• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Dalam dokumen PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP (Halaman 47-57)

Lager Onderwijs

A. PERKEMBANGAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

 

A. PERKEMBANGAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Perhatian pemerintah Indonesia terhadap pendidikan diberikan terus menerus sejak awal kemerdekaan. Kedudukan pendidikan yang dianggap teramat penting oleh para pendiri bangsa, mereka adalah sekelompok kecil anak bangsa yang beruntung dapat mengenyam pendidikan di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, menyebabkan mereka berpandangan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tak boleh ditelantarkan dan harus menjadi hak setiap warganegara. Oleh karena itu selang beberapa bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan walau pun bangsa yang muda ini masih menghadapi tantangan agresi militer Belanda, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengusulkan adanya pembaharuan pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73).

Berbagai pikiran dikemukakan BP-KNIP kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) agar ada perubahan pikiran dan visi yang mendasar dari pendidikan pada zaman Belanda ke pendidikan untuk bangsa Indonesia yang baru merdeka. Diantara pikiran yang dikemukakan dalam pandangan BP-KNIP dinyatakan bahwa pendidikan liberal yang mengagungkan kemampuan intelektual semata harus diubah menjadi pendidikan yang mengutamakan “kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73).

Pengertian kesusilaan pada waktu itu sangat luas dan mencakup apa yang pada saat sekarang dikenal dengan istilah karakter. Dengan tujuan ini maka diharapkan pendidikan mengembangkan kepribadian yang berdasarkan kemanusiaan yang tinggi dan warganegara yang bertanggungjawab. Pikiran bahwa pendidikan adalah hak setiap warganegara dan nantinya dikenal dengan istilah demokratisasi pendidikan tertuang dalam usulan agar hanya ada satu macam sekolah yang

terbuka untuk setiap orang tanpa ada perbedaan dalam gender, latar belakang budaya, sosial dan ekonomi. Dalam usulan itu dihendaki agar pendidikan pesantren diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional walau pun kurikulumnya berbeda dari sekolah pemerintah dan swasta (non pesantren). Posisi pesantren tersebut baru nantinya mendapat pengakuan hukum yang lebih tegas pada tahun 2003 setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berdasarkan usulan BP-KNIP agar ada peraturan tentang pendidikan dan pengajaran, Menteri PPK, Mr Soewardi membentuk Penitia Penyelidik Pendidikan Pengajaran (Sjamsuddin, Kosoh, dan Hasan, 1993:11) yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dengan sekertaris Soegarda Poerbakawatja pada tahun 1946. Tugas panitya adalah untuk meninjau ulang “dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan/pengajaran (Djumhur dan Danasuparta, 1959:202). Berdasarkan hasil kerja panitya, ditetapkan pedoman dasar-dasar pengajaran bagi guru-guru di Indonesia (Pewarta PPK nomor 2 tahun 1951):

1. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Perasaan cinta kepada alam

3. Perasaan cinta kepada negara

4. Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak

5. Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan

6. Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya

7. Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisah dari keluarga dan masyarakat

8. Keyakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib

9. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri

10. Keyakinan bahwa negara memerlukan warganegara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan.

Jelas bahwa pandangan pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Soegarda Poerbakawatja sangat berpengaruh dalam kesepuluh rumusan yang telah dihasilkan. Pemahaman keduanya yang mendalam tentang pendidikan telah diterjemahkan dengan baik dalam posisi seorang peserta didik sebagai dirinya, anggota keluarga, anggota masyarakat, warganegara, dan ummat manusia. Oleh karena itu, kesepuluh prinsip yang dirumuskan tersebut sangat menekankan pada

karaktervorming yang meliputi seluruh potensi kemanusiaan seorang peserta

didik.

Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang dikeluarkan pada tahun 1946 oleh Menteri Mr Soewandi yang memuat 10 tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai keputusan awal yang berkenaan dengan kurikulum. Tentu saja keputusan itu lebih banyak berkenaan dengan dimensi ide kurikulum dan dinyatakan dalam istilah pedoman dasar-dasar pengajaran. Pedoman dasar-dasar pengajaran yang ditetapkan Menteri PPK memuat berbagai landasan pendidikan yang masih aktual bahkan untuk masa sekarang walau pun harus diakui bahwa dalam kenyataan kurikulum pada masa-masa akhir abad ke- 20 dan awal abad ke-21 banyak dasar-dasar pengajaran yang telah dikemukakan tersebut dilupakan. Perubahan yang semakin lama semakin memperkuat kedudukan filosofi pendidikan disiplin ilmu (esensialisme dan perenialisme) sebagai ide dari kurikulum, menyebabkan kurikulum makin meninggalkan dasar-dasar pengajaran yang tercantum dalam pedoman tahun 1946 tersebut. Hal ini memang sangat disayangkan karena sebagaimana dirumuskan dalam pedoman pengajaran tahun 1946 pendidikan seharusnya berkenaan dengan memanusiakan manusia, membudayakan manusia, menjadikan manusia sebagai

mahluk religious, sosial, ekonomi, politik, ilmu, seni, dan teknologi, bukan sekedar hanya mengembangkan kemampuan ingatan dan pemahaman semata. Kedua kemampuan ranah kognitif tersebut penting tetapi manusia tidak bisa hidup hanya dengan kedua kemampuan kognitif itu.  

Meski pun situasi negara penuh dengan peperangan melawan agresi militer Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara dan panitya yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka dengan penuh pikiran dan visi yang mendalam mengenai pendidikan bangsa. Kesepuluh ketetapan yang telah dikemukakan di atas menunjukkan kerja panitya yang sangat sungguh-sungguh dan mengena pada hakiki pendidikan. Hasil kerja itu, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya telah disahkan dengan Keputusan Menteri PKK untuk digunakan di sekolah. Sayangnya, hasil kerja panitya yang dipimpin Ki Hajar Dewantara tidak dapat langsung dinikmati oleh bangsa Indonesia karena situasi kehidupan bangsa yang masih belum aman dari ancaman agresi militer Belanda.

Dalam keadaan negara dan bangsa yang terancam, kepeduliaan pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap pendidikan tak pernah terputus. Pada tanggal 4-7 Maret 1947 diadakan Kongres Pendidikan Indonesia di bawah pimpinan Prof. Sunaryo Kolopaking (Djumhur dan Danasuparta, 1959: 202) untuk mengkaji berbagai masalah pendidikan nasional yang muncul di masyarakat. Kongres Pendidikan ini dapat dikatakan sebagai kongres pendidikan pertama yang diadakan pada tingkat nasional. Hasil Kongres dijadikan masukan untuk memperkaya hasil kerja tim yang dipimpin Ki Hajar Dewantara. Kongres mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah memiliki undang-undang pendidikan sebagai landasan bagi kebijakan pendidikan dalam masa-masa mendatang.

Sebagai jawaban atas perhatian rakyat terhadap pendidikan dan sebagai tindak lanjut dari hasil Kongres Nasional Pendidikan maka pada tahun 1948 Menteri PPK, Mr Ali Sostroamidjojo, membentuk “Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran”. Ki Hajar Dewantara

kembali dimintakan jasanya untuk memimpin panitia baru ini. Berbagai pemikiran yang telah dikembangkan dalam kerja paniitia pada tahun 1946 dan berbagai masukan dari kongres dijadikan dasar untuk mengembangkan naskah undang-undang pendidikan. Pada tahun 1948 itu juga panitia telah dapat menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan undang-undang pokok pendidikan dan pengajaran, hasilnya dijadikan naskah dasar untuk dibahas dalam rapat BP-KNIP. Pembahasan dalam sidang BP-KNIP dilakukan secara rutin dalam semangat kebangsaan dan kepedulian terhadap pendidikan yang tinggi. Pada tahun 1948 pembahasan naskah dasar pendidikan dan pengajaran sudah hampir selesai tetapi terhalang oleh kondisi bangsa dalam menghadapi agresi militer Belanda. Oleh karena itu tindak lanjut dari hasil rapat BP-KNIP ditunda untuk sementara dan ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta.

Pada tahun 1949 diadakan Kongres Pendidikan di Yogyakarta (Djumhur dan Danasuparta, 1974:203) . Ini adalah kongres pendidikan kedua yang dilakukan ketika suasana negara masih belum aman, sebagaimana halnya kongres yang pertama. Semangat dan harapan bangsa yang besar terhadap pendidikan tidak mengendur dan menyebabkan keinginan membahas dunia pendidikan dalam satu kongres nasional dilaksanakan. Serangan militer Belanda ke Yogya menyebabkan hasil kerja kongres tidak langsung dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ketika keadaan sudah memungkinkan maka BP-KNIP melanjutkan pembahasan mengenai hasil kerja Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran di Yogyakarta ditambah dengan masukan dari hasil Kongres Pendidikan Yogya. Sidang pertama dihadiri oleh 22 orang anggota diketuai oleh Mr Assaat serta Menteri PP dan K yaitu S. Mangunsarkoro yang menggantikan Mr Ali Sostroamidjojo. Pada tanggal 17 Oktober 1949 rapat pertama membahas kembali naskah undang-undang pokok pendidikan dimulai oleh BP-KNIP. Pemerintah memasukan naskah yang sudah direvisi berdasarkan masukan-masukan dari anggota BP-KNIP sebelumnya dan kongres.

Pembahasan yang dilakukan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)14 terhadap rancangan yang telah dihasilkan panitia yang dipimpin Ki Hajar sangat kritis. Berbagai isu yang dianggap penting untuk kemajuan pendidikan dibahas dengan berbagai argumentasi. Penekanan tujuan pendidikan pada pembentukan manusia susila, misalnya, dianggap sangat penting dan demikian pula dengan kualitas sebagai warganegara yang demokratis. Perhatian terhadap tujuan pendidikan menghasilkan perdebatan yang amat menarik untuk masa itu karena para pemimpin tersebut adalah mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan yang jauh di atas rata-rata anggota masyarakat kebanyakan. Meski pun mereka adalah golongan yang dinamakan intelekktual, mereka tidak beranggapan bahwa intelektualitas semata menjadi kualitas utama yang harus dimiliki bangsa Indonesia. Dalam tujuan yang mereka namakan karaktervorming maka susila, demokratis, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat adalah kualitas yang penting untuk dimiliki setiap warganegara.

Selain perdebatan mengenai tujuan untuk menghasilkan manusia yang susila, perdebatan yang sengit mengenai Rencana Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran terjadi pula mengenai tujuan pendidikan dan pengajaran menghasilkan warganegara yang demokratis, status pendidikan agama, dan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Ketidaksepahaman mengenai pengertian manusia susila, ketidaksetujuan mengenai kehadiran pendidikan agama dan penggunaan bahasa daerah diperdebatkan dan dipertanyakan oleh beberapa anggota BP KNIP. Sekelompok anggota setuju bahwa pendidikan menghasilkan manusia susila, sebagian mempertanyakan kejelasan pengertian manusia susila dan sebagian lain menentang.

Dr D.S. Diapari, salah seorang anggota KNIP dari Serikat Sekerja Indonesia mendukung manusia susila menjadi tujuan pendidikan bahkan mengatakan ”bahwa untuk pembangunan negara yang terutama sekali, ialah peribudi dan akhlak pada umumnya dan bukan kepintaran” (ejaan disesuaikan dengan EYD;       

14

 KNIP adalah  lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum  DPR yang sesungguhnya terbentuk. 

dokumen notulen pembicaraan rapat, 1954). Mohd. Sjafei, tokoh pendidik yang terkenal dengan sekolah Kayu Tanamnya, menyetujui tujuan pendidikan yang menghasilkan manusia susila tetapi ia mengingatkan bahwa pekerjaan itu bukanlah pekerjaan mudah dan memerlukan biaya besar. Kobarsih, anggota dari Buruh tidak setuju dengan tujuan menghasilkan manusia susila karena ketidakjelasan pengertian susila yang dimaksudkan. Kobarsih beranggapan bahwa pengertian susila bersifat multi makna dan tidak seharusnya menjadi tujuan pendidikan persekolahan.

Perbedaan pendapat tersebut berlangsung lama dan Kobarsih tetap mempertahankan pendapatnya sehingga tampaknya tidak akan mencapai kata sepakat. Hal inilah yang menyebabkan Ketua Sidang menanyakan kepada anggota yang hadir apakah ada yang mendukung pendapat Kobarsih yang tidak setuju pendidikan menghasilkan manusia susila. Ada beberapa orang menyatakan dukungannya dan ada beberapa yang menolak pandangan Kobarsih sehingga Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada anggota BP-KNIP lainnya menyatakan pendapat mereka. Tanggapan kemudian diberikan oleh M.L. Latjuba, Sadjarwo, Mr Sartono, Mr Kasman Singodimedjo yang mendukung dicantumkannya kata susila. Asarudin menolaknya, demikian pula dengan Kobarsih tetap menolak pencantuman kata susila. Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut, Ketua Sidang, Mr Assaat melakukan pemilihan suara pada tanggal 26 Oktober 1949. Hasil pemilihan suara adalah 6 suara setuju tujuan menghasilkan manusia susila dihapus sedangkan 15 suara setuju untuk dipertahankan. Oleh karena itu tujuan pendidikan menghasilkan manusia susila menjadi keputusan sidang.

Pembahasan rencana undang-undang yang dilakukan di Yogya dimulai pada bulan Oktober tahun 1949, sebelum Konperensi Meja Bundar, dan keputusan-keputusan kesepakatan BP-KNIP baru dapat diselesaikan pada bulan Desember 1949, dan ditetapkan sebagai undang-undang di Jogjakarta pada tanggal 2 April 1950. Ketika itu, berdasarkan persetujuan Konperensi Meja Bundar, Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian di dalam negara yang dinamakan

Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu, Undang-Undang ini ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Mr Assaat15 dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia S. Mangunsarkoro, di ibukota negara RI di Yogyakarta. Setelah disahkan dengan nama Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah maka undang-undang itu dimasukkan ke dalam Lembaran Negara dan diundangkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia, A.G. Pringgodigdo, pada tanggal 5 April 1950 serta dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia (yang hanya meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Madura).

Pada tahun itu juga, 1950 bertepatan dengan perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan negara Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan. Dengan bubarnya RIS tidak ada lagi negara bagian yang bernama Republik Indonesia atau pun negara bagian lainnya karena semuanya menjadi satu negara kembali yaitu Republik Indonesia. Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 yang dihasilkan oleh negara ‘Republik Indonesia Dahulu” dan dinyatakan berlaku untuk wilayah “republik Indonesia Dahulu” dibahas oleh DPR-RI dan disetujui untuk diberlakukan sebagai undang-undang pendidikan bagi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 27 Januari 1954. Pada tanggal 12 Maret tahun 1954, UU pendidikan tahun 1950 itu ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri PP dan K Muhammad Yamin di ibukota negara yang sudah kembali ke Jakarta. Diundangkan dalam Lembaran Negara nomor 38 tahun 1954 tanggal 18 Maret 1954 dan ditandatangani Menteri Kehakiman Djody Gondokoesoemo, sebagai Undang nomor 12 tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh Indonesia

      

15 Pada waktu Undang‐Undang ini mulai dirancang oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia  Pusat  (BP‐KNIP)  pada  pertengahan  bulan  Oktober  1949,  Mr  Assaat  adalah  ketua  BP‐KNIP.  Rancangan  Undang‐Undang  itu  adalah  draft  baru  yang  diusulkan  oleh  Menteri  Pendidikan,  Pengajaran  dan  Kebudayaan  pada  waktu  itu  S.  Mangunsarkoro  berdasarkan  ingatan  pada  draft  yang  telah  dibuat  dan  dibahas  setahun  sebelumnya  tetapi  hilang  ketika  terjadi  aksi  meliter  Belanda 

Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan kebudayaan menetapkan tentang tujuan lembaga pendidikan. Ketetapan dalam pasal 7 dalam UU nomor 4 1950 junto UU nomor 12 tahun 1954 menyebutkan :

1. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah

2. Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannya, kecakapannya, dan ketangkasannya, baik lahir maupun bathin

3. Pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan disekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.

4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk mendjadi orang yang dapat memberi pimpinan didalam masyarakat dan yang memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.

5. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan baik jasmani maupun rokhaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir bathin yang layak.

Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar terkecuali di TK dan kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat). TK dan ketiga kelas awal SD boleh menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Pasal 9 secara tegas mencantumkan mengenai pendidikan jasmani. Tertulis pada pasal ini ”pendidikan jasmani yang menuju kepada keselarasan antara tumbuhnya badan dan perkembangan jiwa dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir bathin, diberikan pada segala jenis sekolah”. Selain pendidikan jasmani yang secara tegas menjadi mata pelajaran dalam kurikulum di setiap sekolah mata pelajaran lain yang dinyatakan secara tegas adalah pendidikan agama. Pasal 20 menyatakan ”dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya

akan mengikuti pelajaran tersebut”. Pendidikan campuran (co-education) diterima sebagai suatu keharusan untuk sekolah negeri terkecuali sekolah khusus yang menghendaki hanya peserta didik laki-laki atau perempuan saja maka pendidikan campuran tidak dilakukan (separated education).

Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran menetapkan pula mengenai wajib belajar. Dalam Bab VII Pasal 10 ayat (1) ditetapkan “semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya”. Pengertian wajib belajar dalam pasal ini lebih dekat dengan pengertian “compulsory education” dan bukan kepada pengertian pendidikan minimal (basic education) yang ddigunakan dalam Wajib Belajar 9 Tahun. Meski pun demikian adanya ketetapan ini memperlihatkan semangat demokratisasi pendidikan yaitu pendidikan bagi semua warganegara dan bukan bagi sekelompok orang yang dianggap memiliki keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan. Dasar pemikiran demokratisasi pendidikan masih tetap diberlakukan dalam kebijakan pendidikan pemerintah sampai saat kini.

Foto 3: SMP Negeri 1 Jakarta berdiri pada tahun 1947, sedangkan bangunan yang digunakan merupakan bangunan bekas EERSTE SCHOOL D yang dibangun pada tahun 1907. EERSTE SCHOOL D merupakan sekolah milik pemerintah Hindia-Belanda untuk orang pribumi pertama yang ada di Batavia.Tahun 1947, Pemerintah Republik Indonesia

mengambil alih gedung tersebut untuk digunakan sebagai Sekolah yang bernama SMP Negeri 1 Djakarta (ejaan pada saat itu).

Sumber: available at http://blog-smpn1.blogspot.com/

B. MATA PELAJARAN DALAM RENCANA PELAJARAN SMP 1947 - 1950

Dalam dokumen PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP (Halaman 47-57)