• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pro-Poor Intended Nationally Determined Contribution Sebuah Pendekatan Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pro-Poor Intended Nationally Determined Contribution Sebuah Pendekatan Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Diskusi Ahli:

Pro-Poor Intended

Nationally Determined

Contribution

Sebuah Pendekatan Kebijakan

Pembangunan Rendah Karbon

Indonesia

(2)

Pengantar

Sebagai tindak lanjut dari workshop yang diadakan oleh IESR pada tanggal 11 November 2014 mengenai “Temuan Ilmiah Perubahan Iklim dan Implikasinya pada Kontribusi Nasional Indonesia di Tingkat Global”,1

IESR melakukan sebuah kajian bagaimana INDC yang disusun oleh Indonesia juga dapat memperhatikan tantangan pembangunan Indonesia dan memberikan manfaat bagi kaum miskin.

Berdasarkan kajian IESR, walaupun Indonesia menyandang predikat sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia, namun sesungguhnya Indonesia masih menghadapi masalah kemiskinan dan ketimpangan. Ketimpangan ini dapat dilihat dari semakin memburuknya indeks Gini dalam 10 tahun terakhir. Sebagai contoh Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta2 menyatakan bahwa, di bulan Maret 2014 jumlah

penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta mencapai 393,98 ribu orang, meningkat sebesar 22,3 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan September 2013. Jika dibandingkan dengan bulan Maret 2013, penduduk miskin DKI Jakarta bertambah sebesar 41,02 ribu orang. 3

Ketimpangan ekonomi juga terlihat dari pembangunan yang berlangsung di Pulau Jawa dan luar Jawa, yang dapat dilihat dari akses pada energi secara umum. Rasio elektrifikasi di Pulau Jawa mencapai 82,88%, sedangkan untuk total rasio elektrifikasi untuk luar Jawa adalah 70,97%4. Kondisi ini mencerminkan

ketimpangan pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Jawa yang terdiri dari 4 pulau besar di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, ditambah dengan wilayah Maluku, Madura, Nusa Tenggara, Bali). Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta yang sama juga menyatakan bahwa harga komoditi makanan dalam menentukan Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan dengan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan). Dengan demikian dampak perubahan iklim terhadap hasil panen produk pertanian dan ketersediaan sumber-sumber protein dapat menyebabkan harga pangan yang lebih mahal di masa yang akan datang sehingga dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memperbu-ruk tingkat kemiskinan. Sebagai negara berkembang yang mempelopori penurunan emisi secara sukarela di tahun 2009 sebesar 26%, Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi penurunan emisi yang paling tidak sama atau lebih paska tahun 2020. Namun, bagaimana kontribusi penurunan emisi yang akan diajukan oleh Indonesia dapat menjawab ketimpangan ekonomi dan sosial yang ada Indonesia?

Institute for Essential Services Reform (IESR) saat ini sedang melakukan kajian mengenai bagaimana bentuk kontribusi penurunan emisi Indonesia, bukan hanya dapat memberikan hasil penurunan emisi, namun juga dapat menjawab persoalan pembangunan yaitu kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia. Untuk mengkaji hal tersebut IESR mengadakan diskusi ahli, dengan harapan mendapat masukan dari para ahli yang bergerak di bidang perubahan iklim dan juga pembangunan ekonomi secara umum.Diskusi ahli ini bertujuan untuk mendapatkan masukan terhadap studi yang sedang dilakukan IESR terkait dengan Pro-Poor INDC. Terdapat 3 (tiga) narasumber yang memberikan pemaparannya: 1. Henriette Imelda, Senior Program Officer on Energy and Climate Change di Institute for Essential Services Reform; 2. Dr. Medrilzam, Kepala Sub Direktorat Pengembangan Ekonomi dan Manajemen Kehutanan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 3. Asep Suryahadi, Direktur dari SMERU Research Institute.

1 Laporan dari kegiatan ini dapat diunduh di http://www.iesr.or.id/2014/11/laporan-kegiatan-workshop-temuan-ilmiah-perubahan-iklim-dan-im-plikasinya-pada-kontribusi-nasional-indonesia-di-tingkat-global/

2 No. 34/07/31/Th. XVI, 1 Juli 2014

3 Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta No. 34/07/31/Th. XVI, 1 Juli 2014 4 Statistik PLN 2013

(3)

1. Kerangka Pro-Poor INDC

Intended Nationally Determined Contribution (INDC) merupakan hasil kesepakatan bersama antara seluruh negara yang tergabung di dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di COP 19 Warsawa pada akhir tahun 2013 yang lalu. Semenjak disepakatinya INDC, maka proses penyusunannya diserahkan kepada masing-masing negara untuk mengidentifikasi potensi-potensi mitigasi apa saja yang dapat dilakukan, paska tahun 2020 untuk secara bersama-sama berkontribusi positif pada pengurangan emisi gas rumah kaca, dan pada saat yang bersamaan menghindari kenaikan temperatur rata-rata dunia sebesar 2o

C.

INDC ini juga merupakan representasi dari prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) yang menjadi prinsip dasar Konvensi. Itu sebabnya, seluruh negara yang ada di UNFCCC harus mengajukan INDC mereka, terlepas apakah negara tersebut adalah negara maju, negara berkembang, ataupun negara miskin. Namun, sifat dari INDC ini akan ditentukan oleh sifat hukum dan ketentuan yang berlaku di Kesepakatan 2015, akan akan membuat INDC sebagai kontribusi yang mengikat secara hukum (legally binding) atau memiliki sifat yang lain.

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia, memiliki 2 kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam negeri: 1. Pertumbuhan ekonomi; 2. Memenuhi kebutuhan dasar dari warga negaranya, yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

1.1. Cakupan Kondisi Miskin

Literatur tentang kemiskinan yang ada tidak mencantumkan adanya definisi yang mutlak mengenai kemiskinan, namun ada banyak literatur yang memaparkan mengenai kondisi miskin. Berdasrkan kajian literatur, maka cakupan dari kondisi miskin yang seringkali beredar adalah yang diakibatkan oleh:

- Kondisi geografis, dimana suatu wilayah tersebut terletak jauh dari pusat ekonomi

- Terbatasnya akses pada sumber daya, salah satunya ditandai dengan ketergantungan suatu daerah pada bahan bakar fosil

- Keterbatasan teknologi dan informasi; bisa saja suatu daerah memiliki begitu banyak sumber daya alam, namun daerah tersebut tidak memiliki teknologi yang tepat untuk mengolahnya, atau akses pada informasi tidak memungkinkan untuk daerah tersebut dapat mengolah sumber daya alam yang ada

- Sumber daya manusia; kualitas dari sumber daya manusia sangat menentukan apakah suatu daerah akan berada dalam kondisi miskin atau tidak.

- Orang-orang yang berada pada kondisi miskin tidak memiliki pilihan untuk hidup yang banyak. Hal tersebut bisa disebabkan karena rentang biaya yang diperlukan untuk mendapatkan pilihan yang lebih banyak sangat lebar, atau memang karena ketersediaan pilihan-pilihan tersebut tidak banyak.

(4)

Gambar 1 Causal Loop Diagram Kemiskinan-Ekonomi-Lingkungan

Gambar 1 merupakan diagram sebab akibat yang menunjukkan hubungan antara kemiskinan, ekonomi dan lingkungan. Model di atas menggambarkan tentang pertumbuhan industri yang menyebabkan tingginya kebutuhan tenaga kerja, sehingga menyebabkan adanya pembukaan lapangan kerja. Namun, pembukaan lapangan kerja secara besar-besaran bukan berarti semua orang yang tidak memiliki pekerjaan akan mendapatkan pekerjaan. Hal ini akan sangat ditentukan dari kualitas sumber daya manusia yang ada; idealnya, mereka yang baru menyelesaikan pendidikan mereka. Bagi orang-orang yang memenuhi kriteria kualitas yang diperlukan, maka mereka akan mendapatkan pekerjaan, namun, bagi yang tidak, maka mereka akan masuk ke kategori orang tanpa pekerjaan. Apabila dalam kurun waktu tertentu mereka belum juga mendapatkan pekerjaan yang layak, maka mereka bisa masuk dalam kategori orang miskin.

Bagi mereka yang memiliki kampung, maka mereka akan kembali ke kampungnya. Tergantung dari kondisi kampungnya, beberapa mungkin akan menjadi petani, namun beberapa lagi bisa menjadi pelaku illegal logging, dikarenakan pendapatan yang mungkin didapat dari kegiatan tersebut. Di waktu yang bersamaan, industri akan terus membuka lapangan kerja, bahkan sampai ke kategori buruh, yang tidak memerlukan kemampuan tinggi. Bukan tidak mungkin, orang-orang yang berprofesi petani, kemudian akan memilih untuk bekerja sebagai buruh ketimbang menjadi petani. Jika hal ini tidak diantisipasi, maka di waktu ke depan mungkin akan terjadi krisis populasi petani, karena banyak petani yang bergeser ke industri formal.Banyaknya jumlah petani yang bergeser ke industri formal memang akan meningkatkan pendapatan mereka, apalagi dengan pendapatan yang lebih stabil ketimbang menjadi petani. Namun, di lain pihak, sektor pertanian akan kehilangan tenaga kerja, dan apabila dibiarkan maka akan mempengaruhi ketahanan pangan di Indonesia.

(5)

Pertumbuhan industri juga akan mengambil lahan yang ada, karena industri memerlukan bangunan. Seiring dengan pertambahan populasi, lahan untuk permukiman pun akan diperlukan. Dan apabila ada kebijakan mengenai penambahan produksi hasil pertanian, maka lahan yang saat ini ada, juga akan diperebutkan oleh isu pertanian. Kemiskinan pun dapat memberikan dampak yang negatif pada ketersediaan lahan, karena masyarakat akan membuka lahan untuk keperluan hidup mereka; entah menjadi ladang, permukiman, atau bahkan untuk menjadi alternatif pendapatan lain, seperti illegal logging.

1.3. Kerangka Pro-Poor INDC

Berdasarkan uraian di bagian 1.2 dan 1.3, maka penyusunan INDC Indonesia harus dapat mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan pada saat yang bersamaan menyelesaikan masalah kemiskinan. INDC tidak seharusnya disusun hanya untuk memenuhi kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca saja; namun, INDC sudah seharusnya disusun dengan memperhatikan bagaimana emisi gas rumah kaca dapat diturunkan dan pada saat yang bersamaan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar masing-masing orang, dan juga memberikan kesempatan pada masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan produktif ekonomi.

Itu sebabnya, INDC yang disusun oleh Indonesia harus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat miskin (baik di perdesaan maupun perkotaan), bagaimana INDC yang disusun dapat menciptakan lapangan kerja yang layak (baik di perdesaan maupun perkotaan), serta bagaimana INDC yang disusun dapat menciptakan akses seluruh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan dasar, dan juga peningkatan ekonomi masyarakat.

(6)

2. Proses Penyusunan INDC dan Kaji Ulang RAN-GRK

Sebagai bentuk dari pernyataan Presiden Bambang Susilo Yudhoyono di pertemuan tingkat tinggi G20 di Pittsburg pada tahun 2009 mengenari komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 26% secara sukarela dan tambahan 15% apabila ada bantuan internasional, Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden No. 61/2011 mengenai rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca, atau yang sering disebut sebagai RAN GRK. RAN GRK ini memuat kegiatan-kegiatan penurunan emisi yang akan dilakukan oleh Indonesia melalui 5 (lima) sektor: hutan dan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan limbah, sebagaimana yang dipaparkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Sektor-sektor yang termasuk dalam RAN GRK

Penurunan emisi sebanyak 26-41% tersebut harus dilakukan tanpa menegasikan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

Gambar 3 Keterkaitan antara RAN GRK dan Pertumbuhan Ekonomi

Setelah RAN GRK mulai memasuki tahun implementasi ke-5, kebijakan kaji ulang RAN GRK kemudian diberlakukan. Peraturan Presiden 61/2011 pasal 9 menjabarkan perihal pengkajian ulang RAN GRK:

1. RAN GRK dapat dikaji ulang secara berkala, sesuai dengan kebutuhan nasional dan perkembangan dinamika internasional

(7)

2. Kaji ulang RAN GRK dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dan dikoordinasikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

3. Hasil kaji ulang RAN GRK dilaporkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

4. Hasil kaji ulang dapat dijadikan dasar penyesuaian RAN GRK

Beberapa dasar pertimbangan dalam melakukankaji ulang RAN GRK adalah:

1. Menyesuaikan dengan kebijakan pembangunan baru Pemerintah yang dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 dan sekaligus mengkaji potensi penurunan emisi yang dapat dilakukan.

2. Mengkaji hasil-hasil yang telah dicapai selama 5 tahun (2010-2014)

3. Menetapkan proyeksi penurunan emisi paska 2020 dengan metodologi yang sahih (disesuaikan dengan dinamika negosiasi UNFCCC)

4. Mengkaji kembali angka-angka maupun baseline yang telah ditetapkan sebelumnya 5. Kebutuhan penyampaian INDC kepada UNFCCC

Dalam penyusunannya, Indonesia memiliki posisi dasar terhadap INDC yang akan disusun:

1. INDC harus didasarkan pada prinsip: Voluntary contribution (CBDR Principle) dan Respective Capacbility 2. Memanfaatkan data dan informasi yang tersedia

3. Dipergunakan sebagai alat komunikasi dan kerjasama lintas sektor dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan

4. Dapat memberikan informasi non-climate benefit yang dikaitkan dengan kebijakan perubahan iklim: kebijakan yang tepat dapat membuat pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi saling memperkuat (mutually reinforcing)

5. Keterpaduan kebijakan: Melalui penyusunan INDC, kebijakan perubahan iklim diharapkan dapat dihubungkan dengan prioritas pembangunan lainnya seperti pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan

6. Dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan domestik terkini

Diagram berikut ini menunjukkan hubungan antara RAN GRK dan INDC, serta proses yang akan dilakukan untuk meninjau RAN GRK dan bagaimana menghubungkannya dengan INDC.

Dalam penyusunan INDC, Bappenas menggunakan beberapa kondisi berikut ini : 1. Mengacu pada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang dibenarkan

2. Mempertimbangkan dan mengacu padad kajian bersifat komprehensif dan model yang realistis: - Kebijakan sektoral

- Keterkaitan antar sektor - Kebijakan RAD GRK

(8)

Gambar 4 Hubungan antara RAN GRK dan INDC5

Terdapat 2 sasaran kaji ulang RAN GRK yang dinyatakan oleh Bappenas:

1. Untuk menyusun intervensi kebijakan dalam rangka mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menurunkan emisi GRK, sehingga dapat menjadi Low Emission Development Strategy (LEDS) 2. Mengukur dampak intervensi kebijakan jangka menengah dan panjang di setiap sektor dan ekonomi nasional secara keseluruhan

Gambar 5 Keterkaitan antar Isu6

5 Dr. Medrilzam, “Kaji Ulang RAN-GRK dan INDC”, disampaikan pada pertemuan diskusi ahli Institute for Essential Services Reform (IESR), 20 Februari 2015

6 Dr. Medrilzam, “Kaji Ulang RAN-GRK dan INDC”, disampaikan pada pertemuan diskusi ahli Institute for Essential Services Reform (IESR), 20 Februari 2015

(9)

Adapun sektor-sektor yang akan tercakup dalam penyusunan model ini adalah: sektor ekonomi (GDP, Green GDP, employment, Green Job), rumah tangga (saving), kehutanan dan gambut (forest stocks and flows), pertanian (stock and flow pertanian), energi (stock and flow energi), pertambangan (stock and flow pertambangan), industri, transportasi, dan limbah. Penyusunan model yang dimaksud akan menggunakan metodologi system dynamics, dengan proses Group Model Building.

(10)

3. Profil Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia

Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda prioritas nasional Indonesia, namun isu ketimpangan belum tercakup dalam agenda prioritas nasional, walaupun sudah mulai didiskusikan.

Gambar 7 Profil Kemiskinan di Indonesia8

Gambar 7 menampilkan profil kemiskinan di Indonesia. Menarik untuk dilihat bahwa dalam perioder 10 tahun terakhir, angka kemiskinan di Indonesia menurun hingga setengahnya (dari 24,2% di tahun 1998, hingga 10,96% di tahun 2014). Paska krisis keuangan di Asia tahun 1998, angka kemiskinan hanya meningkat di tahun 2006 (akibat terjadinya krisis pangan dan energi global) dan krisis keuangan global di tahun 2009. Gambar 8 menunjukkan bahwa dalam 7 tahun terakhir, laju pengurangan kemiskinan semakin lama semakin melambat. Laju pengurangan kemiskinan tertinggi ada di tahun 2007 dimana angka laju pengurangan kemiskinan mencapai 1% per tahun; kini, laju pengurangan kemiskinan hanya mencapai setengahnya saja.

Kerentanan orang miskin di Indonesia juga sangat tinggi. Gambar 9 menunjukkan bahwa angka kemiskinan Indonesia di tahun 2012, berada di 12% ke bawah. Namun, jika garis kemiskinan dinaikkan 20% atau 50%, maka angka kemiskinan di Indonesia meningkat hingga 2-3 kali lipat. Orang-orang yang berada dalam rentang ini adalah orang-orang yang kebanyakan bekerja di sektor informal ketimbang orang-orang yang bekerja di sektor formal, atau rentang ini banyak diisi oleh petani dan nelayan. Gambar ini memberikan gambaran kondisi kemiskinan nasional.

Gambar yang sama juga memberikan indikasi bahwa apabila ada kejutan sedikit, maka angka kemiskinan dapat dengan mudah berubah. Misalnya, di tahun 2006, saat kenaikan harga BBM, maka angka kemiskinan meningkat hingga 2 kali lipat.

Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9 menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan yang lambat, kerentanan yang tinggi, serta adanya ketimpangan, itu dapat menjadi persoalan yang sangat besar.

8 Suryahadi, A., Sumarto, S., “Profil Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia”, SMERU Research Institute, disampaikan pada diskusi ahli IESR tanggal 20 Februari 2015

(11)
(12)

menentukan kegiatan apa saja yang akan dilakukan dengan memanfaatkan pendanaan tersebut. Program lainnya adalah program yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat, seperti penyediaan akses ke kredit untuk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), serta yang memberikan dampak positif untuk perbaikan iklim usaha untuk pertumbuhan UMKM. Pada intinya, seluruh program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, untuk menggiring turunnya angka kemiskinan.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka kemiskinan, dapat juga dipelajari dari negara lain. Brazil misalnya, telah melakukan serangkaian program untuk menurunkan angka kemiskinan yang ditandai dengan peningkatan pendapatan, serta mengurangi ketimpangan yang ditandai dengan penurunan gini index (dari 0,553 menjadi 0,5). Untuk mencapai hal tersebut, Brazil melakukan 3 hal berikut ini:

1. Brazil melakukan ekspansi kebijakan dan program perlindungan sosial bersasaran 2. Brazil menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang aktif

3. Brazil juga melakukan adanya peningkatan kesempatan kerja

Gambar 10 Peningkatan PDB/Kapita Brazil dan penurunan GINI Index11

Indonesia memang memiliki investasi yang sangat kecil untuk ketiga area ini. Pengeluaran Indonesia untuk social protection masih sangat rendah dibanding dengan negara-negara tetangga lainnya (Gambar 11). Indonesia masih di bawah 0,6% sedangkan negara-negara berkembang lainnya sudah ada pada kisaran 1%. Pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh kemiskinan. Pada umumnya, jika anak yang bersekolah tersebut berasal dari keluarga miskin, maka akan besar kemungkinan bahwa pada waktu anak ini dewasa, karena ketidakmampuan dalam mengakses pendidikan, maka pendidikan yang ditempuh tidak akan tinggi.

Gambar 12 memperlihatkan bahwa kebanyakan Anak yang keluar dari sekolah ada di kuartil termiskin. Orang miskin itu di kelas 4 SD sudah mulai ada yang drop out, sementara orang kaya masih bisa bertahan.

11 Suryahadi, A., Sumarto, S., “Profil Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia”, SMERU Research Institute, disampaikan pada diskusi ahli IESR tanggal 20 Februari 2015

(13)

Di perguruan tinggi, kemungkinan sudah sedikit sekali orang miskin yang bisa menikmati pendidikan tersebut.

Salah satu solusi untuk keluar dari kemiskinan adalah pada saat masyarakat tersebut dapat memperbaiki human capitalnya. Itu sebabnya, pendidikan memiliki peran yang sangat penting di sini. Orang-orang miskin ini akan sangat rentang dengan inflasi, kelembagaan dan layanan publik, lalu pasar. Banyak orang-orang miskin yang tidak dapat menikmati layanan publik, karena mereka juga tidak memiliki akses untuk dokumen-dokumen yang formal, misalnya akte kelahiran. Padahal akte kelahiran sangat diperoleh, misalnya untuk masuk ke sekolah.

Layanan untuk orang miskin harusnya ada di tingkat yang paling bawah (kecamatan, desa, atau kelurahan), sedangkan tingkat yang lain, perlu adanya pembagian yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah.

(14)
(15)
(16)

Institute for Essential Services Reform

(IESR)

Jl. Mampang Prapatan No. R-13

Jakarta 12790

Ph. : +62 - (0)21 - 7992945

Fax : +62 - (0)21 - 7996160

Website : www.iesr.or.id

Facebook id: iesr indonesia

Gambar

Gambar 1 Causal Loop Diagram Kemiskinan-Ekonomi-Lingkungan
Gambar 2 Sektor-sektor yang termasuk dalam RAN GRK
Gambar 4 Hubungan antara RAN GRK dan INDC 5
Gambar 6 Ruang Lingkup Kajian untuk INDC 7
+6

Referensi

Dokumen terkait

ini juga dibagi dua macam, yaitu: (1) kaidah yang bersumber dari al-nus } ûs } al-shar‘îyah secara tidak langsung (kontekstual), dan (2) kaidah yang bersumber ijtihad ulama

Gejala yang terkait dengan keluhan artritis adalah gejala umum berupa keluhan tidak nafsu makan, lemah/letih, sulit tidur dan penurunan berat badan. Dari seluruh responden, sebesar

Bi ikasleek aurrera egiten dute irakaslearen mezuekin ezartzea lortzen duten kohere n- tzia-graduan. Ikasturte hasieran bi haurren arteko diferentzia indibidualak

Salah satu media informasi berbasis internet yang dapat dimanfaatkan adalah situs web yang manfaatnya dapat diakses oleh pengguna untuk mendapatkan dan memenuhi

Kendala atau faktor yang menjadi hambatan dalam Pemberlakuan Penghapusan Pajak Barang Mewah Terhadap Mobil Murah Ramah Lingkungan di Bandar Lampung adalah:

yakni apabila melodi ngajak pada awalnya hanya dimaikan oleh piol dengan tidak terikat dengan tempo, pada tahap nutup, ayunan atau melodinya dimainkan secara

LKKo ini akan memuat informasi berkaitan nomor iden�tas dan nama koleksi, jenis bahan, jenis kerusakan (kondisi keterawatan), usulan perawatan (mencakup �ndakan yang bersifat

Apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya (triwulan I tahun 2010) perekonomian Riau mengalami pertumbuhan sebesar 7,51 persen (y-on-y), dengan