i
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU
PENCURIAN
PRATIMA
OLEH :
I PUTU YOGA SURYA PRATAMA
NPM. 1310121174
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WARMADEWA
DENPASAR
2017
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU
PENCURIAN PRATIMA
ii
OLEH :
I PUTU YOGA SURYA PRATAMA
NPM. 13 101 21 174
Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa
iii
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL, ………..
PEMBIMBING I
I Made Budiyasa, SH. MH NIK. 230330018
PEMBIMBING II
Ni Made Sukaryati Karma, SH. MH NIK. 230330129
MENGETAHUI : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA
DEKAN,
DR. I NYOMAN. PUTU BUDIARTHA, SH., MH NIP. 19591231 199203 1 007
iv
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana Hukum) di batalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 10 Maret 2017
I PUTU YOGA SURYA PRATAMA
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sembahkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmatnya, sehingga penulis berhasil menyusun Skripsi berjudul
“SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN PRATIMA”. Penulisan skripsi
ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Tujuan dari penulisan skripsi ini tidak lain merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa
Pada kesempatan ini, dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sudah sepatutnya pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Dewa Putu Widjana, DA&E.,SP. Par.k. Rektor Universitas
Warmadewa Denpasar, Bali
2. Bapak Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH.,MH. Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali
3. Ibu Ida Ayu Putu Widiati, SH., MH. Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali
4. Bapak I Ketut Sukadana, SH.,MH. Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali
5. Bapak I Made Budiyasa, SH., MH selaku dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan saran-saran sehingga terselesaikan penulisan skripsi ini.
6. Ibu Ni Made Sukaryati Karma, SH.,MH. selaku dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan saran-saran sehingga terselesaikan penulisan skripsi ini.
vi
8. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan dan membagi ilmu pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali
9. Bapak /Ibu Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah melayani keperluan-keperluan penulis selama berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.
10. Terima kasih saya ucapkan kepada pacar saya I Gusti Ayu Mirah Dewi Savitri yang telah membantu, memberikan motivasi, dorongan dan kasih sayang sehingga skripsi ini telah selesai.
11. Seluruh sahabat AKA 10 dan rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu dan memberikan petunjuk-petunjuk guna keperluan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
12. Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sangat pribadi penulis kepada kedua Orangtua, Ayahanda I Wayan Sudirta, SH. MH dan Ibunda Ni Kadek Sutirini, Ssos, dan Adik Saya atas dorongan, pengertian, dan kasih sayang yang dalam.
Penulis menyadari bahwa apa yang tersusun dalam skripsi ini jauh dari apa yang diharapkan secara ilmiah, disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman, maka dari itu segala kritik dan saran maupun bimbingan serta petunjuk-petunjuk sangat saya harapkan dalam usaha penyempurnaan skripsi ini.
Denpasar, 10 Maret 2017
I Putu Yoga Surya Pratama
vii
Pencurian merupakan jenis kejahatan dan juga masalah sosial masyarakat, yang tidak hanya menjadi masalah masyarakat di Pulau Balimelainkan juga menjadi masalah regional. Pencurian adalah barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Pratima adalah bagian dari suatu bentuk, gambar, maupun rupa dimana menggambarkan dewa untuk menunjukkan kemahakuasaan Beliau Tuhan Yang Maha Esa, dimana Pratima itu sendiri juga dapat dikategorikan sebagai suatu barang.Seperti pada kasus pencurian Pratima tahun 2012 menggemparkan masyarakat Bali. Yang salah satunya terjadi di Pura Penataran Pande Peringalot yang tepatnya terletak di Kabupaten Karangasem. Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada si pelaku pencurian pratima ini yaitu di kenakan sanksi pidana pencurian pasal 363 ayat 1 ke 4e dan 53 KUHP dengan tuntutan 7 tahun penjara. Dalam penjatuhan putusan tentang tindak pidana pelaku pencurian benda suci (pratima) di Bali agar memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat Hindhu sebaiknya para hakim harus bisa menggali hukum adat yang hidup dan dipercayai oleh masyarakat tersebut dan dibuatnya sebuah Perda tentang pencurian benda suci(pratima) di Bali, agar dalam menjatuhkan putusan hakim mempunyai dasar hukumnya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencurian pratima didasari dengan alat bukti yang dapat dihadirkan di dalam persidangan. Alat bukti yang dihadirkan di dalam persidangan harus saling berkaitan antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut bertujuan supaya Hakim dapat membuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut sebab apabila alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan sama sekali tidak berkaitan dengan perkara yang disidangkan maka dapat menyebabkan ketidak yakinan terhadap petimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana.
Kata kunci : pencurian, pratima, hukum pidana
Abstract
Theft is a type of crime and also a social problem of society, which is not only a problem of society in Bali island but also a regional problem. Theft is anyone who takes anything, wholly or partly belongs to another person, with the intent to possess unlawfully, is threatened with theft, with a maximum imprisonment of five years or a
viii
fine of up to nine hundred rupiah. Pratima is part of a form, image, or likeness that depicts god to show the omnipotence of God Almighty, where Pratima itself can also be categorized as a good. As in the case of Pratima theft in 2012 stir the Balinese people. One of them happened at Penataran Pande Peringalot temple which is located in Karangasem Regency. Criminal sanctions imposed by the judge to the perpetrator of this theft of pratima is subject to theft criminal sanctions of articles 363 verses 1 to 4e and 53 of the Criminal Code with a demand of 7 years in prison. In the judgment of the criminal act of the theft perpetrators of a sacred object (pratima) in Bali in order to fulfill the sense of justice to the Hindu community, the judges should be able to explore the customary law that is alive and believed by the community and made a law on the theft of sacred objects (pratima) in Bali, In order to pass judgment, the judge has a legal basis. The judge's consideration in imposing criminal sanctions on the perpetrators of pratima theft is based on evidence that can be presented in the court. The evidence presented in the trial must be mutually related to each other. It is intended that the Judge can prove that the defendant committed the criminal act because if the evidence presented in the hearing is not related to the case at trial, it can cause uncertainty on the judge's judgment in imposing a criminal verdict.
Key words : Theft, pratima, criminal law
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... ix BAB I PENDAHULUAN
ix
1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6 1.3. Tujuan Penelitian ... 6 1.3.1. Tujuan Umum ... 6 1.3.2. Tujuan Khusus ... 7 1.4. Kegunaan Penelitian ... 7 1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 7 1.4.2. Kegunaan Praktis ... 8 1.5. Tinjauan Pustaka ... 8 1.6. Metode Penelitian ... 14
1.6.1. Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah ... 14
1.6.2. Sumber Bahan Hukum ... 14
1.6.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 15
1.6.4. Analisis Bahan Hukum ... 15
BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN PRATIMA ... 17
2.1. Pengertian Pencurian ... 17
2.2. Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Pratima ... 29
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA ... 38
3.1. Tujuan Pemidanaan ... 38
3.2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana ... 42
3.3. Pandangan masyarakat adat Bali terhadap putusan pengadilan pencurian pratima ... 53
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 56
4.1. Simpulan ... 56
4.2. Saran ... 57 DAFTAR BACAAN ... DAFTAR INFORMAN ...
1
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah
Pulau Bali dengan adat istiadat dan budayanya yang begitu kental yang menjadikan Bali begitu terkenal diseluruh dunia sehingga Pulau Bali menjadi daerah tujuan wisata dunia. Kehidupan masyarakatnya sesuai dengan sistem budaya yang berkaitan erat dengan nilai–nilai yang terkandung di dalam ajaran agama Hindu atau yang bersifat religious. Bersamaan dengan itu hukum adat yang ada yang hidup dan masih diakui keberadaannya oleh masyarakat, sehingga adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Pelaksanaan upacara keagamaan di Pulau Bali seperti misalnya menjelang hari raya nyepi yang datangnya setahun sekali, umat Hindu di PulauBali melaksanakan upacara yang dikenal dengan nama “melasti” yang prosesi pelaksanaanya pada umumnya dilaksanakan di pantai–pantai di Bali. Dalam proses tersebut Pratima atau benda suci keagamaan umat Hindu disucikan kembali dengan berbagi banten atau sesajen. Proses ritual seperti ini tidak saja dapat disaksikan oleh warga masyarakatBali sendiri, tetapi juga oleh masyarakat Sedesa lainnya terlibat langsung dalam prosesi ritual tersebut. Proses ritual tersebut juga menjadi tontonan menarik bagi para wisatawan asing yang berlibur di Bali, untuk dapat lebih mengenal seni dan budaya serta tradisi adat yang menjadi keunikan
2
yang dimiliki oleh masyarakat di pulau bali, sehingga Pulau Bali bisa terkenal ke seluruh dunia.
Benda –benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu baru dapat disebut dengan “benda suci” yang juga sebagai stana(pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa(Tuhan).1Benda suci keagamaan umat Hindu yang ada di masing-masing Pura dengan berbagai macam bentuknya yang berupa patung–patung, yang oleh masyarakat agama Hindu di Bali dikenal dengan sebutan“Pratima”, sehingga yang di maksud dengan Pratima
disini adalah jika ditelusur secara etimologi, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya gambar atau rupa, bentuk, manifestasi dari perwujudan Dewa, atau disebut juga denganMurti danVigraha.2
Melalui Pratima yang menggambarkan Dewa dari berbagai bentuk, gambar, maupun rupa dengan beberapa kepala, lengan, mata atau dengan fiturhewan tidak dimaksudkan untuk menjadi perwakilan dari bentuk duniawi, melainkan dimaksudkan untuk menunjuk kepada kemahakuasaan Beliau. Umumnya Pratima berfungsi sebagai wahana Tuhan yang tak terbatas dan mengambil bentuk terbatas serta memanifestasikan wujud Dewa ketika dijalankan serta diyakini untuk hadir pada wujud, rupa, ataupun bentuk pada Pratima.
1I Made Widnyana, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, PT.FikahatiAneska, Jakarta, hal.126.
3
Pratima atau benda suci tersebut terdiri dari berbagai macam bentuk yang unik serta mengandung nilai sakral dan estetika yang tinggi, di samping itu pula di dalam wujud Pratima atau benda suci itu sendiri dihiasi dengan berbagi macam batu permata ataupun batu alamyang sudah tentu bernilai cukup mahal serta dihiasi pula dengan emas dan perak disetiap ornamennya, Pratima disatu Pura dengan Purayang lain tentunya berbeda–beda bentuk dan rupanya, adapun jenis–jenis Pratima atau benda suci tersebut biasanya dapat berupa patung singa bersayap, patung dewa dewi, patung naga dan masih banyak lagi bentuk –bentuk lain yang tentunya memiliki nilai magisyang sungguh luar biasa, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi setiap orang yang menyaksikan perwujudan Pratima atau benda suci tersebut menimbulkan suatu keinginan untuk berbuat kriminal dengan cara mencuri agar dapat memiliki dan dijadikan koleksi atau pun bisa untuk diperjual belikan nantinya.
Pratima atau benda suci memiliki nilai ekonomis tinggi yang disebabkan oleh karena umur Pratima atau benda suci tersebut bisa mencapai hingga puluhan tahun dan bahan–bahan yang menghiasi perwujudan Pratima atau benda suci tersebut tergolong mahal seperti yang telah disampaikan sebelumnya, sehingga ada keinginan bagi orang–orang tertentu ingin berbuat jahat atau berbuat criminal. Banyaknya tindakan kriminal yang sering terjadi belakangan ini mengundang banyak pertanyaan, seperti mengapa, apa, bagaimana, dari modus tindakan kriminal yang terjadi. Salah satunya adalah
4
tindakan kriminal pencurian. Banyak modus operandi dalam pencurian, seperti pencurian di pekarangan orang di malam hari, atau pencurian yang dilakukan dengan kekerasan, dan pencurian biasa. Tapi ada hal yang menarik dari tindak pidana pencurian ketika objek dari pencurian tersebut adalah Benda yang disakralkan. Di Bali terdapat banyak benda sakral seperti keris, uang logam (Pis Kepeng),
pratima. Salah satu benda yang disakralkan tersebut adalah Pratima. Pratima (patung yang disucikan) merupakan tergolong benda yang disakralkan oleh masyarakat Hindu Bali sebagai sarana (media) pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa berserta manifestasi Beliau.3
Dimana tentunya suatu perbuatan kriminal atau yang dalam hal ini mencuri merupakan perbuatan yang dilarang oleh setiap agama maupun Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) serta melanggar nilai–nilai maupun norma–norma yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat.
Dalam pandangan Hukum Pidana Formal ini merupakan kejadian kriminal biasa yang sudah diatur dan tertera dalam KUHP, tetapi dalam pandangan Hukum Pidana Adat yang merupakan hukum asli masyarakat, ini merupakan tindakan kriminal yang sudah merusak keseimbangan dalam masyarakat, sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan kosmis di masyarakat.4
3I Ketut Sandika, 2011, Pratima Bukan Berhala, Paramita, Surabaya, hal.2.
5
Berdasarkan salah satu pasal yang tercantum , yaitu Pasal 362 KUHP tentang pencurian yaitu :
“Barangsiapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki secaramelawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.
Hukum pidana merupakan sarana yang paling penting dalam penanggulangan kejahatan secara preventif yaitu dengan mencegah terjadi atau timbulnya kejahatan maupun secara represif yaitu adanya upaya yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan, karena dengan upaya penanggulangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, diharapkan mampu mencegah dan mengurangi tindak pidana pencurian khususnya pencurian Pratima atau benda suci yang terbilang sangat meresahkan masyarakat di Pulau Bali.
Pencurian merupakan jenis kejahatan dan juga masalah sosial masyarakat, yang tidak hanya menjadi masalah masyarakat di Pulau Bali melainkan juga menjadi masalah regional. Pencurian Pratima atau benda suci yang terjadi di Pulau Bali kerap meresahkan masyarakat sehingga menjadi isu yang menarik untuk dibahas,dan juga yang menjadi masalah besar masyarakat Bali. Seperti pada kasus pencurian Pratima tahun 2012 menggemparkan masyarakat Bali. Yang salah satunya terjadi di Pura Penataran Pande Peringalot yang tepatnya terletak di Kabupaten Karangasem, pencurian pratima (benda sacral milik pura) ini dilakukan tidak seorang diri melainkan berjumlah 3
6
orang dan dituntut dengan pasal 363 ayat 1 ke 4e dan 5e KUHP dengan hukuman 7 tahun penjara.5
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan oleh penulis, maka penulis tertarik untuk mengkajilebih jauh mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan sehinggapenulis memilih judul “sanski pidana terhadap pelaku pencurian pratima”.
2. Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka timbul beberapa permasalahan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian pratima?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencurian pratima?
3. Tujuan Penelitian
3.1 Tujuan Umum
Secara Umum penelitian ini bertujuan dalam rangka untuk menganalisis suatu aspek pidana dalam tindak pidana korupsi dan antara lain :
1. Merupakan suatu syarat wajib dalam menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi Khususnya Fakultas Hukum Warmadewa Denpasar
7
2. Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum,
3. Sebagai persyaratan akhir untuk melatih mahasiswa/I dalam memecahkan masalah Hukum dan untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi Khususnya dalam bidang penelitian .
3.2 Tujuan Khusus
Tujuan Khusus yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu :
1. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku pencurian pratima
2. Untuk mengetaui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencurian
pratima.
4. Kegunaan Penelitian
Studi ini diharapkan sekurang-kurangnya dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis : Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan ilmu hukum pidana terutama mengenai konsep-konsep hukum maupun teori hukum yang berkaitan dengan penerapan sanksi
8
pidana terhadap pelaku pencurian benda sakral (Pratima).
2. Secara praktis : Bagi pembentuk Undang-Undang dan Penegak Hukum diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana nasional yang mendatang dengan mengangkat nilai-nilai budaya atau hukum adat yang berkembang di Indonesia serta memberikan pengetahuan bagi Hakim dalam menentukan sanksi pidana terhadap kasus pencurian benda sakral (Pratima) untuk mencapai rasa keadilan masyarakat adat Bali.
5. Tinjauan Pustaka
Di Negara hukum seperti di Indonesia sangat patuh akan peraturan dikarenakan adanya sanksi apabila seseorang melanggar peraturan. Sanksi Pidana tersebut adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk
9
merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.
Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu, sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.6
Jenis-jenis Pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pidana terdiri atas: A. Pidana Pokok
1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda;
5. pidana tutupan.( UU No.20/1946 ) B. Pidana Tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.
6
Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 81
10
Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, tujuan diadakannya pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dasar hukum dari pidana. bahwa Dalam konteks dikatakan Hugo De Groot “malim pasisionis propter malum actionis” yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. Berdasarkan pendapat tersebut, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolute dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut.
Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diberikan pelaku tindak pidana.7
7
11
Kata pencurian sudah tidak asing lagi terdengar, namun kata pencurian kalau dilihat dari kamus hukum mengandung pengertian bahwa mengambil milikorang lain tanpa izin atau dengan cara yang tidak sah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.8 Sedangkan pencurian yang ditinjau menurut hukum beserta unsur –unsurnya yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah
“Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun atau denda paling banyak Rp.900,00 ”.
Apabila dirinci rumusan pengertian pencurian yang tercantum pada Pasal 362 KUHP diatas maka terdiri atas unsur – unsur yaitu :
a. Unsur Obyektif
1. Perbuatan mengambil. 2. Barang.
3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain. b. Unsur Subyektif
1. Adanya maksud. 2. Untuk memiliki.
3. Dengan melawan hukum.9
Unsur kesalahan yang berbentuk sengaja tersirat pada kata – kata “mengambil ” yang dipertegas lagi oleh kata – kata “ dengan maksud
8Dzulkifli Umar, Dan Utsman Handoyo, 2014, Kamus Hukum Dictionary Of Law Complete
Edition, Mahirsindo Utama, Jakarta, hal 312.
9S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Gunung Mulia, Jakarta, hal. 590.
12
untuk memiliki ”, kata dengan maksud befungsi ganda, yaitu di satu pihak menguatkan unsur sengaja pada delik ini dan di lain pihak berperan untuk menonjolkan peran sebagai tujuan dari pelaku. Seseorang yang bermaksud untuk melakukan sesuatu,tidak ayal lagi bahwa sesungguhnya dalam dirinya pun mempunyai kehendak untuk melakukan sesuatu itu. Mempunyai kehendak berarti ada kesengajaan. Adapun yang dimaksud dengan barang pada delik ini pada dasarnya adalah setiap benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomi, karena jika tidak ada nilai ekonominya sukar dapat diterima akal bahwa seseorang akan membentuk kehendak mengambil sesuatu itu sedang diketahuinya bahwa yang akan diambil itu tiada nilai ekonominya. Untuk itu dapat di ketahui pula bahwa tindakan itu adalah bersifat melawan hukum. Jadi adapun barang yang menjadi obyek dari delik ini adalah seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, Ini berarti bahwa sebagian adalah kepunyaan si pelaku itu sendiri, jika si pemilik mengambil kepunyaan sendiri tentunya tidak ada persoalan pencurian, yang menjadi masalah disini ialah bagian lain yang merupakan kepunyaan orang lain itu. Jadi betapa besar peranan tindakan mengambil itu, yang tanpa itu tidak mungkin terjadi pencurian. Jadi suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur – unsur tersebut diatas.
Pencurian pratima saat ini sangat banyak terjadi terutama di pulau Dewata Bali. Pratima sendiri jika ditelusur secara etimologi, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya gambar atau rupa, bentuk, manifestasi dari perwujudan dewa, atau disebut juga dengan Murti dan Vigraha.
13
Melalui Pratima yang menggambarkan dewa dari berbagai bentuk, gambar, maupun rupa dengan beberapa kepala, lengan, mata atau dengan fitur hewan tidak dimaksudkan untuk menjadi perwakilan dari bentuk duniawi, melainkan dimaksudkan untuk menunjuk kepada kemahakuasaan Beliau. Umumnya Pratima berfungsi sebagai wahana Tuhan yang tak terbatas dan mengambil bentuk terbatas serta memanifestasikan wujud dewa ketika dijalankan serta diyakini untuk hadir pada wujud, rupa, ataupun bentuk pada Pratima.10 Pratima adalah bagian dari suatu bentuk, gambar, maupun rupa dimana menggambarkan dewa
untuk menunjukkan kemahakuasaan Beliau Tuhan Yang Maha Esa, dimana Pratima itu sendiri juga dapat dikategorikan sebagai suatu barang, yang kalau ditelusuri ke dalam pengertian suatu benda secara yuridis, jadi yang dimaksud oleh delik ini yaitu Pasal 362 KUHP, yang pada dasarnya adalah menyebutkan setiap benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomis.11 Sudah barang tentu karena jika tidak ada nilai ekonomisnya, sukar dapat diterima akal sehat seseorang akan membentuk kehendak untuk mengambil sesuatu itu sedangkan yang ia ketahui benda tersebut yang ia ambil tidak memiliki nilai ekonomis. Sedangkan yang dimaksud dengan benda suci adalah benda – benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana ( pralingga )Sang Hyang Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat – alat di dalam upacara keagamaan.
10
Bali Post, 2012, Budaya “mekemit” http://www.balipost.co.id. 11 S.R. Sianturi, 1983, op. cit. hal 593.
14
6. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum merupakan prosedur atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien dan pada umumnya sudah mempola untuk mengumpulkan, menganalisis , mengolah , data dalam rangka menjawab masalah yang diteliti secara benar.
6.1 Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah
Tipe penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif, yaitu dengan cara pengkajian suatu masalah berdasarkan buku-buku, majalah, surat kabar yang relevan dengan permasalahan yang diangkat. Sedangkan pendekatan masalahnya menggunakan pendekatan perundang-undangan secara konseptual, pendekatan konseptual maksudnya mengacu pada asas-asas konsep ataupun teori yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.
6.2 Sumber Bahan Hukum
Bahan Hukum yang digunakan adalah berasal dari bahan hukum sekunder ( bahan kepustakaan ) ,yaitu bahan yang sudah diolah berupa dokumen-dokumen yang di peroleh saat melakukan penelitian kepustakaan,Data Sekunder tersebut terdiri dari :
15
a. Bahan Hukum Primer ,yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat bagi setia individu atau masyarakat,baik yang berasal peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi pengadilan antara lain : 1. UUD 1945
2. KUHP
b. Bahan Hukun Sekunder,yaitu Bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat mebantu menganalisa,memahamidan menjelaskan bahan hukum primer,antara lain : buku-buku ,hasil penelitian,hasil seminar,media cetak,dan elektronik.
6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penyusunan pengumpulan bahan hukum ini metode yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum adalah dengan metode pencatatan yaitu dengan mengutip pasal-pasal yang berkaitan dengan kasus/fakta hukum yang dibahas, serta membaca literature-literatur yang berkaitan dan mengutip hal-hal yang dianggap penting untuk dibahas.
6.4 Analisis Bahan Hukum
Dalam mengolah dan Menganalisis bahan hukum, penulis menggunakan metode penafsiran hukum terhadap
16
aturan undang-undang sehubungan dengan kasus yang dibahas serta metode argumentasi hukum/ pendapat hukum yang kemudian di susun secara deskriptif analis.
17
BAB II
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN PRATIMA
2.1 Pengertian pencurian
Pengertian pencuri secara singkat adalah seseorang yang melakukan tindakan dalam pencurian. Pengertian pencuri dalam kamus hukum memang tidak tertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang milik orang lain tanpa izin atau dengan cara yang tidak sah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.12 Menurut pendapat penulis pencurian adalah pengambilan barang atau properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemiliknya yang dilakukan oleh seorang pencuri. Secara garis besar, pencuri adalah orang yang melakukan perbuatan pencurian.Dari segi bahasa (etimologi) pencurian berasal dari kata curi yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an. Kata curi sendiri artinya mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Pencurian dalam Kamus Hukum adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi.13
Menurut pasal 362 KUHP pencurian adalah:
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
12M. Marwan & Jimmy P, 2009, Kamus Hukum (Dictionary Of Law Complete Edition), Cetakan ke-I,Reality Publisher, Surabaya, hal. 499.
18
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Adapun macam-macam Tindak Pidana Pencurian yaitu sebagai berikut :
Pencurian diklasifikasikan ke dalam kejahatan terhadap harta kekayaan yang terdapat pada buku ke-2 KUHP yang diatur mulai pasal 362 sampai dengan pasal 367 KUHP. Delik pencurian terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu:
a. Pencurian Biasa
Istilah pencurian biasa digunakan oleh beberapa pakar hukum pidana untuk menunjuk pengertian pencurian dalam arti pokok. Pencurian biasa diatur dalam pasal 362 KUHP. Berdasarkan pasal tersebut maka unsur-unsur pencurian ringan adalah:
1. mengambil; 2. suatu barang;
3. yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain;
4. dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.14
b. Pencurian Ringan
Pencurian ringan (gepriviligeerde diefstal) dimuat dalam pasal 364 KUHP yang rumusanya sebagai berikut:
14Wiryono Prodjodikoro, , 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama ,Bandung, hal. 14.
19
Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan 363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada kediamanya,jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp.250,00 diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.900,00.
Jadi ada tiga kemungkinan terjadi pencurian ringan, yaitu apabila:
1. Pencurian biasa sebagaimana diatur dalam pasal 362, ditambah adanya unsur yang meringankan yakni nilai benda yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250,00.
2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu ditambah unsur nilai objeknya tidak lebih dari Rp. 250,00.
3. Pencurian yang dilakukan dengan cara masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan: membongkar, merusak, memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakai jabatan palsu, ditambah nilai benda yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250,00.15
15Adami Chazawi, 2006, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia Publishing,Malang, hal. 40.
20
c. Pencurian dalam Kalangan Keluarga
Pencurian dalam kalangan keluarga diatur dalam pasal 367 KUHP, yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Jika petindak atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami atau istri dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap petindak atau pembantunya tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
2. Jika dia adalah suami atau isteri yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, atau dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun dalam garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
3. Jika menurut lembaga matriarchal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandungnya, maka ketentuan ayat diatas berlaku juga bagi orang itu.
d. Pencurian yang diperberat
Pencurian dalam bentuk diperberat (gequalificeerde dieftal) adalah bentuk pencurian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 362 (bentuk pokoknya) bitambah unsur-unsur
21
lain, baik yang objektif maupun subjektif, yang bersifat memberatkan pencurian itu, dan oleh karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pencurian bentuk pokoknya.26 Pencurian dalam bentuk yang diperberat diatur dalam pasal 363 dan 365 KUHP. Bentuk pencurian yang diperberat pertama ialah:
1. Pasal 363 KUHP
Pasal 363 KUHP merumuskan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun
1. Pencuri ternak;
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kreta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3. Pencurian pada waktu malam dalam suatu tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada tempat kediamanya, yang dilakukan oleh orang yang ada disini tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. Pencurian yang dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu;
22
5. Pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan, atau masuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal tersebut dalam butir 4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun.
2. Pasal 365 KUHP
Bentuk pencurian yang diperberat kedua ialah yang diatur dalam pasal 365 KUHP yang dikenal dengan pencurian kekerasan yang rumusannya sebagai berikut:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainya,atau untuk tetap menguasai benda yang dicurinya.
23
2. Diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun:
ke 1. jika pencurian itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada tempat kediamanya, dijalan umum atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
ke 2. jika pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
ke 3. jika masuknya ke tempat melakukan pencurian itu dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu;
ke 4. jika pencurian itu mengakibatkan luka berat.
3. Jika pencurian itu mengakibatkan matinya orang, maka dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.
4. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika pencurian itu mengakibatkan luka berat atau kematian
24
dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu dan disertai pula oleh salah satu hal yng diterangkan dalam butir 1 dan butir 3. Unsur-unsur Tindak Pencurian
1. Unsur-Unsur Objektif
a. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan mengambil barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain.16
Mengambil adalah suatu tingkah laku positif atau perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkanya ke tempat lain atau kedalam kekuasaanya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu kedalam kekuasaanya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat
25
dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut kedalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Kekuasaan benda apabila belum nyata dan mutlak beralih ke tangan si petindak, pencurian belum terjadi, yang terjadi barulah percobaan mencuri. Dari perbuatan mengambil berakibat pada beralihnya kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak berarti juga beralihnya hak milik atas benda itu ke tangan petindak. Oleh karena untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang melanggar hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan hukum, misalnya dengan jalan jual-beli, hibah dan lain sebagainya.17
Orang yang berhasil menguasai suatu benda ialah bila ia dapat melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu. Menguasai
17Adami Chazawi,2006, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia Publishing,Malang, hal. 6.
26
benda berarti pelaku berada dalam hubungan langsung dan nyata dengan benda itu.
b. Unsur Benda
Pada mulanya benda-benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memori Van Toelichting (MvT) atau Memori Penjelasan mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed) dan benda-benda berwujud (stoffelijk goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan. Sedangkan benda yang tidak dapat bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.
c. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Orang lain ini harus diartikan sebagai buka si petindak. Dengan demikian, maka pencurian dapat
27
pula terjadi terhadap benda-benda milik suatu badan misalnya milik negara. Jadi benda yang menjadi objek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Mengenai benda-benda yang tidak ada pemiliknya ini dibedakan menjadi:
1. Benda-benda yang sejak semula tidak ada pemiliknya, disebut res nullius atau barang tak bertuan, seperti batu di sungai, buah-buahan di hutan.
2. Benda-benda yang semula ada pemiliknya, kemudian kepemilikanya itu dilepaskan, disebut resderelictae. Misalnya sepatu bekas yang sudah dibuang di kotak sampah.
2. Unsur-unsur Subjektif
a. Maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki dua unsur, yaitu yang pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk) berupa unsur kesalahan dalam pencurian dan kedua unsur memiliki. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk
28
dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
Perbuatan tersebut dapat berwujud macam-macam seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan, dan bahkan bersifat negatif yaitu tidak berbuat apa-apa dengan barang tersebut tetapi juga tidak memperbolehkan orang lain berbuat sesuatu dengan barang tersebut tanpa persetujuannya.18
b. Melawan hukum
Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum.19
18Wiryono Prodjodikoro, 2003, op.cit, hal 18. 19 Adami Chazawi, , 2006, op.cit, hal 15.
29
2.2 Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Pratima
Sanksi adalah padanan dari istilah asing yaitu sanctie (Belanda), atau sanction (Inggris). Istilah sanksi dalam hukum adat sering digunakan istilah “reaksi” atau “kewajiban” yang dikenakan pada seseorang yang telah melakukan pelanggaran atas ketentuan hukum adat (delik adat).
Soetandyo Wignjosoebroto, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sanksi adalah seluruh akibat hukum yang harus ditanggung oleh subyek yang didakwa melakukan suatu perbuatan hukum atau menyebabkan terjadinya peristiwa hukum. Dalam hal ini ada dua macam sanksi yang dikenal dalam kajian-kajian sosiologi hukum. Pertama, sanksi restitutif yakni sanksi untuk mengupayakan pemulihan. Kedua, sanksi retributif yakni sanksi untuk melakukan pembalasan.20
Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan (evenwcht, harmonie) antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan perimbangan hukum.21
Di dalam menentukan delik adat tidak dikenal adanya asas legalitas sebagaimana disebut dalam sistem KUHP. Delik adat itu terjadi
20Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan
Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Sosiologi Hukum, Penerbit Bayu Publishing, Malang, hal. 138. 21 Soepomo, 1982, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Paramita, Jakarta, hal. 112.
30
apabila suatu saat timbul larangan untuk melakukan suatu perbuatan, karena perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut, tercela karena apabila dilanggar dipandang akan dapat mengganggu keseimbangan kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.22
Sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Apabila terjadi pelanggaran, maka sipelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya-upaya tertentu seperti upacara bersih desa (Pura/Tempat Suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu. Sanksi adat mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat di Bali.
Di Bali pernah dikenal jenis-jenis sanksi adat sebagai berikut :
a. Danda ialah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu ketentuan (awig-awig-awig) di banjar/desa;
b. Dosa ialah sejumlah uang tertentu yang dikenakan kepada
krama desa/banjar apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagai mana mestinya;
c. Karampag ialah bila seseorang krama desa/ banjar yang menghutang kepada banjar/desa sampai berlipat ganda tidak
22 I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, hal 7.
31
dapat membayar, maka segala harta miliknya diambil/dijual oleh banjar/desa untuk membayar hutang itu.
d. Kasepekang ialah tidak diajak bicara oleh krama (warga)
banjar/desa karena terlalu sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik/melanggar peraturan-peraturan di
banjar/desa.
e. Kataban misalnya adanya ketentuan kalau sawah sudah ditanami padi, dilarang mengembalakan itik di sawah itu. Apabila ternyata ada itik berkeliaran disawah dan merusak tanaman padi, maka itik tersebut ditahan (kataban). Atau sudah ada ketentuan di banjar bahwa tidak boleh ada babi berkeliaran dijalan, maka kalau ternyata ada babi berkeliaran, maka babi tersebut ditahan (kataban).
f. Maprayascitta ialah suatu upacara adat untuk membersihkan adat/tempat tertentu apabila terjadi suatu peristiwa/ perbuatan tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat (dianggap mengotori desa).
g. Matirtha gamana ialah hukuman bagi seseorang pendeta yang melakukan kesalahan yang disebut atataji yaitu meracun orang, merusak kehormatan orang, dan lain-lain.
32
h. Selong ialah sejenis hukuman dimana seseorang dibuang ketempat lain untuk beberapa lama karena melanggar suatu ketentuan adat/agama.
Disamping jenis-jenis sanksi adat tersebut, masih ada lagi jenis sanksi adat yang lain yaitu:
- Mangaksama atau ngalaku pelih (minta maaf),
- Mararung atau mapulang kepasih (ditenggelamkan ke laut),
- Mablagblag (diikat dengan tali, biasanya dilakukan terhadap orang yang terganggu ingatannya agar tidak mengganggu warga),
- Katundung (diusir).
Berdasarkan uraian diatas, bahwa sanksi adat/kewajiban adat di Bali disebut dengan “pamidanda” atau “danda”. Sanksi adat/kewajiban adat di Bali dikenal dengan adanya pengelompokan/penggolongan menjadi tiga jenis (yang kemudian disebut Tri Danda), yaitu:
1) Sangaskara Danda, yaitu sanksi adat/kewajiban adat yang dilaksanakan atau diterapkan dengan melakukan suatu upacara keagamaan.
2) Atma (Jiwa) Danda, yaitu sanksi adat/kewajiban adat yang dibebankan pada badan/pisik dan/atau psikis.
33
3) Artha Danda, yaitu sanksi adat/kewajiban adat yang dibebankan dalam bentuk pembayaran sejumlah uang atau berupa benda.
Hukum Adat adalah hukum yang dinamis, selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Demikian pula halnya dengan sanksi adat/kewajiban adat yang timbul, berkembang dan lenyap sesuai dengan perubahan masyarakat. Berdasarkan atas kenyataan ini, oleh I Made Widnyana maka jenis-jenis sanksi adat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : a. Sanksi adat yang sama sekali telah ditinggalkan oleh
masyarakat.
Hal ini terjadi karena pertama, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat dan perkembangan jaman; kedua karena dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan peraturan perundang-undangan. Contoh: sanksi adat
diselong, mablagbag, mapulang kepasih, dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman;
b. Sanksi adat yang berlaku sepenuhnya.
Walaupun terhadap pelaku pelanggaran telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Sanksi adat dimaksud adalah sanksi adat untuk mengadakan upacara keagamaan berupa pembersihan (pamarisuddhan/maprayascitta; matirta gamana). Disamping itu
34
masih dikenal sanksi adat yang hanya dikenakan pada seseorang yang melakukan pelanggaran, misalnya sanksi adat kanoranyang
(dipecat), kasepekang (tidak diajak berbicara/diisolir),
mangaksama (meminta maaf), dedosan (denda), karampag
(dirampas), kataban (ditahan).
c. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencurian Pratima
Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, Indonesia menganut azas legalitas/principle of legality, yaitu azas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (Pasal 1 ayat (1) KUHP).23
Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi
23
35
pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.
Istilah tindak pidana atau perbuatan pidana yang juga berasal dari terjemahan delict atau strafbaarfeit, yang oleh Moeljatno menyebutkan dalam bukunya Mahrus Ali, lebih cenderung menggunakan istilah “ perbuatan pidana ” yang selanjutnya mendefinisikan perbuatan pidana sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut ”.24
Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.25 Marshall di dalam bukunya Andi Amzah, mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat di pidana berdasarkan hukum yang berlaku.26
Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu27, sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
24 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,Hal. 97
25 Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 13. 26 Andi Amzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 89.
27
Tri Andrisman, 2009, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, BandarLampung, Unila, hlm.8
36
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.28
Jenis-jenis Pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pidana terdiri atas: A. Pidana Pokok
1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda;
5. pidana tutupan.( UU No.20/1946 ) B. Pidana Tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.
Contoh kasus :
Rabu, 12 Januari 2012, tiga maling pratima (benda sacral milik pura) dituntut tujuh tahun penjara dalam sidang tuntutan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Amlapura. Terdakwa yang dituntut 7 tahun penjara yakni terdakwa Gusti Putu Oka Riyadi alias Gung Tabanan alias Gung aji (otak pencurian) dan Wayan Eka Putra alias Astra alias Surung (dalam satu berkas), serta Gusti Agung Komang Suardika alias Enok (dalam berkas terpisah).
37
Yang pertama kali diajukan kehadapan majelis hakim yang diketuai Made Yuliada yakni terdakwa Enok. JPU menyebutkan, terdakwa Enok ikut melakukan pencurian didua TKP yakni Pura Puseh Pesaban dan Pura Bukit Panti. JPU dalam pembuktiannya menilai unsur dakwaan pertama, pasal 363 ayat 1 ke 4e dan 5e KUHP terbukti secara sah. Sementara itu, gembong maling
pratima Gung Tabanan dan Surung juga bernasib sama. Untuk wilayah Karangasem, terdakwa melakukan pencurian dilima tempat yakni Pura Penataran Pande dua kali, Pura Puseh Pesaban, Pura Puseh Bukit Panti, Pura Dalem Peringalot. Dikatakan, hasil curian tersebut dijual kepada Gusti Lanang Sidemen dipasar Klungkung. Bahkan sebagian emas curian tersebut dilebur. Uang hasil curian dinikmati oleh semua terdakwa yang pembagiannya dilakukan oleh Gung Tabanan.29
Dari kasus diatas sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada si pelaku pencurian pratima ini yaitu di kenakan sanksi pidana pencurian pasal 363 ayat 1 ke 4e dan 53 KUHP dengan tuntutan 7 tahun penjara.
29Anonim, 2011, op.cit
38
BAB III
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA
3.1 Tujuan Pemidanaan
Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.
Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu : a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan
kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif ) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif ), atau b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang
melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.30
Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut :
30 Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal 16.
39
a. Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).
Sebagaimana yang dinyatakan Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) bahwa :
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Dari teori tersebut di atas, nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika, di mana seseorang yang
40
melakukan kejahatan akan dihukum dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah etika yang jahat ke yang baik.
Menurut Vos (Andi Hamzah, 1993 : 27), bahwa :
Teori pembalasan absolut ini terbagi atas pembalsan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.
b. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)
Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.
Menurut Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) tentang teori ini bahwa :
Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak
41
melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat.
Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif , detterence , dan reformatif . Tujuan preventif ( prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
C. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)
Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan
42
mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
3.2 Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
Hakim memiliki kebebasan mandiri dalam menjatuhkan sanki pidana penjara terhadap pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum. Kebebasan tersebut adalah mutlak dan tidak ada suatu pihak manapun yang dapat mengintervensi dalam menjatuhkan putusan. Hal ini bertujuan untuk menjamin agar putusan pengadilan benar-benar obyektif. Kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian juga harus berpedoman terhadap batasan maksimum dan juga minimum serta kebebasan yang dimiliki harus senantiasa berdasarkan atas rasa keadilan baik terhadap terdakwa, korban, serta masyarakat luas. Selain itu putusan pengadilan oleh Hakim harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk semakin memperkuat dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian, maka Hakim juga memerlukan alat bukti yang dapat dihadirkan di dalam persidangan. Alat bukti yang dihadirkan di dalam persidangan harus saling berkaitan antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut bertujuan supaya Hakim dapat membuktikan
43
bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut sebab apabila alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan sama sekali tidak berkaitan dengan perkara yang disidangkan maka dapat menyebabkan ketidakyakinan terhadap pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana Sebelum menjatuhkan putusan pidana bagi pelaku yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sesuai dengan Pasal 362, 363, 364, dan, 367 KUHP, Hakim terlebih dahulu mempertimbangakan hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan sebagai dasar pertimbangan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Amlapura, antara lain:
1. Dasar yang meringankan
a) Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan
Hakim akan meringankan sanksi nai terdakwa apabila sopan selama persidangan berlangsung.
b) Terdakwa mengakui perbuatannya
Hakim akan meringankan sanki bagi terdakwa yang mengakui perbuatannya.
2. Dasar yang memberatkan
a) Perbuatan tersebut dilakukan berulang kali
Apabila terdakwa residivis maka sanksi pidana penjara yang diberikan jauh lebih berat supaya terdakwa anak menjadi jera dan tidak melakukan perbuatannya lagi.
44
Apabila terdakwa sempat menikmati hasil curian barang milik korban yang dimiliki secara melawan hukum maka hal tersebut menjadi pertimbangan bagi Hakim untuk memperberat sanksi pidana.
c) Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian materiil bagi korban Apabila korban mengalami kerugian materiil akibat pencurian yang dilakukan oleh terdakwa, hal tersebut berarti bahwa terdakwa telah menikmati hasil cuian.
d) Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat
Hakim memperberat sanksi pidana bagi terdakwa agar masyarakat menjadi tenang dan damai.
e) Perbuatan terdakwa termasuk termasuk penodaan dan pelecehan terhadap simbul-simbul agama Hindu karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda-benda-benda suci yang sangat disakralkan oleh umat Hindu
f) Perbuatan terdakwa melecehkan dan merendahkan nilai-nilai keyakinan beragama umat Hindu.
Pencurian Pratima umumnya tidak saja mengakibatkan kerugian materiil tetapi juga kerugian immateriil yang berakibat terhadap gangguan keseimbangan magis. Kejahatan seperti ini merupakan tindakan yang sangat amat merugikan masyarakat di Bali khususnya penganut agama Hindu karena dianggap sudah merusak keseimbangan hidup masyarakat, para pelaku juga di
45
anggap melecehkan aturan adat yang tertuang di dalam awig-awig di Bali. Pencurian Pratima itu merupakan bentuk penodaan terhadap agama dan para pelaku juga dianggap telah merusak cagar alam mengingat Pratima yang ada di Bali itu merupakan bagian dari benda cagar budaya dan warisan turun temurun.31
Menurut keyakinan masyarakat adat Bali, untuk mengembalikan keseimbangan tersebut diperlukan ritual-ritual keagamaan misalnya: upacara pecaruan atau penyucian. Sehingga dalam kasus-kasus demikian, apabila pelakunya tidak tertangkap ataupun bukan warga adat setempat, maka terhadap tempat kejadian tetap dibuatkan upacara pembersihan. Fenomena pencurian sudah tentu dilarang oleh setiap agama maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta melanggar nilai–nilai maupun norma–norma yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat.
Hukum pidana merupakan sarana yang paling penting dalam penanggulangan kejahatan secara preventif yaitu dengan mencegah terjadi atau timbulnya kejahatan maupun secara represif yaitu adanya upaya yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan, karena dengan upaya penanggulangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, diharapkan mampu mencegah dan mengurangi tindak pidana pencurian khususnya pencurian Pratima
31 I Ketut Sandika, Pratima Bukan Berhala : Pemujaan Tuhan Melalui Simbol-simbol Suci
46
atau benda sakral yang terbilang sangat meresahkan masyarakat di Pulau Bali. Akan tetapi kasus pencurian Pratima atau benda sakral yang terjadi, sangat tidak adil rasanya bila hanya pelaku pencurian Pratima dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 362 KUHP tentang pencurian biasa sebagai bagian dari warisan kolonial belanda, sehingga menimbulkan berbagai pemikiran di masyarakat bahwa pencurian Pratima disamakan dengan kasus pencurian pada umumnya seperti misalnya kasus pencurian sandal jepit, mencuri piring, mencuri ayam dan lain-lain.
Kasus ini dapat berimplikasi yuridis dan sosial. Secara yuridis, implikasinya terdakwa hanya didakwa dengan pencurian biasa. Padahal, benda yang dicuri nilainya tak terhingga dan sulit diukur secara indrawi atau empiris, karena mengandung nilai magis/sakral. Secara sosial, implikasinya akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat adat atau umat Hindu, karena benda-benda tersebut tidak bisa dilepaskan agama dan adat, sosial, ekonomi, pariwisata, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, terhadap terdakwa tindak pidana adat tersebut, disamping dikenakan dengan sanksi pidana, juga dikenakan sanksi non pidana.32 Dalam praktek peradilan di Bali, memang belum pernah ditemukan putusan hakim yang menjatuhkan pidana atau sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat. Padahal satu sisi,
32 I Dewa Made Suartha, Hukum dan Sanksi Adat Persfektif Pembaharuan Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2015, hlm. 15.