• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oseana, Volume XX, Nomor 3, 1995 : 1 9 ISSN oleh. Sri Juwana l) ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oseana, Volume XX, Nomor 3, 1995 : 1 9 ISSN oleh. Sri Juwana l) ABSTRACT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XX, Nomor 3, 1995 : 1 – 9 ISSN 0216 – 1877

STUDI TENTANG KESEIMBANGAN ENERGI KEPITING DALAM KURUNGAN APUNG DI GOBA-GOBA

oleh Sri Juwana l)

ABSTRACT

STUDY ON THE ENERGY BALANCE OF CRABS IN FLOATING CAGES IN LAGOONS. There are many species of crabs distributed along Pacific and Atlantic coasts which have acquired economic importance. Most of their populations have decreased considerably as the result of an increase in their capture. For this reason it has become necessary to investigate methods that may guarantee the production of economically feasible amounts of these crabs for commercial use. The objective of this paper was to provide an example of a method to determine the growth of a species of crab in floating cages as part of examination of the feasibility of raising crabs in such a culture system in coastal lagoons.

PENDAHULUAN

Data yang menggambarkan aliran energi melalui suatu populasi memberikan dasar kuantitatif yang dibutuhkan untuk menentukan peranan jenis (species) dalam komunitas dan dalam ekosistem atau sistim budidaya. Energi adalah derivat dari pakan yang dimakan (ingested) food = 1) digunakan untuk tumbuh (growth = P) dan metabolisme (R), sedang yang sebagian hilang melalui ekskresi (N). exuvia (E) dan feces (F) (KLEIN 1975). Hubungan antara variabel-variabel tersebut ditunjukkan dengan persamaan berikut

Persamaan ini dapat seimbang apabila semua komponen dinyatakan dalam unit yang sama. Hasil didapat dari suatu analisis keseimbangan energi suatu organisme mungkin digunakan untuk memperkirakan perubahan produksi karena perubahan kondisi, sehingga mungkin untuk memperkirakan efisiensi pertumbuhan (NELSON et al. 1977).

Pengaruh faktor abiotik dan biotik pada efisiensi pertumbuhan penting dalam akuakultur sebab kondisi optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi untuk suatu organisme dapat ditentukan. Hasil-hasil yang diperoleh dari keseimbangan energi mempunyai sifat prediktif sebab percobaan jangka panjang tidak diperlukan untuk menentukan kondisi ideal usaha budidaya.

(2)

Untuk menganalisis dengan benar pengaruh kondisi spesifik budidaya pada organisme dan memberi garansi terpakainya hasil. Perhitungan keseimbangan energi harus dilakukan dengan hati-hati dan lebih teliti dan dengan cara yang meyakinkan bahwa informasi ini menunjukkan normal konsumsi pakan dan penggunaan energi suatu pakan (FTNDLEY et al. 1978).

Misalnya, marga kepiting Callinectes banyak ditangkap sepanjang pantai Pasifik dan Atlantik Meksiko. Marga ini telah memegang nilai ekonomi penting pada beberapa tahun terakhir ini. Sebagai hasil beberapa studi telah menentukan: perkembangan komersial, industrialisasi, distribusi dan fisiologi. Populasi dari kepiting ini telah menurun di daerah goba-goba teluk Meksiko akibat dari peningkatan penangkapan. Untuk alasan ini dipandang perlu untuk menentukan metode yang tepat memberikan garansi perhitungan produksi ekonomi organisme ini untuk kepentingan komersial (ROSAS et al. 1993).

Tujuan dari studi ini adalah untuk memberikan satu contoh cara menentukan pertumbuhan suatu jenis (species) kepiting dalam kurungan terapung sebagai bagian pengujian dan kemungkinan membesarkan kepiting ini dengan cara sistim budidaya tersebut di goba-goba, berdasarkan percobaan yang dilakukan pada tahun 1986 oleh ROSAS et al. (1993).

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis kepiting yang digunakan dalam studi ini adalah Callinectes rathbunae dari goba Alvarado, Meksiko. Sejumlah 30 kepiting muda seberat 40,9 – 52,3 g dikumpulkan dari alam. Kepiting tersebut ditangkap dengan bubu, kemudian dalam

bak-bak diangkut ke area budidaya. Setelah sampai, kepiting ditempatkan secara indi-vidual terpisah dalam keranjang yang terletak pada dua kurungan terapung. Kurungan apung berukuran ( l x l ) m2, dimana setiap kurungan apung dapat memuat 15 keranjang kepiting. Kepiting ini tidak dipisahkan menurut sex, mereka tetap dalam kurungan selama 21 hari percobaan dan teratur diberi makan campuran 25% kerang dan 75% organ dalam ikan mujair (Tilapia) yang merupakan limbah pasar. Komposisi pakan adalah 47,4% pro-tein; 15,5% lipid; 19,7% karbohidrat dan 13,7% abu.

Pengukuran suhu harian, D.O (menggunakan methode Winkler) dan salinitas (menggunakan refraktometer) dilakukan. Pengukuran dilakukan pada pukul 07.00, 12.00 & 20.00. Pada akhir budidaya, suhu 30° ± 1° C. Salinitas 9 ± l‰ dan D.O. 5,7 ± 0,3 mg/1. Kepiting nampak dalam kondisi baik dan tidak ada mortalitas.

Pencernaan (assimilation)

Baik jumlah pakan yang dicerna dan efisiensi pencernaan dihitung. Konsumsi pakan diukur dengan ulangan 2 x untuk 12 hewan uji dengan meletakkan potongan pakan dengan berat diketahui pada masing-masing kurungan untuk periode 24 jam. Kemudian sisa pakan diambil dari kurungan, disampel untuk ditimbang. Kehilangan berat pakan dikoreksi dengan hasil yang diperoleh dari kontrol pakan tanpa kepiting. Laju pemangsaan (in-gestion rate) dinyatakan dengan huruf I.

Asimilasi (pencernaan) pakan dihitung dengan efisiensi asimilasi (AE) menurut CONOVER (1966) dan dimodifikasi oleh CONDREY et al. (1972).

(3)

Dimana I' adalah berat kering abu (ash free dry weight = afdw) terhadap berat kering (dry weight = dw) dari pakan, dan F adalah rasio afdw terhadap dw dari feces. Kemudian dw dan afdw pakan diperoleh dengan meletakkan beberapa potong pakan pada 60° C untuk dikeringkan sampai berat tetap, kemudian dengan meletakkan sampel pakan di suatu 'muffle furnace' pada suhu 500° untuk 4 jam.

Untuk menghindari perkiraan efisiensi asimilasi lebih rendah karena asimilasi abu, modifikasi yang dikenalkan oleh CONDREY et al. (1972) digunakan :

AE* = AE/100 + (Au/Af) { I' (1 – F') / F(l – r) }.100 dimana AE* adalah efisiensi asimilasi koreksi untuk abu yang diasimilasi. AU adalah kandungan abu pakan dan AF adalah abu kandungan feces.

Nilai kalori pakan ditentukan menggunakan Parr calorimeter. Empat jam sesudah makan, feces (F) diambil langsung dari intestine 12 kepiting, difrozen, dan dianalisis setelah 48 jam. Kemudian dw dan afdw (F') dari feces diperoleh menurut prosedur seperti telah digambarkan untuk pakan.

Laju asimilasi (AS) dari pakan yang dicerna dihitung dengan mengalikan efisiensi asimilasi (AE*, %) dengan pakan yang dicerna (If, cal/d/g afdw) dan dinyatakan sebagai cal/ d.g afdw :

As = AE*. If Respirasi (R)

Energi untuk respirasi ditentukan dengan mengukur konsumsi oksigen pada kelompok 10 kepiting yang diambil dari kurungan terapung. Kepiting ditimbang 51,3 ± 9,19 g dan tidak diberi makan selama 6 jam

sebelum dan selama eksperimen untuk menghindari kemungkinan adanya konsumsi oksigen untuk pencernaan makanan. Satu kepiting ditaruh dalam kotak plastik volume 4 liter dengan air laut mengalir 2 liter/jam. Sesudah periode aklimasi 2 jam pada suhu 30 ± 1° C dan salinitas 10‰, air laut mengalir dihentikan dan 100 ml sampel diambil. Bak tersebut kemudian diisi penuh dan ditutup rapat selama 25 menit untuk mencegah akumulasi produk ekskresi dan reduksi kadar oksigen yang mungkin memodifikasi laju metabolik. Kemudian masing-masing kotak dibuka dan sampel kedua diambil dan air laut mengalir diberikan kembali. Konsentrasi oksigen dalam sampel-sampel diukur dengan cara modifikasi tehnik Winkler (STRICK-LAND & PARSONS 1968). Konsumsi oksigen masing-masing kepiting dihitung dengan mengurangkan konsentrasi oksigen 11 dari yang 1 dan mengalikan dengan volume bak. Nilai oksigen yang dikonsumsi kemudian dikoreksi dengan data yang diperoleh dari bak kontrol tidak berisi kepiting. Pengukuran dilakukan setiap 4 jam selama 24 jam untuk memperoleh laju metabolik yang mewakili kondisi lokal dan membedakan antara oksigen yang dikonsumsi oleh zoo-plankton dan bakteria, dengan oksigen yang diproduksi oleh organisme fotosinthetik. Laju konsumsi oksigen dalam bak kontrol berkisar antara 0,2 and 0,5 mg O2/jam. Laju produksi

oksigen oleh fitoplankton dalam bak tersebut berkisar dari 0,2 sampai 0,4 mg O2/jam.

Energi yang digunakan untuk metabolisme respirasi dihitung dengan menggunakan koefisien oksikalori 3,2 cal/mg konsumsi oksigen (ELLIOT & DAVISON 1975). Ekskresi Nitrogen (N)

Ekskresi nitrogen kepiting tidak dapat ditentukan, maka diperkirakan lebih kurang 2% dari energi asimilasi (percernaan),

(4)

berdasarkan hasil yang diperoleh untuk C. rathbunae populasi yang mempunyai berat tubuh sama dan dipelihara dalam kondisi salinitas dan suhu sama ROSAS (dalam ROSAS et al. 1993).

Exuvia (E)

Energi yang hilang melalui molting dihitung dengan metoda tak langsung sebab kandungan CaCO3 dalam exuvia cukup tinggi

(lebih 50%) tidak dapat dihitung dengan pembakaran dalam pompa kalorimetrik (KLEIN 1975).

Dua puluh exuvia dikremasi dalam 'muffle furnace' pada suhu 500°C untuk 4 jam. Kuantitas bahan-bahan organik yang diperoleh dikalikan dengan nilai kalori kepiting yang baru saja molting, dan dibagi dengan 'molting rate', hasilnya dinyatakan sebagai, cal/d/g afdw (LOGAN & EPIFANIO 1978).

Pertumbuhan (P)

Pertumbuhan dihitung menggunakan rumus berrkut ini :

P = As - (R + N + E)

Dimana P adalah pertumbuhan dalam cal/d/g afdw, yang mana adalah perbedaan antara energi yang diasimilasi dengan yang hilang (N + E) dan digunakan (R).

Kedua elemen keseimbangan energi dihitung dengan metode langsung untuk validasi nilai yang dihitung untuk asimilasi dan pertumbuhan pada kondisi budidaya. Asimilasi dihitung sebagai (KOZLOVSKY 1968) :

AS = P* + R

Dimana P* adalah pertumbuhan sebenarnya dari kepiting selama budidaya. Peningkatan berat kepiting dicatat selama 21 hari

eksperimen, dan hasilnya dinyatakan sebagai pertumbuhan sebenarnya (P*).

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 menunjukkan berat basah (wet weight = ww), berat kering (dry weight = dw), abu (ash free dry weight = afdw) dan nilai kalori baik bagi C. rathbunae yang baru molting dan moltingnya. Karena afdw kepiting adalah 9% dari berat kering dan 55% berat basah. Maka ukuran medium kepiting seberat 49,6 g berat kering hanya mengandung 4,5 g bahan organik (afdw). Lebih-lebih dapat diamati bahwa persentase tinggi berat organisme terdapat di eksoskeleton. Dalam studi ini didapati exuvia adalah 56% berat kering, 64% berat basah dan 9% afdw kepiting.

Rata-rata 266,1 cal/g afdw dihitung untuk nilai kalori C. rathbunae dan 9% dari nilai ini terdapat di eksoskleton. Berdasarkan data ini, seseorang dapat memperoleh jumlah energi (per unit bahan organik, afdw) yang digunakan oleh organisme bagi proses penggunaan energi yang berbeda. Perhitungan berdasarkan unit lain (e.g. ww atau dw) akan menghasilkan perhitungan kelebihan elemen keseimbangan energi, sebab eksoskleton dan kandungan air akan termasuk sebagai bagian dari metabolik biomasa.

Berat kering (dw) dan afdw pakan dan feses kepiting ditunjukkan di Tabel 2. Pakan terdiri dari 67% bahan organik yang merupakan 2.821.3 ± 169.3 cal/g afdw dan terdiri dari 3% afdw tubuh, sama dengan 120 mg/d/g afdw.

Baik berat kering dan afdw diperoleh dari feces yang dikumpulkan langsung dari bagian paling distal usus kepiting. Bahan organik (afdw) dalam feces mencapai 36% berat kering. Berdasarkan pada data ini dan penggunaan rumus CONOVER (1966) dan CONDREY et al. (1972). diperoleh nilai 73%

(5)

Tabel 1. Berat basah (WW), berat kering (DW), abu (ash free dry weight = AFDW) dan nilai kalori dari Callinectes rathbunae, A = kepiting yang bam saja molting.

B = exuvia. Nilai adalah median ± 95% interval confidence. N = 20.

Tabel 2. Berat kering (DW), abu (AFDW) dan AFDW/DW pakan dan feces dari

Callinectes rathbunae. Nilai adalah median ± 95% interval confidence. N = 10.

efisiensi asimilasi. Nilai ini digunakan untuk menghitung laju asimilasi dengan menggunakan jumlah dan nilai kalori Tilapia yang dicerna (Tabel 3).

Laju respirasi 18,5 mg/d/g afdw derivat dari jumlah pakan yang diserap (86,5 mg/d/g afdw) dihitung. Laju ini 10.3 kali lebih besar dari pada kehilangan melalui ekskresi nitrogen dan molting (1.79 mg/d/g afdw).

Pertumbuhan yang diperoleh adalah 66 mg/d/g afdw, menunjukkan 76% asimilasi dan 55% pakan yang dicerna. Nilai ini 3,6 kali lebih besar dari energi yang digunakan untuk respirasi dan 37 kali lebih besar dari pada kehilangan melalui ekskresi dan molting.

Pakan yang dicerna (100%) diperuntukkan bagi asimilasi (73%), fungsi metabolik (15,7%), ekskresi (1,4%) dan exuvia (0,0017%). Energi

asimilasi (100%) digunakan untuk respirasi (21,3%) dan kehilangan melalui ekskresi (2%) dan molting (0,24%). Selebihnya 76% digunakan untuk pertumbuhan (Tabel 3).

Pertumbuhan sebenarnya (P*) yang diperoleh dikurungan terapung disajikan di Tabel 4. Berat kepiting meningkat sampai 30% selama 21 hari dengan laju 67 mg/d/g afdw. Peningkatan ini tidak nyata berbeda dari pertumbuhan yang dihitung dari rumus keseimbangan energi (P>0.05). Juga tidak ada perbedaan antara asimilasi yang dihitung secara tak langsung atau diperoleh dari energi yang ditujukan untuk pertumbuhan (P*) dan yang digunakan untuk respirasi (R) (P>0.05) (Tabel 5).

(6)

Tabel 3. Keseimbangan energi dari Callinectes rathbunae dalam kurung apung. Nilai adalah median ± 95 % interval confidence

Tabel 4. Pertumbuhan Callinectes ratbunae dalam kurung apung. Nilai adalah median ± 95 % interval confidence. N = 20

PEMBAHASAN

Budidaya kurungan untuk ikan lebih sering digunakan sebagai cara untuk mengontrol reproduksi (PAGAN – FONT 1975) dan untuk pertumbuhan. Meskipun demikian, sedikit studi yang menggunakan teknik budidaya untuk kepiting. PERRY (1984) menggunakan kuningan apung untuk memperoleh kepiting lunak (soft crabs).

Hasil dari studi ini menyarankan bahwa kurungan terapung sesuai untuk pembesaran C. rathbunae. Dengan menempatkan setiap kepiting dalam keranjang terpisah dalam kurung apung tersebut, sifat kanibalisme dan teritorialisme dari C. rathbunae dihindarkan. Teknik ini menunjukkan sukses untuk kepiting muda (50 g/individu) dengan kepadatan 15 kepiting/m2 yang nampak lebih besar dari pada 0,03 atau 0,1 kepiting/m2 dihitung untuk

(7)

Tabel 5. Perbandingan antara pencernaan dan pertumbuhan C. rathbunae diperoleh dari methode langsung dan tak langsung.

Nilai dalam mg/d/g afdw (A) dan dalam cal/d/g afdw (B). Nilai adalah median ± 95% interval confidence

kepiting menjelang dewasa C. rathbunae dalam suatu goba Veracruz pada musim yang berbeda dalam tahun yang sama (ROSAS et al. 1993).

Hanya sedikit studi telah dilakukan untuk menghitung jumlah pakan yang dikonsumsi oleh C rathbunae. KLEIN (1975) memberi makan Carcinus maenas di laboratorium sebanyak 5 – 1 3 % dari afdw organisme itu, tergantung dari ukuran. ROSAS (dalam ROSAS et al. 1993) menemukan bahwa kepiting C. rathbunae menjelang dewasa (dari goba Tamiahua) memakan pakan alami dalam quantitas 1,1% berat kering tubuh, dan nilai ini 1,9 x kurang dari yang dipelihara dalam kondisi budidaya. Pengamatan ini tidak dipandang tidak biasa, sebab organisme dalam habitat alami secara normal makan dibawah nilai optimum, karena variasi dalam pakan yang tersedia, kompetisi untuk pakan dan teritorialitas (GRAHAME 1983).

C. rathbunae menerima pakan yang disediakan dalam penelitian ini, sebanyak 3% berat tubuh. Jadi konsumsi yang lebih besar

dalam sistim kurungan terapung mungkin karena tidak ada variabel lingkungan yang disebut terdahulu. Hewan itu juga diberi pakan dalam jumlah yang lebih besar supaya ada lebih energi untuk tumbuh.

Pakan yang diberikan kepada kepiting selama studi ini sangat diterima, seperti ditunjukkan oleh nilai pencernaan pakan yang tinggi yang dicatat selama percobaan. Nilai asimilasi dicatat dalam studi ini (73%) berbeda dengan (81%) dilaporkan bagi lobster muda Homarus americanus (LOGAN & EPIFANIO 1978) dan lebih besar dari nilai (65%) ditentukan bagi C. maenas oleh KLEIN (1975). Nilai ini berada diantara 55 – 87% dilaporkan untuk Penaeus aztecus dan P. setiferus oleh CONDREY et al. (1972).

Asimilasi yang dihitung dalam studi ini menggunakan metode tak langsung disarankan oleh CONOVER (1966) dan dimodifikasi oleh CONDREY et al. (1972). Meskipun beberapa penulis telah menyarankan bahwa metode ini dapat menyebabkan deviasi (PANDIAN & MARIAN 1985; BJORNDAL 1985), hasilnya adalah sebanding dengan

(8)

yang diperoleh (CORNER et al. 1967; CONDREY et al. (1972).

Suatu masalah yang berkaitan dalam perhitungan nilai asimilasi dengan metode ini adalah perkiraan bahwa kandungan abu dalam pakan berubah selama proses pencernaan. Eksoskleton dari kepiting marga Callinectes menunjukkan kira-kira 50% berat kering (SANCHEZ et al. 1991), menunjukkan nilai asimilasi mineral yang tinggi. Meskipun demikian, apabila kuantitas asimilasi mineral diketahui, akan mungkin menghitung asimilasi mineral dan memperoleh nilai cukup untuk digunakan dalam keseimbangan energi.

Cara lain untuk menentukan kebenaran metode ini adalah melalui analisis dari pertumbuhan sebenarnya (P*) (Tabel 5) karena tidak ada beda nyata antara pertumbuhan (P) dan pertumbuhan kepiting sebenarnya (P*) dalam sistem budidaya, nampak bahwa aliran energi yang diperoleh cukup untuk memperkirakan pertumbuhan C. rathbunae dalam kurungan terapung melalui asimilasi dan pertmbuhan. Perkiraan alamiah dari rumus keseimbangan energi yang dihitung dengan cara ini sesuai untuk akuakultur sebab hasil yang cepat dan dapat dipercaya sekarang dapat diperoleh.

Beberapa hasil diperoleh disini dapat juga digunakan untuk menentukan kondisi ideal untuk budidaya. Misalnya, konsumsi oksigen diukur dalam studi ini dalam 4L respirometer tertutup dimana behavior kepiting sama dengan yang ada dikurungan terapung. Nilai laju respirasi 18,5 mg O2/d/g

afdw sama dengan 1,83 mg O2/jam dicatat

untuk kepiting seberat 60 g menggunakan air goba dimana kurungan terapung diletakkan. Karena limit toleransi terhadap O2 genus ini

(Calinectes) sekitar 1,5 mg O2/liter

dijumlahkan ke nilai respirasi yang diperoleh, maka dapat dilihat bahwa suatu konsentrasi lebih besar daripada 3,3 mg O2/liter akan

cukup untuk memelihara C. rathbunae menjelang dewasa dikurungan terapung tanpa stres (PERRY 1984). Nilai oksigen seperti ini adalah umum di goba negara tropis dimana nilai produktivitas lebih besar dari pada 4 mg O2/liter telah sering dicatat

YANEZ ARANCIBIA (dalam ROSAS et al. 1993).

Kepiting muda C. rathbunae dalam studi ini digunakan untuk mencoba sistim budidaya secara individuil dengan kurungan terapung di goba-goba. Kurungan terapung memberikan efisiensi pengelolaan dengan kontrol tertutup dari kondisi umum, diet, penyakit dan proses molting. Tetapi ada banyak pertanyaan yang perlu diselesaikan sebelum kurungan terapung dapat merupakan suatu sistim budidaya. Kecepatan tumbuh yang tergantung musim dan pengaruh perubahan lingkungan perlu dievaluasi sebelum menggunakan kurungan terapung dalam budidaya kepiting jenis ini secara komersial. WILBER & WILBER (1989), menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh ruang dan pakan terhadap pertumbuhan krustasea.

DAFTAR PUSTAKA

BJORNDAL, K. A. 1985. Use of ash as an Indicator dietary marker. Bull. Mar. Science 36 : 224 – 230.

CONDREY, R.E., J.G. GOSSELINK and H.J. BENNET 1972. Comparison of the assimilation of different diets by Penaeus setiferus and Penaeus aztecus. Fish. Bull. 70 : 1281 – 1291.

CONOVER, R.J. 1966. Assimilation of or-ganic matter by zooplankton. Lim. Ocean. 11 : 338 – 345.

ELLIOT, J.M., and W. DAVISON 1975. Equivalents of oxygen consumption in animal energetics. Oecologia 19 : 195 – 201.

(9)

FINDLEY, A.M., B.W. BELISLE & W.B. STICKLE 1978. Effects of salinity fluctuations on the respiration rate of south oyster drill Thais haemastoma and the blue crab Callinectes sapidus. Mar. Biol. 49 : 59 – 67.

GRAHAME, J. 1983. Adaptive aspects of feeding mechanisms. In Biology of Crustacea (Vernberg, F.J. & W.B. Vernberg, eds.) Vol. VIII : 335 – 337. Academic Press. New York. USA. KLEIN, B.W.C.M. 1975. Food consumption,

growth and energy metabolism of ju-venile shore crabs (Carcinus maenas). Nether. Jour. Sea. Res. 9 : 255 – 272. KOZLOVSKY, D.G. 1968. A critical

evalu-ation of the tropic level concept. I. Ecological efficiencies. Ecology 49 : 48 – 60.

LAGON, D.T. & C.E. EPIFANIO 1978. A laboratory energy balance for the lar-vae and juvenile of the American Lobster Homarus americanus. Mar. Biol. 47 : 381 – 389.

NELSON, S.G., H.W. LI & A.W. KNIGHT 1977. Caloric, carbon and nitrogen metabolism of juvenile Macrobrachium rosembergii (De Man) (Crustacea, Palemonidae) with regard to trophic position. Comp. Biochem. Physiol 58 A : 319 – 327.

PAGAN-FONT, F.A. 1975. Cage culture as a mechanical method for controlling re-production of Tilapia aurea (Steindachner). Aquaculture 6 : 243 – 247.

PANDIAN, T.J. & M..P. MARIAN 1985. Nitrogen content of food as an index of absorption efficiency in fishes. Mar Biol. 85 : 301 – 311.

PERRY, H.M. 1984. Blue crab fishery pro-file. Us Wildlife Service. Washington Development Committee.

ROSAS, C, C. VANEGAS. I. TABARES & J. RAMIREZ 1993. Energy balance of Callinectes rathbunae Contreas 1930 in floating cages in a tropical coastal lagoon. Jour. World Aqua. Soc. 24 (1) : 71 – 79.

SANCHEZ, A., C. ROSAS, E. ESCOBAR & L.A. SOTO 1991. Skeleton weight free oxygen consumption related to habitat and habits of six crustaceans species. Comp. Biochem. Physiol. 100 A (I) : 69 – 73.

STRICKLAND. J.D.H. & PARSONS 1969. A practical handbook of sea water analysis. Fish. Res. Board Canada Bull. : 1 6 7 – 3 1 1 .

WILBER, D.H. & T.D. WILBER 1989. The effects of holding space and diet on the growth of the west Indian Spider Crab. Mithrax spinosissimus (LAMARCK). J. Exp. Mar. Biol. Ecol 131 : 215 – 222.

Gambar

Tabel 1. Berat basah (WW), berat kering (DW), abu (ash free dry weight = AFDW)  dan nilai kalori dari Callinectes rathbunae, A = kepiting yang bam saja molting
Tabel 4. Pertumbuhan Callinectes ratbunae dalam kurung apung.
Tabel 5. Perbandingan antara pencernaan dan pertumbuhan C. rathbunae  diperoleh dari methode langsung dan tak langsung

Referensi

Dokumen terkait

leukosit, dan trombosit menurun. 4) Homogenisasi darah dengan antikoagulan yang tidak sempurna atau5. keterlambatan homogenisasi menyebabkan terbentuknya

(ii) dan seorang hamba yang dikurniakan ilmu oleh Allah tetapi tidak dikurniakan harta, dan dia seorang yang benar pada niatnya dengan berkata: Sesungguhnya

Setiap mahasiswa berhak menggunakan atau memanfaatkan fasilitas akademik dan kemahasiswaan untuk menunjang kelancaran proses belajar mengajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan tentang stunting untuk meningkatkan pengetahuan pasangan usia subur, ibu hamil, dan ibu balita di

 Menyenaraikan kuasa- kuasa barat yang terlibat dalam penjelajahan  Malakarkan laluan penjelajahan kuasa- kuasa barat  Menyatakan sebab- sebab penjelajahan kuasa-kuasa barat

Halaman perbaikan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4 memperlihatkan (1) Judul penelitian yang diperbaiki dengan keterangan lama penelitian, skema penelitian dan tahun

Membahas mengenai teknik pengumpulan data, karena metode dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, maka pengumpulan data akan

Untuk masalah-masalah yang memiliki lebih dari dua cabang,nested if merupakan salah satu alternative yang dapat digunakan, nested if sebenarnya adalah suatu bentuk struktur if di