• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Umum Habitat

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan hutan hujan tropis primer yang sebagian besar merupakan areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Teluk Nauli. Namun sampai saat ini belum dilakukan eksploitasi terhadap vegetasi yang terdapat dalam area tersebut karena kondisi topografi yang tidak memungkinkan untuk kegiatan HPH. Areal penelitian Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat terletak pada ketinggian 800-1200 mdpl sehingga dapat dikategorikan kedalam tipe hutan peralihan antara ekosistem hutan perbukitan tengah (medium elevation hills) dan hutan sub-montana berdasarkan zona altitudinal dari permukaan laut (Laumonier 1997). Sedangkan berdasarkan zona floristik kawasan tersebut dapat dikategorikan kedalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas dan hutan Fagaceae-Lauraceae (Whitemore 1975).

Tipe Habitat yang teramati dalam kawasan hutan areal penelitian tersebut dapat dibedakan berdasarkan struktur dan komposisi vegetasinya. Terdapat tiga tipe habitat utama dalam kawasan tersebut yaitu hutan Dipterocarpaceae atas (upper Dipterocarp forest), hutan gambut (peat forest) dan hutan peralihan

hill-montana (Wijiarti 2009; Wich et al. 2003). Ketiga tipe hutan tersebut dalam

pembahasan berikutnya disebut dengan formasi hutan peralihan hill-montana (FHHM), formasi hutan gambut (FHG) dan formasi hutan Dipterocarpaceae atas (FHDA).

Ketiga formasi hutan di areal penelitian tersebar dalam tiga wilayah besar yaitu formasi hutan hill-montana (FHHM) di area sebelah timur-utara, formasi hutan gambut (FHG) di area selatan-barat daya dan formasi hutan Dipterocarpaceae atas (FHDA) di area sebelah barat-barat laut lokasi penelitian (Gambar 7). Penggambaran kondisi vegetasi ketiga tipe habitat tersebut disajikan pada Gambar 8.

(2)

Gambar 7 Sketsa lokasi pembagian ketiga tipe habitat ungko dan siamang di KHBTBB.

Gambar 8 Tipe formasi hutan di KHBTBB berdasarkan jenis vegetasi. Ket: (a) formasi hutan hill-montana; (b) formasi hutan gambut dan (c) formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Hasil pengamatan vegetasi pada areal penelitian ini menunjukkan terdapat 216 jenis dari 50 famili pepohonan dengan jumlah individu sebanyak 1360 pohon pada plot contoh berukuran 1,5 ha untuk tiga tipe habitat yang berbeda. Hasil penelitian ini juga mengamati beberapa parameter umum yang menjadi karakteristik pada tiap tipe habitat tersebut, antara lain jumlah famili dan spesies vegetasi, rerata diameter setinggi dada, rerata tinggi total pohon dan beberapa parameter lainnya (Tabel 2).

(3)

Tabel 2 Beberapa parameter umum vegetasi pada tiga tipe habitat di KHBTBB Tipe Hutan ∑Famili ∑ Jenis DBH (cm) TTP (m) K (ind/ha) LBDS (m2) FHHM 37 100 22,51± 12,84 19,92± 6,21 888 23,32 FHG 34 102 21,28± 12,51 18,63± 5,65 1016 24,28 FHDA 39 134 24,82± 20,66 19,57± 6,56 816 33,30 Batang Toru 50 216 22,71±15,56 19,60±6,30 907 80,89 Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut;

FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; DBH= rerata diameter setinggi dada; TTP= rerata tinggi total pohon; K= kelimpahan; LBDS= luas bidang dasar.

Ketiga formasi hutan yang teramati secara umum memiliki kemiripan satu dengan lainnya berdasarkan beberapa nilai parameter umum yang teramati. Namun formasi hutan Dipterocarpacae atas (FHDA) merupakan tipe habitat yang memiliki nilai parameter umum tertinggi dibandingkan dengan lainnya. Pendugaan mengenai karakteristik parameter umum vegetasi di kawasan hutan tersebut akan dibahas secara lebih rinci pada sub-bab pembahasan selanjutnya.

Hasil analisis data memberikan beberapa nilai indeks untuk ketiga tipe formasi hutan yang teramati yaitu indeks keanekaragaman jenis pohon Shanon-Wiener, kemerataan jenis Shanon-Shanon-Wiener, kekayaan jenis Margalef dan kesamaan komunitas (similarity index). Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis pohon Shanon-Wiener, kemerataan jenis Shanon-Wiener, kekayaan jenis Margalef disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Indeks keanekaragaman jenis dan keseragaman jenis Shanon-Wiener pada ketiga tipe hutan di KHBTBB

Tipe Hutan H' H' max E’ R

FHHM 3,65 4,61 79,26% 16,24

FHG 3,22 4,63 69,62% 16,22

FHDA 4,42 4,90 90,24% 22,13

Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; H’= indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener; H’ max= nilai maksimum H” di habitat; E’= Indeks kemerataan jenis Shanon-Wiener; R= Nilai kekayaan jenis Margalef.

Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) yang terdapat pada ketiga tipe habitat tersebut masing-masing sebesar 3,65 (FHHM), 3,22 (FHG) dan 4,42 (FHDA). Ketiga nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener masing-masing habitat termasuk kedalam kategori tinggi. Barbour et al. (1987) diacu dalam Simorangkir et al. (2009) menyebutkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis umumnya berkisar 0-7 dan memiliki beberapa kriteria yaitu rendah untuk H’=0-2;

(4)

sedang jika H’=2-3; dan tinggi jika H’>3. Tingginya nilai keanekaragaman jenis vegetasi untuk tiap formasi hutan di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat diduga merupakan implikasi dari kondisi biogeografisnya yang merupakan daerah peralihan kawasan biogeografis Danau Toba bagian utara dan kawasan biogeografis Danau Toba Bagian selatan (Perbatakusuma et al. 2006).

Indeks kemerataan jenis menunjukkan penyebaran individu spesies dalam komunitas. Nilai indeks kemerataan jenis (E’) berkisar antara nol sampai satu. Tabel 3 menunjukkan nilai kemerataan jenis untuk masing-masing tipe habitat sebesar 79,26% (FHHM), 69,62% (FHG) dan 90,24% (FHDA). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat penyebaran individu spesies vegetasi di ketiga tipe hutan tersebut cukup merata. Krebs (1978) menyebutkan bahwa nilai indeks kemerataan (E’) mendekati satu menunjukkan bahwa spesies yang terdapat dalam suatu komunitas semakin merata, sementara apabila nilai indeks kemerataan mendekati nol menunjukkan ketidakmerataan spesies dalam komunitas tersebut.

Indeks kekayaan jenis Margalef merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Seluruh tipe habitat yang teramati memiliki nilai kekayaan jenis yang tinggi. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R=3,5-5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R>5 kekayaan jenis tergolong tinggi.

Hasil analisis data juga menghasilkan indeks kesamaan komunitas bagi ketiga tipe habitat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat. Ketiga tipe habitat tersebut memiliki nilai kemiripan diatas 30% (Tabel 4).

Tabel 4 Indeks kesamaan komunitas (similarity index) pada ketiga tipe hutan di KHBTBB

FHHM FHG FHDA

FHHM 48,51% 47,86%

FHG 39,83%

FHDA

Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Nilai indeks kesamaan yang bervariasi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya pada lokasi penelitian, menunjukkan terdapatnya susunan

(5)

(struktur dan komposisi) tumbuhan untuk masing-masing komunitas tersebut. Nilai indeks kesamaan komunitas antara masing-masing tipe habitat yang teramati yaitu 48,51% (FHHM-FHG), 47,86 % (FHHM-FHDA) dan 39,83 % (FHG-FHDA), menunjukkan tingkat kesamaan jenis pada masing-masing habitat yang dibandingkan. Nilai tersebut juga menggambarkan sekurang-kurangnya terdapat 40% organisme spesies yang sama dan terdapat di dua habitat yang dibandingkan. Kesamaan spesies antar komunitas termasuk kedalam kategori tidak mirip atau spesifik lokal. Hal ini didasarkan atas Suin (2002) diacu dalam Astuti (2010) yang menyebutkan tingkat pengelompokkan tipe komunitas dapat dikategorikan menjadi empat tingkat yaitu sangat tidak mirip (IS≤25%), tidak mirip (25%<IS≤50%), mirip (50%<IS<75%) dan sangat mirip (IS ≥ 75%).

5.2 Struktur Vegetasi 5.2.1 Kerapatan vegetasi

Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaaan jenis vegetasi yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi pada tiap tipe habitat yang teramati. Pada tipe hutan peralihan hill-montana, jenis Campnosperma auriculatum dari famili Anacardiaceae merupakan jenis yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi yaitu 66 individu/ha atau 7,43% dari keseluruhan plot di tipe habitat tersebut. Jenis Madhuca laurifolia dari famili Sapotaceae merupakan spesies yang memiliki nilai kerapatan tertinggi pada tipe habitat hutan gambut dengan nilai 202 individu/ha atau 19,88 % dari keseluruhan individu yang terdapat dalam plot tipe habitat tersebut. Jenis Gironniera subequalis dari famili Ulmaceae merupakan jenis vegetasi yang memiliki nilai kerapatan tertinggi pada tipe habitat hutan Dipterocarpaceae atas dengan nilai kerapatan 54 individu/ha atau 6,62% dari keseluruhan individu yang teramati pada tipe habitat tersebut (Tabel 5).

Ketiga tipe habitat yang teramati memiliki kesamaan terhadap jenis

Palaquium rostratum, yang merupakan jenis pohon pakan bagi ungko dan

siamang, yang termasuk kedalam lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi di masing-masing tipe habitat (Tabel 5). Selain itu hampir disemua tipe habitat yang teramati terdapat jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang yang termasuk kedalam lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan relatif tertinggi seperti jenis Anacardiaceae Campnosperma auriculatum pada tipe hutan peralihan

(6)

hill-montana dan Sapotaceae Madhuca laurifolia pada tipe habitat hutan gambut.

Hal ini menunjukkan ketiga tipe habitat tersebut memiliki potensi sumberdaya pohon pakan yang cukup tinggi untuk mendukung kehidupan kedua jenis Hylobatidae tersebut di area penelitian ini.

Tabel 5 Daftar lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi pada tiap tipe habitat di KHBTBB Famili Jenis Individu K (ind/ha) KR (%) FHHM

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 33 66 7,43%

Theaceae Schima walichii 32 64 7,21%

Myrsinaceae Labisia pumila 30 60 6,76%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 24 48 5,41%

Unknown Unknown 16 32 3,60%

FHG

Sapotaceae Madhuca laurifolia** 101 202 19,88%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 70 140 13,78%

Myrtaceae Tristaniopsis whiteana 28 56 5,51%

Myrtaceae Syzygium sp. 36 19 38 3,74%

Anacardiaceae Gluta aptera 18 36 3,54%

FHDA

Ulmaceae Gironniera subaequalis* 27 54 6,62%

Myrtaceae Syzygium napiformis 17 34 4,17%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 16 32 3,92%

Rubiaceae Diplospora cf. malaccensis 15 30 3,68%

Rhizophoraceae Carallia eugenioidea 13 26 3,19%

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang.

5.2.2 Frekuensi jenis vegetasi

Frekuensi jenis vegetasi dapat didefinisikan sebagai banyaknya jumlah plot pengamatan temat ditemukannya suatu spesies vegetasi dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi tertinggi pada masing-masing tipe habitat. Jenis Ancardiaceae

Campnosperma auriculatum, Theaceae Schima wallichii dan Sapotaceae Palaquium rostratum merupakan jenis vegetasi yang memiliki sebaran populasi

terluas pada formasi hutan perlaihan hill-montana. Ketiga jenis tersebut ditemukan pada tiap plot pengamatan di tipe habitat tersebut.

Formasi hutan gambut yang terdapat dalam kawasan hutan Batang Toru memiliki lima jenis vegetasi yang sebaran populasinya dapat ditemuka hampir di tiap plot pengamatan. Jenis-jenis tersebut antara lain Sapotaceae Madhuca

(7)

Icacinaceae Stermonurus malaccensis dan Anacardiaceae Campnosperma

auriculatum. Tiga dari lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi relatif

tertinggi pada formasi hutan gambut merupakan jenis vegetasi sumber pakan ungko dan siamang. Hal mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan bagi ungko dan siamang di tipe hutan tersebut tersebar hampir di setiap area.

Formasi hutan Dipetrocarpaceae atas memiliki sruktur frekuensi vegetasi yang berbeda dengan kedua tipe hutan lainnya. Hal ini ditandai dengan tidak terdapatnya jenis dari famili Sapotaceae yang termasuk kedalam vegetasi yang memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi. Terdapat tiga jenis vegetasi yang memiliki sebaran terluas dalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas yaitu Ulmaceae Girroniera subequalis, Myrtaceae Syzigium napiformis dan Rubiaceae

Diplospora cf malaccensis (Tabel 6).

Tabel 6 Daftar lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi tertinggi pada masing-masing tipe habitat di KHBTBB

Famili Jenis ∑ Plot F FR (%)

FHHM

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 5 1 2,66%

Theaceae Schima walichii 5 1 2,66%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 5 1 2,66%

Icacinaceae Stermonurus scorpioides 4 0,8 2,13%

Myrsinaceae Labisia pumila 4 0,8 2,13%

FHG

Sapotaceae Madhuca laurifolia** 5 1 2,92%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 5 1 2,92%

Myrtaceae Syzygium sp. 36 5 1 2,92%

Icacinaceae Stemonurus malaccensis 5 1 2,92%

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 5 1 2,92%

FHDA

Ulmaceae Gironniera subaequalis* 5 1 2,28%

Myrtaceae Syzygium napiformis 5 1 2,28%

Rubiaceae Diplospora cf. malaccensis 5 1 2,28%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 4 0,8 1,83%

Rhizophoraceae Carallia eugenioidea 4 0,8 1,83%

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang.

Frekuensi dari suatu jenis spesies dapat menggambarkan sebaran jenis vegetasi tersebut di habitat yang teramati. Suin (2002) diacu dalam astuti (2010) menyatakan bahwa apabila nilai frekuensi suatu jenis vegetasi yang ditemukan tinggi, mengindikasikan jenis tersebut memiliki sebaran yang luas di habitat itu. Jenis vegetasi yang terdapat dalam suatu area pengamatan juga dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori berdasarkan nilai frekuensinya yaitu

(8)

jenis aksidental apabila nilai f= 0-0,25; jenis asesori f= 0,25-0,5; jenis konstan f= 0,5-0,75 dan jenis absolut f > 0,75 (Suin 2002, diacu dalam astuti 2010).

Terdapatnya beberapa jenis pohon sumber pakan diantaranya Anacardiaceae

Campnosperma auriculatum dan Sapotaceae Palaquium rostratum kedalam

kategori konstan dan absolut di tiap tipe habitat ungko dan siamang menunjukkan bahwa hampir di setiap area dalam tipe habitat yang teramati tersedia sumber pakan bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut.

5.2.3 Luas bidang dasar vegetasi

Salah satu parameter struktur hutan yang diukur dalam penelitian ini adalah luas bidang dasar per jenis vegetasi. Luas bidang dasar suatu jenis spesies dapat dijadikan indikator tingkat dominansi jenis tersebut di habitat yang teramati. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat lima jenis vegetasi pada masing-masing tipe habitat dengan nilai luas bidang dasar tertinggi (Tabel 7).

Tabel 7 Jenis vegetasi dengan Basal Area Tertinggi pada habitat Hylobatidae di KHBTBB

Famili Jenis LBDS (m2) DR (%)

FHHM

Myrsinaceae Labisia pumila* 2,74 11,76%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 2,21 9,47%

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 1,23 5,27%

Apocynaceae Kibatalia borneensis 0,78 3,36%

FHG

Sapotaceae Madhuca laurifolia** 4,44 18,32%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 2,61 10,80%

Araucariaceae Agathis borneensis** 1,75 7,21%

Myrtaceae Tristaniopsis whiteana 1,51 6,24%

Anacardiaceae Swintonia floribunda 1,35 5,59%

FHDA

Dipterocarpaceae Shorea platyclados 7,44 22,34%

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 2,91 8,74%

Annonaceae Polyalthia sumatrana 1,50 4,52%

Guttiferae Garcinia hombroniana* 1,24 3,72%

Fagaceae Lithocarpus rassa 1,2 3,59%

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang.

Terdapat perbedaan mekanisme pembentukan nilai basal area tertinggi antara satu tipe habitat dengan tipe habitat lainnya. Tabel 5 menunjukkan nilai luas bidang dasar spesies Dipterocarpaceae Shorea platyclados yang hanya terdapat di formasi hutan Dipterocarpaceae atas merupakan nilai tertinggi diantara seluruh vegetasi yang ditemukan di tiga habitat. Spesies tersebut hanya ditemukan

(9)

sebanyak 8 individu dalam 15 plot contoh pengamatan atau dengan kata lain rerata basal area untuk masing-masing individu jenis tersebut sebesar 0,93 m2 (diameter = 109 cm). Hal ini menunjukkan adanya diferensiasi karakteristik fisik pohon antara jenis Dipterocarpaceae dengan jenis lainnya, dimana jenis tersebut merupakan pohon memiliki diameter yang sangat besar. Myrisnaceae Labisia

pumila dan Sapotaceae Madhuca laurifolia yang menjadi spesies dengan LBDS

dominan di formasi hutan peralihan hill-montana dan hutan gambut, memiliki nilai tertinggi karena hasil akumulasi dari banyaknya individu yang terdapat dalam habitat tersebut.

Nilai luas bidang dasar vegetasi yang beragam pada tiap formasi hutan tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya pengaruh tempat hidup dan kemampuan berkompetisi antara satu jenis vegetasi dan jenis vegetasi lainnya. Jenis Myrisnaceae Labisia pumila, Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Dipterocarpaceae Shorea platyclados sebagai jenis vegetasi yang memiliki nilai basal area tertinggi di masing-masing habitat diduga memiliki dominansi yang kuat di habitatnya sehingga mampu untuk tumbuh hingga mencapai ukuran yang lebih besar dibanding jenis lainnya. Kemungkinan lain yang mempengaruhi tingginya nilai luas bidang dasar ketiga vegetasi dengan LBDS dominan tersebut adalah jenis dan umur pohon tersebut dialam. Hortson (1976) diacu dalam Astuti (2010) mengungkapkan selain faktor lingkungan (eksternal) yang mempengaruhi besarnya nilai basal area suatu jenis tumbuhan, terdapat juga faktor internal yang mempengaruhi hal tersebut yaitu jenis dan umur pohon.

5.3 Komposisi Jenis Vegetasi

Komposisi jenis vegetasi yang membentuk kawasan hutan penelitian ini secara umum memiliki perbedaan pada masing-masing tipe habitat. Pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaan jenis-jenis yang menjadi ciri khas bagi masing-masing formasi hutan. Beberapa jenis vegetasi yang menjadi ciri khas antara lain Sapotaceae Madhuca lauriofolia yang merupakan ciri bagi formasi hutan gambut dan Dipterocarpaceae Shorea platyclados bagi formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Seluruh hasil pengamatan terhadap komposisi jenis vegetasi disajikan pada Tabel 8.

(10)

Tabel 8 Komposisi vegetasi pada masing-masing tipe habitat di KHBTBB

Parameter Formasi Hutan

FHHM FHG FHDA

∑ Famili 37 34 39

∑ Jenis 100 102 134

Famili Lauraceae Myrtaceae Lauraceae

Dominan Myrtaceae Lauraceae Myrtaceae

(Jumlah jenis) Sapotaceae Fagaceae Fagaceae

Fagaceae Sapotaceae Flacourtiaceae

Annonaceae Icacinaceae Euphorbiaceae

Jenis Myrsinaceae Sapotaceae Dipterocarpaceae

Dominan L. pumila* M. laurifolia** S. platyclados

(INP) Sapotaceae Sapotaceae Ulmaceae

P. rostratum*** P. rostratum*** G. subequalis*

Anacardiaceae Myrtaceae Myrtaceae

C. auriculatum*** T. whiteana S. napiformis

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang.

Kawasan hutan peralihan hill-montana memiliki komposisi jenis vegetasi yang terbesar dari famili Lauraceae dengan jumlah jenis sebesar 14 jenis atau 14% dari keseluruhan jenis yang terdapat dalam tipe habitat ini. Beberapa jenis vegetasi dari famili Lauraceae yang terdapat dalam tipe habitat hutan peralihan

hill-montana antara lain Endiandra rubescens, Actinodaphne montana dan Cinnamomum iners. Famili vegetasi lain yang memiliki kelimpahan jumlah jenis

tertinggi dalam tipe hutan hill-montana yaitu Myrtaceae (10%), Fagaceae (8%), Sapotaceae (7%) dan Annonaceae (4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara altitudinal formasi hutan peralihan hill-montana yang terdapat di kawasan ini termasuk kedalam zona sub-montana forest. Laumonier (1997) menyebutkan terdapat beberapa famili yang menjadi karakteristik tegakan hutan sub-montana pada ketinggian 800-1400 mdpl di Pulau Sumatera yaitu Fagaceae, Lauraceae dan Myrtacaeae.

Formasi hutan gambut yang terdapat dalam kawasan ini bukan merupakan tipe hutan gambut yang tergenang oleh air rawa, melainkan hutan gambut kering. Formasi hutan ini ditandai dengan beberapa jenis vegetasi dengan jumlah individu yang dominan dari famili Sapotaceae seperti Maducha laurifolia ataupun

Palaquium rostratum, sehingga tutupan tajuk pepohonan yang terdapat dalam

(11)

bahwa jenis dari famili Sapotaceae yang memiliki daun berwarna kecoklatan seperti Madhuca spp. dan Palaquium spp. merupakan spesies yang dominan pada tipe hutan gambut. Hasil pengamatan menunjukkan walaupun Famili Sapotaceae memiliki jumlah individu yang dominan, namun famili tersebut bukanlah yang dominan dari segi jumlah jenis. Famili Myrtaceae (jambu-jambuan) merupakan famili yang memiliki jumlah jenis terbanyak dengan nilai relatif 20,59% dari keseluruhan jenis yang terdapat dalam tipe hutan tersebut. Beberapa spesies dari famili Myrtaceae yang memiliki kelimpahan terbanyak dalam tipe hutan gambut antara lain Myrtaceae Syzigium sp. 36 dan Tristaniopsis whiteana. Empat Famili lain yang memiliki jumlah jenis terbanyak dalam formasi hutan gambut Batang Toru antara lain Lauraceae (10,78%), Fagaceae (8,82%), Sapotaceae (6,86%), Icacinaceae (4,90%).

Komposisi jenis vegetasi pada formasi hutan Dipterocarpaceae atas (upper

Dipterocarpaceae forest) memiliki perbedaan dengan dua tipe formasi hutan

lainnya yaitu terdapatnya jenis Shorea platyclados dari famili Dipterocarpaceae. Secara umum famili vegetasi yang terdapat dalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas tidak berbeda jauh dari kedua tipe formasi hutan lain dengan Lauraceae sebagai famili vegetasi yang memiliki jumlah jenis terbanyak 12,69% dari seluruh jenis vegetasi yang terdapat dalam tipe hutan tersebut. Empat famili vegetasi lain yang memiliki jumlah jenis terbanyak dalam fomasi hutan Dipetrocarpaceae atas antara lain Myrtaceae (10,45%), Fagaceae (7,46%), Flacourtiaceae (5,97%) dan Euphorbiaceae (5,97%). Kawasan hutan Dipterocarpaceae atas biasanya ditandai dengan terdapatnya vegetasi dari Famili Dipterocarpaceae seperti tegakan Shorea

platyclados berukuran raksasa yang berasosiasi dengan beberapa jenis vegetasi

dari Famili lain yang dominan, contohnya Fagaceae dan Burseraceae (Laumonier 1997).

Hasil pengamatan yang tertera pada Tabel 6 juga menunjukkan terdapatnya potensi pohon sumber pakan yang termasuk kedalam tiga besar jenis dominan pada seluruh formasi hutan. Pada formasi hutan peralihan ketiga jenis vegetasi yang mendominasi kawasan tersebut seperti Myrisnaceae Labisia pumila, Sapotaceae Palaquium rostratum dan Anacardiaceae Campnosperma auriculatum merupakan jenis pepohonan yang berperan penting karena berpotensi sebagai

(12)

sumber pakan bagi ungko dan siamang (Nowak 2010). Selanjutnya jenis Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Palaquium rostratum merupakan jenis vegetasi yang berpotensi sebagai sumber pohon pakan pada formasi hutan gambut. Kelimpahan yang tinggi di tipe hutan tersebut untuk kedua jenis vegetasi ini akan berkorelasi positif terhadap keberadaan ungko dan siamang karena dapat menjamin ketersediaan pakan bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut.

5.4 Profil Habitat

5.4.1 Kelas strata dan tinggi pohon serta visualisasi tegakan

Sebaran individu pohon yang teramati pada masing-masing formasi hutan dikategorikan kedalam empat kategori berdasarkan kelas stratifikasi pohon yaitu strata A (kelas ketinggian >30 m), B (21-25 m dan 26-30 m), C (11-15 m dan 16-20 m) dan D (<10 m). Secara umum kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat memiliki nilai kelimpahan relatif stratifikasi pohon tertinggi pada kelas strata C dengan jumlah pohon 764 individu (56,18%). Tingkat nilai kelimpahan relatif stratifikasi selanjutnya yaitu Strata B 467 individu (34,34%), strata D 73 individu (5,36%) dan strata A 56 individu (4,12%).

Stratifikasi pada Formasi hutan peralihan hill-montana didominasi oleh pepohonan yang termasuk kedalam strata C dengan jumlah individu pohon sebanyak 220 atau 49,5% relatif terhadap keseluruhan individu yang teramati pada formasi hutan tersebut. Tingkat stratifikasi selanjutnya yang memiliki kelimpahan individu terbanyak berturut-turut pada formasi hutan peralihan hill-montana adalah kelas strata B (38,06%), strata D (7,2%) dan strata A (5,24%). Beberapa jenis vegetasi yang masuk kedalam kelas strata A pada habitat hutan peralihan

hill-montana antara lain Anacardiaceae Campnosperma auriculatum, Icacinaceae Platea latifolia dan Stermonurus scorpioides.

Stratifikasi pada formasi hutan gambut didominasi oleh pepohonan yang memiliki ketinggian kelas strata C dengan jumlah individu sebanyak 310 pohon (61,02%). Tingkat strata B (kelas tinggi 21-25 dan 26-30 meter) merupakan kelas stratifikasi yang memiliki kelimpahan individu tertinggi kedua dengan jumlah 170 pohon (33,46%), kemudian diikuti oleh tingkat strata D dengan 20 pohon (3,94%) pada urutan ketiga. Habitat formasi hutan gambut merupakan tipe habitat yang memiliki kelimpahan individu terkecil pada kelas strata A dibanding kedua tipe

(13)

habitat lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan hanya terdapat 8 individu pohon (1,57%) yang masuk kedalam kelas strata tersebut atau pepohonan yang memiliki tinggi >30 meter. Hal ini menunjukkan bahwa jarang terdapat pepohonan yang secara fisik memiliki ukuran raksasa pada tipe hutan tersebut. Beberapa jenis pepohonan tersebut yang memiliki ketinggian >30 meter antara lain Sapotaceae

Madhuca laurifolia, Casuarinaceae Gymnostoma Sumatrana dan Araucariaceae Agathis boornensis.

Hasil klasifikasi data dengan menggunakan rerata tinggi tajuk masing-masing famili pada formasi hutan Dipterocarpaceae atas diketahui famili yang dominan dalam strata hutan tersebut. Strata A yang terdiri atas pepohonan dengan tajuk lebih dari 30 meter di dominasi oleh famili Dipterocarpaceae yaitu dari jenis

Shorea platcylados. Selain itu terdapat beberapa jenis lain yang termasuk kedalam

strata tersebut seperti Annonaceae Polyalthia sumatrana dan Fagacaeae

Lithocarpus rassa. Susunan tajuk berikutnya yaitu strata B yang merupakan

pepohonan dengan ketinggian tajuk antara 21 sampai 30 meter didominasi oleh beberapa famili antara lain famili Flacourtiaceae, Burseraceae dan Fagaceae. Strata selanjutnya yaitu strata C dalam formasi hutan ini beberapa jenis famili diantaranya adalah Myrtaceae, Sapotaceae, Lauraceae, Euphorbiaceae dan Ulmaceae. Sedangkan untuk strata D yang merupakan tingkat paling bawah dalam tegakan hutan tersebut terdapat beberapa famili seperti Magnoliaceae dan Rhizoporaceae.

Seluruh hasil klasifikasi strata maupun kelas tinggi pohon di ketiga tipe habitat menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu kelimpahan pohon tertinggi pada kelas strata C dan terendah pada strata D. Hal ini menunjukkan kemungkinan Kawasasn Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan tegakan yang dihuni oleh pepohonan muda yang masih dalam pertumbuhan untuk mencapai tinggi pohon yang klimaks. Penggambaran ketersediaan ruang berdasarkan strata dan kelas tinggi pohon di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat disajikan pada Gambar 9 dan 10.

(14)

Gambar 9 Klasifikasi jumlah pohon berdasarkan strata tajuk pada tiap tipe habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Gambar 10 Klasifikasi jumlah pohon berdasarkan kelas ketinggian dari tanah pada habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan

hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan

Dipterocarpaceae atas.

Pola stratifikasi tajuk pepohonan pada tiap formasi hutan yang teramati memiliki kecenderungan yang sama yaitu kelimpahan yang rendah pada strata D, kemudian mencapai titik tertinggi pada kelas strata C dan menunjukkan kecenderungan yang menurun pada strata B dan A. Hal yang sama juga terjadi untuk stratifikasi berdasarkan kelas tinggi pohon. Proporsi individu pohon yang

23 169 220 32 8 170 310 20 25 128 234 21 0 50 100 150 200 250 300 350 A B C D J um la h po ho n Strata FHHM FHG FHDA 32 107 113 112 57 23 20 136 174 130 40 8 21 108 126 98 30 25 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0-10 11-15 16-20 21-25 26-30 >30 J um la h P o ho n Kelas Tinggi FHHM FHG FHDA

(15)

rendah ditunjukkan pada kelas ketinggian <10 meter, kemudian mengalami peningkatan kelimpahan individu pada kelas ketinggian 11-15 hingga mencapai puncak pada kelas ketinggian 16-20 meter dan kecenderungan kembali menurun pada kelas ketinggian selanjutnya. Kelimpahan individu pepohonan yang tinggi pada kelas strata B dan C atau pada kelas ketinggian 11-30 meter menunjukkan kesesuaian yang tinggi bagi keberadaan kedua jenis Hylobatidae terutama dalam mendukung aktivitas pergerakan mereka (Cannon & Leighton 1974; Gittins 1983; Chivers 1974). Profil vertikal habitat Hutan Batang Toru Bagian Barat disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Profil vertikal vegetasi pada tiga tipe habitat ungko dan siamang di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas. 5.4.2 Kelas diameter pohon

Hasil pengamatan pada semua tipe habitat menujukkan terdapat 10 kelas diameter pohon dengan jumlah kelas diameter terbesar ditemukan pada kelas diameter 10-19 cm sebanyak 762 individu pohon dan jumlah dengan individu pohon paling sedikit terdapat pada kelas diameter 60-69 cm. Sebaran pepohonan yang berdiameter besar dengan ukuran lebih dari 70 cm sangat minim sekali (jumlah individu <5) pada formasi hutan hill-montana dan formasi hutan gambut,

(16)

namun hal berbeda ditunjukkan oleh habitat formasi hutan Dipterocarpaceae atas yang memiliki jumlah individu yang cukup banyak pada tingkat sebaran kelas diameter tersebut. Gambaran mengenai sebaran kelas diameter pohon yang terdapat di ketiga tipe habitat tersebut disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Jumlah individu pohon berdasarkan kelas diameter pada tiap tipe habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan peralihan Hill-Montana; FHM= formasi hutan Gambut; FHDA=formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Sebaran kelas diameter pohon yang terdapat diketiga tipe habitat tersebut menggambarkan keadaan fisik pepohonan yang didominasi oleh pepohonan muda dan dalam masa pertumbuhan untuk mencapai klimaks. Tidak terdapat nilai signifikansi perbedaan yang tinggi bagi sebaran kelas diameter pohon untuk semua tipe habitat. Hal ini mengindikasikan kemiripan kelas diameter pohon yang dimiliki antara ketiga tipe habitat tersebut.

Kelas diameter ukuran diatas 80 cm yang secara fisik merupakan pohon raksasa didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae yang terdapat hanya di formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Sedangkan disisi lain untuk pepohonan yang memiliki diameter kurang dari 70 cm terdiri dari berbagai macam jenis vegetasi yang terdapat dalam ketiga tipe habitat, termasuk didalamnya pohon yang dimanfaatkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut khususnya sebagai sumber pakan yang banyak terdapat di formasi hutan peralihan hill-montana dan formasi hutan gambut. Mendominasinya sebaran pepohonan yang berdiameter kecil

243 100 54 23 15 5 3 297 117 53 22 12 6 2 217 107 45 27 11 5 13 0 50 100 150 200 250 300 350 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 >70 J um la h P o ho n Kelas Diameter FHHM FHG FHDA

(17)

hingga sedang, merupakan hal yang positif bagi keberadaan ungko maupun siamang. Cannon dan Leighton (1994) menyebutkan primata dari famili Hylobatidae banyak menggunakan pepohonan yang 32-63 cm untuk aktivitas sehari-hari mereka khususnya dalam melakukan perjalanan dihabitatnya.

Hasil penelitian ini juga menggambarkan kerapatan vegetasi yang terdapat dalam ketiga tipe habitat dikawasan hutan lindung Batang Toru Bagian Barat memiliki trend yang menurun secara eksponensial dari pohon berdiameter kecil ke besar seperti kurva “L” (Gambar 10). Hal ini mengindikasikan bahwa populasi vegetasi di kawasan hutan Batang Toru terdiri dari campuran seluruh kelas diameter dan didominasi oleh pepohonan muda yang masih dalam tingkat pertumbuhan (diindikasikan dengan ukuran diameter kecil), sehingga dapat menjamin keberlangsungan tegakan di masa mendatang.

Perbatakusuma et al. (2006) dan Syaukani et al. (2005) menyatakan tegakan hutan dengan distribusi diameter pohon seperti kurva “L” atau J terbalik disebut sebagai hutan tidak seumur dalam kondisi seimbang (balanced forest). Hutan dengan tegakan tidak seumur memiliki tingkat sensitivitas ekologi yang tinggi dan banyak jenis yang saat ini dijumpai di hutan Batang Toru diperkirakan akan hilang dari kawasan tersebut di masa mendatang, apabila hutan di kawasan ini mendapat gangguan, misalnya pembukaan hutan dengan skala luas.

5.4.3 Tutupan tajuk

Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya keragaman tingkat persentase tutupan tajuk pada tiap-tiap formasi hutan yang teramati. Formasi hutan peralihan

hill-montana merupakan tipe habitat yang memiliki persentase tutupan tajuk

pepohonan tertinggi yaitu 84,34% dari 5000 m2 area plot yang teramati. Selanjutnya formasi hutan gambut merupakan tipe habitat yang memiliki persentease tutupan tajuk tertinggi kedua. Dari luasan 5000m2 yang teramati terdapat 81,19% area yang ternaungi oleh tutupan tajuk. Formasi hutan Dipterocarpaceae atas memiliki persentase tutupan tajuk sebesar 78,51% dari keseluruhan 5000 m2 area yang teramati (Gambar 13).

(18)

Gambar 13 Diagram persentase tutupan tajuk pada tiap tipe hutan di habitat Hylobatidae KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan peralihan

Hill-Montana; FHM= formasi hutan Gambut; FHDA=formasi hutan

Dipterocarpaceae atas.

Formasi hutan Dipterocarpaceae atas merupakan kawasan yang tersusun atas pepohonan yang memiliki ukuran lebih besar dari formasi hutan lainnya (rerata diameter= 24,82± 20,66 cm). Hal tesebut seharusnya berkorelasi positif dengan kondisi fisik vegetasi yang merupakan pepohonan tinggi dan nilai tutupan tajuk yang tinggi. Namun dalam penelitian ini persentase tutupan tajuk yang dihasilkan oleh formasi hutan tersebut merupakan yang terendah dibanding kedua tipe habitat lainnya. Salah satu penyebab rendahnya persentase tutupan tajuk pada tipe habitat formasi hutan Dipterocarpaceae atas adalah terdapatnya pohon tinggi yang tumbang dan menimpa vegetasi lain disekitarnya. Hal ini menyebabkan terbukanya lahan yang cukup luas dalam habitat tersebut (Gambar 14).

84,34% 15,66% FHHM % Cover Area % Open Area 81,19 % 18,81 % FHG % Cover Area % Open Area 78,51% 21,49% FHDA % Cover Area % Open Area

(19)

Gambar 14 Pepohonan yang tumbang menyebabkan lahan terbuka dihabitat Hylobatidae Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat.

Persentase tutupan tajuk (crown cover area) erat kaitannya dengan tingkat keterbukaan lahan serta konektivitas antar tajuk dalam suatu tegakan. Terdapatnya ruang terbuka yang minim dalam suatu habitat hutan memberikan dampak positif bagi keberadaan kedua jenis Hylobatidae di habitat tersebut. Persentase tutupan area tajuk yang tinggi memberikan dukungan yang lebih terhadap pergerakan Hylobatidae terutama dalam meningkatkan konektivitas (crown overlapping) dan meminimalisir gap (jarak terbuka) antar tajuk sehingga dapat memudahkan dalam proses perjalanan (travelling) serta penjembatanan (bridging) antar pohon bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut. Ilustrasi tumpang tindih tajuk (crown

overlapping) di habitat Hylobatidae Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat

ditunjukkan oleh Gambar 15.

Gambar 15 Tajuk pepohonan yang overlapping di habitat Hylobatidae Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat.

(20)

5.5. Sebaran Populasi Ungko dan Siamang Berdasarkan Keberadaan Vegetasi

Sebaran populasi ungko dan siamang sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi di habitat mereka. Hasil pengamatan menunjukkan penyebaran ungko dan siamang yang terdapat dalam kawasan tersebut berdasarkan titik-titik perjumpaan langsung. Sebaran populasi ungko dan siamang yang teramati, terdapat paling banyak pada area plot sebelah timur kawasan tersebut yang didominasi oleh dua tipe habitat yaitu formasi hutan peralihan hill-montana dan formasi hutan gambut. Sedangkan untuk area plot sebelah barat yang merupakan formasi hutan Dipterocarpaceae atas memiliki sebaran populasi ungko dan siamang yang lebih sedikit (Gambar 16).

Gambar 16 Lokasi perjumpaan populasi ungko dan siamang serta sebaran plot pengamatan di area penelitian KHBTBB. Ket: Titik merah merupakan lokasi perjumpaan ungko dan titik hijau lokasi perjumpaan siamang.

(21)

Peta yang ditunjukkan oleh Gambar 16, memperlihatkan bahwa titik-titik perjumpaan terbanyak terdapat di area timur dan selatan kawasan penelitian, yaitu disekitar formasi hutan peralihan hill-montana (plot 9,14,15,17) dan formasi hutan gambut (plot 7,8,10). Namun di bagian timur area penelitian juga ditemukan satu plot vegetasi yang memiliki kemiripan jenis vegetasi dengan formasi hutan Dipterocarpaceae dan di sekitar plot tersebut terdapat beberapa kelompok ungko dan siamang atas yaitu plot 13. Selain peta perjumpaan secara langsung, sebaran populasi ungko dan siamang khususnya untuk wilayah plot bagian timur dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (Gambar 17 dan 18). Tumpang tindih populasi ungko dan siamang berdasarkan beberapa kelompok yang telah teridentifikais tertinggi, berada di sekitar wilayah timur stasiun penelitian khususnya di area formasi hutan peralihan hill-montana dan formasi hutan gambut. Hal ini diduga berkaitan dengan keberadaan sumberdaya vegetasi yang dapat mendukung kehidupan kedua jenis Hylobatidae tersebut.

Gambar 17 Sebaran populasi kelompok ungko yang telah teridentifikasi di wilayah stasiun penelitian KHBTBB (Nowak 2010; Mubarok in

(22)

Kondisi vegetasi, baik secara struktur fisik maupun produksi buah sumber pakan yang dihasilkan, sangat erat kaitannya dengan sebaran populasi ungko dan siamang di suatu habitat. Hampir disetiap tipe habitat dalam areal penelitian ini ditemukan populasi ungko dan siamang. Hal ini diduga karena ketiga formasi hutan tersebut secara struktur fisik vegetasi memiliki rerata nilai tutupan tajuk (kanopi) yang kontinyu pada selang antara 10 meter sampai 30 meter, yang mengindikasikan bahwa semua tipe habitat tersebut mampu mendukung keberadaan ungko dan siamang untuk hidup secara arboreal dan melakukan aktivitas lokomotor. Jhons (1986) diacu dalam Hammard et al. (2009) menyebutkan suatu habitat yang memiliki ketinggian rata-rata kanopi pada 20 meter diatas tanah merupakan habitat yang suitable (cocok) untuk mendukung kehidupan arboreal suatu jenis Hylobatidae.

Gambar 18 Sebaran populasi kelompok siamang yang telah teridentifikasi di wilayah stasiun penelitian KHBTBB (Nowak 2010; Mubarok in

press).

Sebaran populasi ungko dan siamang juga dipengaruhi oleh sebaran pohon sumber pakan kedua jenis Hylobatidae tersebut. Semua tipe habitat yang terdapat dalam kawasan ini menyediakan berbagai jenis sumber pohon pakan, sehingga

(23)

memungkinkan untuk medukung keberadaan ungko dan siamang menghuni tipe habitat tersebut. Pada bagian timur area penelitian ini terdapat banyak jenis serta kelimpahan individu pohon yang merupakan sumber pakan bagi ungko dan siamang seperti jenis Anacardiaceae Campnosperma auriculatum dan Sapotaceae

Palaquium rostratum. Sedangkan di bagian barat area penelitian ini yang

merupakan formasi hutan Dipterocarpaceae atas hanya jenis Sapotaceae

Palaquium rostratum yang termasuk pohon sumber pakan yang memiliki

kelimpahan populasi yang tinggi. Namun terdapat beberapa jenis pohon pakan lain seperti Ulmaceae Girroniera subequalis, Fagaceae Lithocarpus spp. dan Flacourtiaceae Hydnocarpus spp. (Nowak 2010). Pemanfaatan vegetasi sebagai sumber ungko dibahas pada sub-bab berikutnya.

5.6 Pemanfaatan Vegetasi Oleh Kedua Jenis Hylobatidae

5.6.1 Pemanfaatan ruang berdasarkan klasifikasi strata dan kelas tinggi pohon

Salah satu aspek terpenting dalam studi habitat primata adalah mengetahui penggunaan ruang berdasarkan strata dan ketinggian dari tanah. Studi tersebut penting dilakukan untuk menjelaskan pola penggunaan ruang pada habitat mereka (Li 2007). Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaan nilai yang minim dalam penggunaan ruang antara jenis Hylobates agilis dan Symphalangus

syndactylus berdasarkan klasifikasi strata. Selama pengamatan berlangsung

tercatat 86 individu ungko dijumpai dalam kawasan tersebut, sedangkan untuk siamang hanya dijumpai sebanyak 45 individu. Hasil pengamatan juga menunjukkan kelimpahan relatif penggunaan ruang pada vegetasi oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut. Terdapat kesamaan posisi ruang yang dimanfaatkan secara dominan oleh kedua kedua jenis Hylobatidae tersebut yaitu pada kelas strata B dan pada kelas ketinggian pohon 20-25 meter. Sedangkan strata D atau kelas ketinggian pohon 0-10 meter, merupakan kelas strata hutan yang tidak pernah digunakan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut di habitatnya dengan persentase pemanfaatan yang teramati sebesar 0,0% (Gambar 19 dan 20).

(24)

(a) (b)

Gambar 19 Kelimpahan relatif pemanfaatan ruang berdasarkan strata vegetasi oleh ungko dan siamang. Keterangan: (a) pemanfaatan ruang oleh ungko; (b) pemanfaatan ruang oleh siamang.

(a) (b)

Gambar 20 Kelimpahan relatif pemanfaatan ruang berdasarkan kelas tinggi pohon oleh ungko dan siamang. Keterangan: (a) pemanfaatan ruang oleh ungko; (b) pemanfaatan ruang oleh siamang.

Metode penghitungan dengan menggunakan analisis Jacob’s D value index dan crosstabs perangkat lunak SPSS 16.0 untuk menghitung penggunaan ruang berdasarkan kelas strata pepohonan antara ungko dan siamang menunjukkan nilai yang tidak memiliki perbedaan yang nyata (Value=5,69; df=4; Sig=0,225). Kedua jenis Hylobatidae tersebut memiliki preferensi pemanfaatan ruang yang sama di habitat yaitu prefensi yang tinggi pada kelas strata B dan tidak memiliki preferensi pemanfaatan pada kelas strata D (D=-1) (Gambar 21).

Pemanfaatan ruang tidak hanya dapat dikategorikan berdasarkan kelas strata hutan yang terdapat dalam habitat jenis Hylobatidae, namun juga dapat diperinci dengan menggunakan klasifikasi ketinggian dari tanah (height above ground).

Strata A 4% Strata B 67% Strata C 29% Strata D 0% Strata A 2% Strata B 69% Strata C 29% Strata D 0% 10-15 m 0% 15-20 m 29% 20-25 m 53% 25-30 m 16% >30 m 2% 10-15 m 9% 15-20 m 20% 20-25 m 49% 25-30 m 19% 30-35 m 3%

(25)

Hasil analisis data dengan menggunakan Jacob’s D value index menunjukkan persamaan penggunaan ruang pada ungko dan siamang.

Gambar 21 Grafik Jacob’s D value index pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang berdasarkan klasifikasi strata pohon.

Kedua jenis Hylobatidae tersebut tidak memiliki preferensi penggunaan ruang (D=-1) pada kelas ketinggian 0-10 m. Sedangkan tingkat preferensi penggunaan ruang yang tinggi (Skala 0-1) pada kedua jenis Hylobatidae tersebut ditunjukkan pada kelas ketinggian 21-30 meter. Perbedaan preferensi pemanfaatan ruang ditunjukkan pada kelas ketinggian 11-15 meter, dimana ungko masih memanfaatkan kelas ketinggian tersebut walaupun dalam tingkat yang rendah sedangkan untuk siamang tidak pernah menggunakan kelas ketinggian tersebut (D=-1) (Gambar 22).

Hasil penghitungan tersebut menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan dalam pemanfaatan ruang antara ungko dan siamang berdasarkan kelas strata pohon. Namun jika diklasifikasikan lebih jauh dengan menggunakan kelas tinggi pohon, ungko memiliki variasi yang lebih luas ketimbang siamang dalam pemilihan ruang. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya posibilitas tingkat adaptasi yang lebih tinggi pada ungko, khususnya dalam variasi pemanfaatan ruang dalam mendukung mobilitasnya.

-0,22 0,57 -0,47 -1,00 -0,08 0,59 -0,52 -1,00 -1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 A B C D Siamang Gibbon Kelas Strata

(26)

Gambar 22 Grafik Jacob’s D value index pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang berdasarkan klasifikasi kelas tinggi pohon.

Variasi aktivitas ungko dan siamang yang teramati dikategorikan kedalam lima kategori yaitu calling (panggilan), defecating (membuang kotoran), eating (makan), moving (bergerak) dan resting (beristirahat). Persentase aktivitas terbesar yang ditemukan adalah bergerak (moving) yaitu 53,3% pada ungko dan 43,8% pada siamang. Persentase kelimpahan relatif aktivitas yang teramati disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Kelimpahan relatif aktivitas oleh ungko dan siamang berdasarkan perjumpaan. Keterangan: (a) aktivitas ungko; (b) aktivitas siamang. Aktivitas moving (bergerak) merupakan aktivitas yang memiliki persentase relatif yang tertinggi diantara aktivitas lainnya. Tingginya nilai aktivitas bergerak yang ditunjukkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut diduga merupakan salah satu bentuk predator avoidence (penghindaran predator) terhadap keberadaan

-1,00 -1,00 0,03 0,54 0,19 -0,23 -1,00 -0,54 -0,28 0,48 0,38 -0,08 -1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 0-10 11-15 16-20 21-25 26-30 >30 Siamang Gibbon Calling 15,1% Defecate 1,2% Eating 22,1% Moving 53,5% Resting 8,1% (a) Calling 16,7% Defecate 0,0% Eating 33,3% Moving 43,8% Resting 6,3% (b)

(27)

pengamat, karena secara umum seluruh populasi ungko dan siamang yang terdapat dalam kawasan tersebut belum terhabituasi dengan keberadaan manusia. Selain itu hasil tersebut juga menunjukkan tingginya aktivitas mencari makan dan

calling pada saat perjumpaan dengan kedua jenis Hylobatidae tesrebut. Hal ini

dikarenakan waktu perjumpaan antara pengamat dan kedua jenis Hylobatidae tersebut banyak terjadi di pagi hari. Chivers (1974) dan Palombit (1997) menyebutkan bahwa aktivitas tertinggi ditunjukkan oleh jenis Hylobatidae pada saat pagi hingga siang hari.

Penggunaan ruang pepohonan berdasarkan klasifikasi strata dan ketinggian dari tanah diduga erat kaitannya dengan ukuran tubuh dan kemampuan vegetasi dalam mendukung Hylobatidae untuk menghindar dari predator. Li (2007) menyebutkan terdapat dua faktor yang menentukan penggunaan ruang oleh suatu jenis primata yaitu faktor ekologi dan faktor morfologi. Faktor ekologi meliputi tingkat ancaman dari predator, jenis primata lain yang berkompetisi dalam sumberdaya yang sama, distribusi sumberdaya dan struktur habitat. Sedangkan faktor morfologi berkaitan dengan ukuran tubuh serta karakteristik tungkai suatu jenis primata.

Pengamatan menunjukkan tingkat penggunaan ruang yang sangat rendah pada strata D atau ketinggian 0-11 meter dari tanah oleh kedua jenis Hylobatidae. Hal ini diduga berkaitan dengan struktur vegetasi komponen pembentuknya yaitu kemampuan batang atau cabang pohon yang didominasi oleh pepohonan berfisik kecil dalam mendukung pergerakan kedua satwa tersebut. Karakteristik morfologi ungko yang memiliki bobot tubuh antara 5-6 kg dan siamang yang memiliki bobot tubuh 9-11 kg tentunya akan sulit ditopang oleh pepohonan dalam strata D yang secara fisik memiliki dahan atau percabangan dengan ukuran yang lebih kecil ketimbang dahan-dahan yang terdapat dalam tajuk strata yang lebih tinggi. Selain itu apabila kedua jenis satwa tersebut melakukan pergerakan tentunya dahan/cabang yang terletak di tingkat strata yang lebih tinggi akan memberikan dukungan melalui tingkat kekokohannya sebagai landasan untuk melompat (leaping) ataupun berjalan (walking/brachiating).

Salah satu faktor pembatas dalam pergerakan primata di pepohonan adalah tingkat kelenturan batang (stem pliability) (Dunbar & Badam 2000). Batang atau

(28)

cabang pada pepohonan muda yang terdapat pada strata D tentunya memiliki tingkat kelenturan yang lebih tinggi dibanding kelas strata lainnya, hal ini akan menjadi masalah bagi pergerakan ungko dan siamang. Apabila batang tersebut terlalu lentur, akan mudah patah akibat tidak dapat menahan bobot kedua jenis Hylobatidae ketika bergerak.

Jenis Hylobatidae menurut Jhons (1986) diacu dalam Hammard et al. (2009) merupakan satwa yang secara ekslusif hidup arboreal dan menggunakan kanopi tajuk pepohonan yang kontinyu untuk melakukan pergerakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cannon dan Leighton (1994) dan Cheyne (2010) menyebutkan bahwa jenis ungko tidak memanfaatkan strata tajuk dan kelas ketinggian yang terendah dari tanah (<11 m). Nowak (1999) menyebutkan bahwa siamang memiliki preferensi yang tinggi pada kelas stratifiaksi B, khususnya pada kelas ketinggian 25-30 meter. Kelimpahan aktivitas yang tinggi pada strata C dan B (main canopy dan higher canopy) dari tanah, yang mengindikasikan struktur vegetasi pada strata tersebut memiliki kelimpahan dan kontinyuitas yang cukup tinggi, sehingga memudahkan ungko dan siamang dalam melakukan aktivitas bergerak (travelling) dan mencari makan (foraging). Kontinyuitas tajuk dan keberadaan ruang terbuka (gap) antar tajuk pepohonan merupakan salah satu faktor penting bagi pergerakan ungko dan siamang (Cannon & Leighton 1994).

Pemanfaatan ruang yang tinggi pada kedua kelas strata tersebut erat kaitannya dengan sebaran posisi sumber pakan di pepohonan. Jenis-jenis pohon pakan ungko dan siamang seperti Palaquium rostratum, Campnosperma

auriculatum dan Ficus sp., merupakan pepohonan yang banyak terdapat di kelas

klasifikasi tersebut. Faktor ini tentunya secara langsung akan memberikan kontribusi yang tinggi dalam pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang untuk kedua kelas strata tersebut. Gittins (1983) dalam hasil penelitiannya menyebutkan sebaran posisi sumber pakan Hylobatidae biasanya terdapat pada kelas kanopi atau strata utama (main canopy).

Ungko dan siamang dalam penelitian ini juga tercatat memanfaatkan ruang pada strata A (ketinggian >30 m) yang secara struktur merupakan pepohonan yang memiliki tajuk diskontinyu (emergents layer). Penggunaan ruang strata tertinggi tersebut salah satunya sebagai tempat melakukan calling di pagi hari.

(29)

Tercatat salah satu kelompok ungko yang berada di transek JMK 2125 menggunakan tajuk teratas pada pohon dengan ketinggian 31,5 meter sebagai tempat untuk calling. Hammard et al. (2009) menyebutkan bahwa jenis Hylobatidae termasuk ungko dan siamang lebih menyukai menggunakan strata yang lebih tinggi untuk melakukan panggilan. Hal ini dilakukan oleh jenis Hylobatidae untuk meningkatkan jarak suara panggilan mereka agar dapat terdengar lebih jauh oleh kelompok Hylobatidae lainnya (Gittins 1983). Berikut ini ilustrasi pemanfaatan ruang pada tajuk pepohonan oleh kedua jenis Hylobatidae di habitatnya (Gambar 24).

Gambar 24 Dua jenis Hylobatidae dalam pemanfaatan tajuk di habitatnya. Ket: (A) Seekor Hylobates agilis meng-observasi pengamat dari atas tajuk pohon Casuarina sumatrana; (B) Seekor Symphalangus

syndactylus sedang makan di tajuk teratas pohon Campnosperma auriculatum.

Strata tajuk yang memiliki kontinyuitas yang tinggi dapat mengindikasikan bahwa terdapat banyak tajuk yang rimbun dan saling meliputi satu pohon dengan pohon lainnya, sehingga memberikan cover yang lebih aman bagi keberadaan Hylobatidae. Tajuk yang rimbun dapat memaksimalkan fungsi cover bagi keberadaan Hylobatidae. Ungko dan siamang cenderung untuk berlindung dalam tajuk yang rimbun ketika waktu hujan, sehingga sulit bagi pengamat untuk menemukan kedua jenis Hylobatidae tersebut pada saat cuaca hujan. Hal ini diduga karena ungko dan siamang menggunakan vegetasi sebagai tempat berlindung kondisi cuaca sekitar lingkungan. Weddel (2002) menyatakan dalam keadaan dingin, fungsi perlindungan tajuk dari suatu jenis vegetasi terhadap

(30)

hewan berdarah panas seperti jenis Hylobatidae dapat berupa penjagaan suhu tubuh agar tetap hangat. Hal ini dapat terjadi melalui tiga langkah yaitu tajuk vegetasi mampu menghalangi masuknya angin serta dapat menahan butiran air hujan sehingga mencegah udara dingin menyerang satwaliar (Gambar 25). Vegetasi juga mampu memberikan perlindungan bagi satwaliar ketika cuaca panas dengan menyediakan bayangan dari naungan serta memberikan kemudahan bagi aliran udara. Hal ini akan mempengaruhi satwa agar dapat meminimalisir panas yang didapat dan memaksimalkan kehilangan panas tubuh.

Gambar 25 Mekanisme perlindungan vegetasi terhadap kondisi angin bagi keberadaan satwaliar. Keterangan; (A) vegetasi dengan tingkat kerapatan tajuk tinggi; (B) vegetasi tingkat kerapatan tajuk sedang; (C) vegetasi dengan tingkat kerapatan tajuk rendah (Weddel 2002). Fungsi tutupan tajuk yang kontinyu dan saling overlapping bagi keberadaan jenis Hylobatidae tidak hanya sebatas perlindungan dari cuaca namun juga dapat membantu dalam proses penghindaran terhadap predator (predation avoidance). Salah satu bentuk pemanfaatan tajuk sebagai tempat berlindung oleh ungko dan siamang dari predator dengan cara memilih posisi pada tajuk yang rimbun dan memberikan suara peringatan (alarm call) ketika ada burung pemangsa seperti elang ular bido (Spilornis cheela) yang melakukan soaring disekitar mereka.

Bagi keberadaan jenis Hylobatidae sebagai satwa mangsa di suatu ekosistem, tumbuhan sebagai penyedia unsur perlindungan dari pemangsa melalui fungsi sebagai tempat mengawasi serta melihat kemungkinan datangnya satwa pemangsa dari berbagai arah. Vegetasi sebagai suatu bagian struktural dalam habitat satwaliar harus dapat memenuhi beberapa fungsi, seperti menyediakan tempat bernaung (shelter) serta ruang untuk melihat dan berlindung dari pemangsa (cover) (Weddel 2002).

(31)

5.6.2 Pemanfaatan vegetasi sebagai sumber pakan

Salah satu bentuk pemanfaatan vegetasi oleh ungko dan siamang adalah sebagai sumber pakan di habitat mereka. Selama pengamatan dilapangan teramati 9 jenis vegetasi yang dijadikan sumber pakan oleh ungko dan siamang yaitu

Madhuca laurifolia, Palaquium rostratum, Campnosperma auriculatum, Ficus sp, Artocarpus sp., Dacrycarpus imbricatus, Naigea neriifolia, Eurya nitida dan Arenga\ pinnata. Bagian tumbuhan yang dimakan oleh ungko dan siamang antara

lain bunga untuk jenis Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Palaquium rostratum serta buah untuk enam jenis vegetasi lainnya (Tabel 9).

Tabel 9 Pohon-pohon sumber pakan Hylobatidae yang teramati selama penelitian di KHBTBB

No. Famili Jenis Bagian

yang dikonsumsi Hylobates agilis Symphalang us syndactylus Lokasi 1. Sapotaceae Madhuca laurifolia Bunga, Buah - v 1,2 2 Sapotaceae Palaquium rostratum Bunga, Buah v v 1,2,3 3. Anacardiaceae Campnosperma auriculatum Buah v v 1,2,3

4. Moraceae Ficus sp. Buah v v 1,2,3

5. Moraceae Artocarpus sp. Buah v - 1

6. Podocarpaceae Dacrycarpus imbricatus Buah - v 1,3 7. Podocarpaceae Naigea neriifolium Buah v - 1,2

8. Theaceae Eurya nitida Buah v - 2

9. Gutiferae Garcinia hombroniana Buah v - 1,2,3 10 Sapindaceae Nephelium lappaceum Buah v - 3

11. Arecaceae Arenga pinnata Buah - v 3

Keterangan: Lokasi 1= formasi hutan hill-montana; 2=formasi hutan gambut; 3=formasi hutan Dipterocarpaceae atas

Pengamatan dilapang menemukan perbedaan jenis pakan antara ungko dan siamang. Ungko mengkonsumsi delapan jenis vegetasi Sapotaceae Palaquium

rostratum, Anacardiaceae Campnosperma auriculatum, Moraceae Ficus sp.,

Moraceae Artocarpus sp., Podocarpaceae Naigea neriifolium, Gutiferae Garcinia

hombroinea, Sapindaceae Nephelium lappaceum, dan Theaeceae Eurya nitida. Di

sisi lain jenis vegetasi yang dikonsumsi oleh siamang adalah Sapotaceae Madhuca

(32)

auriculatum, Moraceae Ficus sp., Podocarpaceae Dacrycarpus imbricatus dan

Arecaceae Arenga pinnata. Terdapat tiga jenis vegetasi yang sama dikonsumsi oleh ungko dan siamang yaitu Sapotaceae Palaquium rostratum, Ancardiaceae

Campnosperma auriculatum dan Moraceae Ficus sp. (Gambar 26).

Gambar 26 Buah sumber pakan ungko dan siamang. Keterangan gambar dari kiri ke kanan; Palaquium rostratum, Campnosperma auriculatum dan

Ficus sp.

Terdapat jenis-jenis pohon pakan lainnya selain jenis pohon pakan yang teramati berdasarkan perjumpaan langsung aktivitas mencari makan ungko dan siamang. Beberapa diantara jenis pakan potensial lain bagi keberadaan ungko dan siamang adalah dari genus Aglaia spp., Aporusa spp., Baccaurea spp.,

Calophyllum spp., dan berbagai jenis lainnya (Nowak 2010; Chivers 2001; WARF

2009).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bagian buah merupakan yang terbanyak dimanfaatkan kedua jenis Hylobatidae dari seluruh jenis pohon pakan yang teramati. Selain itu pengamatan dilapang menunjukkan tidak adanya aktivitas ungko dan siamang memakan daun dari pohon sumber pakan. Hal ini diduga karena pada saat penelitian (periode juni-agustus 2011), jenis pakan yang melimpah dalam habitat kedua jenis Hylobatidae tersebut adalah buah dan bunga. Hal ini diperkuat dengan data hasil monitoring fenologi dan penghitungan FAI serta LAI terhadap potensi jenis pohon pakan primata di KHBTBB oleh Aini (2012) pada bulan juni hingga juli 2011, jumlah terbesar potensi pakan dihasilkan oleh bagian buah 6,38%, bunga 5% dan daun 0,46%. Palombit (1997) menyatakan bahwa jenis Hylobatidae merupakan jenis umum pemakan buah yang telah matang (ripe fruits), khususnya untuk buah dari jenis ficus (figs).

Terdapatnya beberapa jenis variasi pohon dan bagian pakan yang sama antara ungko dan siamang merupakan hal umum yang terjadi apabila terdapat dua jenis Hylobatidae yang menempati suatu habitat yang sama. Hasil penelitian Elder

(33)

(2009) menyebutkan jika dua jenis Hylobatidae yang hidup berdampingan, khusunya jenis gibbon dan siamang, dalam suatu habitat memiliki preferensi pakan sama yaitu tingkat yang tinggi terhadap buah-buahan (58% dari feeding

time kedua jenis tersebut). Hal ini menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan

antara ungko dan siamang dalam pemanfaatan bagian tumbuhan yaitu buah sebagai sumber pakan.

Pemanfaatan sumber jenis pakan yang sama oleh ungko dan siamang menunjukkan kemungkinan adanya persaingan dalam mendapatkan makanan terutama untuk jenis yang kerapatan di habitat kecil yaitu Ficus sp. Untuk dua jenis vegetasi lain yang dimanfaatkan secara bersama oleh ungko dan siamang yaitu Sapotaceae Palaquium rostratum dan Anacardiaceae Campnosperma

auriculatum memiliki kerapatan di habitat dengan nilai yang cukup tinggi,

sehingga dapat memberikan sumberdaya yang lebih melimpah jika dibandingkan Moraceae Ficus sp. bagi keberadaan kedua satwa tersebut.

Pengamatan dilapang menunjukkan terdapatnya perbedaan strategi aktivitas penggunaan sumberdaya pohon pakan antara ungko dan siamang. Sebagai contoh, pada pengamatan terhadap Ficus sp. yang berinang pada pohon Campnosperma

auriculatum, beberapa individu ungko tercatat mendatangi pohon tersebut untuk

mencari makan pada periode waktu yang lebih pagi antara pukul 07:00-09:00, sedangkan siamang mendatangi pohon tersebut antara pukul 09:00-11:00. Strategi pemilihan waktu pemanfaatan pohon pakan ini diduga untuk menghindari terjadinya pemborosan energi yang dapat disebabkan kompetisi secara langsung (fisik) antara kedua jenis tersebut.

Strategi pemanfaatan vegetasi oleh ungko dan siamang merupakan salah satu bentuk adaptasi kondisi habitat mereka terutama untuk menghindari tingkat kompetisi dengan satwa frugivora lainnya. Koenig (2002) yang menyebutkan bahwa selama periode musim buah masak yang melimpah (ripe fruits peak

season), kompetisi interspesifik antara dua jenis Hylobatidae jarang terjadi karena

ketersediaan sumberdaya yang melimpah tidak akan membatasi kemampuan reproduksi secara khusus dan pertumbuhan populasi secara umum bagi masing-masing jenis tersebut. Hal lain yang juga mendukung ungko dan siamang dapat hidup simpatrik dalam satu kawasan adalah kemampuan ungko dalam pergerakan

(34)

(mobility) lebih baik ketimbang siamang ketika mencari sumber pakan, yang merupakan hasil dari adaptasi anatomi khususnya sebagai jenis Hylobatidae yang berukuran lebih kecil sehingga membuat mereka dapat melakukan aktivitas

foraging yang lebih luas (Gittins 1983). Teori lain menyebutkan bahwa jenis

Hylobatidae termasuk didalamnya Hylobates agilis dan Symphalangus

syndactylus dikategorikan sebagai primata yang hidup dalam kelompok yang

memiliki wilayah ber-teritori (territorial species). Spesies primata yang hidup secara teritorial akan jarang mengalami kompetisi dalam aktivitas mencari makan (foraging) karena biasanya kelompok primata tersebut sudah memiliki food

patches (area mencari makan) tersendiri dalam wilayah teritori mereka (Mitani &

Gambar

Gambar  7    Sketsa  lokasi  pembagian  ketiga  tipe  habitat  ungko  dan  siamang  di  KHBTBB
Tabel 2  Beberapa parameter umum vegetasi pada tiga tipe habitat di KHBTBB  Tipe   Hutan  ∑Famili  ∑ Jenis  DBH (cm)  TTP (m)  K  (ind/ha)  LBDS (m2)  FHHM  37  100  22,51± 12,84  19,92± 6,21  888  23,32  FHG  34  102  21,28± 12,51  18,63± 5,65  1016  24,2
Tabel 5   Daftar lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi pada tiap tipe  habitat di KHBTBB   Famili  Jenis  ∑  Individu  K  (ind/ha)  KR (%)  FHHM
Tabel  6    Daftar  lima  jenis  vegetasi  yang  memiliki  nilai  frekuensi  tertinggi  pada  masing-masing tipe habitat di KHBTBB
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi vegetasi di sekitar kawah merupakan hutan yang terdiri dari pepohonan berukuran besar, tutupan vegetasi didominasi oleh pepohonan dengan diameter batang 30 cm up dan

Sehingga mengakibatkan distribusi dan pengalokasian dana yang dilakukan oleh sekolah tidak berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dalam Rencana Anggaran Kegiatan

Perjanjian yang dilarang adalah suatu persetujuan yang tertulis atau lisan untuk mengikatkan dirinya yang dilakukan satu atau lebih pelaku usaha dengan satu atau

(1) PARA PIHAK merumuskan konsep kerja sama yang akan dilaksanakan untuk kegiatan Diklat Pelayanan Prima di Kota dan Kabupaten Administrasi Provinsi DKI Jakartaa. (2) Dalam

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bernaung di Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memiliki

Salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur yang umum menyerang tanaman kacang tanah adalah penyakit rebah-semai yang disebabkan oleh jamur Sclerotium rolfsii..

Kadar gluten dalam tepung terigu dapat mencapai 80% dari jumlah protein yang ada pada tepung terigu.. Gluten dapat membuat adonan menjadi kenyal dan dapat mengembang karena

Bagian kepala gudang dan staf gudang adalah jabatan yang bertanggung jawab dalam kegiatan operasional di gudang dimana kepala gudang bertanggung jawab dalam