• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

EDISI 2010 

PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP

( DARI MASA HINDIA BELANDA,

PENDUDUKAN JEPANG DAN

ZAMAN KEMERDEKAAN )

SAID HAMID HASAN

(2)

EDISI 2010 

Reviewers:

1. Benny Karyadi

2. Mujiyem

3. Achmad Riyanto

4. Agus Suhardono

5. Juandanilsyah

(3)

UCAPAN TERIMAKASIH

Buku ini mencapai bentuknya seperti sekarang melalui banyak uluran tangan dan kebijakan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada pengambil kebijakan dan pemberi uluran tangan dalam menyempurnakan buku yang ada di hadapaan pembaca.

Pengambil kebijakan yang sangat menentukan kehadiran buku ini adalah pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Mansyur Ramly. Buku ini dimunginkan hadir karena program kerja Balitbang yang beliau pimpin . Oleh karena itu ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada beliau disertai harapan semoga buku ini memenuhi tujuan program yang dikembangkan.

Pengambil kebijakan yang juga sangat menentukan kehadiran buku ini adalah pimpinan Pusat Kurikulum (PUSKUR) yaitu Ibu Dra Diah Harianti, M.Pd. Secara programatik keberadaan buku ini disebabkan oleh program langsung yang dikembangkan Puskur. Dalam proses penulisan kebijakan pimpinan Puskur dalam mengendalikan kegiatan penulisan baik pada pertemuan awal ketika memformulasikan pokok pikiran, pengendalian waktu penulisan dan pertemuan agar penulisan dapat selesai pada waktunya, dan pengendalian berbentuk masukan selama masa penulisan. Oleh karenanya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada beliau dengan penuh hormat dan dari hati penulis yang paling dalam. Selain Ketua Puskur, pimpinan Puskur lainnya banyak berkontribusi dalam penulisan ini. Mereka adalah Dr Herry Widyastono yang secara langsung mengatur pertemuan untuk kepentingan penulisan, Erry Utomo, Ph.D, Drs Sutjipto, M.Pd, Drs.N.S.Vijaya,M.Ed., dan ibu Dr Sumiyati. Nama yang terakhir ini bahkan secara teknis mengatur segala keperluan penulisan baik dalam bentuk pertemuan, melengkapi dokumen yang diperlukan, serta hal-hal lain yang sangat membantu memperlancar pekerjaan penulisan. Staf Puskur lain yang banyak memberikan bantuan dalam kegiatan ini adalah Dra Neda Kasim dan Dra Veronika. Secara khusus pak Ujang yang telah banyak membantu penulis dalam

(4)

proses menemukan naskah/dokumen kurikulum. Kepada mereka semua penulis ingin menyampikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus.

Kepada tema-teman sesama penulis untuk kurikulum SD, SMA, SMK, PAUD yang telah bahu membahu membantu mengatasi berbagai kesulitan penulisan, penulis ucapkan banyak terimakasih dari hati yang paling dalam. Demikian pula dengan teman di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI yang telah membantu mencarikan, meminjamkan, dan mengkopikan berbagai sumber penulis sampaikan ucapan terima kasih. Secara khusus mereka adalah Prof. Dr Rochiati Wiraatmadja, Prof. Dr. Helius Sjamsuddin, Prof. Dr. Dadang Supardan, M.Pd., Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum, Drs Sjarief Moeis, Dr Nana Supriatna, Dra. Erlina ,M.Pd, Dra. Yani Kusmarni, M.Pd.

Kepada teman dari Nagoya University, Jepang yaitu Prof. Dr Mina Hattori dan Dr Murni Ramly penulis menyampaikan terimakasih yang mendalam. Mereka yang banyak membantu dalam penyediaan dokumen pendidikan di masa Pendudukan Jepang yaitu dokumen yang diberi nama “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, Kurasawa” sangat berharga dalam penulisan ini.

Teman-teman yang mereviu tulisan awal yaitu Benny Karyadi, Mujiyem, Achmad Riyanto, Agus Suhardono dan Juandanilsyah memberikan sumbangan yang berharga untuk penyempurnaan penulisan buku ini. Kepada mereka penulis sampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Kepada mereka yang namanya tak tersebutkan tetapi banyak memberikan kontribusi dalam penyempurnaan buku, penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sama nilainya dengan yang telah disebutkan di atas.

Semoga amal dan bantuan tersebut mendapatkan limpahan rahmatNya. Amin.

Bandung, Desember 2010 Penulis

(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Buku ini disusun sebagai upaya untuk memberikan gambaran perkembangan pemikiran kurikulum SMP yang pernah dilakukan selama masa Penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang, dan Masa Kemerdekaan. Masa Kemerdekaan adalah masa yang paling panjang dilihat dari kurun waktu dan jumlah naskah kurikulum SMP yang pernah dikembangkan. Pengembangan Kurikulum pada Masa Kemerdekaan yang dikaji dimulai dari awal kemerdekaan bangsa Indonesia ketika suasana kehidupan kenegaraan Indonesia masih berada dibawah ancaman agresi meliter Belanda, dilanjutkan dengan pengembangan kurikulum SMP pada masa Pemerintahan Parlementer, Masa Orde Lama, Masa Orde Baru, dan diakhiri pada masa Reformasi. Kerangka perkembangan kehidupan kebangsaan Indonesia digunakan sebagai periodesasi kajian pengembangan kurikulum SMP karena pengembangan keberlakuan suatu kurikulum selalu dipengaruhi oleh kebijakan politik selain faktor-faktor yang bersifat akademik dan perkembangan di bidang ilmu dan teknologi.

Gambaran perkembangan kurikulum selama masa yang dikemukakan di atas terutama diutamakan pada kajian terhadap dokumen kurikulum. Kajian ini paling dimungkinkan mengingat ketersediaan sumber informasi dalam hal ini dokumen kurikulum. Dimensi kurikulum yang lain yaitu implementasi kurikulum yang disebut juga dengan istilah “implemented curriculum”, “observed curriculum” atau “taught curriculum” tidak dikaji mengingat ketersediaan sumber yang dapat dikatakan sangat tidak memungkinkan membangun rekonstruksi yang dapat memberikan gambaran yang adil. Laporan, hasil evaluasi, atau pun hasil penelitian tentang implementasi kurikulum hanya berkenaan dengan kejadian yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Untuk menghindari gambaran yang tidak adil maka buku ini tidak melakukan kajian mengenai dimensi implementasi kurikulum.

Dimensi kurikulum yang ketiga yaitu hasil tidak pula dikaji dalam buku ini sehingga gambaran mengenai kualitas tamatan SMP dari setiap dokumen kurikulum yang dikaji tidak direkonstruksi dalam buku ini. Alasan yang sama

(8)

dengan ketiadaan kajian terhadap dimensi kedua kurikulum, implementasi kurikulum, berlaku pula bagi ketiadaan kajian dimensi hasil kurikulum. Hasil-hasil yang diperoleh peserta didik dari ujian nasional baik yang dinamakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) mau pun Ujian Nasional (UN) memiliki kelemahan mendasar dalam validitas kurikulum. Soal-soal ujian yang dikembangkan untuk evaluasi nasional tersebut tidak memiliki validitas kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan walau pun memiliki validitas isi yang dapat dipertanggungjawabkan.1

Dalam analisis yang dilakukan untuk setiap kurikulum diupayakan untuk mengungkapkan landasan filosofis dan teoritik yang digunakan dalam pengembangan kurikulum. Keberlanjutan dan perubahan yang terjadi dalam landasan filosofis dan teoritik memberikan gambaran tentang terjadinya perbedaan dalam struktur, organisasi konten kurikulum, beban belajar, dan juga format dokumen kurikulum yang dikembangkan. Dari analisis yang dilakukan tersebut berbagai hal yang terkait dengan masalah miskonsepsi diungkapkan agar pembaca buku dapat mengambil makna dan memberikan penilaian yang lebih baik terhadap kurikulum.

Dilihat dari aspek kelembagaan yang telah mengembangkan kurikulum pada masa kemerdekaan, pengembangan kurikulum pada masa kemerdekaan dapat dibagi atas tiga periode yaitu periode pengembangan oleh lembaga teknis, periode pengembangan lembaga pengembang kurikulum khusus yaitu Puskur, dan periode dimana pengembangan kurikulum menjadi wewenang satuan pendidikan . Sampai tahun 1968, kurikulum SMP dikembangkan oleh lembaga teknis yang sekarang bernama Direktorat SMP. Kurikulum SMP 1975 adalah kurikulum pertama yang dikembangkan oleh lembaga yang didirikan dengan tugas khusus untuk pengembangan kurikulum yang sekarang dikenal dengan nama Pusat Kurikulum

1

Validitas kurikulum berkenaan dengan pengukuran kualitas tamatan yang dinyatakan dalam tujuan kurikulum, bukan hanya terbatas pada aspek pengetahuan. Kualitas dalam kemampuan intelektual, afektif dan psikomotor yang tercantum dalam tujuan kurikulum tidak terujikan dalam ujian nasional yang disebutkan di atas. Validitas konten dalam ujian nasional yang disebutkan di atas terbatas pada pokok bahasan yang diujikan dan pada tujuan dlam aspek pengetahuan dari pokok bahasan terkait.

(9)

(PUSKUR). Periode ini berlangsung sampai tahun 2004 yaitu ketika pusat ini berhasil mengembangkan kurikulum yang awalnya bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tahun 2001 dan naskah terakhir dinamakan Kurikulum 2004. Pada masa Reformasi pengembangan kurikulum menjadi tanggungjawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan. Kurikulum tingkat nasional yang dikembangkan Pemerintah berbentuk Struktur Kurikulum berlaku secara nasional. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengawasi dan memberikan arahan terhdap pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Kurikulum lengkap dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan dan diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Ucapan Terimakasih... i

Sambutan Kabalitang. ... iii

Sambutan Ka Puskur ... iv

Kata Pengantar ... v

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR FOTO ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Istilah Kurikulum Sebagai Pengganti Leerpla ... 1

B. Perubahan Nama SMP dari MULO, Shoto Chu Gakko, SLTP, SMP ... 4

C. Kurikulum Sebagai “Public Policy” dan “Academic/ Educational Innovation”... 6

D. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Kurikulum ... 9

BAB II KURIKULUM SMP (MULO) PADA MASA HINDIA BELANDA ... 15

A. Kelahiran MULO Dalam Sistem Persekolahan Zaman Hindia Belanda... 15

B. Tujuan Pendidikan MULO ... 21

(11)

BAB III KURIKULUM SMP (SHOTO CHU GAKKO) PADA

MASA PENDUDUKAN JEPANG ... 26

A. Kebijakan Pendidikan Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang... 26

B. Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum Shoto Chu Gakko ... 27

BAB IV KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN... 33

A. Perkembangan dalam Kebijakan Pendidikan ... 33

B. Daftar Pelajaran ... 43

BAB V KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN KABINET PARLEMENTER ... 49

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ... 49

B. Filsafat Kurikulum SMP 1954... 52

C. Tujuan Kurikulum SMP 1954 ... 53

D. Rencana Pelajaran SMP 1954... 63

E. Komponen Rencana Pelajaran SMP 1954 ... 65

BAB VI KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA ... 71

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ... 71

B. Kurikulum SMP Gaya Baru... 74

C. Tujuan Pendidikan SMP ... 81

(12)

BAB VII KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN

ORDE BARU ... 85

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ... 85

B. Kurikulum SMP 1968... 87

C. Kurikulum SMP 1975... 95

D. Kurikulum SMP 19841... 26

E. Kurikulum SMP 19941... 44

BAB VIII KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI... 155

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ... 155

B. Kurikulum 2004... 157

C. KTSP... 156

BAB IX MENATAP KURIKULUM SMP MASA DEPAN... 187

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Leerplan MULO... 22 Tabel 3.1 Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Kuriku Shoto Chu Gakko 29 Tabel 3.2 Hari Libur Sekolah... 30 Tabel 3.3 Buku Pelajaran Untuk Shoto Chu Gakko di Jakarta ... 32 Tabel 4.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1947-

1950... 45 Tabel 5.1 Kelompok dan Tujuan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran

SMP 1954... 57 Tabel 5.2 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1954 . 63 Tabel 6.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1962 . 82 Tabel 7.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1968 . 91 Tabel 7.2 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1975 ... 114 Tabel 7.3 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984 ... 133 Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1994 ... 151 Tabel 8.1 Struktur Program Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah

2001 ... 169 Tabel 8.2 Struktur Kurikulum SMP dan Madrasah Tsanawiyah 2004 . 171

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sistem Pendidikan dan Persekolahan Hindia-Belanda... 22 Gambar 2 Heirarki Tujuan Pendidikan ... 100

(15)

DAFTAR FOTO

Foto 1 Gedung MULO... 15

Foto 2 Gedung Shoto Chu Gakko ... 26

Foto 3 Gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ... 43

(16)

PENDAHULUAN  

 

A. ISTILAH KURIKULUM SEBAGAI PENGGANTI LEERPLAN (RENCANA PELAJARAN)

Istilah kurikulum merupakan istilah baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ketika bangsa Indonesia baru merdeka dan menyatakan dirinya berdaulat atas wilayah yang dulunya dinamakan Hindia Belanda dunia pendidikan di Indonesia belum menggunakan istilah kurikulum. Istilah yang digunakan pada awal kemerdekaan sampai dengan tahun enampuluhan adalah rencana pelajaran dan daftar mata pelajaran sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda leerplan dan

leervak. Memang tidak dapat disangkal bahwa literatur kurikulum menyebutkan

daftar mata pelajaran (list of courses) sebagai salah satu makna awal dari istilah kurikulum. Istilah kurikulum baru digunakan di Inggeris pada awal abad ke 19 (1820) oleh Galsgow University dari bahasa Latin curere ( Tanner dan Tanner, 1980; Henderson dan Gornik, 2007:2) yang secara harfiah artinya adalah lari tetapi pada awal abad ke 19 tersebut berubah maknanya menjadi daftar mata pelajaran. Istilah kurikulum mulai mendapatkan tempat yang luas pada awal abad ke 201 (Tanner dan Tanner, 1980:4) setelah mengalami perubahan makna yang sangat berbeda dari pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran.

Istilah kurikulum mulai masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur kependidikan Amerika Serikat menjelang akhir tahun 60-an abad ke 20. Menurut Longstreet dan Shane (1993:21) istilah kurikulum di Amerika baru dikenal umum pada awal abad ke 20 walau pun seperti mereka akui bahwa filosof Jerman Johann Friedrich Herbatt telah mengembangkan pikiran tentang kurikulum sebagai “a systematic approach to the organization and selection of content as well as to instructional delivery” pada pertengahan abad ke 19. Di Amerika Serikat, pemikiran tentang kurikulum pada mulanya berkembang pada akhir abad ke 19

       1

 Sebelum istilah kurikulum digunakan istilah paedagogy atau pedagogiek adalah  istilah umum  yang digunakan  bersamaan dengan istilah didaktik. 

(17)

dengan pembentukan Committee of Ten yang antara lain diketuai oleh Charles Eliot dari Harvard University (Longstreet dan Shane, 1993: 22-23). Pada tahun 1918 tokoh pendidikan Amerika Serikat yang bernama Franklin Bobbitt dari University of Chicago menerbitkan buku yang berjudul The Curriculum, buku pertama yang menggunakan judul kurikulum. Pada tahun 1924 Bobbitt menerbitkan buku baru yang diberi judul How to Make a Curriculum (Longstreet dan Shane, 1993:29). Pada tahun 1927 National Society for the Study of Education (NSSE) menerbitkan buku tahunan ke 26 organisasi ini dengan nama

Curriculum Making:Past and Present yang menurut kedua penulis tadi (Longsreet

dan Shane, 1993:32) kebangkitan awal bidang studi kurikulum sebagai suatu pekerjaan profesional. Dalam buku tahunan NSSE, Harold Rugg sebagai editor menyatakan tugas pengembangan kurikulum adalah (1) menentukan objektif kurikulum, (2) seleksi materi dan aktivitas yang sesuai, dan (3) menentukan organisasi dan tata urut materi dan aktivitas (Longstreet dan Shane, 1993:32). Secara implisit buku tersebut menuntut adanya studi yang ilmiah dalam pengembangan rencana dan evaluasi menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk menentukan efektivitas kurikulum.

Meski pun Bobbitt dianggap bapak kurikulum di Amerika Serikat, tokoh pendidikan seperti John Dewey (1916) dan terutama Ralph Tyler (1942) dianggap oleh banyak akhli sebagai pelopor pemikir kurikulum modern dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles of

Curriculum and Instruction, Tyler mengubah makna kurikulum secara mendasar

dan membedakannya secara mendasar pula dari pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran atau pun sebagai pengalaman belajar. Tyler (1942) memperbaiki komponen kurikulum yang dikembangkan oleh Harold Rugg dengan mengemukakan empat komponen yang terkait dengan kurikulum yaitu tujuan, konten, organisasi konten, dan penilaian hasil belajar. Komponen penilaian hasil belajar merupakan penyempurnaan yang dilakukan Tyler terhadap pemikiran Harold Rugg. Sejak itu berbagai definisi kurikulum dirumuskan oleh mereka yang secara khusus mendalami dan mengembangkan bidang studi kurikulum

(18)

tetapi keempat komponen yang dikemukakan Tyler tetap menjadi fokus pengembangan utama kurikulum dalam setiap konstruksi dokumen kurikulum.

Pada tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan Indonesia belajar buku-buku pendidikan dari Amerika Serikat dan Inggeris dan banyak pula di antara mereka melanjutkan studi di bidang pendidikan di Amerika Serikat. Mereka membaca buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris tersebut dan berkenalan dengan istilah kurikulum. Istilah kurikulum mulai masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia pendidikan Indonesia tetapi secara resmi, istilah kurikulum di Indonesia baru digunakan pada tahun 1968 (Dokumen Kurikulum 1968) ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968 menggantikan kurikulum yang berlaku sebelum 1964 yang masih berjudul Rencana Pelajaran (Dokumen Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru). Sejak 1968, istilah kurikulum digunakan secara meluas dalam berbagai kebijakan pendidikan dan literatur pendidikan di Indonesia. Berbagai akhli kurikulum yang secara akademik belajar tentang bidang ini mulai dimiliki bangsa Indonesia memperkaya kelompok yang telah berpengalaman dalam mengembangkan Rencana Pelajaran (kurikulum). Kehadiran Pusat Pengembangan Kurikulum dan Alat Pendidikan, yang ketika naskah ini ditulis bernama Pusat Kurikulum, serta kehadiran program studi Kurikulum di berbagai IKIP memperkuat kelompok yang bekerja dan melakukan studi akademik dalam bidang kurikulum.

Meski pun demikian, harus diakui bahwa meninggalkan makna kurikulum sebagai daftar mata pelajaran bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam realita pengembangan kurikulum dan kebijakan kurikulum seringkali masih dikungkung oleh makna kurikulum sebagai daftar mata pelajaran walau pun ada usaha nyata yang dilakukan dalam kurikulum 1954. Dalam pelaksanaan atau implementasi kurikulum di sekolah, kurikulum masih diperlakukan sebagai daftar mata pelajaran. Memang mengubah sebuah kerangka berpikir dan pola tindakan bukan merupakan sesuatu yang mudah, perlu kesadaran tinggi tentang makna baru secara konsisten dan membangun pola tindakan baru yang sesuai dengan makna baru itu

(19)

merupakan perubahan yang seringkali baru terjadi dalam waktu yang panjang apabila diupayakan secara konsisten.

Pada saat sekarang, secara resmi kurikulum diartikan sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (UU RI nomor 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (19)). Rumusan pengertian kurikulum yang digunakan dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 tersebut menyatukan tiga dimensi utama kurikulum yaitu dimensi rencana (curriculum as intended, planned, document) dan dimensi proses (implementasi) dan kurikulum sebagai hasil (product) dalam satu kesinambungan.

 

B. PERUBAHAN NAMA SMP DARI MULO, SHOTO CHU GAKKO, SLTP, SMP

Sejak kemerdekaan, nama Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengalami perubahan nama beberapa kali. Pada zaman penjajahan Belanda ada sekolah yang bernama MULO2 (untuk mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan di HIS3, HCS, dan ELS4), serta HBS5 (untuk lanjutan tamatan ELS dan HCS).

Pada masa Pendudukan Meliter Jepang dikenal adanya Shoto Chu Gakko6. Shoto Chu Gakko adalah sekolah yang dianggap sederajat dengan MULO dan yang pada masa awal kemerdekaan dan sekarang dikenal dengan nama SMP. Perbedaan yang mendasar dengan Mulo adalah Shoto Chu Gakko boleh menggunakan bahasa Indonesia tetapi bahasa Belanda dilarang. Meski pun demikian, nama

       2 MULO = Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Rendah yang Diperluas), bahasa  pengantar Bahasa Belanda  3  HIS = Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar untuk pribumi), bahasa pengantar Bahasa  Belanda  4 ELS = Europesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk orang Eropa), bahasa pengantar Bahasa  Belanda  5  HBS = Hogere Burger School (Sekolah Lanjutan Tinggi) untuk mereka yang akan melanjutkan ke  perguruan tinggi dikembangkan dari seksi B Gymnasium Koning Willem III pada tahun 1867 di  Jakarta (Nasution,1983:130; Djumhur dan Danasaputra, 1974:128).  6  Gunawan (1986), Kebijakan‐Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Bina Aksara 

(20)

MULO tetap tercantum dalam salah satu dokumen Jepang tentang pendidikan di pulau Jawa yang berjudul “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô”.

Setelah Indonesia berdiri sebagai negara merdeka, nama Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengalami berbagai pergantian. Barangkali dapat dikatakan bahwa perubahan nama SMP yang terjadi di Indonesia menunjukkan dinamika yang lebih tinggi dibandingkan negara mana pun di dunia, apalagi jika diingat bahwa SMP sebagai suatu satuan pendidikan yang berdiri sendiri merupakan suatu yang unik Indonesia. Pewarisan sistem persekolahan dari zaman penjajahan Belanda yang kemudian diteruskan oleh pendudukan meliter Jepang dan diformalkan dalam berbagai ketetapan legal di Indonesia memberikan dasar hukum yang kuat bagi esksistensi SMP sebagai satuan pendidikan yang mandiri. Berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1950, sekolah yang disebut dengan istilah Mulo atau pun Shoto Chu Gakko, disebut dengan nama Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama disingkat SMP. Kata atau istilah umum pada nama SMP digunakan karena sampai tahun 1973 Indonesia masih mengenal adanya sekolah kejuruan seperti Sekolah Teknik Tingkat Pertama (STP), Sekolah Menengah Ekonomi tingkat Pertama (SMEP), Sekolah Menengah Pertanian Pertama (SMPP), Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama (SKKP), dan sekolah menengah keguruan yaitu Sekolah Guru B (SGB). Nama-nama sekolah kejuruan dan keguruan tersebut sangat eksplisit sehingga sangat kecil menimbulkan salah persepsi bahwa sekolah-sekolah tersebut berkenaan dengan persiapan peserta didik dalam satu vokasi tertentu. Untuk SMP adanya kata umum memperjelas posisi sekolah tersebut sebagai sekolah yang tidak dirancang untuk mengembangkan pendidikan dalam vokasi. Dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) SMP adalah singkatan dari Sekolah Menengah Pertama, sudah tidak lagi menggunakan kata umum di dalam nama penuhnya.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) walau pun pada waktu Indonesia

(21)

hanya memiliki satu jenis sekolah pada jenjang ini. Jadi, SLTP adalah nama diri sekolah seperti halnya SMP, dan bukan nama kelompok sekolah/satuan pendidikan di jenjang lanjutan pertama. SMA yang dalam undang-undang yang sama diubah menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum) sebagai anggota dari SLTA atau Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebagai nama kelompok satuan pendidikan. Anggota lain dari SLTA adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Perubahan nama SLTP terjadi lagi sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yaitu ketika SLTP kembali menjadi SMP, singkatan dari Sekolah Menengah Pertama (UU nomor 20 tahun 2003, Pasal 17) tanpa ada kata umum. Sedangkan sekolah dibawah Departemen Agama yang sederajat dengan SMP dan diakui oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memberikan nama kelompok satuan baik untuk jenjang menengah pertama mau pun menengah atas.

C. KURIKULUM SEBAGAI “PUBLIC POLICY” DAN “ACADEMIC/ EDUCATIONAL INNOVATION ”

Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar masyarakat langsung atau tidak langsung, berdampak kepada pembiayaan (cost) yang harus dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum secara langsung. Oleh karena itu kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan pendidikan apabila tidak mendapat dukungan politik (politically viable) bangsa. Aspek kurikulum yang paling banyak berkenaan dengan unsur politik adalah aspek ide kurikulum. Aspek ini menyatakan secara filosofis kualitas generasi muda bangsa yang akan dikembangkan melalui pengembangan potensi setiap individu peserta didik.

(22)

Aspek ide kurikulum merupakan ketentuan tentang filosofi, teori serta model kurikulum untuk mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, jika pendidikan untuk seluruh bangsa Indonesia adalah pendidikan dasar 9 tahun (Wajib Belajar 9 Tahun) maka kualitas minimal yang harus dimiliki setiap anak bangsa Indonesia mereka miliki setelah mengikuti proses pendidikan selama 9 tahun (SD/MI dan SMP/MTs). Oleh karenanya, kurikulum pendidikan dasar harus mampu mengembangkan materi dan proses pendidikan dimana setiap peserta didik memiliki kesempatan dan kemampuan mengembangkan potensi dirinya menjadi kualitas yang dimaksudkan. Posisi yang menempatkan kurikulum pendidikan dasar menyandang peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas dasar bagi seluruh manusia Indonesia, menjadikan kurikulum SD/MI dan SMP/MTs sebagai suatu kebijakan pendidikan yang kritikal dan fundamental. Kegagalan dalam upaya mengembangkan potensi menjadi kualitas yang diperlukan akan menimbulkan dampak yang sangat mungkin tidak diinginkan, dalam kehidupan pribadi yang bersangkutan dan bangsa di berbagai dimensi kehidupan pribadi, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Pendidikan menengah apalagi pendidikan tinggi tidak dalam posisi yang kritikal dan fundamental sebagaimana kurikulum pendidikan dasar karena pendidikan menengah dan tinggi tidak dalam posisi untuk mengembangkan kualitas minimal yang dipersyaratkan bagi seluruh bangsa Indonesia tapi bagi mereka yang terpilih berdasarkan kemampuan dan minat yang dimiliki seseorang warganegara. Tentu saja suatu bangsa memerlukan warga yang memiliki kualitas dasar, kualitas lanjutan, dan kualitas tinggi dan karenanya secara keseluruhan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sangat diperlukan bangsa.

   Kurikulum sebagai kebijakan publik dituangkan dalam bentuk dokumen, direalisasikan dalam bentuk dimensi proses kurikulum yaitu pembelajaran, dan diwujudkan dalam bentuk hasil belajar. Dimensi dokumen dikembangkan sebagai rancangan bagi landasan pengembangan dimensi proses kurikulum sedangkan dimensi hasil adalah bentuk kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil langsung dari pengalaman belajar mereka dalam dimensi proses pembelajaran. Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu sebagai “curriculum ideas, a written

(23)

plan where the ideas are planned and documented, the experiences the students have as teachers realize the ideas in the document into reality or learning process, and the product, outcomes or the competencies the students have as the direct result from the experiences ( Hasan, 2009) merupakan satu keseluruhan

proses pengembangan kurikulum (curriculum development).

Kurikulum adalah suatu hasil pemikiran inovatif para pengembang sebagai jawaban terhadap apa yang diperlukan masyarakat (hasil dari “need analysis”). Seperti dikemukakan Oliva (1992) curriculum is a product of its time. . .

Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Oleh karena setiap terjadi perkembangan dalam masyarakat

yang berdampak luas dan menghendaki adanya kualitas baru dari anggota masyarakatnya maka diperlukan suatu kurikulum baru. Kurikulum adalah jawaban atau hipotesis pendidikan terhadap kebutuhan pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas baru yang diperlukan untuk kehidupan dirinya sebagai warganegara.

Dalam jawaban tersebut yaitu kurikulum baru selalu terkandung suatu inovasi. Ruang lingkup atau “magnitude” inovasi suatu kurikulum baru beragam, dapat berkenaan dengan sesuatu yang besar dan meliputi aspek filosofis, teoritik, model sampai ke berbagai komponen dokumen kurikulum. Ruang lingkup inovasi kurikulum baru tersebut dapat pula merupakan sesuatu yang sangat kecil dan hanya berkenaan dengan satu komponen kurikulum tapi memiliki nilai pendidikan yang signifikan. Semakin rumit dan luas kualitas baru yang dibutuhkan masyarakat maka semakin besar pula ruang lingkup inovasi suatu kurikulum baru.

(24)

D. FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM

Suatu kurikulum diganti, diubah atau dipertahankan tergantung pada tiga kelompok utama faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum. Ketiga faktor tersebut adalah perubahan politik, perkembangan ilmu dan teknologi, dan perkembangan sosial-budaya-ekonomi. Ketiga kelompok faktor tersebut berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum sebagai kebijakan publik/pendidikan di negara mana pun, dan ketika salah satu dari ketiga faktor tersebut berubah terutama faktor politik maka kurikulum sebagai suatu kebijakan publik/ pendidikan akan berubah.

1. Faktor Politik

Sebagaimana telah dikemukakan di bagian atas, kurikulum di Indonesia mengalami perubahan mendasar pada tahun 1966 karena adanya perubahan kekuatan politik dari kehidupan politik yang semulanya didominasi oleh kekuatan komunis ke kekuatan politik yang didominasi kekuatan anti komunis. Ketika terjadi perubahan kekuatan politik tersebut maka pemerintah segera mengeluarkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1968 menggantikan kurikulum sebelumnya yaitu Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru tahun 1964. Penggantian kurikulum Gaya Baru menjadi kurikulum 1968 bersifat sementara untuk mengatasi masalah ideologi komunis, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin yang dianggap sudah tidak sesuai untuk kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada dasarnya secara teknis perubahan tersebut terjadi hanya dengan menghapus bagian-bagian tertentu konten kurikulum yang berkenaan dengan ajaran komunisme. Perubahan tersebut memang membuktikan adanya pengaruh politik yang sangat jelas dan tak mungkin dipungkiri terhadap kurikulum (Appel, 1979: 13; Giroux, 1981: 21-22; Waring, 1981: 20). Kurikulum adalah isi dan jantungnya pendidikan (Klein, 2000:54) dan oleh karena itu kekuatan yang mampu mempengaruhi kurikulum berarti mampu menguasai proses pendidikan dan hasil pendidikan. Kepedulian kekuatan politik dapat berupa

(25)

kekuatan resmi yang dipegang oleh pemerintah (pusat, daerah) tetapi juga dapat berupa kekuatan politik yang riil di masyarakat dan secara langsung berpengaruh terhadap kurikulum sebagai suatu proses pendidikan.

Kekuatan politik dikembangkan menjadi kemauan politik. Kemauan politik dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki wewenang sebagai pengambil kebijakan di bidang kurikulum (presiden, menteri, BSNP, kepala sekolah/komite sekolah). Kemauan politik dimiliki pula oleh sejumlah orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan dalam menentukan kurikulum. Sekelompok orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan itu mungkin para politisi, “pressure groups”, akademisi, orang tua, atau komunitas tertentu di masyarakat.

Pengaruh politik atau kekuatan politik (termasuk tekanan sosial) tidak dapat dilepaskan atau pun diabaikan dalam proses pengembangan kurikulum mana pun dan di negara mana pun. Pengaruh politik atau kekuatan politik paling kecil adalah pengaruh terhadap kurikulum akademik perguruan tinggi karena lembaga perguruan tinggi dilindungi dan dikembangkan sebagai lembaga yang memiliki otonomi penuh di bidang akademik. Berbeda dari kurikulum akademik, kurikulum profesi dan vokasional yang dikembangkan di perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat yang menjadi pemegang profesi dan tergabung dalam organisasi profesi.

Untuk mengurangi pengaruh politik dan masyarakat terhadap pengembangan kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah, di berbagai negara kurikulum perekolahan dikembangkan oleh perguruan tinggi. Kebijakan tersebut tidak menyebabkan para pengembang kurikulum dapat melepaskan diri dari pengaruh politik dan kekuatan masyarakat. Pengaruh politik dan masyarakat paling kecil adalah dalam bentuk apa yang tidak boleh dikembangkan kurikulum baik terutama dalam komponen konten, proses pendidikan atau pun penilaian hasil belajar. Pengaruh tersebut menyebabkan suatu kurikulum hanya dapat digunakan oleh satuan pendidikan jika

(26)

kurikulum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan masyarakat (politically viable).

2. Pengaruh ilmu dan teknologi

Ilmu dan teknologi merupakan faktor kuat yang banyak berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Termasuk dalam disiplin ilmu yang dimaksudkan di sini adalah disiplin ilmu seperti biologi, kimia, fisika, matematika, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi,antropologi, politik dan ilmu pendidikan. Sudah sejak awal, sejak istilah kurikulum belum digunakan, perkembangan ilmu selalu berpengaruh terhadap kurikulum (Benjamin, 1939; Taba, 1962; Saylor dan Alexander, 1967; Kliebard, 1965; Henderson dan Kesson, 2004) Perkembangan materi suatu disiplin ilmu baik materi substantif mau pun materi ketrampilan, terutama materi disiplin ilmu yang langsung menjadi materi mata pelajaran tentu akan mengharuskan terjadinya perubahan kurikulum. Contoh dalam dunia pendidikan Indonesia misalnya adalah ketika matematika memperkenalkan apa yang dinamakan matematika modern. Mata pelajaran yang dulunya namanya aljabar, ilmu ukur dan ilmu pasti menjadi matematik. Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia digabungkan menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Perkembangan dalam teknologi mengubah kurikulum baik dalam konten mau pun dalam proses pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi akhir-akhir ini menunjukkan kebutuhan akan pentingnya perubahan kurikulum. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan peluang besar dalam penerapannya dalam kurikulum untuk memudahkan peserta didik mengakses sumber informasi, berbagai jenis informasi tetapi juga menuntut agar peserta didik menguasai berbagai ketrampilan teknis yang terkait dengan aplikasi alat-alat teknologi informasi dan komunikasi.

Perkembangan dalam dunia ilmu pendidikan termasuk filsafat berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Filosofi kurikulum sebagaimana dikatakan

(27)

oleh Schubert (1986:113) adalah jantung pengembangan kurikulum. Ia mengatakan:

Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. . . . John Dewey (1916) supported this emphasis when he suggested that education is the testing ground of philosophy itself

Pendapat serupa dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980) dan Oliva (1997). Tanner dan tanner (1980: 103) bahkan menyatakan bahwa filosofi kurikulum berpengaruh dan menjadi sumber dalam proses pengembangan kurikulum. Sedangkan Oliva (1997:190) mengatakan bahwa setiap pengembang kurikulum harus sadar filosofi yang berpengaruh pada dirinya ketika mereka mengembangkan ide dan dokumen kurikulum. Sebagai contoh, filosofi kurikulum essensialisme dan perenialisme sangat menekankan pada pandangan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan intelektual dan berpikir rasional. Atas dasar filosofi ini, kurikulum harus mengembangkan pendidikan disiplin ilmu sehingga konten kurikulum adalah konten disiplin ilmu dan tentu saja setiap perkembangan yang terjadi dalam konten disiplin ilmu menghendaki perubahan kurikulum. Ketika filosofi lain seperti eksperimentalisme, humanisme dan rekonstruksi sosial menjadi landasan pengembangan kurikulum maka pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari disiplin ilmu tetap diperlukan. Pengetahuan dari disiplin ilmu berupa fakta, konsep, generalisasi atau juga teori merupakan persyaratan awal untuk mengenal dan memahami ketrampilan atau pun nilai yang akan dikembangkan. Pengetahuan merupakan sesuatu yang diperlukan otak untuk mengembangkan kemampuan kognitif tetapi juga kegiatan kognitif memberikan hasil berupa pengetahuan baru. Kemampuan kognitif seperti memahami, menggunakan/ menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi menjadi dasar kuat bagi seseorang untuk mengembangkan kemampuan kognitif tertinggi yaitu menghasilkan suatu pengetahuan baru atau produk baru dalam berbagai bentuk.

(28)

3. Perkembangan sosial-budaya-ekonomi

Sosial-budaya adalah landasan pengembangan suatu kurikulum. Pewarisan nilai-nilai budaya adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum sebab pada dasarnya kurikulum adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Smith, Stanley, dan Shores, 1957; Taba, 1962). Perkembangan fokus dan unsur nilai yang harus diwariskan pendidikan kepada generasi muda akan memberikan dasar yang kuat untuk suatu kurikulum berubah. Ketika fokus dan unsur nilai berhimpit dengan kepentingan politik maka perubahan pada fokus dan unsur nilai semakin tinggi frekuensinya. Pada saat itu maka adanya perubahan kurikulum semakin tinggi pula.

Kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat selalu berubah. Pengaruh politik, ilmu, dan teknologi akan lebih mempercepat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat. Perubahan yang terjadi melahirkan berbagai kebutuhan akan kemampuan baru yang harus dimiliki anggota masyarakat. Kemampuan baru yang dituntut oleh perubahan kehidupan sosial-budaya-ekonomi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan baru, ketrampilan kognitif baru, sikap baru, nilai baru, dan kebiasaan baru. Hal-hal baru itu merupakan tambahan, penyempurnaan atau bahkan mengganti hal-hal lama yang sudah ada. Ketrampilan baru yang dihasilkan oleh hal-hal baru merupakan dorongan atau faktor yang kuat untuk mengubah kurikulum.

Perubahan yang dipengaruhi oleh perubahan dalam kehidupan sosial-budaya-ekonomi tak bisa dihindari kurikulum. Kurikulum mempunyai peran yang sangat penting untuk melayani kepentingan masyarakat (Taba, 1962; Saylor dan Alexander, 1974). Dinamika masyarakat adalah dinamika kurikulum dan masyarakat berkembang jika kurikulum memberikan hasil dengan kualitas peserta didik yang mampu mengembangkan masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat memerlukan kualitas baru akibat dari kemajuan atau perkembangan yang mereka miliki. Oleh karena itu apa yang terjadi di

(29)

masyarakat akan berpengaruh terhadap kurikulum dan sebaliknya apa yang diberikan kurikulum kepada masyarakat akan menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam masyarakat.

   

(30)

KURIKULUM SMP (MULO) PADA ZAMAN HINDIA BELANDA  

  Foto 1: MULO di Bandung pada tahun 1919

Sumber: Foto dari Priambodo,

tersedia pada http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/album/190

A. KELAHIRAN MULO DALAM SISTEM PERSEKOLAHAN ZAMAN HINDIA BELANDA

Pendidikan barat di Indonesia sudah diperkenalkan sejak masa awal kekuasaan Portugis di Indonesia yaitu dengan pendirian sekolah seminari di Ternate pada tahun 1536 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan Danasaputra, 1976: 115). Tujuan dari pendirian sekolah itu adalah untuk menyebarkan agama Katolik, sesuai dengan semboyan “gold, glory, and gospel” ketika bangsa Portugis menjelajah dan menjajah wilayah di luar benua Eropa. Pendidikan

(31)

barat dalam skala yang lebih luas dari sekolah seminari, diperkenalkan kongsi dagang Belanda yang bernama “Vereenigde Oost-Indische Compagnie” (VOC) di Ambon pada tahun 1607 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan Danasaputra, 1976:116). Ajaran agama yang diperkenalkan adalah Kristen Protestan (Calvinisme, Lutherian) yang telah berkembang di Eropa sejak awal abad ke 16 termasuk Belanda dan di Indonesia secara resmi dinamakan Kristen untuk membedakannya dari Katolik. Baik Portugis mau pun Belanda (VOC) berkonsentrasi mendirikan sekolah di daerah Maluku di masa awal kekuasaan mereka karena Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang terkenal di Eropa pada masa itu, dan menjadi daerah tujuan utama Portugis dan Belanda ke Indonesia. Kurikulum pada waktu itu mengembangkan proses pembelajaran yang berkenaan dengan ajaran-ajaran agama.

Setelah VOC menduduki Jayakarta, mengubah namanya menjadi Batavia, VOC mulai membangun sistem administrasi pemerintahan dan perdagangan. Untuk itu VOC memerlukan tenaga kerja trampil terutama di bidang administrasi. Pada tahun 1630 VOC membuka sekolah di Jakarta dengan pelajaran yang utama adalah membaca, menulis, berhitung ditambah dengan pendidikan agama Kristen seperti “memupuk rasa takut kepada Tuhan, dasar-dasar agama Kristen, berdo’a, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa dan guru” (Nasution, 2008:5). Kurikulum seperti itu adalah sesuatu yang umum pada masa itu dan untuk sekolah VOC ditetapkan oleh lembaga pimpinan tertinggi VOC yang dinamakan De Heeren XVII.

Kebijakan pendidikan VOC pada masa itu tidak sepenuhnya memisahkan sekolah untuk anak-anak Eropa dengan pribumi terpilih. Mereka bersekolah bersama terutama disebabkan karena jumlah anak-anak Eropa masih terbatas dan misi untuk menyebarkan agama Kristen (Nasution, 2008:6; Djumhur dan Danasuparta, 1976:116) yang ditujukan kepada anak Indonesia7. Pada bulan Desember 1799 VOC dibubarkan dan kekuasaan di Indonesia langsung berada       

7

 Nama Indonesia dan pribumi digunakan silih berganti dengan pengertian yang sama karena  pada masa VOC nama Indonesia belum dikenal/digunakan. 

(32)

di bawah parlemen Belanda. Pemerintahan Belanda di Indonesia dinamakan Pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Berbagai kebijakan pendidikan baru pun dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk anak-anak keturunan Eropa, Cina, dan pribumi dengan sekolah yang berbeda pula. Pendidikan untuk anak pribumi (inlands onderwijs) dikembangkan khusus dengan jenis sekolah yang berbeda dari anak-anak keturunan Eropa yang bersekolah di dalam sistem pendidikan Eropa (Europees Onderwijs) (Poeze, 1982: xx). Pada tahun 1817 sekolah pertama bagi anak-anak Belanda dan Eropa lainnya dibuka di Jakarta diikuti dengan pendirian sekolah serupa di berbagai kota di pulau Jawa (Nasution, 2008:9). Sedangkan untuk anak Indonesia didirikan sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse-school = sekolah ongko loro), Sekolah Desa (Dessa-school), dan Sekolah Rakyat (Vervolg-school). Ketiganya adalah dalam kelompok sekolah dasar (lager onderwijs). Secara keseluruhan sistem persekolahan tingkat dasar dan menengah tergambarkan pada Gambar 1 sebagaimana dikemukakan oleh Poeze (1982:xx)

Politik Etis dan pengaruh faham liberal yang berkembang di Belanda membuka kesempatan pendidikan barat yang lebih besar bagi anak Indonesia. Tekanan politik dalam negeri menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda membuka kesempatan kepada anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih luas tetapi baik politik Etis mau pun faham liberal tidak memberikan kesempatan yang sama antara anak Indonesia dengan anak Belanda. Pemisahan pendidikan terjadi pada jalur dan jenjang. Pada jenjang pendidikan dasar terjadi pemisahan pendidikan untuk anak pribumi (inlands onderwijs), dan anak Eropa (Europees onderwijs) dan anak Cina. Dalam jangka waktu yang cukup panjang bagi anak Indonesia hanya tersedia sekolah pada jenjang pendidikan dasar sedangkan bagi anak Belanda tersedia sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Anak Indonesia yang cerdas dan jumlah mereka semakin banyak tetapi mereka tidak memiliki melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan menengah. Beberapa anak priyayi tinggi dan terpilih memang dibolehkan melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.

(33)

Kesempatan itu baru terbuka ketika Pemerintah Hindia Belanda membuka Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), pendidikan dasar yang diperluas.

Gambar 1: Sistem Pendidikan dan PersekolahanHindia-Belanda

EE.L

.

opl M.U.L. MM KK KK Kw Hoger Onderwijs Inlands Onderwijs Europese Onderwijs Sumber: Poeze (1982:xx) Middelbaar Onderwijs

Lager Onderwijs

Inheemse M.U.L.O 4 jr Opl. Volkson‐ Derwijzer 2 jr Normaal‐ School 3 jr Tweede‐ Klasse‐ School 5/6 jr Dessa‐ School 3 jr Vervolg‐ school 2/3 jr Schakel‐ school 5 jr H.I.S 7 jr E.L.S7 jr Voorklas  1 jr M.U.L.O 3 jr H.B.S 3/5 jr A.M.S 3 jr M idd .L and b .s c ho ol    3  jr Mo sv ia   2j r   St o v ia    6  jr Be st uur s s c ch ool   2  jr l Rech tsc h.  3  jr Kw eek s ch .  3  jr Hoog e r e   Kw eek .  2  jr

Mulo atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Dasar yang Diperluas) didirikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914 (Djumhur

(34)

dan Danasuparta, 1959:137; van der Wal, 1963:224). Sebelumnya sudah ada bentuk kursus lanjutan yang dinamakan mulocursussen (Van der Wal, 1963:228) dan tergabung pada ELS (sekolah dasar untuk orang Belanda) untuk mereka yang bersekolah di ELS. Van der Wal (1963:224) menyebutkan bahwa pendirian MULO didasarkan atas surat Direktur Pendidikan dan Agama ( Directeur van onderwijs en eredienst, G.A.J Hazeu) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda (A.W.F. Idenburg, 1909-1916) pada tanggal 17 Maret 1913. Sebelum menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.W.F. Idenburg menjadi Menteri Tanah Jajahan (1902-1905; 1908-1909) dan sesudah menjadi Gubernur Jenderal kembali menjadi Menteri Tanah Jajahan (1918-1919). Adanya keinginan yang besar di kalangan pribumi tamatan HIS yang cerdas untuk melanjutkan studi lebih lanjut setelah menyelesaikan studi HIS mereka merupakan salah satu pertimbangan yang dikemukakan dalam surat Direktur Pendidikan dan Agama Hazeu kepada Gubernur Jenderal Idenburg untuk membuka MULO sebagai lembaga yang berdiri sendiri (als

een zelfstandig instituut). Pribumi tamatan HIS yang cerdas tersebut tidak

mungkin melanjutkan ke mulocursussen yang bagian ELS dan tidak pula ke HBS, karena keduanya diperuntukkan bagi orang Eropa.8

Pada tahun 1914 kursus-kursus tersebut disetujui untuk dikembangkan menjadi Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) sebagai sekolah yang berdiri sendiri, lepas dari ELS. Pendirian MULO tersebut dikukuhkan berdasarkan Ind. Stbl.9 1914 nomor 447 junto nomor 672 dan 687 tentang

Reglement op de openbare scholen van voortgezet en uitgebreid lager onderwijs in Netherlands Indie” (Van der Waal, 1963:230). Istilah meer uitgebreid (lanjutan lebih luas) memberikan indikasi tentang kedudukan

      

8 Dalam kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda dipisahkan sekolah untuk orang Eropa, 

Cina,  dan  Indonesia  yang  dinamakan  pribumi  (istilah  orang  atau  bangsa  Indonesia  belum  digunakan). Untuk anak pribumi disediakan inlands onderwijs sedangkan untuk Eropa disediakan  europees onderwijs (Poeze,1982:xx) 

9

  Ind.  Stbl  adalah  singkatan  Indische  Staatblad  yang  masih  berlaku  dalam  sistem  hukum  Indonesia,  dinamakan  Lembar  Negara  yang  mencatat  sebuah  undang‐undang.  Sebuah  undang‐ undang baru dinyatakan resmi berlaku setelah tercatat dan diundangkan dalam Lembar Negara.  Lembar Negara ditandatangani oleh Sekertaris Negara (dulu oleh Menteri Kehakiman) dan diberi  nomor khusus.  

(35)

sekolah yang semula kursus dan bagian dari sekolah dasar tersebut, demikian pula dengan istilah onderwijs (pendidikan) dan bukan school yang digunakan, seolah-olah pelaksanaan pendidikan dilakukan bukan oleh lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah.

Lama belajar MULO yang semula 2 tahun ketika masih menjadi kursus dan bagian dari ELS, dikembangkan menjadi 3 tahun setelah menjadi MULO yang lepas dari ELS10. MULO terbuka bagi anak Indonesia yang sudah menyelesaikan HIS (Hollandsch Inlandsche School = Sekolah Pribumi berbahasa Belanda). Sejak berdiri sendiri, Mulo menjadi lembaga/sekolah resmi sesudah sekolah dasar dan menjadi persyaratan untuk memasuki AMS (Algemeene Middlebare School) yang setelah Indonesia merdeka disebut SMA.

Berbeda dari ELS, HIS, apalagi HBS, MULO tidak didasarkan pada model sekolah Eropa (Nasution, 2008:123; Poeze, 1982:XIX). Dalam struktur persekolahan di Belanda dan di banyak negara Eropa, tidak ada sekolah pada jenjang menengah yang berdiri sendiri seperti MULO. Di berbagai negara Eropa, sekolah menengah diorganisasikan dalam satu manajemen dan terdiri atas program menengah junior (setara SMP) dan menengah senior (setara SMA). Pada masa kemudian, tamatan MULO dapat melanjutkan pelajaran ke sekolah kejuruan tingkat menengah (hogere vakscholen) dan ke AMS (Algemeene Middlebare School) 3 tahun. Seperti juga MULO, menurut Poeze AMS merupakan bentuk khusus sekolah menengah (awal) di daerah Hindia Belanda (de specifiek Indische vorm van voorbereidend hoger onderwijs). Tamatan MULO dapat juga melanjutkan studi mereka ke Stovia (School tot

Opleiding van Indische Artsen 6 tahun = Sekolah Dokter Jawa), Mosvia

(Middlebare Opleidingsschool vor Indische Ambtenaaren = Sekolah Menegah Pamong Praja Pribumi 2 tahun), Rechtschool (Sekolah Hukum 3 tahun),

       10

  Menurut  Poeze    (1982:  20)  ada  MULO  yang  merupakan  sekolah  dalam  sistem  pendidikan  Belanda  (3  tahun)  dan  ditambah  satu  tahun    bagi  anak  Indonesia  yang  melanjutkan sekolah  ini  dari  Schakel‐school  dan  ada  MULO  Pribumi  (Imheese  MULO)  yang  masuk  dalam  sistem  pendidikan pribumi (Inlands Onderwijs) yang lamanya 4 tahun. 

(36)

Kweekschool (Sekolah Guru 3 tahun), dan Middle Landsbouw School

(Sekolah Menengah Pertukangan 3 tahun). B. TUJUAN PENDIDIKAN MULO

Tujuan pendidikan MULO adalah untuk menghasilkan tamatan yang mampu bekerja dalam administrasi pemerintahan Kolonial Belanda, melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan (Sekolah Pertanian, Sekolah Pamong Praja, Sekolah Guru, Sekolah Hukum, Sekolah Kedokteran), dan ke sekolah menengah umum yang lebih tinggi (AMS).

 

C. MATA PELAJARAN DAN LEERPLAN MULO

 Bahasa instruksional yang digunakan dalam proses belajar di MULO adalah bahasa Belanda. Oleh karena itu tamatan HIS diterima di MULO karena HIS menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa instruksional. Selain digunakan sebagai bahasa instruksional, bahasa Belanda adalah mata pelajaran yang harus dipelajari setiap peserta didik. Keseluruhan mata pelajaran yang terdapat pada Rencana Pelajaran Mulo adalah:

Tabel 2.1. Leerplan (Rencana Pelajaran) MULO

KELAS DAN JAM MATA PELAJARAN

I II III

Membaca 3 3 2

Bahasa Belanda (Taal) 5 4 4

Aljabar (Algebra) 6 7 5

Ilmu Ukur (Geometri, Stereometri) 2 2 2

Ilmu Alam (Natuurkunde) 3 3 4

Ilmu Hayat (Plant-en Dierkunde) 3 3 3

Sejarah (Volks geschiedenis, Vaderlanse geschiedenis)

1 1 2

(37)

KELAS DAN JAM MATA PELAJARAN

I II III

Ilmu Bumi (Aarderijkskunde) 3 3 3

Olahraga (Gymnastik) 2 2 2

Menggambar (Tekenen) 2 2 2

Bahasa Perancis11 2 2 4

Bahasa Inggeris (Engels) 4 4 3

Bahasa Jerman (Deutsch) 4 3 4

Bahasa Melayu (elektif) 1 1 1

Menyanyi (Zingen)(elektif) 1 1 1

Sumber: Pelaku (peserta didik) dan Nasution (2004)

Dalam ilmu bumi peserta didik MULO belajar terutama geografi negara Belanda, Eropa, dan sedikit mengenai Hindia-Belanda (Indonesia). Pengetahuan tentang letak negara, bentuk dan karakteristik permukaan tanah, nama dan letak kota (peta buta), dan bahkan nama-nama gedung penting serta alamatnya di berbagai kota di Belanda merupakan pengetahuan penting dan harus menjadi pengetahuan siap (paratekennis) yaitu pengetahuan hafalan. Pengetahuan hafalan (paratekennis) adalah pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik dan mereka harus selalu siap dengan jawaban di luar kepala apabila ditanyakan. Pada saat sekarang, walau pun nama pengetahuan siap sudah tidak digunakan, dunia pendidikan Indonesia masih mengandalkan pengetahuan siap. Soal-soal yang dibuat untuk ulangan dan ujian berpijak pada pemikiran dasar bahwa peserta didik harus memiliki pengetahuan siap untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.

Sama halnya dengan ilmu bumi adalah mata pelajaran sejarah. Pengetahuan sejarah yang diutamakan adalah pengetahuan sejarah tentang kerajaan Belanda dan dinasti Oranye, asal-usul dinasti Oranye beserta raja dan ratu yang berkuasa, perjuangan bangsa Belanda dalam percaturan kekuatan politik negara-negara Eropa, keunggulan Belanda sebagai bangsa serta perjuangan bangsa Belanda

       11

(38)

memerdekakan dirinya dari kekuasaan Jerman. Pengetahuan sejarah juga mencakup pengetahuan tentang pelayaran bangsa Belanda ke Indonesia, pendirian VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), tokoh-tokoh VOC yang berjasa dalam membangun kekuasaan Belanda di Indonesia, pembentukan kekuasaan dan pemerintah Belanda di Nederlandsche Indie (Hindia Belanda = Indonesia). Para tokoh yang berkedudukan sebagai gubernur jenderal (wakil pemerintah Belanda di wilayah Hindia-Belanda), usaha pemerintah Hindia Belanda mengembangkan kekuasaan dan pengaruh di wilayah Nusantara (Indonesia) terutama dalam memepertahankan kekuasaan dari para “pemberontak” (pemimpin Indonesia yang melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam mempertahankan wilayah kekuasaan para pemimpin/raja tersebut ). Sejarah kekuasaan Belanda di Indonesia diikuti dengan berbagai tindakan pemerintah Hindia Belanda dalam membangun berbagai aspek kehidupan lain seperti budaya dan ekonomi termasuk program-program kemanusiaan untuk masyarakat pribumi (Indonesia). Politik Etis (Etische Politiek) pemerintah Hindia Belanda menjadi pokok bahasan penting karena melalui pokok bahasan poliitik etis yang dianggap sebagai program kemanusiaan, Pemerintah Belanda membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang “lebih baik” terutama dalam membangun sekolah untuk menghasilkan golongan terpelajar dan tenaga terlatih bangsa Indonesia.

Mata pelajaran sejarah umum untuk MULO mengajarkan mengenai asal-usul peradaban dunia yang dimulai dengan asal-usul peradaban bangsa-bangsa Eropa yaitu peradaban bangsa Yunani dan Romawi. Pelajaran tentang kebudayaan bangsa Yunani dan Romawi berkenaan dengan budaya, seni dan pemerintahan serta kekuasaan sampai kepada dongeng dan mitologi para dewa yang dikenal dalam teologi kepercayaan Yunani dan Romawi sangat penting. Peserta didik MULO sangat hapal mengenai pengaruh kedua peradaban tua tersebut terhadap peradaban Eropa dan dunia barat. Peradaban bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya yang mereka miliki sekarang memang banyak dipengaruhi kebudayaan Yunani dan Romawi, oleh karena itu mempelajari kedua kebudayaan tersebut memiliki makna yang penting bagi orang Belanda dan Eropa lainnya.

(39)

Mata pelajaran Ilmu Alam berkenaan dengan berbagai hukum alam yang telah dihasilkan oleh para sarjana Eropa dan menjadi dasar dari ilmu pengetahuan modern. Berbagai teori yang sampai sekarang masih dibahas dalam khasanah ilmu alam seperti hukum Archimedes, Boyle dan sebagainya merupakan pelajaran penting dalam Ilmu Alam. Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari belahan dunia lain apalagi dari dunia Asia tak tersentuhkan bahkan hingga saat kini ketika Indonesia sudah merdeka selama 65 tahun materi pelajaran IPA masih tidak banyak berubah dari apa yang telah diperkenalkan Belanda. Dari pelajaran Ilmu Alam, peserta didik MULO mengenal dan dilatih dalam cara berpikir empirik dan rasional. Hal-hal yang tidak terkait dengan alam nyata dan tidak dapat dibuktikan secara empirik dinyatakan sebagai tahayul dan dianggap bertentangan dengan cara berpikir manusia modern.

Bahasa Melayu tidak diajarkan pada waktu kursus MULO didirikan pada tahun 1910, dan tidak juga ketika MULO sudah memiliki status sebagai sekolah menengah (lanjutan) yang berdiri sendiri (Nasution,2008:123). Selanjutnya Nasution (2008:124) mengatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Melayu baru ada dalam kurikulum MULO pada tahun 1919. Pembelajaran bahasa Melayu dalam kurikulum MULO memberikan pengaruh yang kuat terhadap pada kelompok terpelajar Indonesia dalam membangun dan mengembangkan semangat kebangsaan. Ketika para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda daerah (Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatra Bond, Jong Sunda, Jong Celebes, dan sebagainya) berkongres di Jakarta, mereka menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk bangsa yang mereka cita-citakan. Pada waktu Indonesia mengeluarkan undang-undang pendidikan pertama dan dikokohkan dalam undang-undang pendidikan sesudahnya, aspirasi para pemuda tersebut dikukuhkan dalam bentuk keputusan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa instruksional dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia.

     

(40)

KURIKULUM SHOTO CHU GAKKO (SMP) PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Foto 2: SMPN 1 Yogya, pada tanggal 11 September 1942 didirikan oleh Pemerintah Pendudukan Militer Jepang sebagai Shoto Chu Gakko (SMP)

Sumber: Website SMP N 1 Yogyakarta

A. KEBIJAKAN PENDIDIKAN PENDUDUKAN JEPANG

Pada masa pendudukan militer Jepang, wilayah Indonesia dibagi atas 3 wilayah administratif yang terpisah dan memiliki jurisdiksi sendiri yaitu pulau Jawa, Sumatera, dan wilayah Indonesia lainnya (termasuk Kalimantan dan Sulawesi). Meski pun bukan pemerintahan sipil, pemerintahan militer Jepang memberikan perhatian kepada pendidikan. Dari pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang mempersiapkan generasi baru Indonesia yang mendukung kekuasaan Jepang dan menghasilkan mereka yang terlatih dalam kemiliteran.

Kebijakan Jepang tentang pendidikan, terutama kebijakan pendidkan di pulau Jawa dapat diketahui dari berbagai sumber tetapi yang utama adalah dokumen yang dinamakan Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô (Kebijakan Pendidikan Jepang

(41)

di pulau Jawa)(Kurasawa, 1991:16). Menurut Kurasawa dokumen tersebut adalah dokumen rahasia yang dikumpulkan oleh personil militer Jepang, dan berisikan doktrin, ideologi, prinsip dasar serta petunjuk pelaksanaan kebijakan pendidikan Jepang di pulau Jawa. Dokumen serupa berkenaan dengan wilayah lain di Indonesia merupakan sesuatu yang masih perlu ditelusuri untuk dapat membandingkan kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang. Pada masa kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang, sekolah-sekolah untuk rakyat yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda (volks school dan vervolg school) dihapus, digantikan dengan sekolah bergaya Jepang yang dinamakan kokumin gakkô dengan masa belajar 6 tahun. MULO diganti dengan Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu GakkO) dan didirikan di banyak kota di Indonesia. Di pulau Jawa terdapat Shoto Chu Gakko di Serang (1 sekolah), Jakarta (3 sekolah), Bogor (1 sekolah), Bandung (1 sekolah), Garut (1 sekolah), Cirebon (1 sekolah), Pekalongan (1 sekolah), Kediri (1 sekolah), Jember (1 sekolah), Pamekasan (1 sekolah), Jogja (2 sekolah), Solo (2 sekolah), Magelang (1 sekolah), Purwokerto (1 sekolah), Semarang (2 sekolah), Pati (1 sekolah), Malang (1 sekolah), Bojonegoro (1 sekolah), Madiun (1 sekolah), dan Surabaya (2 sekolah). Selain itu ada Sekolah Menengah Pertama Poetri di Jakarta, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Malang, dan Madiun. Sekolah Menengah Pertama Putri menerima siswa khusus putri dan memiliki kurikulum yang sedikit berbeda dari Sekolah Menengah Pertama biasa (Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô).

B. MATA PELAJARAN

Mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum Shoto Chu Gakko mencerminkan kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang untuk menjepangkan bangsa Indonesia. Selain mata pelajaran yang bersifat eksakta materi mata pelajaran lain disesuaikan dengan kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia termasuk menarik hati bangsa Indonesia. Mata pelajaran bahasa Belanda dihapus dan digantikan oleh mata pelajaran Bahasa Jepang. Selain mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang, dalam kurikulum Shoto Chu Gakko ditambahkan mata pelajaran Pendidikan Semangat (Moral) dan bahasa

(42)

Indonesia menjadi mata pelajaran resmi. Olahraga atau Latihan Badan mendapatkan tempat yang penting sehingga diberikan jam pelajaran yang cukup besar yaitu 5 jam per minggu. Kedudukan penting Latihan Badan ini mudah dipahami karena militer Jepang memerlukan pemuda dengan badan yang sehat dan terlatih secara fisik. Senam pagi dilakukan sebelum sekolah dimulai dengan menghadap ke arah matahari terbit. Selain latihan fisik mereka juga diajar lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo) serta berbagai doktrin mengenai kedudukan Jepang sebagai pemimpin dunia (Hakko ichi U) dan pemimpin Asia.

Tambahan mata pelajaran dalam kurikulum adalah Kaligrafi. Kedudukan tulisan indah (kaligrafi) huruf kanji sangat dihargai oleh masyarakat dan budaya Jepang. Tradisi yang turun temurun dalam kaligrafi dimaksudkan untuk diwariskan juga bagi bangsa Indonesia yang juga tidak asing dengan tradisi kaligrafi huruf Arab. Tulisan indah huruf Arab telah berkembang sejak awal Islam masuk ke Indonesia dan oleh karena itu adanya mata pelajaran kaligrafi dalam kurikulum Shoto Chu Gakko bukan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Unsur barunya adalah kalau sebelumnya yang digunakan untuk tulisan indah itu huruf Arab maka pada masa ini huruf yang ditulis indah itu huruf kanji yang masuk dalam kelompok huruf gambar (pictograph)12.

Tabel 3.1. mencantumkan mata pelajaran, kelas dan jam pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran di setiap kelas.

Tabel 3.1.: Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Dalam Kurikulum       

12  Pictograph  adalah  huruf    yang    menggunakan  gambar  (picto)  untuk  mewakili  suatu    pokok 

pikiran/ide  karena  itu  disebut  juga  ideograph.  Tulisan  ini  berkembang  di  Cina  dengan    nama   hanzi, di  Mesir dengan  nama hieroglyph, di Sumeria dengan  nama  tulisan  paku. Tulisan Hanzi  masih  digunakan  sampai  hari  ini  di  Cina,  Korea  dan  Jepang  bahkan  seluruh  negara  Cina  yang  memiliki banyak bahasa dipersatukan  dalam komunikasi tulisan melalui huruf Hanzi. Huruf Hanzi   di Jepang dinamakan Kanji. 

(43)

Shoto Chu Gakko

Kelas dan Jam pelajaran

Mata Pelajaran 1 2 3

Pendidikan Semangat (Moral) 1 1 1

Bahasa Jepang (Nippon) 9 9 9

Bahasa Indonesia 6 6 6

Ilmu Pasti 6 6 6

Ilmu Bumi 2 2 1

Latihan Badan (Pend. Jasmani) 5 5 5

Sejarah 2 1 1

Gambar Tangan (Menggambar) 2 2 2

Ilmu Alam - 2 3

Kesenian 1 1 1

Kaligrafi (Jepang) 2 2 2

Jumlah jam pelajaran 36 37 37

Sumber: diadaptasi dari Ramli, 2010, halaman 70

Dari beban belajar atau jam belajar untuk mata pelajaran Bahasa Jepang 9 jam per minggu, Bahasa Indonesia 6 jam per minggu serta Ilmu Pasti juga 6 jam per minggu menunjukkan pikiran pokok kurikulum yang ingin menghasilkan “manusia baru” yang bebas dari pengaruh pendidikan Belanda. Memang jam belajar Ilmu Pasti sedikit berkurang dari kurikulum MULO tetapi pengurangan tersebut tidak membawa dampak yang berarti bagi kualitas manusia tamatan SMP yang diinginkan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang.

Penghapusan bahasa Inggeris dan bahasa Jerman memperkuat ide kurikulum yang ingin menhapuskan pengaruh budaya Belanda khususnya dan barat umumnya. Memang menarik bahwa bahasa Jerman dihapus sedangkan bangsa Jepang pada waktu itu bersekutu dengan bangsa Jerman. Tampaknya, kerjasama militer dalam perang antara pemerintah Jerman dan Jepang di masa Perang Dunia II tidak berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan SMP di masa pendudukan militer

(44)

Jepang di Indonesia. Pentingnya pelajaran bahasa yang mengajarkan ketrampilan berkomunikasi dan cara berpikir berdasarkan nilai-nilai budaya yang menghasilkan bahasa tersebut disadari benar Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Oleh karena itu adanya pelajaran bahasa Jerman apalagi bahasa Belanda akan menjadikan generasi muda Indonesia berpikir seperti orang barat dan mereka akan tercabut dari akar budayanya. Selain itu cara berpikir barat akan menimbulkan masalah politik bagi misi pendudukan Jepang di Indonesia.

Berdasarkan dokumen Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, sekolah dimulai setiap tanggal 1 April setiap tahun. Kantor Pengajaran (Bunkyo Kyoku) setiap Syuu berwewenang menetapkan buku pelajaran yang digunakan untuk setiap mata pelajaran dan hari libur sekolah. Berdasarkan dokumen yang sama, hari libur untuk sekolah ditetapkan untuk jangka waktu satu tahun ajaran. Hari besar agama mendapatkan porsi utama sebagai hari libur sekolah.

Pada umumnya sekolah libur pada hari besar agama Islam sebagaimana dikemukakan dalam tabel 3.2 berikut ini:

Tabel 3.2.: Hari Libur Sekolah

HARI LIBUR LAMANYA LIBUR

Mi’raj Nabi 1 hari

Puasa 40 hari

Grebeg Besar (pulau Jawa) 7 hari

Asyura 1 hari

Maulud Nabi 14 hari

Tahun Baru Cina 1 hari

Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, p 38

Dari ketetapan mengenai hari libur di atas ada kesan kuat bahwa kekuasaan pendudukan Jepang di pulau Jawa sangat memperhatikan agama mayoritas penduduk. Mayoritas penduduk pulau Jawa beragama Islam dan oleh karenanya hari libur sekolah adalah hari besar yang terkait dengan agama Islam termasuk perayaan Grebeg Besar. Perayaan Grebeg Besar di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon berkenaan dengan Maulud Nabi Muhammad dan oleh karenanya ditetapkan secara menjadi hari libur. Sementara itu hari libur puasa dan perayaan

(45)

Idul Fitri ditetapkan selama 40 hari, hari raya Idul Adha tidak ditetapkan sebagai hari libur. Hal ini mungkin saja terkait dengan pandangan budaya di banyak tempat di pulau Jawa yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi orang-orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya pandangan budaya yang demikian maka tentu saja idul adha bukan hari libur bagi anak sekolah yang pada umumnya belum melaksanakan ibadah haji.13

Perhatian yang sangat besar terhadap hari besar agama Islam tersebut bukan saja bersifat realistik karena pendidikan berakar pada budaya dan agama serta lingkungan terdekat peserta didik tetapi juga merupakan upaya politis Pemerintah Pendudukan Jepang untuk menarik simpati masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan keleluasaan merayakan hari-hari besar tersebut akan merasa senang. Penetapan tahun baru Cina sebagai hari libur tidak terlepas dari upaya untuk menarik simpati masyarakat Cina di Indonesia. Kebijakan tersebut sukar diukur keberhasilannya mengingat masa pendudukan Jepang yang singkat tetapi libur bulan Ramadhan dan idul Fitri selama 40 hari berlangsung sampai masa pemerintahan Orde Baru, dan baru disesuaikan pada tahun 80-an.

Buku merupakan sumber materi pelajaran yang penting dan ditetapkan oleh Kepala Bagian Buku-buku pada Kantor Pengajaran (Bunkyô Kyoku). Untuk Kantor Pengajaran Jakarta, Kepala bagian Buku-buku, Sadarjoen pada tanggal 11 Desember 2603 (1944) mengeluarkan daftar buku pelajaran sebagai berikut:

Tabel 3.3. Buku Pelajaran untuk kurikulum Shoto Chu Gakko di Jakarta

Mata pelajaran Buku Yang Digunakan

Bahasa Indonesia Matahari Terbit

Ilmu Tumbuh-tumbuhan Ilmu Tumbuh-tumbuhan I

Ilmu Alam Ilmu Alam I

Ilmu Aljabar I, kelas 1 Ilmu Aljabar 2, kelas 2 Ilmu Aljabar

Ilmu Aljabar 3, kelas 3 Ilmu Ukur 1, kelas 1 dan 2 Ilmu Ukur

Ilmu Ukur 2, kelas 2 dan 3 Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô 

       13

 Pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi mereka yang  sudah haji masih terdapat di banyak kelompok tertentu di pulau Jawa.    

(46)

 

Sayangnya daftar buku di atas tidak disertai dengan nama pengarangnya. Suatu yang jelas, buku Matahari Terbit digunakan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia sampai pada masa awal pemerintahan Orde Baru walau pun penulis buku sudah berbeda dari buku dengan judul yang sama pada tahun 50-an.

Kebijakan tentang buku pelajaran memberikan keuntungan bagi pemerintah Pendudukan Militer Jepang untuk mengontrol kualitas bahan pelajaran dan isi dari materi pelajaran. Pemerintah Pendudukan Militer Jepang harus mengawasi apa yang terjadi di sekolah dan jangan sampai materi pelajaran menjadi “boomerang” bagi kekuasaan mereka di Indonesia pada waktu itu. Isi buku pelajaran tidak boleh memuat bahan yang mengecam atau menimbulkan permusuhan kepada Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Hal ini wajar dan berlaku di banyak negara sampai hari ini tetapi keadaannya tentu lebih sensitif untuk pemerintah pendudukan dan penjajahan dibandingkan untuk pemerintah nasional.

(47)

KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN  

 

A. PERKEMBANGAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Perhatian pemerintah Indonesia terhadap pendidikan diberikan terus menerus sejak awal kemerdekaan. Kedudukan pendidikan yang dianggap teramat penting oleh para pendiri bangsa, mereka adalah sekelompok kecil anak bangsa yang beruntung dapat mengenyam pendidikan di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, menyebabkan mereka berpandangan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tak boleh ditelantarkan dan harus menjadi hak setiap warganegara. Oleh karena itu selang beberapa bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan walau pun bangsa yang muda ini masih menghadapi tantangan agresi militer Belanda, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengusulkan adanya pembaharuan pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73).

Berbagai pikiran dikemukakan BP-KNIP kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) agar ada perubahan pikiran dan visi yang mendasar dari pendidikan pada zaman Belanda ke pendidikan untuk bangsa Indonesia yang baru merdeka. Diantara pikiran yang dikemukakan dalam pandangan BP-KNIP dinyatakan bahwa pendidikan liberal yang mengagungkan kemampuan intelektual semata harus diubah menjadi pendidikan yang mengutamakan “kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73).

Pengertian kesusilaan pada waktu itu sangat luas dan mencakup apa yang pada saat sekarang dikenal dengan istilah karakter. Dengan tujuan ini maka diharapkan pendidikan mengembangkan kepribadian yang berdasarkan kemanusiaan yang tinggi dan warganegara yang bertanggungjawab. Pikiran bahwa pendidikan adalah hak setiap warganegara dan nantinya dikenal dengan istilah demokratisasi pendidikan tertuang dalam usulan agar hanya ada satu macam sekolah yang

Gambar

Gambar 1: Sistem Pendidikan dan PersekolahanHindia-Belanda
Tabel 2.1. Leerplan (Rencana Pelajaran)  MULO
Foto 2: SMPN 1 Yogya, pada tanggal 11 September 1942 didirikan oleh  Pemerintah Pendudukan Militer Jepang sebagai Shoto Chu Gakko (SMP)
Gambar Tangan (Menggambar)  2  2  2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk hasil temuan selama proses ekskavasi/penggalian di kotak gali B1.XX adalah adanya temuan batu lepas, bata dan batu putih tampak seperti pada foto di bawah. Temuan batu

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perbandingan Kinerja Perusahaan Sebelum

[r]

There are three steps of revision process by authors: 1) revision manuscript to accomodate peer reviewer sug- gestions within 2-4 weeks; 2) revision to accomodate Section

dr.. bahwa dalnm rangka pemberian ljin Apotik KPRI RSUD Dr. SOETOMO IRD sesuai dcngan sural permohonan Sami Rahnyu, S.Farm, Apt tanggal 10 Mci 2010 tentang

Pendekatan Hayman dalam analisis dialel dapat digunakan untuk menduga beberapa parameter genetik setiap karakter yang diamati, meliputi interaksi gen, pengaruh

Walaupun masih terdapat anak yang belum berkembang, namun dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan berhasil, karena guru telah dapat memperbaiki proses pembelajaran

Selama pelaksanaan praktek kerja lapangan di BRI Unit Mangkoso saya dapat banyak pengetahuan tentang berbagai produk yang di pasarkan di BRI,dan juga dapat