BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perbanyakan Tanaman secara Kultur Jaringan 2.1.1. Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan bila diartikan ke dalam bahasa Jerman disebut Gewebe kultur atau tissue culture (Inggris) atau weefsel kweek atau weefsel cultuur (Belanda). Kultur jaringan adalah metode yang sangat diperlukan dalam perbaikan tanaman non-konvensional. Kelebihan lain dari teknik ini, jumlah perolehan tanaman baru hasil kultur jaringan ini banyak, serta lebih aman dari serangan virus dan dalam waktu relatif singkat.
Kultur jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas). Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek.
Perbanyakan tanaman dengan kultur in vitro telah banyak diusahakan secara komersial di negara maju seperti Amerika, Jepang, dan Eropa. Pemanfaatan teknologi tersebut untuk pengadaan bibit pada awalnya berdasarkan hasil percobaan Morel tahun 1960 pada anggrek Cymbidium.Dalam waktu yang singkat dari bahan tanaman yang sangat terbatas dapat dihasilkan bibit dalam jumlah yang banyak. Keberhasilan tersebut mendorong dimanfaatkannya in vitro sebagai teknologi perbanyakan yang banyak memberikan keunggulan daripada teknologi konvensional.
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Menurut George dan Sherrington (1984) dan Yusnita (2003), kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman baik berupa sel,jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut
dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Meskipun pada prinsipnya semua sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh seperti anakan atau mata tunas.
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Penggunaan kultur jaringan untuk pembiakan klonal didasarkan pada anggapan bahwa jaringan secara genetik tetap stabil jika dipisahkan dari tumbuhan induk dan ditempatkan dalam kultur. Pendapat ini sebahagian besar berlaku jika tumbuhan dibiakkan dengan kuncup ketiak atau tunas liar yang secara langsung dipisahkan dari tanaman. Walaupun demikian, apabila tunas terbentuk dari jaringan kalus, sering terjadi penyimpangan (Chaleff, 1984).
Rice et al. (1992) mengatakan bahwa kultur meristem mampu meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan, serta mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sitat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Pierik (1987) menyatakan bahwa dalam upaya perbanyakan melalui kultur jaringan untuk tujuan komersial maka jumlah bibit yang dihasilkan harus dalam jumlah banyak. Produksi bibit dalam jumlah terbatas menyebabkan biaya produksi tinggi karena teknik kultur jaringan memerlukan suatu laboratorium dengan segala perlengkapannya yang membutuhkan biaya tinggi. Dengan demikian, metode perbanyakan yang digunakan merupakan salah satu faktor yang
dapat menentukan keberhasilan baik ditinjau dari segi biaya, kestabilan genetik, dan faktor multiplikasi yang tinggi.
Pada prinsipnya kultur jaringan merupakan dua kegiatan utama: yang pertama yaitu mengisolasi atau memisahkan bagian tanaman dari tanaman induk dan yang ke dua yaitu menumbuhkan dan mengembangkan bagian tanaman tersebut di dalam media yang kondisinya steril dan mampu mendorong pertumbuhan bagian tanaman menjadi tanaman yang sempurna. Dasar dari metode tersebut adalah teori Schwan dan Schleiden yang mempunyai konsep “totipotency” (total genetic potential), yang artinya: setiap sel mempunyai potensi genetik yang menurunkan tanaman baru yang sama seperti induknya, atau setiap sel tanaman akan menjadi tanaman lengkap jika ditumbuhkan pada media yang sesuai. Perbanyakan tanaman melalui metode atau teknik kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman yang serupa dengan induknya atau tanaman yang mempunyai sifat baru dari tanman induknya. Hal ini tergantung dari tujuan dan teknik yang dilakukan. Bagian yang diisolasi dan ditumbuhkan jika berasal dari bagian vegetatif maka akan menghasilkan tanaman yang serupa dengan induknya, sedangkan jika berasal dari bagian generatif maka akan menghasilkan tanaman yang mempunyai sifat berbeda dengan tanaman induknya.
2.1.2 Sejarah Budidaya Kultur Jaringan Tumbuhan
Tokoh-tokoh yang berperan dalam sejarah dimulainya pengetahuan kultur jaringan antara lain adalah:
1. Orang yang melakukan kultur jaringan adalah Gottlieb Haberlant pada tahun 1902.
2. Tahun 1904 Hannig melakukan kultur embrio pada tanaman cruciferae. 3. Knudson berhasil mengecambahkan anggrek secara in vitro di tahun
1922, pada tahun yang sama Robbins mengkulturkan ujung akar secara in vitro.
4. Gautheret, nobecourt dan White yang menemukan auxin dan telah berhasil membudidayakan kalus pada tahun 1939.
5. Skoog dkk. telah menemukan sitokinin dan orang pertama yang sukses dalam melakukan kultur jaringan pada tahun 1939.
6. Tahun 1940 Gautheret melakukan ku.ltur jaringan kambim secara in vitro pada tanaman Ulmus untuk study pembentukan tunas adventif.
7. Tahun 1941 Penggunaan air kelapa untuk campuran media dalam kultur Datura oleh van Overbeek.
8. Pembentukan tunas adventif pertama pada kultur tembakau secara in vitro oleh Skoog pada tahun 1944.
9. Baru pada tahun 1946, tanaman lengkap pertama dapat dihasilkan dari eksplan kultur tunas ujung pada Lupinus dan Tropaeolum oleh Ball.
10. Pada tahun 1950 Ball mencoba menanam jaringan kalus tanaman Sequoia sempervirens dan dapat menghasilkan organ.
11. Muir berhasil menumbuhkan tanaman lengkap dari kultur sel tunggal pada tahun 1954.
12. Tahun 1955 Miller dkk. Menemukan kinetin yang dapat memacu pembelahan sel.
13. Produksi tanaman haploid pertama dihasilkan oleh Guha pada tahun 1964.
14. Laminar air flow digunakan pertamakali pada akhir tahun 60-an.
15. Power mencoba melakukan penyatuan (fusi) protoplas pertama kali pada tahun 1970.
16. Pada tahun 1971 tanaman lengkap dihasilkan dari eksplan protoplas oleh Takebe.
17. Untuk mendapatkan tanaman yang tahan penyakit, Larkin pada tahun 1981 mengadakan penelitian variasi somaklonal yang pertama kali.
18. Salah satu cara untuk mendapatkan kultuvar unggul adalah dengan melakukan transformasi. Transformasi sel pertama dilakukan oleh Horch pada tahun 1984.
19. Trasformasi tanaman pertama dilakukan oleh IPTC pada tahun 1986. 20. Transformasi wheat oleh Vasil pada tahun 1992.
2.1.3. Landasan Kultur Jaringan
Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari tanaman, yaitu:
1. Totipotensi
Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel. Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik.
2. Rediferensiasi
Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak (mature) kembali menjadi ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi organ baru.
3. Kompetensi
Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Cantohnya embrioagenikali kompeten cel adalah kemampuan untuk berkembang menjadi embrio funsional penuh. Sebaliknya adalah non-kompeten atau morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan.
2.1.4. Tipe-tipe Kultur Jaringan
Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya sebenarnya adalah kultur di dalam gelas. Dalam pelaksanaannya dijumpai beberapa tipe-tipe kultur, yakni:
1. Kultur biji (seed culture)
2. Kultur organ (organ culture)
Merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.
3. Kultur kalus (callus culture)
Kultur kalus merupakan kultur yang menggunakan jaringan (sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai bahan eksplannya.
4. Kultur suspensi sel (suspension culture)
Kultur suspensi sel adalah kultur yang menggunakan media cair dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem.
5. Kultur protoplasma
Eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas bagian dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
6. Kultur haploid
Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.
2.1.5. Manfaat Kultur Jaringan
Pierik (1987) menyatakan bahwa perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dikatakan berhasil bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: 1) tidak merubah sifat genetik pohon induk, 2) seleksi kuat pada bahan tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan agar bebas penyakit, 3) teknik perbanyakan yang tidak terlalu rumit, 4) kemampuan regenerasi yang tetap tinggi, dan 5) ekonomis.
Keuntungan pemanfaatan teknik kultur jaringan, seperti: 1) Pengadaan bibit tidak tergantung musim, 2) Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyakdengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam satu tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit), 3)Bibit yang dihasilkan seragam, 4)Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu), 5)Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah, 6) Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkunganlainnya.
Beberapa kelebihan dapat diambil dari aplikasi kultur jaringan sebagai sarana perbanyakan bibit unggul, di antaranya:
1. Faktor perbanyakan yang sangat tinggi (terutama pada tanaman herba). 2. Dapat dihasilkan setiap waktu tergantung kebutuhan/permintaan.
3. Dapat dihasilkan bibit yang bebas penyakit, sehingga memudahkan apabila dilakukan pertukaran antar negara.
4. Bahan tanaman yang diperlukan dari pohon induk jauh lebih sedikit dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional.
5. Tempat yang digunakan relatif lebih kecil untuk menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak.
6. Apabila eksplan (bahan tanaman yang ditanam secara kultur jaringan)sudah berhasil dibiakkan dalam botol maka untuk selanjutnya bibit dapat diproduksi secara besar-besaran.
Kultur jaringan tumbuhan sangat berperan pada beberapa bidang, seperti hortikultura, agronomi dan pemuliaan tanaman.
2.1.5.1. Hortikultura.
Kultur jaringan sudah diakui sebagai metode baru dalam perbanyakan tanaman. Tanaman yang pertama berhasil diperbanyak secara besar-besaran melalui kultur jaringan adalah tanaman anggrek, menyusul berbagai tanaman hias, sayuran, buah-buahan, pangan dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu juga saat ini telah dikembangkan tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan melalui teknik kultur jaringan. Terutama untuk tanaman yang secara ekonomi menguntungkan untuk diperbanyak melalui kultur jaringan, sudah banyak dilakukan secara industrial. Namun ada beberapa tanaman yang tidak
menguntungkan bila dikembangkan dengan kultur jaringan, misalnya: kecepatan multiplikasinya terlalu rendah, terlalu banyak langkah untuk mencapai tanaman sempurna atau terlalu tinggi tingkat penyimpangan genetik.
Dalam bidang hortikultura, kultur jaringan sangat penting untuk dilakukan terutama pada tanaman-tanaman yang:
1. Prosentase perkecambahan biji rendah.
2. Tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang tidak menunjukkan male sterility.
3. Tanaman hibrida yang mempunyai keunikan di salah satu organnya (bentuk atau warna bunga, buah, daun, batang dll).
4. Perbanyakan pohon-pohon elite dan/atau pohon untuk batang bawah.
5. Tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif, seperti: kentang, pisang, stroberry dll.
2.1.5.2. Agronomi
Kultur jaringan sangat membantu dalam usaha eliminasi patogen. Dengan metode ini dapat dipilih bagian atau sel-sel yang tidak mengandung sel-sel yang tidak mengandung patogen, terutama virus dan menumbuhkan sel-sel tersebut serta meregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap yang sehat. Secara konvensional tidak ada cara yang efektif untuk menghilangkan virus dari bahan tanaman. Kultur meristem yang disertai perlakuan temperatur 38-40oC selama beberapa waktu, dapat menghilangkan virus dari bahan tanaman. Bahan yang bebas patogen ini juga memudahkan pertukaran plasma nutfah internasional.
Seleksi tanaman merupakan kegiatan agronomi yang telah ada sejak manusia mulai membudidayakan tanaman. Pada metode konvensional, seleksi tanaman memerlukan jumlah tanaman yang banyak sekali pada lahan yang luas, dengan pemeliharaan yang intensif serta waktu yang lama. Dengan berkembangnya kultur jaringan, ditemukan hasil yang tidak terduga. Dalam kultur yang membentuk sel-sel bebas, terjadi variasi somaklonal dalam hal morfologi, produksi, pola pertumbuhan dan resistensi terhadap penyakit. Dengan media seleksi, beberapa lini-lini sel ini dapat dibedakan dari sel-sel lini yang biasa dalam beberapa petri-dish.
2.1.5.3. Pemuliaan tananaman
Dalam bidang pemuliaan tanaman yang komersial, banyak ditemui kegagalan pembentukan embrio yang viable. Kegagalan disebabkan oleh hambatan pada polinasi, pertumbuhan pollen-tube, fertilisasi dan perkembangan embrio atau endosperm. Setelah kultur protoplasma berkembang, diharapkan hambatan ini dapat dikurangi dengan metode fusi protoplasma atau injeksi organel dan sitoplasma dari sel yang satu ke sel lain.
Teknik kultur jaringan dapat diterapkan dalam bidang pemuliaan tanaman terutama untuk mempercepat pencapaian tujuan dan membantu jika cara-cara konvensional menemui rintangan alamiah. Melaui teknik kultur jaringan dapat dilakukan manipulasi sebagai berikut:
1. Manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia atau meregenerasikan jaringan tertentu dalam tanaman seperti: endosperma yang mempunyai kromosom 3n.
2. Tanaman haploid dan double haploid yang homogeneous melalui kultur anther atau mikrospora.
3. Polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang secara normal abortif.
4. Hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplasma baik intraspesifik maupun interspesifik.
5. Variasi somaklonal.
6. Transfer DNA atau organel untuk memperoleh sifat tertentu.
2.1.6. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam kultur jaringan
Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam teknik kultur jaringan (in-vitro). Faktor-faktor tersebut antaralain :
2.1.6.1. Media Kultur
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang
dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Mata rantai pertama dalam pelaksanaan kultur in vitro adalah persiapan media tanam. Dalam media diberikan berbagai garam mineral, air, gula, asam amino, zat pengatur tumbuh, pemadat media untuk pertumbuhan dan perkembangan, serta kadang-kadang arang aktif untuk mengurangi efek penghambatan dari persenyawaan polifenol (warna coklat-hitam) yang keluar akibat pelukaan jaringan pada jenis-jenis tanaman tertentu, Gula, asam amino, dan vitamin ditambahkan karena eksplan yang ditanam tidak lagi sepenuhnya hidup secara autotrof (hidup dari bahan-bahan anorganik dari alam). Dalam kultur in vitro, segmen tanaman hidup secara heterotrof (mendapat suplai bahan organik) (Gunawan, 1995).
Media kultur adalah media steril yang digunakan untuk menumbuhkan sumber bahan tanaman menjadi bibit. Media kultur terdiri dari garam anorganik, sumber energi (karbon), vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Selain itu, dapat pula ditambahkan komponen lain seperti senyawa organik dan senyawa kompleks lainnya. 2.1.6.2. Bahan Tanaman (eksplan)
Eksplan adalah sisik (scale) yang diisolasi dari umbi dewasa. Eksplan merupakan bagian tanaman yang akan dikulturkan. Eksplan dapat berasal dari meristem, tunas, batang, anter, daun, embrio, hipokotil, biji, rhizome, bulbil, akar atau bagian-bagian lain. Ukuran eksplan yang digunakan bervariasi dari ukuran mikroskopik (±0,1 mm) sampai 5 cm. Jenis eksplan akan mempengaruhi morfogenesis suatu kultur in-vitro (Wattimena et.al., 1992)
2.1.6.3.. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan kultur jaringan antara lain pH, kelembaban, cahaya dan temperatur. Faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan diferensiasi. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit, yaitu 5,0 - 6,0. Bila ekspian mulai tumbuh, pH dalam kultur umumnya akan naik apabila nutrien habis terpakai. Senyawa phospat dalam media kultur mempunyai peran yang penting dalam menstabilkan pH. Pengukuran pH dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter atau dengan
kertas pH, Bila pH medium rnasih kurang dari normal dapat ditambahkan KOH, sedangkan apabila pH-nya melampui batas normal maka dapat dinetralkan dengan HCL.
Beberapa kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu dan fase-fase gas mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam kultur in vivo, karena faktor-faktor tersebut diduga mempunyai pengaruh yang penting pada bagian tanaman dalam mikropropagasi. Mikropropagasi adalah penggunaan eksplan atau organ tumbuhan untuk tujuan percambahan/pengklonan anak benih menggunakan teknik kultur tisu.
2.1.6.3. Zat Pengatur Tumbuh
Dalam kultur jaringan sangat diperlukan zat pengatur tumbuh untuk merangsang pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ (Gunawan, 1987). Zat pengatur tumbuh pada kultur jaringan dibedakan menjadi dua golongan, yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis kultur sel, organ, dan jaringan. Jika konsentrasi auksin lebih besar daripada sitokinin maka kalus akan tumbuh, dan bila konsentrasi sitokinin lebih besar dibanding auksin maka tunas akan tumbuh (Gunawan,1987).
Pemberian zat pengatur tumbuh tanaman untuk pertumbuhan akar, tunas, batang dan bunga membutuhkan konsentrasi optimum. Konsentrasi yang lebih rendah dari optimum kurang efektif, tetapi lebih dari optimum akan menghambat bahkan bila berlebihan akan mematikan. Dengan berkembangnya pengetahuan biokimia dan dengan majunya industri kimia maka ditemukan banyak senyawa-senya-wa yang mempunyai pengaruh fisiologis yang serupa dengan hormon tanaman. Senyawa-senyawa sintetik ini pada umumnya dikenal dengan nama zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT = Plant Growth Regulator). Tentang senyawa hormon tanaman dan zat pengatur tumbuh, Moore (2) mencirikannya sebagai berikut:
1. Fitohormon atau hormon tanaman ada-lah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (< ImM) yang disintesis pada bagian tertentu, pada umumnya ditranslokasikan kebagian lain tanaman dimana senyawa tersebut, menghasilkan suatu tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis.
2. Zat Pengatur Tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam kon-sentrasi rendah (< 1 mM) mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkem-bangan tanaman.
3. Inhibitor adalah senyawa organik yang menghambat pertumbuhan secara umum dan tidak ada selang konsentrasi yang dapat mendorong pertumbuhan. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah sitokinin dan auksin. Sitokinin yang biasa digunakan 6-Benzil Amino Purin (BAP) dan kinetin, sedang auksin yang digunakan adalah IAA, NAA dan IB A. Zat pengatur
tumbuh ini diperlukan untuk pertumbuhan eksplan. Menurut Hendaryono dan Wijayanti (1994) pembentukan kalus, jaringan kuncup dan jaringan akar ditentukan oleh penggunaan zat pengatur tumbuh yang tepat baik macam maupun konsentrasinya.
Penggunaan hormon tumbuh diperlukan untuk pengembangan dan penumbuhan planlet, namun produksi in vivo hormon tersebut belum cukup sehingga perlu penambahan ZPT ke dalam media kultur.
Menurut Suryowinoto (1996), penggunaan kombinasi beberapa ZPT akan mempercepat dan meningkatkan hasil induksi tunas daun dalam kultur. Pierik (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan kalus tidak terlepas dari media tanam yang dilengkapi dengan unsur-unsur hara dan zat pengatur tumbuh. 2.3. Zat Pengatur Tumbuh BAP
BAP adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang berperan anjara lain dalam pembelahan sel dan morfogenesis sedangkan NAA adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang mampu mengatur berbagai proses pertumbuhan dan pemanjangan sel (George dan Sherrington, 1984).
Menurut Heddy (1986), hormon pengatur tumbuh BAP, walaupun dengan konsentrasi rendah, dapat mengatur proses fisiologis tumbuhan. Hal ini disebabkan hormon pengatur tumbuh dipengaruhi oleh asam nukleat sehingga langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim. Menurut Kusumo (1984), zat pengatur tumbuh sitokinin berperanan dalam pembelahan sel dan morfogenesis, sedang auksin berperanan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel. Pemanjangan sel, pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan
pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembetukan kalus dan selanjutnya diikuti pembentukan tunas.
2.1.7. Kultur Jaringan Skala Rumah Tangga
Kultur jaringan ini dapat dilakukan diluar laboratorium dalam hal ini dapat dilakukan di rumah kita sendiri dengan biaya yang tidak mahal, orang awam pun dapat melakukannya setelah mengikuti pelatihan-pelatihan kultur jaringan ini. Kebanyakan kendala pengusahaan ini terdapat dalam proses sterilisasi. Sering didapatkan eksplan sudah kelihatan tumbuh tetapi masih terkontaminasi bakteri.
Proses sterilisasi eksplan sebelum ditanam, misalkan pada batang yang bermata tunas, potongan batang bermata tunas dicuci dengan air mengalir dan deterjen. Kemudian di-shaker dalam larutan fungisida dan dibilas dengan air stern. Dilanjutkan direndam larutan fungisida, dibilas air stern sampai bersih. Ketiga langkah itu dilakukan masing-masing 30 menit. Terakhir direndam dalam larutan alkohol 70% sambil digoyang dan dibilas 5 kali dengan air.
Proses kultur jaringan skala rumah tangga mengapa dikatakan lebih murah karena bisa menggunakan peralatan yang terjangkau. Semisal Laminar air flow, semacam kotak stern, bisa diganti dengan incase yang bisa dipesan pada tukang kaca. Autoclaf bisa diganti dengan panci presto, asalkan suhunya bisa melebihi 100 °C. Penggunaan media padat tak perlu mesin shaker. Kalau menggunakan media beli jadi, tak perlu timbangan dan alat ukur. Perlengkapan botol juga bisa diganti. Namun perlu ruang sejuk untuk menyimpan kultur yang sudah diisolasi. Bagi pemula bisa memanfaatkan kamar ber-AC. Proses kerja dasar kultur jaringan tumbuhan skal rumah tangga ini bisa dipelajari hanya dalam satu hari, selebihnya lewat praktik langsung.
Tahapan kultur jaringan tumbuhan skala rumah tangga secara singkat sebagai berikut:
1. Media masak masuk botol, dimasukkan ke autoclaf selama 1 jam. Pastikan steril sampai 3 hari.
2. Alat yang hendak digunakan disterilisasi dulu dalam autoclaf.
3. Sterilisasi alat, kalau menggunakan laminar, letakkan dalam laminar tertutup dan lampu UV menyala sejam.
5. Bahan dan alat disemprot alkohol.
6. Memotong bahan eksplan dari induk yang sehat.
7. Sterilisasi dan pemotongan eksplan diluar dan di dalam alat kerja (laminar atau in case).
8. Eksplan ditanam, gunakan pinset yang telah dibakar api bunsan dan
dicelup air steril. Mulut botol juga dibakar api bunsan. 9. Botol diletakkan di ruangan steril bersuhu sejuk sampai siap dimultifikasi
lewat jalan stek mikro.
4. Penggunaan Metode Translog (regresi logistik)
Faktor-faktor yang mempengeruhi eksistensi pengusahaan kultur jaringan Skala Rumah Tangga akan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logistik. Hosmer dan Lemeshow dalam Saphira (2003) mendefinisikan metode regresi logistik adalah suatu metode analisis statistika yang mendeskripsikan hubungan antara peubah respons yang memiliki dua kategori atau lebih dengan satu atau lebih peubah bebas berskala kategori atau interval. ). Regresi logistik biner (binary logistik regression) digunakan untuk melihat pengaruh sejumlah variabel independen X1,X2,…,Xk terhadap variabel dependent Y.
Penggunaan metode regresi logistik ini merupakan analisis kualitatif untuk mendukung analisis secara deskriptif . Pada dasarnya, pemanfaatan regresi logistik sudah banyak digunakan untuk menganalisis prilaku konsumen, perusahaan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan metode regresi logistik dalam penelitian mengenai pengambilan keputusan dalam hal pengusahaan kultur jaringan belum banyak dilakukan, akan tetapi banyak penelitian sejenis hanya berbeda produk maupun bidang yang di jadikan penelitian. Penellitian sejenis yang menggunakan metode ini antara lain Analisis Manfaat dan Faktor-aktor yang Mempengaruhi “Keputusan Petani terhadap Pelaksanaan Kemitraan Lettuce di PT Saung Mirwan”, “Analisis Karakteristik Konsumen Juice Belimbing Picco” dsb. Namun aplikasi metode regresi logistik untuk analisis karakteristik pelaku usaha kultur jaringan skala rumah tangga relatif sedikit.