• Tidak ada hasil yang ditemukan

Esai Hiv Aids

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Esai Hiv Aids"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Esai HIV AIDS

Esai HIV AIDS

ODHA:

ODHA:

“JANGAN TINGGALKAN KAMI”

“JANGAN TINGGALKAN KAMI”

“Saya malu jika harus mengaku sebagai penderita HIV. “Saya malu jika harus mengaku sebagai penderita HIV.

Saya takut masyarakat akan mengucilkan saya. Saya takut masyarakat akan mengucilkan saya.

Saya ingin diterima oleh masyarakat layaknya orang pada umumnya” Saya ingin diterima oleh masyarakat layaknya orang pada umumnya”

Begitulah sedikit kata yang dapat saya petik dari seorang teman penderita HIV. Begitu besar Begitulah sedikit kata yang dapat saya petik dari seorang teman penderita HIV. Begitu besar ketakutan mereka seandainya mereka harus mengaku sebagai penderita HIV/AIDS dan dikucilkan ketakutan mereka seandainya mereka harus mengaku sebagai penderita HIV/AIDS dan dikucilkan dari masyarakat. Hanya sedikit dari komunitas mereka yang mau mengakui dirinya mengidap dari masyarakat. Hanya sedikit dari komunitas mereka yang mau mengakui dirinya mengidap HIV/AIDS di masyarakat. Mereka takut dirinya akan dikucilkan.

HIV/AIDS di masyarakat. Mereka takut dirinya akan dikucilkan.

Menurut data dari Departemen Kesehatan (Depkes) hingga 31 Maret 2008, kasus AIDS sudah Menurut data dari Departemen Kesehatan (Depkes) hingga 31 Maret 2008, kasus AIDS sudah mencapai 11.868 yang terjadi di 32 provinsi dan 194 kabupaten/kota dengan presentase tertinggi mencapai 11.868 yang terjadi di 32 provinsi dan 194 kabupaten/kota dengan presentase tertinggi  pada

 pada kelompok kelompok umur umur 20-29 20-29 tahun tahun (53,62%). (53,62%). Sedangkan Sedangkan menurut menurut data data dari dari KomisiKomisi Penanggulangan AIDS (KPA) hingga akhir 2007, diperkirakan di Indonesia jumlah penderita Penanggulangan AIDS (KPA) hingga akhir 2007, diperkirakan di Indonesia jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 200.000 jiwa. Angka ini masih jauh dengan perkiraan yang dibuat oleh HIV/AIDS mencapai 200.000 jiwa. Angka ini masih jauh dengan perkiraan yang dibuat oleh UNAIDS yang memperkirakan penderita HIV/AIDS mencapai 250.000 jiwa. Jumlah ini UNAIDS yang memperkirakan penderita HIV/AIDS mencapai 250.000 jiwa. Jumlah ini diperkirakan hanya dari 10 persen dari seluruh orang yang terinfeksi HIV di Indonesia. Jika diperkirakan hanya dari 10 persen dari seluruh orang yang terinfeksi HIV di Indonesia. Jika ditelusuri lebih lanjut masih banyak penderita HIV/AIDS yang enggan melaporkan dirinya ke ditelusuri lebih lanjut masih banyak penderita HIV/AIDS yang enggan melaporkan dirinya ke Komisi Penanggulangan AIDS maupun dinas keseh

Komisi Penanggulangan AIDS maupun dinas kesehatan terkait karena salah satu alasan di atas.atan terkait karena salah satu alasan di atas. Fakta ini layaknya sebuah gunung es yang hanya nampak pada permukaannya saja. Gunung es Fakta ini layaknya sebuah gunung es yang hanya nampak pada permukaannya saja. Gunung es yang hanya nampak setelah gunung tersebut membentuk dasar yang sangat besar. Begitu pula yang hanya nampak setelah gunung tersebut membentuk dasar yang sangat besar. Begitu pula dengan penderita HIV/AIDS. Mereka enggan untuk mengakui dirinya mengidap HIV/AIDS. dengan penderita HIV/AIDS. Mereka enggan untuk mengakui dirinya mengidap HIV/AIDS. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melaporkan diri ke Depkes maupun dinas-dinas terkait Hanya sebagian kecil dari mereka yang melaporkan diri ke Depkes maupun dinas-dinas terkait lainnya sedangkan sisanya yang jumlahnya jauh lebih besar lebih memilih untuk diam.

lainnya sedangkan sisanya yang jumlahnya jauh lebih besar lebih memilih untuk diam.

Ketakutan para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) ini sangatlah mendasar mengingat begitu Ketakutan para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) ini sangatlah mendasar mengingat begitu kerasnya stigma negative terhadap mereka di masyarakat. Masyarakat terlanjur telah memberikan kerasnya stigma negative terhadap mereka di masyarakat. Masyarakat terlanjur telah memberikan “stempel” negatif terhadap para pengidap HIV/AIDS. Ada ang

“stempel” negatif terhadap para pengidap HIV/AIDS. Ada anggapan di masyarakat bahwagapan di masyarakat bahwa  pengidap

 pengidap HIV/AIDS HIV/AIDS adalah adalah seseorang seseorang yang yang perlu perlu dijauhi. dijauhi. Hal Hal ini ini bersumber bersumber dari dari kekurangkekurang  pahaman masyarakat

 pahaman masyarakat mengenai penmengenai penyebaran penyakit yebaran penyakit HIV/AIDS.. Masyarakat HIV/AIDS.. Masyarakat hanya tahu hanya tahu bahwabahwa orang dengan HIV/AIDS penuh dengan kenistaan. Padahal pandangan keliru inilah yang harus orang dengan HIV/AIDS penuh dengan kenistaan. Padahal pandangan keliru inilah yang harus

(2)

dirubah dalam masyarakat. Pandangan negatif terhadap ODHA yang selama ini telah ada dalam masyarakat harus segera diubah agar para ODHA merasa nyaman di masyarakat, tanpa ada rasa takut yang menghantui mereka.

Segala upaya pencegahan dan penanggulangan yang masih diwarnai stigma dan diskriminasi tentu saja akan jauh dari harapan. Bahkan cenderung merusak citra serta merugikan dan akhirnya menghambat upaya-upaya penanggulangan berikutnya. Disinilah peran semua pihak dan generasi muda khususnya, mengingat kelompok umur remaja (20-29 tahun) menduduki peringkat pertama  penderita HIV/AIDS, untuk menghapuskan stigma dan diskriminasi yang telah beredar di

masyarakat.

Peran serta pemerintah dalam memberikan pendidikan serta pengetahuan kepada masyarakat tentang HIV/AIDS, telah menunjukkan hasil yang baik. Namun pendidikan dan pengetahuan yang telah diberikan oleh pemerintah tidaklah cukup bagi masyarakat untuk merubah stigma yang selama ini sudah melekat kepada ODHA. Masyarakat membutuhkan pembuktian yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat untuk merubah stigma tersebut. Segala tindakan yang dilakukan ODHA akan selalu menjadi sorotan bagi masyarakat.

Dengan membangkitkan rasa percaya diri para ODHA akan mampu membuat mereka lebih terbuka. Membangkitkan semangat mereka agar mau bersosialisasi dengan masyarakat dengan segala keterbukaan. Membangkitkan rasa percaya diri mereka sehingga mereka tidak lagi tertutup dan memperbanyak jumlah penderita HIV/AIDS. Generasi muda yang sangat dekat dengan ODHA yang paling berpotensi untuk melakukan itu semua. Generasi muda, dalam hal ini terutama teman-teman dalam pergaulan ODHA yang tidak terinfeksi, yang memegang peran yang sangat  besar dalam membangkitkan kepercayaan diri ODHA dan menumbuhkan keterbukaan mereka.

ODHA pada hakekatnya adalah manusia biasa. Manusia yang perlu bersosialisasi, manusia yang  butuh teman. Mereka tidak ingin dikucilkan. Mereka memerlukan kita. Sudah sepatutnya kita

sebagai generasi muda melibatkan ODHA dalam setiap ajang kegiatan. Hapuskan diskriminasi yang selama ini terjadi. Dengan melibatkan ODHA dalam setiap ajang kegiatan dan organisasi akan menghapuskan stigma negatif yang selama ini berkembang di masyarakat. Setidaknya sedikit demi sedikit masyarakat akan bisa memberikan kepercayaan mereka kepada ODHA. Dengan mengikutsertakan ODHA dalam setiap kegiatan dan organisasi, akan membuktikan dengan sendirinya kepada masyarakat bagaimana sebenarnya seorang ODHA. Masyarakat tidak lagi perlu

(3)

menerka bagaimana kehidupan seorang ODHA. Tapi mereka dapat langsung membuktikannya melalui pengamatan mereka dalam setiap kesempatan.

Keterbukaan seorang ODHA dalam bermasayarakat akan menjadi kunci utama dalam  penanggulangan HIV/AIDS nantinya. Dengan kejujuran ODHA dan keterbukaan mereka untuk  berbagi sedikit kisah mereka kepada generasi muda lainnya akan membuka wawasan generasi muda agar terhindar dari penyakit ini. Akan memberikan ban yangan nyata dan menimbulkan efek  jera kepada mereka yang telah melakukan tindakan-tindakan beresiko agar segera keluar dari

“lingkaran setan” sehingga mereka terhindar dari penyakit mematikan ini.

ODHA bukanlah seorang manusia yang perlu dijauhi. ODHA bukanlah manusia yang penuh dengan kenistaan. Mereka sama seperti kita, generasi muda Indonesia. Hanya saja mereka memiliki sedikit kekurangan yang setiap orang juga akan mungkin memilikinya apabila tidak waspada. Bukan berarti waspada pada penderitanya, tetapi pada penyakitnya. Waspada terhadap  penularan penyakit tersebut. Waspada terhadap tindakan-tindakan beresiko yang dapat membuat

setiap orang mengidap penyakit tersebut.

Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Penyebaran HIV yang Mengkhawatirkan. Available on: www.kpa.or.id  Negara, Oka. 2008. Situasi Kesehatan Reproduksi dan Remaja di Bali. Available on:

(4)

ESAI : Transmisi Vertikal Penyebaran Virus HIV/AIDS Pada Anak “Ironi” Penyebaran Vertikal Virus HIV/AIDS Pada Anak Indonesia Ringkasan :

Alif Yanur,2011.Transmisi HIV/AIDS dari ibu ke anak tidak bisa dipungkiri k ecuali adanya kesadaran akan ibu, perlu adanya perhatian dari lembaga maupun organisasi yang bisa

memberikan pengertian dan perhatian kepada anak penderita HIV/AIDS agar menerima akan keadaan yang dialaminya dan tidak terkucilkan sehingga berpotensi menyebarkan virus ini lebih luas tanggung jawab ini memerlukan ahli obstetri untuk menyediakan yang diperlukan penderita untuk mengurangi kejadian tansmisi HIV dari ibu ke anak. Para ahli obstetri harus bekerja secara ahli dalam menghadapi HIV untuk memastikan pencapaian tujuan tersebut. Pada akhir 2015 diperkirakan akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu HIV positif. Kurangnya perhatian lembaga d an organisasi yang peduli akan  penderita HIV pada anak menyebabkan terus berkembangnya virus ini. penyediaan akses

universal layanan pengobatan, perawatan, dukungan dan pencegahan sampai 2010. Tragedi sub-Sahara, negeri dengan tingkat HIV/AIDS tertinggi dan masa depan yang buruk, harus memberi  pengalaman pahit sehingga kita berharap tidak akan terjadi di Indonesia.

Kata kunci : HIV, ibu, anak, vertikal, transmisi, AIDS .

HIV (Human immunodeficiency virus ) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah masalah yang tiada habisnya dari tahun ke-tahun, adanya peningkatan, Di indonesia sendiri merupakan negara yang di setiap daerahnya terdapat penderita HIV. hampir semua  provinsi dan kabupaten di Indonesia melaporkan adanya kasus AIDS di daerahnya

masing-masing. Peningkatan prevalensi pada penjaja seks terjadi di kota-kota besar dan kecil bahkan di  pedesaan, terutama di Papua dan Irian Jawa Barat. Di kedua provinsi ini, epidemi sudah

menyerang populasi umum dengan ditemukannya kasus pada ibu rumah tangga baik di kota atau desa. Pada akhir September 2007 jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak

10.384 dan kasus HIV sebanyak 5.904. Secara berurutan jumlah penderita paling banyak adalah di Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Rate kumulatif kasus AIDS sampai dengan September adalah adalah 8,15 per 100.000 penduduk. Itu bila dihitung berdasarkan data BPS 2006 yang

menyatakan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa. Penderita tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun (49,57 persen), disusul kelompok umur 30-39 tahun (29,84 persen) dan kelompok umur 40-49 tahun (8,71 persen). Menurut Tjandra dalam detiknews.

HIV/AIDS sekarang merupakan kasus tertinggi ke empat pada wanita usia 25-44 tahun dan

 penyebab utama kematian pada wanita kulit hitam pada kelompok umur ini . Pada wanita usia ini merupakan usia subur dan akan mengalami kehamilan yang membutuhkan progam khusus dan  perhatian dalam transmisi perinatal. Transmisi vertikal HIV dari ibu ke anak dapat timbul dari

intra uterin, selama persalinan atau postpartum. Sehingga dapat meningkatkan angka kematian  bayi karena sebagian besar penyebaran HIV/ AIDS melalui transmisi vertikal, apabila lahir

dengan selamat kemungkinan bayi tidak terinfeksi kecil dan biasanya terkena pada usia dibawah 5 tahun. Transmisi vertikal timbul mendekati 25-30% dari ba yi yang lahir dari ibu yang tidak mendapat pengobatan anti virus selama kehamilan, sedangkan waktu terjadinya infeksi vertikal

(5)

dari HIV belum dapat ditentukan dengan baik.

Penelitian di beberapa tempat di Riau pada tahun 1998-1999 menunjukkan 0,35% ibu hamil terinfeksi HIV. Penelitian yang sama di Papua menu njukkan hasil 0,25%. Konseling dan testing sukarela pada ibu hamil yang berisiko tertular HIV di Jakarta Utara menunjukkan 1,5% ibu hamil terinfeksi HIV pada tahun 2000 dan 2,7% pada tahun 2001. Laporan pasif antara 1996-2000 menunjukkan ada 26 ibu hamil yang positif HIV di Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Timur dan Riau. Dilaporkan juga ada 13 bayi yang terlahir dengan infeksi HIV. Diperkirakan tiap tahun ada sekitar 9.000 ibu hamil positif HIV yang melahirkan di Indonesia. Jika tidak ada intervensi, setiap tahun bisa lahir 3.000 bayi positif HIV di Indonesia. Jumlah bayi lahir dari ibu HIV positif tiap tahun terus meningkat. Dari satu kasus pada 1999 menjadi 17 kasus pada 2003, 44 kasus  pada 2004 dan 74 kasus pada 2005. Jumlah keseluruhan kasus bayi dilahirkan dari ibu HIV  positif periode 1999-2005 adalah 143 kasus, sebanyak 81 bayi positif HIV. Pada tahun 2006  persentase kasus AIDS pada anak 5 tahun ke bawah mencapai 1%.8 Diperkirakan sebanyak

4.360 anak tertular dari ibu HIV positif dan separuhnya telah meninggal.

Transmisi intrapartum virus mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak terinfeksi memiliki tes virologi negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3 bulan. Ditunjukkan bahwa anak yang lahir pertama dari kembar dua berada pada risiko lebih tinggi mengalami infeksi dibanding yang lahir kedua, karena lebih lamanya paparan terhadap sekresi mukosa servikovaginal.

Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama persalinan yang m emanjang, pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan amnion yang mengandung darah. Bagaimana tidak meningkatkan kematian ibu dan anak kalau banyaknya bayi yang meninggal akibat transmisi vertikal dan faktor lain yang tanpa adanya penyelesaian.

Kebanyakan episode dari infeksi kongenital HIV ini timbul selama periode intrapartum, dimungkinkan berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak muncul selama kontraksi uterus. Bayi yang lahir tanpa infeksi juga bisa terkena HIV positif karena terpapar oleh ASI (air susu ibu) yang positif HIV. Sebenarnya sangat ironi ak an tranmisi vertikal kareana bayi yang dilahirkan menanggung resiko dari orangtuanya kareana perbuatan mereka, juga merusak masa depan anak jika dapat tumbuh kembang dewasa kelak serta anak yang akan dilahirkan

kemungkinan tertular 80% sehingga terjadi terus menerus gen erasi penderita HIV/AIDS. Prediksi terburuk virus ini adanya ancaman epidemi HIV, tampak dari terus meningkatnya

infeksi HIV khususnya pada kelompok berisiko tinggi di sejumlah wilayah tanah air. Sejak 2002 Indonesia digolongkan dalam epidemi terkonsentrasi dengan tingkat penularan HIV yang rendah  pada populasi umum, tetapi tinggi pada populasi-populasi tertentu. Pada akhir 2015 diperkirakan akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu HIV positif. Kurangnya perhatian lembaga dan organisasi yang peduli akan penderita HIV pada anak menyebabkan terus berkembangnya virus ini karena kurangnya pengetahuan dan belum  bisa menerima keadaannya yang seringkali dikucilkan.

Pada masa lalu, banyak pasien yang tidak dapat bertahan hidup lebih dari 1-2 tahun setelah terdiagnosis AIDS. Namun, sejak ditemukan antiretroviral dan profilaksis terhadap patogen oportunistik, angka kematian menurun secara signifikan. Pengetahuan tentang HIV terus  berkembang, pengukuran secara kuantitatif viral load dan tes resistensi makin meningkat.

Barangkali perkembangan yang paling dramatis adalah terapi antiretroviral pada kehamilan yang telah berhasil mengurangi transmisi HIV dari ibu ke anak. Namun demikian, ternyata pandemi HIV/AIDS tengah mengancam penduduk dunia saat ini. Oleh karena itu, karakteristik berupa

(6)

ancaman nyata dari HIV/AIDS, kondisi yang baik bagi penyebaran HIV/AIDS dan fenomena gunung es dari penyakit harus dicatat para petugas pada sektor kesehatan masyarakat atau swasta. Peraturan, pendidikan kesehatan dan pelajaran agama harus ditekankan dalam setiap aspek kehidupan. Pendidikan sangat diperlukan mengingat perilaku berisiko seperti perilaku seks  bebas dan penggunaan NAPZA sudah dimulai sejak usia remaja. Beberapa panduan ke arah

kesehatan reproduksi remaja berkualitas adalah sayangi diri sendiri, tingkatkan pengetahuan mengenai fungsi reproduksi, hindarkan dari membuat keputusan-keputusan yang merugikan dan  berikan keutamaan yang benar pada semua aspek kehidupan.

Ada berbagai cara untuk mencegahan transmisi vertical infeksi HIV yaitu dengan dilakukan antepartum, peripartum dan asuhan pediatric dari ibu terinfeksi dan bayi dengan menghindari  paparan terhadap darah dan cairan tubuh. Upaya preventif secara agresif harus terus ditingkatkan

khususnya di antara pengguna NAPZA suntik dan kelompok perilaku seksual berisiko. Akses yang mudah untuk perawatan dan terapi ODHA harus tersedia. Pengobatan anti retroviral harus  bisa diupayakan dan sistem perawatan medis harus ditingkatkan. Hal ini seiring dengan tujuan

kampanye AIDS dunia 2005-2010, yakni para pemimpin dan pembuat kebijakan harus dapat memenuhi janjinya untuk mengurai benang kusut seputar permasalahan penanggulangan HIV/AIDS, seperti penyediaan akses universal layanan pengobatan, perawatan, dukungan dan  pencegahan sampai 2010. Tragedi sub-Sahara, negeri dengan tingkat HIV/AIDS tertinggi dan

masa depan yang buruk, harus memberi pengalaman pahit sehingga kita berharap tidak akan terjadi di Indonesia.

(7)

ESSAY KESEHATAN

SANTUNAN DOKTER SEBAGAI PENYEMANGAT HIDUP PENDERITA HIV/AIDS

Dewasa ini pengidap HIV/AIDS sangat rawan dengan tindakan diskriminasi dan stigma yang buruk. Di sisi lain, pengidap HIV/AIDS sangat memerlukan dukungan yang lebih agar mampu melawan penyakit yang tidak ada obatnya tersebut. Tindakan stigma dan diskriminasi seringkali diperoleh dari lingkungan berupa penghilangan hak-hak dalam menjalankan proses kehidupan. Hak tersebut adalah hak untuk hidup, hak untuk diakui sebagai pribadi, dan sebagainya. Tindakan ini akan semakin memperberat beban yang dihadapi oleh Pengidap HIV/AIDS. Dari  permasalahan ini bagaiman upaya dan sikap dokter untuk menghapadinya.

Semakin meningkatnya kenakalan remaja menyebabkan jumlah penderita HIV/ AIDS terus meningkat pula, karena hubungan seks secara bebas dan penggunaan jarum suntik ( narkoba). Sehingga tindakan stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS terus meningkat. Menurut Serba-Serbi HIV & AIDS, dalam bulan Februari 1999 di Indonesia saja sudah 893 orang yang terinfeksi. Organisasi kesehatan dunia(WHO), memperkirakan dalam tahun 2000 di seluruh dunia akan ada 40 juta orang yang mengidap HIV. Menurut dr.Asrul Sani, AIDS masih banyak yang belum terdeteksi dan tidak terdata. Diperkirakan pada tahun 2007, 2 juta meninggal akibat AIDS dan 300.000 diantaranya adalah anak –  anak. Data HIV –  AIDS di Indonesia masih belum ada data pasti dan akurat. Pada tahun 1987, kasus HIV/AIDS ditemukan untuk pertama kalinya hanya di Pulau Bali. Sementara pada tahun 2007, hampir semua provinsi di Indonesia sudah ditemukan kasus HIV/AIDS. Sedangkan Menurut prediksi Departemen Kesehatan (Depkes), pada 2010 HIV/AIDS di Indonesia akan menjadi epidemi dengan jumlah kasus infeksi HIV bisa mencapai satu juta hingga lima juta orang, sementara akumulatif kasus AIDS pada 2010 (sejak 1987) akan mencapai 80-130 ribu orang, dan diprediksi akan terus menggelembung . ( Serba -Serbi HIV & AIDS., 2007 )

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Stadium IV adalah stadium akhir dimana penderita HIV/ aids tidak dapat tertolong lagi nyawanya. Dan pada saat ini adalah puncaknya penderita HIV/AIDS mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Padahal mereka sangat membutuhkan dukungan untuk tetap semangat dan

(8)

melanjutkan hidupnya yang tinggal dihitung jari . Seorang dokter memegang peranan penting dalam hal ini. Santunan dokter terhadap penderita HIV/AIDS merupakan penyemangat hidup bagi mereka. Dukungan tersebut bisa pula diperoleh penderita HIV/AIDS dari pihak lain dan lingkungan, seperti keluarga dan masyarakat. Namun , seorang dokter lebih paham akan menyikapi  penderita HIV/AIDS agar tidak tertekan oleh stigma dan diskriminasi yang mereka peroleh dari masyarakat dan lingkungan yang tidak mengerti dan memahami akan keadaan penderita HIV/AIDS. Banyak metode yang dapat dilakukan oleh seorang dokter untuk menyikapi penderita HIV/AIDS yang sudah tidak dapat tertolong lagi nyawanya (WartaWarga.,2007 )

Dari uraian diatas dr. Asrul Sani mengatakan, sampai saat ini biasanya AIDS berakhir dengan kematian Karena penyakit HIV/AIDS ini belum ditemukan obat medisnya, sehingga seseorang yang menderita HIV/AIDS tidak bisa di obati, namun hanya bisa di beri dukungan, saran, dan pengobatan alternatif umtuk mengindari penularan dan memberi semangat hidup kepada meraka. Sehingga mereka dapat melakukan aktifitasnya sebagaimana sebelumnya. Fenomena tersebut akan semakin menghilangkan potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Berbagai potensi (strength) yang dimiliki dalam proses pendidikan,  pekerjaan dan kegiatan lain akan berangsur menurun. Selain itu berbagai kesempatan(opportunity) yang berupa dukungan keluarga, kesempatan pengembangan terkalahkan oleh adanya diskriminasi dan stigma tersebut. Seorang dokter mempunyai tanggung jawab besar dalam menghadapi pasien  penderita HIV/AIDS. Dengan demikian dokter harus mampu menyikapi pasien penderita

HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi dengan caranya sebagai dokter. ( Coppelo R., 2007 ) Selain cara diatas, seorang dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS dengan metode  Appreciative Inquiry, merupakan suatu metode untuk memaksimalkan kekuatan (strength dan Opportunity) yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Menurut Dion, Metode ini lebih memfokuskan terhadap kekuatan dan terlepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan yang dihadapi oleh Pengidap HIV/AIDS berupa diskriminasi, stigma, perasaan rendah diri dan sebagainya. Fenomena yang terjadi adalah sebagian besar seseorang khususnya Pengidap HIV/AIDS hanya  berfokus pada kelemahan tersebut. Namun Appreciative Inquiry lebih menganjurkan agar setiap Pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara pribadi dan  bermanfaat bagi lingkungan. Metode ini diharapkan mampu menjadikan Pengidap HIV/AIDS

(9)

untuk menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya. Tidak terlalu memikirkan penyakit yang dideritanya, karena seorang dokter selalu berusaha untuk mengarahkannya pada kekuatan dan kepribadian yang dimilkinya, sehingga penderita HIV/AIDS akan lebih percaya diri dan dapat  beraktifitas sebagaimana sebelumnya. ( Logan J., 2004 )

Selain itu dalam Buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa ( tanpa membedakan) seperti sikap terhadap orang sehat atau penderita penyakit lain. Seorang dokter harus dapat menghindari sikap membedakan, apalagi memusuhi, karena akan menyebabkan penderita tertekan. Karena  penderita HIV/AIDS membutuhkan dukungan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan mampu  berbuat banyak bagi masyarakat, yaitu dengan membangkitkan kepercayaan mereka dan dokter dapat memberilah dukungan serta kasih sayang. Dokter harus mampu memberilah pemahaman terhadap permasalahan yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Menasehati, agar jangan merasa tertekan secara berlebihan karena semua orang pasti diberi cobaan. Menurut dr.Lita, cara merawat penderita HIV dan AIDS itu pertama kita coba untuk membayangkan diri kita sendiri sebagai pengidap penyakit tersebut. Dengan mengetahui mana aktifitas yang berisiko menularkan HIV dan AIDS dan mana yang tidak , kita dapat memperlakukan penderita secara wajar. Dan kita tetap harus memperhatikan prosedur P3K ketika melakukan perawatan kepada penderita. ( dr. Lita Sarana., 2007 )

Berdasarkan cara  –   cara dokter menyikapi Penderit HIV/AIDS diatas, seorang dokter tidak lupa pula akan etika, hukum dan hak asasi yang dimilki oleh penderita HIV/AIDS. Hak asasi dan hak kesehatan adalah yang utama diterapkan oleh seorang dokter terhadap pasien penderita HIV/AIDS. Walaupun kenyataannya penderita HIV/AIDS tidak ada obatnya dan tidak dapat tertolong nyawanya, atau biasanya berahir dengan kematian. Namun, kadua hak tersebut harus tetap diberikan oleh sorang dokter kepada pasien penderita HIV/AIDSnya. Menurut Herkutanto, ini dapat diterapkan melalui pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan individual maupun  pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, keduax tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau

harus dibedakan, karena dapat saja menimbulkan konflik antara pemberi pelayanan kesehatan ( dokter ) dengan penerima pelayanan kesehatan (pasien penderita HIV/AIDS).

(10)

Dari uraian pelayanan kesehatan diatas, dapat dilakukan dalam empat bentuk pelayanan kesehatan, yaitu dengan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun,untuk perawatan  penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong nyawanya seorang dokter cukup melakukannya

dengan kegiatan preventif dan kuratif. Karena kegiatan preventif ini bertujuan untuk pencegahan  penularan dan penyebaran HIV/AIDS dari penderita HIV/AIDS tersebut kepada masyarakat. Selain itu juga dilakukan interverensi oleh dokter kepada masyarakat untuk menghapus pandangan negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Terhadap penderita HIV/AIDS seorang dokter memberikannya edukasi agar tidak melakukan penularan kepada orang lain dan konseling agar merasa lebih berarti dalam kehidupanya. Sedangkan kegiatan kuratif disini bukanlah  penyembuhan dalam arti kata sebenarnya, karena HIV/AIDS termasuk yang incureble. Namun,

tindakan perawatan ini dilakukan di sarana kesehatan lebih bersifat care daripada curenya. (Julius R. Siyaranamual.,1997 ).

Dikarenakan penyakit HIV/AIDS belum ada obatnya, maka seorang dokter dapat pula menerapkan suatu metode penanganan infeksi HIV/AIDS pada penderita HIV/AIDS, yaitu dengan Terapi Antiretrovirus yang sangat aktif. Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996 yaitu setelah ditemukannya HAART (highly active antiretroviral therapy ) yang menggunakan  protease inhibitor.  Karena penyakit HIV lebih cepat  perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka seorang dokter akan

mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal. Tetapi terapi ini juga menimbulkan efek samping seperti  penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang

dilahirkan. ( Bonnet, F. ett all 2004).

Terapi Antiretrovirus ini terbukti efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS. Obat ini bekerja menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV. Walaupun demikian obat ini tidak mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek samping yang berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup. Jika kepatuhan penderita kurang maka dapat menyebabkan resistensi obat.

Oleh karena terapi antiretrovirus dapat menimbulkan efek samping, maka sorang dokter dapat menyarankan kepada penderita HIV/AIDS untuk melakukan olahraga. Olahraga membantu

(11)

 banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) untuk merasa lebih sehat dan mungkin memperkuat sistem kekebalan tubuh. Olahraga tidak dapat mengendalikan atau melawan penyakit HIV, tetapi dapat membantu kita merasa lebih sehat dan melawan berbagai dampak dari HIV dan efek samping obat-obatan yang dipakai oleh Odha tersebut. Olahraga dapat meningkatkan energi, melawan kelelahan dan depresi, meningkatkan daya tahan dan kesehatan kardiovaskular, membantu mengurangi stres dan mendorong kekuatan otot. ( ODHA Indonesia., 2007 ).

Dari uraian diatas, epidemiologi HIV/AIDS cenderung meningkat setiap tahunnya,tercatat di Indonesia terdapat 195.000 penderita HIV/AIDS, namun yang telah mendapatkan pengobatan terapi Antiretrovirus diperkirakan sekitar 5.000 ODHA. Hal ini yang perlu dilihat bahwa perlu lebih banyak kegiatan sosialisasi guna mengurangi penderita HIV/AIDS. Dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia pula, IDI menyusun rencana kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun yaitu mulai tahun 2006 hingga 2008. Kegiatan ini disosialisasikan kesegala instansi pemerintah maupun IDI cabang dan dinas kesehatan guna penyebaran penangulanggan HIV/AIDS. Selain strategi IDI dalam Penanggulangan HIV/AIDS diIndonesia ada seminar-seminar yang dibawakan oleh Instansi kesehatan salah satu tema yang diangkat adalah Peran profesi atau dokter keluarga dalam penangulangan Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Dan seminar-seminar ini diutamakan untuk pengidap HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi, agar tidak melakukan penyebaran penyakit HIV/AIDS ( BIDI., November 2006 )

Ditambah dengan sumpah kedokteran bahwa setiap dokter harus menolong pasien tanpa membeda-bedakan manusia dan penyakitnya, maka para dokter terima dengan tangan terbuka pasien terinfeksi HIV/AIDS yang sudah tidak ada harapan sama sekali. Oleh sebab itu berbagai macam cara dan metode dokter menyikapi pasien penderita HIV/AIDS. Sikapa  –sikap dokter diatas merupakan penyemangat hidup bagi para penderita HIV/AIDS. Semangat untuk melanjutkan hidupnya dan membengkitkan kembali kepercayaan diri yang kuat dalam diri penderita HIV/AIDS tersebut. (Samsuridjal Djauzi., 2005 2006)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi nyawanya. Alasanya karena soerang dokter memilki kemampuan untuk menerapkan sikap-sikapnya baik terhadap penderita HIV/AIDS maupun terhadap masyarakat dan lingkungan yang melakukan stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS tersebut. Namun, metode yang diterapkan oleh seorang dokter untuk menyikapi pasien penderita HIV/AIDS tersebut cukup dengan kagiatan preventif dan kuratif. Sikap dokter tersebut dapat berupa pemberikan saran, dukungan,

(12)

kasih sayang, kepercayaan diri, dan menasehatinya agar tidak terlalu bersedih karena semua orang mendapat cobaan,sehingga penderita HIV/AIDS dapat melawan stigma dan diskriminasi dari masyarakat dan lingkungannya. Dokter juga dapat menerapkan metode Appreciative Inquiry yaitu metode untuk memaksimalkan kekuatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS karena metode ini lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara pribadi dan bermanfaat bagi lingkungan. Selain itu dokter dapat menerapkan metode perawatan dengan Terapi Antiretrovirus, untuk memperlambat atau menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV serta terbukti menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS. Tetapi obat ini tidak mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek samping yang berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup. Namun semua sikap yang dapat diterapkan oleh dokter tersebut terhadap penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi nyawanya merupakan suatu motivasi dan semangat hidup yang berharga bagi pasien penderita HIV/AIDS untuk melawan stigma dan diskriminasi dan meneruskan hidupnya sebagaimana sebelumnya, serta meningkatkan kepercayaan diri penderita HIV/AIDS.

(13)

HIV/AIDS: perjuangan menghadapi bom waktu

©

UNICEF/IDSA/035/Estey

Dalam sebuah rumah berdinding semen dan berkamar tiga di Sorong, Papua Barat, impian Angelina pun perlahan memudar. Dulu ia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang polisi wanita “karena saya melihat mereka membantu dan melindungi orang.”

 Namun sudah lama impian itu sirna. Pada Juni 2002, suaminya yang bekerja sebagai ahli mekanik meninggal. Enam bulan kemudian bayi perempuan pertamanya pun juga meninggal. Baru pada bulan Oktober ia tahu penyebabnya. Belum juga hilang kesedihannya, perempuan 21 tahun itu diberitahu bahwa ia terinfeksi HIV. Kemun gkinan besar suaminya terjangkit virus itu dari pekerja seks.

Angelina hanya salah satu korban yang polos dan tidak tahu menahu tentang HIV di Indonesia. Ia hanya orang biasa yang bahkan tidak pernah melakukan tindakan beresiko tetapi tertular oleh orang yang berkelakuan tidak baik. Tentu saja banyak perhatian tercurah pada penyebaran HIV/AIDS di antara kelompok-kelompok yang beresiko. Tapi UNICEF justru memfokuskan  pada anak muda dalam upayanya mencegah penularan virus ke masyarakat luas.

Sebagian besar anak muda Indonesia tidak tahu mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya. Hanya sedikit yang mendapat informasi yang tepat tentang penyakit itu. Dalam satu penelitian, hanya satu dari tiga pelajar sekolah menengah atas di Jakarta yang tahu persis cara pencegahan

 penularan virus secara seksual.

Kurangnya pengetahuan ini menjadi sebuah bom waktu di daerah-daerah seperti Papua. Di sana anak muda mulai aktif secara seksual pada awal masa pubertas. Dengan memberikan pelatihan  pada guru-guru sekolah menengah atas di Papua tentang ketrampilan hidup dan HIV/AIDS,

UNICEF berharap generasi muda di Papua akan memahami konsekuensi dari seks yang tidak aman.

Menyangkut pendidikan sebagai satu pilar strategi lima tahun HIV/AIDS, pemerintah Indonesia tetap berjalan di tempat. Karena itu UNICEF mencoba langkah berbeda dengan menyentuh langsung pelajar sekolah menengah atas.

(14)

“Saat kita berada di sekolah, kita mengkombinasikan strategi pendidikan ketrampilan hidup dan  pendidikan sebaya untuk mencegah penularan HIV dan pen yalahgunaan obat-obatan. Strategi itu  pada dasarnya dirancang untuk memberikan kaum muda ketrampilan komunikasi antar pribadi,

kreatifitas, kepercayaan diri, harga diri dan da ya pikir kritis. Ini perlu untuk membantu mereka  jika menghadapi kesempatan untuk mencoba obat-obatan atau melakukan seks yang tidak

aman,” kata Rachel Odede, kepala unit HIV/AIDS UNICEF Indonesia.

Hambatan utama untuk pendidikan orang Indonesia adalah keyakinan bahwa penyakit ini hanya menjangkiti “orang tidak baik” dan memang mereka layak mendapatkannya. Orang yang

terinfeksi HIV/AIDS pun diberi stigma dan dipaksa pergi dari kampung halaman mereka. Mereka ditolak berobat ke dokter, diancam, dijauhi dan disingkirkan. Ketakutan dan stigma semacam itulah yang membuat para tetangga dan bahkan anggota keluarga Angelina tidak tahu sama sekali penyakitnya.

“Saya anggota aktif di gereja. Saya tidak ingin orang melihat ke saya dan berkata ‘Lihat, orang itu putrinya sakit’”, kata Yakobus, ayahnya. Ia seorang guru sekolah dasar yang mengambil  pensiun dini untuk merawat putri bungsunya itu.

Meski orang Indonesia yang sekuler telah mengenal program keluarga berencana dengan slogan ‘dua anak cukup’, pembicaraan mengenai seks masih dianggap tabu oleh sebagian penduduk yang sebagian besar Muslim dan konservatif ini. Saat ini epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada tingkat penularan HIV yang masih rendah pada penduduk secara umum. Namun pada populasi tertentu, tingkat penularannya cukup tinggi, yaitu di antara para pekerja seks komersil dan  pengguna jarum suntik yang kian meningkat.

©

UNICEF/IDSA/036/Estey

Seperti halnya Viet Nam dan China, epidemi HIV/AIDS di Indonesia masih digolongkan baru timbul. Para pakar memperkirakan ada sekitar 90.000 sampai 130.000 orang Indonesia yang terjangkit HIV. Tapi UNICEF yakin angka ini akan bertambah jika tidak ada perubahan perilaku  populasi yang beresiko dan menjadi perantara.

Tidak sulit melihat gambaran penularan ini di masyarakat umum. Diperkirakan ada 7 sampai 10  juta laki-laki Indonesia mengunjungi pelacuran tiap tahunnya. Mereka biasanya enggan

(15)

menggunakan kondom. Diperkirakan juga ribuan perempuan telah terinfeksi secara seksual oleh laki-laki yang menyuntikkan obat-obatan.

“Pada tahun-tahun setelah krisis moneter, kami melihat makin ban yak orang muda pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Tampak pula terjadi peningkatan jumlah pekerja seks dan pengguna  jarum suntik (IDU),” kata Dr Barakbah, kepala unit penyakit menular Rumah Sakit Dr Soetomo,

Surabaya. “Kita akan melihat lonjakan kasus AIDS dalam beberapa tahun mendatang. Kita juga melihat pertumbuhan eksponensial pada kasus-kasus HIV yang dilaporkan, terutama yang

 berasal dari tempat pelacuran. Penyebarannya sedang memasuki tahap ketiga, yang mengarah ke AIDS. Kami melihat makin banyak pasien,” tambahnya.

Untuk mengetahui bagaimana skenario ini terkuak, lihatlah kisah pekerja seks berusia 16 tahun, Reena (bukan nama sebenarnya). Ia beroperasi di Surabaya, daerah seks terbesar di Asia. Ia terinfeksi HIV positif dan ia tidak tahu. Ia pun tetap melayani tamunya sampai 12 orang tiap minggunya. Tak satupun para pelanggannya dan beberapa ‘pacarnya’ itu yang menggunakan kondom.

Orang-orang tersebut adalah di antara 2.000 lebih pelaut yang singgah setiap minggunya di Surabaya, ibu kota Jawa Timur yang juga pusat pengiriman barang antara Jawa, Sulawesi, dan kepulauan bagian timur Indonesia.

Orang dari seluruh penjuru Nusantara menjuluki Surabaya dengan istilah ‘tiga M’ dalam kaitannya dengan penularan HIV/AIDS, yaitu “Men (laki-laki), Money (uang ) dan Mobility (mobilitas)”.

Saat ini instansi-instansi makin menaruh perhatian terhadap cepatnya penularan HIV/AIDS terhadap generasi muda Indonesia yang menggunakan jarum suntik. Sebagian besar dari mereka  berumur dua puluhan dan aktif secara seksual.

Di beberapa daerah di Jakarta, diperkirakan 90 persen pengguna terkena HIV positif. Beberapa tahun lalu, demografi para pengguna obat-obatan mulai meningkat karena jatuhnya harga heroin dan para ahli kimia Indonesia mulai membuat shabu-shabu dalam jumlah besar (bahkan cukup untuk menjadi eksporter obat bius).

Seperti halnya di Thailand, penggunaan obat-obatan menarik para orang miskin di kota di

Indonesia. Merekalah kelompok yang sulit diberi pengertian mengenai jarum suntik pribadi dan  bersih.

Untuk mendorong kaum muda untuk memanfaatkan layanan pengujian dan konseling, UNICEF memberi dukungan teknis dan finansial kepada beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk membantu generasi muda putus sekolah yang rentan terhadap penyalahgunaan obat dan

eksploitasi seks.

Tapi lembaga-lembaga ini tidak bisa berjuang sendirian. Untuk memberi pemahaman ke

(16)

dan daerah. Sayangnya, instansi pemerintah enggan untuk memimpin gerakan ini karena  penyakit itu dianggap sebagai akibat dari ‘tindakan amoral’.

Beberapa langkah baru telah diambil. Para gubernur dari daerah-daerah yang penularannya parah  bersedia menandatangani perjanjian dan bersumpah untuk memusatkan segala sumber mereka

untuk kemajuan penyuluhan mengenai penyakit itu. Tapi rupanya masih terlalu banyak hal yang harus dikerjakan.

“Tantangan terdekat yang saya lihat adalah menterjemahkan strategi HIV/AIDS menjadi rencana tindak yang operasional dan konkrit,” kata Odede.

Referensi

Dokumen terkait

Kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM sebagai lembaga negara yang berhak dan diamanti oleh presiden untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di rasa kurang

Bentuk dari karakter balon anjing yang menjadi refensi dalam karya tugas akhir penulis, tentunya sangat memperhitungkan bentuk dari balon lipat yang sangat menarik dan

Setelah melaksanakan kegiatan pada pertemuan ke dua masih ada beberapa masalah yang ditemukan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, antara lain masih ada siswa

• Jika dua switch atau bridge memilki prioritas yang sama, maka barulah MAC address digunakan untuk menentukan mana di antara keduanya yang memiliki prioritas paling rendah.

Pantai Sembilangan masih kurang memadai untuk daerah tujuan wisata, yaitu kurangnya prasarana seperti lampu jalan yang masih minim bahkan dibeberapa jalan tidak ada penerangan

Pengaruh pupuk kandang kambing terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai Dari analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa pupuk kandang kambing tidak berpengaruh

Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian pasar dan pada akhirnya perusahaan dan penjamin emisi cenderung menentukan harga

Rasio utang terhadap aset merupakan rasi yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara tota utang dengan total aset. Dengan kata lain, rasio ini digunakan untuk