• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surat Kabar Harian PUSARA, Edisi: Maret 1992

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surat Kabar Harian PUSARA, Edisi: Maret 1992"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

AKTUALISASI KUALITAS GURU SMTA

( Studi Kasus di DIY )

Oleh : Ki Supriyoko

Tulisan tentang "Aktualisasi Peningkatan Kualitas Guru SMTA di Indonesia" ini disistematisasi menjadi tiga subbab; masing-masing adalah subbab tentang (A) Kondisi SMTA, (B) Referensi Kualitas, serta (C) Peningkatan dan hambatannya.

A. KONDISI SMTA

Roda pembangunan pendidikan yang dengan gencarnya tengah digulirkan oleh bangsa Indonesia sedang mencapai kesuksesannya, meskipun belum sampai titik optimal; hal ini secara langsung maupun tidak langsung bisa dicermati dan dirasakan pada berbagai jenjang pendidikan, tak terkecuali jenjang menengah atas atau yang dalam PP 29/1990 disebut sebagai jenjang pendidikan menengah.

Data Balitbang Depdikbud (1989) menyebutkan bahwa jumlah siswa SMTA sebanyak 3.918.920 anak, dan 2.600.053 (66,35%) di antaranya siswa SMA, yang ditampung di dalam 10.682 sekolah. Setiap sekolah rata-rata menampung 366 atau 367 siswa. Keseluruhan siswa tersebut dilayani oleh 291.587 guru dan 63.222 karyawan (administratif); dengan demikian seorang guru "hanya" melayani 13 atau 14 siswa, dan seorang karyawan melayani 61 atau 62 siswa. Apabila dikomparasikan dengan angka-angka sejenis pada perguruan tinggi, apalagi perguruan tinggi swasta (PTS), maka se-cara kuantitatif angka-angka tersebut relatif memuaskan. Sebagai ilustrasi saat ini seorang dosen pada perguruan tinggi rata-rata masih harus melayani 23 atau 24 mahasis wa, sedangkan setiap dosen PTS rata-rata masih harus me-layani 38 atau 39 mahasiswa.

Secara khusus SMTA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sering diangggap berkondisi akademik lebih me madai dibanding SMTA di luarnya memiliki perspektif yang spesifik. Secara kuantitatif di DIY terdapat lebih dari 400 SMTA. Data Kanwil Depdikbud DIY (1990) menunjukkan angka 403 untuk jumlah SMTA, dan 225 di antaranya adalah SMA; terdistribusi di lima dati-2; yaitu Bantul, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Kotamadya Yogyakarta.

Dari 225 SMA tersebut sebanyak 43 (19,11%) merupa kan sekolah negeri yang dikelola langsung oleh pemerin-tah,sedangkan yang 182 (80,89%) merupakan sekolah swasta yang langsung dikelola oleh masyarakat. Dari rincian ini

(2)

tergambarkan tingginya partisipasi aktif pihak swasta atau masyarakat DIY dalam pembangunan sekolah menengah, khususnya SMA. Partisipasi aktif semacam ini memang sa-ngat konstruktif. Pada sisi yang lainnya jumlah sekolah, kelas, siswa, guru tetap, dan siswa drop-out secara sis-tematis disajikan dalam Tabel 1. Periksa Tabel 1!

Tabel 1 !

SKEMA SEKOLAH MENENGAH UMUM TINGKAT ATAS (SMA) DIY Kondisi Tahun Ajaran 1989/1990

+­­­­­­­­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­+ | Variabel | Negeri | Swasta | Jumlah | +­­­­­­­­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­+ | | | | | | Jumlah Sekolah | 43 | 182 | 225 | | Jumlah Kelas | 557 | 1.456 | 2.013 | | Jumlah Murid | 22.214 | 49.116 | 71.330 | | Jumlah Guru Ttp | 1.486 | 1.923 | 3.409 | | Jumlah Drop-out | 79 | 950 | 1.029 | | | | | | +­­­­­­­­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­+­­­­­­­­­­+ Sumber: Kanwil Depdikbud DIY, "Data Pendidikan Per- sekolahan Tahun Ajaran 1989/1990", 1990

Sementara itu untuk memberi ilustrasi yang lebih terinci Tabel 2 berikut menampilkan ratio kelas-sekolah, siswa-kelas, siswa-guru, serta kursi-siswa yang dihitung baik untuk tingkat propinsi maupun tingkat dati-2. Perik sa Tabel 2 berikut! Tabel 2:

ANGKA RATIO ANTAR VARIABEL PERSEKOLAHAN SMA DI DIY Kondisi Tahun Ajaran 1989/1990

+­­­­­­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+ | Kondisi | Kelas | Siswa | Siswa | Kursi | | Wilayah | /Sklh | /Kelas | /Guru | /Siswa | +­­­­­­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+ | | | | | | | Bantul | 8,29 | 33,8 | 18,0 | 1,18 | | Sleman | 8,02 | 34,7 | 20,0 | 1,15 | | Gunung Kidul | 7,39 | 35,4 | 18,6 | 1,12 | | Kulon Progo | 7,92 | 35,5 | 17,2 | 1,12 | | Kotamadya | 12,16 | 36,7 | 26,6 | 1,08 | | | | | | | +­­­­­­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+

(3)

| DIY | 8,95 | 35,4 | 20,9 | 1,13 | +­­­­­­­­­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+­­­­­­­­+ Sumber: Kanwil Depdikbud DIY, "Data Pendidikan Per- sekolahan Tahun Ajaran 1989/1990", 1990

Dari Tabel 2 tersebut di atas bisa diinterpretasi bahwa ratio kelas-sekolah di DIY sebesar 8,95; data ini menunjukkan setiap SMA di DIY rata-rata memiliki 8,95 a-tau 9 kelas, umumnya tingkat 1, 2, dan 3 masing-masing 3 kelas. Namun demikian ratio kelas-sekolah pada kotamadya tergolong sangat tinggi, mencapai 12,16; artinya SMA-SMA di kotamadya umumnya memiliki kelas "gemuk", yaitu tiap SMA memiliki 12 atau 13 kelas. Sementara itu kalau dili-hat dari jumlah siswa per kelas maka kotamadya juga memi liki kelas "gemuk" karena setiap kelas rata-rata berisi 36 atau 37 siswa, sedangkan kelas SMA di Bantul hanyalah berisi 33 atau 34 siswa. Berdasarkan satuan per kelas untuk 40 siswa maka dengan kondisi tersebut di atas terjadi "over capacity" (OC) pada SMA di DIY, yang angkanya untuk skala propinsi 1,13. Daya muat seluruh SMA di DIY mencapai 80.520 (dari 2.013x40) siswa, sedangkan jumlah siswa riil yang meman-faatkan kursi belajar hanya 71.330 anak. Hal itu berarti bahwa dari setiap 113 fasilitas kursi belajar maka jum- lah siswa riil yang memanfaatkan hanya 100 anak. Dengan ungkapan lain dari setiap 100 siswa (riil) yang ada maka terdapat 13 kursi belajar yang menganggur.

Angka OC untuk masing-masing dati-2 di DIY disa-jikan dalam Tabel 2. Dari Tabel 2 akan terlihat bahwa OC tertinggi terdapat di Bantul yang angkanya mencapai 1,18;artinya dari setiap 100 siswa SMA di Bantul yang ada ma-ka terdapat 18 kursi belajar yang menganggur. "Lampu me-rah" bagi SMA-SMA di DIY telah menyala; artinya apabila kebijakan jumlah siswa setiap kelas di SMA dipertahankan pada angka 40 maka makin lama akan semakin dirasakan fe-nomena kekurangan siswa tersebut. Mengapa? Karena jumlah rata-rata siswa tiap kelas pada SMA di DIY saat ini saja "tinggal" 35 atau 36 anak; bahkan di beberapa dati-2 ang kanya justru lebih rendah lagi.

Apabila dilihat dari ketersediaan guru maka ang-kanya pun cukup memuaskan pula; sekarang ini setiap guru (tetap) SMA di DIY rata-rata membimbing 20 atau 21 siswa

(bandingkan dengan seorang dosen PTS di Indonesia yang rata-rata membimbing 38 atau 39 mahasiswa). Relatif me-muaskannya ratio siswa-guru SMA tersebut, dan untuk SMTA Kejuruan lebih memuaskan lagi, secara strategis dapat di manfaatkan untuk meningkatkan kualitas guru itu sendiri.

B. REFERENSI KUALITAS

Referensi baku tentang kualitas guru pada umumnya dan kualitas guru SMTA pada khususnya sampai kini memang belum tereksplisitkan; namun demikian dengan telah diber lakukannya Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

(4)

Negara No:26/1989 tentang sistem angka kredit bagi jabatan guru di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maka referensi kualitas mulai dapat difor mulasikan.

Secara konsepsual referensi kualitas guru tercer-min pada jabatan akademiknya; makin tinggi jabatan aka-demik seorang guru maka semakin tinggi kualitas akademik yang dimilikinya. Implikasinya peningkatan kualitas guru relevan dengan peningkatan jabatan akademiknya.

Pada sisi yang lain secara operasional upaya pe-ningkatan kualitas guru (SMTA) haruslah dijabarkan dari bidang kegiatan dan tugas-tugas pokok guru itu sendiri. Adapun bidang kegiatan dan tugas-tugas pokok guru, tanpa dibedakan guru pada masing-masing jenjangnya, menurut SK Menpan No:26/1989 adalah sebagai berikut. 1. Bidang Kegiatan Guru

1.1 Pendidikan, yang meliputi:

a. mengikuti dan memperoleh ijazah pendidikan fomal;

b. mengikuti dan memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Latihan (STTPL) kedinasan.

1.2 Proses belajar mengajar atau bimbingan dan penyu-nyuluhan, yang meliputi: a. melaksanakan proses belajar mengajar atau praktek atau melaksanakan proses bimbingan dan penyuluhan;

b. melaksanakan tugas di daerah terpencil; c. melaksanakan tugas tertentu di sekolah. 1.3 Pengembangan profesi, yang meliputi:

a. melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan; b. membuat alat pelajaran/alat peraga;

c. menciptakan karya seni;

d. menemukan teknologi tepatguna di bidang pendidikan; e. mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

1.4 Penunjang proses belajar mengajar atau bimbingan dan penyuluhan, yang meliputi:

a. melaksanakan pengabdian pada masyarakat; b. melaksanakan kegiatan pendukung pendidikan. 2. Tugas Pokok Guru

Pada dasarnya tugas pokok guru dibedakan menurut jabatannya, tidak dibedakan pada jenjang mana guru meng-abdikan diri. Dengan demikian tugas pokok guru sekolah dasar serta menengah pada dasarnya sama, yang membedakan adalah jabatannya. Perhatikan rinciannya sebagai berikut.

A. Tugas pokok Guru Pratama, Guru Pratama Tingkat I, Guru Muda, dan Guru Muda Tingkat I, adalah:

(5)

01. melaksanakan dengan bimbingan kegiatan penyusunan program pengajaran atau praktek atau bimbingan dan penyuluhan;

02.melaksanakan dengan bimbingan kegiatan penyajian program pengajaran atau pelaksanaan program prak-tek atau bimbingan dan penyuluhan;

03.melaksanakan dengan bimbingan kegiatan evaluasi belajar atau praktek atau evaluasi pelaksanaan dan penyuluhan;

04. melaksanakan dengan bimbingan kegiatan analisis hasil evaluasi belajar atau praktek atau pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan;

05.melaksanakan dengan bimbingan kegiatan penyusunan dan pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut bimbingan dan penyuluhan;

06. melaksanakan dengan bimbingan kegiatan penyusunan dan pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan di kelas yang menjadi tanggung jawabnya (khusus guru kelas di sekolah dasar);

07.melaksanakan dengan bimbingan kegiatan bimbingan siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler;

08.melaksanakan tugas di daerah terpencil; 09.membuat alat pelajaran/alat peraga.

B. Tugas pokok Guru Madya, Guru Madya Tingkat I, Guru Dewasa, dan Guru Dewasa Tingkat I, adalah:

01. melaksanakan kegiatan penyusunan program pengajaran atau praktek atau bimbingan dan penyuluhan;

02. melaksanakan kegiatan penyajian program pengajaran atau pelaksanaan praktek atau pelaksanaan bim-bingan dan penyuluhan;

03. melaksanakan kegiatan evaluasi belajar atau praktek atau evaluasi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan;

04. melaksanakan kegiatan analisis hasil evaluasi belajar atau praktek pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan;

05. menyusun dan melaksanakan program perbaikan/pengayaan atau tindak lanjut bimbingan dan penyuluhan;

06.menyusun dan melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan di kelas yang menjadi tanggung jawabnya (khusus guru kelas di sekolah dasar);

07. membimbing siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler;

08. melaksanakan dengan bimbingan kegiatan membimbing guru dalam kegiatan proses belajar mengajar atau praktek atau bimbingan dan penyuluhan;

09. melaksanakan dengan bimbingan kegiatan pelaksana-an bimbingan karir siswa; 10. melaksanakan dengan bimbingan kegiatan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS);

11. melaksanakan tugas di daerah terpencil; 12. melaksanakan tugas tertentu di sekolah;

13. membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang pendi-dikan; 14. menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidi-kan; 15. membuat alat pelajaran/alat peraga;

16. menciptakan karya seni;

(6)

C. Tugas pokok Guru Pembina, Guru Pembina Tingkat I, Guru Utama Muda, Guru Utama Madya dan Guru Utama, adalah:

01.melaksanakan kegiatan penyusunan program pengajaran atau praktek atau bimbingan dan penyuluhan;

02. melaksanakan kegiatan penyajian program pengajaran atau pelaksanaan praktek atau pelaksanaan bim-bingan dan penyuluhan;

03. kegiatan kegiatan evaluasi belajar atau prak-tek atau evaluasi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan;

04. melaksanakan kegiatan analisis hasil evaluasi be-lajar atau praktek atau pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan;

05. menyusun dan melaksanakan program perbaikan/pengayaan atau tindak lanjut bimbingan dan penyuluhan;

06. menyusun dan melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan di kelas yang menjadi tanggung jawab-nya (khusus guru kelas di sekolah dasar);

07. membimbing siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler;

08. melaksanakan kegiatan membimbing guru dalam kegi-atan proses belajar mengajar atau praktek atau bimbingan dan penyuluhan;

09. melaksanakan bimbingan karir siswa;

10. melaksanakan kegiatan Evaluasi Belajar Tahap A-khir (EBTA) atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir Na-sional (EBTANAS);

11. melaksanakan tugas di daerah terpencil; 12. melaksanakan tugas tertentu di sekolah;

13. membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang pendi-dikan; 14. menemukan teknologi tepatguna di bidang pendidik-an; 15. membuat alat pelajaran/alat peraga;

16. menciptakan karya seni;

17. mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

C. PENINGKATAN DAN HAMBATANNYA

Dari referensi tersebut di atas upaya peningkatan kualitas guru dapat dikonsentrasikan pada empat bidang; yaitu bidang pendidikan, proses belajar mengajar, pengem bangan profesi, serta penunjang proses belajar mengajar. Keempat bidang ini bersifat interaksi, interkorelasi dan interdependensi. Kalau keempat bidang yang dikonsentrasi ini dapat dilaksanakan maka peningkatan kualitas merupa-kan tujuan yang dengan sendirinya akan tercapai.

Bidang pendidikan misalnya; dari keseluruhan guru SMTA di DIY ternyata baru 34,92% yang memiliki pendidik-an sarjana (S1) IKIP, dan 5,55% yang memiliki pendidikan sarjana non-IKIP. Idealnya keseluruhan guru setidak-tidaknya memiliki pendidikan minimal sarjana IKIP. Dengan demikian peningkatan kualitas guru dari bidang pendidik-annya memang masih merupakan kebutuhan utama. Meskipun begitu ada hambatan dalam pengembangan bidang pendidikan ini; yaitu banyaknya

(7)

guru yang "pasrah" karena merasa sudah tua sehingga tidak memiliki motivasi meningkatkan pendidikannya. Sebagai ilustrasi sekitar 30% guru SMTA berusia di atas 45 tahun.

Iklim untuk meningkatkan pendididikan di SMTA yang belum kondusif, dibandingkan perguruan tinggi misalnya, juga merupakan kendala tersendiri. Bahkan ada kasus: se-telah guru SLTA menyelesaikan program S2-nya di Amerika Serikat (AS) maka motivasi mengajar di SMTA menjadi ken-dor karena ingin pindah "rumah" di perguruan tinggi.

Bidang proses belajar mengajar serta penunjangnya selama ini merupakan bidang yang memperoleh prioritas di dalam meningkatkan kualitas guru. Berbagai kegiatan pe-ningkatan mutu selama ini lebih banyak mengacu di bidang ini; baik kegiatan yang bersifat instruksional maupun diskusional, misalnya juklak dan juknis perintah akade-mik tertentu (instruksional), lokakarya, seminar, temu ilmiah (diskusional), disdan sebagainya.

Sementara itu bidang pengembangan profesi belum banyak disentuh dalam upaya peningkatan mutu guru SMTA, walau sudah mulai dipikirkan secara bersungguh-sungguh setelah diberlakukannya SK Menpan No:26/1989. Aktivitas spesifik yang selama ini masih menjadi "momok" bagi ke-banyakan guru SMTA adalah melakukan kegiatan karya tulis atau karya ilmiah di bidang pendidikan; misalnya peneli-tian, menyajikan makalah, menulis paper, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman pada perguruan tinggi maka jenis kegiatan ini memang cukup disegani oleh para dosen serta mahasiswanya. Meskipun demikian kegiatan karya tulis atau karya ilmiah harus terus dipacu untuk meningkatkan kualitas guru SMTA.

Banyak hambatan yang mengait masalah tersebut di atas; antara lain belum tumbuhnya iklim ilmiah di seko-lah-sekolah pada umumnya, relatif miskinnya pengetahuan dan pengalaman para guru, terbatasnya sarana dan fasili-tas, sempitnya kegiatan-kegiatan yang bersifat ilmiah, sibuknya para guru pada kegiatan-kegiatan yang bersifat administratif, dan sebagainya.

Dalam setiap usaha untuk meningkatkan kualitas, termasuk kualitas guru SMTA, pasti akan banyak dijumpai kendala dan hambatan; meskipun demikian bukanlah berarti usaha harus berhenti. Justru dengan adanya kendala serta hambatan maka hasilnya seringkali lebih memuaskan.

Indikator-indikator dan fenomena-fenomena tersebut memang spesifik terjadi di DIY, sehingga untuk menggene-ralisasi ke skala nasional sudah barang tentu diperlukan analisis kuantitatif dan kualitatif yang tajam, kritis, dan objektif. Sementara itu khusus tentang indikator-in-dikator kualitas tersebut juga lebih tepat diberlakukan bagi guru-guru negeri, baik yang mengajar di sekolah-se-kolah negeri maupun di sekolah-sekolah swasta. Meskipun demikian secara global indikator-indikator tersebut juga dapat diberlakukan bagi para guru SMTA pada umumnya, ter masuk di dalamnya pamong Taman Madya Tamansiswa walaupun dengan berbagai catatan di sana-sini.

(8)

DAFTAR BACAAN:

_________. "Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomer: 26/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan". Jakarta: 2 Mei 1989

_________. "Surat Edaran Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomer: 57686/MPK/1989 dan Nomer: 38/SE/1989". Jakarta: 15 Agustus 1989

Balitbang Dikbud. Rangkuman Statistik Persekolahan 1988/1989. Jakarta: Pusat Informatika, 1989

Ditjen Dikti. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 1988/1989. Jakarta: PPMSI Dikti, 1989

Kanwil Depdikbud DIY. Data Pendidikan Persekolahan Tahun Pelajaran 1989/1990. Yogyakarta: Bagian Perencanaan, 1990

Supriyoko. Perspektif Sistem Angka Kredit Guru. Jakarta: Kompas, 1 Juni 1990 Supriyoko. Angka Kredit dan Jabatan Fungsional Guru. Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (Makalah Bandingan), 17 November 1989

Supriyoko. Konsep dan Perpektif Sistem Angka Kredit bagi Jabatan Guru. Yogyakarta: IKIP Negeri Yogyakarta (Makalah Seminar), 20 Mei 1990

Supriyoko. Perspektif Angka Kredit bagi Guru. Semarang: Wawasan, 25 November 1989

Supriyoko. Sistem Angka Kredit Belum Menggigit. Surabaya: Jawa Pos, 3 Mei 1990

Referensi

Dokumen terkait

Pabrik asetanilida dari aniline dan asam asetat dengan kapasitas 27.500.. ton/tahun, dapat digolongkan sebagai pabrik beresiko rendah

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi untuk membahas mengenai eksistensi dari batas wilayah Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura pasca penandatanganan Perjanjian

[9] Turban, 2005, Decision Support System and Intelligent Systems (Sistem Pendukung Keputusan dan Sistem Cerdas), Yogyakarta : Penerbit Andi.. [11] Bonnie, Soherman,

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah adekuasi hemodialisis yang diukur menggunakan rumus Ureum Reduction Rate (URR). Dukungan keluarga yang diukur dengan

[r]

[41] Sundarsih, Yuliana Kurniaty “Pengaruh Waktu dan Suhu Perendaman Kedelai pada Tingkat Kesempurnaan Ekstraksi Protein Kedelai dalam Proses Pembuatan Tahu”,

Dalam keputusan tersebut, di Indonesia terdapat 10 kelompok alat tangkap (API – Alat Penangkapan Ikan) yang dapat beroperasi di wilayah perairan. Mengacu pada kriteria alat

The objective of this research are to analyze antibacterial activity of Temu Kunci essential oil and use the oil as antibacterial agent in sago starch edible film. Compound of