• Tidak ada hasil yang ditemukan

KURIKULUM SMP 1984

Dalam dokumen PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP (Halaman 134-151)

Lager Onderwijs

D. KURIKULUM SMP 1984

Adanya berbagai perkembangan baru dalam masyarakat dan dunia pendidikan menyebabkan pada tahun 1984 Pemerintah mengganti Kurikulum SMP 1975 dengan Kurikulum SMP 1984. Berbeda dari Kurikulum SMP 1975 yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, keberlakuan Kurikulum SMP 1984 tidak berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar yang digunakan adalah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 tentang perlunya perbaikan Kurikulum SMP 1975 disebabkan adanya kebijakan tentang Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; penyesuaian tujuan dan struktur program; pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik; pembelajaran yang mengarah kepada belajar tuntas; dan program studi baru untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa kini dan masa mendatang (Dokumen Kurikulum 1975: Landasan, Program, dan Pengembangan, halaman 2)

Selain disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dinyatakan dalam keputusan menteri di atas, enggantian ini disebabkan adanya berbagai faktor yang bersifat eksternal atau makro. Faktor eksternal atau makro adalah faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, ilmu yang berkembang di masyarakat. Perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan antara “program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan

pembangunan” (Kurikulum 1984 SMP: Landasan, Program, dan Pengembangan: hal 1).

1.Perubahan Kebijakan Pendidikan

Ketika suasana politik sudah lebih kondusif, MPRS sudah diganti dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR, perwakilan daerah, dan perwakilan golongan/profesi. Dalam sidang tahun 1978 di bawah pimpinan Adam Malik sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua yang terdiri atas K.H. Masykur, R. Kartidjo, H.Achmad Lamo, Mh Isnaeni, MPR menghasilkan TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Ketiga. Keadaan negara pada waktu itu dianggap sudah lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 bahwa “Setelah Pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965 dapat digagalkan, berkat lindungan dan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa serta berkat kesadaran dan keteguhan Rakyat pada landasan Falsafah Pancasila, maka Orde Baru dengan perjuangan yang sungguh-sungguh telah berhasil menciptakan stabilitas Nasional, baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik, untuk selanjutnya melakukan serangkaian Pembangunan Nasional yang harus dilaksanakan secara terus-menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu, bertahap dan berencana, sebagai satu-satunya jalan untuk mengisi kemerdekaan serta mencapai tujuan Nasional”.

Dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tujuan pendidikan dirumuskan sesuai dengan nilai kehidupan bangsa yang didasarkan pada Pancasila, dan bukan pada program politik atau ekonomi pemerintah semata. TAP MPR nomor IV/MPR/1978 menetapkan tujuan pendidikan adalah untuk ”meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”. Dibandingkan dengan rumusan tujuan pendidikan dalam TAP sebelumnya rumusan tujuan pendidikan dalam TAP MPR nomor

IV/MPR/1978 ini lebih sederhana tetapi idealisme bahwa pendidikan adalah untuk menghasilkan manusia yang dicita-citakan oleh bangsa masih terpelihara. Rumusan yang sama kemudian digunakan ketika lima tahun kemudian MPR menghasilkan TAP MPR nomor II/MPR/1983.

Selain merumuskan tujuan pendidikan nasional, TAP MPR nomor IV/MPR/1978 memutuskan pula tentang Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Moral Pancasila. Dalam bagian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial, Budaya ditetapkan bahwa “dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat”. Selanjutnya ditetapkan “Pendidikan Pancasila termasuk pendidikan moral Pancasila dan unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimaksudkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai universitas,baik negeri maupun swasta”. Ketetapan ini tentu saja membawa konsekuensi adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila dalam kurikulum dan tentu saja termasuk kurikulum SMP.

Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983 MPR kembali melakukan sidang lima tahunan sebagai awal dari sidang MPR baru yang terpilih dari hasil pemilihan umum. Pada tahun 1983 itu yang menjadi Ketua MPR adalah H. Amir Machmud, dibantu Wakil Ketua M. Kharis Suhud, Haji Amir Murtono, SH, Drs. Hardjantho Sumodisastro, H. Nuddin Lubis, dan H. Soenandar Prijosoedarmo. Tap tentang GBHN berubah nomornya dari IV menjadi II yaitu TAP MPR nomor II/MPR/1983. Sebagaimana telah dikemukakan di ata rumuan tujuan pendidikan nasional dalam TAP MPR nomor II/MPR/1983 tidak berbeda dari TAP MPR nomor IV/MPR/1978 yaitu “pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan

manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.

2. Tujuan Institusional SMP

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kurikulum tentang Landasan, Program, dan Pengembangan maka terjadi perubahan tujuan institusional SMP. Penekanan pada menghasilkan manusia pembangunan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional menjadi kepedulian utama pendidikan SMP selainmemberikan bekal untuk melanjutkan studi dan bekerja di masyarakat. Secara konseptual, sejak Kurikulum 1975 pendidikan di SMP selalu menempatkan lembaga pendidikan ini sebagai lembaga pendidikan dengan model “comprehensive school” dan bukan lagi sekedar pendidikan umum. Pemikiran demikian memang dirasakan perlu mengingat pada jenjang sekolah menengah sistem persekolahan Indonesia sudah tidak lagi mengenal adanya sekolah-sekolah kejuruan sehingga SMP harus mengambil alih fungsi mengembangkan pendidikan vokasional tersebut. Berikut adalah tujuan yang dinyatakan dalam dokumen yang disebutkan di atas.

Pertama, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan mendidik siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warganegara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan yang diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar untuk memasuki kehidupan di masyarakat, khususnya bagi siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah tamat SMP.

3. Pikiran Pokok Kurikulum SMP 1984

Kurikulum SMP 1984 dikembangkan sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1975 berdasarkan tiga pertimbangan yaitu politik, perkembangan sosial, dan akademik.. Perubahan dalam kebijakan politik ditetapkan oleh TAP MPR nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan adanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang dan jalur pendidikan menyebabkan kurikulum 1975 harus diubah untuk menampung keputusan politik tersebut. Ketetapan MPR adalah suatu keputusan politik yang lebih tinggi bahkan dari keputusan pada tingkat presiden apalagi menteri. Secara politis dan hukum ketatanegaraan, Ketetapan (TAP) MPR merupakan perwujudan dari suara rakyat Indonesia. Secara operasional TAP MPR 1983 tersebut dijabarkan dalam Keputusan Menteri nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 yang menyatakan perlunya perbaikan kurikulum dan perbaikan tersebut harus mencakup:

a. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa

b. Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum yang berpola Program Inti dan program Pilihan

c. Pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra kogniti, afektif, dan psikomotorik

d. Melaksanakan pengajaran yang mengarah pada belajar tuntas dan disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing anak didik

e. Mengadakan program studi baru yang merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa kini mau pun masa mendatang.

Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil evaluasi makro terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan itu. Perkembangan kehidupan yang

mulai memanfaatkan teknologi informasi, perkembangan kehidupan politik yang sudah mulai tidak lagi sensitif terhadap bahaya komunisme, menyebabkan kurikulum SMP 1975 dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan. Perkembangan lain yang cepat dalam masyarakat terutama dalam bidang ilmu dan teknologi menghendaki adanya berbagai penyempurnaan terhadap Kurikulum SMP 1975.

Faktor ketiga yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil evaluasi terhadap kurikulum 1975 yang dilakukan pada tahun 1981. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan “ belum sesuainya materi kurikulum berbagai mata pelajaran dengan taraf kemampuan belajar siswa, dan terlalu beratnya materi pelajaran untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Dengan demikian pengembangan kurikulum SMP (Sekolah Menengah Umum Pertama) perlu berorientasi pada landasan pada pendekatan proses belajar-mengajar yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk memeroses perolehannya” (Dokumen Kurikulum 1984:1).

Kemampuan untuk memeroses perolehan tersebut dikenal dengan nama Ketrampilan Proses. Pendekatan Ketrampilan Proses menggantikan pendekatan yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975. Pada dasarnya, kedua pendekatan itu memiliki langkah-langkah yang tidak jauh berbeda karena keduanya menghendaki peran aktif peserta didik dalam mencari, mengolah, dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Melalui pendekatan ini peserta didik diposisikan sebagai subjek dalam belajar dan mereka mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan merumuskan masalah yang diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari berbagai sumber informasi yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, mengolah informasi yang telah dikumpulkan dari sumber, dan merekonstruksi hasil olahan informasi sehingga menghasilkan pengetahuan (baru bagi peserta didik). Sayangnya, pendekatan Ketrampilan Proses sebagaimana pendekatan CBSA tidak terlaksana dengan baik di lapangan.

Ketidakberhasilan pelaksanaan Ketrampilan Proses, dan juga CBSA, di lapangan disebabkan oleh paling tidak tiga faktor. Faktor pertama adalah kemampuan guru yang tidak terlatih untuk melaksanakan pendekatan tersebut. Faktor kedua, fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku dan sumber lainnya tidak tersedia di sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten kurikulum yang dianut masih terpaku pada pengertian tradisional dan hanya menganggap pengetahuan sebagai konten kurikulum. Ketrampilan yang perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk mampu memeroses informasi tidak dianggap konten kurikulum dan tidak diajarkan pada peserta didik. Dalam keadaan demikian, peerta didik tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya untuk merumuskan pertanyaan/masalah, mencari dan mengumpulkan sumber informasi, mempelajari sumber informasi untuk mendapatkan inormasi yang diperlukan, mengolah informasi untuk menjawab pertanyaan/masalah yang diajukan, dan untuk menyusun inormasi menjadi sebuah bentuk komunikasi.

4.Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984

Struktur Kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur Kurikulum SMP 1975 yaitu terdiri dari Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan Pendidikan Ketrampilan. Meski pun demikian, beban belajar setiap semester berbeda karena Kurikulum SMP 1984 menggunakan pemikiran bahwa beban belajar di kelas lebih tinggi harus lebih rendah dibandingkan kelas sebelumnya (kelas I 38/40, kelas II 37/39, kelas III 36/38).

Tabel 7.3 Struktur Kurikulum dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984 KELAS/SEMESTER I II III PROGRAM JAM PELAJARAN BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6 JUMLAH PENDIDIKAN UMUM 1.Pendidikan Agama

2.Pendidikan Moral Pancasila 3.Pendidikan Sejarah Perjuang-

2 2 - 2 2 2 2 2 - 2 2 2 2 2 - 2 2 2 12 12 6

KELAS/SEMESTER I II III PROGRAM JAM PELAJARAN BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6 JUMLAH an Bangsa

4.Pendidikan Olahraga dan Kesehatan 5.Pendidikan Kesenian 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 18 12 PENDIDIKAN AKADEMIS 6. Bahasa Indonesia 7. Bahasa Daerah*) 8. Bahasa Inggeris

9. Ilmu Pengetahuan Sosial 10.Matematika

11.Ilmu Pengetahuan Alam a. Biologi b. Fisika 5 (2) 4 4 6 3 3 5 (2) 4 4 4 3 3 5 (2) 4 4 6 2 3 5 (2) 4 4 4 2 3 5 (2) 4 3 6 2 3 5 (2) 4 3 4 2 3 30 (12) 24 22 30 14 18 PENDIDIKAN

KETRAMPILAN 12.Pendidikan Ketrampilan**) 4 4 4 4 4 4 24

JUMLAH JAM PELAJARAN PER MINGGU 38

40 38 40 37 39 37 39 36 38 36 38 222 234 *) Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah

**) Pada setiap semester dipilih 1 (satu) Paket Bahan Pengajaran

Ada dua bidang studi yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dengan Kurikulum SMP 1984 yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan pemisahan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran Biologi dan Fisika. Adanya bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa didasarkan pada TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0461/U/1983. Berdasarkan TAP MPR nomor II/MPR/1983 bidang studi ini adalah bagian dari Pendidikan Pancasila bersama-sama dengan

Pendidikan Moral Pancasila. Dengan demikian maka bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah bagian dari pendidikan kewargaan negara dan bukan kajian akademis. Oleh karena itu maka Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dikelompokkan sebagai bidang studi dan Program Pendidikan Umum.

Kata sejarah dalam bidang studi ini menggambarkan bahwa materi utama sebagai bahan ajar terdiri atas berbagai peristiwa sejarah nasional yang dimulai dengan kebangkitan perjuangan kebangsaan. Tampaknya, keberadaan bidang studi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dipersyaratkan setiap warganegara memiliki pengetahuan mengenai sejarah kelahiran dan perkembangan kehidupan bangsanya untuk membentuk memori kolektif sebagai warganegara, ideologi dan tatanegara, bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia. Materi sejarah dalam Program Pendidikan Akademis yang diorganisasikan dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial tampaknya dianggap belum cukup untuk memenuhi persyaratan tersebut. Oleh karena itu bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa bukan dianggap sebagai pendidikan akademis sejarah tetapi sebagai pendidikan kewargaannegara.

Konsep Program Pendidikan Umum sebagai pendidikan kewargaannegara sangat menarik tetapi tampaknya tidak dikembangkan dalam satu kesatuan yang utuh. Jika Program Pendidikan Umum dimaksudkan sebagai pendidikan kewargaannegara, pernah dikembangkan maka bahasa Indonesia dan Geografi Indonesia seharusnya dimaksukkan ke dalam kelompok Program Pendidikan Umum. Apabila materi pendidikan Geografi Indonesia dikemas dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bersamaan dengan materi Sejarah Indonesia maka sudah sepantasnya jika IPS menjadi bagian dari kelompok Pendidikan Umum ebagaimana ditetapkan dalam Dasar dan Tujuan Pendidikan yang tercantum dalam Buku I tentang Ketentuan Pokok. Tampaknya, ide kurikulum tersebut tidak diterjemahkan secara utuh dalam struktur kurikulum dan pengelompokkan bidang studi.

Kedudukan IPS sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis memang tidak diarahkan untuk pendidikan kewargaannegara walau pun terjadi ketidaksinambungan antara tujuan dan fungsi bidang studi IPS sebagaimana dinyatakan dalam GBPP Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam GBPP disebutkan bahwa bidang studi IPS bertujuan “untuk mengembangkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa dalam melihat hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya”. Rumusan tujuan tersebut jelas memperlihatkan posisi bidang kajian akademis yaitu kemampuan berpikir dalam melihat fenomena bidang kajian (hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya).

Warna akademik yang dinyatakan dalam tujuan bidang studi IPS bersesuaian dengan pendekatan yang dirumuskan dalam dua pendekatan yaaitu (1) “pendekatan integratif sesuai dengan realita kehidupan”, dan (2) “pendekatan struktural untuk meningkatkan pengertian konsep-konsep dari generalisasi secara luas dan mendalam”. Terlepas dari adanya konflik dalam berpikir antara pendekatan integrati dan pendekatan struktural tetapi kedua pendekatan tersebut merupakan aplikasi kurikulum dari pendidikan disiplin ilmu. Artinya, IPS dalam posisi sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis memang dirancang sebagai pendidikan akademis, bukan pendidikan kewargaannegara (bukan kewarganegaraan yang menjadi label mata pelajaran). Landasan berpikir demikian menyebabkan kelahiran bidang studi Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa dalam kelompok Program Pendidikan Umum merupakan sesuatu yang wajar walau pun menimbulkan masalah dalam ide kurikulum tentang pendidikan kewargaannegara.

Sikap mendua dalam organisasi konten kurikulum yang diberi label bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam tetapi dipecah menjadi dua yaitu biologi dan fisika dengan masing-masing beban belajar berbeda, mencerminkan adanya tarik ulur dalam konsep pendidikan ilmu alamiah (science). Secara filosofis tampak ada tarik ulur antara pengembang kurikulum yang beraliran perenialisme yang memperkenankan adanya pendidikan disiplin ilmu yang terintegrasi dengan label

berbeda dari label disiplin ilmu dengan mereka yang beraliran esensialisme yang kokoh dalam posisi bahwa pendidikan disiplin ilmu harus sesuai dengan kaedah disiplin ilmu termasuk nama mata pelajaran. Menurut pandangan perenialisme pendidikan biologi, fisika, kimia dapat disatukan dalam sebuah organisasi konten kurikulum yang dinamakan IPA (science). Bagi pengikut esensialisme penggabungan dengan label seperti IPA sedangkan bagi pengikut perenialisme penggabungan eperti IPA adalah sesuatu yang wajar dan dapat diterima.

Penyelesaian yang dilakukan dengan mencantumkan nama bidang studi IPA dalam tradisi perenialisme (IPA) dan yang kemudian untuk memenuhi filosofi esensialisme dibagi atas biologi dan fisika mungkin dianggap sebagai penyelesaian terbaik. Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA tidak merinci mengenai pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Struktur Program dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984. Memang sangat disayangkan ketiadaan informasi mengenai proses yang menyebabkan terjadinya keputusan tersebut untuk lebih dapat memahami ide kurikulum pengembangan bidang studi IPA, apalgi hal tersebut tidak terjadi dalam bidang studi IPS. Jadi, terjadi perbedaan ide kurikulum yang cukup mendasar antara pengembang bidang studi IPA dan IPS yaitu bidang studi IPA menggunakan pemikiran “discrete disciplinary approach” sedangkan IPS menggunakan pendekatan “integrated approach”.

Dalam konteks banyaknya mata pelajaran untuk Kelompok Umum dan Akademis, Kurikulum SMP 1984 tidak lebih sederhana dibandingkan Kurikulum SMP 1975. Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan IPA yang terbagi dua atas Biologi dan Fisika maka jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum SMP 1984 menjadi dua lebih banyak dari Kurikulum SMP 1975. Kesederhanaan Kurikulum SMP 1984 dibandingkan Kurikulum SMP 1975 hanya tejadi pada mata pelajaran Ketrampilan yang hanya mengenal satu jenis dibandingkan dua jenis pada Kurikulum SMP 1975 (pilihan wajib dan bebas). Dalam Buku I tentang Landasan, Program, dan Pengembangan dikemukakan bahwa mata pelajaran ketrampilan diarahkan pada ketrampilan yang terkait dengan perkembangan terakhir yang terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Oleh

karena itu disarankan ketrampilan untuk perkotaan dalam bidang perbengkelan otomotif dan elektronika karena semakin banyaknya mobil dan pemakaian komputer. Sedangkan untuk daerah pedesaan disarankan ketrampilan dalam bidang bioteknologi, kelistrikan, pembangunan desa, perkoperasian, dan penyuluhan pertanian.

Prinsip yang mirip, walau pun tidak sama, dengan kebijakan tentang bidang studi IPA diterapkan juga untuk IPS. Jika dalam bidang studi IPA struktur kurikulum secara eksplisit memecah IPA dalam dua subbidang studi yaitu Biologi dan Fisika, IPS melakukannya dalam cara yang berbeda. Dalam Buku II Ilmu Pengetahuan Sosial Kurikulum SMP 1984 disebutkan “bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang terintegrasi atau terpadu, dan sejarah sebagai subbidang studi. Pelaksanaan Subbidang Studi Sejarah mengambil waktu dari jatah waktu yang tersedia untuk Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebanyak 1 jam pelajaran (sic!) per minggu dan diberikan mulai dari kelas I sampai dengan kelas III” (Buku II, 1986:4).

Akibat dari adanya kebijakan atau ide kurikulum yang demikian, tentu saja terjadi ketidaksinambungan (inkonsistensi) atau bahkan dapat dikatakan sebagai suatu “contradictio in terminis” bidang studi IPS yaitu antara definisi IPS dengan ketentuan menjadikan sejarah sebagai sub-bidang studi dengan GBPP yang terpisah dari GBPP IPS yang berisikan materi geografi, kependudukan, ekonomi, sosiologi dan anthropologi. Kiranya adanya pengaruh pengambil kebijakan kurikulum yang cukup dominan dalam bidang sejarah dan menginginkan pendidikan sejarah dalam konsep pendidikan esensialisme menyebabkan terjadinya keputusan kurikulum yang demikian. Penyelesaian dua GBPP yaitu IPS dan Sejarah tentu saja menyebabkan persoalan konseptual yang cukup mengganggu mengenai pendidikan IPS yang menjadi komponen materi Kurikulum SMP 1984. Hal yang terjadi pada bidang studi IPS dalam inkonsistensi antara pengertian dan pemecahan subbidang studi tidak terjadi pada bidang studi IPA karena GBPP IPA tidak menyebutkan IPA sebagai suatu bidang studi terpadu.

Ketentuan kurikulum tentang adanya mata pelajaran ketrampilan tentu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kesenian, olahraga, dan vokasional yang mungkin dimaksukinya setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan SMP dan tidak melanjutkan pada pendidikan di atasnya. Perbedaan mata pelajaran ketrampilan yang disarankan untuk lingkungan pendidikan yang berbeda adalah kebijakan yang mengarah kepada diversifikasi kurikulum. Keterkaitan kurikulum dengan lingkungan menjadi suatu yang didukung oleh mata pelajaran pilihan. Sayangnya, kebijakan tentang mata pelajaran ketrampilan dalam Kurikulum SMP 1984, sebagaimana kurikulum sebelumnya dan sesudahnya, tidak diikuti dengan kewajiban penyelenggara pendidikan dan pemilik sekolah (dalam hal ini terutama pemerintah) untuk melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam mata kuliah pilihan, apabila dukungan dana operasional dan pemeliharaan. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa SMP tidak memiliki fasilitas olahraga, kesenian, dan ketrampilan yang memadai sampai hari ini sebagaimana halnya dengan biaya operasional dan pemeliharaan. Kebijakan kurikulum yang tidak didukung oleh kebijakan pengadaan fasilitas belajar berkelanjutan sampai masa kini menyebab sekolah sebenarnya tidak dalam keadaan siap untuk melaksanakan kurikulum. Dengan perkataan lain, sekolah tidak mungkin melaksanakan apa yang telah direncanakan dalam dokumen kurikulum (curriculum as plan) menjadi suatu realita kurikulum (implemented, observed, atau taught curriculum).

Hal lain yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dan sebelumnya dengan Kurikulum SMP 1984 adalah dalam memberikan penawaran mata pelajaran antar semester (alternate semester offering). Dalam konsep ini suatu mata pelajaran tertentu diberikan pada semester tertentu dan tidak pada tiap semester. Kurikulum SMP 1975 menerapkan konsep penawaran antar semester untuk bidang studi ketrampilan pilihan terikat dan pilihan bebas sedangkan untuk Kurikulum SMP 1984 penawaran antar semester diberlakukan untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Walau pun keduanya menerapkan konsep antar semester, konsep penawaran antar semester untuk bidang studi Ketrampilan

Terikat dan Ketrampilan Pilihan (Kurikulum SMP 1975) memiliki perbedaan dengan penawaran antar semester bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (Kurikulum SMP 1984). Penawaran antar semester dalam Kurikulum SMP 1975 didasarkan pada pemikiran bahwa bidang studi Ketrampilah Pilihan Terikat dan Ketrampilan Pilihan Bebas memiliki materi pelajaran ketrampilan

Dalam dokumen PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP (Halaman 134-151)