• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH ATAS DI INDONESIA: SUATU PERSPEKTIF HISTORIS DARI MASA KE MASA Cetakan Pertama 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH ATAS DI INDONESIA: SUATU PERSPEKTIF HISTORIS DARI MASA KE MASA Cetakan Pertama 2017"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

PERKEMBANGANKURIKULUMSEKOLAHMENENGAHATAS

DIINDONESIA:SUATU PERSPEKTIF HISTORIS DARI MASA KE MASA

Cetakan Pertama 2017 Penulis:

Dr. Hermana Somantrie, MA. Dr. Herry Widyastono, M. Pd. Sri Hidayati, M. Si.

Penyelaras:

Dr. Herry Widyastono, M. Pd. Dr. Siskandar, MA.

Milik Negara Tidak Diperdagangkan

Diterbitkan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Jalan Gunung Sahari Raya No. 4 Senen, Jakarta Pusat

Telepon: 3804248, 3453440, 34834862

Faksimile: 3453440, 34834862,3806229, 34835186, 3813645

(3)

ii

PENGANTAR PENULIS

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Penulis telah menyelesaikan naskah buku Perkembangan Kurikulum Sekolah Menengah Atas di Indonesia [Suatu Perspektif Historis dari Masa ke Masa]. Penulisan buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran perkembangan kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) dari masa ke masa sejak masa kolonial sampai dengan masa kemerdekaan.

Penulisan buku ini bertujuan untuk mengungkap kembali “the lost generation of

curriculum”, yaitu generasi-generasi Kurikulum SMA yang hampir hilang dari

ingatan masyarakat Indonesia masa kini. Padahal kurikulum tersebut pernah memberikan kontribusi dalam penyiapan sumber daya manusia Indonesia sesuai dengan kebutuhannya pada setiap masa yang berbeda.

Pentingnya penelusuran terhadap kurikulum yang pernah berlaku, yaitu, pada dasarnya, setiap generasi kurikulum pasti memuat berbagai gagasan atau pemikiran yang brilian pada zamannya dalam rangka membentuk peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan di zaman tersebut. Pemikiran tersebut perlu dipahami oleh masyarakat secara mendalam untuk menjawab pertanyaan, mengapa kurikulum selalu berubah-ubah?

Menelusuri kembali dokumen kurikulum terutama pada masa kolonial dan masa awal kemerdekaan merupakan suatu upaya yang harus disertai dengan kesabaran, karena pada kenyataannya dokumen tersebut sudah sangat sulit ditemukan. Meskipun ada yang tersisa, namun dokumen tersebut sudah tidak lengkap lagi isinya, sehingga sulit untuk dianalisis dan ditafsirkan.

Kepada semua pihak yang memberi akses dan dukungan dalam rangka pencarian berbagai dokumen, Penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga, karena atas bantuanya tersebut buku ini dapat diwujudkan. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada Bapak Drs. Mohammad Sholeh yang telah memberikan banyak masukan konstruktif bagi penyempurnaan buku ini sebelum diterbitkan secara luas.

Jakarta, Mei 2017 Penulis

(4)

iii

SAMBUTAN

KEPALA PUSAT KURIKULUM

Penulisan naskah buku sejarah perkembangan kurikulum yang dilakukan secara serial oleh beberapa penulis merupakan salah satu program kegiatan Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010. Para Penulis buku adalah para person yang memiliki kualifikasi dan pengalaman yang sangat memadai untuk menghasilkan suatu produk buku serial kurikulum ini.

Khusus mengenai naskah buku “Dinamika Perubahan Kurikulum Sekolah Menengah Atas di Indonesia: Suatu Perspektif Historis dari Masa ke Masa” ini merupakan karya tulis dari Saudara Dr. Hermana Somantrie, MA., yang pada saat ini adalah sebagai Peneliti Kebijakan Pendidikan pada Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional.

Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan untuk mengisi perbendaharaan kepustakaan pendidikan nasional khususnya di bidang kurikulum, sehingga masyarakat yang berkepentingan dapat mempelajari dan memperdalamnya bagi peningkatan mutu pendidikan. Dengan segala kelebihan dan keterbatasan jangkauan konseptual yang dimiliki oleh Penulis, buku ini merupakan karya yang sangat bernilai dan bermanfaat bagi kepentingan pemajuan dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah dengan ikhlas dan tulus menyumbangkan tenaga, pikiran, waktu untuk mewujudkan buku ini.

Jakarta, Desember 2010 Kepala Pusat Kurikulum

(5)

iv

SAMBUTAN

KEPALA PUSAT KURIKULUM

DAN PERBUKUAN

Buku ini merupakan penyempurnaan terhadap buku yang telah disusun pada tahun 2010. Penyempurnaan dilakukan antara lain dengan adanya pemberlakuan Kurikulum 2013. Penulisan tentang Kurikulum 2013 sedikit tertunda mengingat adanya revisi terhadap kurikulum tersebut sejak 2014-2015. Pada saat sekarang revisi sudah dianggap selesai dan implementasi Kurikulum 2013 dilanjutkan secara bertahap.

Buku ini disusun sebagai upaya untuk memberikan gambaran perkembangan pemikiran kurikulum SMA yang pernah dilakukan selama masa Penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang,Masa Kemerdekaan. Masa Kemerdekaan adalah masa yang paling panjang dilihat dari kurun waktu dan jumlah naskah kurikulum SMA yang pernah dikembangkan.

Gambaran perkembangan kurikulum selama masa yang dikemukakan di atas terutama diutamakan pada kajian terhadap dokumen kurikulum yang secara teknis dikenal dengan istilah Kurikulum Sebagai Rencana atau intended

curriculum, dan curriculum as a plan. Kajian ini paling dimungkinkan

mengingat ketersediaan sumber informasi dalam hal ini dokumen kurikulum. Dimensi kurikulum yang lain yaitu implementasi kurikulum yang disebut juga dengan istilah implemented curriculum, observed curriculum atau taught curriculum tidak dikaji mengingat ketersediaan sumber yang dapat dikatakan sangat tidak mungkin untuk membangun rekonstruksi yang dapat memberikan gambaran yang adil.

Semoga buku ini bermanfaat bagi perkembangan pendidikan di Indonesia, terutama dalam memperdalam pengetahuan tentang kurikulum.

Jakarta, Mei 2017

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan

(6)

v

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS

SAMBUTAN KEPALA PUSAT KURIKULUM

SAMBUTAN KEPALA PUSAT KURIKULUM DAN PERBUKUAN DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan 4

C. Metodologi Pengumpulan Informasi 6

D. Konteks Sejarah Nasional Indonesia sebagai Prolog

Pengungkapan Sejarah Kurikulum 6

E. Pergantian Nomenklatur SMA dari Masa ke Masa 7

1. Nomenklatur SMA yang Pernah Berlaku 7

2. SMAN 3 Yogyakarta 9

3. SMAN 3 Bandung 10

F. Harapan 11

BAB II PEMIKIRAN KI-HAJAR DEWANTARA TENTANG

PENDIDIKAN 12

A. Prolog 12

B. Ki-Hajar Dewantara: Dasar-dasar Pendidikan dan

Pengajaran 13

1. Hal Pendidikan 13

2. Dasar-dasar Pendidikan 18

3. Syarat-syarat dan Alat-alat Pendidikan 22 C. Ki-Hajar Dewantara: Differensiasi Sekolah Menengah Umum

Atas 24

D. Internalisasi Pemikiran Ki-Hajar Dewantara 27

BAB III THE EMPIRE STATE OF CURRICULUM 29

A. Kerangka Berpikir 29

B. Hakikat Kurikulum 30

C. Hakikat Pembelajaran 32

D. Hakikat Penilaian 34

(7)

vi

BAB IV GAMBARAN SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA ABAD

KE-21 41

A. Karakteristik SMA sebagai Pendidikan Umum 41

B. Fungsi dan Tujuan 41

1. Fungsi 42 2. Tujuan 42

C. Karakteristik Remaja sebagai Peserta Didik SMA 42

D. Tuntutan Pengembangan Potensi Diri Remaja 44

E. Lingkungan Belajar SMA yang Ideal 46

BAB V KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA

ZAMAN KOLONIAL 50

A. Masa Penjajahan Belanda 50

1. Prolog 50 2. Kurikulum 51

B. Masa Penjajahan Jepang 53

1. Prolog 53 2. Doktrin Pendidikan 54 3. Kurikulum 55

BAB VI KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA

ZAMAN KEMERDEKAAN 56

A. Masa Perang Kemerdekaan 1945 – 1950 56

1. Prolog 56

2. Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran Tahun 1950 58 3. KurikulumSMA Masa Perang Kemerdekaan 59

B. Masa Demokrasi Liberal 1950 – 1959 60

1. Prolog 60

2. Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran Tahun 1954 60 3. KurikulumSMA Masa Demokrasi Liberal 61

C. Masa Demokrasi Terpimpin [Orde Lama] 1959 – 1965 62

1. Prolog 62

2. Konsepsi Pendidikan Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana 62 3. Kurikulum Gaya Baru1964-Pancawardhana 64

D. Masa Demokrasi Pancasila [Orde Baru] 1966 – 1998 72

1. Prolog 72 2. Kurikulum 1968 73 3. Kurikulum 1975 82 4. Kurikulum 1984 104

5. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 130 6. Kurikulum 1994 131

(8)

vii

E. Masa Demokrasi Partisipatori [Reformasi] 1999 –

sekarang/2013 153

1. Prolog 153

2. Kurikulum 1994 yang Disempurnakan/Disesuaikan Tahun 1999 153

3. Kurikulum Berbasis Kompetensi 154

4. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 182 5. Kurikulum Tahun 2006 182

6. Kurikulum 2013 194

BAB VII PENUTUP 213

A. Profil Kurikulum yang Pernah Berlaku

B. Problematika Penjurusan/Peminatan di SMA 216 213

C. Epilog 216

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Rangkuman Sejarah Nasional Indonesia 8 Tabel 1.2 Pergantian Nomenklatur SMA 9

Tabel 1.3 Pergantian Nomenklatur SMA 3 Yogyakarta 10 Tabel 1.4 Pergantian Nomenklatur SMA 3 Bandung 11

Tabel 3.1 Beberapa Kasus Terkait Ujian Nasional yang Telah Diungkap oleh Media Massa 39

Tabel 4.1 Duapuluh Jenis Pekerjaan dengan Pertumbuhan yang Paling Cepat dan yang Akan Manambah Pekerjaan yang Sudah Ada 47 Tabel 5.1 Kurikulum Algemeene Middelbare School (AMS) 55

Tabel 5.2 Jadwal Jam Pelajaran Algemeene Middelbare School (AMS) atau Sekolah Menengah Tinggi pada Zaman Jepang 57

TABEL 6.1IKHTISAR MATA PELAJARAN DENGAN PEMBAGIAN JUMLAH JAM

DALAM SATU MINGGU 69

TABEL 6.2KELOMPOK KHUSUS BUDAYA (BUD) 70

TABEL 6.3KELOMPOK KHUSUS SOSIAL (SOS) 71

TABEL 6.4KELOMPOK KHUSUS ILMU PASTI (PAS) 72

TABEL 6.5KELOMPOK KHUSUS ILMU PENGETAHUAN ALAM (PAL) 73

Tabel 6.6 Rencana Pelajaran SMA 1968 83 Tabel 6.7 Alokasi Waktu Kurikulum 1975 92 Tabel 6.8 Program A Kurikulum 1984 SMA 119 Tabel 6.9 Program B Kurikulum 1984 SMA 121

Tabel 6.10 Struktur Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas Program Pilihan A Program Studi: Ilmu-Ilmu Fisik 124 Tabel 6.11 Struktur Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat

Atas Program Pilihan A Program Studi: Ilmu-Ilmu Biologi 126 Tabel 6.12 Struktur Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat

Atas Program Pilihan A Program Studi: Ilmu-Ilmu Sosial 126 Tabel 6.13 Struktur Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat

Atas Program Pilihan A Program Studi: Pengetahuan Budaya 127

Tabel 6.14 Ikhtisar Kesetaraan Program Pilihan A dan Program Pilihan B Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas 128 Tabel 6.15 Kesetaraan Program Pilihan A dan Program Pilihan B Kurikulum

1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas 128

Tabel 6.16 Tahapan Pelaksanaan Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Atas 132

Tabel 6.17 Susunan Program Pengajaran Sekolah Menengah Umum Kelas I dan Kelas II Program Umum 142

Tabel 6.18 Susunan Program Pengajaran Sekolah Menengah Umum Kelas III Program Bahasa 143

Tabel 6.19 Susunan Program Pengajaran Sekolah Menengah Umum Kelas III Program Program Ilmu Pengetahuan Alam 143

Tabel 6.20 Susunan Program Pengajaran Sekolah Menengah Umum Kelas III Program Program Ilmu Pengetahuan Sosial 144

Tabel 6.21 Pemeringkatan Level dan Kesetaraannya dengan Kelas 166 Tabel 6.22 Struktur Kurikulum 2004 Kelas X SMA dan MA 170 Tabel 6.23 Struktur Kurikulum 2004 Kelas XI dan XII SMA dan MA

Program Studi Ilmu Alam 172

(10)

ix

Program Studi Ilmu Sosial 173

Tabel 6.25 Struktur Kurikulum 2004 Kelas XI dan XII SMA dan MA Program Studi Ilmu Bahasa 175

Tabel 6.26 Struktur Kurikulum 2004 SMA dan MA Program Pilihan 176 Tabel 6.27 Cakupan Kelompok Mata Pelajaran 185

TABEL 6.28STRUKTUR KURIKULUM TAHUN 2006KELAS XSMA190

TABEL 6.29STRUKTUR KURIKULUM TAHUN 2006KELAS XI DAN XII

SMAPROGRAM IPA 191

TABEL 6.30STRUKTUR KURIKULUM TAHUN 2006KELAS XI DAN XII

SMAPROGRAM IPS 192

TABEL 6.31STRUKTUR KURIKULUM TAHUN 2006KELAS XI DAN XII

SMAPROGRAM BAHASA 193

TABEL 6.32STRUKTUR KURIKULUM TAHUN 2006KELAS XI DAN XII

SMAPROGRAM KEAGAMAAN [KHUSUS UNTUK MA] 193

Tabel 6.33 Beban Belajar Kurikulum Tahun 2006 SMA/MA 195 Tabel 6.34 Alokasi Waktu Minggu Efektif Belajar, Waktu Libur, dan

Kegiatan Lainnya Kurikulum Tahun 2006 SMA/MA 195 Tabel 6.35 Kompetensi Inti Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah 2009

Tabel 6.36 Mata Pelajaran Pendidikan Menengah 2009 Tabel 6.37 Matapelajaran Wajib Kurikulum Sekolah Menengah

Atas/Madrasah Aliyah 210

Tabel 6.38 Mata Pelajaran Peminatan dalam Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah 212

Tabel 7.1 Perkembangan SMA atau Nama Lain yang Setara Sejak Zaman Kolonial Belanda sampai dengan Zaman Kemerdekaan 215

(11)

x

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

Gambar 1.1 Hubungan antara Kurikulum dan Pembelajaran 4 Gambar 2.1 Logo Kementerian Pendidikan Nasional

Tut Wuri Handayani 29

Gambar 3.1 Hubungan antara Kurikulum, Pembelajaran, dan Penilaian 31 Gambar 4.1 Ruang Kelas yang Cocok Sebagai Lingkungan Belajar

bagi Pembelajaran pada Abad ke-21 48

Bagan 6.1 Struktur Persekolahan dan Madrasah 161

Bagan 6.2 Keterkaitan Fungsi, Tujuan, dan Standar Pendidikan Nasional Serta Kurikulum 162

Bagan 6.3 Keterkaitan Antara Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Lulusan, dan Standar Isi 164

Bagan 6.4 Kerangka Kerja Pengembangan Kurikulum 2013 197 Bagan 6.5 Pengembangan Pendidikan Mengacu Pada 8 Standar 198 Bagan 6.6 Bonus Demografi Sebagai Model 200

(12)

- 1 -

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dinamika Kurikulum. Perlukah kurikulum selalu berubah? Pada kenyataannya, kurikulum di Indonesia selalu berubah-ubah ---dalam arti “disempurnakan”--- secara terus menerus (continuous improvement) untuk mengakomodasi berbagai perkembangan dan tuntutan yang dianggap penting dan baru pada zamannya. Hal itu sesuai dengan salah satu prinsip kurikulum bahwa suatu kurikulum harus selalu bersifat dinamis dan fleksibel, sehingga siap untuk disempurnakan kapan saja sesuai dengan kebutuhannya. Agar kurikulum memenuhi aspirasi seluruh komponen masyarakat, maka setiap perubahan kurikulum harus selalu dilakukan secara terencana, sistemik, dan sistematik.

Perubahan kurikulum bukan hanya terjadi di Indonesia, di negara-negara lain pun kurikulum selalu berubah sesuai dengan kebutuhannya. Meskipun demikian, perubahan kurikulum di berbagai negara dipandang sebagai sesuatu hal yang biasa dan wajar terjadi. Namun berbeda dengan yang terjadi di negara lain, perubahan kurikulum di Indonesia masih dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang aneh dan negatif, sehingga muncul pemeo “ganti pejabat, ganti kurikulum”. Seharusnya pandangan semacam ini juga harus melihat pada sisi lainnya bahwa perubahan kurikulum tidak akan pernah bisa berhenti atau akan selalu terjadi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya.

Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan kurikulum di Indonesia sudah sering kali terjadi dalam setiap periode tertentu, sejak zaman kolonial sampai dengan zaman proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dari hasil analisis terhadap fakta perubahan kurikulum selama ini juga menunjukkan bahwa perubahan kurikulum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstelasi politik, sosial, dan budaya bangsa Indonesia yang selalu berkembang dari satu masa ke masa berikutnya.

Kurikulum sebagai Komponen Pendidikan. Kurikulum memiliki arti yang sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen utama pendidikan, yang memiliki hubungan sangat erat dan saling mempengaruhi secara signifikan dalam rangkaian antara teoritis dan empiris atau praksis.

Hubungan kedua hal tersebut, secara teoritis dan empiris, misalnya tampak apabila terjadi suatu reformasi pendidikan (education reform) yang biasanya

(13)

- 2 -

dimulai: pertama, bisa dari perubahan sistem pendidikan terlebih dahlu yang kemudian menstimulir terjadinya perubahan kurikulum (curriculum reform); dan kedua, juga bisa dari perubahan kurikulum terlebih dahulu yang kemudian menstimulir terjadinya perubahan sistem pendidikan.

Secara praksis, dalam setiap penyelenggaraan pendidikan akan selalu diperlukan komponen kurikulum yang memuat tentang rencana mengenai tujuan pengajaran, apa yang akan diajarkan, cara mengorganisasikan pengalaman belajar, dan cara mengukur keberhasilan dan/atau pencapaiannya.

Hakikat Kurikulum. Kurikulum sebagaimana yang dijelaskan dalam teori klasik kurikulum Ralph W. Tyler (1949) yaitu bahwa kurikulum harus memuat 4 pertanyaan fundamental yang perlu dijawab oleh para pengembang program pendidikan sebagai berikut:

1. What educational purposes should the school seek to attain? ---tujuan pendidikan

apa yang harus dicapai oleh sekolah?

2. What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes? ---pengalaman belajar apa yang dapat disediakan untuk mencapai

tujuan pendidikan?

3. How can these educational experiences be effectively organized? ---bagaimana

pengalaman belajar dapat diorganisasikan secara efektif?

4. How can we determine whether these purposes are being attained? ---bagaimana

kita dapat menentukan apakah tujuan pendidikan sedang dan/atau sudah dicapai?

Jawaban terhadap semua pertanyaan fundamental tersebut dituangkan ke dalam suatu bentuk program pendidikan operasional yang dinamakan dengan “kurikulum”, yang memuat tujuan pendidikan yang seharusnya dicapai oleh sekolah, pengalaman belajar apa untuk melengkapi pencapaian tujuan pendidikan, bagaimana pengalaman belajar tersebut diorganisasikan, dan bagaimana menentukan pencapaian tujuan pendidikan.

Hubungan Kurikulum dan Pembelajaran. Rencana yang dimuat dalam kurikulum hanya dapat tercapai apabila dioperasionalkan melalui kegiatan sebagaimana adanya (curriculum as it is), yaitu proses pembelajaran. Artinya bahwa kurikulum dan pembelajaran mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini, hubungan antara kurikulum dan pembelajaran apabila dianalogikan dengan bulatan dan permukaan dua sisi uang koin akan selalu sama seperti divisualkan dalam ilustrasi berikut ini.

(14)

- 3 -

Gambar 1.1 Hubungan antara Kurikulum dan Pembelajaran

Secara implementatif, kurikulum dan pembelajaran harus selalu sinkron dan harmonis serta saling mengisi kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Kurikulum harus dapat memberikan arahan yang jelas bagi pelaksanaan pembelajaran, dan sebaliknya pembelajaran harus menjabarkan secara operasional seluruh tuntutan yang dimuat dalam kurikulum.

Kurikulum dan Teori Pareto. Dalam teori 80-20 atau disebut dengan Pareto's

Principle or the 80–20 Rule ---Teori Pareto atau Hukum 80–20, yang

dikembangkan oleh Pareto (1971), dinyatakan bahwa keberhasilan Y (= 80%) ditentukan oleh dan/atau datang dari faktor X (=20%). Selanjutnya, Pareto dalam rangka menjelaskan teori 80%-20% membuat analogi bahwa 80% of

your behavior comes from 20% of your mind ---80% perilaku anda berasal dari

20% pikiran anda; Analogi lainnya dari Pareto yaitu bahwa in 1906 that 80% of

the land in Italy was owned by 20% of the population ---dalam tahun 1906 bahwa

sebagian besar tanah di Italia dimiliki oleh 20% penduduk. Dari analogi Pareto tersebut mengandung makna bahwa meskipun 20% hanya merupakan porsi yang sangat sedikit, tetapi ternyata mampu menggerakkan atau menguasai porsi 80% yang sangat banyak.

Apabila Pareto's Principle or the 80–20 Rule dihubungkan dengan kurikulum, secara prinsip dapat dijelaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum di lapangan (80%) akan ditentukan oleh dan/atau berasal dari (20%) kebijakan kurikulum. Dalam arti bahwa meskipun kebijakan kurikulum hanya memiliki porsi 20%, namun kebijakan tersebut harus mampu untuk menggerakkan dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan kurikulum yang memiliki porsi 80%.

Tujuan Penulisan Buku. Sampai saat sekarang ini setelah 65 tahun proklamasi kemerdekaan, di Indonesia belum pernah ditemukan adanya referensi yang memuat kronologi sejarah Kurikulum SMA secara khusus dan lengkap. Sudah

(15)

- 4 -

barang tentu, dengan adanya buku sejarah Kurikulum SMA ini akan menjadi referensi sangat penting yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelaahan akademik dan empirik dalam khasanah pendidikan di Indonesia.

Dengan berdasarkan pada fakta itu dan kepentingan yang lebih luas bagi generasi Indonesia yang akan datang, Pusat Kurikulum memandang perlu untuk melakukan penelusuran sejarah (historical tracking) mengenai kurikulum yang pernah berlaku di SMA sejak awal pendirian satuan pendidikan tersebut pada zaman penjajahan Belanda sampai dengan masa kini. Hasil penelusuran ini diwujudkan menjadi sebuah buku yang berjudul “Perkembangan Kurikulum Sekolah Menengah Atas di Indonesia: Suatu Perspektif Historis dari Masa Ke Masa”.

B. Permasalahan

Keterbatasan Referensi. Dalam penulisan buku yang bersifat perspektif historis selalu dihadapkan pada permasalahan kelangkaan dokumen atau arsip utama sebagai primary sources. Begitu pula dalam penulisan buku sejarah kurikulum ini, arsip kurikulum sebagai sumber utama yang pernah berlaku pada masa-masa tertentu sudah sangat sulit ditemukan keberadaannya. Mungkin terlalu ekstrim apabila dikatakan tidak ada arsip kurikulum sama sekali, padahal kurikulum di Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang. Demikian pula, dalam berbagai referensi sejarah pendidikan di Indonesia hanya sedikit yang mendeskripsikan perihal kurikulum terutama yang digunakan pada masa penjajahan Belanda, Jepang, dan masa perang kemerdekaan.

Penyebab Hilangnya Sumber Acuan Utama. Mengapa sulit menemukan dokumen kurikulum masa lalu yang akan dijadikan sebagai acuan utama dalam penulisan sejarah kurikulum di Indonesia? Sehubungan dengan itu menurut Kurasawa (2001) bahwa so far, education has been one of the least clear

fields of historical study on Japanese occupation in Java, since no detailed information has been available. This is mainly because Japanese military authorities deliberately burned most of the important documents at the time of their surrender (August 1945), and as a result, few records survived ---sejauh ini, pendidikan telah

menjadi salah satu bidang yang kurang jelas dari studi historis selama pendudukan Jepang di Jawa, karena tiada informasi rinci yang tersedia. Hal itu utamanya pada waktu pemerintahan Militer Jepang menyerah kepada Tentara Sekutu (Agustus 1945) telah membakar dengan sengaja hampir sebagian besar dokumen, dan sebagai hasilnya, hanya sedikit dokumen yang tersisa.

Jenis Sumber Acuan Utama yang Hilang. Berkaitan dengan dokumen pendidikan yang masih misteri, Kurasawa (2001) mengatakan bahwa even the

(16)

- 5 -

schools, the curriculum, the language adopted as the medium of instruction, the extent Japanese language was taught and the number of Japanese teachers sent to Java, remained a mystery ---bahkan informasi dasar mengenai struktur administrasi

pendidikan, reorganisasi sekolah, kurikulum, bahasa yang diadopsi sebagai pengantar pembelajaran, tingkat penggunaan bahasa jepang yang diajarkan, dan jumlah guru Jepang yang dikirim ke Jawa, semuanya masih misteri. Upaya Memenuhi Kelangkaan Sumber Acuan Utama. Apa yang dapat dilakukan agar penulisan sejarah kurikulum pada masa tertentu dapat tetap berlangsung? Menurut Kurasawa selanjutnya yaitu all we could consult, so far,

were contemporary newspaper, journals, almanacs which were published under strict sensorship and such materials as the remaining textbooks, credit certificates, and diplomas which were privately owned by the former pupils and teachers ---semua hal

yang dapat diacu, sejauh ini, adalah surat kabar kontemporer, jurnal, almanak yang diterbitkan di bawah sensor yang ketat dan bahan-bahan tersisa seperti buka pelajaran, sertifikat penghargaan, ijazah yang dimiliki secara pribadi oleh bekas murid dan guru.

Namun diduga bahwa dokumen penting termasuk mengenai pendidikan yang dibakar oleh Jepang bukan hanya dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang, tetapi juga banyak dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu didukung dengan ketiadaan dan/atau tidak ditemukannya sama sekali dokumen kurikulum yang pernah berlaku di beberapa SMA yang pernah mengalami pergantian beberapa zaman.

Akibat dari Kelangkaan Sumber Acuan Utama. Kelangkaan sumber acuan utama dalam penulisan sebuah buku historis kurikulum akan mengalami fragmen atau penggalan historis (historical fragmentation) dalam penuangan informasi kesejarahan kurikulum pada zaman tertentu. Fragmentasi dalam penulisan buku yang bersifat kesejarahan sering kali terjadi sebagaimana yang dinyatakan oleh Kurasawa (1991) bahwa historical study had to be made on the

basis of those fragmental sources ---studi historis harus dibuat dengan dasar

sumber-sumber yang terpenggal atau terputus.

Sangat disadari bahwa dalam penulisan buku ini pun akan terjadi celah-celah ketidak-sinambungan informasi kesejarahan kurikulum sebagai akibat dari kelangkaan sumber acuan utama yang memuat informasi kurikulum yang pernah berlaku pada masa-masa tertentu.

(17)

- 6 - C. Metodologi Pengumpulan Informasi

Metode Triangulasi.Penulisan sebuah buku yang bersifat kesejarahan perlu menggunakan metodologi triangulasi informasi untuk meminimalisir segi kekurangan atau kesalahan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber informasi tersebut. Dengan penggunaan metode triangulasiinformasi tersebut, naskah buku ini telah melalui prosedur dan proses kajian yang didasarkan pada logika dan argumentasi baik secara teoritik-akademik maupun secara praktik-empirik. Dalam rangka penulisan buku ini, triangulasi mencakup: (1) telaah pustaka dan dokumen, (2) visitasi, dan (3) validasi dan konsultasi. Lebih jelasnya, ketiga hal tersebut diuraikan masing-masing di bawah ini.

Telaah Pustaka dan Dokumen.Kajian ini mencakup kegiatan untuk membaca dan menginterpretasi termasuk merekonstruksi informasi yang diperoleh dari berbagai sumber utama atau primary sources seperti kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dan dokumen lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya sesuai dengan masanya. Kajian ini dimaksudkan untuk menggalidata/informasi yang selengkap-lengkapnya berkaitan dengan sistem pendidikan dan kurikulum yang berlaku pada zaman tertentu dan pemikiran pendidikan nasional sebagai awal sejarah pembangunan sistem pendidikan nasional Indonesia.

Visitasi. Visitasi ini mencakup kegiatan untuk mendapatkan data/informasi dari beberapa pihak terkait yang memiliki informasi mengenai kurikulum dan sekolah yang mengalami dinamika perubahan kurikulum sepanjang masa, baik pada zaman pra kemerdekaan maupun pada zaman pasca kemerdekaan. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia merupakan salah satu pihak yang divisitasi, karena diduga banyak menyimpan berbagai dokumen yang diperlukan terkait dengan informasi kurikulum.

Validasidan Konsultasi. Untuk mendapatkan masukan mengenai substansi dan redaksional buku ini dilakukan validasi dan konsultasi kepada para ahli dan praktisi yang terkait dalam bidang pendidikan, kurikulum, dan kebahasaan yang dilengkapi dengan diskusi fokus. Kegiatan ini dilakukan lebih dari satu kali untuk menjaga konsistensi informasi yang akan dimuat dalam buku ini.

D. Konteks Sejarah Nasional Indonesia sebagai Prolog Pengungkapan Sejarah Kurikulum

Pentingnya Konteks Historis.Penulisan sejarah kurikulum di suatu negara termasuk Indonesia tidak akan terlepas dari konteks sejarah nasionalnya. Pemberlakuan suatu kurikulum di suatu zaman tertentu sudah pasti akan selalu terkait dengan kebijakan, situasi, dan kondisi nasional Indonesia pada zaman tersebut. Berkaitan dengan pentingnya sejarah nasional Indonesia

(18)

- 7 -

menjadi konteks latar belakang historis kurikulum, Jasin (1987) menyatakan bahwa pembaharuan kurikulum hanya dapat dipahami lebih baik apabila konteks historis dari pembaharuan itu diketahui.

Hubungan Konteks Historis dan Kurikulum.Menghubungkan keterkaitan konteks antara sejarah kurikulum dan sejarah nasional Indonesia merupakan sesuatu hal yang sangat signifikan, masuk akal, dan perlu. Hal itu juga didasarkan pada pertimbangan bahwa kelahiran suatu kurikulum pada masa tertentu tidak terlepas dari konstelasi negara, politik, sosial, dan budaya pada masa tersebut. Rangkuman secara singkat Sejarah Nasional Indonesia disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Rangkuman Sejarah Nasional Indonesia Sejarah Nasional Indonesia

Masa Kejayaan

Nusantara [Pra 1509] Masa Kolonial [1509-1945] Masa Republik Indonesia [Pasca 1945]

 Pra-sejarah  Kerajaan Hindu-Buddha  Kerajaan Islam  Era Portugis (1509-1602)  Era VOC (1602-1800)  Era Belanda (1800-1810)  Era Inggris (1811-1816)  Era Belanda (1817-1942)  Era Jepang (1942-1945)  Proklamasi (17 Agustus 1945)  Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949)  Masa Liberal (1950-1959)  Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)  Masa Orde Baru

(1966-1998)

 Masa Reformasi (1998-sekarang)

Sumber: Kartodirdjo, dkk. (1975-a).

Berdasarkan fakta historis yang dimuat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (Kartodirdjo, dkk., 1975-a) diungkapkan bahwa pendidikan formal setingkat SMA baru mulai diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada awal abad ke-20 atau awal tahun 1900-an, khusus hanya bagi anak-anak yang berkebangsaan Eropa, Cina, dan kaum bangsawan pribumi.

Dengan demikian, sesuai dengan yang diungkapkan oleh Kartodirdjo dkk., penulisan sejarah Kurikulum SMA hanya mencakup dua zaman, yaitu: (1) zaman kolonial Belanda dan Jepang; dan (2) Zaman Republik Indonesia sampai kini.

E. Pergantian Nomenklatur SMAdari Masa ke Masa 1. Nomenklatur SMAyang Pernah Berlaku

(19)

- 8 -

Nomenklatur Persekolahan. Sistem persekolahan (schooling system) di Indonesia selalu berganti sesuai dengan kebijakan pendidikan yang berlaku pada zamannya dan tuntutan perkembangan masyarakat pada saat itu. Khusus untuk SMA telah berganti nomenklatur sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.2 Pergantian Nomenklatur SMA

Zaman Nomenklatur

Kolonial Belanda Algemene Middlebare School (AMS) Kolonial Jepang Sekolah Menengah Tinggi

Republik Indonesia Sekolah Menengah Umum Atas (SMUA) Sekolah Menengah Atas (SMA)

Sekolah Menengah Umum (SMU) Sekolah Menengah Atas (SMA)

Di berbagai kota di Indonesia terdapat beberapa SMA yang mengalami sejarah yang panjang terkait dengan pergantian nomenklatur dari masa ke masa. Pergantian tersebut terjadi, baik zaman kolonial maupun zaman pasca kemerdekaan, yang sudah berlangsung hampir selama satu abad lamanya. Meskipun jumlah SMA yang mengalami hal tersebut jumlahnya tidak banyak, namun sejarah telah membuktikan bahwa banyak lulusan SMA pada zaman kolonial telah menjadi tokoh perjuangan bangsa dan perintis kemerdekaan (Kartodirdjo, dkk., 1975-b).

SMA Yang Pernah Mengalami Pergantian Nomenklatur.Dengan tidak bermaksud mengenyampingkan peran dari sekian banyak SMA yang tersebar di berbagai daerah lainnya dan juga sama-sama memiliki sejarah panjang, SMA yang dijadikan sebagai kasus dalam penulisan buku ini dilakukan dengan teknik random purposif (purposive random technique). Bahwa hasil dari pemilihan tersebut terdapat ada kesamaan dalam hal tertentu, semua itu terjadi hanya secara kebetulan saja (by chance).

Hasil pemilihan dari sekian banyak SMA telah terpilih dua sekolah, yakni SMA 3 Yogyakarta yang berlokasi di Kota Yogyakarta Provinsi DI Yogyakarta dan SMA 3 Bandung yang berlokasi di Kota Bandung Provinsi jawa Barat, sebagai sekolah kasus yang telah mengalami pergantian nomenklatur dari masa ke masa.

(20)

- 9 - 2. SMA 3 Yogyakarta

SMA 3 Yogyakarta yang oleh para alumninya disebut dengan nama “SMA PADMANABA” secara historis mengalami suatu perjalanan panjang sejak didirikan pertama kali oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1918. Dalam buku “55 TAHUN (1942–1997) SMA 3 YOGYAKARTA” diuraikan bahwa nama PADMANABA (Bahasa Sanskerta), yang juga sekaligus merupakan logo SMA 3 Yogyakarta, memiliki arti sebagai “teratai merah”. Selain itu, penggunaan nama PADMANABA mengandung kisah perjuangan para pelajar sekolah ini yang gugur menyemburkan darah merah dan mewarnai persada bumi pertiwi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Yogyakarta. Ini menjadi bukti keikhlasan mereka yang mengabdikan dirinya bagi martabat bangsa. Atas dasar itu, Pemerintah Yogyakarta mengabadikan nama-nama para pejuang pelajar tersebut menjadi nama-nama jalan di kawasan Kotabaru - Kota Yogyakarta yang menjadi lokasi dari SMA 3 Yogyakarta.

Pergantian nomenklatur yang dialami oleh SMA 3 Yogyakarta sebagaimana yang dimuat dalam dokumen sekolah yang bersangkutan disajikan dalam ilustrasi berikut ini.

Tabel 1.3 Pergantian Nomenklatur SMA 3 Yogyakarta

Tahun Nomenklatur

1918 Algemene Middlebare School (AMS) Afdeling B 1942 Sekolah Menengah Tinggi Bagian B

1948 SMUA Bagian B

1956 SMA III B

1964 SMA Negeri 3 Yogyakarta

1994 SMU Negeri 3 Yogyakarta

2004 SMA Negeri 3 Yogyakarta

Menurut keterangan Kepala SMA 3 Yogyakarta, gedung sekolah sempat dijadikan sebagai Markas Tentara Pelajar ketika melakukan perlawanan terhadap Jepang dan pada masa perang kemerdekaan [Wawancara, Oktober 2010].

Total usia SMA 3 Yogyakarta sejak didirikan pada tahun 1918 sampai dengan sekarang tahun 2010 yaitu 92 tahun dengan bangunan fisik gedung yang tampak kokoh. Beberapa buku referensi yang disimpan dengan baik sejak berdirinya sekolah tersebut sampai dengan sekarang ini merupakan bukti nyata lainnya bahwa sekolah ini telah berusia panjang. Beberapa buku referensi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Dr. C. Remigus Presening. (1898). Anleitung zur Quantitativen Chemischen

Analyse.

(21)

- 10 -

Prof. Dr. C.C. Berg. (1938). Greschiedenis van Nederlandsch Indie. Deel II. Dr. F.W. Staffel. (1939). Greschiedenis van Nederlandsch Indie. Deel III. Charles Kendall Adams. (1896). Johnson’s Universal Cyclopedia.

Prof. P.J. Veth. (1912). Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch. E.S. De Klerck. (1908). De Java-Oorlog 1825-1830.

Henry Thomas Buckle. (1913). History of Civilization in England.

Capt. Frank Hurley. (1924). Pearls and Savages: Adventures in the Air, on

Land, and Sea in New Guinea.

Sampai sekarang ini, SMA 3 Yogyakarta merupakan sekolah favorit dan memiliki kharisma pendidikan yang sangat baik dan tinggi terutama bagi masyarakat Kota Yogyakarta.

3. SMA 3 Bandung

Dalam buku “Dokumentasi Bangunan Kolonial Kota Bandung” yang dikeluarkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat tahun 2001, bangunan atau gedung SMA 3 Bandung yang didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1916 telah dicatat sebagai gedung bersejarah Kota Bandung yang tidak boleh dirubah bentuknya dan/atau dijaga keasliannya.

Secara historis, gedung SMA 3 Bandung yang berlokasi di Jl. Belitung – Kota Bandung telah mengalami berbagai perubahan bukan saja nomenklatur tetapi juga fungsi bangunan terutama pada zaman Jepang, yaitu dijadikan sebagai Markas Bala Tentara Jepang. Pergantian nomenklatur dan fungsi yang dialami oleh SMA 3 Bandung sebagaimana yang dimuat dalam buku Dokumentasi Bangunan Kolonial Kota Bandung dan dokumen sekolah yang bersangkutan disajikan dalam ilustrasi berikut ini.

Tabel 1.4 Pergantian Nomenklatur SMA 3 Bandung

Tahun Nomenklatur

1916 – 1942 Hoogere Burgerschool (HBS) & Algemene Middlebare School (AMS)

Afdeling B

1942 – 1945 Sekolah Menengah Tinggi Bagian B

1945 – 1961 SMUA Bagian A, B, C terdiri atas:

 SMUA 1 Bagian A [pagi hari]

 SMUA 2 & 3 Bagian B [pagi & siang hari]

 SMUA 4 Bagian C [siang hari]

1961 SMA 4 Bandung pindah ke Jl. Gardujati

1966 SMA 1 Bandung pindah ke Jl. Juanda

1966 SMA 2 Bandung pindah ke Jl. Cihampelas

1966 – sampai sekarang Gedung Sekolah di Jl. Belitung dibagi menjadi dua fungsi, yaitu:

 SMA 3 Bandung

 SMA 5 Bandung

Menurut keterangan Kepala SMA 3 Bandung, gedung sekolah sempat dijadikan sebagai Markas Bala Tentara Jepang pada tahun pertama kedatangannya [Wawancara, Oktober 2010].

(22)

- 11 -

Total usia SMA 3 Bandung sejak didirikan pada tahun 1916 sampai dengan sekarang tahun 2010 yaitu 94 tahun dengan bangunan fisik gedung yang tampak masih cukup kokoh. Sama halnya dengan SMA 3 Yogyakarta, popularitas dan kharisma pendidikan di SMA 3 yang berlokasi di Jalan Belitung Kota Bandung menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kota Bandung sampai sekarang ini.

F. Harapan

Menjadi Perbendaharaan Informasi Kurikulum. Meskipun dihadapkan pada keterbatasan primary sources, namun buku ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang tiada ternilai dengan menyediakan perbendaharaan informasi tentang Kurikulum SMA yang pernah berlaku di setiap masa sekaligus dengan dinamika perubahannya. Pengungkapan dinamika perubahan Kurikulum SMA yang disajikan dengan menggunakan pola

historical sequence atau rangkaian historis diharapkan dapat membantu para

pembaca dari berbagai kalangan untuk memperoleh berbagai informasi dengan cara yang mudah dan sesuai dengan kebutuhannya.

Menjadi Sumber Inspiratif bagi Pihak Lain. Selain itu, dengan terbitnya buku ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi pengungkapan masalah kurikulum dengan skala yang lebih luas lagi ditinjau dari kajian aspek filosofis, psikologis, sosiologis, dan ekonomis yang ditujukan bagi kepentingan peningkatan mutu pendidikan Indonesia di masa yang akan datang. Kajian tersebut sangat penting untuk dilakukan, karena hal itu akan menunjukkan bahwa mutu pendidikan sebagai produk dari sebuah kurikulum di masa yang lalu dan masa kini akan saling terkait dan merupakan siklus yang akan berulang dan terhubung lagi dengan mutu pendidikan Indonesia di masa yang akan datang.

(23)

- 12 -

BAB II

PEMIKIRAN KI-HAJAR DEWANTARA

TENTANG PENDIDIKAN DAN

PENGAJARAN

A. Prolog

Riwayat dan Penggantian Nama.Ki-Hajar Dewantara (2 Mei1889 – 26 April 1959) yang awalnya bernama Soewardi Suryaningrat merupakan “Bapak Pendidikan Nasional” dan Perintis Kemerdekaan Indonesia. Selama hidupnya, Ki-Hajar Dewantara telah melahirkan berbagai pemikiran dasar mengenai konstruk pendidikan dan pengajaran di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan, yang ditujukan dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional Indonesia. Sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan, Ki-Hajar Dewantara pernah dibuang ke negeri Belanda karena aktivitasnya memperjuangkan nasib pribumi yang dijajah.

Penggantian nama dari semula Soewardi Suryaningrat menjadi Ki-Hajar Dewantara dilakukan sendiri pada tahun 1928 yang tertera dalam sebuah dokumen atau testamen otentik tulisan tangan dalam Bahasa Belanda (Hasil Studi Dokumentasi di Taman Siswa Yogyakarta, 2010) sebagai berikut:

Ik heb de eer U hierbij mede te debeen, ik op heden, den 2 den POEASA v/h Djimachir 1858 (Çaka) bij gelegenheid van de aanvaarding van mijn 40ste levensjaar, naast mijn onden naam, de naam:

Ki-Hadjar Dewantara

heb aangenomen. Uw zegen zij mijn deel! In Taman Siswa, 23/11 – 28.

SOEWARDI SURYANINGRAT. Sumber: Kumpulan Dokumen Pribadi Ki-Hajar Dewantara di Majelis Luhur Taman Siswa, Daerah Istimewa Yogyakarta [Hasil Telaah Dokumen, 2010]. Ki-Hajar Dewantara nerupakan sosok yang mengalami tiga masa pemerintahan, yaitu: (1) dua pemerintahan kolonial ---Belanda dan Jepang, dan (2) pemerintahan Republik Indonesia.

(24)

- 13 -

Pemikiran Konstruktif Pendidikan Nasional. Banyak pemikiran orisinal dan brilian Ki-Hajar Dewantara yang tidak hanya berlaku dalam konteks zamannya, tetapi juga masih bisa berlaku sampai ke masa kini dan masa yang akan datang. Beberapa orisinalitas pemikirannya mengenai pendidikan yang menjadi dasar konstruk pendidikan nasional antara lain adalah sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

B. Ki-Hajar Dewantara Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran

Pandangan orisinalitas Ki-Hajar Dewantara mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran adalah sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

1. Hal Pendidikan

Pendidikan. Umumnya berarti daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti (kekuatan – batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan dengan bagian– bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya. Karena itulah falsal-falsal dibawah ini kita utamakan:

1. Segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan (natuurlijkheid, realiteit).

2. Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat, yang oleh karenanya bergolong-golong merupakan kesatuan dengan sifat perikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari bercampurnya semua usaha dan daya-upaya untuk mencapai hidup tertib-damai.

3. Adat-istiadat, sebagai sifat peri kehidupan atau sifat percampuran usaha dan daya-upaya akan hidup tertib-damai itu tiada terluput dari pengaruh

jaman dan tempat; oleh karena itu tidak tetap, senantiasa berubah.

4. Akan mengetahui garis hidup yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita mempelajari jaman yang telah lalu, mengetahui tentang menjelmanya jaman itu kedalam jaman sekarang dan menyelami jaman yang berlaku ini: barulah kita dapat membayangkan jaman yang akan datang.

5. Pengaruh baru diperoleh karena bercampulgaulnya bangsa yang satu dengan yang lain, percampuran mana sekarang ini mudah sekali terjadi, disebabkan oleh adanya hubungan modern. Haruslah kita waspada dalam memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang merugikan, dengan selalu mengingat, bahwa semua kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan serta segala perikehidupan itulah kemurahan Tuhan untuk segenap manusia diseluruh dunia, sekalipun masing-masing hidup menurut garisnya sendiri-sendiri yang tetap.

(25)

- 14 -

Pendidikan nasional menurut paham Taman Siswa ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsanya (cultureel – national) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia. 1. Pendidikan budipekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang

selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak saja syarat-syarat yang sudah ada dan ternyata baik, melainkan juga syarat-syarat zaman baru yang berfaedah dan sesuai dengan maksud dan tujuan kita.

2. Teristimewa haruslah kita memperhatikan pangkal kehidupan kita yang terus hidup dalam kesenian, peradaban, syarat-syarat agama, atau terdapat dalam kitab-kitab ceritera (dongeng, mythen en legenden, babad dan lain-lain); semua itu adalah “arsip nasional”, dalam mana tersimpan beberapa kekayaan batin dari bangsa kita (geestelijke warden). Dengan mengetahui segala hal itu niscayalah langkah kita untuk menuju pada zaman baru akan berhasil tetap dan kekal, karena zaman baru kita jodohkan sebagai “mempelai” dengan zaman yang lalu (Jawa: ngudi–tuwuh).

3. Berdasarkan hal-hal tersebut diatasperlulah anak-anak Taman Siswa kita dekatkan hidupnya kepada perikehidupan rakyat agar supaya mereka tidak hanya memiliki “pengetahuan” saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat “mengalaminya” sendiri, dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya.

4. Maka dari itu, seyogyanyalah kita mengutamakan cara “pondok sistem” sebagai alat untuk mempersatukan pengajaran-pengetahuan dengan pengajaran-budipekerti, sistim mana dalam tambo peradaban bangsa kita bukan barang asing (dulu bernama “asrama”, sekarang menjelma menjadi “pondok pesantren”).

5. Pengajaran–pengetahuan yang bertujuan mendidik pikiran adalah sebagian dari pendidikan yang terutama dijalankan untuk memperoleh alat-alat penghidupan. Seyogyanyalah pendidikan pikiran ini dibangun setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, agar anak-anak kelak dapat mewujudkan perikehidupannya dengan sebaik-baiknya.

6. Pendidikan jasmani (lichamelijke opvoeding) yang pada jaman dulu kala juga sudah dikenal orang harus dipentingkan untuk mendatangkan keturunan yang bertubuh kuat.

Sifat–sifatnya pendidikan. Sifat–sifat ini banyak yang sama dengan sifat-sifat yang datang dari negeri asing tetapi banyak pula yang berlainan berhubung dengan perikeadaban kita; ada juga yang terambil dari adapt-istiadat dari bangsa kita tetapi ada pula corak baru. Dibawah inilah

(26)

sifat-- 15 sifat--

sifat yang pokok saja dan yang selayaknya menjadi pangkal tuntunan bagi kalangan kita:

1. Rumah sekolah haruslah rumahnya pemimpin, dimana juga tinggal guru-guru lain dan murid-murid yang tidak mungkin mendapat tuntunan sendiri dari orangtuanya.

2. Dalam pondok-pondok itu haruslah anak-anak belajar menolong diri sendiri dan hidup bersahaja: juga hendaknya dibiasakan mereka itu tolong menolong, mengambil inisiatif dan berdasarkan kesucian menuju kearah tertib damainya keadaan, semua itu dengan mengingat adat-istiadat dalam kalangan rakyatnya.

3. Akan mengadakan syarat-syarat pendidikan haruslah diingat batas-batas umurnya anak, yaitu:

a. hingga umur 10 – 12 tahun sama sekali tiada perbedaanya antara anak laki-laki dan perempuan;

b. dari umur 10 – 12 tahun sampai 14 – 16 tahun mulai berbedalah perangai dan tabiat laki-laki dan perempuan; haruslah kita selalu ingat akan perbedaan itu untuk dapat mengembangkan kenginginan, kebiasaan dan usaha diri dari mereka itu.

c. dari umur 14 – 16 sampai umur 18 – 20 tahun itulah waktunya birahi (puberteits periode), dalam waktu mana anak-anak perempuan dan laki-laki masing-masing sadar akan rasa-keperempuannya dan kelelakiannya. Kita harus berhati-hati berhubung dengan perbedaan tabiat antara yang satu dengan yang lain, dan harus ingat, bahwa “periode” (waktu) itu adalah “ periode” yang luar biasa. Sifat perangai yang baik pada waktu itu adalah nafsu akan membuktikan kekuatan diri (offerzin, uitingsdrang, dadendrang dll). Sebaliknya “periode” itulah juga seringkali terlihat adanya kelemahan diri (zwakheid uitputting).

Adapun yang sangat mengkhawatirkan yaitu berkembangnya kekuatan nafsu dan datangnya kelemahan budi itu dikuasai oleh nafsu-birahi (sexuale hartstocht). Kalau anak-anak sampai “lupa” dan yang mendidik kurang awas, disitulah bahaya datang. Maka dari itu dalam waktu birahi haruslah si pendidik memegang teguh segala peraturan mengenai perhubungan anak-anak laki-laki dan perempuan.

d. Dari umur 18 – 20 tahun keatas datanglah waktu kesabaran dalam tabiat anak-anak muda dan kita harus mengubah sikap kita terhadap mereka: memberi kepercayaan yang luas, memberi kelonggaran bertenaga, menuntun kearah tertib-damai, akan tetapi masih terus mempergunakan pengaruh pendidikan terhadap mereka.

e. Mulai umur 24 – 26 tahun bolehlah anak–anak muda kami lepaskan dari pengawasan kita.

(27)

- 16 -

4. Pengajaran. Tentang pengajaran pengetahuan haruslah ditujukan kearah kecerdikan murid, selalu bertambahnya ilmu yang berfaedah, mambiasakannya mencari pengetahuannya untuk keperluan umum, dengan mementingkan falsat-falsat dibawah ini:

a. Pengetahuan tidak ada batasnya dan daripada batas tujuannya, yakni agar supaya murid kelak dapat hidup dengan tertib – damai, semata-mata dapat turut menambah kemuliaan negara dan bangsanya.

b. Pengajaran harus berdasarkan kodratnya keadaan (lihatlah diatas falsat 3). Umpamanya di Taman Anak (Kindertuin), Taman Muda (Lagere School), Taman-Antara (Schakelschool), Taman Dewasa (MULO), hendaknya dipakai cara-cara yang selaras.Taman Anak misalnya seharusnya mementingkan bahasa ibunya (moedertaal), sedangkan yang mengajar sedapat-dapatnya guru perempuan: pada kelas yang lebih tinggi dipakai bahasa Indonesia, sesuai dengan cita-cita paedagogik nasional.

c. Berhubung dengan a. dan b., seharusnyalah cita-cita itu dijelmakan dalam rencana-pelajaran Taman Siswa, yang sedikit-dikitnya sama tingginya dengan rencana-pelajaran sekolah negeri tentang pelajaran umum, tetapi seboleh-bolehnya bersifat praktis, ditambah pula dengan pelajaran “special” berhubung dengan kehidupan nasional: pengetahuan tentang perikehidupan bangsanya (burgerkunde), tambo nasional, bahasa, seni dsb.

d. Pelajaran bahasa asing (Belanda, Inggris dll) harus juga dianggap perlu untuk menjadi alat mencari pengetahuan atau memudahkan perhubungan internasional, tetapi jangan menarik murid kedunia kebelandaan; oleh karena itu perlulah kita mengusahakan kitab-kitab bacaan dalam bahasa-bahasa asing yang tidak merusakkan perangai kenasionalan dan hendaknya ditahan nafsu anak-anak membaca roman Barat yang umumnya merusakkan kesucian serta menjauhkan mereka daripada jiwa kebangsaanya.

(28)

- 17 -

5. Pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani yang perlu juga diadakan bertujuan mempergunakan segala gerak badan yang pantas untuk mendatangkan kesehatan, menghaluskan tingkah-laku, memperoleh ketangkasan, keteguhan hati, ketelitian, ketajaman, awas penglihatan, ketertiban dsb.

Gerak badan yang pantas berarti jangan sampai merusakkan rasa kesucian atau menyalahi kodrat, teristimewa mengenai gerak badan bagi perempuan. Berhubung dengan keterangan tentang maksud pendidikan tubuh secara nasional itu seyogyanyalah tari, jogged, pencak dimasukkan dalam rencana-pelajaran dan kalau perlu dalam bentuk baru. Gerak badan modern di Eropa juga mulai mencari jalan baru, yang bagi kita sesungguhnya bukan sesuatu hal yang baru, yaitu mempersatukan gerak badan dengan wirama dan kesenian; jadi paduan musik dan drama.

Leerplan. Dibawah ini Majelis – Luhur mempermaklumkan

rencana-pelajaran yang dibuat oleh Ki Sukemi dari Taman Siswa Bandung mengenai falsat-falsat yang umum bagian Taman–Anak dan Muda serta Taman–Antara, dan diserahkan atas nama cabang Bandung kepada kongres.

Hari Libur.

1. Hari libur itu diberikan:

a. untuk memberi istirahat kepada anak-anak, agar terpelihara kesehatannya, berhubung dengan pekerjaannya yang berat karena mempergunakan otaknya;

b. untuk memperingati hari-hari yang pantas dikenangkan berhubung dengan pendidikan.

2. Guna tertibnya pengajaran, maka jumlah hari liburan dalam setahunnya kurang lebih 110 hari, sedangkan hari pelajaran kurang lebih 255 hari.

3. Peraturan liburan dalam Taman – Siswa:

a. hari mengaso disesuaikan dengan keadaan yang umum dalam pergaulan nasional; misalnya liburan besar jatuh dalam bulan Puasa, liburan kecil jatuh di tengah-tengah, ialah dalam bulan Maulud; hari Ahad, tahun baru 1 januari, kedua-duanya dianggap sebagai liburan umum; liburan penutup tahun mula–mula 7 hari, tetapi sesudah tidak memakai hari raya Nasrani, lalu ditambah sehingga menjadi 10 hari.

b. hari peringatan ada dua macam. Pertama yang berhubungan dengan hidup kebatinan seperti Rebo Wage atau Selasa Kliwon, yang oleh sebagian rakayat di Jawa dianggap sebagai hari suci: Rebo wekasan buat penduduk Yogyakarta idem; Grebeg Besar,

(29)

- 18 -

mikrad Nabi Muhammad, Asyura. Kedua: hari peringatan nasional untuk menghidupkan rasa-kebangsaan, seperti peringatan tahun baru Indonesia pada hari 1 syura dan hari wafatnya Pangeran Diponegoro (8 Januari) yang dianggap hari berdukacita.

4. Hari raya Kristen kalau akan dipakai boleh juga; teristimewa harus diingat, bahwa anggota-anggota dan murid-murid kita yang beragama Kristen harus diberi kelonggaran sepenuhnya untuk menghormati hari sucinya.

5. Hari raya nasional Belanda tidak kita pakai, karena menghormati orang yang masih hidup atau menghormati hari-politik dengan menutup sekolah itu buat kita tidaklah selayaknya.

6. Tiap cabang Taman siswa boleh mengadakan hari liburan lain yang berdasarkan rasa kebatinan (religie) dari golongan rakyat atau berhubung dengan keperluan luar biasa, asal mengingati falsat 2 di atas.

7. Kalau terpaksa oleh keadaan penting, boleh cabang Taman Siswa mengubah peraturan liburan di atas.

[“Wasita” Jilid II No. 1 – 2 – Juli – Agustus 1930]

2. Dasar – Dasar Pendidikan a. Arti dan Maksud pendidikan

Perkataan “pendidikan” dan “pengajaran” itu seringkali dipakai bersama-sama. Sebenarnya gabungan kedua perkataan itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan “pengajaran” (onderwijs) itu tak lain dan tak bukan ialah salah satu bagian dari pendidikan. Jelasnya, pengajaran itu tidak lain ialah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga

memberi kecakapan kepada anak-anak, yang keduanya dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.

Sekarangakan saya terangkan apakah arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan “pada umumnya”,karena dalam arti khususnya banyak dan berjenis-jenislah maksud pendidikan itu. Boleh dibilang tiap-tiap aliran, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan itu mempunyai maksud sendiri-sendiri. Tidak hanya maksud atau tujuannya berbeda-beda, pun caranya mendidik juga tidak sama. Tentang keadaan yang penting ini kemudian akan saya terangkan lebih luas.

Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat-syarat dan alat-alat di dalam soal pendidikan itu, akan tetapi nyatalah, bahwa pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang berjenis-jenis itu, ada pula dasar-dasar atau garis-garis yang sama.

(30)

- 19 -

Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam semua macam pendidikan itu, maka teranglah bahwa yang dinamakan pendidikan yaitu tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak.

Adapun maksudnya pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

b. Hanya tuntunan dalam hidup.

Pertama kali haruslah kita ingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu

“tuntunan” didalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Ini berarti, bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak diluar kecakapan atau kehendak kita

kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti yang termaktub didalam keterangan dimuka, maka apa yang dikatakan “kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak itu” tiada lain ialah segala kekuatan didalam hidup batin dan hidup lahir dari anak – anak itu, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki

lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.

Akan lebih teranglah uraian kita itu, jikalau kita ambil contoh atau perbandingan dengan hidupnya tumbuh-tumbuhan. Seorang tani (yang dalam hakekatnya sama kewajibannya dengan dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. Ia dapat memperbaiki tanahnya, memelihara tanamannya, begitu, memberi rabuk dan air, memusnakan ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggur hidup tanamannya, begitu sebagainya; tetapi meskipun ia dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman itu, mengganti kodrat-iradatnya padi, ia tak akan dapat. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung atau harus berbuah didalam 3 bulan: pun tak dapat ia memeliharanya sebagai caranya memelihara tanaman kedele dan sebagainya. Mustahil! Pak tani harus takluk pada kodratnya padi itu mustahillah. Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya dapat “menuntun”, akan tetapi besarlah faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak.

c. Perlukah tuntunan pendidikan itu?

Meskipun pendidikan itu hanya “tuntunan” saja di dalam tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga, berhubungan dengan kodrat dan keadaannya masing-masing anak. Jikalau anak tidak baik dasarnya, tentulah kita mengerti sendiri, bahwa ia harus mendapat tuntunan, agar bertambah baiklah budi pekertinya. Anak yang baik dasar jiwanya dan tidak mendapat tuntunan pendidikan, barang tentulah akan mudah menjadi orang jahat Walaupun anak sudah baik dasarnya, pun tuntunan masih amat perlu. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapat kecerdasan yang lebihitu

(31)

- 20 -

lalu menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya (yang asli) itu tidak Nampak, oleh karena ia sudah mendapat kecerdasan fikiran, hingga pandai menimbang-nimbang dan memikir-mikir, kemudian dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut …….itulah semuanya yang dapat menutup rasa “tertutup” saja oleh fikirannya, maka anak tersebut ada kalanyadiserang rasa takut dengan sekonyong-konyong, yaitu jika fikirannya sedang tak bergerak. Kalau fikirannya tidak jalan sebentar saja ia seketika itu akan takut lagi menurut dasar biologisnya sendiri. Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas kasihan, bengis, murka, pemarah, dsb…. Selama ia sempat memikir-mikirkan segala keadaaannya, dapat juga ia menahan nafsunya yang asli, akan tetapi jika fikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang sekonyong-konyong datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri.

d. Perlunya menguasai diri dalam pendidikan budi pekerti.

Contoh-contoh tentang adanya watak-watak yang “biologis” dan tak dapat lenyap dari jiwa manusia itu ada banyak dan dapat kita lihat juga dalam hidupnya tiap manusia. Misalnya orang yang karena pendidikannnya, keadaannya dan pengaruh lain-lainnya, sebenarnya harus berbudi dermawan, kalau ia memang mempunyai dasar watak kikir, akan selalu kelihatanlah wataknya “kikir” itu sungguhpun ia tetap insyaf akan kewajibanya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruhnya pendidikannya yang baik); biasanya semasa ia tidak sempat “berfikir”, tentulah tabiatnya “kikir” itu akan selalu kelihatan, setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.

Janganlah sekarang agaknya pendidik lalu “berputus asa”, karena menganggap bahwa tabiat-tabiat yang “biologis” itu (hidup perasaan) tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) itu hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik itu, akan tetapi ingatlah, bahwa dengan menguasai-diri (zelfbeheersching), asalkan tetap dan kuat adanya, senantiasa ia akan melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi kalau kecerdasan budi itu sungguh baik, yaitu dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkheid) dan “karakter” (jiwa yang berazas hukum kebatinan), itulah berarti orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli, yang biologis tadi.

Maka dari itulah “menguasai diri” atau “zelfbeheersching” itu disebut tujuannya pendidikan dan maksudnya keadaban. “Beschaving is

Zelfbeheersching” (adab itu tak bukan dan tak lain berarti dapat menguasai

diri)’ demikian menurut pengajaran adab atau ethika.

Sampailah kita sekarang pada soal “budi pekerti”, yang dimuka sudah kita sebut beberapa kali. Yang dinamakan “budi pekerti” atau “watak yaitu

(32)

- 21 -

bulatnya jiwa manusia, yang dalam bahasa asing disebut “karakter” dan diatas sudah kita terangkan sebagi jiwa yang sudah “berazas hukum kebatinan”. Orang yang telah mempunyai kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya tiap-tiap orang itu dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena yaitu karena watak dan budi pekerti itu memang bersifat tetap dan pasti buat satu-satunya manusia, sehingga dapat dibedakan orang yang satu daripada yang lain.

Budipekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti “fikiran-perasaan-kemauan”, dan “pekerti” itu artinya “tenaga”. Jadi “budi pekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.

Jadi teranglah disini bahwa pendidikan itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti “neutraliseeren” (menutupi, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang “biologis” atau yang tak dapat lenyap sama sekali, karena sudah bersatu dengan jiwa. e. Jenis-jenisnya budi pekerti.

Setelah kita mengetahui, bahwa budi-pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, haruslah kita mengetahui pula, bahwa tidak adalah dua budi-pekerti orang yang sama. Jadi samalah keadaannya denga roman muka manusia, tiadalah dua yang sama. Meskipun begitu, orang dapat juga membagi-bagi budi-pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis atau “typen”, dengan maksud agar orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis’garis atau sifat-sifat watak orang yang umum.

Pembagian budipekerti menjadi beberapa typen itu ada yang disandarkan pada sifatnya angan-angan, sifatnya perasaan dan sifatnya kemauan (analytis); lalu tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); kemudian lalu mewujudkan suatu macam atau type budipekerti yang pasti. Yang amat tersohor adalah pembagian dari almarhum Prof. Dr. Heymans guru besar di Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai pecobaan-percobaan tentang soal itu dan kemudian menetapkan adanya 8 typen budipekerti orang.

Ada pula yang membagi-bagi budipekerti menjadi beberapa typen atau jenis dengan bersandar atas hasrat seseorang; jadi ini (ethis = menurut rasa adab). Yang kenamaan dalam hal ini ialah Prof. Sprangeryang membagi-bagi budipekerti orang menjadi 6 jenis, bersandar atas hasrat orang akan: (1) kekuasaan (machts mensch); (2) Agama (religieus mench); (3) keindahan

(33)

- 22 -

(kunst mensch); (4) kegunaan atau faedah (nutsmensch atau economisch mensch); (5) pengetahuan atau kenyataan (wetenchaps atau waarheids mensch) dan (6) menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).

Lain dari pada pembagian itu, masih ada pula theori-theori tentang jenis-jenisnya budipekerti; misalnya yang menghubung-hubungkan sifat-jamaninya seseorang dengan wataknya (Prof. Kretschner), jadi seperti ilmu firasat dari Imam Syafii. Ada pula yang mengukur budi-pekerti orang dengan melihat caranya seorang memandang dirinya sendiri sebagai pusatnya pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagian saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian “introversen dan extroversen” (Jung), yaitu orang yang selalu memandang kedalam batinnya sendiri, atau yang memandang kearah luar demikianlah seterusnya.

Dalam soal watak atau budipekerti manusia janganlah kiranya dilupakan, bahwa tiap-tiap manusia itu mendapat pengarah dari yang menurunkan (erfelijkheidsleer); jadi sama pula dengan turun temurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifat roman mukanya, rambutnya, warna kulitnya, pendek-tingginya badan dll.) Juga janganlah dilupakan, bahwa seperti yang sudah diuraikan dimuka, pendidikan dan segala pengalaman serta keadaan itu semuanya berpengaruh besar pada tumbuhnya budipekerti.

3. Syarat-Syarat dan Alat-Alat Pendidikan a. Naluri Pendidikan.

Setelah ikhtisar tentang arti, maksud dan tujuan pendidikan termuat di dalam uraian kita dimuka, baiklah sekarang kita menerangkan bagian-bagian yang khusus, buat permulaan tentang syarat-syarat dan alat-alat didalam pendidikan yang teratur. Yang “teratur”, kata saya, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku didalam tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan dari tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya, agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct ini disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok (oerintinct), yang bermaksud akan kekalnya keturunan (ngudhi-tuwuh, behoud van de sort). Pendidikan yang dilakukan tiap-tiap orang terhadap anak-anaknya itulah umumnya hanya bersandar atas cara-kebiasaan (traditie, sleur) dan seringkali amat dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik; jadi tidak dengan “keinsyafan” dan tidak tetap. Kalau kadang-kadang ada keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas “perkiraan” atau “rabaan” belaka, yakni tidak berdasarkan pengetahuan. Atau kalau ada dasar pengetahuan yang Cuma berasal dari “pengalaman”: ini berarti kurang luas (eenzijdig).

(34)

- 23 - b. Syarat-syarat pengetahuan.

Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang bersandar atas pengetahuan, yang dinamakan “ilmu pendidikan”. Ilmu ini tidak berdi sendiri, akan tetapi masih memakai ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan atau “hulpwetenschappen”, yang terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:

1) ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie); 2) ilmu hidup-jasmani manusia (fysiologie);

3) ilmu keadaan atau kesopanan (ethika atau moral); 4) ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (aesthetika); dan 5) ilmu tambo pendidikan (ikhtisar cara-cara pendidikan).

Untuk mengerti perlunya mempunyai pengetahuan yang lima macam itu, perlulah kiranya kita mengadakan sedikit perbandingan antara keadaan seorang “juru didik” dengan seorang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu barang tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakekatnya atau keadaannya kayu; jadi harus tahu akan ilmu kayu (lihat no. 1) dan 2) diatas). Ia wajib mengetahui kayu-kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran-ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidik itu “mengukir” manusia, sedang manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu-kemanusiaan itu ada dua macamnya, ialah “psychologie” dan “fysiologie”, seperti tersebut diatas no. 1) dan 2).

Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiran-ukiran) yang baik, haruslah mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama halnya harus mengerti tntang keindahan-keindahan batin dan lahir (ethika dan aesthetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no. 3) dan 4)).

Akhirnya seorang pengukir kayu dapat mewujudkan ukiran-ukiran yang bagus, kalau ia mempunyai pengetahuan tentang macam-macam ukiran, yang telah diadakan pengukir-pengukir lainnya, pada jaman sekarang dan jaman dahulu, dinegerinya sendiri atau dinegeri asing. Itulah ilmu “tambo-pendidikan” buat kaum pendidik.

Dengan mengadakan perbandingan itu, tidak usahlah kita memberi keterangan sendiri yang luas, karena tiap pembaca lalu dapat membuat keterangan sendiri yang panjang, lebar dan terang.

c. Peralatan Pendidikan.

Yang kita maksudkan dengan perkataan “peralatan” itu sebenarnya alat-alat yang pokok, cara-caranya mendidik. Ketahuilah bahwa cara-cara itu amat banyaknya, akan tetapi dalam pokoknya bolehlah semua cara itu kita bagi seperti berikut:

1) memberi contoh (voorbeeld);

Gambar

Gambar 1.1 Hubungan antara Kurikulum dan Pembelajaran
Tabel 1.1 Rangkuman Sejarah Nasional Indonesia  Sejarah Nasional Indonesia
Tabel 1.2 Pergantian Nomenklatur SMA
Tabel 1.3 Pergantian Nomenklatur SMA 3 Yogyakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi

Dalam kurikulum Mata pelajaran yang diberikan di SMA Hidayatullah juga dilakukan pendidikan politik yang diajarkan melalui materi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

16.. 1) Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII Program IPA, Program IPS, Program Bahasa, dan Program Keagamaan terdiri atas 13 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan

Rumli (2004), mengemukakan hasil penelitiannya bahwa kurikulum muatan lokal yang ada masih belum maksimal. Input penyusunannya belum memperhatikan konsep pengembangan

Jumlah jam mata pelajaran kimia di SMA/MA yang ”relatif berlebih” dibandingkan dengan jumlah jam mata pelajaran kimia di SMA ( Senior High School ) negara asing,

Namun dengan adanya perubahan kurikulum dari Kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) ke Kurikulum 2013, mata

Apabila kepentingan nasional diartikan sebagai apa yang telah ditetapkan dalam struktur dan isi kurikulum dan kepentingan daerah dikembangkan dalam mata pelajaran muatan

Metode dan materi dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah satuan pelajaran. Kurikulum 1984 Menekankan pendekatan