TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT
DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA PENINGGALAN
KEPADA ANAK ANGKAT
(Studi Kasus Di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik)
SKRIPSI
Oleh:
Zunia Arizka Putri NIM. C71213138
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
v
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil dari penelitian lapangan untuk mengetahui bagaimana kronologi kasuspemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.
Metode pengumpulan data yang digunakan skripsi ini adalah dengan cara wawancara dan pustaka, selanjutnya pengelolaan data menggunakan teknik editing dan organizing. Kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif verifikatif dengan menggunakan pola pikir deduktif.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pertama, pemberian wasiat melebihi 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat disebabkan oleh permintaan dari pihak ayah kandung kepada ibu angkatnya dengan tujuan supaya anak angkat bisa merawat orangtua angkatnya dengan baik, meskipun dalam hal ini ahli waris tidak menyetujuinya; kedua, pemberian wasiat tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an dan hadis begitu juga dengan pendapat ulama. Selain itu juga, tidak sesuai dengan pasal 195 ayat 2 KHI yang berbunyi: “Wasiat hanya dapat diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga harta warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya”.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... x
MOTTO ... xiii
PERSEMBAHAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 11
I. Sistematika Pembahasan ... 15
BAB II WASIAT MENURUT ISLAM ... 17
A. Pengertian Wasiat ... 17
B. Dasar Hukum Wasiat ... 19
C. Rukun dan Syarat Wasiat ... 22
D. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat ... 29
E. Pelaksanaan dan Batasan Wasiat ... 31
BAB III KRONOLOGI PEMBERIAN WASIAT DI DESA KEMUDI KECAMATAN DUDUK SAMPEYAN KABUPATEN GRESIK ... . 37
B. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pemberian Wasiat ... 39
C. Kronologi Kasus dan Pelaksanaan Wasiat ... 40
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA PENINGGALAN KEPADA ANAK ANGKAT ... 52
A. Analisis Terhadap Pemberian Wasiat Dengan Kadar Lebih Dari 1/3 Harta Warisan Kepada Anak Angkat ... 52
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Wasiat Dengan Kadar Lebih Dari 1/3 Harta Warisan Kepada Anak Angkat ... 55
BAB V PENUTUP ... 58
A. Kesimpulan ... 58
B. Saran ... 59
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam agama yang paripurna dan mengatur semua aspek dalam kehidupan
manusia, mulai dari kehidupan dirana publik sampai kehidupan di rana
domestik. Salah satu aspek yang diatur dalam hukum Islam adalah hukum
keluarga. Hukum keluarga di sini meliputi hukum perkawinan, perceraian,
waris, hibah dan wasiat.1
Dalam hukum Islam, kewarisan dan wasiat merupakan dua hal yang
berhubungan. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama berkaitan dengan
harta peninggalan, yaitu semua yang ditinggalkan oleh mayit dalam arti
segala sesuatu yang ada saat seseorang meninggal dunia.2 Akan tetapi,
kewarisan mempunyai sifat ijba>ri<, yang secara leksikal berarti paksaan.
Maksudnya yaitu peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dengan
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa
tergantung kehendak pewaris atau ahli warisnya. Jadi kewarisan terjadi
secara otomatis dan ahli waris terpaksa menerima kewasiatan tersebut,
sedangkan dalam wasiat bersifat sukarela, jadi wasiat terjadi apabila
2
seseorang yang meninggal berpesan untuk memberikan hartanya kepada
orang yang diberi wasiat.3
Pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang,
ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang
yang berwasiat mati inilah yang disebut dengan wasiat.4 Harta waris maupun
harta wasiat adalah sejumlah harta milik orang yang meninggal dunia setelah
diambil sebagian harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia
menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian
harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala hutang jika ia berhutang kepada
orang lain sejumlah harta.5
Dalam peralihan harta kekayaan atau pemberian wasiat, umat Islam
haruslah berpedoman atau berdasarkan ketentuan yang ada dalam Hukum
Islam sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis. Allah sudah
menjelaskan dengan jelas dalam al-Qur’an tentang ketentuan-ketentuan
pemberian wasiat. Sesungguhnya Allah swt. telah menurunkan ayat wasiat
dan menurunkan pula ayat warisan, maka mungkin ayat wasiat itu tetap ada
bersama dengan ayat warisan.6
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah wasiat itu wajib bagi setiap
orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak ataupun sedikit,
3 Andi Syamsu Alam dan H.M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam (Jakarta:
Kencana, 2008), 68.
4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah , terj. Mudzakir AS, jilid 14 (Bandung: Alma’arif, 1998), 215. 5 Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 1997), 33.
3
pendapat ini dikatakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlas.7 Mereka berdalil
dengan firman Allah swt pada surat al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
َ ِت ك
ْم ْيَ َع
َرَضَحاَ ِا
م كَدَحَأ
ْوَ ْلا
ْ ِا
َ َرَت
ا رْيَخ
َي ِص َوْلا
ِ ْيَدِلا َوْ ِل
َ ْيِب َرْقأا َو
فو رْعَ ْلاِب
ىَ َعاًقح
َ ْيِقَت ْلا
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.8
Hadis Nabi juga ada yang menjelaskan tentang bagaimana bagian harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal. Hadis tersebut menegaskan
bahwa tata caranya harus merujuk pada kitab Allah, yaitu al-Qur’an.
َ َا لااو ِسْقَأ
َ ْيَب
ِ ْهَأ
ِضِئا َرَفْلا
ىَ َع
ِ اَتِك
ل
(
هاور
م سم
دادوباو
)
Bagilah harta warisan di antara ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur’an)” . (HR.Muslim dan Abu Dawud)9
Ayat dan hadis di atas dengan jelas menunjukan perintah dari Allah, agar
umat Islam dalam melaksanakan pemberian harta pusaka berdasarkan hukum
yang ada dalam al-Qur’a>n. Bagi umat Islam semakin banyak berderma dan
bersedekah akan semakin kuat dan memperkokoh keimanan dan ketakwaan
kepada Allah dan Rasulullah.
Wasiat merupakan pemindahan hak milik yang bersifat terbatas, yaitu
hanya sepertiga dari harta peninggalan yang dapat diwasiatkan untuk
diserahkan kepada orang lain, kecuali apabila semua ahli waris menyetujui
maka wasiat boleh diberikan lebih dari sepertiga jumlah harta peninggalan.
7 Ibid.,221.
4
Pemberian terbatas ini dimaksudkan agar jangan sampai merugikan ahli
waris.10
Dalam prakteknya, umat Islam masih banyak yang tidak berpedoman
pada al-Qur’an dalam melakukan pemberian wasiat. Sebagaimana yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan
Kabupaten Gresik. Mereka melakukan pembagian harta warisan masih secara
adat atau kebiasaan yang sudah berlaku sejak dahulu sampai sekarang.
Hukum waris yang menurut adat ini dilakukan secara turun temurun,
sehingga hukum kewarisan secara adat ini sampai sekarang masih berlaku,
meskipun hukum adat tentang kewarisan ini tidak dibukukan, seperti yang
dilakukan masyarakat Desa Kemudi.
Dalam pembagian harta waris masyarakat Desa Kemudi masih
mempertahankan tradisinya yaitu bagian ahli waris yang tinggal serumah
dengan pewaris lebih banyak dibandingkan ahli waris yang lain.
Kebiasaan masyarakat Desa Kemudi dalam melakukan pembagian
warisan tidak berdasarkan ketentuan yang sudah diatur dalam hukum Islam.
Dari kebiasaaan dalam pemberian warisan yang melalui wasiat tidak sesuai
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 195 ayat 2 KHI menyatakan bahwa
“wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga harta warisan
kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.11 Ketika ada wasiat yang
10 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam (Bandung: Mandar Maju, 1997), 58.
11 Himpunan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Cet.I (Jakarta:Citra
5
memberikan hak harta lebih dari sepertiga maka disyaratkan harus dengan
persetujuan para ahli waris.
Di sinilah kemudian penulis menemukan suatu kasus yang sangat
menarik yaitu kasus pasangan dari Ibu Siti dengan Bapak Mad (alm), dalam
kasus ini pasangan tersebut tidak mempunyai anak sama sekali. Dalam
kebiasaan jika tidak mempunyai keturunan maka pasangan tersebut
mengangkat anak (tanpa di sahkan di depan Pengadilan) dari saudaranya
untuk diramut dan menemani di masa tuanya. Pasangan dari Ibu Siti dan
Bapak Mad (alm) mengangkat Rusdin dari orang tua kandungnya yaitu Ibu
Tini dan Bapak Dhaib yang merupakan adik kandung dari Ibu Siti Dan pada
saat Ibu Siti(alm) dan Bapak Mad (alm) meninggal, mewasiatkan harta
peninggalannya kepada Rusdin seluruh hartanya. Hal ini tentu sangat
problematik, terlebih ketika para ahli waris dari Ibu Siti (alm) yang terdiri
dari Thina, Tami, Parman, Ali tidak menyetujui. 12
Dari permasalahan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian lebih
mendalam dan membahasnya dalam sebuah skripsi dengan judul “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Wasiat dengan Kadar Lebih dari 1/3 Harta
Peninggalan Kepada Anak Angkat (Studi Kasus di Desa Kemudi Kecamatan
Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik).
6
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, penulis mengidentifikasikan
masalah-masalah sebagai berikut :
1. Kebiasaan anak angkat (anak yang meramut) mendapatkan warisan
melebihi dari 1/3 harta warisan.
2. Kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta
peninggalan kepada anak angkat.
3. Tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari
1/3 harta peninggalan kepada anak angkat.
Dengan banyaknya permasalahan yang ada, maka penulis membatasi
penelitian ini pada :
1. Kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta
warisan kepada anak angkat.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari
1/3 harta peninggalan kepada anak angkat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dipaparkan, maka
permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3
harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan Duduk
7
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan
kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa
Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti, sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang pernah ada.
Berdasarkan deskripsi tersebut, posisi penelitian yang akan dilakukan harus
dijelaskan.13
Tentang masalah Wasiat untuk anak angkat telah banyak diteliti,
diantaranya adalah :
1. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo
Tentang Pelaksanaan Wasiat Wajibah Anak Angkat Bersamaan Dengan
Pembagian Harta Waris (Studi Kasus No.223/Pdt.G/2005/PA.Sda),
Skripsi yang ditulis oleh Rizqi Haq, Sarjana Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Sunan Ampel (2009). Dalam skripsi ini menjelaskan
tentang pelaksanaan wasiat wajibah yang bersamaan dengan pembagian
harta waris harus dilakukan dan didahulukan bagian wasiat wajibah,
13Tim penyusun Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi
8
berdasarkan al Qur’an surat an Nisa ayat 11 dan sesuai dengan pasal 209
KHI.14
2. Relevansi pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Ketentuan
Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat atau Orang tua Angkat dengan Kitab
Fiqih yang Menjadi Referensinya. Skripsi yang disusun oleh Mohammad
Abdul Ghofur sarjana Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel (2012). Dalam skripsi ini membahas tentang wasiat anak
angkat yang diarahkan kepada ketentuan Pasal 209 KHI dengan
kitab-kitab Fikih.15
3. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Wasiat Seluruh Harta Peninggalan Bagi
Anak Angkat (Studi Kasus di Desa Kepung Kecamatan Kepung
Kabupaten Kediri). Skripsi yang disusun oleh Dina Awwalum
Munawaroh, Sarjanah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel (2011). Dalam skripsi ini menjelaskan solusi-solusi hukum
terkait wasiat seluruh harta bagi anak angkat menurut KHI, dalam kasus
ini pasangan suami istri yang mengangkat Andi Sumanto dengan alasan
bahwa ibu Kasinem tidak punya anak sama sekali, dan dalam
pengangkatan anak disahkan oleh Pengadilan Agama.16
14Rizqi Haq,“Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo
no.223/Pdt.G/2005/PA.Sda Tentang Pelaksanaan Wasiat Wajibah Anak Angkat Bersamaan Dengan Pembagian Harta Waris” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009), 8.
15 Mohammad Abdul Ghofur, “Relevansi pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang
Ketentuan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat atau Orang tua Angkat dengan Kitab Fiqih yang Menjadi Referensinya”(Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 7.
16Dina Awwalum Munawaroh, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Wasiat Seluruh Harta
9
4. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberian Wasiat Harta Kepada
Keponakan Yang Melebihi Sepertiga Bagian Dari Harta Pewasiat (Studi
Kasus Di Desa Tegalrejo Kecamatan Widang Kabupaten Tuban). Skripsi
yang disusun oleh Rudianto, Sarjana Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (2013). Dalam skripsi ini
menjelaskan kasus sengketa keluarga tentang harta waris seorang laki-laki
yang hanya memiliki satu orang anak dan satu orang cucu saja, sehingga
sisa harta waris yang ada diwasiatkan kepada keponakan yang mana
jumlah harta wasiat tersebut melebihi sepertiga bagian dari harta
pewasiat.17
Adapun skripsi yang akan dibahas berjudul “Tinjauan Hukum Islam
terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan
kepada anak angkat”. Permasalahannya yaitu pemberian wasiat semua harta
kepada keponakan yang diangkat sebagai anak dengan adat jawa tanpa
pengesahan di depan Pengadilan Agama, sedangkan ahli waris tidak
menyetujui. Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa penelitian
yang dilakukan dalam skripsi ini tidak merupakan duplikasi dengan skripsi
atau penelitian sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dihasilkan dari rumusan masalah adalah:
17 Rudianto, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberian Wasiat Harta Kepada Keponakan Yang
10
1. Mengetahui kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari
1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan
Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.
2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan
kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa
Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfa’at
dalam bidang keilmuan hukum pada umumnya dan khususnya pada
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum dengan rincian sebagai berikut:
1. Kegunaan secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna bagi
kalangan akademis sebagai tambahan wawasan keilmuan seputar hukum
keluarga Islam terutama yang berkaitan dengan wasiat dengan kadar
lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat.
2. Kegunaan secara praktis, penelitian ini diharapkan sebagai acuan dasar
untuk memecahkan permasalahan dalam pemberian wasiat dengan kadar
lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat, sehingga dapat
memberikan informasi bagi masyarakat Desa Kemudi Kecamatan Duduk
Sampeyan Kabupaten Gresik, khususnya pada tokoh masyarakat dalam
rangka memperjelas dan menyempurnakan aturan tentang ketentuan
11
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pengertian yang dimaksud,
maka perlu ditegaskan maksud dari judul secara terperinci sebagai berikut :
1. Hukum Islam : Hukum Islam yang dimaksud di sini adalah peraturan-
peraturan atau ketentuan-ketentuan al-Qur’an, Hadis,
dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Anak Angkat: Kebiasaan di masyarakat kalau tidak mempunyai
keturunan mengambil anak dari saudaranya untuk bisa
meramut dan menemani masa tuanya.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini juga
merupakan penelitian lapangan, karena data utama di ambil dari
sumber-sumber yang ada di lapangan. Dalam penulisan skripsi ini, teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan pustaka. Untuk
mendukung analisa, maka peneliti juga menggunakan literatur-literatur yang
mendukung yang sesuai dengan wasiat seluruh harta terhadap anak angkat di
Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini pada dasarnya bisa
diklasifikasikan menjadi data-data sebagai berikut:
a. Data terkait kronologi pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3
12
b. Data-data pendukung seperti teori ataupun hal-hal lain yang
diperlukan untuk mendukung analisa dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber yang mana darinya adalah data
utama diambil. Sumber data primer berasal dari Anak angkat yang
mendapatkan wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan, saudara
kandung, dan keponakan.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah yang tidak langsung memberikan
data kepada pengumpul data, misalnya orang lain atau dokumen,18
yang terdiri dari :
1) Kepala Desa atau Lurah Desa Kemudi Kecamatan Duduk
Sampeyan Kabupaten Gresik
2) Tokoh masyarakat desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan
Kabupaten Gresik
3) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
4) Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an
5) Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam
6) Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam
7) Dan Lain-lain.
18 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati Kualitatif dan R&D, Cet VI (Bandung: Alfabeta
13
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Interview (wawancara)
Interview atau wawancara adalah suatu percakapan yang
diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya
jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara
fisik.19 Dalam penelitian ini penulis mengadakan wawancara dan tanya
jawab secara langsung dengan kepala desa, tokoh masyarakat atau
tokoh agama, dan masyarakat Desa Kemudi yang melakukan
pemberian wasiat untuk ahli waris yang terhalang dengan kadar lebih
dari 1/3 harta warisannya.
b. Pustaka
Untuk mempermudah dalam memperoleh data dalam
pembahasan ini, maka penulis menggunakan teknik kepustakaan
(library research), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan
mencari buku-buku atau sumber-sumber yang kemudian dijadikan
acuan atau pisau analisis untuk meneliti sesuatu.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data yang dikumpulkan dalam penelitian berhasil
dikumpulkan, peneliti melakukan pengolahan data.
14
a. Editing
Pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari
segi kelengkapan, kejelasan makna, keselarasan antara data yang ada
dan relevansi penelitian.
b. Organizing
Menyusun kembali data-data yang telah didapat dalam
penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah
direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis. Data –data
yang telah divalidasi ulang kemudian disusun secara sistematis untuk
memudahkan penulis dalam menganalisis data.
5. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik deskriptif
verifikatif dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu teknik yang
menggambarkan data apa adanya dan berangkat dari variabel yang
bersifat umum.
Teori yang di gunakan yaitu teori hukum Islam kemudian di
verifikasikan dan diaplikasikan kepada variabel yang bersifat khusus yaitu
pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan kepada anak
15
I. Sistematika Pembahasan
Demi tersusunnnya skripsi yang sistematis, terarah dan mudah untuk
dipahami maka dalam penelitian ini perlu dibuatkan sistematika pembahasan
yang tersusun sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, pada bab ini menjelaskan landasan teori yang membahas
tentang pengertian dan dasar hukum wasiat, rukun dan syarat wasiat, serta
pelaksanaan dan batasan wasiat.
Bab ketiga, pada bab ini berisi data-data yang akan menjawab penelitian,
dalam bab ini akan dijelaskan kronologi kasus dan pelaksanaan wasiat dengan
kadar lebih dari 1/3 harta warisan kepada anak angkat di Desa Kemudi
Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik, meliputi pelaksanaan wasiat
dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan yang ada di Desa Kemudi, dan
faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pemberian wasiat.
Bab keempat, pada bab ini berisi tentang tinjauan hukum Islam terhadap
pemberian harta wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan kepada
anak angkat yang ada di Desa Kemudi Kecamatan Benjeng Kabupaten
16
Bab kelima, bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari
hasil penelitian lapangan dan saran yang diberikan sesuai dengan
BAB II
WASIAT MENURUT ISLAM
A. Pengertian Wasiat dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Wasiat
Untuk mengetahui pengertian wasiat ditinjau dari segi etimologi atau
terminologi, yaitu :
a. Pengertian wasiat ditinjau dari segi etimologi
Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti yaitu:
menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan, menyambung,
memerintahkan dan mewajibkan.1 Dalam al-Qur’an kata wasiat banyak
ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda. Perbedaan ini
disebabkan karena penggunaan kata wasiat yang berbeda-beda dalam
konteks permasalahnnya. Di antara kata wasiat tersebut adalah :
1) Menunjukkan makna mensyariat, sebagaimana diatur dalam
al-Qur’an surat as-Syura ayat 13 yang berbunyi :
َع َرَش
ْم َل
َ ِ م
ِ ْيِ دَلا
ىَص َواَم
ِهِب
و
ِ َلا َوا ح
ْوَأ
اَ ْيَح
َكْيَلِإ
اَم َو
َو
اَ ْيَص
ِهِب
َمْيِهَرْبِأ
و م َو
ىَ
ىَسيِع َو
ْ َأ
ْاو ْيِقَأ
ِ دلٌا
َ ْي
َّ َو
َت
ْاو ق َرَفَت
ِهْيِف
َك
َر
ىَ َع
ٌا
َ ْيِك ِرْ ْل
ْم هو عْدَتاَم
ِهْيَلِإ
َ َل
ىِ َتْ َي
ِهْيَلِإ
َم
اَ َي
ء
ِدْ َي َو
ِهْيَلِإ
ْ َم
ِ ْيِ ي
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”2
1 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut
Undang-Undang Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Radar Jaya, 1994), 131.
18
2) Menunjukkan makna pesan, sebagaimana diatur dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi :
ك
َ َت
ْم ْيَ َع
اَ ِإ
َرَضَح
م كَدَحَأ
ْوَ ْلا
ِإ
ْ
َ َرَت
ا رْيَخ
َي ِص َوْلا
ِ ْيَدِلا َوْ ِل
َ ْيِب َرْقأا َو
ِفو رْعَ ْلاِب
اًقَح
ىَ َع
َ يِقَت ْلا
{
٨
}
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.3
b. Pengertian Wasiat Ditinjau dari Segi Terminologi
Ulama fiqih mendefinisikan wasiat dengan pengesahan harta secara
suka rela dari seorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang
tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun manfaat.4
Sayyid Sabiq dalam mendefinisikan wasiat lebih longgar karena
menurutnya sesuatu yang dapat diwasiatkan itu dapat berupa barang,
hutang dan manfaat. Sebagaimana dijelaskan dalam Fikih Sunnah
Sayyid Sabiq bahwa wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang
lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh
orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati,5
sedangkan menurut Hanafi sebagaimana dalam buku Idris Ramulyo
menyatakan bahwa wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu
secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah
3 Ibid., 44.
4 Abdul Aziz Dahlan, Ensklipedi Hukum Islam (Jakarta: PT.Lehtiar Baru, 1997), 126. 5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. Mudzakir AS, jilid 14 (Bandung: Alma’arif, 1998), 215. 5 Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT.Raja
19
adanya peristiwa kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu
berupa barang maupun manfaat.6
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wasiat
adalah pemberian seseorang kepada orang lain atau beberapa orang
(lembaga) baik berupa barang, pembebasan, atau pelunasan hutang atau
manfaat yang akan menjadi milik orang yng diberi wasiat setelah orang
yang berwasiat meninggal dunia.
2. Dasar Hukum Wasiat
Adapun yang menjadi dasar hukum wasiat adalah al-Qur’an, hadis,
ijma’, dan secara logika:
a. Al-Qur’an
Diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 180 dan 240 yang berbunyi :
ك ِت
َ
ْم ْيَ َع
اَ ِإ
َضَح
َر
م كَدَحَأ
ْوَ ْلا
ْ ِإ
َ َرَت
ا رْيَخ
َي ِص َوْلا
ِ ْيَدِلا َوْ ِل
َ ْيِب َرْقأا َو
ِفو رْعَ ْلاِب
اًقَح
ىَ َع
َ يِقَت ْلا
{
٨
}
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak. Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.7
َ يِ َلَا
َ وَف َوَت ي
ْم ْ ِم
َ و رَ َي َو
ا جا َو ْ َأ
َي ِص َو
ْ أ
ْمِ ِجا َو
ا عاَتَم
ىلَإ
ِ ْوَ ْلا
َرْيَغ
ا َرْخِإ
ْ ِ َف
َ ْج َرَخ
َلَف
َ اَ ج
ْم ْيَ َع
ِف
اَم
َ ْ َعَف
ِف
َ ِس فْ َأ
ْ ِم
ف ْو رْعَم
ِل َو
ٌ ي ِ َع
ٌميِ َح
{
٤
}
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamudian meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya), akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),
6 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut
Undang-Undang Hukum Perdata (BW),132.
20
Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”8
Diatur juga dalam surat An-Nisa ayat 11 dan ayat 12 yang berbunyi:
َد ْوَأ
ْي
{
}
اَ ِب
ىَص ْو ي
َي ِص َو
(pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.9
ِدْعَ ْ ِم
َي ِص َو
ىَص ْو ي
اَ ِب
ْيَد ْوَأ
َرْيَغ
راَض م
َي ِص َو
َ ِم
ِل
ِلو
ٌميِ َع
ٌميِ َح
{
}
……sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak member madharat (kepada ahli waris) Allah menetapkan demikian itu sebagai syari’at yang dibenarkan dari Allah dan Allah maha mengetahui dan maha menyantuni.10
Ayat-ayat di atas menunjukan secara jelas mengenai hukum
wasiat serta teknis pelaksanaanya, serta materi yang menjadi obyek
wasiat. Namun demikian para ulama berbeda pendapat dalam
memahami dan menafsirkan wasiat.
b. Al-Hadis
Adapun Hadis Nabi yang dapat dijadikan dasar hukum wasiat
diantaranya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Umar ra:
ع
با
ا
هّو ر
ى ص
ل
ع
هي
م و
ق
ا
:
قَحاَم
ِرْما
م
مِ ْس
هَل
ٌ ْيَش
دْي ِر ي
و ي
ِص
ِهْيِف
ْيَ َي
ِ ْيَتَ ْيَل
َِّا
ه تَي ِص َو
ٌَبو تْ َم
هَدْ ِع
Dari Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak
sepatutnya bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang
8 Ibid., 355.
21
ingin ia wasiatkan, lalu ia menginap dua malam, kecuali wasiat itu telah tertulis disisinya.(H.R Muslim)11
اَ َ َدَح
ْبا
ىِبَأ
َرَ ع
,
َدَح
اَ َ
اَيْف
ْب
َ ْيَي ع
ِ َع
ِ ِرْهَ لا
ْ َع
ِرِماَع
ِ ْبٌا
ِدْعَ
ِ ْب
ىِبَأ
اَق َو
ْ َع
ِهْيِبَأ
َ اَق
:
ْض ِرَم
َاَع
َحْتَفْلا
َرَم
اَض
ْيَفْشَأ
هْ ِم
ىَ َع
ِ ْوَ لا
أَف
ىِ اَت
ىَ َص
ل
ِهْيَ َع
مَ َ َو
ىِ د ْو عَي
,
ْ قَف
:
اَي
َ و َر
ل
َ ِإ
ىِل
َّاَم
ا ريِ َك
َ ْيَل َو
ِرَي
ىِ
ِتَ ْبٌاَِّإ
ى ِصو أَفَأ
ِلاَ ِب
؟هِ ك
اَق
:
َّ
.
ْ ق
:
ْ َ َف
؟ ِلاَم
اَق
:
َّ
.
ْ ق
:
؟؟ رْطَ لاَف
َ اَق
:
َّ
.
ْ ق
:
؟؟ ر لا
َ اَق
:
لا َو
ٌرْيِ َك
,
َكَ ِا
ْ ِا
ْعَدَت
َكَتَ َر َو
ِْغَا
َءاَي
ٌرْيَخ
ْ ِم
ْ َا
ْم َعَدَت
َلاَع
َ ْو فَفَ َتَي
َ اَ لا
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Az Zuhri dari ‘Amir bin Sa’d bin Abu Waqqash dari bapaknya dia berkata, pada tahun fathu Makkah, aku tertimpa sakit dan aku merasa akan mengalami kematian. Kemudian Rasulullah SAW menjengukku, maka aku pun berkata pada beliau. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta yang banyak, edangkan tidak ada orang yang akan mewarisiku kecuali anak perempuan seorang diri. Apakah aku harus berwasiat dengan
hartaku seluruhnya?” beliau menjawab:”Tidak”. Aku
bertanya,”Atau duapertiga darinya?”Beliau menjawab:”Tidak”. Aku berkata lagi,”Atau setengahnya?” Beliau menjawab:”Tidak” Aku berkata lagi”kalau begitu sepertiga darinya?”Akhirnya beliau bersabda:”Sepertiga. Namun, sepertiga jumlah yang banyak. Sesungguhnya, bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan fakir atau kekurangan kepada manusia.12
c. Ijma’
Praktek pelaksanaan wasiat ini telah dilakukan oleh umat Islam
sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Tindakan yang demikian itu
tidak pernah diingkari oleh seorangpun.Dan ketiadaan ingkar
seseorang itu menunjukkan adanya ijma atau kesepakatan umat Islam
bahwa wasiat merupakan syariat Allah dan Rasulnya didasarkan atas
22
nash-nash al-Qur’an maupun hadist Nabi yang menerangkan tentang
keberadaan wasiat.13
d. Logika
Selain landasan-landasan di atas, menariknya Idris Ramulyo juga
menambahkan landasan lain, yaitu logika. Menurut tabi’at manusia
itu selalu bercita-cita supaya amal perbuatannya didunia diakhiri
dengan amal-amal kebajikan untuk menambah amal tabaru’nya
kepada Allah yang telah dimilikinya sesuai apa yang diperintahkan
Rasulullah saw.14
B. Rukun dan Syarat Wasiat
1. Rukun Wasiat
Wasiat yang telah di syariatkan dalam Islam merupakan suatu amalan
yang sangat di anjurkan. Agar wasiat dapat dilaksanakan sesuai dengan
kehendak syariat, maka dibutuhkan sebuah aturan yang di dalamnya
mencakup rukun dan syarat wasiat. Muhammad Jawwad Mughiyah
menerangkan bahwa rukun wasiat ada empat yaitu: redaksi wasiat
(s}i>ghat), pemberi wasiat (mu>s}i>), penerima wasiat (mu>s}a>lah), dan barang
yang diwasiatkan (mu>s}a>bih). 15
13 M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 1996), 21.
14 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan
Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW), 134.
15 Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Madzab, terj. Masykur A.B (Jakarta: Center
23
Begitu jugaJumhur Ulama mengatakan rukun wasiat ada empat yaitu
adanya mu>s}i> (pihak pembuat wasiat), adanya mu>s}a>lah (penerima wasiat),
adanya Mu>s}a>bih (sesuatu/barang yang diwasiatkan), adanya s}i>ghat
(ucapan serah terima), S}i>ghat terjadi dengan adanya ijab dari mu>s}i>,
misalnya “Aku berwasiat untuk fulan akan sesuatu itu.” Sedangkan qabul
berasal dari pihak mu>s}a>lah yang sudah jelas ditentukan.16
Menurut Sayyid Sabiq rukun wasiat yaitu “ijab dan kabul”.
Sebenarnya Sayyid Sabiq dalam memeberikan ketentuan tentang rukun
wasiat adalah sama dengan yang dikemukakan oleh Jawwad Mughniyah
karena ijab kabul itu membutuhkan subyek dan obyek sehingga walaupun
rukun wasiat itu hanya disebutkan satu saja sebagaimana pendapat
Sayyid Sabiq, ijab dan kabul telah mencapai rukun-rukun yang lain yaitu
orang yang berwasiat dan penerima wasiat.17 Sehingga berdasarkan uraian
diatas dapat dipahami bahwa rukun wasiat itu terdiri dari empat hal yaitu:
a. Mu>s}i> (orang yang berwasiat)
b. Mu>s}a>lah (orang yang menerima wasiat)
c. Mu>s}a>bih (barang/sesuatu yang diwasiatkan)
d. S}i>ghat (redaksi ijab dan kabul/ lafadz)
16 Wahbah Az-Zuhaily, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema
Isnani, 2011), 161.
24
2. Syarat-syarat Wasiat
Dari keempat rukun di atas, masing-masing mempunyai syarat dan
harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat
masing-masing rukun wasiat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Orang yang berwasiat (mu>s}i>)
Bagi orang yang berwasiat disyariatkan orang yang memiliki
kesanggupan melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli
tabarru’), oleh karena itu mushi adalah orang yang telah baligh,
berakal, dan merdeka.
Untuk itu wasiatnya orang gila, anak yang belum baligh, terjadi
perbedaan pendapat antara para ulama mengenai sah tidaknya wasiat
orang tersebut diatas. Lain halnya dengan Abu Hanifah beliau
menghukumi tidak sah wasiat anak kecil yang belum baligh.18
Sedangkan Abu Bakar r.a menyatakan tidak ada perbedaan pendapat
diantara pendapat-pendapat yang ada, bahwa wasiat seorang anak
yang sudah berumur sepuluh tahun adalah sah, dan wasiat anak yang
berumur di bawah tujuh tahun itu tidak sah. Imam Malik dalam
Kitabnya Al-Muwatt}a’ berpendapat bahwa wasiatnya anak kecil yang
belum dewasa tetapi berakal adalah sah.19
Di samping syarat-syarat di atas disyaratkan pula bagi mushi
yaitu ridha dan tidak dipaksa maupun terpaksa terhadap wasiat yang
18Muhammad bin Ahmad Ibn Rusdi al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali Said dan
Ahmad Zaidun. 449.
25
ia buat.20 Dari sini dapat disimpulkan, karena wasiat merupakan salah
satu tindakan yang akan berakibat beralihnya hak milik dari orang
yang berwasiat terhadap orang-orang yang menerima wasiat, maka
kerelaan terhadap wasiat yang ia buat tanpa didasari atas paksaan
mutlak diperlukan, yang selanjutnya menjadi syarat bagi sahnya
wasiat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang
berwasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut :
1) Telah baligh
2) Berakal Sehat
3) Merdeka
4) Tidak Dipaksa
b. Mu>s}a>lah (orang yang menerima wasiat)
Bagi Mu>s}a>lah atau penerima wasiat disyaratkan atas hal-hal
sebagai berikut :
1) Penerima wasiat masih hidup ketika wasiat diucapkan
Keberadaan wasiat memang harus jelas kepada siapa dan
untuk siapa wasiat itu ditujukan. Akan tetapi mu>s}i> telah
menunjukkan kepada siapa ia berwasiat, kemudian mus}halah atau
orang yang ditujukan menerima wasiat tadi meninggal terlebih
dahulu dari pada pewasiatnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa
wasiat yang penerimanya meninggal lebih dulu adalah batal atau
26
gugur sedang sebagian ulama yang lain berpendapat tidak gugur
dan harta yang diwasiatkan menjadi hak ahli waris penerima
wasiat.21
2) Penerima wasiat bukan ahli waris dari pewasiat
Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah yang termasyur tidak
membolehkan sama sekali berwasiat kepada ahli waris yang
menerima pusaka, baik para ahli waris mengizinkan maupun tidak,
karena Allah menjelaskan melalui lisan Nabi Muhammad saw.22
َدَح
اَ َ
دْ َع
ِ اَه َوْلا
ِ ْب
ََدْ َ
َدَح
اَ َ
َ ْبا
اَيَع
ْ َع
َ ْيِ ْحَر ش
ِ ْب
مِ ْس م
ْعِ َ
اَبَأ
َ َماَم ا
ْعِ َ
ل ّ ْو َر
َ َص
ل
ِهْيَ َع
َمَ َ َو
َ اَقَف
َ لاَ ِا
ءْدَق
ىَطْعَأ
َ ك
ِ
ِ قَح
هَقَح
َلَف
ََي ِص َو
ِرا َوِل
(
هور
با
دواد
)
23Diceritakan dari Abdul Wahab bin Najdah diceritakan dari Ibn ‘Aiyas dari Habilah Ibn Muslim dari Abu Umamah, ia berkata aku mendengar Rosulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada tiap-tiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR. Abi Daud).
3) Penerima wasiat bukan pembunuh pewasiat
Apabila seorang yang diberi wasiat kemudian membunuh
orang yang berwasiat maka dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat apakah sah atau tidak wasiat kepada orang yang telah
membunuh pewasiat. Imam Abu Yusuf menganggap bahwa
berwasiat kepada orang yang telah membunuh pewasiat baik
wasiat itu diijinkan oleh ahli waris atau tidak adalah tidak sah.24
21M. Abdul Ghofar, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, 500.
22 Fathurrahmam, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), 57.
27
Ulama Hanafiyah juga menghukumi tidak sah wasiat kepada
orang yang telah membunuh pewasiat namun dalam pembunuhan
karena kelalaian (kesalahan) yang dilakukan oleh penerima wasiat
dan memperoleh ijin ahli waris maka wasiatnya sah.
Ulama Malikiyah menetapkan dua syarat untuk sahnya wasiat
kepada orang yang membunuh pewasiat itu yaitu:
a) Wasiat diberikan setelah adanya tindakan pendahuluan untuk
membunuh, misal: memukul, menyiksa dan lain-lain
b) Si korban hendaknya mengenal pembunuhnya, bahwa dialah
yang sebenarnya telah menjalankan tindakan pembunuhan itu.
Berdasarkan kedua syarat di atas, apabila ada seseorang yang
menganiaya orang lain baik karena sengaja atau salah kemudian
setelah terjadi penganiayaan, orang yang teraniaya tadi berwasiat
kepada orang tersebut hingga menyebabkan kematian maka
wasiatnya batal.25
4) Penerima wasiat adalah orang yang diketahui meskipun hanya
memberi cirri-cirinya saja seperti berwasiat kepada fakir miskin,
lembaga-lembaga sosial.
c. Mu>s}a>bih (barang/sesuatu yang diwasiatkan)
Adapun syarat-syarat barang yang diwasiatkan adalah :
1) Seseorang yang ingin mewasiatkan sesuatu barang hendaklah
barang tersebut adalah milik pribadi dari orang yang member
28
wasiat, buka milik orang lain meskipun mendapat izin dari pemilik
barang tersebut.26
2) Barang yang diwasiatkan berwujud, atau telah ada pada waktu
wasiat terjadi dan dapat dialih milikkan dari pewasiat kepada
musalah.
3) Barang yang diwasiatkan bukan sesuatu yang dilarang oleh
syara’.27
Selain itu dijelaskan pula dalam buku Abdul Hayyie al-Kattani,
syarat bagi mushabih adalah sebagai berikut:
1) Hendaklah berupa harta benda
2) Memiliki Nilai
3) Bisa diberikan Pemiliknya
4) Merupakan Milik Mushi, jika barang tersebut sudah jelas
5) Tidak dengan menggunakan suatu maksiat.28
d. S}i>ghat (redaksi ijab dan kabul/lafadz)
S}i>ghat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang
yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan kabul. Ijab adalah
pernyataan yang diucapkan pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu,
sedang kabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima
wasiat sebagai tanda persetujuan atau sebagai tanda terima atas ijab
26 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 452.
29
pewasiat. Ijab dan Kabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa
paksaan.
Menyangkut pelaksanaan wasiat ini harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:29
1) Adanya ijab Kabul
2) Ijab Kabul harus tegas dan pasti
3) Ijab Kabul harus dilakukan oleh orang yang memenuhi
persyaratan, dalam hal ini pemberi dan penerima wasiat
4) Ijab dan Kabul tidak mengandung ta’liq
C. Hal-hal yang Membatalkan Wasiat
Menurut Sayyid Sabiq wasiat batal dengan hilangnya salah satu syarat
dari syarat-syarat yang telah disebutkan, misalnya:
1. Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah
2. Bila yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya
3. Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima
oleh orang yang diberi wasiat.30
Ulama fiqh menetapkan beberapa hal yang dapat membatalkan wasiat
yaitu:
1. Mu>s}i> mencabut wasiatnya, baik secara terang-terangan maupun melalui
tindakan hokum
2. Mu>s}a>lah yang menyatakan penolakannya terhadap wasiat tersebut
30
3. Harta yang diwasiatkan musnah, seperti terbakar atau hancur ditelan
banjir
4. Mu>s}a>lah lebih dulu wafat dari mu>s}i>
5. Syarat yang ditentukan dalam akad wasiat tidak terpenuhi.31
Menurut Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah ini cukup rinci yaitu
pada pasal 197 KHI sebagai berikut:
1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan
Hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada wasiat.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat
untuk membuat atau merubah wasiat untuk kepentingan calon
penerima wasiat.
d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan
surat wasiat dari pewasiat.
2. Wasiat menjadi batal apabila yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu :
a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia
sebelum meninggalnya pewasiat
31
b. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan
menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya
pewasiat.
3. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.32
D. Pelaksanaan dan Batasan Wasiat
1. Pelaksanaan Wasiat
Wasiat menjadi hak bagi orang yang diberinya setelah pemberinya
mati dan hutang-hutangnya dibereskan. Apabila wasiat itu telah cukup
syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah wasiat tersebut dilaksanakan
sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si penerima wasiat sudah memiliki
harta wasiat dan karenanya dia dapat memanfaatkan dan
mentransaksikannya menurut kehendaknya,33 sedangkan dalam
undang-undang hukum wasiat Mesir dalam pasal 78 mewajibkan pelaksanaan
Pewasiat tanpa tergantung perizinan ahli waris dan setelah dikurangi
biaya perawatan dan pelunasan hutang.34
2. Batasan-batasan dalam wasiat
Wasiat hanya berlaku dalam batasan sepertiga dari harta warisan,
manakala terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam
keadaan sakit ataupun sehat.35
32 Pramudji, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012), 544. 33 Fatkhurrahman, Ilmu Waris.., 60.
34 Ibid.., 65.
32
Dalam buku Fikih Sunnah Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa
diperbolehkan wasiat dengan sepertiga harta, dan tidak diperbolehkan
wasiat yang melebihi sepertiga. Yang utama adalah wasiat yang kurang
dari sepertiga.36
Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari semua
harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat, sedangkan Malik
berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh
pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang berkembang
tetapi dia tidak tau.Malik, An-Nakha’i dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
berpendapat bahwa yang menjadi pegangan ialah sepertiga peninggalan di
waktu berwasiat.37
Dalam buku Fiqih Empat Madhab, para imam mahdab sepakat bahwa
berwasiat untuk selain ahli waris sebanyak sepertiga bagian adalah
dibolehkan dan tidak memerlukan persetujuan ahli waris, sedangkan
berwasiat untuk ahli waris diperbolehkan setelah mendapat persetujuan
ahli waris yang lain.38
Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan sepertiga ialah sepertiga dari jumlah harta milik yang
berwasiat yang dihitung pada saat meninggal dunia, bukan dihitung dari
sepertiga waktu ia berwasiat. As Syafi’i menyatakan bahwa sepertiga itu
36 Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah…, 231. 37 Ibid.., 232.
33
adalah sepertiga di waktu dia mati dan ini adalah pendapat sahabat Ali
dan sahabat tabi’in.
Orang yang berwasiat itu adakalanya mempunyai ahli waris dan
adakalanya tidak mempunyai ahli waris. Bila dia mempunyai ahli waris,
maka dia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga, maka wasiatnya
tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris, dan untuk
pelaksanaannya diperlukan dua syarat yaitu:
1. Agar permintaan izin dari ahli waris itu dilaksanakan sesudah orang
yang berwasiat mati, sebab sebelum dia mati, orang yang memberi izin
itu belum mempunyai hak, sehingga izinnya tidak menjadi pegangan.
Bila ahli waris memberikan izin di waktu orang yang berwasiat hidup,
maka orang yang berwasiat mungkin mencabut kembali wasiatnya bila
dia ingin, dan bila ahli waris memberikan izin sesudah orang yang
berwasiat mati, maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri dan Rabi’ah
berkata orang yang sudah mati itu tidak akan merujuk wasiatnya.
2. Agar orang yang memberi izin itu mempunyai kompetensi yang sah,
tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, diwaktu memberikan
izin. Bila orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris, maka dia
pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga pula. Ini adalah
menurut jumhur ulama.39
Madhab Imamiyah mengatakan jika para ahli waris telah memberi
izin, maka mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka, baik izin
34
itu diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup ataupun sesudah
meninggalnya.40
Madhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan penolakan
ataupun izin hanya berlaku sesudah meninggalnya pemberi wasiat,
maka jika mereka memberi izin ketika dia masih hidup, kemudian
berbalik fikiran dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat
meninggal mereka berhak melakukan itu, baik izin itu mereka berikan
ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan sehat ataupun ketika
sakitnya.
Madhab Maliki menyatakan jika mereka mengizinkan ketika
pemberi wasiat berada dalam keadaan sakit, mereka boleh menolak
melakukannya. Tapi jika mereka memberi izin ketika ia sehat, maka
kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris mereka, dan
mereka tidak boleh menolak.41
Madhab Imamiyah, Hanafi dan Maliki mengatakan izin yang
diberikan oleh ahli waris bagi kelebihan dari sepertiga harta warisan
merupakan persetujuan atas tindakan si pemberi wasiat, bukan sebagai
hibah dari ahli waris kepada si penerima wasiat. Jadi ia tidak
memerlukan serah terima. Hukum-hukum hibah tidak berlaku untuk
wasiat.
Terdapat perselisihan pendapat mengenai orang yang mewasiatkan
seluruh hartanya, sedang dia tidak mempunyai ahli waris. Imam Malik
35
mengatakan wasiat hanya boleh maksimal sepertiga hartanya, Abu
Hanifah boleh seluruhnya, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad mempunyai
dua pendapat, sedangkan mahzab Imamiyah juga punya dua pendapat
tapi yang lebih sahih adalah boleh.42
Orang yang menerima wasiat adakalanya dari kalangan ahli waris
dan adakalanya bukan ahli waris, jika yang menerima wasiat itu bukan
ahli waris maka pelaksanaannya tidak perlu menunggu izin dari ahli
waris, asalkan yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga dari harta
warisan, akan tetapi jika wasiat itu diberikan kepada ahli waris maka
wasiat belum bisa dilaksanakan sebelum adanya persetujuan ahli waris
lainnya walaupun jumlahnya kurang dari sepertiga.43
Sajuti Talib menuliskan dalam bukunya bahwa apabila wasiat itu
lebih dari sepertiga maka diselesaikan dengan salah satu cara sebgai
berikut :
a. Dikurangi sampai batas sepertiga harta peninggalan.
b. Diminta kesediaan semua ahli waris yang pada saat itu berhak
menerima wasiat, apakah mereka mengikhlaskan dan meridhakan
kelebihan wasiat atas sepertiga harta peninggalan itu.
Kalau mereka mengikhaskan, maka halal dan ibahah hukumnya
pemberian wasiat yang lebih dari sepertiga harta peninggalan itu. 44
Semua Madhab sepakat bahwa tidak boleh dilaksanakan pewarisan
42 Ibid.., 514-515.
43 M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, 27.
36
ataupun wasiat sebelum hutang-hutang si mayit dilunasi atau
dibebaskan dari beban hutang. Jadi jumlah sepertiga harta warisan
yang dikeluarkan untuk wasiat itu tidak termasuk hutang.45
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan ketentuan dalam
memberikan wasiat pada Pasal 195 ayat 2, 3 dan 4 yakni :
Ayat 2: Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Ayat 3: Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris
Ayat 4: Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan Notaris.
Pada Pasal 201 KHI juga di jelaskan apabila wasiat melebihi sepertiga
dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya
maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.46
Berbeda pendapat dengan Golongan Malikiyyah dan Zhahiriyyah jika
wasiat yang melebihi sepertiga harta peninggalan maka tidak boleh
dilaksanakan, meskipun ahli waris menyetujuinya, demi melaksanakan
zahir hadis riwayaat Sa’ad, “sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”47
45 Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mahdzab, 248. 46 Pramudji, Kompilasi Hukum Islam, 58.
BAB III
PEMBERIAN WASIAT DI DESA KEMUDI KECAMATAN DUDUK SAMPEYAN KABUPATEN GRESIK
A. Deskripsi Umum Desa Kemudi
1. Kondisi Geografis
Secara administratif, Desa Kemudi terletak di wilayah Kecamatan
Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh wilayah
desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Betoyo
Kecamatan Manyar Kabupaten Manyar Kabupaten Gresik di sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Wadak kidul. Di sisi selatan berbatasan
dengan Desa Kawisto windu sisi timur berbatasan dengan Desa Leren
Kecamatan Manyar. Jarak tempuh Desa Kemudi ke Ibu Kota Kecamatan
adalah 5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit.
Sedangkan jarak tempuh ke ibu Kota Kabupaten aadalah 23 km, yang
dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam.
Desa yang tergolong berkembang ini juga memiliki lembaga-lembaga
keagamaan dan sosial masyarakat yang bisa menunjang kemajuan
pemikiran masyarakat setempat, seperti Taman Kanak-Kanak, TPQ, dan
juga terdapat masjid yang menjadi tempat peribadatan masyarakat Desa,
mushola dan langgar juga dapat ditemui di Desa Kemudi.1
Wilayah Desa Kemudi ini memiliki luas wilayah keseluruhan
857,942 yang terdiri dari luas pemukiman 4, 470 ha, Luas pertambakan
38
851,772 ha, Luas Perkantoran 0,200 ha, dan luas pemakaman 1, 500 ha.
Berikut ini adalah tabel luas wilayah Desa Kemudi.
2. Demografis
Jumlah penduduk di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan
Kabupaten Gresik, menurut data yang ada di kantor kelurahan Desa
Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan berjumlah 1.352 jiwa. Berdasarkan
data administrasi pemerintah Desa tahun 2017, jumlah Penduduk Desa
Kemudi terdiri dari 358 KK, dengan jumlah total 1.352 jiwa, dengan
rincian 649 laki-laki dan 703 perempuan.
3. Mata Pencaharian Warga
Secara umum mata pencarian warga Desa Kemudi yaitu pertanian,
jasa/ perdagangan, industri dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada,
masyarakat yang bekerja di bidang pertanian berjumlah 170 orang, orang
yang bekerja di sector jasa lainnya 10 orang, orang yang bekerja di sector
industry 2 orang dan yang bekerja di sector lain yaitu 175 orang, dengan
demikian jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian berjumlah
451 orang. Dengan melihat adanya data terebut maka angka
pengangguran yang ada di Desa Kemudi cukup tinggi.2
4. Keagamaan Masyarakat Desa Kemudi
Desa Kemudi merupakan suatu Desa yang mana keseluruhan
warganya menganut agama Islam. Adanya kesamaan agama inilah yang
membuat masyarakat terlihat rukun dan saling berdampingan dalam
39
kehidupan bermasyarakat, selain itu pola agama dari desa ini dilihat dari
masyarakat yang masih melestarikan budaya pengajian umum, pengajian
kitab kuning, selametan, tadarus, khatmil Qur’an, Diba’an, dan juga
yasinan yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yasinan
ataupun tahlil yang diikuti oleh bapak-bapak pada setiap malam jumat,
yang kedua kelompok yasinan maupun tahlil yang diikuti oleh ibu-ibu
pada setiap malam minggu dan lain-lain.3
5. Pendidikan Masyarakat
Pendidikan di Desa Kemudi sudah sedikit maju, dengan adanya
yayasan yang sudah mempunyai sekolah yang bertingkat mulai dari Play
Group, TK, MI, dan MTS. Berikut rincian sarana pendidikan yang ada di
Desa Kemudi.4
B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pemberian Wasiat dengan Kadar Lebih
Dari 1/3 HartaPeninggalan.
Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi pemberian wasiat
warisan kepada anak angkat di Desa Kemudi, dalam pembagiannya anak
angkat memperoleh seluruh harta yang melebihi sepertiga warisan, tanpa
meminta dan mendapat persetujuan ahli waris yang lain, antara lain:
1. Anak angkat dianggap sanggup merawat salah satu orang tua mereka, jika
salah satu dari orang tuanya masih hidup
3 Lukfah, Wawancara, Kemudi, 16 Maret 2017
40
2. Seseorang yang tinggal serumah dengan orang tuanya akan mendapatkan
harta lebih di banding anak yang lainnya.
3. Anak angkat dianggap sanggup menggantikan posisi orang tua angkatnya
untuk menjaga harkat dan martabat keluarga, khususnya orang tua
mereka
4. Anak angkat diharapkan bisa mebiayai semua kebutuhan slametan ketika
orang tuanya meninggal.
5. Adanya dorongan dari orang tua kandung dalam pemberian wasiat. 5
Menurut masyarakat Desa Kemudi bagian harta waris orang tua yang
diahlihkan kepada anak yang serumah tersebut sudah menjadi hak milik anak
yang serumah, karena masyarakat Desa Kemudi percaya bahwa anak tidak
akan melantarkan orang tuanya.
C. Kronologi Kasus dan Pelaksanaan Wasiat dengan Kadar Lebih dari 1/3 Harta
Warisan Kepada Anak Angkat
1. Asal Usul Anak Angkat
Salah satu kasus pengangkatan anak dari kerabat sendiri yaitu
pengangkatan anak yang di alami oleh Rusdin. Beliau diangkat anak, oleh
paman dan bibinya karena paman dan bibinya tidak dapat mempunyai
keturunan. Oleh karena itu Ibu Siti dan Bapak Mad sepakat mengangakt
Rusdin sebagai anaknya dari Ibu Tuni dan Bapak Dhaib.
Bapak Mad yang sudah menikah dengan Ibu Siti lebih dari 10 tahun
akan tetapi belum dikaruniai momongan. Berbagai cara sudah ditempuh
5
41
untuk mendapatkan momongan akan tetapi masih belum dikaruniai dengan
artian belum ditaqdirkan oleh Allah swt untuk mendapatkan titipan anak
dari Allah swt. Oleh karena itu Bapak Mad dan Ibu Siti memilih dan
memutuskan untuk mengangkat anak saja. Berikut penjelasan dari Ibu
Hanik yaitu kerabat dari ibu Siti: “Mbak Siti dulu itu menginginkan sekali
untuk mempunyai momongan, tapi bagaimana lagi jika Allah swt tidak
menghendaki, ahirnya ya mbak Siti sama Cak Mad memutuskan untuk
mengangkat Rusdin untuk dijadikan anaknya”6
Kebetulan kakak dari Ibu Siti yakni Ibu Tini sudah mempunyai 4
orang anak diantaranya 2 anak putri dan 2 anak putra yaitu Tina, Tami,
Rusdin, Parman. Ibu Tini merelakan Rusdin untuk diadopsi oleh adiknya
yaitu Ibu Siti. Akad penyerahan anak itu sudah terjadi sejak Rusdin
berusia 7 tahun.
Dalam tradisi Jawa mengangkat anak kerabat bukanlah hal yang tabu,
hal ini karena model pengangkatan anak yang seperti itu diyakini lebih
terpercaya, karena selain orang tua kandungnya jelas asal usulnya, mereka
juga lebih mudah untuk melakukan komunikasi atau musyawarah dan
perundingan. Jika sudah jelas identitas orang tuanya mereka bisa menilai
kualitas dari segi bobot, bibit, bebet si anak angkat dengan mudah.7 Bisa
digambarkan kedekatan hubungan keluarga anak angkat dengan orang tua
angkat, pada gambar berikut ini akan ditunjukkan hubungan kekerabatan
42
antara Bapak Angkat (Mad) dan Ibu angkat (Siti) dengan Anak angkat
43
SILSILAH KELUARGA
---
Keterangan :
: Hubungan Ibu dan anak angkat
: Meninggal Dunia
2. Proses Pengangkatan Rusdin oleh Ibu Siti dan Bapak Mad
a. Kelahiran Rusdin
Rusdin lahir di Gresik pada tanggal 13 Juni 1971, Rusdin adalah
anak ketiga dari pasangan Ibu Tuni dan Bapak Dhaib. Sejak lahir
Rusdin diasuh oleh kedua orang tuanya yang berasal dari keluarga
SIPAN KASINI
TINA TAMI PARMAN TUNI SITI ALI
DHAIB
IPAH
ROKAYA
RUSDIN
SUPARMAN
SUARNI
44
yang berkecukupan, tidak menjadikannya tumbuh pribadi yang manja,
namun justru didikannya yang sangat keras.
Bagi Bapak Dhaib yang berkecukupan, memiliki anak yang
banyak tidaklah menjadi masalah. Sejak Ibu Tini masih menyusui
Rusdin anak keduanya, Ibu Siti dan Bapak Mad sudah merunding
kepadanya, agar kelak kalau anak yang disusuinya besar diberikan
kepada Ibu Siti dan Bapak Mad, namun Bapak Dhaib dan Ibu Tini
belum menyetujui. Pada akhirnya ketika Rusdin berusia 7 tahun
Bapak Dhaib dan Ibu Tini menyerahkan Rusdin kepada Bapak Mad
dan Ibu Siti.
b. Ritual Pengangkatan Anak Rusdin oleh Bapak Mad dan Ibu Siti
Pada usia 7 tahun, Rusdin diserahkan kepada keluarga Ibu Siti
dan Bapak Mad. Diawali proses penyerahan, yakni Ibu Tini dan Bapak
Dhaib mendatangai rumah Ibu Siti dan Bapak Mad untuk
menyerahkan anaknya. Berikut penjelasan dari Bapak Ali selaku adik
dari Ibu Siti: “Mbak Siti dan Mas Mad itu sudah mengharapkan
Rusdin sejak lahir tapi tidak di bolehkan oleh Mas Dhaib, Karena Mas
Dhaib dan Mbak Tini ingin meramut Rusdin dulu. Rusdin diserahkan
ke Mbak Siti dan Mas Mad umur 7 tahun, cara menyerahkannya juga
tidak ramai, Mas Dhaib dan Mbak Tini yang mengantar Rusdin ke
rumah mbak Siti”8
<