1
BIOMASSA FOSFOR MIKROBA DAN FOSFATASE TANAH GAMBUT DI SEMENANJUNG KAMPAR: ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN
TERHADAP STATUS UNSUR FOSFOR
Rahmila1, Delita Zul2 dan Bernadeta Leni Fibriarti2 1
Mahasiswa Program Studi S1 Biologi 2
Dosen Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Kampar Peninsula is one of the peat areas that has a high conservation value in Riau. Most of this areas have been converted into agriculture, plantations, and industrial plantation forests. This activity will reduce the amount of vegetation and affect microbial community composition and activity, which in turn will affect the P cycle in peatlands. This study aims to analyze the impact of land use to microbial P biomass and soil acid phosphatase activity. Soil samples were taken from three different land use systems, namely secondary forest, the 7-8 year old palm plantation and cassava fields. Microbial P biomass was quantified by using Chloroform Fumigation Extraction (CFE) method, while soil acid phosphatase activity was determined by using of colorimetric method. Microbial P biomass was high in the secondary forest site (274,27 μg P/g soil), and the lowest was in the cassava fields (72,68 μg P/g soil). Soil acid phosphatase was very active in the secondary forest site (40,58 μmol PNP/hours/g soil) and the lowest activity was found in the cassava fields (22,68 μmol PNP/hours/g soil). From the data, it can be concluded that land use affects the microbial P biomass and acid phosphatase activity in The Kampar Peninsula.
Key words: acid phosphatase, Kampar Peninsula, land use, microbial P biomass
ABSTRAK
Semenanjung Kampar merupakan salah satu daerah yang memiliki lahan gambut cukup luas di Riau dan memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Sebagian besar daerah ini telah dikonversi menjadi lahan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman industri. Aktivitas ini akan menurunkan jumlah vegetasi dan mempengaruhi komposisi komunitas dan aktivitas mikroba yang pada akhirnya akan mempengaruhi siklus P di lahan gambut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap biomassa P mikroba dan aktivitas fosfatase asam tanah. Sampel tanah diambil dari tiga lokasi yang berbeda, yaitu hutan sekunder, kebun kelapa sawit umur 7-8 tahun dan ladang ubi kayu.
2
Pengukuran biomassa P mikroba menggunakan metode Chloroform Fumigation Extraction (CFE). Pengukuran aktivitas fosfatase asam menggunakan metode kolorimetri dengan panjang gelombang 410 nm. Biomassa P mikroba tertinggi terdapat pada lokasi hutan sekunder (274,27 μg P/g tanah) dan terendah terdapat pada lokasi ladang ubi kayu (72,68 μg P/g tanah). Aktifitas fosfatase asam tertinggi terdapat pada lokasi hutan sekunder (40,58 μmol PNP/jam/g tanah) dan terendah terdapat pada lokasi ladang ubi kayu (22,68 μmol PNP/jam/g tanah). Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa sistem pengolahan dan alih fungsi lahan berpengaruh terhadap biomassa P mikroba dan aktivitas fosfatase asam di lahan gambut Semenanjung Kampar.
Kata kunci: alih fungsi lahan, biomassa P mikroba, fosfatase asam, Semenanjung Kampar.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau sekitar 11% dari luas daratan Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP 2008). Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau Sumatera dimana 3,2 juta ha luas lahan gambut tersebut terdapat di Provinsi Riau yang tersebar di beberapa kabupaten sepanjang Timur wilayah hingga ke bagian pesisir Riau seperti Semenanjung Kampar. Dari luasan tersebut, sekitar 1,83 juta ha (57%) dari luas total lahan gambut tersebut umumya telah ditanami kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, sebagiannya masih berupa hutan alam dan lahan terlantar setelah hasil kayu hutan alamnya diambil (WWF 2008).
Secara alamiah, lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena rendahnya unsur hara yang terkandung di dalamnya. Fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah yang relatif tinggi oleh tanaman, akan tetapi pada lahan gambut ketersediaannya terbatas karena P terikat menjadi Fe-fosfat dan Al-fosfat yang mengakibatkan ketersediaannya menjadi rendah pada jenis tanah ini. Hal ini yang menjadi faktor pembatas dalam aktivitas pertanian di lahan gambut.
Fosfor dijumpai dalam bentuk fosfat organik dan fosfat anorganik ditanah. Mineralisasi fosfat organik menjadi fosfat anorganik melibatkan peran mikroba tanah melalui produksi enzim fosfatase. Fosfatase merupakan salah satu enzim tanah yang terlibat dalam proses transformasi unsur hara P di tanah. Enzim fosfatase terbagi menjadi fosfatase asam dan basa. Beberapa enzim fosfatase seperti fosfomonoesterase, fosfodiesterase, trifosfomonoesterase dan fosfoamidase pada umumnya terdapat dalam tanah. Enzim-enzim tersebut bertanggung jawab pada proses hidrolisis fosfat organik menjadi fosfat anorganik (Lal 2002). Aktivitas fosfatase sensitif terhadap perubahan lingkungan sehingga representatif digunakan sebagai indikator kesuburan tanah. Namun, ketersediaan P di dalam tanah juga sangat tergantung pada sifat dan ciri tanah serta pengelolaan tanah itu sendiri (Sarapatka 2003).
Semenanjung Kampar memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi, namun sebagian besar wilayah ini telah mengalami degradasi dan dikonversi menjadi lahan pertanian, perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hal tersebut akan
3
menghilangkan atau mengurangi populasi vegetasi asli sehingga mempengaruhi struktur dan tingkat kesuburan tanah serta akan mempengaruhi siklus P karena adanya perubahan komposisi komunitas dan aktivitas mikroba tanah. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dampak alih fungsi lahan pada tanah gambut di Semenanjung Kampar terhadap status unsur fosfor pada tanah tersebut yang akan dianalisis secara mikrobiologi dengan cara mengetahui konsentrasi biomassa fosfor mikroba dan aktivitas fosfatase tanah gambut yang mempunyai keterkaitan dengan pola aktivitas biologi tanah dan mineralisasi fosfat.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai Februari 2013 di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Botani Jurusan Biologi, Laboratorium Kimia Fisika dan Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penelitian ini diawali dengan menggambil sampel tanah gambut dari kawasan Semenanjung Kampar yang berada di sebelah timur Propinsi Riau dan secara administrasi berada diantara dua Kabupaten yaitu Kabupaten Siak (38%) dan Kabupaten Pelalawan (62%). Sampel tanah diambil pada 3 lokasi yang meliputi hutan sekunder, kebun sawit umur 7-8 tahun dan ladang ubi kayu dengan metode purposive sampling pada kedalaman 0-15 cm dengan membersihkan serasah-serasah terlebih dahulu. Pada setiap lokasi tersebut diambil 4 sampel tanah sebagai ulangan. Sampel tanah yang telah diambil dievaluasi dengan mengukur biomassa P mikroba menggunakan metode Chloroform Fumigation Extraction (Voroney et al. 2006). Pengukuran aktivitas fosfatase asam menggunakan metode kolorimetri (Sinsabaugh 2003) dengan panjang gelombang 410 nm.
Pengukuran Biomassa Fosfor (P) Mikroba
Biomassa P mikroba diukur menggunakan metode Chloroform Fumigation Extraction (CFE). Sampel tanah dikering anginkan hingga mencapai 40% kapasitas lapang dan disaring menggunakan saringan dengan ukuran pori < 2 mm. Ditimbang subsampel tanah sebanyak 3 g dan difumigasi selama 24 jam dengan 30 ml CHCl3 bebas alkohol, diekstraksi dengan 60 ml 0,5 M NaHCO3 dan dishaker selama 30 menit. Hal yang sama dilakukan untuk perlakuan non-fumigasi, subsampel tanah yang sama ditimbang sebanyak 3 g dan disimpan pada keadaan gelap selama 24 jam, diekstraksi dengan 60 ml 0,5 M NaHCO3 dan dishaker selama 30 menit. Ekstrak tanah disaring dengan kertas Whatman no. 42. Larutan ekstraksi sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 4,0 ml larutan asam askorbat dan 3,0 ml reagen molibdat. Larutan dihomogenkan dan ditunggu selama 1 jam supaya warna terlihat jelas, kemudian dibaca absorbansi sampel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 880 nm. Biomassa P mikroba (BPM) dihitung menggunakan rumus yang merujuk pada Voroney et al. (2006).
Pengukuran Aktivitas Fosfatase Asam
Satu gram sampel tanah dimasukan ke dalam vial dan dicampurkan dengan 5 ml bufer asetat 0,05 M pH 5 kemudian divorteks. Reaksi enzimatik pada larutan diawali dengan penambahan 5 ml substrat analog p-nitrophenol phosphatase (p-NPP) 0,005 M.
4
Larutan diinkubasi menggunakan shaker inkubator dalam keadaan gelap dengan kecepatan 180 rpm selama 1,5 jam pada suhu 28oC. Hal yang sama juga dilakukan untuk kontrol tanah (1) dan kontrol substrat (2). yaitu tanah sebanyak 1 g dicampurkan dengan 10 ml buffer asetat (1) dan sebanyak 6 ml buffer asetat dicampurkan dengan 5 ml p-NPP 0,005 M (2). Setelah larutan diinkubasi, larutan disentrifuse pada kecepatan 6.000 rpm selama 10 menit. Supernatan sebanyak 1 ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 1 ml NaOH 1 N lalu ditambahkan dengan aquades hingga volume larutan mencapai 3 ml dan divorteks. Kemudian dibaca absorbansi larutan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm (Sinsabaugh 1994). Aktivitas enzimatik diekspresikan sebagai µmol pNP/jam/g berat kering sampel tanah. Aktivitas enzim dihitung menggunakan rumus yang merujuk pada Sinsabaugh (1994).
Analisis Data
Data penghitungan biomassa P mikroba dan pengukuran aktivitas fosfatase asam ditampilkan dalam bentuk grafik. Data dianalisis secara statistik menggunakan One-way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference)pada taraf nyata 5% menggunakan SPSS versi 16,0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Biomassa Fosfor (P) Mikroba
Pengukuran jumlah biomassa P mikroba pada setiap lokasi pengambilan sampel tanah disajikan pada Gambar 1. Hasil yang diperoleh berkisar antara 72,68-274,27 μg P/g tanah. Biomassa P yang tertinggi terdapat pada lokasi hutan sekunder dan biomassa P terendah terdapat pada lokasi ladang ubi kayu.
Perbedaan jumlah biomassa P mikroba (Gambar 1) dapat disebabkan oleh kandungan bahan organik tanah. Tingginya biomassa P pada lokasi hutan sekunder disebabkan karena hutan sekunder merupakan lokasi yang tidak dialih fungsi sehingga kandungan bahan organiknya relatif tinggi. Menurut Oberson et al. (2006) pada lingkungan yang kandungan bahan organiknya tinggi maka akan diperoleh biomassa yang tinggi.
Gambar 1. Biomassa P mikroba pada tiga lokasi pengambilan sampel di lahan gambut Semenanjung Kampar 0 100 200 300 400 1 2 3 B iom as sa P Mi k roba (μ g P/g tana h) Hutan Sekunder Kebun Sawit (7-8 tahun) Ladang Ubi Kayu
5
Variasi hasil penghitungan biomassa P mikroba yang di peroleh dari tiga lokasi pengambilan sampel selanjutnya dianalisis menggunakan One-Way ANOVA untuk melihat dampak alih fungsi lahan terhadap biomassa P mikroba. Hasil analisis menunjukan bahwa biomassa P mikroba pada tiap lokasi pengambilan sampel mempunyai perbedaan yang signifikan (0,000). Signifikasi jumlah biomassa P mikroba yang diperoleh dari hasil analisis One-Way ANOVA kemudian diuji lanjut menggunakan uji LSD pada taraf kepercayaan 5% yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis biomassa P mikroba di lahan gambut Semenanjung Kampar menggunakan uji LSD pada taraf uji 5%
Hutan Sekunder Kebun Sawit (7-8 Tahun) Ladang Ubi Kayu Hutan Sekunder - 0,001* 0,000*
Kebun Sawit (7-8 Tahun) - 0,016*
Ladang Ubi Kayu -
Keterangan: Analisis dilakukan pada taraf ≤ 0,05. * = berbeda nyata.
Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa biomassa P mikroba pada lokasi yang mengalami alih fungsi lkan bahwa alih fungsi lahan sangat mempengaruhi biomassa P mikroba tanah. Alih fungsi lahan berbeda nyata bila dibandingkan dengan lokasi hutan sekunder. Bisa disimpu lahan gambut akan mengubah ekosistem dan vegetasinya, sehingga akan mempengaruhi komposisi dan jumlah biomassa mikroba tanah (Kartamihardja 2002). Hal tersebut yang mengakibatkan penurunan jumlah biomassa P mikroba yang signifikan pada lahan yang telah dialih fungsi (Sharma et al. 2003).
Aktivitas Fosfatase Asam
Hasil pengukuran aktivitas fosfatase asam dari setiap lokasi pengambilan sampel tanah disajikan pada Gambar 2. Hasil yang diperoleh berkisar antara 22,68-40,58 μmol PNP/jam/g tanah. Aktivitas fosfatase asam tertinggi terdapat pada lokasi hutan sekunder dan aktivitas terendah terdapat pada lokasi ladang ubi kayu.
Perbedaan aktivitas fosfatase asam (Gambar 2) dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba tanah dan tingkat dekomposi material organik (Lal 2002). Tingginya aktivitas fosfatase asam pada hutan sekunder disebabkan karena adanya pembuatan kanal disekitar lokasi tersebut. Menurut Sagiman (2007) adanya kanal menyebabkan hilangnya air di lahan gambut sehingga permukaan air tanah akan mengalami penurunan. Selain itu, hutan sekunder juga memiliki kanopi yang tidak lebat sehingga penetrasi cahaya matahari dapat menjangkau permukaan tanah, dimana kondisi ini juga dapat menyebabkan berkurangnya kandungan air tanah karena terjadinya evaporasi. Kedua kondisi tersebut yang mengakibatkan oksigen masuk ke dalam rongga tanah sehingga akan meningkatkan aktivitas mikroba aerob dalam mendekomposisi dan memineralisasi bahan organik melalui produksi enzim fosfatase asam (Suliasih dan Rahmat 2007). Fosfatase asam juga distimulasi oleh bahan organik dan senyawa P organik (Tafdar dan Marschener 1994).
6
Gambar 2. Aktivitas fosfatase asam pada tiga lokasi pengambilan sampel di lahan gambut Semenanjung Kampar
Variasi aktivitas fosfatase asam yang diperoleh dari tiga lokasi pada penelitian ini selanjutnya dianalisis menggunakan One-Way ANOVA untuk melihat dampak alih fungsi lahan terhadap aktivitas fosfatase asam. Hasil analisis menunjukan bahwa aktivitas fosfatase asam pada tiap lokasi pengambilan sampel mempunyai perbedaan yang signifikan (0,064). Signifikasi aktivitas fosfatase asam dari hasil analisis One-Way ANOVA kemudian diuji lanjut menggunakan uji LSD pada taraf kepercayaan 5% yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis aktivitas fosfatase asam di lahan gambut Semenanjung Kampar
menggunakan uji LSD pada taraf uji 5% Hutan Sekunder Kebun Sawit (7-8 Tahun) Ladang Ubi Kayu Hutan Sekunder - 0,053NS 0,033*
Kebun Sawit (7-8 Tahun) - 0,743NS
Ladang Ubi Kayu -
Keterangan: Analisis dilakukan pada taraf ≤ 0,05. * = berbeda nyata, NS = tidak berbeda nyata.
Hasil uji lanjut LSD secara umum menunjukan bahwa aktivitas fosfatase asam pada lokasi yang mengalami alih fungsi lahan menjadi ladang ubi kayu berbeda nyata dengan lokasi hutan sekunder. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa sistem pengolahan dan alih fungsi lahan berpengaruh terhadap aktivitas enzim fosfatase asam tanah. Selain itu, aktivitas fosfatase asam di tanah sangat berhubungan dengan kandungan P organik di tanah.
0 20 40 60 1 2 3 A k ti v it as Fosf at as e A sa m (μ m ol PN P/j am /g tana h) Hutan Sekunder Kebun Sawit (7-8 tahun) Ladang Ubi Kayu
7
KESIMPULAN DAN SARAN
Biomassa P mikroba tertinggi terdapat pada lokasi hutan sekunder (274,27 μg/g tanah) dan biomassa P mikroba terendah terdapat pada lokasi ladang ubi kayu (72,68 μg/g tanah). Aktifitas fosfatase asam tertinggi terdapat pada lokasi hutan sekunder (40,58 μg P/g tanah) dan aktivitas fosfatase asam terendah terdapat pada lokasi ladang ubi kayu (22,68 μg P/g tanah). Sistem pengolahan dan alih fungsi lahan berpengaruh terhadap biomassa P mikroba dan aktivitas fosfatase asam di lahan gambut Semenanjung Kampar. Siklus P berlangsung cepat di lokasi hutan sekunder dan berlangsung lambat di lokasi ladang ubi kayu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dinamika biomassa fosfor mikroba dan aktivitas fosfatase asam di lahan gambut Semenanjung Kampar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Unggulan Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2012. Lembaga Penelitian universitas Riau yang telah membantu penelitian ini melalui Dana Kreativitas Mahasiswa. Masyarakat Semenanjung Kampar yang telah memberi izin dan membantu dalam pengambilan sampel penelitian. Kepala dan Laboran Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau yang telah memberikan izin atas penggunaan fasilitas laboratorium selama penelitian dan semua pihak tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu.
DAFTAR PUSTAKA
BB Litbang SDLP. 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Kartamihardja, E. S. 2002. Pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah: Mega Proyek Pemusnahan Sumber Daya Perikanan. [Makalah Falsafah Sains]. Bogor, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian.
Lal, L . 2002. Phosphate enzymes from plants. Journal of Biological Education 33 (2): 109-112.
Oberson, A., Bu’’ nemann, E.K., Friesen, D.K., Rao, I.M., Smithson, P.C., Turner, B.L., dan Frossard, E. 2006. Biological Approaches to Sustainable Soil Systems: Improving Phosphorus Fertility in Tropical Soils through Biological Intervention. (Eds): Uphoff N, Ball AS, Fernandes E, Herren H, Husson O, Laing M, Palm C, Pretty J, Sanchez P. USA: CRC Press; Chapter 31: 531-546.
Sagiman, S. 2007. Pemanfaatan lahan gambut dengan perspektif pertanian berkelanjutan [Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah]. Universitas Tanjungpura, Fakultas Pertanian.
Sarapatka, N. 2003. Phosphatase activities (ACP, ALP) in Agroecosystem Soil. Doctoral thesis. Swedish University of Agricultural Sciences. Uppsala.
8
Sharma, P., Rai, S.C., Sharma, R., dan Sharma, E. 2003. Effects of land-use change on soil microbial C, N and P in a Himalayan watershed (Abstrak). Journal Pedobiologi 48: 83-92.
Sinsabaugh, R.L., Saiya-Cork, K., Long, T., Osgood, M.P., Neher, D.A., Zak, D.R., dan Norby, R.J. 2003. Soil microbial activity in a Liquidambar plantation unresponsive to CO2-driven increases in primary production. Applied Soil Ecology 24: 263–271. Suliasih dan Rahmat. 2007. Aktivitas fosfatase and pelarutan kalsium fosfat oleh beberapa
bakteri pelarut fosfat. Biodiversitas 8 (1): 23-26.
Tafdar, J.C. Marschner, H. 1994. Phosphatase activity in the rhizosphere and application of VA mycorrhiza wheat supplied with inorganic and organic phosphorus. Soil Biology Biochemistry 26 (3): 387-395.
Voroney, R.P., Brookes, P.C., Beyaert, R.P. 2006. Soil Microbial Biomass C, N, P and S. Taylor and Francis group, LLC.
Wieder, R.K., dan Vitt, D.H. 2006. The Biology of Peatland. Pages 160-175 in Czeschlik D, Heidelberg, Schlitzberger A, (Eds). Boreal Peatland Ecosystems. Germany: Friedmut Kroner, Heidelberg.
WWF. 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emision in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian propinve’s forest and peat soil carbon loss over a quarter century and it’s plans for the future. WWF Indonesia Tecnical Report. www.wwf.or.id.