• Tidak ada hasil yang ditemukan

At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur a>n (TACQ) dan terjemahannya yang berjudul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur a>n (TACQ) dan terjemahannya yang berjudul"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

79

Penerjemahan merupakan aktivitas pengalihbahasaan teks dari Bahasa Sumber (BSu) menuju Bahasa Sasaran (BSa) dengan berusaha mencari padanan yang paling tepat, maka diperlukan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap objek material penelitian yaitu buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) dan terjemahannya yang berjudul At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur`an, peneliti menemukan 39 data tamyi>z beserta terjemahannya. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai strategi penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z tersebut.

Adapun dalam menerjemahkan tamyi>z ini, penerjemah menerapkan strategi struktural dan strategi semantis sebanyak 70 kali. Penerapan strategi ini tersebar di seluruh data dan banyak mengalami pengulangan dalam penerapannya. Ditemukan pula penerapan strategi yang berbeda pada data yang memiliki kemiripan pesan.

Secara garis besar strategi penerjemahan yang diterapakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z ini dibagi menjadi dua, yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Penerjemah menerapkan strategi struktural sebanyak 25 kali dengan prosentase 35,71% sedangkan penerapan strategi semantis sebanyak 45 kali dengan prosentase 64,29%. Dengan demikian, penerapan strategi semantis memiliki porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan strategi struktural. Berdasarkan fakta ini pula dapat disimpulkan bahwa

(2)

penerjemah lebih mengutamakan aspek semantis atau makna dibandingkan aspek struktural dalam penerjemahannya dengan maksud agar pesan bisa tersampaikan dengan baik kepada masyarakat BSa. Prosentase dari penerapan kedua strategi tersebut dapat dilihat pada diagram 3.1. di bawah ini.

Diagram 3.1. Strategi Penerjemahan Tamyi>z

Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003) terbagi menjadi dua macam strategi, yakni strategi struktural dan strategi semantis. Adapun strategi struktural terdiri dari tiga macam, yakni strategi penambahan, strategi pengurangan, dan strategi transposisi. Sedangkan strategi semantis terdiri dari sembilan strategi, yakni strategi pungutan, strategi padanan budaya, strategi deskriptif dan analisis komponensial, strategi sinonim, strategi terjemahan resmi, strategi penyusutan dan perluasan, strategi penambahan, strategi penghapusan, dan strategi modulasi.

Strategi Struktural 35,71% Strategi Semantis 64,29%

Strategi Penerjemahan

(3)

Berikut tabel 3.1. mengenai strategi-strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z.

No Jenis Strategi Penerjemahan Jumlah

Item(*) Prosentase (%) A. Strategi Struktural 1. Penambahan 0 0 2. Pengurangan 0 0 3. Transposisi 25 35,71

Total penerapan Strategi Struktural 25 35,71

B. Strategi Semantis 1. Pungutan 9 12,86 2. Padanan Budaya 0 0 3.1. Padanan Deskriptif 1 1,43 3.2. Analisis Komponensial 4 5,71 4. Sinonim 19 27,14 5. Terjemahan Resmi 0 0 6.1. Penyusutan 0 0 6.2. Perluasan 1 1,43 7. Penambahan 8 11,43 8. Penghapusan 2 2,86 9. Modulasi 1 1,43

Total penerapan Strategi Semantis 45 64,29

Total 70 100

(*) Data yang sering muncul

Tabel 3.1. Strategi Penerjemahan Tamyi>z

Pada tabel 3.1. di atas, strategi penerjemahan struktural yang paling banyak diterapkan oleh penerjemah adalah strategi struktural-transposisi, yaitu 25 data (35,71%). Strategi ini banyak diterapkan karena struktur dalam BSu harus disesuaikan dengan struktur dalam BSa, sehingga diperlukan pengubahan agar menjadi berterima dalam BSa.

(4)

Adapun strategi penerjemahan semantis yang paling banyak diterapkan oleh penerjemah adalah strategi semantis-sinonim, yaitu 19 data (27,14%). Penerapan strategi ini menjadi dominan karena penerjemah perlu mencari padanan kata yang sesuai untuk menerjemahkan kata yang befungsi sebagai tamyi>z dalam BSu ke dalam BSa tanpa mengganggu alur kalimat dalam BSa. Kemudian penerjemah tidak menerapkan strategi terjemahan resmi, padanan budaya dan penyusutan dikarenakan tidak adanya istilah khusus/istilah budaya atau singkatan dalam BSu yang harus diterjemahkan ke dalam BSa menurut kaidah baku dalam BSa.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab I berdasarkan pengamatan peneliti, 14 prosedur penerjemahan Newmark (1988) memiliki kesamaan fungsi dengan 10 strategi penerjemahan Suryawinata (2003). Penjelasan data yang menerapkan strategi-strategi penerjemahan tersebut adalah sebagai berikut.

A. Strategi Penerjemahan Struktural

Strategi penerjemahan jenis pertama adalah strategi penerjemahan struktural. Suryawinata (2003: 67) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan struktural sebagai strategi yang diterapkan penerjemah berkaitan dengan struktur kalimat. Strategi ini bersifat wajib dilakukan karena kalau tidak, hasil terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam BSa. Struktural yang dimaksud adalah struktur gramatikal BSa yang berlaku pada masyarakatnya. Penerapan strategi ini adalah dengan cara menyesuaikan bentuk tamyi>z dalam BSu dengan bentuk terjemahannya dalam BSa maupun penyesuaian posisi tamyi>z terhadap struktur gramatikal dalam BSa (bahasa Indonesia).

(5)

Berdasarkan data yang ada, penerapan strategi struktural memiliki prosentase 35,71% atau diterapkan sebanyak 25 kali dengan dengan menerapkan strategi transposisi saja. Adapun penjelasan mengenai strategi transposisi terdapat dalam penjelasan berikut ini.

1. Strategi Transposisi

Strategi penerjemahan ini digunakan untuk menerjemahkan klausa atau kalimat dan bersifat kondisional (Suryawinata, 2003: 68). Dengan strategi ini penerjemah mengubah struktur asli BSu di dalam klausa dan kalimat BSa untuk mencapai efek yang sepadan. Pengubahan ini bisa pengubahan bentuk jamak ke bentuk tunggal, posisi kata sifat, sampai pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan dan keperluan stilistika. Adapun penerapan strategi transposisi ini terdapat pada 25 data tamyi>z. Contoh penerapannya dapat dilihat pada data berikut.

a. Transposisi Bentuk Jamak Menjadi Tunggal

Penerapan strategi ini terdapat pada data 1 berikut.

(1) BSu :

َماَق ْنَم

ِرْشَعِب

تيآ

َْيِلِفاَغْلا َنِم ْبَتْكُي َْلَ

Man qa>ma bi‘asyri a>ya>tin lam yuktab minal-gha>fili>na (An-Nawawi, 2014: 107).

BSa :

Barang siapa yang shalat malam dengan membaca sepuluh ayat maka ia tidak dicatat sebagai orang lalai (Hauro’, 2014: 61).

Pada data 1 di atas, penerjemah menerapkan strategi transposi pada kata

“تيآ”

a>ya>tun ‘ayat’. Kata

“تيآ”

a>ya>tun ‘ayat’ merupakan tamyi>z untuk menjelaskan kata

“ ْشَع

ر ”

‘asyru ‘sepuluh’. Gabungan antara kata

“تيآ”

a>ya>tun ‘ayat’ dan kata

“رْشَع”

‘asyru ‘sepuluh’ membentuk frasa

(6)

numeralia dengan terjemahan “sepuluh ayat”. Penerjemah menerjemahkan bentuk jamak

“تيآ”

a>ya>tun ‘ayat-ayat’ dengan bentuk tunggalnya yaitu

“ةيأ”

a>yatun ‘ayat’. Peneliti berpendapat bahwa pilihan penerjemah ini adalah tepat karena dalam bahasa Indonesia pembentukan frasa numeralia kata bilangan tidak perlu dirangkai dengan nomina dalam bentuk jamak (Alwi, 2003: 275). Terjemahan akan menjadi tidak berterima dalam BSa jika frasa

تيآ

رْشَع

‘asyru a>ya>tin diterjemahkan dengan tetap mempertahankan bentuk jamaknya sehingga menjadi “sepuluh ayat-ayat”.

Penerapan strategi transposisi dengan cara mengubah bentuk jamak menjadi bentuk tunggal terdapat pada 9 tamyi>z, yaitu pada nomina-nomina berikut: kata

“لاَيَل”

laya>lun jamak dari kata

“ليل”

lailun diterjemahkan dengan “hari” , kata

“ اَمَتَخ

ت ”

khatama>tun jamak dari kata

“ةمتخ”

khatmatun diterjemahkan dengan “kali”, kata

“ آ

تي ”

a>ya>tun jamak dari kata

“ةيأ”

a>yatun diterjemahkan dengan “ayat”, kata

“ َأ

هُجْو ”

aujuhun jamak dari kata

“هجو”

wajhun diterjemahkan dengan “pendapat”, kata

“عِضاَوَم”

mawa>dhi‘u jamak dari kata

“عِضَوَم”

maudhi‘un diterjemahkan dengan “tempat”, kata

“تاَّرَم”

marra>tun jamak dari kata

“ةّرم”

marratun diterjemahkan dengan “kali”, kata

“تاتكس”

sakata>tun jamak dari kata

“ةتكس”

saktatun diterjemahkan dengan “tempat”, kata

“تاعكر”

raka‘a>tun jamak dari kata

“ةعكر”

rak‘atun diterjemahkan dengan “rakaat”, kata

“خسن”

nusakhun jamak dari kata

“ةخسن”

nuskhatun diterjemahkan dengan mushaf, kata

“فحاصم”

masha>chifu jamak dari kata

“فحصم”

mushchafun diterjemahkan dengan “mushaf”.

(7)

Pengubahan bentuk jamak menjadi tunggal pada tamyi>z tersebut merupakan keharusan agar sesuai dengan susunan gramatikal BSa. Semua tamyi>z di atas tersusun dalam frasa numeralia dan merupakan jenis tamyi>z asma>ul a‘da>d. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semua tamyi>z asma>ul a‘da>d dengan bentuk jamak diterjemahkan dengan strategi transposisi.

b. Transposisi Struktur BSu terhadap Struktur BSa

Penerapan strategi ini terdapat pada data 2 berikut.

(2) BSu :

ِفِ ِهِباَتِك ِفِ ِّيِدْنِكْلا َرَمُع وُبَأ ىَوَرَو

(

َرْصِم ِةاَضُق

)

ِةَلْ يَّللا فِ ُمِتَْيَ َناَك ُهِّنَأ

َأ ْر َب

َع

تاَمَتَخ

Wa rawa> Abu> Umar al-Kindiy fi> kita>bihi fi> (qudha>ti mishra) annahu ka>na yakhtimu fil-lailati arba‘a khatama>tin (An-Nawawi, 2014: 100).

BSa :

Adapun Abu> Umar al-Kindiy menyebutkan dalam kitabnya Qudha>tu Mishra bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak empat kali dalam satu malam (Hauro’, 2014: 53).

Pada data 2 di atas, penerjemah menerapkan strategi transposisi pada klausa

“ تاَمَتَخ َعَبْرَأ ِةَلْ يَّللا فِ ُمِتَْيَ َناَك ُهِّنَأ”

annahu ka>na yakhtimu fil-lailati arba‘a khatama>tin dengan “bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak empat kali dalam satu malam”. Pada data di atas terlihat bahwa kata

“تاَمَتَخ”

khatama>tun “kali” merupakan tamyi>z untuk menjelaskan kata

“عَبْرَأ”

arba‘u “empat”. Gabungan dari kedua kata tersebut membentuk frasa numeralia. Pada BSu, frasa

“ ِةَلْ يَّللا فِ”

fil-lailati terletak sebelum frasa numeralia

“ تاَمَتَخ عَبْرَأ”

arba‘u khatama>tin. Namun dalam terjemahannya justru kedua frasa ini dibalik posisinya. Penerjemah meletakkan frasa “empat kali” sebelum frasa “dalam satu malam”. Menurut peneliti,

(8)

pengubahan posisi ini cukup tepat karena

“ تاَمَتَخ عَبْرَأ”

arba‘u khatama>tin adalah maf‘u>l muthlaq (keterangan cara) sedangkan

“ ِةَلْ يَّللا فِ”

fi’l-lailati adalah jar majru>r (frasa preposisi) yang menunjukkan keterangan waktu, sehingga meletakkan keterangan cara terlebih dahulu sebelum keterangan akan lebih mempermudah pemahaman pembaca BSa dalam konteks kalimat ini. Menurut peneliti, pengubahan posisi ini juga disebabkan oleh penambahan objek dalam BSa yaitu kata “al-Qur’an” sehingga frasa numeralia “empat kali” berfungsi sebagai keterangan cara dalam aktivitas mengkhatamkan al-Qur’an.

B. Strategi Penerjemahan Semantis

Strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang dilakukan dengan pertimbangan makna. Strategi ini ada yang diterapkan pada tataran kata, frase maupun klausa atau kalimat. Suryawinta (2003: 70-76) membagi strategi penerjemahan semantis menjadi sembilan strategi, yaitu pungutan, padanan budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan resmi, penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi.

Adapun pada data tamyi>z yang dimiliki, penerapan strategi penerjemahan semantis memiliki prosentase sebanyak 64,29% atau diterapkan sebanyak 45 kali. Penerjemah menerapkan strategi semantis sebanyak 7 strategi, yaitu (1) strategi pungutan atau prosedur naturalization (naturalisasi) dan transference (transferensi) sebanyak 9 data (12,86%), (2) strategi padanan deskriptif (descriptive equivalent) dan analisis komponensial (componential analysis) sebanyak 5 data (7,18%), (3) strategi sinonim atau prosedur synonym (sinonim) dan functional equivalent (padanan fungsi) sebanyak 19 data (27,14%), (4)

(9)

strategi perluasan atau prosedur expansion sebanyak 1 data (1,43%), (5) strategi penambahan atau prosedur notes, addition, and glosses (catatan, penambahan, dan pengurangan) dan paraprhrase (parafrase) sebanyak 8 data (11,43%), (6) strategi penghapusan atau prosedur notes, addition, and glosses (catatan, penambahan, dan pengurangan) dan compensation (kompensasi) sebanyak 2 data (2,86%), dan (7) strategi modulasi atau prosedur modulation (modulasi) sebanyak 1 data (1,43%). Adapun penjelasan mengenai 7 strategi tersebut dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.

1. Strategi Pungutan

Pungutan adalah strategi penerjemahan dengan cara membawa kata BSu ke dalam BSa. Penerjemah sekadar memungut kata dalam BSu tanpa mengubahnya sehingga strategi ini disebut pungutan. Strategi ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap kosakata dalam BSu atau dikarenakan belum ada padanan dalam BSa. Strategi ini adalah usaha menstranfer pesan BSu dengan mengadopsi kata BSu untuk diubah menjadi bentuk kata yang padan pada BSa (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 70). Penerapan strategi ini terdapat pada data 3 berikut.

(3) BSu :

ُهَعَم َبَّدَأَتَ يَو ِهِمِّلَعُمِل َعَضاَوَ تَ ي ْنَأ ْيِغَبْنَ يَو

َو ِإ

ْن

َك

َنا

َأ

ْص

َغ ُر

ِم ْن ُه

ِس ن

ا

َو َأ َق

ل

ُش

ْه َر ة

َو َن

َس ب

ا

َو َص

َل

حا

َو َغ

ْ ي َر

َذ ِل

َك

Wa yanbaghi> an yatawa>dha‘a limu‘allimihi wa yata’addaba ma‘ahu wa in ka>na ashgharu minhu sinnan wa aqallu syuhratan wa nasaban wa shala>chan wa ghaira dza>lika (An-Nawawi, 2014: 88).

BSa :

Hendaknya ia rendah hati dan juga bersikap sopan terhadap gurunya, walaupun sang guru lebih muda umurnya, tidak setenar dirinya, tidak semulia nasab dan keshalihannya, serta lainnya (Hauro’, 2014: 40).

(10)

Pada data 3 di atas, terdapat empat kata yang berfungsi sebagai tamyi>z yaitu

“ ّنِس”

sinnun

, “ ُش

ْه َرة ”

syuhratun

, “ َن َس

ب ”

nasabun

,

dan

“ َلَص

ح ”

shala>chun. Keempat kata tersebut tersusun dalam klausa

“ ا بَسَن َو ةَرْهُش لَقَأَو ا نِس ُهْنِم ُرَغْصَأ َناَك ْنِإَو

َك ِل َذ َر ْ ي َغ َو ا ح َل َص َو”

wa in ka>na ashgharu minhu sinnan wa aqallu syuhratan wa nasaban wa shala>chan wa ghaira dza>lika ‘walaupun sang guru lebih muda umurnya, tidak setenar dirinya, tidak semulia nasab dan keshalihannya, serta lainnya’. Penerjemah menerapkan strategi pungutan pada dua kata yang berfungsi sebagai tamyi>z yaitu kata

“ َص

ح ”

َل

shala>chun ‘keshalihannya” dan kata

“ َن َس

ب ”

nasabun ‘nasab’. Pertama, kata

“ َص

ح ”

َل

shala>chun memiliki arti “kebaikan atau kesalehan” (Munawwir, 1997: 788) sedangkan dalam KBBI kata “saleh” artinya “taat dan sungguh-sungguh menjalankan agamanya” (Suharso, 2005: 442). Penerjemah menerapkan strategi pungutan untuk menerjemahkan kata tersebut dengan cara naturalisasi karena huruf “ص” pada kata

“ َلَص

ح ”

shala>chun ditulis dengan “sha” pada kata “keshalihannya”. Kedua, penerjemah menerapkan strategi pungutan pada kata

“ َن َس

ب ”

nasabun. Kata tersebut diterjemahkan dengan “nasab” yang berarti “keturunan” (Suharso, 2005: 333). Penerapan strategi pungutan pada kedua kata tersebut merupakan pungutan secara alamiah dalam BSa karena kedua kata tersebut sudah familiar di masyarakat BSa (bahasa Indonesia).

Strategi pungutan pada data data tamyi>z diterapkan penerjemah pada 9 kata yang berfungsi sebagai tamyi>z, antara lain:

حلص

shala>chun (keshalihannya),

ب

َن َس

nasabun

(

nasab),

تيآ

a>ya>tun

(

ayat),

ةَيآ

a>yatun

(

ayat),

ةَرْوُس

su>ratun

(

surat),

ةَدْجَس

sajdatun

(

sajdah),

ف ِحاَصَم

mashachifu (mushaf),

تاَعَكر

raka‘a>tun

(

rakaat),

كَلَم

malakun

(

malaikat).

(11)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan strategi pungutan pada tamyi>z berfungsi untuk menghasilkan terjemahan yang natural dalam BSa dengan tetap mempertahankan makna yang terkandung dalam BSu.

2. Strategi Padanan Deskriptif dan Analisis Komponensial

Strategi padanan deskriptif adalah cara penerjemahan dengan berusaha mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu. Strategi ini dilakukan karena kata dalam BSu tersebut sangat terkait dengan budaya khas BSu dan penggunaan padanan budaya dirasa tidak bisa mencapai derajat ketepatan yang dikehendaki sehingga diperlukan tambahan deskripsi (Suryawinata, 2003: 73). Penerapan strategi ini terdapat dalam 1 data tamyi>z. Penjelasan mengenai strategi padanan deskriptif terdapat pada data 4 berikut.

(4) BSu :

ُث َلَث ِفَحْصُمْلا ِفَِو

ُل َغ

تا

:

اَهُحْتَ فَو اَهُرْسَكَو ِمْيِمْلا مَض

Wa fil-mushchafi tsala>tsu lugha>tin: dhammul-mi>mi wa kasruha> wa fatchuha> ”( An-Nawawi, 2014: 211).

BSa :

Untuk mushaf ada tiga cara pelafalannya: mushaf, mishaf, dan mashaf (Hauro’, 2014: 193).

Pada data 4 di atas, penerjemah menerapkan strategi padanan deskriptif dalam menjelaskan kata

“ ُل

تاَغ ”

lugha>tun yang berkedudukan sebagai tamyi>z diterjemahkan menjadi “cara pelafalannya”. Penerjemah melakukan deskripsi singkat pada kata

“تاَغُل”

lugha>tun untuk memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai makna kata tersebut dalam konteks kalimat yang ada. Kata

“ ُل

تاَغ ”

lugha>tun merupakan bentuk jamak dari kata

“ةَغُل”

lughatun yang artinya “bahasa” (Munawwir, 1997: 1276). Namun penerjemah mengungkapkan terjemahan kata tersebut dari akar katanya, yaitu

“اَغل”

lagha>

(12)

yang artinya “berbicara” (Munawwir, 1997: 1275). Kemudian penerjemah mendeskripsikan kata “berbicara” tersebut dengan “cara pelafalannya” dengan pertimbangan adanya macam-macam istilah untuk menyebut kata mushaf setelahnya. Apabila kata

“ ُل

تاَغ ”

lugha>tun diterjemahkan dengan bahasa, maka rangkaian terjemahnnya menjadi “Untuk mushaf ada tiga bahasa: mushaf, mishaf, dan mashaf”. Dari sini, pembaca akan memahami bahwa kata“mushaf, mishaf, dan mashaf” adalah 3 kata dalam bahasa yang berbeda padahal maksud dari BSu adalah tentang cara pengucapannya saja. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi padanan deskripsi dalam konteks kalimat ini adalah tepat.

Adapun Strategi analisis komponensial adalah menerjemahkan sebuah kata dalam BSu dengan cara menganalisis atau merinci komponen makna yang terkandung dalam kata BSu. Strategi analisis komponensial ini digunakan untuk menerjemahkan kata-kata umum bukan yang berkaitan dengan budaya (Suryawinata, 2003: 73). Dalam data penelitian, peneliti menemukan 4 data tamyi>z yang menerapkan strategi analisis komponensial dalam penerjemahannya. Penjelasan mengenai penerapan strategi analisis komponensial ini dapat dilihat pada data 5 berikut.

(5) BSu :

دَشَأ ُللها

ا نَذَأ

ِهِتَنْ يَ ق َلَِإ ِةَنْ يَقْلا ِبِحاَص ْنِم ِنآْرُقْلاِب ِتْوَّصلا ِنَسَْلْا ِلُجَّرلا َلَِإ

Alla>hu asyaddu adzanan ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni min sha>chibil-qainati ila> qainatihi ( An-Nawawi, 2014: 140).

BSa :

Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-Qur’an dengan suara merdu daripada seseorang yang mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro’, 2014: 105).

(13)

Pada data 5 di atas, penerjemah menerapkan strategi analisis komponensial pada 2 bagian. Bagian pertama adalah pada tamyi>z yang terangkai dalam sebuah frasa

ا نَذَأ

دَشَأ

asyaddu adzanan diterjemahkan menjadi “sangat senang mendengarkan”. Penerjemah merinci komponen makna yang terkandung di dalam ism tafdhi>l yaitu kata

“ َأ

دَش ”

asyaddu dengan terjemahan “sangat senang”. Secara literal kata “

دَشَأ”

asyaddu memiliki arti “lebih kuat/lebih keras” (Munawwir, 1997: 702). Namun apabila dilihat korelasi makna kata tersebut dengan kalimat setelahnya yaitu

“ ِنَسَْلْا ِلُجَّرلا َلَِإ

ِنآْرُقْلاِب ِتْوَّصلا”

ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni ‘seseorang yang membaca al-Qur’an dengan suara merdu’ maka komponen makna yang terkandung dalam kata “

دَشَأ”

asyaddu yang dirangkai dengan kata

“ َأ

ا نَذ ”

adzanan adalah “sangat senang mendengarkan”.

Bagian kedua dari penerapan strategi analisis komponensial ini terletak pada ungkapan

“ ِهِتَنْ يَ ق َلَِإ ِةَنْ يَقْلا ِبِحاَص”

sha>chibil-qainati ila> qainatihi yang diterjemahkan menjadi “seseorang yang mendengarkan biduanitanya menyanyi”. Kata

“ َقْلا

ةَنْ ي ”

al-qainatu memiliki arti “penyanyi perempuan/biduanita” (Munawwir, 1997: 1180) maka komponen makna yang terkandung pada seorang penyanyi adalah aktivitas menyanyi. Sehingga kata

“ ِإ

َلَ ”

dalam konteks kalimat ini mengandung komponen makna

“mendengarkan” sebagai sebuah aktivitas pemilik biduanita tersebut. Kemudian penerjemah memperhatikan seluruh komponen makna yang ada dalam ungkapan tersebut sehingga terjemahan dalam BSa adalah “seseorang yang mendengarkan biduanitanya menyanyi”.

(14)

Penerapan strategi analisis komponensial pada data penelitian terdapat pada tamyi>z yang didahului dengan ism tafdhi>l sebagaimana terdapat pada frasa berikut:

“ ةَرْهُش ّلقأ”

aqallu syuhratan

tidak setenar dirinya’,

“ا رْ يِثْأَت دَشَأ”

asyaddu ta’tsi>ran

lebih memengaruhi’,

“ دَشَأ

ا نَذَأ ”

asyaddu adzanan

sangat senang mendengarkan’,

“ا ت لَفَ ت دَشَأ”

asyaddu tafallutan‘lebih cepat lepas’.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan strategi analisis komponensial tidak hanya pada sebuah kata melainkan juga pada rangkain kata dengan memperhatikan konteks kalimat secara keseluruhan sehingga bisa dianalisis komponen makna yang tepat untuk menerjemahkan suatu kata tertentu dalam BSu menuju padanan yang tepat dalam BSa.

3. Strategi Sinonim (Synonym)

Strategi sinonim adalah strategi yang diterapkan penerjemah untuk mendekatkan padanan BSa kepada BSu dalam sebuah konteks tanpa menggunakan analisis komponensial kerena dengan adanya analisis komponensial dirasa dapat mengganggu alur kalimat BSa (Newmark, 1988: 84; Suryawinata, 2003: 73).

Newmark (1988: 83) menyebut strategi ini dengan strategi fungsional, maksudnyanya adalah menerjemahkan kata BSu dengan padanan yang fungsional/ sesuai kegunaannya –yakni diterjemahkan dengan pendekatan kata yang memiliki makna dan fungsi yang sama dengan kata BSu. Adapun dari data penelitian, peneliti menemukan penerapan strategi sinonim ini pada 19 data. Penjelasan dari penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 6 berikut.

(15)

(6) BSu :

َأ َّ ن

ُه ْم

َك

ُ نا ْو

َْيَ ا

ِت ُم

ْو َن

ُك فِ

ِّل

َش

ْه َر ِي

ِن

َخ ْت

َم ة

َو

ِحا

َد ة

ِرْشَع ِّلُك ِفِ ْمِهِضْعَ ب ْنَعَو

لاَيَل

,

ْنَعَو

ِناََثَ ِّلُك ِفِ ْمِهِضْعَ ب

َل َي

لا

,

ِعْبَس ِّلُك ِفِ َنْيِرَثْكَْلْا ِنَعَو

لاَيَل

.

Annahum man ka>nu> yakhtimu>na fi> kulli syahraini khatmatan wa>chidatan, wa ‘an ba‘dhihim fi> kulli ‘asyri laya>lin, wa ‘an ba‘dhihim fi> kulli tsama>ni laya>lin wa ‘anil-aktsari>na fi> kulli sab‘i laya>lin ( An-Nawawi, 2014: 99).

BSa :

Mereka dahulu mengkhatamkan al-Qur’an setiap dua bulan sekali, ada yang sepuluh hari sekali, delapan hari sekali, mayoritas tujuh hari sekali (Hauro’, 2014: 53)

Pada data 6 di atas, penerjemah menerapkan strategi sinonim pada tiga tamyi>z, yaitu kata

“ اَيَل

ل ”

laya>lun yang disebutkan tiga kali diterjemahkan dengan “hari”. Ketiga tamyi>z tersebut membentuk frasa numeralia dengan mumayyaz-nya, antara lain: frasa

“ لاَيَل رْشَع”

‘asyru laya>lin ‘sepuluh hari’, frasa

“ ناََثَ

لا

َل َي

tsama>nu laya>lin ‘delapan hari’, dan frasa

“ لاَيَل ِعْبَس”

sab‘u laya>lin ‘tujuh hari’. Kata

“ اَيَل

ل ”

laya>lun merupakan bentuk jamak dari kata

“ليل”

lailun yang artinya “malam” (Munawwir, 1997: 1302). Penerjemah menyepadankan kata “malam” dengan ‘hari” karena “malam” merupakan bagian dari “hari” sehingga menyepadankan kata “malam” dengan “hari” merupakan pilihan yang cukup tepat untuk disajikan dalam terjemahan BSa.

Berdasarkan temuan dalam data penelitian, penerapan strategi sinonim ini terdapat pada 9 tamyi>z, antara lain: kata

“ذْخَأ”

akhdzun artinya “pengambilan” diterjemahkan dengan “hafalan”, kata

“ َتَخ

تا ”

َم

khatama>tun artinya “khatam” diterjemahkan dengan “kali”, kata

“ اَوَم

عِض ”

mawa>dhi‘u artinya “lokasi” diterjemahkan dengan “tempat”, kata “

تاَتَكَس”

sakata>tun artinya “diam” diterjemahkan dengan “tempat”, kata “

ةَدْجَس”

sajdatun artinya

(16)

“sajdah” diterjemahkan dengan “ayat”, kata

“هُجْوَأ”

aujuhun artinya “wajah-wajah” diterjemahkan dengan “pendapat, pandangan, pengucapan”, kata

“ خَسُن”

nusakhun artinya “naskah-naskah” diterjemahkan dengan“mushaf”, kata

“لْوَ ق”

qaulun artinya “perkataan” diterjemahkan dengan “pendapat”, dan kata

“لاَيَل”

laya>lun berarti “malam-malam” diterjemahkan dengan “hari”.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah berhasil menemukan sinonim dalam BSa untuk menerjemahkan kosakata tertentu sehingga pesan teks dalam BSu dapat tersampaikan dengan baik ke dalam BSa dan dengan dihadirkannya sinonim suatu kata dalam BSa ternyata tidak mengurangi substansi makna yang ada dalam BSu.

4. Strategi Perluasan

Newmark (1988: 90) dan Suryawinata (2003: 74) menjelaskan bahwa di dalam menerjemahkan, penerjemah dapat menerapkan strategi perluasan (expansion) terhadap kata BSu. Strategi perluasan (expansion) adalah strategi yang diterapkan dengan cara memperluas kata BSu di dalam BSa. Pada data penelitian ditemukan 1 data tamyi>z dengan strategi perluasan. Penjelasan mengenai penerapan strategi perluasan terdapat pada data 7 berikut.

(7) BSu:

ُةَيِناَّثلاَو

:

َةَرْشَع َسَْخَ

َس

ْج

َد ة

َداَز

(

ص

)

Wa’ts-tsa>niyatu: khamsa ‘asyrata sajdatan za>da (sha>d) (An-Nawawi, 2014: 167).

BSa :

Kedua: berjumlah lima belas dengan tambahan ayat sajdah dalam surat Sha>d> (Hauro’, 2014: 139).

Pada contoh data 7 di atas, penerjemah melakukan strategi perluasan pada tamyi>z, yaitu kata

“ َس

ةَدْج ”

sajdatun diterjemahkan menjadi “ayat sajdah”.

(17)

Penambahan kata “ayat” merupakan pilihan bagi penerjemah sebagai upaya untuk memperluas terjemahan dan bentuk penegasan bahwa kata “sajdah” merupakan ayat tertentu dalam al-Qur’an yang terdapat perintah untuk bersujud. Perluasan pada kata “sajdah” ini juga berfungsi sebagai pembeda terhadap kata “sajadah” yang berarti tikar untuk sembahyang”.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan strategi perluasan sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Keduanya bertujuan untuk menghadirkan kejelasan makna dan memudahkan pemahaman pembaca BSa.

5. Strategi Penambahan

Strategi penambahan di sini berbeda dengan strategi penambahan pada strategi struktural. Penambahan di sini dilakukan untuk memperjelas makna. Penerjemah menambahkan informasi pada terjemahannya karena dirasa informasi tersebut dibutuhkan oleh pembaca. Prosedur ini biasanya digunakan untuk membantu menerjemahkan kata-kata yang berhubungan dengan budaya, teknis, atau bahasa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut (Newmark, 1988: 91; Suryawinata, 2003: 74). Penerapan strategi penambahan ini terdapat pada 8 data penelitian. Adapun penjelasan mengenai strategi penambahan ini dapat dilihat pada data 8 berikut.

(8) BSu:

ِلْيَّللا َءاَنآ

:

ُهُتاَعاَس

,

ُعَبْرَأ اَهِدِحاَو ِفَِو

ُل َغ

تا

:

ٌوْ نِإَو ٌْنِْإَو َنََأَو َنَِإ

a>na>’al-laili: sa>‘a>tuhu, wa fi> wa>chidiha> arba‘u lugha>tin: ina> wa ana> wa inyun wa inwun (An-Nawawi, 2014: 222).

BSa :

A>na>al-lail: waktu-waktu malam, bentuk tunggalnya ada empat variasi bahasa yaitu ina>, ana>, inyun, dan inwun (Hauro’, 2014: 203).

(18)

Pada data 8 di atas, penerjemah menerapkan strategi semantis-penambahan pada BSa untuk menambah kejelasan kata yang berfungsi sebagai tamyi>z. Kata

“تاَغُل”

lugha>tun merupakan tamyi>z bagi kata

“ ُعَبْرَأ”

arba‘u

.

Kata

“تاَغُل”

lugha>tun merupakan bentuk jamak dari kata

“ةَغُل”

lughatun yang artinya “bahasa” (Munawwir, 1997: 1276). Penerjemah manambahkan kata “variasi” untuk memperjelas makna kata tersebut karena maksud dari frasa

“ َبْرَأ

ُع

تاَغُل”

arba‘u lugha>tin di sini bukanlah perbedaan bahasa tetapi variasi nama dalam bahasa yang sama. Kata

“ اَغُل

ت ”

lugha>tun diterjemahkan menjadi “variasi bahasa”.

Pada data penelitian, penerjemah menerapkan strategi penambahan pada 7 data tamyi>z, yaitu kata kata

“ح َلَص”

shala>chun ‘keshalihannya’, kata

“ ِس

ن ”

sinnun ‘umurnya’, frasa

تيآ

ِرْشَعِب

bi‘asyri a>ya>tin ‘dengan membaca sepuluh ayat’, kata

“ َص

تْو ”

shautun ‘suaranya’, kata

“تاَغُل”

lugha>tun ‘cara pelafalannya’, kata

“ َغُل

تا ”

lugha>tun ‘variasi bahasa’, kata

“هُجْوَأ”

aujuhun ‘variasi pengucapan’.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan strategi semantis-penambahan ini dengan melihat pesan yang ingin disampaikan oleh BSu kemudian menambahkan kata-kata yang diperlukan dalam BSa untuk memperjelas makna dalam BSa. Penambahan ini bersifat alamiah dan tergantung pada kebutuhan BSa untuk menghadirkan tambahan-tambahan tesebut.

(19)

6. Strategi Penghapusan (Omission atau Deletion)

Penghapusan di sini maksudnya adalah penerjemah tidak menerjemahkan sebagian teks atau kata dalam BSu ke dalam BSa dengan pertimbangan bahwa kata dalam BSu tersebut tidak terlalu penting bagi keseluruhan teks BSa atau dampaknya akan menimbulkan kebingungan bagi pembaca apabila diterjemahkan. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa kata tersebut juga sulit untuk diterjemahkan dan tidak terlalu menimbulkan perbedaan makna yang signifikan (Suryawinata, 2003: 75). Strategi penghapusan ini diterapkan pada 2 data. Adapun penjelasan dari strategi ini terdapat pada data 9 berikut.

(9) BSu:

َةَفْ يِنَح وُبَأ َلاَقَو

:

َةَرْشَع َعَبْرَأ َيِه

َس

ْج

َد ة

ا ضْيَأ

Wa qa>la abu> chani>fata: hiya arba‘a ‘asyrata sajdatan aidhan (An-Nawawi, 2014: 167).

BSa :

Abu Hanifah juga berpendapat ada empat belas (Hauro’, 2014: 139).

Pada data 9 di atas, penerjemah melakukan penghapusan kata

“ةَدْجَس”

sajdatun yang berfungsi sebagai tamyi>z bagi kata

“ َةَرْشَع َعَبْرَأ”

arba‘a ‘asyrata ‘empat belas’. Menurut peneliti, penghapusan ini bukan suatu kesalahan yang fatal karena kalimat ini masih memiliki keterkaitan dengan kalimat setelahnya yang masih membahas tema yang sama, yaitu kalimat

َداَز

ةَدْجَس

َةَرْشَع َسَْخَ

:

ُةَيِناَّثلاَو

(

ص

) ”

Wa’ts-tsa>niyatu: khamsa ‘asyrata sajdatan za>da (sha>d) (An-Nawawi, 2014: 167) yang diterjemahkan dengan “Kedua: berjumlah lima belas dengan tambahan ayat sajdah dalam surat Sha>d> ” (Hauro’, 2014: 139). Pada kalimat ini, kata

“ َس

ةَدْج ”

sajdatun diterjemhakan dengan “sajdah” sehingga pembaca

(20)

masih bisa menghubungkan keterkaitan maksud dari kata “empat belas ayat” tersebut adalah ayat sajdah.

Adapun penerapan strategi penghapusan juga terlihat pada data 10 berikut. (10) BSu:

َث َلَث ُلْوُقَ يَ ف ِة َلَّصلا ِدْوُجُس ْنِم ِهِب ُحِّبَسُي اَِبِ ُحِّبَسُي

َم َّر

تا

(

ىلعلْا ّبّر ناحبس

)

Yusabbichu bima> yusabbichu bihi min suju>di’sh-shala>ti fayaqu>lu tsala>tsa marra>tin (subcha>na rabbiyal-‘a’la>) (An-Nawawi, 2014: 180).

BSa :

Hendaknya ia membaca tasbih yang dibaca pada sujud shalat, yaitu membaca ‘subcha>na rabbiyal-‘a’la>)’ (artinya: Mahasuci Rabb yang Mahatinggi) (Hauro’, 2014: 150).

Pada data 10 di atas, penerjemah melakukan penghapusan pada tamyi>z dan mumayyaz-nya. Kata

“تاَّرَم”

marra>tun sebagai tamyi>z dan kata

“ث َلَث”

tsala>tsu sebagai mumayyaz-nya

.

Kedua kata tersebut membentuk frasa numeralia

تاَّرَم ”

ث َلَث

tsala>tsu marra>tin yang berarti “tiga kali”. Dalam BSa, penerjemah menghapus frasa ini sehingga pesan dalam kalimat tersebut tidak tersampaikan secara utuh. Menurut peneliti, penerapan strategi penghapusan pada data ini kurang tepat karena ada pesan penting dalam BSu yang belum tersampaikan dalam BSa.

Dari urainan di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi penghapusan yang diterapkan oleh penerjemah kadang kala merupakan hal yang tidak terlalu berpengaruh dalam terjemahan seperti pada data 9 di atas. Namun, kadang kala penerapan strategi ini merupakan pilihan yang kurang tepat seperti yang terlihat pada data 10 di atas sehingga makna dalam BSu tidak tersampaikan secara utuh.

(21)

7. Strategi Modulasi

Modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frase, klausa atau kalimat dengan cara mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu (Suryawinata, 2003: 75; Newmark, 1988: 88; Al-Farisi, 2011: 68). Perubahan ini bersifat leksikal ataupun gramatikal. Variasi perubahan sudut pandang tersebut bisa berupa abstrak menjadi konkret, sebab menjadi akibat, aktif menjadi pasif, ruang menjadi waktu dan semacamnya.

Sementara itu Machali (2009: 98) menjelaskan bahwa modulasi ada kalanya berupa pergeseran struktur seperti pada prosedur transposisi yang menyangkut pergeseran makna karena terjadi perubahan perspektif, sudut pandang atau sisi maknawi lainnya. Pada data ditemukan sebanyak 1 data yang menggunakan strategi ini. Penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 11 berikut.

Adapun penerapan strategi modulasi bebas terlihat pada data 11 berikut.

(11) BSu :

ِفِ ِماَمِْلِْل بَحَتْسُي

َعَبْرَأ َتُكْسَي ْنَأ ِةَّيِرْهَْلْا ِة َلَّصلا

تاَتَكَس

ِماَيِقْلا ِلاَح ِفِ

Yustachabbu lil’ima>mi fi’sh-shala>til-jahriyyati an yaskuta arba‘a sakata>tin fi> cha>lil-qiya>mi (An-Nawawi, 2014: 162).

BSa :

Empat tempat imam diam sejenak (Hauro’, 2014: 133).

Pada data 11 di atas, penerjemah melakukan strategi modulasi bebas yaitu menerjemahkan BSu ke dalam BSa dengan mengambil substansi BSu kemudian diungkapkan dengan bebas/tidak berdasarkan pada struktur BSu. Penerjemah melakukan menerjemahkan kalimat lengkap dalam BSu menjadi

(22)

frasa dalam BSa. Menurut peneliti, penerapan strategi modulasi pada data 11 ini kurang tepat karena banyak pesan BSu yang tidak tersampaikan dalam BSa.

Pada data di atas, kata

“تاَتَكَس”

sakata>tun ‘tempat’ merupakan tamyi>z untuk kata

“عَبْرَأ”

arba‘u ‘empat’. Gabungan dua kata ini membentuk frasa numeralia, yaitu

“ تاَتَكَس عَبْرَأ”

arba‘u sakata>tin ‘empat tempat’. Dalam kalimat BSu di atas, frasa

“ تاَتَكَس عَبْرَأ”

arba‘u sakata>tin ‘empat tempat’ berkedudukan sebagai maf‘u>l muthlaq/ keterangan. Penerjemah menjadikan frasa ini sebagai terjemahan inti yang diperluas dengan klausa “imam diam sejenak”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penerjemah melakukan perubahan perspektif bahwa fasa tersebut lebih penting untuk disampaikan dalam BSa dibandingkan dengan pesan yang lain. Terlihat pula penerjemah melakukan beberapa penghapusan pada BSu.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi modulasi harus didasari dengan penyampaian pesan secara utuh pada teks BSa, karena inilah prioritas utama dalam penerjemahan. Adapun mengenai pengubahan cara menyajikan terjemahan tersebut didasarkan pada mudahnya pembaca BSa dalam memahami pesan tersebut.

Gambar

Diagram 3.1. Strategi Penerjemahan Tamyi>z
Tabel 3.1. Strategi Penerjemahan  Tamyi>z

Referensi

Dokumen terkait

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Adanya residu bahan organik yang bersumber dari sisa-sisa pupuk kandang sapi serta gulma yang dibenamkan dan akar tanaman jagung di dalam kombinasi media tanam akan

Walaupun jumlah individu kepiting yang ditemukan di daerah mangrove di perairan Lingga dan sekitarnya, yaitu 175 individu dengan 19 jenis kepiting, lebih

Hasil KLT-Bioautografi komponen kimia yang memiliki aktivitas antimikroba dari hasil fraksi ekstrak n-heksan daun botto‟-botto‟ ( Chromolaena odorata L.) adalah fraksi

Sebelum mahasiswa melaksanakan kegiatan PPL, mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan pengamatan atau observasi. Observasi yang dilakukan pada

Saya mengesahkan bahawa Jawatankuasa Peperiksaan bagi Suzilynda Sukimin telah mengadakan peperiksaan akhir pada 10 Jun 2008 untuk menilai tesis Master Sains beliau yang

terdapat kurang dari 3 (tiga) penawar yang menawar harga kurang dari nilai total HPS maka proses lelang tetap dilanjutkan dengan melakukan evaluasi

Karakter kuantitatif meliputi : tinggi tanaman, panjang dan lebar daun (pada sepertiga tanaman bagian tengah), umur berbunga, umur panen, jumlah buah per tanaman, bobot