• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Studi Kasus Kedokteran Okupasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Studi Kasus Kedokteran Okupasi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Studi Kasus Kedokteran Okupasi

Kebisingan di Pabrik Karet Unit Pematang Kiwah Natar

Oleh:

Adriawan Tirta, S. Ked Ahmad Ismatullah, S. Ked Anggun Permatasari, S.Ked

Desty Ariani, S. Ked Easy Orient Dewantari, S. Ked

Lailatus Syifa, S. Ked Ratu Adini Yandi, S.Ked

Ucha Clarinta, S. Ked

Pembimbing dr. Mujiarto Winarji

Disusun Dalam Rangka

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Komunitas / Okupasi

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung PT. Perkebunana Nusantara VII

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN Telah diperiksa dan disetujui

Laporan Studi Kasus Kedokteran Komunitas/Okupasi

judul

Kebisingan di Pabrik Karet Unit Pematang Kiwah Natar

Oleh:

Adriawan Tirta, S. Ked Ahmad Ismatullah, S. Ked Anggun Permatasari, S.Ked

Desty Ariani, S. Ked Easy Orient Dewantari, S. Ked

Lailatus Syifa, S. Ked Ratu Adini Yandi, S.Ked

Ucha Clarinta, S. Ked

Bandarlampung, 10 September 2015

Pembimbing

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Case Report yang berjudul Kebisingan di Pabrik Karet Unit Pematang Kiwah Natar dalam rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Mujiarto Winarji, selaku pembimbing di PTPN VII. Selain itu, semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi mahasiswa. Penulis menyadari bahwa Case Report / Laporan kasus ini masih jauh dari sempurna sehingga setiap kritik dan saran untuk pengembangan makalah ini, lebih kurangnya kami mengucapkan Terima Kasih.

Bandar Lampung, September 2015

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO), satu pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. ILO juga mencatat, 153 pekerja di dunia mengalami kecelakaan kerja setiap 15 detik. Diperkirakan 2,3 juta pekerja meninggal setiap tahun akibat kecelakaan dan penyakit kerja. Lebih dari 160 juta pekerja menderita penyakit akibat kerja dan 313 juta pekerja mengalami kecelakaan non-fatal per tahunnya. Dari sudut pandang ekonomi, ILO memperkirakan lebih dari 4% Produk Domestik Bruto (PDB) digunakan untuk kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Biaya tersebut dihabiskan untuk hilangnya waktu kerja, gangguan produksi, kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta ganti rugi kepada keluarga korban. Maka dari itu ILO menghimbau kepada seluruh negara dan perusahaan untuk menanamkan kesadaran terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Perusahaan harus menciptakan kondisi kerja yang aman untuk para pekerjanya dan menumbuhkan kesadaran kepada para pekerja untuk mengikuti prosedur K3 sesuai ketentuan yang berlaku. Salah satu upayanya, perusahaan wajib melaksanakan pelatihan, pemasangan safety sign sesuai standar di area kerja, atau melakukan kampanye K3 kreatif untuk disosialisasikan kepada pekerja.

Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Potensi bahaya fisik yaitu, potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya terpapar kebisingan intensitas tinggi (Tarwaka, 2008).

(5)

Banyak penderitaan terjadi disebabkan oleh kondisi fisik dan lingkungan kerja yang berbahaya dimana pekerjaan dilakukan oleh pekerja. Salah satu kondisi fisik dan lingkungan kerja yang membahayakan adalah kebisingan. Kebisingan yang melebihi nilai ambang batas dapat menimbulkan penyakit akibat kerja yaitu dapat berupa gangguan pendengaran atau kerusakan pada telinga baik bersifat sementara ataupun permanen setelah terpapar untuk jangka waktu tertentu tanpa proteksi yang memadai.

Masalah

PT Perkebunan Nusantara merupakan perusahaan industri yang bergerak di bidang perkebunan, salah satu nya pengolahan karet yang mana dalam proses produksi menggunakan mesin-mesin dan peralatan mempunyai intensitas kebisingan tinggi yang dapat menyebabkan adanya gangguan pekerjaan ataupun penyakit akibat kerja yang berupa gangguan pendengaran akibat kebisingan. Dari permasalahan ini, perlu dilakukan identifikasi terhadap bahaya potensial bising yang ada di tempat ini.

Tujuan

Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini antara lain adalah:

1. Mengidentifikasi bahaya potensial lingkungan kerja khususnya kebisingan yang ditemukan pada pekerja di pabrik pengolahan karet PTPN 7 Pematang Kiwah Natar. Metodologi

1. Survey kebisingan dan evaluasi

2. Pengisian kuesioner terhadap pekerja yang terpapar kebisingan >85dB.

3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pekerja yang memiliki potensi gangguan pendengaran.

(6)

BAB II

Survey Kebisingan dan Evaluasi

I. PENGENDALIAN POTENSI BAHAYA

Menurut PERMENAKER No. 05/MEN/1996 & KEPMENAKER NO. 51/MEN/1999 tentang sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3), program perlindungan pendengaran dilakukan sebagai berikut:

1. Survey dan evaluasi sumber bahaya 2. Pengendalian secara teknis

3. Pengendalian secara administratif 4. Pengendalian secara medis

5. Penyuluhan dan penggunaan alat pelindung diri

II. Hasil Survey

I. Hasil Survey

PT Perkebunan Nusantara merupakan perusahaan industri yang bergerak di bidang perkebunan, salah satu nya pengolahan karet yang mana dalam proses produksi menggunakan mesin-mesin dan peralatan mempunyai intensitas kebisingan tinggi yang dapat menyebabkan adanya gangguan pekerjaan ataupun penyakit akibat kerja yang berupa gangguan pendengaran akibat kebisingan.

Proses produksi diawali dengan pembongkaran bahan baku berupa karet mentah yang sudah ditimbang. Kemudian bahan tersebut di masukkan ke sebuah alat yang disebut Slab Cutter. Di sini bahan baku di potong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Saat bekerja mesin ini menghasilkan suara kebisingan sebesar 83dB. Setelah bahan baku dipotong, proses selanjutnya adalah merubah bahan menjadi potongan yang lebih kecil. Proses ini menggunakan mesin yang disebut Hammer mill. Mesin ini juga menghasilkan suara kebisingan, yaitu 84dB. Setelah menjadi remahan yang kecil, bahan

(7)

dipadatkan membentuk lembaran-lembaran, kemudian dikeringkan. Lembaran ini kemudian dihancurkan kembali menggunakan mesin Shreeder menjadi remahan-remahan. Mesin ini mengeluarkan suara yang paling bising, yaitu sebesar 88dB. Setelah menjadi remahan, bahan dicuci dan dikeringkan di mesin Dryer dengan suhu 120oC

selama 3,5 jam. Mesin ini menghasilkan kebisingan sebesar 65dB. Bahan yang telah kering kemudian di press membentuk kotak dengan menggunakan mesin Balling Press. Mesin ini mengasilkan kebisingan sebesar 75dB. Bahan yang sudah berbentuk kotak kemudian ditimbang. Berat satu kotak ditentukan yaitu 35 kg. Apabila berat nya lebih, maka kotak dipotong menggunakan Ball cutter. Setelah berat sesuai, produk yang telah jadi melewati mesin metal detector untuk mendeteksi kontaminan yang mungkin saja ada pada produk. Kemudian produk dikemas dan siap dikirimkan kepada konsumen.

Dari proses produksi tersebut diketahui bahwa mesin shreeder memiliki nilai kebisingan yang paling tinggi yaitu 88dB. Menurut Kepmenaker No. KEP.51/MEN/1999, waktu pemaparan maksimal per hari untuk kebisingan sebesar 88dB adalah 4 jam. Sedangkan pekerja bagian shreeder harus terpapar bising tersebut selama 7 jam perhari. Perusahaan mewajibkan penggunaan earplug pada pekerja yang terpapar bising lebih dari 85dB. Terdapat empat orang pekerja yang ada di bagian shreeder, dan hanya dua orang saja yang menggunakan earplug.

Pada dua orang pekerja yang menggunakan earplug diberikan kuesioner mengenai efek kebisingan terhadap keseharian pekerja. Hasilnya dua orang pekerja tersebut memiliki risiko adanya gangguan pendengaran akibat paparan bising. Kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada salah satu pekerja.

(8)

Tabel hasil kuisioner : II. II. II. II. II. II. II. II. II. II. II. Evaluasi Identitas pasien Nama : Tn. Misr Umur : 38 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai tetap

Alamat : Purwosari

Tgl Periksa : Kamis, 3 September 2015

ANAMNESIS (autoanamnesis) N

O

Pertanyaan Ya/ Tidak

1. Apakah pada jarak 1 depa/1 meter pekerja harus berteriak jika ingin berkomunikasi/ berbicara dengan pekerja lain disampingnya?

YA

2. Apakah pekerja sering merasa telinga berdenging saat sudah pulang kerja?

YA

3. Apakah pekerja bisa mendengar dengan baik dan mengerti pembicaraan dengan keluarga dirumah?

TIDAK

4. Apakah pekerja sering membesarkan volume televisi atau radio saat dirumah?

YA

5. Apakah dalam pmbicaraan dengan orang lain pekerja sering meminta lawan bicara untuk mengulang perkataannya?

(9)

Keluhan Utama

Tidak nyaman pada telinga karena tempat kerja yang terlalu bising

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien adalah pegawai tetap PTPN VII gol IB. Pasien saat ini bekerja di pabrik Pewa bagian Shreeder, pasien bekerja di bagian ini sejak sebulan lalu. Bagian shreeder merupakan bagian pengolahan yang memiliki tingkat kebisingan paling tinggi dibanding dengan bagian lainnya. Pasien bekerja dengan system shift, kerja dimulai pukul 7 pagi dan lama waktu kerja adalah 7 jam setiap shift.

Ketika pertama kali bekerja di bagian Shreeder sebulan lalu, pasien bekerja tanpa menggunakan APD. Pasien mengatakan telinganya terasa penuh dan bedenging saat pulang ke rumah, keluhan tersebut dirasakan setiap kali bekerja tanpa APD. Setelah 3 hari bekerja di Shreeder, pasien akhirnya menggunakan APD berupa earplug untuk melindungi telinga dari kebisingan. Pasien mengatakan pertama kali menggunakan APD terasa tidak nyaman karena belum terbiasa, namun sekarang sudah terasa cukup nyaman memakainya. Setelah penggunaan earplug, pasien mengatakan keluhan telinga penuh dan berdenging sudah tidak lagi dirasakan.

Anamnesis Okupasi Jenis

Pekerjaan

Bahaya potensial Tempat Kerja

Lama Kerja

Pekerja Pabrik Pajanan Mekanik: Bising Mesin Shreeder

+ 1 bulan

1. Uraian tugas/pekerjaan

Pada pekerjaan bagian shreeder PT. Perkebuana Nusantara, pekerja bekerja ± 7 jam perhari. Kronologis pekerjaan :

(10)

Pasien merupakan pekerja tetap di pabrik pengolahan karet pewa. Secara garis besar uraian proses produksinya dimulai dari pembongkaran, pengolahan, dan packing. Pekerja datang ke unit pabrik karet pewa PTPN pada pukul 7 pagi. kemudian menghabiskan waktu kerja di area pengolahan bagian shreeder. Dalam melakukan pekerjaannya, pekerja selalu berdekatan dengan mesin yang menghasilkan kebisingan yang berpotensial menyebabkan gangguan pendengaran berupa telinga terasa penuh, berdenging, hingga penurunan pendengaran. Pekerjaan ini dilakukan 7 jam sehari, dari hari Senin hingga Sabtu. Dalam melakukan pekerjaannya, pekerja turut berkoordinasi dengan pekerja lain. Pengontrolan dilakukan oleh mandor yang pada masing-masing bagian.

2. Potensial Hazard

Bahaya Potensial

Masalah Kesehatan Tempa t Kerja

Lama Kerja Fisik - Kebisingan yang

dihasilkan mesin - Suhu udara panas di

dalam pabrik

Pabrik ± 7jam/hari

Biologi - Debu dari udara Pabrik ± 7jam/hari Fisiologi - Posisi , sifat dan cara

kerja yang tidak ergonomis

Pabrik ± 7 jam/hari

Psiko-sosial - Beban kerja berupa waktu yang tidak sesuai

Pabrik ± 7 jam/hari

3. Hubungan pekerjaan degan penyakit yang dialami (gejala / keluhan yang ada)

Pekerjaan utama pasien adalah mengolah karet di bagian shreeder sebelum dimasukkan ke trolly dan dikeringkan. Pekerjaan dibagian ini memiliki risiko terjadinya gangguan pendengaran seperti telinga sakit, berdenging, telinga terasa penuh, bahkan dalam waktu lama dapat menyebabkan penurunan pendengaran. Hal ini yang mengharuskan pekerja

(11)

agar memakai alat pelindung pendengaran berupa 'earplug'. Tetapi kadang kala pekerja kerap enggan memakai alat pelindung diri karena tidak nyaman dan tidak terbiasa.

Riwayat Pekerjaan

Pasien pertama kali bekerja sebagai pemanen di kebun unit rejosari, sejak tahun 2000-2010. Kemudian pasien bekerja di bagian lab rejosari selama 3 tahun (2011-2014). Setelah itu pasien pasien dipindah bekerja di pabrik unit Pewa bagian pengolahan (Trolly) sekira selama 9 bulan. . Sejak sebulan lalu - sekarang Pasien bekerja di pabrik Pewa bagian pengolahan (shreeder)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa

Riwayat Pengobatan

Sebelumnya pasien sudah dibawa berobat kedokter, dan mendapatkan obat tetes telinga tetapi untuk nama obatnya lupa

Riwayat Alergi

Alergi terhadap obat-obatan disangkal

PEMERIKSAAN FISIK a. Status Generalis:

Keadaan Umum : Tampak Normal

(12)

Tanda-tanda Vital

TD : 120/70

Nadi : 88 x/menit, kuat, regular, isi cukup

Kepala : Normochepal

Mata : Sklera ikterik -, Konjungtiva anemis -

/-Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-)

Thorax : Simetris, retraksi , massa , scar

-/-Abdomen : Supel, massa -, scar –

Ekstremitas : Deformitas , edema

-/-b. Status lokalis

AD AS

Normotia, helix sign (-), tragus sign (-)

Aurikula Normotia, helix sign (-), tragus sign (-)

tanda radang(-), pus(-), nyeri tekan(-), fistula(-)

Preaurikula tanda radang(-), pus(-), nyeri tekan(-), fistula(-)

Tenang, udem(-), fistel(-), ,sikatriks(-), nyeri tekan(-)

Retroaurikula Tenang, udem(-), fistel(-), sikatriks(-), nyeri tekan(-)

Hiperemis(-), udem(-), sekret(-), serumen (+),

massa(-)

MAE Hiperemis(-), udem(-), serumen(-),sekret(-), massa(-)

(13)

Intak, reflek cahaya (+) jam

5, sekret (-), serumen (-) Membran timpani

Intak, reflek cahaya (+) jam 7, sekret (-), serumen (-)

Positif Rinne positif

Lateralisasi (-) Weber Lateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksa Schwabach Sama dengan pemeriksa

III. RESUME HASIL SURVEY DAN EVALUASI

Pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman pada telinga karena tempat kerja yang terlalu bising. Pasien saat ini bekerja di pabrik Pewa bagian Shreeder, pasien bekerja di bagian ini sejak sebulan lalu. Bagian Shreeder merupakan bagian pengolahan yang memiliki tingkat kebisingan paling tinggi dibanding dengan bagian lainnya. Pasien bekerja dengan sistem shift, kerja dimulai pukul 7 pagi dan lama waktu kerja adalah 7 jam setiap shift.

Ketika pertama kali bekerja di bagian Shreeder sebulan lalu, pasien bekerja tanpa menggunakan APD. Pasien mengatakan telinganya terasa penuh dan bedenging saat pulang ke rumah, keluhan tersebut dirasakan setiap kali bekerja tanpa APD. Setelah 3 hari bekerja di Shreeder, pasien akhirnya menggunakan APD berupa 'earplug' untuk melindungi telinga dari kebisingan. Pasien mengatakan pertama kali menggunakan APD terasa tidak nyaman karena belum terbiasa, namun sekarang sudah terasa cukup nyaman memakainya. Setelah penggunaan airplug, pasien mengatakan keluhan telinga penuh dan berdenging sudah tidak lagi dirasakan.

Pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik telinga menggunakan otoskop dan pemeriksaan pendengaran menggunakan garputala. pada pemeriksaan telinga luar didapatkan daun telinga tampak normal, tidak ada deformitas, dan tidak ada nyeri tekan. pada pemeriksaan menggunakan otoskop didapatkan liang telinga pasien tampak luas

(14)

dengan serumen minimal, tidak ada tanda peradangan, sekret, ataupun massa yang menghambat liang telinga. kemudian pada pemeriksaan menggunakan garputala didapatkan Test Rinne (+) pada kedua telinga, Test weber (sama pada kedua telinga, tidak ada lateralisasi), dan test Schwabach (pendengaran pasien sama dengan pemeriksa).

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

a. Pengertian bunyi

Menurut Ganong W.F. (1992) suara adalah sensasi yang dihasilkan apabila getaran longitudinal molekul-molekul dari lingkungan luar, yaitu fase pemadatan dan peregangan dari molekul-molekul yang silih berganti, mengenai membrane timpani. Pola dari gerakan ini digambarkan sebagai perubahan-perubahan tekanan pada membran timpani

(15)

tiap unit waktu merupakan sederetan gelombang dan gerakan ini dalam lingkungan sekitar kita umumnya dinamakan gelombang suara.

b. Kebisingan

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Kepmenaker No. 51 Tahun 1999). Menurut Suma’mur, 1996. intensitas kebisingan atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut decibel (dB) dengan memperbandingkan dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1.000 Hz yang tepat didengar oleh telinga normal. Dinyatakan dalam rumus: dB = 20 10 log p/po Dimana: p = tegangan suara yang bersangkutan po = tegangan suara standar (dyne/cm2 ).

c. Gangguan Kebisingan di Tempat Kerja

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia yang terpapar dan dapat dikelompokan secara bertingkat sebagai berikut:

a) Gangguan Fisiologis

Seseorang yang terpapar bising dapat menggangu, lebih-lebih yang terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba dan tak terduga. Gangguan dapat terjadi seperti, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, basa metabolisme, kontraksi pembuluh darah kecil, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris, serta dapat menurunkan kinerja otot.

b) Gangguan Psikologis

Seseorang yang terpapar bising dapat teganggu kejiwaanya, berupa stres, sulit berkonsentrasi dan lain-lain, dengan akibat mempengaruhi kesehatan organ tubuh yang lain.

c) Gangguan komunikasi

Yaitu gangguan pembicaraan akibat kebisingan sehingga lawan bicara tidak mendengar dengan jelas. Untuk rnengatasi pembicaraan perlu lebih diperkeras bahkan berteriak.

(16)

d) Gangguan keseimbangan

Kebisingan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan yang berupa kesan seakan-akan berjalan di ruang angkasa.

e) Ketulian

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh kebisingan, maka gangguan yang paling serius adalah ketulian. Ketulian akibat bising ada tiga macam yaitu

1) Tuli sementara 2) Tuli menetap 3) Trauma akustik a. Jenis Kebisingan

Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan.

Pegukuran kebisingan bertujuan untuk memperoleh data kebisingan dan menguranginya sehingga tidak mengganggu, sedangkan jenis-jenis Kebisingan yang sering dijumpai adalah:

a) Kebisingan kontinue dengan spektrurn frekuensi yang luas (=steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain;

b) Kebisingan kontinue dengan spektrum frekuensi yang sempit (=steady state narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dan lain-lain;

c) Kebisingan terputus-putus (=intermittent), misalnya lalu lintas, suara kapal terbang di lapangan udara;

d) Kebisingan impulsif (=impact or impulsive noise), seperti pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam, ledakan;

e) Kebisingan impuisif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan. Pengaruh utama kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan jaringan pendengaran yang menyeb abkan ketulian progresif. Sedangkan NAB yang doperbolehkan adalah 85 dB(A), (Suma’mur,1996).

(17)

Sumber bising ialah sumber bunyi yang kehadirannya dianggap mengganggu pendengaran baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya sumber kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan, pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat pengangkut dan kegiatan rumah tangga. Di Industri, sumber kebisingan dapat di klasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu:

1. Mesin

Kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas mesin. 2. Vibrasi

Kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan akibat gesekan, benturan atau ketidak seimbangan gerakan bagian mesin. Terjadi pada roda gigi, roda gila, batang torsi, piston, fan, bearing, dan lain-lain.

3. Pergerakan udara, gas dan cairan

Kebisingan ini di timbulkan akibat pergerakan udara, gas, dan cairan dalam kegiatan proses kerja industri misalnya pada pipa penyalur cairan gas, outlet pipa, gas buang, jet, flare boom, dan lain-lain.

c. Upaya Pengendalian Bising

Berdasarkan teknik pelaksanaannya, pengendalian kebisingan dapat dibedakan dalam 3 cara pengendalian:

1. Survey dan evaluasi sumber bahaya 2. Pengendalian secara teknik

Bila bising telah teridentifikasi melalui analisa kebisingan yaitu dengan walk trough survey, yang pertama-tama harus dilakukan adalah pengendalian secara teknik. Konsep yang digunakan adalah mengurangi paparan terhadap pekerja dengan mengendalikan 2 komponen:

a) Mengurangi tingkat kebisingan pada sumbernya

 Pemelihanan dan pelumasan mesin-mesin dengan teratur.

 Pemilihan dan pemasangan mesin dengan tingkat kebisingan rendah. b) Menghilangkan transmisi kebisingan terhadap manusia.

 Menutup atau menyekat mesin atau alat yang mengeluarkan bising.

 Mengurangi bunyi yang diterima pekerja. Penggunaan alat pelindung telinga untuk menurunkan intensitas kebisingan yang mencapai alat pendengaran. 3. Pengendalian secara administratif

(18)

Pengendalian secara administratif merupakan prosedur yang bertujuan untuk mengurangi waktu paparan pekerja terhadap bising, dengan merotasi dan menyusun jadwal kerja berdasarkan perhitungan dosis paparan sesuai Nilai Ambang Batas serta pemeriksaan kesehatan awal, berkala maupun pemerikasaan kesehatan secara khusus.

4. Pengendalian secara medis

Pemeriksaan kesehatan kerja ditetapkan dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi No. Per 02/Men/1980 (Pungky, W, 2002) tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja meliputi:

a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja diterima untuk melakukan pekerjaan, antara lain:

1) Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja ditujukan agar tenaga kerja yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang akan mengenai tenaga kerja lainnya dan cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan sehingga keselamatan dan kesehatan tenaga kerja yang bersangkutan dan tenaga kerja lainnya dapat terjamin.

2) Semua perusahaan sebagaimana tersebut dalam undang-undang No. 1 tahun 1970, harus mengadakan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja.

3) Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja meliputi pemeriksaan kesehatan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bila mungkin) dan laboratorium rutin serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu.

4) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu perlu dilakukan pemeriksaan yang sesuai dengan kebutuhan guna mencegah bahaya yang diperkirakan timbul.

5) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman pemeriksaan kesehatan sebelum kerja yang menjamin penempatan tenaga kerja sesuai dengan kesehatan dan pekerjaan yang akan dilakukannya dan pedoman tersebut mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh direktur.

6) Pedoman pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dibina dan dikembangkan mengikuti kemampuan perusahaan dan kemajuan kedokteran dalam keselamatan kerja.

7) Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter, tidak ada keragu-raguan maka perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja.

(19)

b. Pemeriksaan kesehatan berkala Pemeriksaan kesehatan berkala adalah pemeriksaan kesehatan pada waktuwaktu tertentu terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh dokter.

1) Pemeriksaan kesehatan berkala dimaksudkan untuk mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada dalam pekerjaannya serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan seawal mungkin yang perlu dikendalikan dengan usaha-usaha pencegahan.

2) Semua perusahaan harus melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kerja sekurang-kurangnya 1 tahun sekali, kecuali ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja.

3) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman pemeriksaan kesehatan berkala sesuai dengan kebutuhan menurut jenis-jenis pekerjaan yang ada. 4) Pedoman pemeriksaan kesehatan dikembangkan mengikuti kemampuan perusahaan

dan kemajuan kedokteran dan keselamatan kerja.

5) Dalam hal ditemukan kelainan atau gangguan kesehatan pada tenaga kerja pada pemeriksaan berkala, pengurus wajib mengadakan tindak lanjut untuk memperbaiki kelainan-kelainan tersebut dan sebabsebabnya untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan kesehatan kerja.

6) Agar pemeriksaan kesehatan berkala mencapai sasaran yang luas, maka pelayanan kesehatan di luar perusahaan dapat dimanfaatkan oleh pengurus menurut keperluan. 7) Dalam melaksanakan kewajiban pemeriksaan kesehatan berkala, Direktur Jenderal

Pembina Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja dapat menunjuk satu atau beberapa Badan sebagai penyelenggara yang akan membantu perusahaan yang tidak mampu melakukan sendiri pemeriksaan kesehatan berkala.

c. Pemeriksaan kesehatan khusus Pemeriksaan kesehatan khusus adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu, meliputi:

1) Pemeriksaan kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja atau golongan-golongan tenaga kerja tertentu.

2) Pemeriksaan kesehatan khusus dilakukan pula terhadap:

a) Tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit yang memerlukan perawatan lebih dari 2 (dua) minggu.

b) Tenaga kerja yang berusia diatas 40 tahun atau tenaga kerja wanita dan tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja muda yang melakukan pekerjaan tertentu.

(20)

c) Tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai gangguan-gangguan kesehatannya perlu dilakukan pemeriksaan khusus sesuai dengan kebutuhan.

Pemeriksaan kesehatan khusus diadakan pula apabila terdapat keluhankeluhan diantara tenaga kerja, atau atas pengamatan Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja, atau atas penilaian Pusat Bina Hiperkes dan Balai-balainya atau atas pendapat umum masyarakat.

Menurut Forum Komunikasi K3LH/BUMNIS 1996 pengujian kesehatan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pemeriksaan kesehatan dan penilaian kesehatan yang dilakukan terhadap tenaga kerja ataupun calon tenaga kerja.

Macam pengujian kesehatan dan peruntukannya meliputi:

a. Pengujian kesehatan sebelum kerja, dikenakan terhadap calon tenaga kerja khususnya calon yang:

1) Akan melaksanakan masa percobaan, 2) Akan diangkat menjadi tenaga kerja.

b. Pengujian kesehatan berkala, dikenakan terhadap tenaga kerja yang telah bekerja atau melaksanakan tugasnya sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau selama-lamanya 2 tahun terus menerus tanpa terputusputus dan diulang sekurang-kurangnya tiap 2 bulan. c. Pengujian kesehatan khusus, dikenakan terhadap tenaga kerja tertentu yaitu tenaga kerja

yang menurut pendapat pejabat yang berwenang mengajukan permintaan pengujian kesehatan, diduga:

1) Menderita suatu penyakit, baik penyakit yang berhubungan ataupun penyakit yang tidak berhubungan dengan pekerjaanya.

2) Tidak dapat melanjutkan pekerjaanya sehubungan dengan keadaan kesehatannya. 3) Karena suatu hal mengalami perubahan kondisi mental dan atau kesehatan jasmani

dan atau kemampuan fisik sehingga sudah tidak sesuai dengan persyaratan kesehatan untuk pekerjanya.

(21)

Penggunaan APD adalah upaya terakhir apabila secara teknis dan admnistratif tidak dapat lagi mengurangi paparan alat pelindung telinga pada umumnya. Ada dua jenis alat perlindungan telinga:

a) Ear muff b) Ear plug.

d. Nilai Ambang Batas

Nilai Ambang Batas kebisingan adalah besarnya tingkat suara dimana sebagian besar tenaga kerja masih berada dalam batas aman untuk bekerja 8 jam/ hari. Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999, tanggal 16 april 1999 tentang nilai ambang batas kebisingan ditempat kerja adalah 85 dB(A).

Adapun data intensitas dan jam kerja yang diperkenankan tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel I

(22)

A. PAK Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Menurut Nasri, 1999. Kebisingan dapat menimbulkan gangguan pendengaran pada manusia yang terpapar diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Tuli sementara (Temporary Treshold Shift = TTS)

Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali.

(23)

Diakibatkan waktu paparan yang lama (kronis), besarnya PTS di pengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :

a. Tingginya level suara b. Lama paparan

c. Spektrum Suara

d. Temporal pattern, bila kebisingn yang kontinyu maka kemungkinan terjadi TTS akan lebih besar

e. Kepekaan individu

f. Pengaruh obat-obatan, beberapa obat-obatan dapat memperberat (pengaruh synergistik) ketulian apabila diberikan bersamaan dengan kontak suara, misalnya quinine, aspirin dan beberapa obat lainnya

g. Keadaan kesehatan 3) Trauma akustik

Trauma akustik adalah setiap perlukaan yang merusak sebagian atau seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran.

4) Prebiacusis

Prebycusis (menurunnya daya dengar dengan nada tinggi), merupakan penurunan daya dengar sebagai akibat pertambahan usia yang biasanya terjadi pada orang tua dan hal ini terjadi karena adanya kelumpuhan syaraf pendengaran. Gejala ini harus diperhitungkan jika menilai penurunan daya dengar akibat pajanan bising ditempat kerja.

5) Tinitus

Tinnitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan pendengaran. Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging. Orang yang dapat merasakan tinnitus dapat merasakan gejala tersebut pada saat keadaan hening seperti saat tidur malam hari atau saat berada diruang pemeriksaan audiometri.

(24)

Dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no. Per 01/MEN/1981 (Pungky W, 2002), yang dimaksud dengan penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Definisi lain dari penyakit akibat kerja adalah hubungan dengan faktor penyebab spesifik di tempat kerja, sepenuhnya dipastikan dan faktor tersebut dapat diidentifiksi, diukur dan selanjutnya dapat dikendalikan (WHO, 1985 dalam A.M. Sugeng Budiono, 2001). Penyakit akibat kerja atau lebih dikenal sebagai man made diseases dapat timbul setelah seorang karyawan yang tadinya terbukti sehat memulai pekerjaannya.

Dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no. 1 tahun 1981 pasal 4 (pungki w, 2002), kewajiban pengusaha dalam menghadapi penyakit akibat kerja adalah:

1) Pengurus wajib dengan segera melakukan tindakan-tindakan preventif agar penyakit akibat kerja yang sama tidak terulang kembali diderita oleh tenaga kerja yang berada di bawah pimpinanya.

2) Apabila terdapat keragu-raguan terhadap hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Dokter, pengurus dapat meminta bantuan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam hal ini aparatnya untuk menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja.

3) Pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat pelindung diri yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

Sedangkan kewajiban dan hak tenaga kerja dalam menghadapi penyakit akibat kerja, antara lain:

a. Tenaga kerja harus memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan bila diperiksa oleh dokter atau pengawas keselamatan dan kesehatan kerja.

b. Tenaga kerja harus memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat keja.

c. Tenaga kerja harus memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

d. Tenaga kerja berhak meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua sysrat-syarat pencegahan penyakit akibat kerja.

e. Tenaga kerja berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan pada pekerjaan yang diragukan keadaan pencegahannya terhadap penyakit akibat kerja.

(25)

C. Usaha pencegahan

Menurut bennet silalahi dan rumondang silalahi (1995), langkah-langkah kearah pencegahan penyakit akibat kerja terdiri dari kesadaran manajemen untuk mencegah penyakit akibat kerja dan pengaturan tata cara pencegahan. Manajemen harus sadar bahwa peningkatan produktivitas kerja sangat erat kaitannya dengan efisiensi dan prestasi kerja. Kedua hal tersebut tidak terlepas dari tenaga kerja yang sehat, selamat dan sejahtera. Jadi, peningkatan kesejahteraan dan keselamatan kerja harus dilengkapi oleh lingkungan yang sehat.

Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pengendalian penyakit akibat kerja menurut Depnaker RI (1999), adalah:

a. Memberikan penerangan, bimbingan dan penyuluhan kepada tenaga kerja pada waktu mulai masuk bekerja maupun secara periodik mengenai:

1. Cara-cara bekerja yang benar dalam mengutamakan kesehatan dan keselamatan kerja, 2. Selalu menjaga kebersihan diri sendiri dengan cara:

a) Memakai pakaian kerja yang bersih pada waktu bekerja,

b) Mencuci tangan, muka maupun mulut sebelum makan, minum ataupun merokok, c) Sehabis bekerja harus mandi memakai sabun khusus pelarut logam dan

menggunakan pakaian kerja dengan pakaiannya sendiri yang bersih. 3. Disiplin memakai alat-alat proteksi pada waktu sedang bekerja.

b. Menyediakan sarana-sarana dan peralatan yang berkaitan dengan pengendalian penyakit akibat kerja (PAK) seperti:

1. Pakaian kerja, 2. Tempat mandi,

3. Tempat mencuci tangan, muka, mulut, yang dekat ruangan kerja, 4. Tempat mencuci pakaian kerja,

5. Alat pelindung diri (APD),

6. Memasang papan-papan peringatan,

7. Jika perlu, memberikan sangsi bagi yang melanggar ketentuan. c. Menyediakan makan siang yang cukup nilai gizinya.

Sedangkan penerapan teknologi pengendalian faktor penyebab pada lingkungan kerja dibedakan dalam:

1. Eliminasi atau meniadakan/menghilangkan sama sekali faktor penyebab sehingga dianggap sebagai cara yang paling “ideal” meskipun dalam pelaksanaannya perlu

(26)

mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan produksi. Sebagai contoh, bila dalam proses produksi digunakan bahan atau cara yang sangat berbahaya maka alternatifnya adalah hindari atau hilangkan sama sekali,

2. Substitusi yaitu mengganti semua proses atau bahan yang berbahaya namun menghasilkan produk atau manfaat yang tidak berbeda, misalnya mengganti asbestos dengan fibre glass, bahan karbon tetra klorida dengan bahan hidrokarbon, perubahan penggunaan wadah yang lebih kecil untuk mengganti wadah yang besar dalam proses pengepakan. Dalam pelaksanaannya cara substitusi ini perlu senantiasa dievaluasi kembali mengingat proses atau bahan pengganti dapat juga manimbulkan pengaruh lain,

3. Pengendalian teknis meliputi modifikasi atau penerapan cara teknis guna meminimalkan pemajanan pada tenaga kerja, missal melalui cara isolasi/pemisahan atau pemasangan penyekat, ventilasi local atau umum serta penyelenggaraan tata rumah tangga yang baik. Metode pengendalian teknis ini banyak dilakukan di tempat kerja dan sangat bermanfaat dalam upaya mencegah kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Pemasangan 20 alat pengaman mesin, tersedianya ruang panel/kendali, exhaust fanatau penyedot lainnya, tata letak yang memenuhi syarat, kebersihan dan kerapian di tempat kerja merupakan contoh lebih rinci dari pengendalian teknis tersebut.

4. Pengendalian administratif, melalui peningkatan higene perorangan atau penyediaan fasilitas saniter, tanda peringatan, pertimbangan aspek keselamatan dan kesehatan kerja dalam proses pembelian bahan/peralatan, petunjuk cara kerja yang sehat dan aman, penerapan system rotasi untuk mengurangi pemajanan,

5. Penggunaan APD oleh tenaga kerja sebagai alternatif paling akhir atau diterapkan bersamaan dengan teknologi pengendalian lainnya. Kesulitan atau problem tertentu yang dikeluhkan baik oleh perusahaan atau tenaga kerja sering pula terjadi, misalnya telah disediakan namun tidak digunakan, tidak tersedia atau terpelihara dengan baik, terasa kurang nyaman, kurang cocok, mengganggu kerja dan sebagainya. Pedoman umum untuk alat pelindung diri perlu diperhatikan, antara lain adalah pemilihannya yang benar sesuai untuk potensi bahaya yang dihadapi, pemeliharaan dilakukan

(27)

secara teratur, dipakai secara benar atau apabila diperlukan, disimpan secara aman dan dipahami benar manfaatnya,

6. Pelatihan yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan, tidak hanya mengenai penyakit akibat kerja melainkan juga mengenai berbagai aspek higene perusahaan, ergonomic, kesehatan kerja dan juga berbagai segi keselamatan kerja serta pengetahuan yang terkait. Pelatihan ini dapat 21 diselenggarakan secara khusus maupun langsung pada saat sebelum, selama dan sesudah bekerja atau melalui forum komunikasi, diskusi, pertemuan, dan sebagainya,

7. Pemantauan dan evaluasi pada penerapan sistem pencegahan yang disebutkan diatas melalui audit untuk menjawab berbagai pertanyaan seperti apakah resiko masih belum berkurang bagimana keluhan atau gangguan kesehatan yang, adakah penurunan kejadian kecelakaan atau penyakit sejauh mana efektivitas alat pengendali yang digunakan, mungkinkah terdapat perubahan sikap atau persepsi terhadap penerapan kesehatan dan keselamatan kerja dan sebagainya.

(28)

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Pekerja bagian Shreeder memiliki resiko tinggi untuk mengalami gangguan pendengaran akibat terpapar bising dengan intensitas 88dB selama 7 jam

2. Penggunaan alat pelindung diri, khususnya earplug diwajibkan terutama pada pekerja yang terpapar bising lebih dari 85dB

3. Belum ada pemeriksaan berkala, khususnya pemeriksaan audiometri pada pekerja yang terpapar bising dengan intensitas tinggi.

SARAN

1. Pemberian tanda (sign) pada mesin yang menghasilkan bunyi dengan intensitas lebih dari 85dB

2. Agar mencegah terjadinya penyakit akibat kerja, para pekerja sebaiknya melakukan pekerjaannya mengikuti prosedur dan norma yang berlaku, sehingga hal hal yang tidak diinginkan dapat dicegah.

3. Mengaktifkan peran P2K3 yang memiliki tugas diantaranya melakukan penjadwalan penyuluhan atau memberikan edukasi khusus dan dilakukan secara berkala tentang keselamatan kerja pada para pekerja agar meningkatkan kualitas sumber daya manusia para pekerja sehingga para pekerja memahami bahaya yang akan terjadi apabila mereka tidak melakukan pekerjaannya sesuai prosedur dan norma yang berlaku.

4. Perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, khususnya audiometri pada pekerja yang terpapar bising dengan intensitas tinggi.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

A.M. Sugeng Budiono, 2001. Tuli Akibat Kebisingan. Jakarta:Rineka Cipta Singgih Santosa.

Bennet N.B. Silalahi dan Rumondang B. Silalahi, 1995. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Pustaka Binawan Pressindo.

Depkes R.I, 1999. Kepustakaan Menteri Kesehatan dan Keputusan Direktur Jenderal PPM dan PLP Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja. Jakarta: Depkes RI.

Forum Komunikasi K3LH/BUMNIS, 1996. Pedoman Pengujian Kesehatan Tenaga Kerja. Surabaya: Pelabuhan Tiga Indonesia.

Ganong W.F, 1992. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Moh. Nasir, 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasri, 1999. Tehnik Pengukuran dan Pemantauan Kebisingan di Tempat Kerja

Pungky. W, 2002. Himpunan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sekretariat ASEAN-OSHNET dan Direktorat PNKK. Suma’mur P.K., 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV. Gunung Agung. Syukri Sahab, 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Bina Sumber Daya Manusia.

Tarwaka, 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja.Surakarta: PT Harapan Press.

Gambar

Tabel hasil kuisioner : II. II. II. II. II. II. II. II. II. II. II. Evaluasi Identitas pasien Nama  : Tn

Referensi

Dokumen terkait

a) Informasi yang diperoleh akan menambah pengetahuan tenaga kesehatan, terutama dokter gigi bahwa penyakit diabetes mellitus tipe II dengan resiko tinggi mempunyai manifestasti

Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam

ditujukan oleh aparatur dinas sosial dan tenaga kerja kabupaten Kampar berada pada kategori yang cukup baik. Berdasarkan analisa tabel maka dapat dikatakan bahwa

Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan,

22 Bambang Swasto, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Malang:UB Press, 2011), 109.. Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya baik

Dilihat dari manfaat remitan yang diterima oleh keluarga tenaga kerja Indonesia terhadap kondisi sosial ekonomi dikelompokkan secara keseluruhan sebagian besar

!idefinisikan sebagai stroke  jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit

Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan,