• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORITIS"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORITIS

Dalam bab ini dibahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu :

1. Konsep Nyeri 1.1 Defenisi Nyeri.

Menurut Tarcy (2005) Dikut ip dari International Association for the Study of Pain (IASP, 1994), mendefenisikan nyeri sebagai perasaan dan pengalaman sensoris atau emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, nyeri selalu bersifat subjektif karena perasaan nyeri berbeda-beda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya. Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri (Curton, 1983).

Menurut Feurst (1974), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan. Nyeri merupakan pengalaman seseorang dan bersifat subjektif, berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin, 1984).

Menurut Kozier & Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata,

(2)

namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi nyeri.

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin, 1997). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri. (Taylor & Priccila, 1997 ). Menurut Shweder & Sullivan, 1993 nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi dalam tubuh seperti, emosi, motivasi (dukun gan) dan kesadaran, dan semuanya itu dipengaruhi oleh suku, budaya dan bahasa (diambil dari suza, 2007).

1. 2 Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan nyeri kronis (Long, 1989).

Nyeri Akut, nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot (Long, 1989). Nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan, secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan,. Pasien dengan nyeri akut sering mengalami kecemasan (Berger, 1992). Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau pembedahan abdomen, pasien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukan gelala-gejala antara lain : respirasi meningkat, percepatan jantung dan tekanan darah meningkat (Priharjo, 1996).

(3)

Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cidera spesifik. Nyeri akut mengidentifikasikan bahwa kerusakan atau cidera telah tarjadi. Hal ini menarik perhatian pada kenyataannya bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa yang secara potensial menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan, nyeri ini pada umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Cidera atau penyakit yang meenyababkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan (Smeltzer & Bare, 2001). Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada araea yang rusak

( Potter & Perry, 2005).

Nyeri Kronis, nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis (Long, 1989). Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu nyeri kronik maligna dan nyeri kronik nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan , nyri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2006)

(4)

Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu, nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk di obati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang di arahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih nyei kronis tidak mempinyai tujuan yang berguna dan jika hal ini menetap, ini menjadi gangguan utama (Smeltzer & Bare, 2001).

Tabel : Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis

Karakterstik Nyeri Akut Nyeri Kronis

Tujuan/keuntungan Awitan Intensits Durasi Respon otonom Komponen psikologis

Respon jenis lainnya

Contoh

Memperingatkan adanya cedera atau masalah

Mendadak

Ringan sampai berat

Singkat (dari beberapa detik-enam bulan)

Konsisten dengan respons stress simpatis

Volume sekuncup meningkat, tekanan darah

meningkat, dilatasi pupil meningkat, tegangan otot meningkat, motilitas gastro intestinal menurun, aliran saliva menurun (mulut kering)

Ansietas

Nyeri Bedah, Trauma

Tidak ada

Terus-menerus atau intermiten

Ringan sampai berat Lama (enam bulan lebih)

Tidak terdapat respon otonom

Depresi, mudah marah, menarik diridari dunia luar, menarik diri dari persahabatan

Tidur terganggu, libido menurun, nafsu makan menurun.

Nyeri kanker, arthritis, neuralgia trigeminal. Dikutip dari Port CM. Pathophysiologi ; Concepts of Altered health State, ed. Ke-4, Philadelphia, JB Lippincott, 1995. (Diambil dari Brunner & Suddarth, 2001).

(5)

Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya nyeri tertusuk dan nyeri terbakar. Selain klasifikasi nyeri di atas, terdapat jenis-jenis nyeri berdasarkan lokasi nyeri, yaitu : nyeri somatik, nyeri visceral, nyeri menjalar (referent nyeri), nyeri psikogenik, nyeri phantom dari ekstrimitas, nyeri neurologist, dan lain-lain. Nyeri somatik dan nyeri viskeral ini umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (supervisial) pada otot dan tulang. Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa pada bagian tubuh yang lain, umumnya terjadi akibat kerusakan pada cedera organ visceral. Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik yang timbul akibat psikologis. Nyeri phantom adalah nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstrimitas di amputasi. Nyeri neurologist adalah bentuk nyeri yang tajam karena adanya spasme di sepanjang atau dibeberapa jalur syaraf (Long, 1989).

1.3 Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Stimulus penghasil-nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta assosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dikutip dari Potter & Perry 2005).

(6)

Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor & Le mone, 1997).

Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik atau mekanis (Long, 1989).

Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan berupa impuls-impuls nyeri ke sum-sum tulang belakang oleh dua jenis seabut yang bermyelin rapat atau serabut A (delta) dan serabut lamban (serabut C)

(7)

impuls-impus yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C. serabut-serabut afferent masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn terdiri atas beberapa lapisa laminae yang saling bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga terbentuk substantia gelatinosa yang merupakan saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic trac (STT) atau jalur spino thalamus dan spinoreticular trac (SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalu nonopiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari thalamus yang melalui otak tengah dan medulla ke tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan nonciceptor impuls supresif. System supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor yang ditransmisikan oleh serabut A (Long, 1989).

Rasa sakit ditransmisikan dari saraf melalui tulang belakang menuju otak, ketika ada kerusakan jaringan akibat luka, benturan, patah tulang, atau bengkak sinyal-sinyal tertentu dikirim melalui urat syaraf, tergantung dari jenis urat syarafya, rasa sakit yang dirasakan akan memiliki karakteristik yang spesifik rasa sakit tersebut dapat berupa rasa perih atau denyut, rasa sakit terasa tajam atau tumpul.

Urat-urat syaraf bertujuan untuk meneruskan sinyal ke otak, sinyal-sinyal tersebut berbeda-beda tergantung pada situasi dan lokasi dari syaraf tersebut. Sinyal dari syaraf kemudian ditransmisikan melalui syaraf tulang belakang

(8)

menuju otak. Pada tulang belakang, rasa sakit dimodulasikan secara alamiah. Rasa sakit dapat dilemahkan atau dikuatkan di dalam tulang belakang, jika kita tidak memiliki mekanisme tersebut, kita akan selalu mengalami rasa sakit, bahkan termasuk orang-orang yang tidak menderita rasa sakit kronis, apapun yang terjadi pada diri kita pasti akan terasa menyakitkan (Tarcy, 2005).

1.4 Stimulasi Nyeri

Seseorang dapat mentoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau dapat mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain threshold).

Ada beberapa jenis stimulus nyeri menurut Alimul (2006), diantaranya adalah : (1)Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah (operasi) akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor, (2) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekananpada reseptor nyeri, (3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri, (4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri.

Menurut Alimul (2006). Pengalaman nyeri pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah :

Arti Nyeri, arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan,

(9)

merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang social budaya, lingkungan, dan pengalaman.

Persepsi Nyeri, persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitf). Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.

Toleransi Nyeri, toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan atau garukan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat, dan sebagainya, sedangkan faktor yang menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.

Reaksi Terhadap Nyeri, reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperi arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan mental, rasa takut, cemas dan usia.

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang efektif. Menurut Berger, (1992) beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri tersebut antara lain : (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) pengalaman masa lalu dengan nyeri, (4) ansietas, (5) budaya, (6) keluarga dan support sosial.

(10)

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005). Usia juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya. Sehingga kemungkinan perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk menurunkan nyeri secara adequate (Berger, 1992).

Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri (Gil, 1990 dikutip dari Potter & Perry, 2005).diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri.beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).

Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri. Sehingga dia merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997).

Ansietas pada umumnya akan meningkatkan nyeri, penggunaan rutin medikasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat merusak kemampuan pasieen untul melakukan napas dalam. Secara umum, cara yang lebih efektif

(11)

untuk menghilangkan nyeri adalh dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2001).

Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalan suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1992).

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991, dikutip dari Potter & Perry, 2005).

Adanya orang-orang yang memberi dukungan amat berpengaruh terhadap nyeri yang dirasakan. Misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang dirasakannya jika ia berada di dekat kedua orang tuanya (taylor, 1997).

Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2005).

2. Teori Nyeri

2.1Teori Pemisahan (Specivicity Theory)

Teori ini digambarkan oleh “Descartes’ pada abad ke-17. teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan

(12)

mentransmisikanya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke thalamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons nyeri (Tamsuri, 2006).

Menurut teori ini, rangsangan nyeri masuk ke medulla spinalis (spinal cord) melalui dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan (Long, 1989).

2.2 Teori Pola (Pattern theory).

Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri,yaitu serabut yang mampu menghantarkan rangsangan dengan cepat ; dan mampu menghantarkan rangsangan dengan lambat. Kedua serabut saraf tersebut bersinapsis pada medulla spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri (Tamsuri, 2006).

Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla spinalis dan merangsang aktivitas sel T. hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke bagian yang lebuh tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga minimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respo dari reaksi sel T (Long, 1989)

2.3 Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)

Melzack & Wall (1965) pertama kali mengusulknan teori mekanisme nyeri yakni teori “Gate Control” mereka menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri (Tamsuri, 2006). Menurut teori ini,

(13)

nyeri tergantung dari kerja serat syaraf besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat syaraf besar akan meningkatkan aktivitas substansi gelatinosa yang mengakibatakan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T. rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri (Long, 1989).

Teori gate control menggambarkan bahwa ada mekanisme pintu gerbang pada ujung syaraf ruas tulang belakang (spinal cord) yang dapat meningkatkan atau menurunkan aliran impuls saraf dari serat perifer menuju system saraf pusat. Mekanisme pintu gerbang ini dipengaruhi oleh aktifitas A-Beta berdiameter besar, A-Delta berdiameter kecil dan serabut c serta pengaruh dari otak. Bila pintu tertutup berakibat tidak ada nyeri; pintu terbuka, nyeri ; sebagian pintu terbuka, nyeri kurang. Ketika pintu ditutup, transmisi impuls nyeri dihentikan di spinal cord sehingga nyeri tidak mencapai tingkay yang disadari (Reeder-Martin, 1984 ; Flynn & Heffron, 1984). Sereblum dan thalamus disebut sebagai pusat control nyeri oleh melzak & Wall (1965). Pesan sensori yang berbeda dialirkan langsung ke serebrum. Pusat control memproses informasi dari 3 sumber, yakni informasi sensori-diskriminatif, informasi motivasi-afektif dan informasi kognitif-evaluatif. Karena rangsangan nyeri diproses dalam konteks yang individual, variasi yang luas dari respon nyeri dapat diamati (Flynn & Heffron, 1984 ; marie, 2002).

(14)

Endorphin juga mempengaruhi transmisi impuls yang diartikan sebagai nyeri. Endorphin dapat berupa neourotransmitter atau neuro modulator yang menghambat transmisi pesan nyeri. Tingkat endorphin berbeda setiap orang yang menjelaskan mengapa seseorang merasakan nyeri yang lebih dari pada orang lain. Orang dengan tingkat endorphin tinggi tidak akan merasakan nyeri (Reeder, Koniak-Griffin & Martin, 1997)

2.4Teori Transmisi dan Inhibisi

Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls syaraf, sehingga transmisi impuls menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen opiate system supresif (Long, 1989).

3. Nyeri Post Operasi 3.1 Defenisi

Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri postoperasi berbeda-beda dari pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri postoperasi. Nyeri postoperasi biasanya ditemukan dalam pengkajian klinikal, nyeri postoperasi merupakan topik yang menarik untuk dibahas dalam lingkup keperawatan. Dengan menggali nyeri postoperasi akan membantu orang lain untuk mengerti dan dapat mengaplikasikan nyeri postoperasi kepada pasien yang mengalami pembedahan. Aspek dari nyeri

(15)

postoperasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup persepsi dan perilaku tentang nyeri (Suza, 2007).

Toxonomi Comitte of the international Association untuk pembelajaran tentang nyeri mendefenisikan nyeri post operasi sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata atau menggambarkan terminology suatu kerusakan (Alexander, 1987 ). Pada post operasi nyeri biasanya adalah hasil dari tindakan operasi tapi dapat disebabkan oleh hal lain penyebab-penyebab yang berhubungan atai tidak berhubungan, yaitu ; kandung kemih yang penuh, iskemia, pemasangan infuse dan lain-lain. Dan diagnosa terhadap penyebab nyeri harus dapat diobati jika memungkinkan. Sisa nyeri dapat dibebaskan dengan pembatasan keamanan pasien terhadap lingkungan postoperasi (Alexander, 1987).

Nyeri postoperasi adalah suatu reaksi yang kompleks pada jaringan yang terluka pada proses pembedahan yang dapat menstimulasi hypersensitivitas pada system syaraf pusat, nyeri ini hanya dapat dirasakan setelah adanya prosedur operasi (www.surgeryencyclopedia.com). Nyeri post operasi dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi persepsi pasien tentang perkembangan dan kesembuhanya. Lebih tinggi nyeri yang dirasakan pasien, maka makin rendah harapan sembuh menurut pasien berdasarkan sifat subjektif nyeri, sulit mendapatkan hubungan langsung antara intensitas nyeri dengan tingkat komlikasi postoperasi secara fisik dan psikologis. Walaupun intensitas nyeri berhubungan dengan peningkatan kolaps beberapa alveoli di paru-paru (atelektasis) pada pasien bedah jantung (Puntillo & Weiss, 1994, diambil dari Torrance & surginson, 1997).

(16)

3.2 Pengkajian Nyeri Postoperasi

Pengkajian nyeri yang tepat adalah awal dari penanganan nyeri dan merupakan proses lanjut yang meliputi faktor-faktor multidimensional perumusan manajemen nyeri terhadap rencana keperawatan. Pengkajian ini sangat penting dalam mengidentufikasi sindrom nyeri atau penyebab nyeri dan memasukkan pengkajian pada intensitas dan karakteristi nyeri, pengkajian fisik yang berhubungan dengan pemeriksaan sitem saraf akan dicurigai adanya gangguan pada sistem saraf. Psikososial dan pengkajian kebudayaan menggunakan diaknosa yang tepat dalam menentukan penyebab nyeri (Suza, 2007).

Dalam mengkaji nyeri perawat perlu memastikan lokasi nyeri secara jelas misalnya, nyeri pada post appendiktomi yaitu pada daerah operasi abdomen kanan bawah, intensitas nyeri dinyatakan dengan nyeri ringan, sedang dan berat atau sangat nyeri. Waktu dan durasi dinyatakan sejak kapan nyeri dorasakan, berapa lama terasanya apakah nyeri berulang. Bila nyeri berulang maka akan mengalami selang waktu berapa lama, dan kapan nyeri berakhir. Kwalitas nyeri dikatakan seperti apa yang dirasakan pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul-pukul dan lain-lain. Perilaku non verbal pada pasien yang mengalami nyeri dapat diamati oleh perawat misalnya ekspresi wajah kesakitan, gigi mencengkram, memejamkan mata rapat-rapat, menggigit bibir bawah dan lain-lain (Priharjo, 1996).

Pengkajian nyeri postoperasi akan menunjukkan tingkat nyeri secara teratur, setelah administrasi penghilang rasa nyeri dan setelah banyaknya pengobatan dalam perencanaan manajemen nyeri, terutama pengkajian nyeri tentang individu dan pendokumentasianyannya agar semua yang termasuk dalam anggota

(17)

multidisiplin akan mengerti tentang masalah nyeri. Informasi-informasi tentang nyeri pasien dapat diperoleh dari informasi : observasi, interview dengan pasien dan dengan anggota keluarga pasien lainya sangat penting. Untuk kembali melihat pada data medis dan kilas baliknya dengan tim kesehatan yang lain (Suza, 2007).

Pengkajian nyeri postoperasi meliputi berbagai aspek yaitu, 1. Lokasi

Anatomi diagnosa adalah sebuah ilustrasi yang tepat untuk menentukan lokasi nyeri, banyak pasien tidak dapat menentukan letak nyeri secara tepat, banyak yang mengindikasikan letak dengan dengan huruf seperti ABC. Pasien boleh menggambarkan lokasi nyeri dalam bentuk atau bekas lokasi pada tubuhnya dan anggota keuarga dapat memberi tanda bilangan atau angka pada bentuk pengkajianya (Suza, 2007).

2. Intensitas

Seseorang dalam mengekspresikan nyeri mereka hanya mampu menilai suatu intensitas nyeri secara akurat, dua jenis skala penilaian intenstas nyeri yang digunakan adalah skala verbal dan skala numerical.

a. Face Rating Scale

Skala ini diatur secara visual dengan ekspresi guratan wajah untuk meunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Skala penilaian wajah pada dasarnya digunakan pada anak-anak tetapi juga bias bermanfaat ketika orang dewasa yang mempinyai kesulitan dalam menggunakan angka-angka dari skala visual analog (VAS) yang merupakan alat penilaian pengkajian nyeri secara umum (Suza, 2007)

Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anak-anak. Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang

(18)

menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum “tidak merasa nyeri” kemidian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih sampai wajah yang sangat ketakutan “nyeri yang sangat” (Potter & Perry, 2005)

b. Flowsheets (Kartu Pencatatan)

Kartu ini digunakan untuk mendokumentasikan perkembangan yang bertujuan mempertahankan keberhasilan dalam manajemen nyeri. Dokter menggunakan flowsheets untuk mencatat waktu, menilai nyeri dan mengontrol penggunaan obat penghilang rasa nyeri dan efek sampingnya. Informasi yang ada dalam manajemen Flowsheet dapat disatukan dalam bentuk bentuk format yang lain untuk menghindari terjadinya kesalahan pada waktu pencatatan.

c. Graphic Rating Scale

Graphic rating sacale dikembangkan oleh VAS untuk menambah kata-kata atau angka diantara awal dan akhir skala. Penambahan kata-kata seperti tidak nyeri, nyeri sedang dan nyeri berat disebut verbal graphic rating scale sedangkan jika huruf seperti 0 sampai 10 menjadi numerical graphic rating scale (Suza, 2007)

d. Numerical Rating Scale

Skala penilaian numeric (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10 (Potter & Perry, 2005). Skala ini digunakan secara verbal atau visual dari 0 sampai 10 dan menambahkan kata-kata dan huruf sepanjang garis vertical dan horizontal, 0 menunjukkan hasil dari tidak ada nyeri dan 10 menunjukkan hasil dari nyeri yang tak terbayangkan (Suza, 2005)

(19)

e. Simple Descriptor Scale (Verbal Descriptor Scale, VDS)

Skala ini menggunakan daftar kata-kata untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat intensitas nyeri, mudah dan sangat sederhana dalam menggunakannya sebagai contoh tidak ada nyeri, nyeri ringan , nyeri sedang dan nyeri barat (Suza, 2007).

Skala deskriptif merupaka alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan” (Potter & Perry, 2005).;

f. Visual Analog Scale (VAS)

Visual analog scale tidak melabel subsidi. VAS merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (McGuire, 1984).

Visual Analog Scale digunakan dengan garis horizontal 10 cm dengan menambahkan kata-kata pada garisnya seperti tidak ada nyeri, dan nyeri sangat berat. Pasien membuat sebuah tanda sepanjang garis untuk mengungkapkan intensitas nyeri, angka diperoleh dengan mengukur millimeter dari awal sampai akhir pengukuran dan pasien akan langsung menandainya (Suza, 2007).

(20)

Skala Pengukuran intensitas Nyeri 1. Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana.

Tidak ada Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri nyeri ringan sedang hebat sangat hebat paling hebat

2. Visual Analouge Scale (VAS).

Tidak ada nyeri Nyeri paling hebat

3. Verbal Numerical Rating Scale (VNRS).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak ada Nyeri Nyeri nyeri sedang paling hebat (Dikutip dari Brunner & Suddarth, 2001)

4. Skala wajah Wong-Bakers

(21)

3. Kualitas (mutu)

Pengkajian dalam bentuk ini pasien mendeskripsikan jenis dari nyeri atau nyeri seperti apakah yang dirasakan oleh mereka, mereka mungkin akan menggunakan kata-kata sebagai berikut : denyut, seperti terbakar, tajam, tumpul seperti ditikam.

4. serangan, Durasi, jenis and Ritme

Banyak pasien yang mengalami nyeri mempunyai sensasi untuk mengekspresikan rasa nyeri yang mereka rasakan dalam periode 24 jam. Dalam rencana keperawatan yang penting untuk mengkaji perubahan atau untuk mengantisipasi prosedur nyeri dan memodifikasi aktivitas (jika mungkin) untuk menambah rasa nyaman, jika nyeri dirasakan 12 jam atau lebih dari waktu 24 jam maka yang harus dilakukan adalah pemberian obat penghilang rasa nyeri jika diperlukan (Suza, 2007).

3.3 Manajemen Nyeri Postoperasi

Menurut Mc. Caffery (Diambil dari Tamsuri, 2006). Tehknik yang diterapkan dalam mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan (farmalogis) dan tindakan nonfarmakologis (tanpa pengobatan).

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid (narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflamasi Drugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik. Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivate dari opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan

(22)

dengan reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate sepertu mu, delta, dan alppa) dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan syaraf pusat. Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat pernapasan dan batuk di medulla batang otak. dampak lain dari narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat. Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau sering disebut juga Nonsteroid Anti-InflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin, asetaminofen, dan ibu profen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti-inflamasi dan anti-demam (anti-piretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-ujung syaraf perifer di daerah yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera (Tamsuri, 2007).

Terapi pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan menggunakan NSAIDs, kecuali kontraindikasi (AHCPR, 1992 dikutip dar Potter & Perry 2005). Walaupun mekanisme kerja pasti NSAIDs tidak diketahui, NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin (McKenry dan Salerno, 1995) dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulasi nyeri. Tidak seperti opiat, NSAIDs tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi (AHCPR, 1992 dikutip dari Potter & Perry 2005).

(23)

Penatalaksanan nyeri secara nonfarmkologis untuk mengurangi nyeri terdiri dari beberapa tehknik diantaranya adalah :

Distraksi, distraksi adalah metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal lain sehingga pasien lupa terhadap nyeri yang dialami pasien, misalnya pada pasien postappendiktomi mungkin tidak merasakan nyeri saat perawat mengajaknya bercerita tentang hobbinya (Priharjo, 1996).

Tehknik Relaksasi, Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Ada banyak bukti yang menunjukkna bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri postoperasi (Lorenti, 1991 ; Miller & Perry, 1990). Tehknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuansi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus). Relaksasi yaitu pengaturan posisi yang tepat, pikiran, beristirahat dan lingkungan yang tenang.relaksasi otot skeletal dapat menurunkan nyeri dengan merilakskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tekhnik relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stress. Dengan relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri (Tamsuri, 2006)

(24)

Imajinasi Terbimbing, imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan suatu napas berirama lambat denfgan suatu bayangan mental relaksiasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa setiap napas yang diekhalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidak nyaman dikeluarkan, menyebakan tubuh yang rileks dan nyaman. Setiap kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh dialairkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas di hembuskan, pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan. Jika imajinasi terpadu diharapkan agar efektif, dibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Bebarapa hari praktik mungkin diperlukan sebelum intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini efektif (Harnawatiaj, 2008)

(25)

4. Perilaku Nyeri 4.1 Defenisi

Perilaku nyeri adalah satu aspek yang menyangkut tentang pengalaman nyeri. Ini adalah suatu keadaan yang tampak dan jelas seperti gerakan anggota badan atau ekspresi wajah (Fordyce, 1976 diambil dari Harahap, 2007). Pilowski, (1994) berpendapat bahwa Keberadaan nyeri sering ditandai oleh beberapa macam perilaku yang tampak ataupun perilaku yang didengar hal ini dapat dinyatakan sebagai perilaku nyeri (dikutip dari Harahap, 2007)).

Perilaku nyeri adalah apa-apa saja dan semua yang dikeluarkan oleh masing-masing individu. Sebagai suatu karakteristik yang dapat diamati sebagai kesan tehadap nyeri seperti, gerakan tubuh, ekspresi wajah, ucapan verbal, berbaring, mencari pengobatan, mencari penasehat medis dan menerima bayaran. Perilaku neyri adalah tindakan untuk mengkomunikasikan kemampuan dan ketidaknyamanan (seperti, meringis, berjalan dan berkurangnya aktivitas) dan telah menunjukkan sebuah peran yang sangat penting dalam menurunkan tingkat fungsi masing-masing individu dan memperburuk kondisi nyeri (Fordyce, 1976 diambil dari Harahap, 2007).

(26)

4.2 Tipe-tipe perilaku nyeri

Menurut Harahap (2007) tipe perilaku nyeri kronik dilandasi pada sebuah pemikiran bahwa paling sedikit terdapat dua tipe perilaku nyeri yaitu : responden dan operant perilaku.

4.2.1Perilaku Responden

Perilaku respondent adalah jenis perilaku yang reflex sebagai respon terhadap rangsangan yang datang (Kats, 1998) apakah individu itu menyadarinya atau tidak (Fordyce, 1976). Rangsangan yang datang itu biasanya spesifik dan dapat diprediksi (Fordyce, 1976). Perilaku respondent merupakan perilaku yang terjadi secara spontan, ketika rangsangan yang datang terjadi secara adekuat seperti rangsangan pada saraf nociceptive, reaksi perilaku tersebut akan tampak kelihatan. Dibandingkan ketika rangsangan yang datang tidak adekuat maka perilaku tersebut tidak akan terjadi. Oleh karena itu perilaku respondent berkaitan erat dengan adanya rangsangan yang keras (Harahap, 2007).

Pada nyeri kronik, ketika nyeri terjadi, pasien mungkin akan merespon nyeri dengan berbagai cara seperti, menjaga area tubuh yang sakit (guarding), meraba atau menyentuh area tubuh yang sakit (rubbing), ekspresi wajah (grimacing), pergerakkan tubuh yang kaku (braching), dan perilaku nyeri yang terdengar atau frekwensi sentuhan pada anggota tubuh yang terpavorit (Harahap, 2007).

4.2.2 Perilaku Operant

Perilaku operant biasanya tidak dihubungkan dengan rangsangan yang datang secara spesifik (Kats, 1998 diambil dari harahap, 2007). Itu terjadi secara langsung dan rangsangan yang datang berespon secara otomatis, sama halnya

(27)

dengan perilaku respondent. Tetapi perilaku operant mungkin terjadi karena perilaku yang mengikutinya yang bersifat positip atau karena adanya konsekuensi yang tepat (Fordyce, 1976). Perilau operant pada umumnya tidak dikendalikan oleh adanya rangsangan yang datang secara spesifik (Kats, 1998). Menurut Turk & Flor (1999). Jenis perilaku nyeri ini tidak dikendalikan oleh rangsangan yang datang dan rangsangan yang terjadi tidak akan kuat lagi, tetapi ketika pasien mendapatkan dukungan yang efektive dari lingkunganya seperti (dukungan dari pasangan mereka baik istri maupun suami, pertolongan kesehatan dan kejadian-kejadian lain disekitar mereka), kemudian perilaku nyeri seperti guarding, rubbing, grimacing, braching dan perilaku nyeri yang didengar atau frekuensi sentuhan pada anggota tubuh disukai kemungkinan akan kelihatan bertahan dalam waktu yang lama setelah penyebab tanda-tanda nyeri diketahui atau nyeri tersebut sangat berkurang (Harahap, 2007).

Perilaku operant pada mulanya berhubungan dengan jaringan yang rusak dan adanya rangsangan pada saraf nociceptive atau antisipasi pada sebuah keadaan. Tetapi perilaku operant talah berkembang melalui proses pembelajaran lingkungan. Oleh karena itu, model perilaku operant adalah tidak terkait dengan penyebab nyeri yang terjadi dari dalam, tetapi lebih terpusat pada manifestasi nyeri itu sendiri serta bagaimana nyeri dapat diekspresikan sebagai perilaku neyri (Turk & Flor, 1999). Fordyce (1978) mengatakan bahwa dalam rangka mempertahankan perilaku, menguatkan konsekuensi (dukungan) atau mengakhiri perilaku oleh hukuman adalah sebuah kebutuhan. Syarat-syarat “dukungan” dan “hukuman”menunjukkan kepada hubungan antara perilaku dan perubahan lingkungan dimana dukungan mengakibatkan suatu peningkatan kondisi individu

(28)

menjadi lebih baik sedangkan hukuman mengakibatkan kondisi individu menjadi lebih buruk. Fordyce (1976) memutuskan dukungan kedalam dua tipe yaitu : langsung dan dukungan perilaku nyeri tidak lansung.

4.2.2.1 Dukungan langsung pada perilaku nyeri.

Faktor pendukung seperti kondisi lingkungan atau kejadian-kajadian yang mungkin merupakan suatu tindakan sebagai ungkapan rasa nyeri. Sebagai contoh, ketika nyeri terjadi dan pasien menunjukkan perilaku nyeri teryentu, pasangan mereka mungkin akan memberikan perhatian lebih kepada pasien. Perilaku nyeri ini mungkin akan berkurang karena pasien merasakan manfaat dari perhatian tersebut ketika pasien merasakan nyeri. Biasanya sebuah dukungan tidak terjadi kecuali didahului oleh perilaku nyeri atau pada cara yang lain yang mana dukungan terjadi sebagai suatu respon pada perilaku nyeri (Harahap, 2007).

4.2.2.2 Dukungan tidak langsung pada perilaku nyeri

Dukungan tidak langsung pada perilaku nyeri mungkin terjadi ketika perilaku nyeri menunjukkan kepada keadaan menghindari sesuatu secara efektive pada beberapa penolakan atau akibat yang tidak nyaman (Fordyce, 1978). Jika pasien berfikir bahwa beberapa aktivitas mungkin dapat menyebabkan nyeri atau jika pasien menekspresikan nyeri ketika melakukan aktivitas seperti, duduk, berjalan dan sebagainya. Aktivitas ini akan menghindari untuk mengurangi terjadinya suatu kerugian. Melalui dukungan yang tidak langsung, pasien belajar untuk merasakan perilaku tertentu yang mana menghindari atau mengurangi secara efektip sebagai penolakan yang terjadi (Harahap, 2007).

(29)

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri

Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri meliputi beberapa faktor yaitu :

4.3.1Jenis Kelamin

Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan perilaku nyeri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002: Asghari & Nicholas, 2001). Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih sering menunjukkan dan mengeluhkan perilaku daripada laki-laki (Philips & Jahanshahi, 1986).

4.3.2 Intensitas nyeri

Intensitas nyeri adalah jumlah nyeri yang dirasakan oleh pasien. 4.3.3 Suku/budaya

Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri (Lofvander & Furhoff, 2002) kepercayaan budaya barat sungguh perbeda dengan kepercayaan budaya timur yang mana budaya timur lebih tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan kelemahan sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas dan pluralistik. Bates, Edwards, & Anderson (1993) mengatakan bahwa negara dan suku dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan emosional dan psikologi negara (Harahap, 2007).

(30)

Beberapa penelitian telah menunjukkan suku dan budaya mempengaruhi perilaku nyeri. Brena Sanders, and Motoyama (1990) menyelenggarakan sebuah studi untuk membandingkan psikologi, social dan perilaku umum jumlah pasien nyeri tulang punggung di Jepang dan Amerika. Mereka menemukan bahwa pasien berkebangsaan Jepang lebih sedikit lemah secara psikologi, sosial kejujuran dan ketidak jujuran dalam fungsi mereka dibanding dengan pasien berkebangsaan Amerika (Harahap, 2007).

4.3.4Percaya diri

Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri dapat mengalihkan situasi secara spesifik (Bandura, 1997 diambil dari Harahap, 2007). Pasien dengan percaya diri yang tinggi dapat menunjukkan pergaulan yang positip dengan latihan dan negatipnya dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores, Murphy, dan Rosenthal dkk, 1990 diambil dari Harahap, 2007). Percaya diri berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar seperti, duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri telah menunjukkan untuk bisa memprediksikan ketidakmampuan pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya tentang nyeri mereka dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak penelitian yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri dengan perilaku nyeri ( Harahap, 2007).

4.3.5Pasangan/anggota keluarga

Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan kehidupan social pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat yang berbeda dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan sebuah perilaku nyeri (Fordyce, 1976). Menurut Flor, Turk, & Rudy (1992) Pasangan dan anggota keluarga yang

(31)

lain sering termasuk dalam pengobatan dan megajarkan kepada pasien untuk berespon positif pada setiap aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang lainya bagi perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi peningkatan nyeri pasien (Harahap, 2007).

4.4 Instrumen perilaku nyeri

Telah diakui secara luas bahwa pasien yang berada dalam tingkat nyeri terentu akan menunjukkan perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari pengobatan, menjaga area rubuh yang sakit, atau mengekspresikan raut wajah. Perilaku ini merupakan cara pasien berkomunikasi bahwa mereka sedang merasakan nyeri (Harahap, 2007).

Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan bahwa perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri. Fordyce (1976) mengembangkan metode pengawasan diri melalui catatan harian untuk mengukur perilaku nyeri. Di dalam catatan harian nyeri tersebut, pasien diminta untuk mengidentifikasi berapa lama mereka sibuk menghabiskan waktu dalam tiga kategori perilaku seperti : duduk, berdiri atau berjalan. Pasien juga diminta untuk melaporkan setiap kali mereka melakukan pengobatan dan jumlah dosis obat yang diberikan. Metode pengawasan diri sangat mudah dan sederhana, dan lebih dari itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien tentang perilaku nyeri mereka sendiri (Keefe at al, 2000 diambil dari Harahap, 2007). Bagaimanapun, keabsahan metode pengawasan diri pada peilaku nyeri kelihatanya akan berat sebelah atau tidak akurat karena pada umumnya pasien tidak mungkin selalu akurat dalam melaporkan perilaku mereka sendiri ( Turk & Flor, 1978 diambil dari Harahap, 2007).

(32)

Moores & Watson (2004 diambil dari Harahap, 2007) menggunakan Metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada pertanyaan atau wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga telah dikritik sebab pasien akan cinderung untuk memilih jawaban yang terbaik atau yang paling benar. Keterbatasa yang paln utama pada metode pertanyaan atau wawancara adalah bahwa tidak mengamati perilaku itu sendiri secra langsung.

Saat ini metode untuk mengukur perilaku nyeri adalah metode pengamatan secara langsung atau tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pada dasar pemikiran bahwa perilaku nyeri itu adalah tampak dan jelas. Dalam pengamatan langsung perilaku nyeri biasanya berdasarkan pada keahlian dan berdasarkan pada sebuah pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada pengamatan yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara tidak langsung kelihatanya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari ituu kapan pasien mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka mungkin akan memanipulasi peilaku mereka, terutama sekali dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond (1999 diambil dari Harahap, 2007), alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri haruslah mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh pasien, hemat biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan langsung kelihatanya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih mudah digunakan (Harahap, 2007). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode pengamata langsung.

(33)

Pada metode pengamatan ini, biasanya pasien diminta untuk melakukan beberapa aktivitas yang telah diinstruksikan dalam protokol yang sudah di standarisasi. Penggunaan protokol yang telah distandarisasi ini pertama sekali dikembangkan oleh Keefe dan block pada tahun 1982. Keefe dan Block menetapkan serangkaian aktivitas seperti duduk, berdiri, berbaring dan berjalan. Aktivitas ini akan diulangi sebanyak dua kali. Ketika pasien melakukan aktivitas ini lima parameter perilaku nyeri yang dapat diamati adalah guarding, braching, rubbing, grimaching and sighing, kelima parameter inilah yang nantinya akan diamati (Harahap, 2007)

Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan perilaku nyeri protocol obsrvasi (PBOP) yang telah distandarisasikan oleh Keefe dan Block pada tahun 1982. PBOP terdiri dari lima parameter perilaku nyeri dan dirating dalam 3 poin likert-skale (0 = tidak ada nyeri, 1 = sering dan 2 = selalu). Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut diatas. Skor tertinggi (10) mengidentifikasi level perilaku nyeri yang tinggi. Serial aktivitas protokol Keefe dan Block yang telah distandarisasi ini akan diadaptasikan selama 10 menit. Protokol aktivitas ini meliputi ; duduk untuk periode satu menit dan lagi selama 2 menit, berdiri untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berbaring untuk periode satu menit dan lagi selama 1 menit kedua, dan berjalan untuk 1 menit dan lagi satu menit kedua. Pendeskripsian dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut adalah : (1) guarding yang mana mengacu kepada penjagaan area tubuh yang sakit, (2) braching yang mana mengacu pada kekakuan tubuh yang tidak normal, menyela atau pergerakan yang kaku, (3) rubbing yang mana mengacu pada sentuhan atau rabaan pada bagian

(34)

tubuh yang sakit, (4) grimacing yang mana mengacu pada guratan wajah dalam mengekspresikan rasa nyeri seperti, kening berkerut, menyipitkan mata, mengatupkan bibir, menyingkap sudut mulut dan merapatkan gigi, (5) sighing yang mengacu kepada pernafasan atau menghela nafas (Harahap, 2007).

Gambar

Tabel : Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis

Referensi

Dokumen terkait

Namun diketahu bahwa terdapat mahasiswi Universitas Padjadjaran yang telah mengemban tanggung jawab lain selain sebagai mahasiswi, yaitu menjadi seorang istri karena telah

Penelitian terdahulu mengenai aktivitas antimalaria dari tumbuhan cempedak yang dilakukan oleh Utomo (2003) dan Hidayati (2004), menunjukkan bahwa ekstrak metanol

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

M eteorologi mengenal sistem skala dalam melakukan sebuah analisis. Skala global merupakan skala meteorologi yang paling luas. Skala global dapat mempengaruhi fenomena meteorologi

Tombol reset dapat bekerja sesuai dengan yang diharapkan [√] diterima [ ] ditolak Klik gambar pensil Menampilkan data debitur untuk dapat diedit pada bagian yang

Pada foto Rontgen kepala polos lateral, tampak kepala yang membesar dengan disproporsi kraniofasial, tulang yang menipis dan sutura melebar 5 , yang menjadi alat

eksorsis umumnya bukan imam, tetapi sekarang yang dapat melakukan eksorsisme resmi hanya seorang imam. Tetapi itu pun tidak setiap imam, hanya imam yang telah ditunjuk uskup