadinya pemborosan anggaran, juga telah menyimpang dari konsep green IT yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Salah satu faktor yang menentukan dalam melaksanakan green IT adalah manusia. Kesenjangan pengetahuan perlu mendapatkan perhatian khusus untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya green IT. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menciptakan iklim saling berbagi pengetahuan untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan akan menjadi bahasan dalam penelitian ini.

Kata Kunci: knowledge sharing, green IT, sustainability Abstract

In recent years, the term green IT becomes familiar with the holding of many conferences that discuss about it. Some companies in Indonesia began to implement it in the company's operations. However, in local government, echoes green IT has not appeared, even many district still do not implement it. Procurement of electronic goods that do not correspond to real needs in addition to causing wasteful spending, also has deviated from the concept of green IT that takes into account the impact on the environment. One of the determining factors in implementing green IT is human. This knowledge gap needs special attention to grow awareness of the importance of green IT. Factors influential in creating a climate of knowledge sharing to reduce the knowledge gaps will be the discussion in this study.

Keywords: knowledge sharing, green IT, sustainability

1. PENDAHULUAN

Pada zaman modern ini, manusia sangat bergantung pada teknologi termasuk di dalamnya teknologi informasi. Teknologi informasi atau Information Technology (IT) sering dihubungkan dengan perangkat elektronik yang bisa digunakan untuk saling berkomunikasi seperti komputer, smartphone. Seiring dengan perkembangannya, ada efek samping dari penggunaan IT tersebut yang membuat manusia lupa dengan kondisi lingkungan alam sekitar, beberapa diantaranya adalah perubahan cuaca, global warming. Komponen-komponen dalam perangkat elektronik tersebut banyak yang tidak bisa di daur ulang dan menghasilkan limbah yang buruk bagi lingkungan. Banyak negara yang telah menyadari hal ini dan mulai memikirkan bagaimana untuk membuat IT menjadi sahabat bagi lingkungan dan dikenal dengan nama green IT.

Green IT adalah sebuah bahasan yang mempelajari tentang bagaimana TI digunakan secara efektif dan efisien sehingga dapat meminimalisir dampak terhadap lingkungan [1, 2]. Jepang adalah salah satu dari negara yang memikirkan hal ini. Jepang telah memiliki protokol yang dinamakan Kyoto protocol dan mengajak negara di dunia untuk ikut berpartisipasi dalam mensukseskan program ini. Dalam protokol ini, Jepang ingin mengurangi emisi gas CO2 paling tidak 50% pada tahun 2050 [3]. Selain pengurangan emisi CO2, penghematan terhadap penggunaan listrik juga mempengaruhi pemanasan global yang sedang terjadi saat ini. Indonesia bersama dengan negara Asia telah ikut ambil bagian dalam mencangkan program green IT ini.

Indonesia lebih banyak menjadi konsumen dari produk elektronik yang ditawarkan produsen sehingga menjadi tempat strategis untuk memasarkan produknya. Apabila hal ini terus dibiarkan, akan banyak sampah elektronik yang menumpuk di Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu untuk berpikir kritis tentang proses daur ulang sampah elektronik [1] dan membuat kerangka acuan untuk program green IT secara lebih luas lagi [2]. Pemerintah dapat memberikan contoh kepada masyarakat tentang dampak positif yang

(2)

menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mewujudkan green IT. Perhatian khusus terhadap budaya pegawai dalam berbagi pengetahuan (knowledge sharing) juga dapat mempengaruhi penerapan green IT. Knowledge sharing(KS) bukan hanya sekedar membagikan informasi kepada yang lain, namun lebih kepada proses pembelajaran yang lebih komplek dan bahkan mampu untuk melahirkan sebuah inovasi [4]. Pemerintah Kabupaten Semarang memiliki kontur perbukitan dan masih banyak terdapat lahan hijau sehingga penerapkan green IT dapat menjadi pedoman agar penggunaan IT selaras dengan lingkungan dan menghindari pencemaran lebih lanjut.

2. METODE

Metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan pengaruh knowledge sharing adalah menggunakan metode studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan penelitian yang terkait dengan knowledge sharing dan green IT yang dapat diperoleh dari kumpulan jurnal ilmiah, artikel yang berasal dari website, dan buku yang sesuai dengan topik penelitian. Hasil kajian penelitian sebelumnya kemudian dianalisis dengan disesuaikan dengan kondisi di Kabupaten Semarang untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi knowledge sharing di antara pegawai dalam mewujudkan green IT.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Muladi [5], Implementasi green IT dapat dilakukan dengan melihat pada tipe organisasi. Tipe organisasi yang dikategorikan berdasarkan bagaimana IT dimanfaatkan di antaranya:

1. IT as strategy 2. IT as enabler 3. IT producers 4. IT start-ups

Dari 4 tipe organisasi di atas, pemerintah daerah berada pada pemanfaatan IT as enabler karena bentuk organisasi di pemerintah lebih berupa kepada jasa yang menggunakan IT sebagai alat bantu dalam pelayanan dan IT tidak berperan sebagai bisnis utama dalam pelaksanaannya. Pendekatan implementasi dari green IT[2] tipe ini diantaranya penggunaan (usage), daur ulang (disposal), stategi dan kebijakan (strategy and policy).

Pengadaan barang elektronik di Kabupaten Semarang telah dilakukan secara online sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penggunaan media online ini mampu memberikan kesan positif karena memberikan keterbukaan informasi sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun pengadaan barang telah menggunakan media online, namun dalam menentukan barang elektronik yang berhubungan dengan IT masih ditentukan oleh faktor kebijakan dari dalam dan lebih terfokus pada pemanfaatan anggaran yang diberikan. Pengadaan barang IT masih sebatas sebagai pelengkap dan belum dimanfaatkan sepenuhnya sehingga tak jarang bahwa pengadaan peralatan IT sering dianggap asal-asalan saja tanpa melihat kebutuhan riil di dunia kerja. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh METI [3] di Jepang bahwa IT mampu mengurangi polusi CO2[6,7]. Polusi CO2 inilah yang menyebabkan efek pemanasan global [8].

Pemilihan peralatan IT yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan faktor lingkungan akan mampu memberikan kontribusi terhadap kesadaran green IT [2] di Kabupaten Semarang.

Proses pengadaan barang dan jasa dimulai dari pembuatan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA). Pada tahapan ini, pegawai menyusun daftar belanja yang akan dilakukan pada tahun depan. Hal yang sama berlaku untuk pengadaan peralatan IT. Dasar dalam belanja peralatan IT terdapat pada buku panduan standarisasi yang ada pada daerah. Kemudian setelah ditentukan daftar belanja, maka rencana ini akan menjadi dokumen pelaksanaan anggaran (DPA). Dari proses awal perencanaan hingga akhir terbentuk DPA, kebijakan memegang peranan penting dalam setiap proses, dan menjadi fondasi dalam pelaksanaannya.

Setiap dinas memiliki intensitas yang berbeda dalam penggunaan IT sebagai alat bantu menyelesaikan pekerjaan dan ini mempengaruhi keputusan dalam melakukan pembelanjaan peralatan IT. Apabila dirasa cukup, maka kegiatan pengadaan pun tidak diperlukan. Hal ini terkait dengan budaya organisasi dalam menentukan peranan IT dalam pelaksanaan kerja. Budaya organisasi dapat menentukan arah penggunaan IT dalam menyelesaikan masalah. Selain budaya organisasi, faktor yang tak kalah pentingnya dalam implementasi green IT adalah kesiapan SDM dan infrastruktur. Kedua faktor ini memiliki perbedaan yang sangat kentara karena SDM lebih bersifat dinamis dan paling komplek [9] daripada infrastruktur.

(3)

Implementasi green IT dalam pengadaan barang IT dapat dilakukan sejak awal ketika rencana pengadaan dibuat karena rencana yang tepat akan menentukan penggunaan IT yang tepat pula. Menurut Unhelkar [9], implementasi green IT terbagi ke dalam 4 dimensi yaitu ekonomi, teknologi, proses, SDM.

1. Ekonomi

Peneliti menggunakan kata strategi [5] yang lebih sesuai dengan tipe organisasi pemerintah. Strategi yang dimaksud meliputi semua kebijakan yang diperlukan dalam pengadaan barang IT. Pemilihan perangkat IT yang tepat dan dijadikan standar dalam buku standarisasi. Kebijakan pimpinan dalam menyelaraskan antara kebutuhan akan IT dengan bisnis proses.

2. Teknologi

Teknologi mempengaruhi perkembangan organisasi dalam penggunaan IT sebagai pendukung bisnis. Dalam pemerintahan, teknologi yang digunakan tidak perlu menggunaan teknologi terakhir [10]. Teknologi yang dibangun akan mempengaruhi infrastruktur pendukung green IT.

3. Proses

Proses merupakan hal yang sederhana namun tidak bisa dianggap sebelah mata. Proses pengadaan barang IT merupakan kegiatan yang sering dilaksanakan, namun dalam setiap pelaksanaannya tidak mudah. Pemahaman akan kebijakan yang ada, pemilihan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan, penyelarasan antara infrastruktur dengan SDM yang menggunakannya menentukan kedewasaan organisasi tersebut. Proses yang berkelanjutan akan membentuk budaya organisasi.

4. SDM

Dimensi ini merupakan dimensi yang paling komplek. Implementasi green IT tidak dapat terlaksana jika SDM menolak untuk itu. SDM sebaiknya dilibatkan dalam setiap proses implementasi green IT. Pelatihan secara berkelanjutan akan membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya green IT. Skema dari setiap faktor yang berpengaruh dalam mengimplementasikan green IT nampak seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema usulan implementasi green IT

Dari keseluruhan dimensi yang ada di atas, selama proses pembentukan daftar belanja, pengetahuan pegawai akan mempengaruhi daftar belanja tersebut. Peraturan merupakan salah satu hasil pengetahuan yang mampu terdokumentasikan. Pembuatan Buku standarisasi misalnya adalah salah satu hasil bentuk pengetahuan yang dapat didokumentasikan. Tidak semua pengetahuan dapat direkam dan dikumpulkan menjadi bentuk panduan manual. Pengetahuan yang ada pada tiap individu adalah unik dan berbeda tingkat kematangannya. Hubungannya dengan implementasi green IT adalah bagaimana menentukan produk yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan.

Kebijakan tentang green IT dapat terbentuk apabila kesadaran akan green IT ada dan disertai dengan pengetahuan yang matang tentang penerapan green IT secara keseluruhan. Penggunaan teknologi mana yang sesuai dengan kebutuhan juga memerlukan pengetahuan untuk memilih produk yang tepat agar penggunaannya selaras dengan lingkungan. Buku standarisasi perlu disusun secara seksama karena merupakan pedoman dalam pemilihan produk IT.

(4)

perubahan zaman. Untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan tersebut, maka tiap pegawai dapat saling bertukar pikiran dan saling berbagi pengetahuan (knowledge sharing).

Knowledge sharing (KS) dapat dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja. Kondisi ideal untuk KS [11] yang harus dipahami, di antaranya:

1. KS adalah sebuah proses

Proses yang terjadi tergantung kepada budaya dalam organisasi. Untuk menciptakan pengalaman yang berbeda, dibutuhkan peristiwa dan aktivitas yang berbeda sehingga terbentuk interaksi dan tukar pikiran antar pelaku. Selain itu, para pelaku juga harus memiliki kerelaan untuk saling berbagi. 2. KS melibatkan 2 pihak yaitu pemberi dan penerima informasi.

Setiap pihak dapat berupa individu maupun grup dapat saling bertukar peran. 3. KS dikategorikan berdasarkan karakteristik pengetahuan yang dibagikan.

KS bersifat fleksible, tidak memiliki bentuk tertentu dan haruslah menjadi kebiasaan dalam dunia kerja ketika satu pihak memerlukan bantuan. Dalam pemerintahan, persaingan antar pegawai sangat minim sehingga budaya berbagi pengetahuan dapat menjadi budaya organisasi. Hal yang penting lainnya adalah ketika berbagi pengetahuan terjadi, ada pihak yang mampu untuk merekam dan menjadikannya sebagai pengetahuan organisasi sehingga ketika pegawai dipindah ke tempat kerja lain, ilmu yang didapatkan tetap tinggal tanpa harus mengulang proses kerja dari awal lagi. Kebijakan dan kejelian pejabat dalam mengelola pengetahuan ini juga dapat membantu terbentuknya pengetahuan organisasi.

4. SIMPULAN

Tingkat kesadaran akan implementasi green IT ditentukan oleh kematangan pengetahuan akan hal itu. Semakin banyak pengetahuan tentang green IT yang terekam ketika proses berbagi pengetahuan terjadi, maka akan semakin tinggi pula tingkat kesadaran akan implementasi green IT. Dalam pemerintahan, kebijakan memegang peranan penting untuk menentukan arah perjalanan dan perkembangan green IT. Dengan saling berbagi pengertahuan, terciptalah budaya organisasi yang akan semakin meningkatkan kesadaran akan green IT. Semua itu tidak dapat dicapai tanpa didukung oleh infrastruktur dan kesiapan SDM. Pengadaan dan pemilihan produk IT yang tepat akan membentuk infrastruktur yang memadai. SDM yang merupakan faktor paling komplek adalah faktor yang paling menentukan karena di sinilah terjadi pertukaran pengetahuan. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam berbagi pengetahuan, semakin cepat pula kesenjangan pengetahuan dapat dikurangi. Semua berbagi pengetahuan akan menjadi sia-sia jika hanya sebatas berbagi sehingga diperlukan kebijakan tambahan agar budaya berbagi pengetahuan ini dapat terekam dan menjadi aset baru bagi organisasi di pemerintah. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini masih berupa konseptual model. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap model ini dengan menambahkan indikator yang sesuai dengan organisasi. Indikator ini akan dapat membantu pimpinan dalam mengukur tingkat kesadaran organisasi dalam implementasi green IT.

5. REFERENSI

[1] Baidya, R., & Ghosh, S. K. 2015. Analysis of Parameters for Green Computing Approach using the Analytical Hierarchy Process. Energy Economics and Environment (ICEEE). 7–10.

[2] Murugesan, S., & Gangadharan, G. R. 2012. Harnessing Green It: Principles and Practices. John Willey & Sons, United Kingdom.

[3] METI. 2008. Green IT Initiative in Japan.

http://www.meti.go.jp/english/policy/GreenITInitiativeInJapan.pdf, diakses 20 Oktober 2015 [4] Cummings, J. 2003. Knowledge sharing: a review of the literature.

http://documents.worldbank.org/curated/en/180841468339019749/Knowledge-sharing-a-review-of-the-literature, diakses 10 November 2015.

[5] Muladi, N., & Surendro, K. 2014. The Readiness Self-Assessment Model for Green IT Implementation in Organizations. International Conference of Advanced Informatics: Concept, Theory and Application (ICAICTA), 146–151.

[6] Yunus, S., Jailani, S. F. A. K., Hairuddin, H., & Kassim, E. S. 2013. Green IT Adoption Towards Environmental Sustainability: The Moderating Role of Top Management Enforcement. International Conference on Research and Innovation in Information Systems, ICRIIS. 241–244. [7] Ardito, L., & Morisio, M. 2014. Green IT - Available Data and Guidelines for Reducing Energy

(5)

[8] Environmental Protection Agency. 2009. “Frequently Asked Questions About Global Warming and Climate Change: Back to Basics.” www.epa.gov/climatechange, diakses 19 Desember 2015. [9] Unhelkar, B. 2011. Green IT Strategies and Applications: Using Environmental Intelligence. CRC

Press, Boca Raton, Florida.

[10] Carr, N. G. 2003. IT Doesn‟t Matter. Harvard Business Review. Vol 81(5): 41-49.

[11] Hendriks, P. H. J. 2004. Assessing The Role of Culture in Knowledge Sharing. In Proceedings of Fifth European Conference in Organization, Knowledge, Learning and Capabilities. University of Innsbruck, Austria, 3 April 2004.

Gambar

Gambar 1. Skema usulan implementasi green IT

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara defleksi lateral dan radial pada jenis tumpaun jepit-bebas, jepit-roll, dan jepit-jepit; sebuah

ANALISIS TINGKAT PENCEMARAN DAS CIKAPUNDUNG DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM MVSP 3.22 BERBASIS DATA MAKROBENTHOS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

karena aksesibilitas sering dikaitkan dengan daerah. Untuk membangun suatu pedesaan keberadaan prasarana dan sarana transportasi tidak dapat terpisahkan dalam suatu

Sudah menjadi Tupoksi dari Sudin Perumahan Kota Administrasi Jakarta Barat untuk melakukan upaya perbaikan dan penataan kawasan yang padat dan kumuh di Kelurahan TEGAL ALUR

Penelitian mengenai akuntabilitas seseorang terhadap kualitas pekerjaan salah satunya yang dilakukan oleh Messier dan Quilliam (1992) dalam Diani dan Ria,

yang diperoleh akan lebih rendah dari angka yang seharusnya. Karena tujuan pengumpulan data ini adalah untuk mengevaluasi koleksi,. maka tidak cukup hanya mengetahui

Pada sebuah sekolah pelayanan siswa sangatlah penting. Karena dengan pelayanan yang baik maka siswa merasa nyaman, sehingga tidak akan mengganggu proses kegiatan