• Tidak ada hasil yang ditemukan

KURIKULUM SLTP 22 1994

Dalam dokumen PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP (Halaman 151-161)

Lager Onderwijs

E. KURIKULUM SLTP 22 1994

Pada tahun 1994 Pemerintah memberlakukan kurikulum baru menggantikan Kurikulum SMP 1984. Sesuai dengan tradisi penamaan kurikulum di Indonesia, kurikulum baru yang diberlakukan mulai tahun 1994 dinamakan Kurikulum SMP 1994. Pemberlakuan kurikulum baru ini disebabkan paling tidak oleh tuntutan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954, TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993.

Undang-Undang nomor 2 tahun 1989, yaitu undang-undang kedua mengenai pendidikan yang dihasilkan bangsa Indonesia, memperkenalkan jenjang pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar (6 tahun) dan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (3 tahun). Pengertian Pendidikan Dasar 9 tahun sebagaimana yang ditetapkan dalam UU nomor 2 tahun 2003 digunakan sampai saat sekarang. Konsekuensi dari pengertian pendidikan dasar yang ditetapkan UU nomor 20 tahun 1989 maka pemikiran kurikulum untuk Pendidikan Dasar berubah, meliputi kurikulum untuk SD dan kurikulum SLTP.

1.Perubahan Kebijakan Pendidikan

Pada tahun 1988 MPR bersidang untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988. Mengenai

      

22  Berdasarkan  ketetapan  dalam    Undang‐undang  Republik  Indonesia  nomor  2  Tahun  1989  Tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan Pasal 13  Ayat (1) disebutkan “Pendidikan dasar  merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam)  tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau  satuan pendidikan yang sederajat”. Istilah SLTP tidk digunakan dalam pasal‐pasal yang terdapat  pada Ketetapan.  

pendidikan TAP MPR nomor II/MPR/1988 merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:

a.Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial.

g.Pendidikan Pancasila termasuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan mulaai daari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta

Titik (g) jelas menunjukkan apa yang harus ada dalam kurikulum yaitu Pendidikan Pancasila. Dalam Pendidikan Pancasila terdapat materi P4, PMP dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa.

Lima tahun kemudian ketika MPR bersidang pada tahun 1993 maka TAP MPR nomor II/MPR/1993 tentang GBHN telah merumuskan tujuan pendidikan nasional berbeda dari apa yang telah ditetapkan dalam TAP nomor II/MPR/1988. Pendidikan dirumuskan untuk:

mewujudkan manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional;makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.

Ada perbedaan yang cukup konseptual dan bukan hanya sekedar redaksional antara tujuan yang dirumuskan TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993. Diantara perbedaan kualitas antara keduanya adalah

semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial, kerja keras, bertanggungjawab, mandiri, serta bertanggungjawab tidak lagi menjadi tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993. Perbedaan kualitas yang diinginkan sebagai tujuan pendidikan nasional antara kedua TAP tersebut mencerminkan adanya perubahan suasana politik yang cukup mendasar. Pembangunan ekoonomi menjadi semakin kuat walau pun fokus pada pembangunan pada bidang lainnya tetap menjadi perhatian, dan pendidikan adalah salah satu fokus penting Pemerintah dalam pembangunan.

Dalam kedua TAP MPR yang disebutkan terkait dengan pendidikan, TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993 di atas, nama pendidikan sejarah perjuangan bangsa masih disebutkan. Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 sebagaimana dikutip di atas telah secara jelas menunjukkan bahwa pendidikan sejarah perjuangan bangsa adalah bagian dari Pendidikan Pancasila. Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993 pendidikan sejarah perjuangan bangsa juga dinyatakan yaitu titik e pada bagian Pendidikan, dinyatakan sebagai berikut:

Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan memperluas, dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai kejuangan, khususnya nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, danjenjang pendidikan termasuk prasekolah.

Ketetapan tersebut tidak menyatakan bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa sebagai bidang studi atau pun mata pelajaran. Pada masa Prof. Dr Nugroho Notosusanto yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maka pendidikan sejarah perjuangan bangsa menjadi bidang studi dan kemudian dicantumkan dalam Kurikulum SMP 1984. Setelah beliau wafat dan digantikan Prof. Dr. Fuad Hassan, kebijakan tentang

Pendidikan Pancasila berbeda dari kebijakan sebelumnya. Pendidikan Pancasila tercantum dalam mata pelajaran di Kurikulum SMP 1994 sebagai mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Unsur pendidikan moral Pancasila dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tetapi unsur pendidikan sejarah perjuangan bangsa tidak menjadi bagian dari mata pelajaran tersebut dan tidak pula menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri walau pun TAP MPR tentang Pendidikan Pancasila tidak berubah. Memang materi Pendidikan Pancasila tidak perlu selalu menjadi nama mata pelajaran tetapi kebijakan yang tercantum dalam TAP MPR adalah suatu keharusan politik untuk memuat unsur-unsur Pendidikan Pancasila sebagai materi suatu mata pelajaran (Pendidikan Pancasila). Dengan hilangnya unssur pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unssur lain dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terjadi diskontinuitas antara TAP MPR dengan kebijakan kurikulum.

Pada tahun 1989 ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 maka tujuan pendidikan nasional mempunyai arah baru. Pendidikan dipandang sebagai suatu upaya yang memiliki tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”23 (UU nomor 2 tahun 1989). Dari rumusan ini jelas bahwa pendidikan tidak hanya memiliki tujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik semata sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 atau pun Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 atau TAP MPRS XXVI/MPRS/1966. Dokumen itu jelas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan berkonsentrasi pada pengembangan potensi peserta didik sedangkan dalam UU nomor 2 tahun 1989 pendidikan memiliki dua tujuan yaitu berkenaan dengan kehidupan bangsa dan manusia. Entah bagaimana caranya       

23

 Rumusan  tujuan pendidikan nasional yang ada dalam UU nomor 2 tahun 2003 berbeda dari  rumusan  tujuan dalam TAP MPR nomor  II/MPR/1988 .  

pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa mengembangkan kehidupan manusia yang cerdas. Pada dasarnya, hanya kehidupan manusia yang cerdas yang dapat membawa pada kehidupan bangsa yang cerdas.

Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tidak menganut paham bahwa kecerdasan kehidupan bangsa hanya dapat dikembangkan melalui kehidupan manusianya. Oleh karena itu pada tujuan pendidikan kedua yang berkenaan dengan manusia tidak dirangkumkan sebagai kualitas kehidupan bangsa yang diinginkan. Manusia Indonesia seutuhnya yaitu yang menyangkut kualitas keimanan dan ketakwaan, budi pekerti, berpengetahuan dan berktrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri tidak harus menjadikan kualitas kehidupan bangsa berkembang. Tampaknya, rumusan itu menganut faham bahwa kualitas kehidupan bangsa yang cerdas menjadi sesuatu yang terpisah dari kualitas manusia yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan.

Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam UU nomor 2 tahun 1989 ini tidak pernah pula diketahui pencapaiannya. Evaluasi terhadap pencapaian hasil pendidikan lebih diarahkan pada ketentuan mengenai kelulusan seseorang dari suatu unit atau lembaga pendidikan tertentu. Kualitas yang harus dikuasai seorang peserta didik tidak pula didasarkan pada tujuan pendidikan nasional sehingga alat evaluasi nya pun tidak dikembangkan untuk mengumpulkan informasi mengenai pencapaian tujuan pendidikan. Soal-soal yang dikembangkan untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) atau pun Ujian Nasional (UN) adalah untuk menentukan kelulusan seorang siswa, bukan untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan nasioanal. Oleh karena itu sifat tujuan pendidikan yang mendua itu pun seolah-olah tidak menimbulkan masalah kependidikan.

Dalam ketetapan pada Pasal 39 ayat (2) dan (3) Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Isi Kurikulum maka dicantumkan materi pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan sebagai materi wajib dan bahan kajian wajib. Materi Pendidikan Moral Pancasila dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur lain yang terantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 tidak tercantum dalam undang-undang tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan

(3) tidak tercantum unsur pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unsur-unsur lainnya sebagai materi Pendidikan Pancasila atau pun pneididkan Kewarganegaraan. Dengan demikian terjadi disharmoniasasi ketetapan antara TAP MPR, UU Sisdiknas, dan kebijakan kurikulum. Kebijakan kurikulum hanya memperdulikan ketentuan dari UU Sisdiknas tapi tidak TAP MPR Foto 4: Nama Sekolah ini Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), menggantikan SMP.  Nama SLTP adalah nama yang digunakan UU nomor 2 tahun 1989.  Sumber: Website SMPN 8 Yogyakarta  2.Struktur Kurikulum SLTP 1994

Struktur Kurikulum SLTP 1994 lebih sederhana dibandingkan struktur kurikulum sebelumnya. Tabel berikut, tabel 7.4 memperlihatkan Struktur Kurikulum SMP 1994

Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SLTP 1994

Kelas

No. Mata Pelajaran

I II III 1. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2

2. Pendidikan Agama 2 2 2

3. Bahasa Indonesia 6 6 6

4. Matematika 6 6 6

5. Ilmu Pengetahuan Alam 6 6 6

6. Ilmu Pengetahuan Sosial 6 6 6

7. Kerajinan Tangan dan Kesenian 2 2 2

8. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan 2 2 2

9. Bahasa Inggeris 4 4 4

10. Muatan Lokal (sejumlah mata pelajaran) 6 6 6

Jumlah 42 42 42

Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 terlihat pada penempatan semua mata pelajaran dalam satu kelompok dan dengan demikian mata pelajaran yang satu sama dengan mata pelaajaran lain dalam fungsinya. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bersama-sama dengan mata pelajaran Pendidikan Agama yang dalam kurikulum sebelumnya dimasukkan dalam kelompok dasar atau pembinaan jiwa Pancasila. Kurikulum SMP 1994 tidak mengenal kelompok dan dengan demikian tidak memisahkan posisi kedua mata pelajaran tersebut dari mata pelajaran lainnya. Biasanya dalam struktur kurikulum

mata pelajaran dikelompokkan berdasarkan perbedaan dalam fungsi dan tujuan yang hendak dicapai oleh sejumlah mata pelajaran.

Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 ditunjukkan pula oleh penggabungan mata pelajaran/bidang studi PMP dan PSPB menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Penggabungan juga dilakukan antara biologi dan fisika yang dijadikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan alokasi waktu yang satu yaitu 6 jam belajar. Penggabungan dalam Kurikulum SMP 1994 dilakukan juga terhadap mata pelajaran kesenian dan mata pelajaran ketrampilan menjadi mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan.

Kurikulum SMP 1994 tetap menggunakan filosofi perenialisme yang masih dalam kelompok pendidikan disiplin ilmu tetapi memperoleh organisasi “broadfield” yaitu mata pelajaran IPS dan IPA. Artinya secara filosofis tidak ada perubahan antara Kurikulum SMP 1994 dari Kurikulum SMP 1984 walaupun haru diakui bahwa Kurikulum SMP 1994 menerapkan filosofi perenialisme lebih utuh dibndingkan Kurikulum SMP 1984. Dalam Kurikulum SMP 1994 mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tidak dipecah menjadi Biologi dan Fisika seperti yangg dilakukan Kurikulum SMP 1984.

Terlepas dari kesederhanaan yang ditunjuk dalam struktur, Kurikulum SMP 1994 memberikan beban belajar yang lebih tinggi kepada peserta didik. Dengan jumlah mata pelajaran sebanyak 10, lebih sedikit dibandingkan Kurikulum SMP 1984 (yang terbanyak dalam bidang studi) dan Kurikulum SMP 1975, jam belajar peserta didik dalam Kurikulum SMP 1994 lebih tinggi yaitu 42 jam setiap semester dibandingkan Kurikulum SMP 1975 yang 37 jam setiap semester dan Kurikulum SMP 1984 yang dimulai dengan 38 jam di kelas I kemudian menurun ke 37 jam di kelas II dan menurun lagi menjadi 36 jam di kelas III.

Perubahan yang ditunjukkan oleh Kurikulum SMP 1994 adalah pendekatan mata pelajaran, bukan bidang studi. Dengan pendekatan mata pelajaran maka pendekatan bidang studi hanya digunakan oleh Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Pendekatan mata pelajaran untuk organisasi konten kurikulum memang lebih umum dan melalui Kurikulum SMP 1994 pendekatan

mata pelajaran yang digunakan kurikulum SMP sebelum Kurikulum 1975 dihidupkan kembali oleh Kurikulum 1994. Mata pelajaran lebih sederhana dan tidak mengundang tafsiran yang berbeda antara pengembang dan pelaksana kurikulum. Pemaknaan yang sama dalam istilah kurikulum antara pengembang dan pelaksana kurikulum sangat penting untuk keberhasilan implementasi kurikulum. Guru sebagai pelaksana tahu secara tepat apa yang dimaksudkan pengembang kurikulum sehingga ketika guru mengembangkan dokumen kurikulum menjadi kurikulum sebagai suatu realita atau “observed curriculum” maka ide pengembang kurikulum dapat dilaksanakan dengan tepat pula.

Kurikulum SMP 1994 tidak menganut paham penawaran selang semester (alternate semester), perbedaan beban belajar semester atau kelas sebagaimana yang digunakan Kurikulum SMP 1984. Kurikulum SMP 1994, sebagai kurikulum sebelum 1984, mengembangkan sistem penawaran setiap semester dan beban belajar setiap semester untuk setiap mata pelajaran. Konstruksi struktur kurikulum yang demikian memang memberikan kemudahan kepada sekolah dalam merencanakan implementasi terutama dalam mengatur jam pelajaran. Kesamaan beban belajar setiap semester menyebabkan guru lebih mudah memberikan pertimbangan mengenai kedalam materi yang akan dipelajari peserta didik setiap semester.

Kuurikulum 1994 memiliki beban belajar/jam belajar yang lebih besar yaitu 42 jam tanpa menghitung mata pelajaran Bahasa Daerah yaitu 42 jam per semester. Beban belajar ini lebih tinggi dari Kurikulum SMP 1984 yang memiliki jam belajar tertinggi 38 jam dan kemudian menurun pada tahun berikutnya. Jumlah jam 42 untuk Kurikulum SMP 1994 sama untuk seluruh kelas dan tidak ada pengurangan jam belajar untuk mata pelajaran tertentu sebagaimana yang ada pada Kurikulum SMP 1984. Baik mata pelajaran Matematika mau pun IPS memiliki jam pelajaran yang sama untuk setiap tahun untuk masing-masing mata pelajaran.

Kurikulum SMP 1994 memandang mata pelajaran Bahasa Indonesia, Maatematika, IPA dan IPS dalam kedudukan yang sama dan mendapatkan alokasi jam belajar yang sama yaitu masing-masing 6 jam. Sedangkan untuk kesenian dan

ketrampilan tangan digabungkan dalam satu mata pelajaran dengan label mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Alokasi jam untuk mata pelajaran ini sangat rendah dibandingkan alokasi dalam Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Tampaknya pikiran (ide) kurikulum para pengembang Kurikulum SMP 1994 tidak memandang pendidikan Kesenian dan Kerajinan Tangan sama pentingnya dibandingkan pikiran (ide) para pengembang Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984.

Mata pelajaran muatan lokal yang diperkenalkan sejak Kurikulum SMP 1984 masih tetap dipertahankan dalam Kurikulum SMP 1994. Pendekatan mata pelajaran untuk materi muatan lokal pun masih digunakan. Kebijakan bahwa keputusan tentang mata pelajaran muatan lokal oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap dipertahankan. Sebagaimana yang terjadi pada Kurikulum SMP 1984, penetapan materi muatan lokal sebagai mata pelajaran wajib yang terjadi hampir di setiap daerah tidak berbeda yaitu bahasa daerah dan kesenian daerah. Posisi mata pelajaran bahasa daerah dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran wajib dalam Keadaan seperti ini masih dipertahankan pada saat pemerintah memberikan wewenang yang lebih besar kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum sekolah masing-masing dan dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

         

KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI (OTONOMI DAERAH)

Dalam dokumen PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP (Halaman 151-161)