ABSTRAK
Latar Belakang : Tinea kapitis adalah infeksi jamur pada rambut dan kulit kepala yang umumnya mengenai anak prapubertas dengan penyebab tersering Microsporum canis.
Tujuan : Mengetahui prevalensi, klinis, spesies penyebab, dan terapi tinea kapitis di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Metode : Penelitian retrospektif dari data pasien tinea kapitis yang berobat di Poliklinik IKKK RSCM, Jakarta periode Januari 2005 sampai dengan Desember 2010.
Hasil : Dilaporkan 23 kasus tinea kapitis, yang merupakan 0,53% (23 dari 4274) dari seluruh pasien dermatomikosis yang berobat antara tahun 2005 sampai 2010. Usia awitan 22 bulan sampai 65 tahun, dengan persentase tertinggi (73,91%) pada golongan usia 0 sampai 14 tahun. Kejadian pada laki-laki sama dengan perempuan. Bentuk klinis tersering adalah inflamasi (65,21%). Pada 26,08% kasus disertai bentuk dermatofitosis lain. Kultur tumbuh 56,52% spesimen, dengan spesies terbanyak Microsporum canis (69,23%). Terapi utama adalah griseofulvin pada 73,91% kasus yang dapat diamati, dengan rerata masa terapi lima minggu. Terapi lain dengan itrakonazol dan terbinafin. Efek samping akibat griseofulvin terdapat pada tiga pasien, berupa erupsi obat alergik tipe fotodermatitis dan peningkatan enzim hati.
Ke sim pula n : Micros por um canis m asih me rup aka n s pesies pen yeba b ters erin g d an griseofulvin masih merupakan terapi utama tinea kapitis.(MDVI 2012; 39/3:113 - 117)
Kata kunci: Tinea kapitis, Microsporum canis, griseofulvin
ABSTRACT
Background : Tinea capitis is a fungal infection of the hair follicles of the scalp that usually infects prapubertal children mostly caused by Microsporum canis.
Objective : To determine prevalence, clinical features, common species, and treatment of tinea capitis in Dermato-Venereology Department dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Method : Registered tinea capitis patients in Dermato-Venereology Department dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta were retrospectively reviewed during the period of January 2005 until December 2010.
Result : Twenty three of tinea capitis patients which constituted 0,53% (23/4274) of the total dermatomycoses patients between 2005-2010 are reported. Age of onset between 22 months-65 years, with the highest percentage (73,91%) between 0-14 years. Ratio between man and woman was the same. Inflammatory type was the most common clinical features (65,21%). There were 26,08% cases with other type of dermatophytoses infections. Cultures were positive in 56,52% specimens and mostly yielded Microsporum canis (69,23%). Griseofulvin was the main treatment in 73,91% cases that can be followed, with mean duration of five weeks. Others treatment were using itra cona zole and terb inafine. Side effects with griseofulvin, s uch a s dr ug a ller gic photodermatitis type and elevated liver enzymes were found in three patients.
Conclusion : Microsporum canis is still the most common causative species and griseofulvin is still the main therapy for tinea capitis.(MDVI 2012; 39/3:113 - 117)
Keywords: Tinea capitis, Microsporum canis, griseofulvin
TINEA KAPITIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN
RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
PERIODE TAHUN 2005 – 2010
Andina B. Sari, Sandra Widaty, Kusmarinah Bramono, Eliza Miranda, Mardiati Ganjardani
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
FK Universitas Indonesia, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Korespondensi :
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp/Fax. 021 - 31935383 Email:
PENDAHULUAN
Tinea kapitis adalah infeksi dermatofita pada skalp dan rambut kepala. Tinea kapitis dapat disebabkan oleh dermatofita genus Trichophyton dan Microsporum selain
Trichophyton concentricum. Trichophyton concentricum
dapat mengenai skalp, tetapi tidak rambut kepala.1 Tinea
kapitis merupakan dermatofitosis tersering yang mengenai anak-anak dengan usia dominan antara 3 sampai 7 tahun, walaupun dapat juga mengenai neonatus dan dewasa.1,2
Sumber penularan dapat berasal dari manusia (antropofilik), hewan (zoofilik), dan tanah (geofilik).3 Cara penularan dapat
terjadi secara tidak langsung melalui fomite misalnya sisir, topi, sarung bantal, mainan, dan kursi teater.1 Survei di
Amerika Serikat mendapatkan bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak, lingkungan hidup padat, dan kondisi sosioekonomi yang kurang dapat berperan pada peningkatan insidens tinea kapitis akibat Trichophyton tonsurans di beberapa populasi kota.4,5
Spesies penyebab tinea kapitis dapat berubah seiring dengan waktu dan berbeda-beda di tiap negara.4,5 Pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, Microsporum audouinii dan Microsporum canis merupakan penyebab utama tinea kapitis di Eropa Barat dan Mediterania, sedangkan
Trichophyton schoenleinii lebih dominan di Eropa Timur.
Munculnya griseofulvin untuk pengobatan tinea kapitis disertai survei ke sekolah-sekolah yang ketat di akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an menyebabkan penurunan nyata
Microsporum sp. sebagai penyebab di Eropa Barat.4 Pada
tahun 2007 dilaporkan peningkatan spesies Trichophyton
tonsurans dan penurunan spesies Microsporum canis
sebagai penyebab tinea kapitis di Eropa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Walaupun begitu, Microsporum canis masih menjadi penyebab utama di benua Eropa.5,6
Trichophyton tonsurans menjadi penyebab 60-90% infeksi
tinea kapitis di Inggris, Amerika Serikat, Jamaika, dan Brazil.5,7 Trichophyton soudanense adalah penyebab utama
di beberapa negara Afrika.8,9 Trichophyton rubrum yang
merupakan dermatofita tersering yang diisolasi di seluruh dunia bukan merupakan penyebab yang sering ditemukan pada tinea kapitis.4
Tinea kapitis menunjukkan gejala klinis bervariasi mulai dari karier asimtomatik, bentuk gray patch, blackdot, inflamasi, dan favus.3 Gejala klinis tersebut sangat
bergantung pada etiologi. Terapi standar tinea kapitis di Amerika Serikat sampai saat ini adalah griseofulvin oral.10
Itrakonazol dan terbinafin oral juga efektif untuk infeksi dermatofita.1 Sampai saat ini keterbatasan pilihan terapi dan
berbagai cara transmisi masih menyulitkan upaya eradikasi.5 TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui prevalensi, gambaran klinis, spesies penyebab, dan efektivitas terapi tinea kapitis di Poliklinik
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, selama periode Januari 2005 sampai dengan Desember 2010.
METODE
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mengumpulkan data dari catatan medis pasien baru yang berkunjung ke Divisi Dermatomikologi Poliklinik IKKK RSCM Jakarta selama periode Januari 2005 sampai dengan Desember 2010. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang ber upa pemer iksaan klin is den gan lampu Wood, pemeriksaan laboratorium kerokan kulit dengan larutan KOH 20% dan biakan media Mycobite® (SGA + kloramfenikol +
sikloheksamid). Pasien dinyatakan sembuh secara klinis dan mikologis bila secara klinis tidak ditemukan lesi kulit kecuali alopesia, dan hasil pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH 20% dan biakan tidak ditemukan elemen jamur.
HASIL PENELITIAN
Terdapat 23 pasien tinea kapitis dari 4274 pasien baru (0,53%) yang berobat ke Divisi Dermatomikologi Poliklinik IKKK RSCM Jakarta selama periode Januari 2005 sampai dengan Desember 2010 (tabel 1).
Tabel 1. Distribusi jumlah pasien tinea kapitis tahun 2005-2010
Tahun Jumlah pasien tinea Jumlah kunjungan pasien
kapitis baru di Divisi Mikologi
2005 4 (0,48%) 837 2006 3 (0,38%) 796 2007 2 (0,31%) 637 2008 7 (1,05%) 665 2009 3 (0,44%) 684 2010 4 (0,61%) 655 Total 23 (0,53%) 4274
Jumlah pasien laki-laki dan perempuan hampir sama, dengan rentang usia antara 22 bulan sampai 65 tahun. Penyakit ini paling banyak mengenai golongan usia < 14 tahun, yaitu 17 pasien (73,91%). Sebagian besar pasien berasal dari Jakarta sebanyak 20 pasien (86,95%). Kontak dengan hewan peliharaan dan hewan liar ditemukan pada 9 pasien (39,13%). Pemeriksaan penunjang dengan lampu Wood menunjukkan fluoresensi positif pada sebagian besar pasien (56,52%). Pemeriksaan laboratorium langsung dengan larutan KOH 20% positif pada hampir seluruh pasien (95,65%). Pemeriksaan kultur tumbuh pada 13 pasien (56,52%) dengan spesies terbanyak berupa Microsporum
canis (69,23%), diikuti Trichophyton mentagrophytes
(23,08%), dan Trichophyton rubrum (7,69%). Distribusi pasien berdasarkan spesies penyebab dapat dilihat pada tabel 2.
Bentuk klinis terbanyak berupa inflamasi (65,21%), diikuti oleh gray patch (26,09%) dan black dot (8,70%). Terdapat 6 pasien (26,08%) yang secara bersamaan juga mengalami infeksi dermatofita pada lokasi tubuh lain (tabel 3).
Tabel 2. Distribusi pasien tinea kapitis berdasarkan spesies
penyebab
Spesies Jumlah Persentase
Microsporum canis 9 69,23
Trichophyton mentagrophytes 3 23,08
Trichophyton rubrum 1 7,69
Total 13 100
Tabel 3. Distribusi pasien dengan infeksi tinea pada lokasi
tubuh lainnya
Infeksi tinea lain Jumlah Persentase
Tinea kruris et korporis 3 50
Tinea fasialis 2 33,33
Tinea korporis et pedis
et manus et unguium 1 16,67
Total 6 100
Tabel 4. Distribusi pasien berdasarkan terapi
No. Pasien Terapi dan dosis harian Lama terapi Keterangan
1. Dewasa Griseofulvin 1x750 mg 4 minggu Perbaikan
2. Dewasa Griseofulvin 1x500 mg 3 minggu Sembuh
3. Anak Griseofulvin 1x330 mg 4 minggu Perbaikan
4. Anak Griseofulvin 1x190 mg 2 minggu Loss to follow up
5. Anak Griseofulvin 1x250 mg 2 minggu Loss to follow up
6. Dewasa Griseofulvin 2x500 mg 4 minggu Terapi dilanjutkan dengan itrakonazol
1x100 mg/hari 4 minggu; sembuh.
7. Anak Griseofulvin 1x250 mg 7 minggu Sembuh
8. Anak Griseofulvin 1x750 mg 4 minggu Perbaikan
9. Anak Griseofulvin 1x150 mg 2 minggu Loss to follow up
10. Dewasa Griseofulvin 1x500 mg 6 minggu Perbaikan
11. Anak Griseofulvin 1x375 mg 5 minggu Sembuh
12. Anak Griseofulvin 1x150 mg 2 minggu Loss to follow up
13. Anak Griseofulvin 1x260 mg 8 minggu Perbaikan
14. Anak Griseofulvin 1x375 mg 9 minggu Perbaikan
15. Anak Itrakonazol 1x100 mg 7 minggu Terapi dilanjutkan dengan terbinafin
1x125 mg/hari 13 minggu; perbaikan
16. Anak Itrakonazol 1x75 mg 3 minggu Sembuh
17. Dewasa Griseofulvin 1x500 mg 2 minggu Loss to follow up
18. Anak Griseofulvin 1x250 mg 5 minggu Perbaikan
19. Anak Griseofulvin 1x300 mg 4 minggu Perbaikan
20. Anak Terbinafin 1x125 mg 4 minggu Perbaikan
Tiga pasien dari 23 pasien dikembalikan kepada dokter pengirim yang merujuk pasien tersebut ke poliklinik untuk pemeriksaan penunjang sehingga tidak diketahui terapi yang diberikan. Terapi utama yang digunakan berupa griseofulvin oral pada 17 pasien (73,91%), 1 pasien di antaranya diganti dengan itrakonazol. Terdapat 2 pasien (8,69%) yang diterapi dengan itrakonazol dan 1 pasien di antaranya diganti dengan terbinafin. Hanya 1 pasien (4,34%) yang diobati dengan terbinafin. Perbaikan ditemukan pada 15 pasien (65,22%) dari 20 pasien yang mendapatkan terapi, namun hanya 5 pasien (21,73%) dinyatakan sembuh. Keterangan mengenai lama terapi dan hasil terapi dapat dilihat pada tabel 4.
Efek samping akibat penggunaan obat antijamur ditemukan pada 3 pasien akibat penggunaan griseofulvin, yaitu 2 pasien dengan erupsi obat alergik dan 1 pasien dengan peningkatan enzim hati.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan prevalensi pasien tinea kapitis baru yang berobat ke Divisi Dermatomikologi Poliklinik IKKK RSCM Jakarta sebesar 0,53% selama periode 6 tahun. Prevalensi tinea kapitis sangat bervariasi. Pada satu studi potong lintang yang dilakukan di Jerman pada anak-anak masa prasekolah tidak ditemukan satupun kasus tinea kapitis, walaupun ditemukan karier asimtomatik pada 1000 subyek. Penelitian di Spanyol mendapatkan 0,33% anak sekolah dengan hasil kultur positif tinea kapitis pada tahun 1994 dan di London dilaporkan prevalensi 2,5% pada tahun 1995. Prevalensi tinea kapitis di Amerika Serikat berkisar
antara 3% sampai 8% pada populasi anak-anak.2 Data dari
Indonesia yang berasal dari RSUP Sanglah Denpasar mendapatkan 0,32% pasien tinea kapitis yang berobat selama periode Januari 2004 sampai Desember 2006.11 Data lain di
Poli Dermatomikosis Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSU dr. Soetomo Surabaya, terdapat 0,31-1,55% kasus baru tinea kapitis antara tahun 2001-2006.12
Tinea kapitis merupakan dermatofitosis tersering yang mengenai anak-anak terutama pada usia 3 sampai 7 tahun.1,2
Dominasi kelompok usia ini mungkin disebabkan oleh efek fungistatik asam lemak yang berasal dari sebum pada usia pascapubertas. Namun, tidak tertutup kemungkinan ditemukannya kasus pada neonatus dan dewasa.4 Pada
penelitian ini didapatkan rentang usia pasien antara 22 bulan sampai 65 tahun dengan kasus terbanyak pada golongan usia < 14 tahun (73,91%). Penelitian lain yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar mendapatkan kelompok umur tertinggi pada 5-14 tahun (45,45%), sedangkan di RSU dr. Soetomo Surabaya kelompok umur tertinggi pada < 14 tahun (93,33%).11,12
Insidens tinea kapitis berdasarkan jenis kelamin sangat bervariasi, bergantung pada organisme penyebab. Apabila penyebabnya adalah Microsporum audouinii, maka rasio anak laki-laki dibandingkan perempuan lebih tinggi yaitu 5 : 1. Infeksi Microsporum canis bervariasi, tetapi biasanya lebih tinggi pada anak laki-laki. Infeksi Trichophyton sp. sama pada anak laki-laki dan perempuan, tetapi pada dewasa biasanya lebih sering mengenai perempuan.2,5 Pada
penelitian ini didapatkan rasio laki-laki dibandingkan perempuan hampir sama yaitu 1,09 : 1, dengan spesies terbanyak Microsporum canis. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar dengan pasien laki-laki sebanyak 63,64% dan perempuan 36,36%.11 Begitu
juga di RSU dr. Soetomo Surabaya dengan pasien laki-laki sebanyak 54,5% dan perempuan 45,5%.12
Sebagian besar pasien berasal dari Jakarta (86,95%) dan hanya 2 pasien (8,69%) berasal dari luar Jakarta (Depok dan Bekasi Barat). Manusia dapat terinfeksi organisme zoofilik melalui kontak dengan hewan peliharaan maupun hewan liar. Kucing dan anjing merupakan sumber utama
Microsporum canis. Petani dapat terinfeksi Trichophyton verrucosum yang berasal dari ternak di daerah pedesaan.
Manusia juga dapat terinfeksi Microsporum gypseum, bila kontak dengan tanah.2 Pada penelitian ini didapatkan riwayat
kontak dengan hewan pada 39,13% pasien. Kontak dengan hewan mungkin menjadi sumber penularan dan didukung dengan hasil kultur terbanyak berupa Microsporum canis (69,23%). Terdapat 4 pasien dengan riwayat kontak dari 9 pasien dengan hasil kultur Microsporum canis positif. Lima pasien lain tidak diketahui riwayat kontak. Meskipun demikian, perlu dipastikan lebih lanjut dengan cara memeriksa hewan tersangka secara klinis dan mikologis.
Bentuk klinis terbanyak berupa bentuk inflamasi (65,21%), diikuti oleh gray patch (26,09%) dan black dot
(8,70%). Bentuk inflamasi biasanya disebabkan organisme zoofilik dan geofilik, antara lain Microsporum canis dan
Microsporum gypseum. Bentuk ini merupakan akibat reaksi
hipersensitivitas terhadap infeksi. Spektrum inflamasi mulai dari folikulitis pustular sampai dengan kerion.1 Pada
penelitian ini didapatkan spesies terbanyak berdasarkan kultur adalah Microsporum canis yan g umumnya memberikan manifestasi klinis inflamasi. Bentuk gray patch paling sering disebabkan organisme antropofilik ektotriks, misalnya Microsporum audouinii dan Microsporum canis dengan inflamasi yang sangat minimal. Bentuk black dot biasanya disebabkan organisme antropofilik endotriks, yaitu
Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum.1
Hasil ini sama dengan penelitian di RSU dr. Soetomo Surabaya dengan tipe kerion terbanyak (62,5%), diikuti gray
patch (37,5%), dan tipe black dot tidak ditemukan.12
Terdapat 6 pasien (26,08%) yang secara bersamaan juga mengalami infeksi dermatofita pada lokasi tubuh lain. Hal ini penting diketahui karena infeksi dermatofita di lokasi tubuh lain dapat menjadi sumber penularan tinea kapitis.13
Pada pemeriksaan penunjang dengan lampu Wood didapatkan fluoresensi positif kehijauan pada 56,52% pasien. Fluoresensi positif dapat ditemukan pada Microsporum
canis, Microsporum audouinii, Microsporum distortum, Microsporum ferrugineum, dan kadan g-kadan g Trichophyton schoenleinii.4 Pemeriksaan mikroskopis
langsung dengan larutan KOH 20% menunjukkan hasil positif pada hampir seluruh pasien (95,65%). Hasil ini berbeda dengan kepustakaan, yang menyatakan bahwa pada tipe inflamasi hasil pemeriksaan KOH tidak selalu menunjukkan hasil positif karena proses peradangan yang parah sehingga elemen jamur lebih sulit ditemukan.2
Pemeriksaan kultur jamur dapat tumbuh pada 13 pasien (56,52%), dengan spesies terbanyak berupa Microsporum
canis (69,23%), diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes
(23,08%), dan Trichophyton rubrum (7,69%). Sampai saat ini Microsporum canis masih merupakan penyebab tersering tinea kapitis di seluruh dunia.2 Data dari RSUP Sanglah
Denpasar menunjukkan hasil kultur terbanyak adalah
Trichophyton mentagrophytes pada 12 pasien (27,27%), Trichophyton tonsurans pada 5 pasien (11,36%), dan Trichophyton rubrum pada 2 pasien (4,54%).11
Terapi utama yang digunakan adalah griseofulvin pada 73,91% pasien. Griseofulvin oral menjadi pilihan utama karena sampai saat ini masih merupakan terapi baku tinea kapitis di Amerika Serikat. Selain itu, griseofulvin menunjukkan efektivitas paling baik untuk infeksi
Microsporum sp.10 Untuk anak-anak yang dianjurkan dosis
10-20 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu yang diminum bersamaan dengan makanan berlemak untuk meningkatkan absorbsi. Namun, tingginya laporan kegagalan dengan dosis tersebut menyebabkan para ahli menganjurkan dosis 20-25 mg/kgBB/hari untuk bentuk microsize dan 15 mg/ kgBB/hari untuk bentuk ultramicrosize selama 8 minggu,
meskipun tidak berdasarkan uji klinis.1 Itrakonazol juga efektif
mengeradikasi tinea kapitis yang disebabkan Microsporum
sp. maupun Trichophyton sp. dengan dosis 3-5 mg/kgBB/
hari dalam waktu 4-6 minggu. Demikian pula dengan terbinafin dosis 3-6 mg/kgBB/hari dapat mengatasi infeksi
Trichophyton sp. selama 2-4 minggu, dan Microsporum sp.
selama 4-8 minggu.1 Terdapat 1 pasien yang diterapi dengan
terbinafin dan mengalami perbaikan setelah diterapi selama 4 minggu. Pasien ini sebenarnya sudah mendapat terapi griseofulvin oral dari dokter sebelumnya, dan datang ke poliklinik dengan keluhan erupsi obat alergik akibat griseofulvin sehingga diganti dengan terbinafin.
Terdapat 20 pasien yang diobati dengan 15 pasien (65,22%) di antaranya mengalami perbaikan, tetapi hanya 5 pasien (21,74%) yang berhasil diikuti sampai akhir terapi dan dinyatakan sembuh. Empat dari 5 pasien yang dinyatakan sembuh tersebut diterapi dengan griseofulvin oral dosis 10-20 mg/kgBB/hari dengan rerata lama terapi 5 minggu. Sedangkan 1 pasien awalnya diterapi dengan griseofulvin selama 4 minggu, dikarenakan terdapat erupsi obat alergik maka diganti dengan itrakonazol selama 4 minggu.
Efek samping akibat penggunaan obat antijamur ditemukan pada penggunaan griseofulvin pada 3 pasien, yaitu 2 pasien dengan erupsi obat alergik dan 1 pasien dengan peningkatan enzim hati. Terapi salah satu pasien yang mengalami erupsi obat alergik diganti dengan itrakonazol oral dan diberikan steroid topikal, sedangkan terapi pasien kedua dengan efek samping yang sama diganti dengan terbinafin oral dan diberikan steroid topikal serta antihistamin oral. Pasien yang mengalami efek samping peningkatan enzim hati diobservasi dan diterapi oleh Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Selain terapi antijamur oral, seluruh pasien pada penelitian ini juga diberikan terapi tambahan berupa sampo selenium sulfida 1,8%. Terapi ajuvan yang dianjurkan oleh para ahli untuk mengeradikasi dermatofita dari skalp, antara lain selenium sulfida (1% dan 2,5%), zinc pyrithione (1% dan 2%), povidon iodin 2,5%, dan ketokonazol 2%. Lama penggunaan dianjurkan selama 2-4 minggu untuk dipakai 2-4 kali seminggu.Penggunaan antijamur topikal dapat mengurangi risiko transmisi kepada orang lain pada tahap awal terapi sistemik tinea kapitis.5,7
KESIMPULAN
Pada studi ini, prevalensi tinea kapitis sangat kecil bila dibandingkan dermatomikosis lain. Tinea kapitis paling banyak mengenai anak-anak dengan kejadian yang sama
DAFTAR PUSTAKA
1. Verma S, Heffernan MP. Superficial fungal infection: dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008. h. 1807-21.
2. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, Abeck D. Pediatric tinea capitis recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005; 5: 203-13.
3. Nasution MA, Muis K, Rusmawardiana. Tinea kapitis. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SW, Dwihastuti P, Widaty S, editor. Dermatomikosis superfisialis: pedoman untuk dokter dan mahasiswa kedokteran. Balai penerbit FKUI: 2004. h. 24-30.
4. Elewski BE. Tinea capitis: a current perspective. J Am Acad Dermatol. 2000; 42: 1-20.
5. Patel GA, Schwartz RA. Tinea capitis: still an unsolved problem? Mycoses. 2009: 1-6.
6. Hay RJ, Robles W, Midgley G, Moore MK. Tinea capitis in Europe: new perspective on an old problem. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2001; 15: 229-33.
7. Foster KW, Ghannoum MA, Elewski BE. Epidemiologic surveillance of cutaneous fungal infection in the United States from 1999 to 2002. J Am Acad Dermatol. 2004; 50: 748-52. 8. El N. Dermatophytosis in Western Africa: a review. Pak J
Biol Sci. 2010; 13: 649-56.
9. Ngwogu AC. Epidemiology of dermatophytoses in a rural community in Eastern Nigeria and review of literature from Africa. Mycopathol. 2007; 164: 149-58.
10. Ginter-Hanselmayer G, Seebacher C. Treatment of tinea capitis-a critical appraisal. J Germ Soc Dermatol. 2011; 9: 109-14.
11. Putu DWL, Made B, Made SA. Tinea kapitis di RSUP Sanglah Denpasar. MDVI. 2008; 35: 15-8s.
12. Suyoso S. Tinea kapitis pada bayi dan anak. Dalam: Kelompok Studi Dermatologi Anak. Penyakit papuloeritroskuamosa dan dermatomikosis superfisialis pada bayi dan anak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2008. h. 49-88. 13. Rippon JW. Medical mycology the pathogenic fungi and the
pathogenic actinomycetes. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 1988. h.169-269.
pada anak laki-laki dan perempuan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan penunjang. Bentuk klinis tersering adalah inflamasi. Microsporum canis masih merupakan spesies penyebab tersering. Griseofulvin oral masih merupakan terapi baku tinea kapitis di RSCM.