• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh para ahli ilmu administrasi, di antaranya Leonard D. White (Handayaningrat,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh para ahli ilmu administrasi, di antaranya Leonard D. White (Handayaningrat,"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Administrasi dan Administrasi Publik

Dalam kajian ilmu administrasi terdapat beberapa pengertian yang diajukan oleh para ahli ilmu administrasi, di antaranya Leonard D. White (Handayaningrat, 1990:2) yang menyebutkan : “Administration is a process common to all groups efforts, public, or private, civil or military”. Hal ini berarti administrasi adalah suatu proses yang umum ada pada setiap usaha kelompok-kelompok, baik pemerintah maupun swasta, baik sipil maupun militer

Sesuai dengan pendapat di atas, Siagian (1990:3) mengatakan bahwa :

“Administrasi sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas normalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.”

Selanjutnya menurut Gie (1980:9) administrasi adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu”. Sedangkan menurut Waldo (1991:35) administrasi adalah “merupakan rangkaian kerjasama manusia yang mempunyai derajat rasionalitas yang tinggi”.

Definisi-definisi di atas mengandung makna usaha kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu, yang dalam penelitian ini terutama dalam bidang administrasi negara dan pemerintahan khususnya administrasi perpajakan daerah.

(2)

Seperti definisi administrasi sebagaimana disebutkan di atas yang banyak diungkap oleh para ahli, maka administrasi publik (negara) banyak juga dikemukakan para ahli, di antaranya Waldo (1991:26) yang mengemukakan bahwa Administrasi Publik adalah manajemen dan organisasi daripada manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan White (1958:8) menyatakan pendapatnya bahwa :

“Public Administration consist of all those operations having for their purpose the fulfilment and enforcement of public policy”

(Administrasi negara terdiri atas semua kegiatan negara dengan maksud untuk menunaikan kegiatan negara).

Selanjutnya Surie (1987:5) mengungkapkan bahwa :

“Administrasi negara menunjukan sejumlah ciri yang sekurang-kurangnya secara gradual membedakannya dari administrasi niaga atau administrasi perusahaan, yaitu tiada rangsangan mencari untung, orientasi apa yang disebut “kepentingan umum”, keterlibatannya yang erat dengan “politik, monopoli, kekuasaan hukum, kepastian sosial, kekuasaan integral dan sebagainya.”

Dari beberapa pengertian di atas, dapat difahami bahwa dalam pengertian administrasi negara terdapat pengertian yang luas dan sempit. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Dimock dan Dimock (1982:7) bahwa administrasi negara mempunyai pengertian luas dan sempit. Secara luas, administrasi negara diartikan sebagai kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, sedangkan dalam pengertian sempit administrasi negara didefinisikan sebagai sesuatu kegiatan badan eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan.

2. Konsep Desentralisasi dan Desentralisasi Fiskal

Koswara (2001:48) mengutip Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memberikan batasan mengenai desentralisasi yaitu :

(3)

”the transfer of authority away from the national capital whether by deconsentration (i.e delegation) to field office or by devolution to local authorities or local bodies.”

Sedangkan menurut Riggs seperti dikutip oleh Sarundajang (1999:47) desentralisasi mempunyai dua makna yaitu sebagai pelimpahan wewenang (delegation) dan pengalihan kekuasaan (devolution). Delegation mencakup penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasarkan kasus-kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada di tangan pusat (kadang-kadang disebut dekonsentrasi). Sedangkan devolution mempunyai makna yang berbeda, di mana seluruh tanggung jawab kegiatan untuk melakukan kegiatan tertentu diserahkan kepada penerima wewenang.

Mawhood, seperti dikutip oleh Hidayat (2002:8) secara tegas mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, the devolution of power from central to local government. Oleh karenanya dapat dimengerti, bila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijaksanaan desentralisasi sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability, dan local responsiveness. Di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki territorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepada daerah sendiri yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu.

Cheema dan Rondinelli (1983:18) merumuskan definisi desentralisasi dalam persepektif administratif, yaitu :

(4)

“desentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations .”

Desentralisasi menurut pengertian di atas berarti penyerahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat kepada unit organisasi lapangan, unit administratif local, organisasi semi otonom, baik pemerintahan daerah maupun organisasi non pemerintahan.

Sedangkan Hoessein (1993:12) memberikan operasionalisasi dari desentralisasi yang salah satunya adalah sebagai berikut :

“...Keenam, daerah otonom dalam rangka desentralisasi memiliki ciri J.H.A. Logemena menyebut daerah otonom sebagai “Zelfstanding Staasrechtelijke organisatiee”, kemandiriannya tercermin pada keuangan, pembiayaan daerah dan dinas daerah yang dimiliki oleh daerah otonom...”.

Salah satu komponen penting dalam operasionalisasi pengertian otonomi adalah komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu kepada konsep pemerintah. Hossein (1993:19) memberikan ciri-ciri hal tersebut di atas. Salah satu ciri tersebut adalah tersedianya sumber keuangan yang diperlukan bagi kebijakan dan pelaksanaannya, baik dalam rangka tugas rutin maupun tugas pembangunan.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi di negara-negara Afrika Utara dan Asia, Nellis dan Mathur sebagaimana yang dikutip Lutfi (2004:18) menyatakan bahwa pada pelaksanaan kewenangan/kekuasaan yang telah didesentralisasikan yang penting diperhatikan agar desentralisasi dapat berjalan dengan baik adalah the importance of financial resources, administrative capacity, and technical support to succesful development planning and management at the regional and local level.

(5)

Dengan demikian, desentralisasi menurut uraian di atas secara umum adalah penyerahan sejumlah kewenangan/kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang selanjutnya dijalankan oleh pemerintah daerah secara otonom melalui kelembagaan yang dimilikinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, untuk menjalankan kewenangan/kekuasaan yang dimiliki, pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber daya yang cukup antara lain sumber daya keuangan yang memadai.

Sejalan dengan ungkapan di atas, Simanjuntak (1999:6) menyatakan paling tidak ada empat hal yang harus diperhatikan dalam hal pemberian otonomi pada daerah:

“Pertama, adanya lembaga perwakilan rakyat daerah yang dipilih oleh masyarakat daerah yang bersangkutan. Lembaga ini menentukan pelayanan jasa apa saja yang mesti disediakan pemerintah daerah, pengeluaran-pengeluaran dana untuk itu.

Kedua, adanya kebebasan/keleluasaan dalam menentukan pelayanan jasa masyarakat beserta biaya pengeluarannya. Sebagaimana disebutkan di atas, ini tidak bersifat mutlak. Namun apabila segala sesuatu dalam pelayanan jasa sudah rinci ditentukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya, jelas sekali bahwa pemerintahan daerah yang sedemikian bukan daerah otonom. Ketiga, adanya kewenangan untuk merekrut pegawai sendiri. Otonomi lokal/daerah juga berimplikasi adanya kewenangan bagi pemerintahan daerah untuk menunjuk, mengangkat, mengeluarkan dan membuat persyaratan-persyaratan bagi pegawainya.

Keempat, adanya sumber-sumber pendapatan yang dikuasai daerah. Otonomi daerah juga mengandung arti bahwa daerah memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri. Namun bukan berarti dengan adanya otonomi, daerah tidak perlu mendapat bantuan dari pusat. Isu disini adalah ada dan berlakunya “keleluasaan tertentu” (discretion at the margin). Artinya daerah mempunyai kewenangan untuk ikut menentukan ataupun memilih (sampai tahap tertentu) beberapa aspek pelayanan masyarakat di wilayahnya, walaupun daerah hanya membiayai (misalnya) 20% dari anggaran aktivitas itu.”

Kepemilikan sumber-sumber pendapatan sendiri, seperti yang dinyatakan di atas, merupakan masalah yang penting bagi daerah dalam melaksanakan otonominya

(6)

karena hal ini menyangkut kemampuan daerah dalam pembiayaan kegiatan rutin dan pembangunan. Bahkan, Kaho (1997:123) menyatakan bahwa kemampuan pembiayaan merupakan salah satu segi atau kriteria penting untuk menilai secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai implementasi kebijakan desentralisasi, terdapat keterkaitan antara pelaksanaan pemerintahan dengan keuangan publik yaitu pada masalah biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini dinyatakan oleh Smith (1985:99) :

“It is obvious that the exercise of governmental power at the subnational level entails expenditure by subnational governments. Those governments have to secure revenue to finance that expenditure.”

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu tipe dari pelaksanaan desentralisasi. Desentralisasi fiskal dimaknai sebagai penyerahan tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintah di bawahnya, sub national levels of government, seperti negara bagian, daerah, propinsi, distrik dan kota.

Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di negara-negara berkembang menurut Lutfi (2004:24) dilatarbelakangi oleh : pertama, desentralisasi fiskal diharapkan mampu mengatasi ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintahan. Masalah ini muncul akibat ketidakmampuan pemerintah pusat dalam menyerap seluruh kebutuhan dan keinginan masyarakat yang berkembang di tataran lokal yang seharusnya terakomodasi dengan baik dalam rencana dan anggaran pemerintah. Kebijakan desentralisasi fiskal memberikan kesempatan bagi pemerintah pusat untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan dirinya dengan mengalihkan tanggung jawab keuangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah. Kedua, desentralisasi

(7)

fiskal diharapkan mampu mencegah ketidakstabilan makro ekonomi. Ketidakstabilan makro ekonomi biasanya bersumber dari pola penerimaan dan pengeluaran yang tercermin dalam anggaran pemerintah. Agar tercipta kestabilan makro ekonomi, pemerintah pusat dapat mengalihkan tanggung jawab fiskal kepada tingkat pemerintahan yang tepat agar seluruh tingkatan pemerintah yang ada mampu menjalankan kewenangannya dengan baik sesuai dengan ketersediaan dana yang ada tanpa menimbulkan guncangan-guncangan ekonomi. Ketiga, penerapan kebijakan desentralisasi fiskal oleh suatu negara diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam desentralisasi fiskal terjadi pengalokasian sumber-sumber keuangan secara efektif dan efisien diharapkan mampu mendorong para pelaku ekonomi untuk menjalankan fungsinya dengan baik yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Keempat, dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan akuntabilitas publik dapat lebih meningkat. Pengelolaan keuangan yang terdesentralisasi mendorong munculnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi penggunaan alokasi sumber daya yang terbatas. Kelima, desentralisasi dapat meningkatkan mobilisasi dana masyarakat. Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya secara lebih mandiri akan memberi peluang untuk menggali dana yang lebih besar dari masyarakat.

Bird dan Vaillancourt (2002) mengkategorikan tiga jenis desentralisasi fiskal dalam penerapannya. Pertama, desentralisasi (administrative decentralization, dekonsentrasi), dalam hal ini tanggung jawab yang dimiliki pemerintah pusat kepada instansi vertikal dan pemerintah daerah. Kedua, pendelegasian (delegation) yang dikaitkan dengan situasi yang ada. Daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah

(8)

pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (devolution, political decentralization, desentralisasi). Dalam hal ini terjadi pelimpahan kewenangan, tidak hanyaimplentasi, tetapi juga dihubungkan dengan situasi yang terjadi di daerah.

Sumber pendapatan daerah yang seringkali menjadi ukuran utama untuk menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah itu sendiri. Cochrane (1983) berpendapat bahwa batas 20% perolehan Pendapatan Asli Daerah merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Jika PAD yang diraih Pemerintah Daerah kurang dari 20% maka akan kehilangan kredibilitas sebagai daerah yang mandiri

3. Peran Pemerintah dan Pembiayaan Pembangunan Daerah

Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi adalah sangat penting. Negara-negara yang ekonominya maju menunjukkan bahwa semakin berkembang suatu perekonomian semakin besar dan penting peran pemerintah didalamnya. Pentingnya peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi dikemukakan dalam laporannya PBB (1971:40) berikut :

Governments are thus force of considerable importance in production, not only in terms of the productive capabilities in the public sector, but also in their impact through regulatory and other activities on national consumption and on production in the private sector.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana menempatkan peran pemerintah tersebut secara tepat sehingga dapat mendukung proses pembangunan ekonomi, dan

(9)

bukan justru menimbulkan piuh (distorsi). Untuk memahami hal tersebut peran pemerintah dalam ekonomi perlu dihubungkan dengan peran pasar.

Dalam kenyataannya pasar tidak selalu dapat menyediakan barang-barang yang dibutuhkan. Barang-barang yang dapat disediakan oleh pasar semata-mata didasari oleh biaya produksi dan keuntungan. Tanpa adanya keuntungan yang setidaknya dapat menutup biaya produksi, suatu barang tidak akan dihasilkan oleh pasar. Karena itu barang-barang publik (baik yang bersifat tangible maupun intangible) seperti jalan raya, jembatan, saluran irigasi, jasa keamanan, dan banyak yang lain tidak akan dihasilkan pasar tanpa adanya insentif ekonomi yang dianggap layak (feasible).

Selain itu, tanpa adanya pengaturan atas mekanisme yang bekerja di dalamnya, pasar cenderung untuk memenangkan pelaku ekonomi kuat (yang didukung oleh akses finansial yang besar) dan mematikan pelaku yang lemah (yang tidak didukung oleh finansial yang kuat). Akibatnya adalah terjadinya konsentrasi atas pemilikan dan pengelolaan berbagai sumber daya ekonomi. Dampak berantai dari gejala itu adalah monopoli, oligopoli atau trust yang cenderung untuk lebih merugikan daripada menguntungkan. Kerugian yang ditimbulkan antara lain rigiditas harga yang menyebabkan high cost economy, lemahnya usaha kecil dan menengah, serta terjadinya social welfare loss serta kerugian non-ekonomi lainnya.

Ketidakmampuan dalam menyediakan barang publik yang dibutuhkan masyarakat, terjadinya monopoli dan inefisiensi merupakan bentuk-bentuk kegagalan pasar (market failure). Dengan demikian maka, peran pemerintah dalam

(10)

pembangunan ekonomi utamanya diarahkan untuk mengatasi berbagai kegagalan pasar tersebut.

Menurut Musgrave dan Musgrave (1993:6) peran pemerintah dalam perekonomian yang dirumuskan sebagai fungsi-fungsi utamanya adalah sebagai berikut :

1. Penyediaan barang publik, atau proses pembagian keseluruhan sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik, dan bagaimana komposisi barang publik ditentukan. Penyediaan ini dapat disebut sebagai fungsi alokasi dari kebijakan anggaran. Kebijakan pengaturan, yang juga dipertimbangkan sebagai suatu bagian dari fungsi alokasi, tidak dimasukkan disini karena tidak terlalu merupakan masalah kebijakan anggaran.

2. Penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk mejamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keadaan distribusi yang “merata” dan “adil” yang disini disebut sebagai fungsi distribusi.

3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran. Tujuan ini sering disebut sebagai fungsi stabilitas.

Dalam perkembangan ekonomi publik lebih lanjut fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi merupakan acuan dasar dalam menempatkan peran pemerintah.

(11)

Guritno Mangkusubroto (Prasentiantono, 1994:4) seorang pakar ilmu ekonomi publik Indonesia bahkan menyebutkan bahwa ketiga peran tersebut sebagai bentuk peran pemerintah dalam perekonomian modern.

Dalam upaya memahami peran pemerintah yang dikemukakan Musgrave itu tentunya dibutuhkan rumusan yang lebih eksplisit. Rumusan yang lebih eksplisit ini antara lain dimaksudkan sebagai kerangka dasar untuk mengelaborasi peran pemerintah dalam bentuk yang lebih operasional. Selain rumusan yang lebih eksplisit juga dibutuhkan dalam pengembangan telaah administrasi dan kebijakan publik.

Menurut Dumairy (1994:158) peran alokasi merupakan peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa optimal dan mendukung efisiensi produksi. Peran disribusi, adalah peran pemerintah dalam melakukan disribusi sumber daya, hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar. Sedangkan peran stabilisasi, adalah peranan pemerintah untuk menjaga dan juga memulihkan ekuilibrium agar tetap dapat menunjang proses pembangunan ekonomi. Ketiga peran pemerintah ini umumnya dilakukan dengan menggunakan instrumen kebijakan anggaran

Peran pemerintah yang dimaksud dalam landasan teoritis ini ditekankan pada peran pemerintah daerah (local government). Secara garis besar tidak terdapat perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam konteks pembangunan ekonomi. Namun persoalannya menjadi lain saat yang dibicarakan telah menyentuh aspek administratif dan pembiayaan pembangunan.

Hubungan pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam hal keuangan akan membedakan derajat peranan keduanya. Derajat peranan itu selanjutnya akan

(12)

dipresentasikan melalui kontribusi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam pembiayaan pembangunan.

4. Hubungan Keuangan Pusat Daerah

Hubungan keuangan pusat-pusat menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan itu. Tujuan utama hubungan ialah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian ini bagaimana agar antara potensi dan sumber daya masing-masing daerah sesuai (Davey, 1988 : 179).

Lebih mendasar lagi, hubungan pusat-daerah menyangkut pembagian kekuasaan dalam pemerintah. Hak mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah bagaiama memperoleh dan membelanjakan unsur yang sangat penting untuk menjalankan kekuasaan. Hubungan keuangan pusat-daerah mencerminkan tujuan politik yang mendasar sekali karena perannya dalam menentukan bobot kekuasaan yang dijalankan pemerintah daerah dalam keseluruhan sistem pemerintah. Hubungan ini harus serasi dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah (Davey, 1988 : 179).

Bird dan Vaillancourt (2000:21) mengajukan empat pertanyaan besar harus dijawab dalam kaitannya dengan keuangan intra-pemerintah pada setiap negara

(1). Siapa mengerjakan ? – permasalahan pembagian tugas pengeluaran

(2). siapa memungut pajak apa-apa? – permasalahan pembagian tugas penerimaan (3). Bagaimana kondisi ketidakseimbangan (pada dasarnya tidak dapat dihindari)

antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang merupakan jawaban dari dua pertanyaan sebelumnya, dapat ditangani ? – permasalahan ketidakseimbangan vertical.

(13)

(4). sampai seberapa jauh seharusnya lembaga-lembaga fiskal mencoba mengadakan penyesuaian atasperbedaan dalam kebutuhan dan kapasitas unit-unit pemerintah dalam jenjang pemerintah yang sama ? – permasalahan ketidakseimbangan horizontal atau perimbangan .

Idealnya, pertanyaan-pertanyaan ini didekati melalui lingkungan khas setiap negara dalam pola yang konsisten untuk mencapai tujuan kebijakan, terkai-tidak hanya trio keuangan negara standar, yaitu efisiensi (alokasi), keadilan (distribusi) dan stabilisasi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi serta tujuan-tujuan yang tidak begitu jelas (tetapi bergema keras secara politisi) seperti “perimbangan regional”. Dalam banyak contoh, sudah tentu, akan terjadi pertentangan, tidak hanya diantara tujuan-tujuan ini tetapi juga antara persepsi pusat dan daerah tentang bobot yang harus didekatkan pada masing-masing

Hubungan keuangan pusat daerah sangat bervariasi, berdasarkan ciri-cirinya terdapat empat pendekatan (Davey, 1988 : 255) sebagai berikut :

(1). Kapitalisasi, pemerintah daerah memperoleh modal permulaan yang diharapkan untuk diinvestasikan meurut cara-cara yang dapat menghasilkan pendapatan untuk menutup pengeluaran rutin. Apakah pendapatan tersebut juga akan digunakan untuk mengembalikan modal itu, untuk menghasilkan deviden atau untuk menambah modal semula adalah tergantung kepada sifat modal dan tujuan pemerintah daerah yang bersangkutan. Modal tersebut mungkin disediakan melalui bantuan (grant) sehingga tidak diperlukan adanya pembayaran kembali dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan kalau modal tadi disediakan melalui penyertaan (equity) maka mungkin (barang kali juga tidak) dapat diharapkan adanya deviden. Namun demikian, pengaruhnya adalah untuk menggerakkan pengeluaran pembangunan sesuai dengan tingkat keuntungan dan untuk membatasi pengeluaran rutin dalam batas pendapatan yang diperoleh. Badan pembangunan daerah, lembaga-lembaga pengembangan daerah perkotaan dan melayani kebutuhan masyarakat sering dibiayai menurut model ini.

(2). Pendekatan pendapatan, pendekatan pendapatan dalam hubungan keuangan, berdasarkan kepada pemberian sumber-sumber pendapatan tertentu kepada pemerintah daerah (terutama pajak-pajak). Untuk dimanfaatkan atau berupa suatu paket bagan dari pendapatan nasional. Dengan demikian, besar kecilnya pengeluaran daerah tergantung kepada pendapatan yang benar-benar diperoleh dari sumber-sumber tersebut. Pemerintah daerah dapat mengerjakan dan memilih pekerjaan-pekerjaan yang dapat dibiayai dengan uang yang tersedia padanya.

(14)

(3). Pemberian pendapatan mungkin dikaitkan dengan adanya pemberian beberapa jenis bantuan pusat untuk menyeimbangkan potensi pendapatan atau untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh karena adanya perbedaan geografis dalam potensi pajak. Pemberian tersebut mungkin ditimbang sehingga menguntungkan wilayah-wilayah yang mempunyai biaya tinggi atau diatas rata-rata, mempunyai standar pembangunan yang rendah atau mempunyai beberapa tujuan strategis yang memerlukan pengeluaran daerah di atas rata-rata. Namun demikian, pada dasarnya pendekatan ini lebih berkaitan dengan alokasi pendapatan daripada dengan pembiayaan atas tingkat dan pola pengeluaran tertentu.

(4). Pendekatan pengeluaran berarti pembagian dana dari pusat kepada pemerintah daerah untuk menutup seluruh atau bagian biaya berupa pinjaman, bantun (sumbangan) atau bagian hasil pungutan, pemberian ini mungkin menutup seluruh pengeluaran tertentu atau hanya sebagian dari padanya. Namun hubungan keuangan dalam cara ini memusatkan perhatian pada pembelanjaan (melalui sesuatu atau cara lain) suatu tingkat pengeluaran tertentu.

(5). Pendekatan komprehensif (menyeluruh), sumber pendapatan diberikan (baik berupa pendapatan asli daerah atau bagian dari perpajakan nasional) dan tanggung jawab juga diberikan kepada pemerintah daerah, dengan asumsi mengenai implikasi pengeluarannya. Bantuan pusat, atau kadang-kadang pinjaman, diberikan (realisasi atau potensinya) dengan kebutuhan pengeluaran. Bantuan-bantuan ini dapat dihitung sesuai dengan penerimaan dan pengeluaran yang sebenarnya atau didasarkan atas proyeksi dari penerimaan potensi dan kebutuhan pengeluaran dengan menggunakan kriteria-kriteria standar. Dengan cara manapun, hubungan keuangan mengusahakan hubungan pengimbangan yang mantap dalam hal ini sumber daya dan tanggung jawab fungsional.

Pendekatan-pendekatan ini tidak saling menggantikan satu sama lainnya. Suatu pemerintahan mungki saja menerima pinjaman untuk proyek mandiri keuangannya, bantuan biaya satuan atau bantuan untuk suatu pelayanan tertentu dan bagi hasil pajak yang tidak dikaitkan pada satu pun kebutuhan pengeluaran tertentu barangkali saja di luar sumbangan pelengkap pada bantuan menurut suatu pembelanjaan suatu pemerintah regional secara keseluruhan, atau bidang-bidang tugas yang berbeda.

Sedangkan tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah, Davey (1988:15) mengatakan, pertama, bahwa sistem tersebut seharusnya memberikan suatu distribusi kekuasaan yang regional di antara berbagai tingkat pemerintahan mengenai

(15)

pemungutan dan pengeluaran sumber daya pemerintahan. Sistem keuangan harus menjamin bahwa penyerahan kewenangan (devolution of discretion) atas sumber daya keuangan konsisten dengan pelimpahan tanggung jawab. Selain itu, sistem tersebut seharusnya menjamin pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai penggunaan sumber daya, mereka yang menentukan pengeluaran seharusnya menghadapi konsekuensi penarikan pajaknya bagi masyarakat.

Kedua, sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumbernya masyarakat secara keseluruhan, bagi fungsi-fungsi pemerintahan pelayanan rutin dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintahan regional. Memadai, tentu saja adalah sebuah konsep yang kabur dan relatif. Sebaiknya keadaan yang tidak memadai biasanya diungkapkan dalam bentuk kesenjangan kasar (gross disparities) antara tingkat pelayanan yang diselenggarakan pemerintah regional dan oleh pemerintah nasional atau dalam bentuk kekurangan-kekurangan prasarana setempat yang nyata dapat dilihat.

Ketiga, sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara merata di antara daerah-daerah. Dampak kumulatif dari pemusatan pembangunan sepanjang sejarah daerah tertentu, dan dari keberadaan sumber daya yang berbeda tidak bisa diperbaiki dalam semalam atau sebagaimana diharapkan secara tuntas.

Keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah regional harus sejalan dengan distribusi beban pengeluaran atas masyarakat, sebagaimana keseluruhan. Persoalan utama bagi warga adalah seluruh beban pajaknya, apakah

(16)

pajak-pajak yang dibayarkan masuk ke pemerintah pusat atau regional adalah kepentingan kedua baginya.

Pada umumnya terdapat dua sumber utama keuangan daerah, yaitu Pertama Pajak dan Retribusi Daerah, kedua Transfer dari Pemerintah Pusat. Kedua sumber tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

(1). Pajak dan Retribusi Daerah

Ada dua prinsip utama yang disarankan dalam penyerahan kewenangan penerimaan ke pemerintahan daerah. Pertama, pendapatan dari “sumber sendiri” paling tidak cukup untuk memungkinkan daerah-daerah kaya untuk membiayai sendiri pelayanan lokal, terutama yang mempunyai manfaat bagi masyarakat setempat. Kedua, sedapat mungkin penerimaan-penerimaan daerah dapat dipungut hanya dari masyarakat setempat, terutama yang manfaatnya mereka terima dari pelayanan pemerintah daerah.

Bird dan Vaillancourt (2000:43), mengungkapkan syarat dari sumber-sumber penerimaan daerah yang dianggap ideal, yaitu :

(a). basis (objek) pajak yang relatif tidak dapat berpindah, untuk memungkinkan pejabat daerah menyesuaikan tarif tanpa harus mengorbankan basis pajak mereka.

(b). Penerimaan pajak harus dapat menutupi kebutuhan lokal dan bersifat dinamis (yaitu dapat dikembangkan paling tidak sama cepatnya dengan kebutuhan peningkatan).

(c). Penerimaan pajak harus relatif stabil dan relatif dapat diproyeksikan dengan baik.

(d). Beban pajak diupayakan agar tidak dapat dialihkan ke daerah lain. (e). Basis (objek) pajak harus dapat dilihat untuk kepentingan akuntabilitas (f). Pajak harus dianggap adil oleh wajib pajak

(g). Pajak harus relatif mudah dikelola dengan efektif dan efesien.

Tujuan yang paling diharapkan dan juga paling direkomdendasikan, dari kebijakan desentralisasi penerimaan mungkin dapat dicapai dengan adanya

(17)

variasi tarif aneka ragam pemungutan dan iuran tersebut, dengan persyaratan tarif minimum untuk menghindari persaingan basis pajak. Sebagai tambahan, karena “ekspor pajak” memutuskan rantai penting antara keputusan pengeluaran lokal dan pajak-pajak yang dipikul oleh penduduk lokal, perhatian harus dicurahkan untuk mencegah propinsi-propinsi mengekspor beban-beban pajaknya. Misalnya membatasi akses perpajakan ke dunia usaha.

Dasar penilaian atau kriteria dalam rangka perluasan serta menilai potensi pajak dan retribusi daerah sebagai penerimaan daerah tersebut harus pula diperhatikan beberapa hal, hal ini diungkapkan oleh Davey (1988:40) :

(a). Kecukupan dan elastisitas (adequacy and elasticity), yaitu sumber pendapatan dari pajak daerah tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan, serta elastisitas terhadap pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan pajak (tax base) dan kemudahan memungutnya disamping memperhitungkan tingkat inflasi.

(b). Keadilan (equity) yang prinsipnya adalah bahwa beban pengeluaran pemerintah yang harus dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kemampuan untuk memberikan kontribusi keadilan dalam hal perpajakan daerah yang mempunyai tiga dimensi yaitu:

vertical equity, yaitu pembebanan pajak yang dihubungkan dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Secara umum pajak itu dianggap baik kalau pajak itu progresif, yakni persentase pajak yang akan dibayarkan akan bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya.

Horizontal Equity, yaitu pembebanan pajak yang dihubungkan dengan sumber pendapatannya

Geographical equity, yaitu pembebanan pajak yang harus adil antar penduduk di berbagai daerah, sesuai dengan tingkat pelayanan yang diberikan pemerintah.

(c). Kemampuan Administratif (administratif feasibility), artinya secara administrasi pemungutan pajak itu mudah dilaksanakan dan biaya operasionalnya tidak tinggi

(d). Diterima secara politik (political acceptability), artinya kemauan politik diperlukan dalam mengenakan pajak, mengenakan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar, bagaimana pajak ditetapkan, memungut pajak secara fisik dan melaksanakan sanksi terhadap para pelanggar.

(18)

(a). keadilan (equity), dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang-wenang, pajak yang bersangkutan harus adil secara horizontal artinya beban pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbedatetapi kedudukan ekonomi yang sama, harus adil secara vertical, kelompok ekonomi yuang lebih besar harus memberikan sumbangan yang besar dari pada kelompok yang tidak banyak memiliki sumber daya.

(b). Daya guna ekonomi (efisiensi ekonomi). Pajak hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi. Mencegah jangan sampai pilihan konsumen salah arah, satu orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil beban pajak.

(c). Kemampuan melaksanakan. Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan dari sudut kemauan politik dan tata usaha.

(d). Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah. Harus jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak; pajak tidak mungkin dihindari, dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah lain.

Berbeda dengan jasa (pelayanan) umum yang dibiayai oleh pajak umum dan lain-lain melalui pungutan retribusi langsung kepada konsumen (Davey, 1988:132). Dalam suatu kasus, setiap pembayaran pajak harus memberikan kontriubusi tanpa memperhatikan apakah jasa-jasa pelayanan tersebut segera tersedia baginya dan sejauh mana dia menggunakannya, dari segi pembayaran tergantung langsung kepada jasa-jasa yang telah disediakan dan dibuat untuk itu. Tipe yang mana dari pembiayaan oleh/bersumber dari pajak atau sumber retribusi –apakah yang cocok untuk suatu fungsi tertentu ?

Apa yang membedakan suatu jasa yang dibiayai oleh pajak dengan biaya oleh retribusi kepada konsumen. Jawaban konvensional adalah membedakan antara barang “pribadi” dan “umum” (Davey, 1988:133). Barang umum adalah suatu jasa yang memberikan keuntungan kepada umum secara kolektif dan tidak diskriminatif seperti pertahanan atau pengontrolan penyakit. Untuk menjaga orang dari penyakit cacar merupakan kepentingan setiap orang, bukan hanya

(19)

menguntungkan si pasien tetapi semua orang, yang mungkin kena pengaruhnya. Pelayanan yang demikian, pantas diwajibkan untuk dibiayai oleh setiap pembayar pajak dalam hubungannya dengan kekayaan dan bukan konsumsinya. Pelayanan suatu barang pribadi jika dikonsumsi seseorang akan memberikan keuntungan kepada diri sendiri dan tidak kepada tetangganya. Apakah suatu rumah tangga yang mempunyai aliran listrik, tidak memberikan pengaruh kepada tetangga-tetangganya dan tidak ada alasan bagi mereka untuk turut membayar biaya tersebut, untuk ini pembebanan yang cocok adalah retribusi langsung.

Dalam praktek, Davey (1988:135) mengatakan bahwa pungutan retribusi langsung atas konsumen biasanya dikarenakan satu atau lebih pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut

(a). Apakah pelayanan tersebut merupakan barang-barang umum atau pribadi, mungkin pelayanan tersebut dapat disediakan kepada setiap orang dan oleh karena itu tidak wajar untuk membebankan biaya-biaya tersebut kepada pembayar pajak yang tidak dapat.

(b). Suatu jasa dapat melibatkan suatu sumber yang langka atau mahal dan perlunya disiplin konsumsi masyarakat. Hal ini lagi-lagi sering menjadi suatu alasan pembebanan retribusi untuk menyediakan air minum (khususnya melalui sistem meteran) atau pada resep dokter.

(c). Mungkin ada bermacam-macam variasi di dalam konsumsi individu, yang berkaitan setidak-tidaknya untuk memilih daripada memerlukan. Untuk ini fasilitas rekreasi dapat diambil sebagai contoh.

(d). Jasa-jasa dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan mencari keuntungan disamping memuaskan kebutuhan individu di dalam negeri.

(e). Retribusi dapat menguji arah dan skala dari permintaan masyarakat akan jasa, dimana kebutuhan pokok atau bentuk-bentuk satandar-standar dari penyediaan tidak dapat dengan tegas ditentukan. Suatu kasus dapoat dibuat hampir pada setiap bentuk pengeluaran pemerintah, keinginan untuk membayar langsung bagi pelayanan-pelayanan tersebut adalah suatu pengujian yang penting bagi keinginan masyarakat.

(20)

Dapat disimpulkan bahwa retribusi daerah adalah pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan usaha atau milik daerah atau jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung atau tidak langsung.

(2). Transfer dari Pemerintah Pusat

Upaya apapun yang dilaksanakan untuk menata kembali fungsi-fungsi pengeluaran dan penerimaan, masalah ketidakseimbangan vertical hampir pasti tetap ada, atau paling tidak demikian menurut pengalaman mancanegara. Walaupun basis pajak propinsi yang kaya mampu menyeimbangkan penerimaan dan pengeluaran “sendiri”, ketidakseimbangan besar kemungkinan terjadi di daerah lain. Lagi pula sejarah dan pengalaman internasional secara simultan memberikan paparan yang kuat sekali bahwa perbedaan elastisitas penerimaan dan pengeluaran atas penyerahan fungsi-fungsi tersebut pada berbagai jenjang pemerintah dalam setiap kasus, akan segera mengarah pada munculnya kembali permasalahan ketidakseimbangan vertical, walau untuk propinsi terkala pun. “Kesenjangan” structural pasti segera akan terjadi dan harus ditangani (Bird & Vaillancourt, 2000:39)

Pada prinsipnya, paling tidak terdapat empat cara untuk mengatasi kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran (Bird & Vaillancourt, 2000:39) : a) penerimaan-penerimaan pada tingkat propinsi dapat ditingkatkan. Namun,

sangat kecil peluangnya di antara semua potensi yang dapat digali, sebab begitu diminati (walaupun misalnya sistemnya sudah dirancang dengan baik dan tepat).

(21)

b) Pengeluaran propinsi dapat dikurangi. Terlepas dari kepopulerannya (dari sisi pusat) – kadang-kadang mungkin merupakan suatu keharusan – pendekatan ini juga tidak perlu disarankan jika sistem sudah dirancang dengan baik sejak dini.

c) Fungsi-fungsi pengeluaran dapat dialihkan ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi, yang memiliki sumber-sumber penerimaan lebih banyak (kewenangan penerimaan lebih banyak), atau dialihkan ke jenjang pemerintahan yang lebih rendah yang memiliki pengeluaran lebih banyak. Walaupun demikian, lagi-lagi hal ini tidak perlu dan tidak bijaksana jika fondasi struktur sistemnya sudah benar.

d) Sebagian pendapatan yang dikumpulkan pusat dapat ditransfer ke pemerintahan propinsi. Akhirnya, pada setiap negara, alternatif inilah yang hampir selalu dilaksanakan.

Menurut Davey (1988:203) sumber-sumber dana bagi pemerintah daerah yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, seringkali dinyatakan sebagai “pemindahan” (transfer) yang meliputi beberapa :

Pertama, disebut “vote”, yaitu suatu penetapan bagian anggaran negara berdasarkan pada pemungutan suara dalam lembaga pembuat undang-undang, dan pada umumnya lebih berkaitan dengan administrasi wilayah (dekonsentrasi). Kedua, bantuan (grant) yang merupakan pemberian yang berasal dari pemerintahan pusat. Ketiga, pembagian hasil pajak yang dikumpulkan secara terpusat, pemerintah lokal menerima persentase dari pajak-pajak penjualan, pajak penghasilan, perusahaan dan pajak ekspor.

(22)

Dalam negara kesatuan, bagi hasil pajak itu merupakan kewenangan pemerintah pusat yang pada hakekatnya merupakan suatu alternatif dari bantuan. Pembagian alokasi ini masih bisa diperdebatkan, apakah dianggap alokasi pusat atau sebagai pendapatan asli daerah. Keempat, pinjaman pemerintah daerah yang lazim digunakan untuk membiayai pembangunan perusahaan-perusahaan daerah (Development Corporations). Kelima, modal dalam suatu kegiatan yang self liquidating, yaitu kegiatan yang mengharuskan pendapatan untuk menutupi biaya-biaya pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak mengharapkan untuk menarik kembali jumlah modal yang diinvestasikannya.”

Terdapat tiga jenis dasar untuk menetapkan berapa besar jumlah dana yang perlu didistribusikan ke daerah-daerah melalui transfer fiskal pemerintahan (Bird & Vaillancourt, 2000:42) :

(a). menurut persentase tetap dari penerimaan pemerintah pusat;

(b). mengikuti suatu ad hoc, yaitu, dengan cara yang sama seperti untuk jenis-jenis pengeluaran anggaran lain;

(c). atas dasar “mekanisme formula”, yaitu menurut persentase dari pengeluaran-pengeluaran daerah tertentu yang dibayar oleh pusat, atau yang berhubungan dengan ciri umum daerah penerima”

Transfer dapat dirancang untuk menyeimbangkan upaya penggalian penerimaan atau tingkat-tingkat pengeluaran, atau hasil-hasil dalam bentuk pelayanan-pelayanan yang disediakan. Penyeimbangan-penyeimbangan itu mungkin juga lebih diperlukan untuk redistribusi pendapatan, atau untuk meyakinkan bahwa untuk upaya penggalian pendapatan yang sama, masyarakat menerima pengeluaran-pengeluaran (atau hasil-hasil) yang sama, terlepas di mana mereka tinggal; atau untuk menyediakan

(23)

pelayanan-pelayanan penting pemerintahan yang minimal sesuai dengan standar minimum bagi setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pelayanan-pelayanan pemerintahan.

Transfer juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang terkait dengan pertumbuhan dan efisiensi alokasi sumber-sumber, seperti pemberian dorongan agar pemerintah daerah melaksanakan pembangunan pelayanan-pelayanan masyarakat yang mendesak, atau untuk meningkatkan penyediaan pelayanan yang mengandung eksternalitas besar terhadap masyarakat yang berada di luar wilayah bersangkutan. Akhirnya, sebagaimana ditekankan terdahulu, transfer dapat saja secara eksplisit lebih condong ke tujuan-tujuan politis, seperti memungkinkan daerah yang termiskin sekalipun untuk melaksanakan aktivitas pelayanan umum dalam suatu tingkatan tertentu, atau peningkatan sosialisasi penerimaan atas kebijakan-kebijakan pusat yang berdampak negatif atas beberapa wilayah tertentu.

Transfer, dengan demikian merupaakan elemen inti keuangan daerah. Dalam dirinya sendiri, transfer tidak dapat dikatakan baik atau buruk, yang menjadi permasalahan sebenarnya terletak pada pengaruhnya terhadap hasil-hasil kebijakan yang dilaksanakan, seperti efisiensi alokasi, pemerataan distribusi dan stabilitas makroekonomi.

Dalam setiap kegiatan pemerintahan faktor keuangan memegang peranan yang penting, karena hampir setiap kegiatan pemerintahan membutuhkan dana,

(24)

demikian juga bagi suatu pemerintah daerah. Pentingnya keuangan bagi pemerintah daerah tersebut Pamoedji (1980:61) menegaskan bahwa:

“Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa dana yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan …… dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.”

Hal di atas senada dengan pendapat Ibnu Syamsi (1983:190) yang mengungkapkan bahwa keuangan daerah merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Pada sisi lain, dalam kenyataannya para pejabat pemerintahan daerah banyak ditemui memiliki kekurangan dalam kapasitas administrasi terutama dalam memungut pendapatan dan membuat rencana investasi dan anggaran. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Uppal (2000:69) yaitu sebagai berikut :

”Under new system local government should prepare both a medium-term fiscal plan and a comprehensive annual budget. Futhermore, local governments have to collect revenue and prepare budget and investment plans. The fact is that local government official often lack of the administration capacity to collect revenue and prepare budget and investment plans. Moreover, local governments also face lack of finance and accounting skills.”

Untuk memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup. Menurut Alfian Lains (Kaho, 1997:125), sumber keuangan daerah terdiri dari :

a. Pajak Daerah yang telah direstui oleh Pemerintah Pusat.

b. Pinjaman pihak ketiga, pasar uang atau bank atau melalui Pemerintah Pusat.

c. Bagian dari pendapatan pajak pusat yang dipungut daerah, misalnya sekian persen dari pendapatan pusat tersebut.

d. Pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak sentral tertentu, misalnya pajak kekayaan atau pajak pendapatan.

(25)

e. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat

Sistem hubungan keuangan pusat dan daerah di Indonesia telah banyak berhasil mewujudkan pembangunan fisik di daerah selama 20 tahun terakhir dan umumnya peka terhadap kebutuhan dan tujuan pemerintah daerah. Namun demikian, ada beberapa masalah penting yang timbul. Hampir semuanya mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak tepat. Permasalahan hubungan keuangan pusat-daerah dapat dijelaskan sebagai berikut (Davey, 1988:190) : Pertama, campur tangan pemerintah pusat terlalu banyak terhadap berbagai sisi kegiatan pemerintah daerah, terutama dalam kaitannya dengan keuangan. Kedua, cara membiayai proyek dan layanan daerah yang sangat rumit. Satu unit layanan seperti gedung pusat kesehatan masyarakat mendapat dana dari tiga atau lebih departmen. Ketiga, karena SDO (Subsidi Daerah Otonom) pegawai bagi pemerintah daerah adalah sumber daya gratis, maka memungkinkan untuk menerima pegawai dalam jumlah yang sangat besar tanpa memperhitungkan kebutuhan atau biaya. Keempat, perencanaan tenaga kerja tidak mengutamakan kualitas SDM yang memadai.

Pada masa lalu prinsip yang digunakan dalam menjamin kemampuan daerah otonom membiayai otonominya ialah function follow money (tugas dan kewenangan mengikuti sumber pemdapatan daerah) artinya makin tinggi kemampuan daerah mendapatkan pendapatan asli daerah, makin besar tugas dan kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom tersebut (Ramlan Surbakti, www.otoda.or.id, tanpa tahun).

(26)

Salah satu tujuan dari diterbitkannya hukum positif mengenai perimbangan kuasnanyang adalah untuk memberikan kepada daerah sumber pendapatan yang konsisten dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab. Guna mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang mencerminkan pembagian tugas dan kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh (Wijaya:1992:35) yang mengungkapkan bahwa salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan daerah dalam berotonomi adakah kemampuan keuangan (PAD).

Hal dikemukakan di atas menurut Nordin (2005:109) sangat relevan dengan kondisi saat ini, karena dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan, Pemerintah Daerah memerlukan dana yang sangat besar.

Dari pendapat di atas terlihat bahwa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau uang, karena tanpa adanya dana yang cukup, maka tidak mengkin bagi daerah dapat menyelenggarakan tugas kewajiban serta kewenangan yang ada padanya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya.

Soelarno (1999:50) menyatakan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah adalah :

(1) Pendapatan Asli Daerah, meliputi : a) Hasil Pajak Daerah

b) Hasil Retribusi Daerah

c) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan

(27)

d) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain penjualan Aset Daerah dan Jasa Giro

(2) Dana Perimbangan a) Bagian Daerah dari :

1) Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk Daerah

2) Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Daerah

3) Penerimaan Sumber Daya Alam

- sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Daerah - sektor pertambangan minyak bumi dengan imbangan 85% untuk

pemerintah pusat dan 15% untuk Daerah

- sektor pertambangan gas bumi dengan imbangan 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk Daerah

b) Dana Alokasi Umum, sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri c) Dana Alokasi Khusus

(3) Pinjaman Daerah

(4) Lain-lain penerimaan / pendapatan yang sah antara lain hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah kabupaten/kota lainnya, dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya akan diuraikan masing-masing sumber keuangan daerah sebagai berikut :

(28)

a. Pendapatan Asli Daerah

Menurut Devas (1989:24) dibandingkan dengan seluruh penerimaan daerah tingkat I pada tahun 1983/1984, maka pendapatan asli daerah rata-rata hanya sekitar 21%. Sedangkan dari penerimaan daerah tingkat II secara keseluruhan, sumber pendapatan asli daerah menyumbang 10%.

Kondisi kecilnya sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah ditunjukkan pula dari penelitian yang dilakukan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk Tahun anggaran 1983/1984 s/d 1987/198, sumbangan pendapatan asli daerah (Dati I) rata-rata menyumbang 17,49% dari seluruh penerimaan Dati I, pendapatan Dati I tidak jauh berbeda dengan Dati II, rata-rata PADnya masih sangat rendah.

Kemudian pada tahun 1992 Badan Litbang Depdagri bersama-sama UGM mengadakan penelitian terhadap 292 Dati II, hasil penelitian tersebut mengelompokkan Dati II menjadi 5 kelompok berdasarkan persentase sumbangan PAD terhadap seluruh penerimaan Dati II, yaitu (1) 122 Dati II berkisar antara 0,53%-10%, (2) 86 Dati II antara 10,1%-20%, (3) 43 Dati II antara 20,1%-30%, (4) 17 Dati II antara 40,1%-50%, (5) 2 Dati II di atas 50%. (Silalahi, 1995:98). Dilihat dari segi pendapatan asli daerah (PAD), Dati I dan Dati II memiliki kemampuan untuk mengurus rumah tangga sendiri yang tidak besar. Dengan kata lain ketergantungan daerah pada pemerintah pusat sangat besar terutama dari segi keuangan yaitu berupa subsidi.

Ketergantungan keuangan daerah pada pemerintah pusat tersebut dapat mengakibatkan lemahnya kemampuan daerah, baik kemampuan birokrasi

(29)

(kepegawaian) daerah maupun kemampuan kelembagaan (organisasi) pemerintah daerah, hal ini berakibat pada lemahnya kemampuan administrasi daerah secara keseluruhan. Selain itu, hal ini akan membuat daerah semakin tergantung dan kontrol pusat semakin dominan. Ketergantungan daerah secara fiskal ini disebabkan Penerimaan Asli Daerah rendah. Kuncoro (2004:15) menyebutkan faktor penyebab rendahnya PAD yaitu :(1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah, (2) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan,(3) kendati pajak daerah cukup beragam ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan, (4) adanya kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi maka ada kecenderungan terjadi disintegrasi dan separatisme, (5) kelemahan dalam pemberian subsidi.

Sumber-sumber PAD mencakup (1) hasil pajak daerah, (2) retribusi daerah, (3) hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selanjutnya dalam pasal 5 ditetapkan bahwa ketentuan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah, serta ketentuan mengenai perusahaan milik daerah dan pengelolaan lainnya yang dipisahkan diatur dengan undang-undang.

Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama.

(30)

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah

Dalam rangka memberikan kewenangan dalam bidang fiskal (desentralisasi fiskal) Pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan pajak baru jika dilihat sekiranya ada potensi yang memungkinkan. Salah satu pasal yang cukup penting adalah pasal 2 ayat (4) dimana daerah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan menetapkan pajak baru selain yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2000 dengan kriteria sebagai berikut :

(1). Bersifat pajak dan bukan retribusi

(2). Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten / kota yang bersangkutan (3). Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan atau objek pajak

pusat

(4). Potensinya memadai

(31)

(6). Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan (7). Menjaga kelestarian lingkungan

Sidik (2002:2) maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:

¾ prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.

¾ adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.

¾ administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.

¾ secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.

¾ Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss)

UU di atas juga menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan yang lebih tinggi. Pusat sebetulnya perlu memberikan indikator dan ukuran-ukuran lainnya yang dimaksud dengan “bertentangan dengan kepentingan umum”. Pertanyaan yang mungkin menarik untuk dicermati adalah bagaimana pusat harus mengambil posisi terhadap Perda yang menetapkan jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang ”dianggap” oleh pusat sebagai bertentangan dengan

(32)

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun didukung oleh “local stakeholder”? perlu ada mekanisme yang mengatur hal penetapan jenis pajak daerah dan reteribusi daerah (Efendi, 2001 : 54)

1). Pajak Daerah

Guna mengetahui apa yang dimaksud dengan pajak daerah sebelumnya perlu diberikan batasan dari pajak daerah itu sendiri. Beberapa batasan yang diberikan oleh para ahli antara lain, Soemitro (1992 : 12) mengemukakan, pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat balas jasa (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk atau dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum/pemerintah.

Menurut Suparmoko (1997 : 94), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung uraian di atas terlihat ada beberapa unsur dalam pajak yaitu :

• Merupakan iuran rakyat kepada negara • Iuran tersebut dapat dipaksakan oleh negara

• Iuran tersebut dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.

(33)

• Dalam penyelenggaraan iuran tersebut tidak ada kontra prestasi langsung yang dapat ditunjuk.

Diberlakukannya pajak daerah adalah dikaitkan dengan struktur pemerintahan suatu negara yang dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia, disamping ada pemerintah pusat juga ada pemerintah daerah yang merupakan bagian dari pemerintah negara yang bersifat otonom yaitu berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Guna mengatur dan mengurus rumah tangganya tersebut sudah barang tentu memerlukan pembiayaan. Oleh karena itu, disamping memeperoleh pembiayaan dari sumber-sumber yang lain, daerah diperbolehkan untuk melakukan pemungutan pajak yang dinamakan pajak daerah (Suparmoko, 1997 : 306). Selanjutnya, Zandjani (1992:106) yang menyatakan bahwa berdasarkan kewenangan pajak terdiri dari pajak daerah dan pajak pusat

Adapun yang dimaksud dengan perpajakan daerah menurut Davey (1988:39) dapat diartikan sebagai berikut :

(1). Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri;

(2). Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan pemerintah daerah;

(3). Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah;

(4). Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada daerah, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh Pemerintah Daerah.

Dengan melihat pengertian tersebut di atas, serta mengacu kepada pengertian pajak secara umum, maka jelas bahwa yang dimaksud dengan

(34)

pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan pungutannya dapat dipaksakan, yang hasilnya dipergunakan untuk membiayai rumah tangganya sendiri.

2). Retribusi Daerah

Sumber kedua dari pendapatan asli daerah (PAD) adalah retribusi daerah. Untuk mengetahui pengertian retribusi daerah, terlebih dahulu perlu diketahui batasan dari retibusi itu sendiri. Muqodim (1999:3) mengemukakan bahwa retibusi adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung. Selanjutnya Suparmoko (1997 : 94) memberikan batasan bahwa retribusi adalah suatu pembayaran oleh rakyat kepada negara dimana dapat terlihat adanya hubungan antar balas jasa yang secara langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut. Pengertian retribusi secara umum adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara (Soemitro,1979:17).

Definisi lain diberikan oleh Munawir (1980:4) yang menyatakan bahwa retribusi :

“…iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan disini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, dia tidak dikenakan iuran itu.”

Sedangkan pengertian retribusi daerah dapat dilihat dari pendapat Gie (Kaho, 1997:152) sebagai berikut :

“…retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik

(35)

daerah untuk kepentingan umum atau karena jasa yang diberikan oleh daerah langsung maupun tidak langsung.”

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa retribusi daerah adalah pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan usaha data milik daerah atau jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan atas jasa yang diberikan /disediakan oleh pemerintah daerah atau secara lebih lengkap retribusi daerag adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah. Sebelum terbitnya perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah pasca reformasi 1998, dilihat dari jenisnya, retribusi lebih banyak daripada pajak daerah, Daerah Tingkat (Dati) I memiliki 58 jenis retribusi, sedangkan daerah tingkat II memiliki 134 jenis retribusi. Dari 58 jenis retribusi yang dimiliki oleh Dati I hanya 5 jenis retribusi yang dipungut secara aktif yakni : retribusi tambang galian C, retribusi atas kendaraan bermotor, retribusi rumah sakit dan balai pengobatan, retribusi lelang ikan dan retribusi trayek.

Sedangkan dari 134 jenis retribusi yang ada di Dati II hanya 7 jenis yang dipungut oleh hampir seluruh daerah, yakni retribusi pasar, retribusi terminal, retribusi rumah sakit dan balai pengobatan, retribusi parkir, retribusi atas ijin mendirikan bangunan, retribusi pemeriksaan pembantaian, retribusi rekreasi dan retribusi atas ijin mengeluarkan hasil hutan dan hasil alam.

(36)

Retribusi daerah lainnya hanya dipungut oleh beberapa Dati II sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing (S.Silalahi, dalam Suara Pembaruan, 1995:97).

3). Hasil Perusahaan Milik Daerah

Sumber pendapatan asli daerah yang lain adalah hasil perusahaan milik daerah. yang dimaksud dengan hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain, bagian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah. Kaho, (1997:168) menjelaskan bahwa pengertian perusahaan daerah dirumuskan sebagai suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk memperkembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah penghasilan daerah

Menurut Devas (1989:111) terdapat tiga alasan pemerintah Indonesia mendirikan perusahaan daerah yaitu :

(1). Dalam rangka mengambil alih perusahaan-perusahaan asing;

(2). Untuk menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah;

(3). Dianggap cara yang efisien untuk menyediakan layanan masyarakat, menebus biaya dan untuk menghasilkan penerimaan untuk pemerintah daerah

Landasan bagi perusahaan daerah sampai saat ini masing tetap bertumpu pada UU No 5 Tahun 1962 (Kaho, 1991:166). Berdasarkan UU tersebut perusahaan daerah menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi sosial untuk memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum, sedangkan sebagai fungsi ekonomi diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah.

(37)

Sebagai salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah maka daerah memberikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) spsetti perusahaan daerah air minum (PDAM), Bank Pembangunan Daerah dan sabagainya, dimana laba semata-mata dapat menjadi pertimbangan pokoknya. Dengan adanya kesempatan untuk melibatkan diri dalam suatu usaha yang memberikan surplus (hasil lebih) untuk menumpuk pendapatan (Davey, 1988:169). Namun pada kenyataannya, sumbangan sektor ini terhadap pendapatan asli sangatlah kecil yaitu rata-rata sebesar 0,8% (Kaho, 1991:168).

4). Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Lain-lain usaha daerah yang sah di satu pihak mengarah pada public service dan bersifat penyuluhan (tidak mengambil keuntungan melainkan hanya sekedar menutupi resiko biaya administrasi yang dikeluarkan). Di lain pihak juga dapat menghimpun dana sebagai salah satu sumber pendapatan daerah sepanjangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber pendapatan lain-lain meliputi hasil-hasil insidentil dari penjualan barang-barang dan jasa, pendapatan jasa, misalnya ganti kerugian dan sebagainya. Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 6 ayat (2) dinyatakan bahwa, lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nila tukar terhadap mata uang asing dengan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau

(38)

pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Dengan demikian, pendapatan lain-lain dapat diartikan sebgai pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah, retribusi ataupun perusahaan daerah.

Sebagai bahan perbandingan, dalam UU No 5 Tahun 1974 sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) adalah lain-lain usaha daerah yang sah, seperti penerimaan dari dinas-dinas dan penerimaan lain. Dinas-dinas daerah walaupun sebagai pelaksana pemerintah daerah yang tugas dan fungsinya adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat tetapi pada kenyataan befungsi juga sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah. Sumbangan dari sumber ini sedikit lebih baik dari pada sumber perusahaan daerah, yakni rata-rata 2,6% bagi pendapatan asli daerah. Sumber terakhir dari pendapatan asli daerah adalah penerimaan lain-lain adalah penerimaan lain-lain yang menyumbang 4,7% baik pendapatan asli (Kaho,1997:173).

Menurut Hoessein (1993 : 338) pendapatan daerah diluar pendapatan asli daerah disebut “pendapatan non asli daerah” yang terdiri dari bagi hasil pajak dan bukan pajak serta sumbangan dari pemerintah yang lebih atas. Selanjutnya sumbangan dari pemerintah yang lebih atas tersebut terdiri dari sumbangan yang dikaitkan dengan tugas rutin dan tugas pembangunan. Sumbangan yang dikaitkan dengan tugas pembangunan lazim disebut bantuan inpres. Kemudian bantuan pembangunan (Inpres) dapat berbentuk bantuan umum (Block Grant) dan bantuan khusus (Specific Grant).

(39)

b. Dana Perimbangan

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (2) menetapkan bahwa salah satu sumber Pendapatan Daerah adalah dana perimbangan yang besarnya ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tiga komponen utama dalam dana perimbangan adalah (a) Dana Bagi Hasil berupa bagi hasil dari penerimaan pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta Sumber Daya Alam (SDA) yang berupa penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, penerimaan pertambangan umum serta penerimaan minyak bumi, gas bumi dan panas bumi, (b) Dana alokasi Umum (DAU) sebesar 26 % dari APBN yang diberikan kepada daerah otonom dengan mempertimbangkan sisi kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan sisi kemampuan fiskal (fiscal capacity). Dana ini dimaksudkan demi pemerataan tetapi penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada DPRD dan pemerintah daerah, dan (c) dana alokasi khusus (DAK)/ specific grant yang penggunaannya sudah ditentukan oleh pusat dalam APBN.

Dengan dana perimbangan ini, daerah diharapkan akan dapat menutupi kesenjangan antara penerimaan dari pendapatan asli daerah dengan pengeluaran untuk belanja rutin dan pembangunan. Disamping itu, dana perimbangan kecuali dana alokasi khusus, umumnya bersifat dana umum atau block grant, yang penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah, maka pemerintah daerah

(40)

diharapkan akan dapat menentukan sendiri program atau proyak pembangunan daerahnya. Dana perimbangan ini akan mendukungpenyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, sehingga pada gilirannya diharapkan akan mampu (1) memacu pembangunan daerah, (2) meningkatkan pertumbuhan antar daerah yang seimbang (3) menciptakan pembagian dana yang rasional dan adil khususnya kepala daerah penghasil, (4) meningkatkan pemerataan pembangunan, (5) mengurangi kesenjangan sosial antar daerah, (6) memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan (7) meredam ketidakpuasan daerah, (8) meningkatkan respek daerah terhadap pusat, serta (9) memperkuat rasa persatuan dan kesatuan/integrasi bangsa.

Bagian daerah dari penerimaan PBB, BPHTB, PPh dan SDA merupakan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah penghasil atau tempat asal penerimaan negara tersebut dipungut. Bagian daerah ini merupakan hak utama bagi daerah penghasil untuk dijadikan sebagai sumber penerimaan daerah sendiri, dan dapat dipergunakan sepenuhnya oleh daerah untuk mencukupi kebutuhan daerah dalam membiayai pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pembangunan.

c. Pinjaman

Seiring dengan laju pembangunan dan peningkatan kebutuhan daerah akan dana untuk pembiayaan pembangunan. Pemerintah daerah berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 pasal 49 hingga 56 dimungkinkan melakukan pinjaman dari berbagai sumber untuk membiayai sebagian anggarannya.

(41)

Sebagaimana halnya di berbagai negara, wewenang pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman ini umumnya dibatasi. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu : Pertama, pinjaman sektor pemerintahan secara keseluruhan perlu dikendalikan dalam hubungan dengan kebijaksanaan moneter, terutama untuk mengendalikan inflasi; Kedua, untuk mencegah jangan sampai Pemerintah Daerah terjerumus ke dalam kesulitan keuangan (Davey, 1988 : 222). Batas jumlah pinjaman daerah adalah jumlah maksimum yang dapat diterima oleh daerah dengan memperhatikan indikator kemampuan daerah untuk meminjam maupun dalam pengembalian pinjaman, yaitu suatu rasio yang menunjukkan tersedianya sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban pembayaran pinjaman.

5. Administrasi Perpajakan Daerah

Mansury (1994 : 43) mengatakan bahwa unsur ketiga dari sistem perpajakan adalah administrasi perpajakan, yang mempunyai tiga pengertian yaitu:

a. Suatu instansi atau badan yang diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pungutan pajak.

Dalam kaitannya dengan instansi atau badan yang diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk pemungutan penyelenggaraan pemungutan pajak, maka tidak akan terlepas dari suatu topik yang ada hubungannya dengan organisasi. Lubis dan Huseini, (1987:1) mengatakan bahwa organisasi :

“Sebagai suatu keasatuan sosial dari sekelompok manusia, yang saling berinteraksi, menurut pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing yang sebagai suatu

(42)

kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.”

Terdapat beberapa pandangan mengenai organisasi, yaitu :

1) Pendekatan klasik yang memusatkan perhatian pada anatomi organisasi dan tidak memperhatikan aspek sosial

2) Pendekatan neoklasik yang mementingkan aspe sosial, tetapi kurang memperhatikan anatomi organisasi.

3) Pendekatan modern sebagai pendekatan yang mampu menyatukan keseluruhan pandangan dalam analisis organisasi.

Salah satu pandangan/ pendekatan dari organisasi adalah pendekatan modern, yang mempunyai pandangan yang lebih sempurna dari pendekatan-pendekatan lainnya (pendekatan-pendekatan klasik dan pendekatan-pendekatan neo klasik) antara lain dikatakan oleh Lubis dan Huseini, (1987:6) bahwa :

1) Pendekatan modern memandang organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka, yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkungan sehingga organisasi bisa dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkungan.

2) Keterbukaan dan ketergantungan organisasi terhadap lingkungan, menyebabkan bentuk organisasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana organisasi itu berada

Bentuk organisasi secara keseluruhan tergambar dalam struktur organisasi yang merupakan gambaran mengenai kesatuan dari berbagai segmen organisasi, yang masing-masing dipengaruhi oleh salah satu dari faktor-faktor berikut ini : jumlah bagian dalam organisasi, tingkat sentralisasi, formalisasi, standarisasi dan juga berbagai jenis karakteristik struktur lainnya. Struktur organisasi

(43)

digambarkan pada peta atau skema organisasi. Skema organisasi ini memberikan gambaran mengenai keseluruhan kegiatan serta proses yang terjadi pada suatu organisasi. Lubis dan Huseini (1987:120) mengemukakan empat komponen dasar yang merupakan kerangka dalam memberikan definisi dari struktur organisasi , yaitu :

1) Struktur organisasi memberikan gambaran pembagian tugas-tugas serta tanggung jawab kepada individu maupun bagian-bagian dalam suatu organisasi.

2) Struktur organisasi memberikan gambaran mengenai hubungan pelaporan yang ditetapkan secara resmi dalam suatu organisasi. Tercakup dalam hubungan pelaporan yang resmi ini banyaknya tingkatan hirarki serta besarnya rentang kendali dari semua pimpinan di seluruh tingkatan organisasi.

3) Struktur organisasi menetapkan pengelompokan individu menjadi bagian dari organisasi dan pengelompokan bagian-bagian tersebut menjadi bagian suatu organisasi yang utuh.

4) Struktur organisasi juga menetapkan system hubungan dalam organisasi, yang memungkinkan tercapainya komunikasi, koordinasi dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik ke arah vertical maupun horizontal.

Oleh karena organisasi bisa dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkungannya, maka suatu organisasi harus memiliki strategi-strategi yang bersifat eksternal, seperti :

(44)

2) Dengan cara lobbying, yaitu melakukan pendekatan-pendekatan kepada lingkungan yang potensial untuk mencapai tujuan organisasi

Selain hal di atas, Kelley dan Oldman (1973:50) antara lain : 1) Mengadakan bimbingan dan pengawasan secara menyeluruh 2) Pengecekan rutin atas adanya kelalaian dan salah hitung 3) Melaksanakan pemeriksaan kantor

4) Melaksanakan pemeriksaan lapangan

5) Penyidikan khusus jika ada yang dicurigai melakukan penggelapan

6) Melakukan kegiatan pemungutan (pencatatan penerimaan pajak dan transaksi pelanggaran wajib pajak).

7) Pelayanan secretariat

8) Melakukan penilaian aktiva 9) Pemeliharaan sarana dan prasarana 10) Pelayanan komputer

11) Pelayanan secara resmi

12) Memperhatikan keinginan atau alasan wajib pajak sehubungan adannya perhitungan tambahan dan pelayananan pengembalian pajak secara baik. b. Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada

instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pungutan pajak.

Dalam kaitannya dengan orang-orang yang ada dalam administrasi perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan pajak (fiskus),

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Kolam olakan datar type IV (USBR IV) bisa dipakai pada Bendungan Jehem, karena pada tipe IV cocok untuk digunakan dengan tekanan hidrostatis rendah, dan debit

Evaluasi terhadap kinerja Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan indikator yang jelas dan terukur, dengan memperhatikan perbaikan prosedur

Pekerjaan komunikasi di dalam pengertian hubungan masyarakat melibatkan usaha mengirimkan atau meyampaikan pesan yang berupa lambang, bahasa lisan, tertulis, atau gambar dari sumber

Keunggulan yang dimiliki oleh Flash ini adalah ia mampu diberikan sedikit code pemograman baik yang berjalan sendiri untuk mengatur animasi yang ada didalamnya atau

LAPORAN KOMITMEN DAN KONTINJENSI Per 31 Januari 2016 (Dalam Jutaan Rupiah) TAGIHAN KOMITMEN Fasilitas pinjaman yang belum ditarik Rupiah PT

Tetapi tidak semua pernikahan berbeda etnis dapat berjalan dengan baik, karena perbedaan etnis yang terjadi menimbulkan hambatan dalam proses pelaksanaan pernikahan

ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan. Ketika tahun ENSO, sirkulasi zonal di atas Indonesia divergen, sehingga terjadi subsidensi udara atas. Divergensi massa udara

Mannang Baso dg Bani (pujangga Maba) mantan ketua BKPRMI Kecamatan Bajeng periode 2006-2010 yang saat ini berkiprah di DPP BKPRMI sebagai ketua bidang seni dewan