• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat : studi kasus di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat : studi kasus di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT

DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA PENINGGALAN

KEPADA ANAK ANGKAT

(Studi Kasus Di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik)

SKRIPSI

Oleh:

Zunia Arizka Putri NIM. C71213138

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil dari penelitian lapangan untuk mengetahui bagaimana kronologi kasuspemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.

Metode pengumpulan data yang digunakan skripsi ini adalah dengan cara wawancara dan pustaka, selanjutnya pengelolaan data menggunakan teknik editing dan organizing. Kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif verifikatif dengan menggunakan pola pikir deduktif.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pertama, pemberian wasiat melebihi 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat disebabkan oleh permintaan dari pihak ayah kandung kepada ibu angkatnya dengan tujuan supaya anak angkat bisa merawat orangtua angkatnya dengan baik, meskipun dalam hal ini ahli waris tidak menyetujuinya; kedua, pemberian wasiat tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an dan hadis begitu juga dengan pendapat ulama. Selain itu juga, tidak sesuai dengan pasal 195 ayat 2 KHI yang berbunyi: “Wasiat hanya dapat diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga harta warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya”.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

MOTTO ... xiii

PERSEMBAHAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 11

I. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II WASIAT MENURUT ISLAM ... 17

A. Pengertian Wasiat ... 17

B. Dasar Hukum Wasiat ... 19

C. Rukun dan Syarat Wasiat ... 22

D. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat ... 29

E. Pelaksanaan dan Batasan Wasiat ... 31

BAB III KRONOLOGI PEMBERIAN WASIAT DI DESA KEMUDI KECAMATAN DUDUK SAMPEYAN KABUPATEN GRESIK ... . 37

(8)

B. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pemberian Wasiat ... 39

C. Kronologi Kasus dan Pelaksanaan Wasiat ... 40

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA PENINGGALAN KEPADA ANAK ANGKAT ... 52

A. Analisis Terhadap Pemberian Wasiat Dengan Kadar Lebih Dari 1/3 Harta Warisan Kepada Anak Angkat ... 52

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Wasiat Dengan Kadar Lebih Dari 1/3 Harta Warisan Kepada Anak Angkat ... 55

BAB V PENUTUP ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 59

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam agama yang paripurna dan mengatur semua aspek dalam kehidupan

manusia, mulai dari kehidupan dirana publik sampai kehidupan di rana

domestik. Salah satu aspek yang diatur dalam hukum Islam adalah hukum

keluarga. Hukum keluarga di sini meliputi hukum perkawinan, perceraian,

waris, hibah dan wasiat.1

Dalam hukum Islam, kewarisan dan wasiat merupakan dua hal yang

berhubungan. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama berkaitan dengan

harta peninggalan, yaitu semua yang ditinggalkan oleh mayit dalam arti

segala sesuatu yang ada saat seseorang meninggal dunia.2 Akan tetapi,

kewarisan mempunyai sifat ijba>ri<, yang secara leksikal berarti paksaan.

Maksudnya yaitu peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dengan

ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa

tergantung kehendak pewaris atau ahli warisnya. Jadi kewarisan terjadi

secara otomatis dan ahli waris terpaksa menerima kewasiatan tersebut,

sedangkan dalam wasiat bersifat sukarela, jadi wasiat terjadi apabila

(10)

2

seseorang yang meninggal berpesan untuk memberikan hartanya kepada

orang yang diberi wasiat.3

Pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang,

ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang

yang berwasiat mati inilah yang disebut dengan wasiat.4 Harta waris maupun

harta wasiat adalah sejumlah harta milik orang yang meninggal dunia setelah

diambil sebagian harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia

menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian

harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala hutang jika ia berhutang kepada

orang lain sejumlah harta.5

Dalam peralihan harta kekayaan atau pemberian wasiat, umat Islam

haruslah berpedoman atau berdasarkan ketentuan yang ada dalam Hukum

Islam sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis. Allah sudah

menjelaskan dengan jelas dalam al-Qur’an tentang ketentuan-ketentuan

pemberian wasiat. Sesungguhnya Allah swt. telah menurunkan ayat wasiat

dan menurunkan pula ayat warisan, maka mungkin ayat wasiat itu tetap ada

bersama dengan ayat warisan.6

Menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah wasiat itu wajib bagi setiap

orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak ataupun sedikit,

3 Andi Syamsu Alam dan H.M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam (Jakarta:

Kencana, 2008), 68.

4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah , terj. Mudzakir AS, jilid 14 (Bandung: Alma’arif, 1998), 215. 5 Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT.Raja

Grafindo Persada, 1997), 33.

(11)

3

pendapat ini dikatakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlas.7 Mereka berdalil

dengan firman Allah swt pada surat al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:

َ ِت ك

ْم ْيَ َع

َرَضَحاَ ِا

م كَدَحَأ

ْوَ ْلا

ْ ِا

َ َرَت

ا رْيَخ

َي ِص َوْلا

ِ ْيَدِلا َوْ ِل

َ ْيِب َرْقأا َو

فو رْعَ ْلاِب

ىَ َعاًقح

َ ْيِقَت ْلا

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.8

Hadis Nabi juga ada yang menjelaskan tentang bagaimana bagian harta

peninggalan seseorang yang telah meninggal. Hadis tersebut menegaskan

bahwa tata caranya harus merujuk pada kitab Allah, yaitu al-Qur’an.

َ َا لااو ِسْقَأ

َ ْيَب

ِ ْهَأ

ِضِئا َرَفْلا

ىَ َع

ِ اَتِك

ل

(

هاور

م سم

دادوباو

)

Bagilah harta warisan di antara ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur’an)” . (HR.Muslim dan Abu Dawud)9

Ayat dan hadis di atas dengan jelas menunjukan perintah dari Allah, agar

umat Islam dalam melaksanakan pemberian harta pusaka berdasarkan hukum

yang ada dalam al-Qur’a>n. Bagi umat Islam semakin banyak berderma dan

bersedekah akan semakin kuat dan memperkokoh keimanan dan ketakwaan

kepada Allah dan Rasulullah.

Wasiat merupakan pemindahan hak milik yang bersifat terbatas, yaitu

hanya sepertiga dari harta peninggalan yang dapat diwasiatkan untuk

diserahkan kepada orang lain, kecuali apabila semua ahli waris menyetujui

maka wasiat boleh diberikan lebih dari sepertiga jumlah harta peninggalan.

7 Ibid.,221.

(12)

4

Pemberian terbatas ini dimaksudkan agar jangan sampai merugikan ahli

waris.10

Dalam prakteknya, umat Islam masih banyak yang tidak berpedoman

pada al-Qur’an dalam melakukan pemberian wasiat. Sebagaimana yang

dilakukan oleh masyarakat Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan

Kabupaten Gresik. Mereka melakukan pembagian harta warisan masih secara

adat atau kebiasaan yang sudah berlaku sejak dahulu sampai sekarang.

Hukum waris yang menurut adat ini dilakukan secara turun temurun,

sehingga hukum kewarisan secara adat ini sampai sekarang masih berlaku,

meskipun hukum adat tentang kewarisan ini tidak dibukukan, seperti yang

dilakukan masyarakat Desa Kemudi.

Dalam pembagian harta waris masyarakat Desa Kemudi masih

mempertahankan tradisinya yaitu bagian ahli waris yang tinggal serumah

dengan pewaris lebih banyak dibandingkan ahli waris yang lain.

Kebiasaan masyarakat Desa Kemudi dalam melakukan pembagian

warisan tidak berdasarkan ketentuan yang sudah diatur dalam hukum Islam.

Dari kebiasaaan dalam pemberian warisan yang melalui wasiat tidak sesuai

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 195 ayat 2 KHI menyatakan bahwa

“wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga harta warisan

kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.11 Ketika ada wasiat yang

10 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam (Bandung: Mandar Maju, 1997), 58.

11 Himpunan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Cet.I (Jakarta:Citra

(13)

5

memberikan hak harta lebih dari sepertiga maka disyaratkan harus dengan

persetujuan para ahli waris.

Di sinilah kemudian penulis menemukan suatu kasus yang sangat

menarik yaitu kasus pasangan dari Ibu Siti dengan Bapak Mad (alm), dalam

kasus ini pasangan tersebut tidak mempunyai anak sama sekali. Dalam

kebiasaan jika tidak mempunyai keturunan maka pasangan tersebut

mengangkat anak (tanpa di sahkan di depan Pengadilan) dari saudaranya

untuk diramut dan menemani di masa tuanya. Pasangan dari Ibu Siti dan

Bapak Mad (alm) mengangkat Rusdin dari orang tua kandungnya yaitu Ibu

Tini dan Bapak Dhaib yang merupakan adik kandung dari Ibu Siti Dan pada

saat Ibu Siti(alm) dan Bapak Mad (alm) meninggal, mewasiatkan harta

peninggalannya kepada Rusdin seluruh hartanya. Hal ini tentu sangat

problematik, terlebih ketika para ahli waris dari Ibu Siti (alm) yang terdiri

dari Thina, Tami, Parman, Ali tidak menyetujui. 12

Dari permasalahan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian lebih

mendalam dan membahasnya dalam sebuah skripsi dengan judul “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Wasiat dengan Kadar Lebih dari 1/3 Harta

Peninggalan Kepada Anak Angkat (Studi Kasus di Desa Kemudi Kecamatan

Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik).

(14)

6

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, penulis mengidentifikasikan

masalah-masalah sebagai berikut :

1. Kebiasaan anak angkat (anak yang meramut) mendapatkan warisan

melebihi dari 1/3 harta warisan.

2. Kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta

peninggalan kepada anak angkat.

3. Tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari

1/3 harta peninggalan kepada anak angkat.

Dengan banyaknya permasalahan yang ada, maka penulis membatasi

penelitian ini pada :

1. Kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta

warisan kepada anak angkat.

2. Tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari

1/3 harta peninggalan kepada anak angkat.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dipaparkan, maka

permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3

harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan Duduk

(15)

7

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan

kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa

Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti, sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang pernah ada.

Berdasarkan deskripsi tersebut, posisi penelitian yang akan dilakukan harus

dijelaskan.13

Tentang masalah Wasiat untuk anak angkat telah banyak diteliti,

diantaranya adalah :

1. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo

Tentang Pelaksanaan Wasiat Wajibah Anak Angkat Bersamaan Dengan

Pembagian Harta Waris (Studi Kasus No.223/Pdt.G/2005/PA.Sda),

Skripsi yang ditulis oleh Rizqi Haq, Sarjana Fakultas Syari’ah Institut

Agama Islam Negeri Sunan Ampel (2009). Dalam skripsi ini menjelaskan

tentang pelaksanaan wasiat wajibah yang bersamaan dengan pembagian

harta waris harus dilakukan dan didahulukan bagian wasiat wajibah,

13Tim penyusun Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi

(16)

8

berdasarkan al Qur’an surat an Nisa ayat 11 dan sesuai dengan pasal 209

KHI.14

2. Relevansi pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Ketentuan

Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat atau Orang tua Angkat dengan Kitab

Fiqih yang Menjadi Referensinya. Skripsi yang disusun oleh Mohammad

Abdul Ghofur sarjana Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri

Sunan Ampel (2012). Dalam skripsi ini membahas tentang wasiat anak

angkat yang diarahkan kepada ketentuan Pasal 209 KHI dengan

kitab-kitab Fikih.15

3. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Wasiat Seluruh Harta Peninggalan Bagi

Anak Angkat (Studi Kasus di Desa Kepung Kecamatan Kepung

Kabupaten Kediri). Skripsi yang disusun oleh Dina Awwalum

Munawaroh, Sarjanah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri

Sunan Ampel (2011). Dalam skripsi ini menjelaskan solusi-solusi hukum

terkait wasiat seluruh harta bagi anak angkat menurut KHI, dalam kasus

ini pasangan suami istri yang mengangkat Andi Sumanto dengan alasan

bahwa ibu Kasinem tidak punya anak sama sekali, dan dalam

pengangkatan anak disahkan oleh Pengadilan Agama.16

14Rizqi Haq,Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo

no.223/Pdt.G/2005/PA.Sda Tentang Pelaksanaan Wasiat Wajibah Anak Angkat Bersamaan Dengan Pembagian Harta Waris” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009), 8.

15 Mohammad Abdul Ghofur, Relevansi pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang

Ketentuan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat atau Orang tua Angkat dengan Kitab Fiqih yang Menjadi Referensinya”(Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 7.

16Dina Awwalum Munawaroh, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Wasiat Seluruh Harta

(17)

9

4. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberian Wasiat Harta Kepada

Keponakan Yang Melebihi Sepertiga Bagian Dari Harta Pewasiat (Studi

Kasus Di Desa Tegalrejo Kecamatan Widang Kabupaten Tuban). Skripsi

yang disusun oleh Rudianto, Sarjana Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (2013). Dalam skripsi ini

menjelaskan kasus sengketa keluarga tentang harta waris seorang laki-laki

yang hanya memiliki satu orang anak dan satu orang cucu saja, sehingga

sisa harta waris yang ada diwasiatkan kepada keponakan yang mana

jumlah harta wasiat tersebut melebihi sepertiga bagian dari harta

pewasiat.17

Adapun skripsi yang akan dibahas berjudul “Tinjauan Hukum Islam

terhadap pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan

kepada anak angkat”. Permasalahannya yaitu pemberian wasiat semua harta

kepada keponakan yang diangkat sebagai anak dengan adat jawa tanpa

pengesahan di depan Pengadilan Agama, sedangkan ahli waris tidak

menyetujui. Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa penelitian

yang dilakukan dalam skripsi ini tidak merupakan duplikasi dengan skripsi

atau penelitian sebelumnya.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dihasilkan dari rumusan masalah adalah:

17 Rudianto, Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberian Wasiat Harta Kepada Keponakan Yang

(18)

10

1. Mengetahui kronologi kasus pemberian wasiat dengan kadar lebih dari

1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa Kemudi Kecamatan

Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.

2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pemberian wasiat dengan

kadar lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat di Desa

Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfa’at

dalam bidang keilmuan hukum pada umumnya dan khususnya pada

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum dengan rincian sebagai berikut:

1. Kegunaan secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna bagi

kalangan akademis sebagai tambahan wawasan keilmuan seputar hukum

keluarga Islam terutama yang berkaitan dengan wasiat dengan kadar

lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat.

2. Kegunaan secara praktis, penelitian ini diharapkan sebagai acuan dasar

untuk memecahkan permasalahan dalam pemberian wasiat dengan kadar

lebih dari 1/3 harta peninggalan kepada anak angkat, sehingga dapat

memberikan informasi bagi masyarakat Desa Kemudi Kecamatan Duduk

Sampeyan Kabupaten Gresik, khususnya pada tokoh masyarakat dalam

rangka memperjelas dan menyempurnakan aturan tentang ketentuan

(19)

11

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pengertian yang dimaksud,

maka perlu ditegaskan maksud dari judul secara terperinci sebagai berikut :

1. Hukum Islam : Hukum Islam yang dimaksud di sini adalah peraturan-

peraturan atau ketentuan-ketentuan al-Qur’an, Hadis,

dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Anak Angkat: Kebiasaan di masyarakat kalau tidak mempunyai

keturunan mengambil anak dari saudaranya untuk bisa

meramut dan menemani masa tuanya.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini juga

merupakan penelitian lapangan, karena data utama di ambil dari

sumber-sumber yang ada di lapangan. Dalam penulisan skripsi ini, teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan pustaka. Untuk

mendukung analisa, maka peneliti juga menggunakan literatur-literatur yang

mendukung yang sesuai dengan wasiat seluruh harta terhadap anak angkat di

Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik.

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini pada dasarnya bisa

diklasifikasikan menjadi data-data sebagai berikut:

a. Data terkait kronologi pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3

(20)

12

b. Data-data pendukung seperti teori ataupun hal-hal lain yang

diperlukan untuk mendukung analisa dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber yang mana darinya adalah data

utama diambil. Sumber data primer berasal dari Anak angkat yang

mendapatkan wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan, saudara

kandung, dan keponakan.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah yang tidak langsung memberikan

data kepada pengumpul data, misalnya orang lain atau dokumen,18

yang terdiri dari :

1) Kepala Desa atau Lurah Desa Kemudi Kecamatan Duduk

Sampeyan Kabupaten Gresik

2) Tokoh masyarakat desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan

Kabupaten Gresik

3) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah

4) Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an

5) Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam

6) Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam

7) Dan Lain-lain.

18 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati Kualitatif dan R&D, Cet VI (Bandung: Alfabeta

(21)

13

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Interview (wawancara)

Interview atau wawancara adalah suatu percakapan yang

diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya

jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara

fisik.19 Dalam penelitian ini penulis mengadakan wawancara dan tanya

jawab secara langsung dengan kepala desa, tokoh masyarakat atau

tokoh agama, dan masyarakat Desa Kemudi yang melakukan

pemberian wasiat untuk ahli waris yang terhalang dengan kadar lebih

dari 1/3 harta warisannya.

b. Pustaka

Untuk mempermudah dalam memperoleh data dalam

pembahasan ini, maka penulis menggunakan teknik kepustakaan

(library research), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan

mencari buku-buku atau sumber-sumber yang kemudian dijadikan

acuan atau pisau analisis untuk meneliti sesuatu.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang dikumpulkan dalam penelitian berhasil

dikumpulkan, peneliti melakukan pengolahan data.

(22)

14

a. Editing

Pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari

segi kelengkapan, kejelasan makna, keselarasan antara data yang ada

dan relevansi penelitian.

b. Organizing

Menyusun kembali data-data yang telah didapat dalam

penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah

direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis. Data –data

yang telah divalidasi ulang kemudian disusun secara sistematis untuk

memudahkan penulis dalam menganalisis data.

5. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik deskriptif

verifikatif dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu teknik yang

menggambarkan data apa adanya dan berangkat dari variabel yang

bersifat umum.

Teori yang di gunakan yaitu teori hukum Islam kemudian di

verifikasikan dan diaplikasikan kepada variabel yang bersifat khusus yaitu

pemberian wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan kepada anak

(23)

15

I. Sistematika Pembahasan

Demi tersusunnnya skripsi yang sistematis, terarah dan mudah untuk

dipahami maka dalam penelitian ini perlu dibuatkan sistematika pembahasan

yang tersusun sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, pada bab ini menjelaskan landasan teori yang membahas

tentang pengertian dan dasar hukum wasiat, rukun dan syarat wasiat, serta

pelaksanaan dan batasan wasiat.

Bab ketiga, pada bab ini berisi data-data yang akan menjawab penelitian,

dalam bab ini akan dijelaskan kronologi kasus dan pelaksanaan wasiat dengan

kadar lebih dari 1/3 harta warisan kepada anak angkat di Desa Kemudi

Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik, meliputi pelaksanaan wasiat

dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan yang ada di Desa Kemudi, dan

faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pemberian wasiat.

Bab keempat, pada bab ini berisi tentang tinjauan hukum Islam terhadap

pemberian harta wasiat dengan kadar lebih dari 1/3 harta warisan kepada

anak angkat yang ada di Desa Kemudi Kecamatan Benjeng Kabupaten

(24)

16

Bab kelima, bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari

hasil penelitian lapangan dan saran yang diberikan sesuai dengan

(25)

BAB II

WASIAT MENURUT ISLAM

A. Pengertian Wasiat dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Wasiat

Untuk mengetahui pengertian wasiat ditinjau dari segi etimologi atau

terminologi, yaitu :

a. Pengertian wasiat ditinjau dari segi etimologi

Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti yaitu:

menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan, menyambung,

memerintahkan dan mewajibkan.1 Dalam al-Qur’an kata wasiat banyak

ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda. Perbedaan ini

disebabkan karena penggunaan kata wasiat yang berbeda-beda dalam

konteks permasalahnnya. Di antara kata wasiat tersebut adalah :

1) Menunjukkan makna mensyariat, sebagaimana diatur dalam

al-Qur’an surat as-Syura ayat 13 yang berbunyi :

َع َرَش

ْم َل

َ ِ م

ِ ْيِ دَلا

ىَص َواَم

ِهِب

و

ِ َلا َوا ح

ْوَأ

اَ ْيَح

َكْيَلِإ

اَم َو

َو

اَ ْيَص

ِهِب

َمْيِهَرْبِأ

و م َو

ىَ

ىَسيِع َو

ْ َأ

ْاو ْيِقَأ

ِ دلٌا

َ ْي

َّ َو

َت

ْاو ق َرَفَت

ِهْيِف

َك

َر

ىَ َع

ٌا

َ ْيِك ِرْ ْل

ْم هو عْدَتاَم

ِهْيَلِإ

َ َل

ىِ َتْ َي

ِهْيَلِإ

َم

اَ َي

ء

ِدْ َي َو

ِهْيَلِإ

ْ َم

ِ ْيِ ي

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”2

1 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut

Undang-Undang Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Radar Jaya, 1994), 131.

(26)

18

2) Menunjukkan makna pesan, sebagaimana diatur dalam al-Qur’an

surat al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi :

ك

َ َت

ْم ْيَ َع

اَ ِإ

َرَضَح

م كَدَحَأ

ْوَ ْلا

ِإ

ْ

َ َرَت

ا رْيَخ

َي ِص َوْلا

ِ ْيَدِلا َوْ ِل

َ ْيِب َرْقأا َو

ِفو رْعَ ْلاِب

اًقَح

ىَ َع

َ يِقَت ْلا

{

٨

}

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.3

b. Pengertian Wasiat Ditinjau dari Segi Terminologi

Ulama fiqih mendefinisikan wasiat dengan pengesahan harta secara

suka rela dari seorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang

tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun manfaat.4

Sayyid Sabiq dalam mendefinisikan wasiat lebih longgar karena

menurutnya sesuatu yang dapat diwasiatkan itu dapat berupa barang,

hutang dan manfaat. Sebagaimana dijelaskan dalam Fikih Sunnah

Sayyid Sabiq bahwa wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang

lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh

orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati,5

sedangkan menurut Hanafi sebagaimana dalam buku Idris Ramulyo

menyatakan bahwa wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu

secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah

3 Ibid., 44.

4 Abdul Aziz Dahlan, Ensklipedi Hukum Islam (Jakarta: PT.Lehtiar Baru, 1997), 126. 5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. Mudzakir AS, jilid 14 (Bandung: Alma’arif, 1998), 215. 5 Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT.Raja

(27)

19

adanya peristiwa kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu

berupa barang maupun manfaat.6

Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wasiat

adalah pemberian seseorang kepada orang lain atau beberapa orang

(lembaga) baik berupa barang, pembebasan, atau pelunasan hutang atau

manfaat yang akan menjadi milik orang yng diberi wasiat setelah orang

yang berwasiat meninggal dunia.

2. Dasar Hukum Wasiat

Adapun yang menjadi dasar hukum wasiat adalah al-Qur’an, hadis,

ijma’, dan secara logika:

a. Al-Qur’an

Diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 180 dan 240 yang berbunyi :

ك ِت

َ

ْم ْيَ َع

اَ ِإ

َضَح

َر

م كَدَحَأ

ْوَ ْلا

ْ ِإ

َ َرَت

ا رْيَخ

َي ِص َوْلا

ِ ْيَدِلا َوْ ِل

َ ْيِب َرْقأا َو

ِفو رْعَ ْلاِب

اًقَح

ىَ َع

َ يِقَت ْلا

{

٨

}

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak. Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.7

َ يِ َلَا

َ وَف َوَت ي

ْم ْ ِم

َ و رَ َي َو

ا جا َو ْ َأ

َي ِص َو

ْ أ

ْمِ ِجا َو

ا عاَتَم

ىلَإ

ِ ْوَ ْلا

َرْيَغ

ا َرْخِإ

ْ ِ َف

َ ْج َرَخ

َلَف

َ اَ ج

ْم ْيَ َع

ِف

اَم

َ ْ َعَف

ِف

َ ِس فْ َأ

ْ ِم

ف ْو رْعَم

ِل َو

ٌ ي ِ َع

ٌميِ َح

{

٤

}

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamudian meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya), akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),

6 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut

Undang-Undang Hukum Perdata (BW),132.

(28)

20

Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”8

Diatur juga dalam surat An-Nisa ayat 11 dan ayat 12 yang berbunyi:

َد ْوَأ

ْي

{

}

اَ ِب

ىَص ْو ي

َي ِص َو

(pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.9

ِدْعَ ْ ِم

َي ِص َو

ىَص ْو ي

اَ ِب

ْيَد ْوَأ

َرْيَغ

راَض م

َي ِص َو

َ ِم

ِل

ِلو

ٌميِ َع

ٌميِ َح

{

}

……sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak member madharat (kepada ahli waris) Allah menetapkan demikian itu sebagai syari’at yang dibenarkan dari Allah dan Allah maha mengetahui dan maha menyantuni.10

Ayat-ayat di atas menunjukan secara jelas mengenai hukum

wasiat serta teknis pelaksanaanya, serta materi yang menjadi obyek

wasiat. Namun demikian para ulama berbeda pendapat dalam

memahami dan menafsirkan wasiat.

b. Al-Hadis

Adapun Hadis Nabi yang dapat dijadikan dasar hukum wasiat

diantaranya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Umar ra:

ع

با

ا

هّو ر

ى ص

ل

ع

هي

م و

ق

ا

:

قَحاَم

ِرْما

م

مِ ْس

هَل

ٌ ْيَش

دْي ِر ي

و ي

ِص

ِهْيِف

ْيَ َي

ِ ْيَتَ ْيَل

َِّا

ه تَي ِص َو

ٌَبو تْ َم

هَدْ ِع

Dari Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak

sepatutnya bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang

8 Ibid., 355.

(29)

21

ingin ia wasiatkan, lalu ia menginap dua malam, kecuali wasiat itu telah tertulis disisinya.(H.R Muslim)11

اَ َ َدَح

ْبا

ىِبَأ

َرَ ع

,

َدَح

اَ َ

اَيْف

ْب

َ ْيَي ع

ِ َع

ِ ِرْهَ لا

ْ َع

ِرِماَع

ِ ْبٌا

ِدْعَ

ِ ْب

ىِبَأ

اَق َو

ْ َع

ِهْيِبَأ

َ اَق

:

ْض ِرَم

َاَع

َحْتَفْلا

َرَم

اَض

ْيَفْشَأ

هْ ِم

ىَ َع

ِ ْوَ لا

أَف

ىِ اَت

ىَ َص

ل

ِهْيَ َع

مَ َ َو

ىِ د ْو عَي

,

ْ قَف

:

اَي

َ و َر

ل

َ ِإ

ىِل

َّاَم

ا ريِ َك

َ ْيَل َو

ِرَي

ىِ

ِتَ ْبٌاَِّإ

ى ِصو أَفَأ

ِلاَ ِب

؟هِ ك

اَق

:

َّ

.

ْ ق

:

ْ َ َف

؟ ِلاَم

اَق

:

َّ

.

ْ ق

:

؟؟ رْطَ لاَف

َ اَق

:

َّ

.

ْ ق

:

؟؟ ر لا

َ اَق

:

لا َو

ٌرْيِ َك

,

َكَ ِا

ْ ِا

ْعَدَت

َكَتَ َر َو

ِْغَا

َءاَي

ٌرْيَخ

ْ ِم

ْ َا

ْم َعَدَت

َلاَع

َ ْو فَفَ َتَي

َ اَ لا

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Az Zuhri dari ‘Amir bin Sa’d bin Abu Waqqash dari bapaknya dia berkata, pada tahun fathu Makkah, aku tertimpa sakit dan aku merasa akan mengalami kematian. Kemudian Rasulullah SAW menjengukku, maka aku pun berkata pada beliau. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta yang banyak, edangkan tidak ada orang yang akan mewarisiku kecuali anak perempuan seorang diri. Apakah aku harus berwasiat dengan

hartaku seluruhnya?” beliau menjawab:”Tidak”. Aku

bertanya,”Atau duapertiga darinya?”Beliau menjawab:”Tidak”. Aku berkata lagi,”Atau setengahnya?” Beliau menjawab:”Tidak” Aku berkata lagi”kalau begitu sepertiga darinya?”Akhirnya beliau bersabda:”Sepertiga. Namun, sepertiga jumlah yang banyak. Sesungguhnya, bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan fakir atau kekurangan kepada manusia.12

c. Ijma’

Praktek pelaksanaan wasiat ini telah dilakukan oleh umat Islam

sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Tindakan yang demikian itu

tidak pernah diingkari oleh seorangpun.Dan ketiadaan ingkar

seseorang itu menunjukkan adanya ijma atau kesepakatan umat Islam

bahwa wasiat merupakan syariat Allah dan Rasulnya didasarkan atas

(30)

22

nash-nash al-Qur’an maupun hadist Nabi yang menerangkan tentang

keberadaan wasiat.13

d. Logika

Selain landasan-landasan di atas, menariknya Idris Ramulyo juga

menambahkan landasan lain, yaitu logika. Menurut tabi’at manusia

itu selalu bercita-cita supaya amal perbuatannya didunia diakhiri

dengan amal-amal kebajikan untuk menambah amal tabaru’nya

kepada Allah yang telah dimilikinya sesuai apa yang diperintahkan

Rasulullah saw.14

B. Rukun dan Syarat Wasiat

1. Rukun Wasiat

Wasiat yang telah di syariatkan dalam Islam merupakan suatu amalan

yang sangat di anjurkan. Agar wasiat dapat dilaksanakan sesuai dengan

kehendak syariat, maka dibutuhkan sebuah aturan yang di dalamnya

mencakup rukun dan syarat wasiat. Muhammad Jawwad Mughiyah

menerangkan bahwa rukun wasiat ada empat yaitu: redaksi wasiat

(s}i>ghat), pemberi wasiat (mu>s}i>), penerima wasiat (mu>s}a>lah), dan barang

yang diwasiatkan (mu>s}a>bih). 15

13 M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 1996), 21.

14 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan

Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW), 134.

15 Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Madzab, terj. Masykur A.B (Jakarta: Center

(31)

23

Begitu jugaJumhur Ulama mengatakan rukun wasiat ada empat yaitu

adanya mu>s}i> (pihak pembuat wasiat), adanya mu>s}a>lah (penerima wasiat),

adanya Mu>s}a>bih (sesuatu/barang yang diwasiatkan), adanya s}i>ghat

(ucapan serah terima), S}i>ghat terjadi dengan adanya ijab dari mu>s}i>,

misalnya “Aku berwasiat untuk fulan akan sesuatu itu.” Sedangkan qabul

berasal dari pihak mu>s}a>lah yang sudah jelas ditentukan.16

Menurut Sayyid Sabiq rukun wasiat yaitu “ijab dan kabul”.

Sebenarnya Sayyid Sabiq dalam memeberikan ketentuan tentang rukun

wasiat adalah sama dengan yang dikemukakan oleh Jawwad Mughniyah

karena ijab kabul itu membutuhkan subyek dan obyek sehingga walaupun

rukun wasiat itu hanya disebutkan satu saja sebagaimana pendapat

Sayyid Sabiq, ijab dan kabul telah mencapai rukun-rukun yang lain yaitu

orang yang berwasiat dan penerima wasiat.17 Sehingga berdasarkan uraian

diatas dapat dipahami bahwa rukun wasiat itu terdiri dari empat hal yaitu:

a. Mu>s}i> (orang yang berwasiat)

b. Mu>s}a>lah (orang yang menerima wasiat)

c. Mu>s}a>bih (barang/sesuatu yang diwasiatkan)

d. S}i>ghat (redaksi ijab dan kabul/ lafadz)

16 Wahbah Az-Zuhaily, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema

Isnani, 2011), 161.

(32)

24

2. Syarat-syarat Wasiat

Dari keempat rukun di atas, masing-masing mempunyai syarat dan

harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat

masing-masing rukun wasiat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Orang yang berwasiat (mu>s}i>)

Bagi orang yang berwasiat disyariatkan orang yang memiliki

kesanggupan melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli

tabarru’), oleh karena itu mushi adalah orang yang telah baligh,

berakal, dan merdeka.

Untuk itu wasiatnya orang gila, anak yang belum baligh, terjadi

perbedaan pendapat antara para ulama mengenai sah tidaknya wasiat

orang tersebut diatas. Lain halnya dengan Abu Hanifah beliau

menghukumi tidak sah wasiat anak kecil yang belum baligh.18

Sedangkan Abu Bakar r.a menyatakan tidak ada perbedaan pendapat

diantara pendapat-pendapat yang ada, bahwa wasiat seorang anak

yang sudah berumur sepuluh tahun adalah sah, dan wasiat anak yang

berumur di bawah tujuh tahun itu tidak sah. Imam Malik dalam

Kitabnya Al-Muwatt}a’ berpendapat bahwa wasiatnya anak kecil yang

belum dewasa tetapi berakal adalah sah.19

Di samping syarat-syarat di atas disyaratkan pula bagi mushi

yaitu ridha dan tidak dipaksa maupun terpaksa terhadap wasiat yang

18Muhammad bin Ahmad Ibn Rusdi al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali Said dan

Ahmad Zaidun. 449.

(33)

25

ia buat.20 Dari sini dapat disimpulkan, karena wasiat merupakan salah

satu tindakan yang akan berakibat beralihnya hak milik dari orang

yang berwasiat terhadap orang-orang yang menerima wasiat, maka

kerelaan terhadap wasiat yang ia buat tanpa didasari atas paksaan

mutlak diperlukan, yang selanjutnya menjadi syarat bagi sahnya

wasiat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang

berwasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut :

1) Telah baligh

2) Berakal Sehat

3) Merdeka

4) Tidak Dipaksa

b. Mu>s}a>lah (orang yang menerima wasiat)

Bagi Mu>s}a>lah atau penerima wasiat disyaratkan atas hal-hal

sebagai berikut :

1) Penerima wasiat masih hidup ketika wasiat diucapkan

Keberadaan wasiat memang harus jelas kepada siapa dan

untuk siapa wasiat itu ditujukan. Akan tetapi mu>s}i> telah

menunjukkan kepada siapa ia berwasiat, kemudian mus}halah atau

orang yang ditujukan menerima wasiat tadi meninggal terlebih

dahulu dari pada pewasiatnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa

wasiat yang penerimanya meninggal lebih dulu adalah batal atau

(34)

26

gugur sedang sebagian ulama yang lain berpendapat tidak gugur

dan harta yang diwasiatkan menjadi hak ahli waris penerima

wasiat.21

2) Penerima wasiat bukan ahli waris dari pewasiat

Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah yang termasyur tidak

membolehkan sama sekali berwasiat kepada ahli waris yang

menerima pusaka, baik para ahli waris mengizinkan maupun tidak,

karena Allah menjelaskan melalui lisan Nabi Muhammad saw.22

َدَح

اَ َ

دْ َع

ِ اَه َوْلا

ِ ْب

ََدْ َ

َدَح

اَ َ

َ ْبا

اَيَع

ْ َع

َ ْيِ ْحَر ش

ِ ْب

مِ ْس م

ْعِ َ

اَبَأ

َ َماَم ا

ْعِ َ

ل ّ ْو َر

َ َص

ل

ِهْيَ َع

َمَ َ َو

َ اَقَف

َ لاَ ِا

ءْدَق

ىَطْعَأ

َ ك

ِ

ِ قَح

هَقَح

َلَف

ََي ِص َو

ِرا َوِل

(

هور

با

دواد

)

23

Diceritakan dari Abdul Wahab bin Najdah diceritakan dari Ibn ‘Aiyas dari Habilah Ibn Muslim dari Abu Umamah, ia berkata aku mendengar Rosulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada tiap-tiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR. Abi Daud).

3) Penerima wasiat bukan pembunuh pewasiat

Apabila seorang yang diberi wasiat kemudian membunuh

orang yang berwasiat maka dalam hal ini para ulama berbeda

pendapat apakah sah atau tidak wasiat kepada orang yang telah

membunuh pewasiat. Imam Abu Yusuf menganggap bahwa

berwasiat kepada orang yang telah membunuh pewasiat baik

wasiat itu diijinkan oleh ahli waris atau tidak adalah tidak sah.24

21M. Abdul Ghofar, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, 500.

22 Fathurrahmam, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), 57.

(35)

27

Ulama Hanafiyah juga menghukumi tidak sah wasiat kepada

orang yang telah membunuh pewasiat namun dalam pembunuhan

karena kelalaian (kesalahan) yang dilakukan oleh penerima wasiat

dan memperoleh ijin ahli waris maka wasiatnya sah.

Ulama Malikiyah menetapkan dua syarat untuk sahnya wasiat

kepada orang yang membunuh pewasiat itu yaitu:

a) Wasiat diberikan setelah adanya tindakan pendahuluan untuk

membunuh, misal: memukul, menyiksa dan lain-lain

b) Si korban hendaknya mengenal pembunuhnya, bahwa dialah

yang sebenarnya telah menjalankan tindakan pembunuhan itu.

Berdasarkan kedua syarat di atas, apabila ada seseorang yang

menganiaya orang lain baik karena sengaja atau salah kemudian

setelah terjadi penganiayaan, orang yang teraniaya tadi berwasiat

kepada orang tersebut hingga menyebabkan kematian maka

wasiatnya batal.25

4) Penerima wasiat adalah orang yang diketahui meskipun hanya

memberi cirri-cirinya saja seperti berwasiat kepada fakir miskin,

lembaga-lembaga sosial.

c. Mu>s}a>bih (barang/sesuatu yang diwasiatkan)

Adapun syarat-syarat barang yang diwasiatkan adalah :

1) Seseorang yang ingin mewasiatkan sesuatu barang hendaklah

barang tersebut adalah milik pribadi dari orang yang member

(36)

28

wasiat, buka milik orang lain meskipun mendapat izin dari pemilik

barang tersebut.26

2) Barang yang diwasiatkan berwujud, atau telah ada pada waktu

wasiat terjadi dan dapat dialih milikkan dari pewasiat kepada

musalah.

3) Barang yang diwasiatkan bukan sesuatu yang dilarang oleh

syara’.27

Selain itu dijelaskan pula dalam buku Abdul Hayyie al-Kattani,

syarat bagi mushabih adalah sebagai berikut:

1) Hendaklah berupa harta benda

2) Memiliki Nilai

3) Bisa diberikan Pemiliknya

4) Merupakan Milik Mushi, jika barang tersebut sudah jelas

5) Tidak dengan menggunakan suatu maksiat.28

d. S}i>ghat (redaksi ijab dan kabul/lafadz)

S}i>ghat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang

yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan kabul. Ijab adalah

pernyataan yang diucapkan pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu,

sedang kabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima

wasiat sebagai tanda persetujuan atau sebagai tanda terima atas ijab

26 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 452.

(37)

29

pewasiat. Ijab dan Kabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa

paksaan.

Menyangkut pelaksanaan wasiat ini harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:29

1) Adanya ijab Kabul

2) Ijab Kabul harus tegas dan pasti

3) Ijab Kabul harus dilakukan oleh orang yang memenuhi

persyaratan, dalam hal ini pemberi dan penerima wasiat

4) Ijab dan Kabul tidak mengandung ta’liq

C. Hal-hal yang Membatalkan Wasiat

Menurut Sayyid Sabiq wasiat batal dengan hilangnya salah satu syarat

dari syarat-syarat yang telah disebutkan, misalnya:

1. Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah

2. Bila yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya

3. Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima

oleh orang yang diberi wasiat.30

Ulama fiqh menetapkan beberapa hal yang dapat membatalkan wasiat

yaitu:

1. Mu>s}i> mencabut wasiatnya, baik secara terang-terangan maupun melalui

tindakan hokum

2. Mu>s}a>lah yang menyatakan penolakannya terhadap wasiat tersebut

(38)

30

3. Harta yang diwasiatkan musnah, seperti terbakar atau hancur ditelan

banjir

4. Mu>s}a>lah lebih dulu wafat dari mu>s}i>

5. Syarat yang ditentukan dalam akad wasiat tidak terpenuhi.31

Menurut Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah ini cukup rinci yaitu

pada pasal 197 KHI sebagai berikut:

1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan

Hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada wasiat.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa

pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan

hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat

untuk membuat atau merubah wasiat untuk kepentingan calon

penerima wasiat.

d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan

surat wasiat dari pewasiat.

2. Wasiat menjadi batal apabila yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu :

a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia

sebelum meninggalnya pewasiat

(39)

31

b. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan

menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya

pewasiat.

3. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.32

D. Pelaksanaan dan Batasan Wasiat

1. Pelaksanaan Wasiat

Wasiat menjadi hak bagi orang yang diberinya setelah pemberinya

mati dan hutang-hutangnya dibereskan. Apabila wasiat itu telah cukup

syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah wasiat tersebut dilaksanakan

sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si penerima wasiat sudah memiliki

harta wasiat dan karenanya dia dapat memanfaatkan dan

mentransaksikannya menurut kehendaknya,33 sedangkan dalam

undang-undang hukum wasiat Mesir dalam pasal 78 mewajibkan pelaksanaan

Pewasiat tanpa tergantung perizinan ahli waris dan setelah dikurangi

biaya perawatan dan pelunasan hutang.34

2. Batasan-batasan dalam wasiat

Wasiat hanya berlaku dalam batasan sepertiga dari harta warisan,

manakala terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam

keadaan sakit ataupun sehat.35

32 Pramudji, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012), 544. 33 Fatkhurrahman, Ilmu Waris.., 60.

34 Ibid.., 65.

(40)

32

Dalam buku Fikih Sunnah Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa

diperbolehkan wasiat dengan sepertiga harta, dan tidak diperbolehkan

wasiat yang melebihi sepertiga. Yang utama adalah wasiat yang kurang

dari sepertiga.36

Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari semua

harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat, sedangkan Malik

berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh

pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang berkembang

tetapi dia tidak tau.Malik, An-Nakha’i dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz

berpendapat bahwa yang menjadi pegangan ialah sepertiga peninggalan di

waktu berwasiat.37

Dalam buku Fiqih Empat Madhab, para imam mahdab sepakat bahwa

berwasiat untuk selain ahli waris sebanyak sepertiga bagian adalah

dibolehkan dan tidak memerlukan persetujuan ahli waris, sedangkan

berwasiat untuk ahli waris diperbolehkan setelah mendapat persetujuan

ahli waris yang lain.38

Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan sepertiga ialah sepertiga dari jumlah harta milik yang

berwasiat yang dihitung pada saat meninggal dunia, bukan dihitung dari

sepertiga waktu ia berwasiat. As Syafi’i menyatakan bahwa sepertiga itu

36 Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah…, 231. 37 Ibid.., 232.

(41)

33

adalah sepertiga di waktu dia mati dan ini adalah pendapat sahabat Ali

dan sahabat tabi’in.

Orang yang berwasiat itu adakalanya mempunyai ahli waris dan

adakalanya tidak mempunyai ahli waris. Bila dia mempunyai ahli waris,

maka dia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga, maka wasiatnya

tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris, dan untuk

pelaksanaannya diperlukan dua syarat yaitu:

1. Agar permintaan izin dari ahli waris itu dilaksanakan sesudah orang

yang berwasiat mati, sebab sebelum dia mati, orang yang memberi izin

itu belum mempunyai hak, sehingga izinnya tidak menjadi pegangan.

Bila ahli waris memberikan izin di waktu orang yang berwasiat hidup,

maka orang yang berwasiat mungkin mencabut kembali wasiatnya bila

dia ingin, dan bila ahli waris memberikan izin sesudah orang yang

berwasiat mati, maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri dan Rabi’ah

berkata orang yang sudah mati itu tidak akan merujuk wasiatnya.

2. Agar orang yang memberi izin itu mempunyai kompetensi yang sah,

tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, diwaktu memberikan

izin. Bila orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris, maka dia

pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga pula. Ini adalah

menurut jumhur ulama.39

Madhab Imamiyah mengatakan jika para ahli waris telah memberi

izin, maka mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka, baik izin

(42)

34

itu diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup ataupun sesudah

meninggalnya.40

Madhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan penolakan

ataupun izin hanya berlaku sesudah meninggalnya pemberi wasiat,

maka jika mereka memberi izin ketika dia masih hidup, kemudian

berbalik fikiran dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat

meninggal mereka berhak melakukan itu, baik izin itu mereka berikan

ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan sehat ataupun ketika

sakitnya.

Madhab Maliki menyatakan jika mereka mengizinkan ketika

pemberi wasiat berada dalam keadaan sakit, mereka boleh menolak

melakukannya. Tapi jika mereka memberi izin ketika ia sehat, maka

kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris mereka, dan

mereka tidak boleh menolak.41

Madhab Imamiyah, Hanafi dan Maliki mengatakan izin yang

diberikan oleh ahli waris bagi kelebihan dari sepertiga harta warisan

merupakan persetujuan atas tindakan si pemberi wasiat, bukan sebagai

hibah dari ahli waris kepada si penerima wasiat. Jadi ia tidak

memerlukan serah terima. Hukum-hukum hibah tidak berlaku untuk

wasiat.

Terdapat perselisihan pendapat mengenai orang yang mewasiatkan

seluruh hartanya, sedang dia tidak mempunyai ahli waris. Imam Malik

(43)

35

mengatakan wasiat hanya boleh maksimal sepertiga hartanya, Abu

Hanifah boleh seluruhnya, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad mempunyai

dua pendapat, sedangkan mahzab Imamiyah juga punya dua pendapat

tapi yang lebih sahih adalah boleh.42

Orang yang menerima wasiat adakalanya dari kalangan ahli waris

dan adakalanya bukan ahli waris, jika yang menerima wasiat itu bukan

ahli waris maka pelaksanaannya tidak perlu menunggu izin dari ahli

waris, asalkan yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga dari harta

warisan, akan tetapi jika wasiat itu diberikan kepada ahli waris maka

wasiat belum bisa dilaksanakan sebelum adanya persetujuan ahli waris

lainnya walaupun jumlahnya kurang dari sepertiga.43

Sajuti Talib menuliskan dalam bukunya bahwa apabila wasiat itu

lebih dari sepertiga maka diselesaikan dengan salah satu cara sebgai

berikut :

a. Dikurangi sampai batas sepertiga harta peninggalan.

b. Diminta kesediaan semua ahli waris yang pada saat itu berhak

menerima wasiat, apakah mereka mengikhlaskan dan meridhakan

kelebihan wasiat atas sepertiga harta peninggalan itu.

Kalau mereka mengikhaskan, maka halal dan ibahah hukumnya

pemberian wasiat yang lebih dari sepertiga harta peninggalan itu. 44

Semua Madhab sepakat bahwa tidak boleh dilaksanakan pewarisan

42 Ibid.., 514-515.

43 M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, 27.

(44)

36

ataupun wasiat sebelum hutang-hutang si mayit dilunasi atau

dibebaskan dari beban hutang. Jadi jumlah sepertiga harta warisan

yang dikeluarkan untuk wasiat itu tidak termasuk hutang.45

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan ketentuan dalam

memberikan wasiat pada Pasal 195 ayat 2, 3 dan 4 yakni :

Ayat 2: Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

Ayat 3: Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris

Ayat 4: Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan Notaris.

Pada Pasal 201 KHI juga di jelaskan apabila wasiat melebihi sepertiga

dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya

maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.46

Berbeda pendapat dengan Golongan Malikiyyah dan Zhahiriyyah jika

wasiat yang melebihi sepertiga harta peninggalan maka tidak boleh

dilaksanakan, meskipun ahli waris menyetujuinya, demi melaksanakan

zahir hadis riwayaat Sa’ad, “sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”47

45 Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mahdzab, 248. 46 Pramudji, Kompilasi Hukum Islam, 58.

(45)

BAB III

PEMBERIAN WASIAT DI DESA KEMUDI KECAMATAN DUDUK SAMPEYAN KABUPATEN GRESIK

A. Deskripsi Umum Desa Kemudi

1. Kondisi Geografis

Secara administratif, Desa Kemudi terletak di wilayah Kecamatan

Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh wilayah

desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Betoyo

Kecamatan Manyar Kabupaten Manyar Kabupaten Gresik di sebelah

Barat berbatasan dengan Desa Wadak kidul. Di sisi selatan berbatasan

dengan Desa Kawisto windu sisi timur berbatasan dengan Desa Leren

Kecamatan Manyar. Jarak tempuh Desa Kemudi ke Ibu Kota Kecamatan

adalah 5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit.

Sedangkan jarak tempuh ke ibu Kota Kabupaten aadalah 23 km, yang

dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam.

Desa yang tergolong berkembang ini juga memiliki lembaga-lembaga

keagamaan dan sosial masyarakat yang bisa menunjang kemajuan

pemikiran masyarakat setempat, seperti Taman Kanak-Kanak, TPQ, dan

juga terdapat masjid yang menjadi tempat peribadatan masyarakat Desa,

mushola dan langgar juga dapat ditemui di Desa Kemudi.1

Wilayah Desa Kemudi ini memiliki luas wilayah keseluruhan

857,942 yang terdiri dari luas pemukiman 4, 470 ha, Luas pertambakan

(46)

38

851,772 ha, Luas Perkantoran 0,200 ha, dan luas pemakaman 1, 500 ha.

Berikut ini adalah tabel luas wilayah Desa Kemudi.

2. Demografis

Jumlah penduduk di Desa Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan

Kabupaten Gresik, menurut data yang ada di kantor kelurahan Desa

Kemudi Kecamatan Duduk Sampeyan berjumlah 1.352 jiwa. Berdasarkan

data administrasi pemerintah Desa tahun 2017, jumlah Penduduk Desa

Kemudi terdiri dari 358 KK, dengan jumlah total 1.352 jiwa, dengan

rincian 649 laki-laki dan 703 perempuan.

3. Mata Pencaharian Warga

Secara umum mata pencarian warga Desa Kemudi yaitu pertanian,

jasa/ perdagangan, industri dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada,

masyarakat yang bekerja di bidang pertanian berjumlah 170 orang, orang

yang bekerja di sector jasa lainnya 10 orang, orang yang bekerja di sector

industry 2 orang dan yang bekerja di sector lain yaitu 175 orang, dengan

demikian jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian berjumlah

451 orang. Dengan melihat adanya data terebut maka angka

pengangguran yang ada di Desa Kemudi cukup tinggi.2

4. Keagamaan Masyarakat Desa Kemudi

Desa Kemudi merupakan suatu Desa yang mana keseluruhan

warganya menganut agama Islam. Adanya kesamaan agama inilah yang

membuat masyarakat terlihat rukun dan saling berdampingan dalam

(47)

39

kehidupan bermasyarakat, selain itu pola agama dari desa ini dilihat dari

masyarakat yang masih melestarikan budaya pengajian umum, pengajian

kitab kuning, selametan, tadarus, khatmil Qur’an, Diba’an, dan juga

yasinan yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yasinan

ataupun tahlil yang diikuti oleh bapak-bapak pada setiap malam jumat,

yang kedua kelompok yasinan maupun tahlil yang diikuti oleh ibu-ibu

pada setiap malam minggu dan lain-lain.3

5. Pendidikan Masyarakat

Pendidikan di Desa Kemudi sudah sedikit maju, dengan adanya

yayasan yang sudah mempunyai sekolah yang bertingkat mulai dari Play

Group, TK, MI, dan MTS. Berikut rincian sarana pendidikan yang ada di

Desa Kemudi.4

B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pemberian Wasiat dengan Kadar Lebih

Dari 1/3 HartaPeninggalan.

Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi pemberian wasiat

warisan kepada anak angkat di Desa Kemudi, dalam pembagiannya anak

angkat memperoleh seluruh harta yang melebihi sepertiga warisan, tanpa

meminta dan mendapat persetujuan ahli waris yang lain, antara lain:

1. Anak angkat dianggap sanggup merawat salah satu orang tua mereka, jika

salah satu dari orang tuanya masih hidup

3 Lukfah, Wawancara, Kemudi, 16 Maret 2017

(48)

40

2. Seseorang yang tinggal serumah dengan orang tuanya akan mendapatkan

harta lebih di banding anak yang lainnya.

3. Anak angkat dianggap sanggup menggantikan posisi orang tua angkatnya

untuk menjaga harkat dan martabat keluarga, khususnya orang tua

mereka

4. Anak angkat diharapkan bisa mebiayai semua kebutuhan slametan ketika

orang tuanya meninggal.

5. Adanya dorongan dari orang tua kandung dalam pemberian wasiat. 5

Menurut masyarakat Desa Kemudi bagian harta waris orang tua yang

diahlihkan kepada anak yang serumah tersebut sudah menjadi hak milik anak

yang serumah, karena masyarakat Desa Kemudi percaya bahwa anak tidak

akan melantarkan orang tuanya.

C. Kronologi Kasus dan Pelaksanaan Wasiat dengan Kadar Lebih dari 1/3 Harta

Warisan Kepada Anak Angkat

1. Asal Usul Anak Angkat

Salah satu kasus pengangkatan anak dari kerabat sendiri yaitu

pengangkatan anak yang di alami oleh Rusdin. Beliau diangkat anak, oleh

paman dan bibinya karena paman dan bibinya tidak dapat mempunyai

keturunan. Oleh karena itu Ibu Siti dan Bapak Mad sepakat mengangakt

Rusdin sebagai anaknya dari Ibu Tuni dan Bapak Dhaib.

Bapak Mad yang sudah menikah dengan Ibu Siti lebih dari 10 tahun

akan tetapi belum dikaruniai momongan. Berbagai cara sudah ditempuh

5

(49)

41

untuk mendapatkan momongan akan tetapi masih belum dikaruniai dengan

artian belum ditaqdirkan oleh Allah swt untuk mendapatkan titipan anak

dari Allah swt. Oleh karena itu Bapak Mad dan Ibu Siti memilih dan

memutuskan untuk mengangkat anak saja. Berikut penjelasan dari Ibu

Hanik yaitu kerabat dari ibu Siti: “Mbak Siti dulu itu menginginkan sekali

untuk mempunyai momongan, tapi bagaimana lagi jika Allah swt tidak

menghendaki, ahirnya ya mbak Siti sama Cak Mad memutuskan untuk

mengangkat Rusdin untuk dijadikan anaknya”6

Kebetulan kakak dari Ibu Siti yakni Ibu Tini sudah mempunyai 4

orang anak diantaranya 2 anak putri dan 2 anak putra yaitu Tina, Tami,

Rusdin, Parman. Ibu Tini merelakan Rusdin untuk diadopsi oleh adiknya

yaitu Ibu Siti. Akad penyerahan anak itu sudah terjadi sejak Rusdin

berusia 7 tahun.

Dalam tradisi Jawa mengangkat anak kerabat bukanlah hal yang tabu,

hal ini karena model pengangkatan anak yang seperti itu diyakini lebih

terpercaya, karena selain orang tua kandungnya jelas asal usulnya, mereka

juga lebih mudah untuk melakukan komunikasi atau musyawarah dan

perundingan. Jika sudah jelas identitas orang tuanya mereka bisa menilai

kualitas dari segi bobot, bibit, bebet si anak angkat dengan mudah.7 Bisa

digambarkan kedekatan hubungan keluarga anak angkat dengan orang tua

angkat, pada gambar berikut ini akan ditunjukkan hubungan kekerabatan

(50)

42

antara Bapak Angkat (Mad) dan Ibu angkat (Siti) dengan Anak angkat

(51)

43

SILSILAH KELUARGA

---

Keterangan :

: Hubungan Ibu dan anak angkat

: Meninggal Dunia

2. Proses Pengangkatan Rusdin oleh Ibu Siti dan Bapak Mad

a. Kelahiran Rusdin

Rusdin lahir di Gresik pada tanggal 13 Juni 1971, Rusdin adalah

anak ketiga dari pasangan Ibu Tuni dan Bapak Dhaib. Sejak lahir

Rusdin diasuh oleh kedua orang tuanya yang berasal dari keluarga

SIPAN KASINI

TINA TAMI PARMAN TUNI SITI ALI

DHAIB

IPAH

ROKAYA

RUSDIN

SUPARMAN

SUARNI

(52)

44

yang berkecukupan, tidak menjadikannya tumbuh pribadi yang manja,

namun justru didikannya yang sangat keras.

Bagi Bapak Dhaib yang berkecukupan, memiliki anak yang

banyak tidaklah menjadi masalah. Sejak Ibu Tini masih menyusui

Rusdin anak keduanya, Ibu Siti dan Bapak Mad sudah merunding

kepadanya, agar kelak kalau anak yang disusuinya besar diberikan

kepada Ibu Siti dan Bapak Mad, namun Bapak Dhaib dan Ibu Tini

belum menyetujui. Pada akhirnya ketika Rusdin berusia 7 tahun

Bapak Dhaib dan Ibu Tini menyerahkan Rusdin kepada Bapak Mad

dan Ibu Siti.

b. Ritual Pengangkatan Anak Rusdin oleh Bapak Mad dan Ibu Siti

Pada usia 7 tahun, Rusdin diserahkan kepada keluarga Ibu Siti

dan Bapak Mad. Diawali proses penyerahan, yakni Ibu Tini dan Bapak

Dhaib mendatangai rumah Ibu Siti dan Bapak Mad untuk

menyerahkan anaknya. Berikut penjelasan dari Bapak Ali selaku adik

dari Ibu Siti: “Mbak Siti dan Mas Mad itu sudah mengharapkan

Rusdin sejak lahir tapi tidak di bolehkan oleh Mas Dhaib, Karena Mas

Dhaib dan Mbak Tini ingin meramut Rusdin dulu. Rusdin diserahkan

ke Mbak Siti dan Mas Mad umur 7 tahun, cara menyerahkannya juga

tidak ramai, Mas Dhaib dan Mbak Tini yang mengantar Rusdin ke

rumah mbak Siti”8

(53)

<

Referensi

Dokumen terkait

Kontrasepsi ini dapat digunakan untuk menghindari atau mencapai kehamilan, tidak ada resiko kesehatan yang berhubungan dengan kontrasepsi, tidak ada efek samping, dan murah atau

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menempatkan diri dalam memahami kondisi

Hal yang harus dicari dalam refleksi setelah siswa mempelajari menentukan rumus fungsi adalah apakah siswa di akhir pembelajaran dapat (1) memahami bahwa apabila

Terkait dengan pertanyaan penelitian kedua, yaitu bagaimana dampak keterkenalan merk (brand familiarity) dalam co-branding pada perilaku konsumen, khususnya pada minat beli dan

Selanjutnya, data dan informasi yang telah didapat difokuskan dalam variabel-variabel Environmental Stability-ES (Stabilitas Lingkungan) dan Industrial Strength-

Kegiatan ini melibatan lima orang mahasiswa UNAIR, lima orang mahasiswa dari Universitas Hiroshima Jepang, Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat (IKGM), tiga orang dokter gigi

Yang dimaksud dengan peningkatan jalan arteri sekunder dalam ayat ini berupa pelebaran jalan di Kelurahan Menteng Dalam dan Kelurahan Tebet Barat pada jalan Prof

Latar belakang penulisan skripsi ini berkaitan dengan keinginan penulis untuk menganalisis pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat I pada Putusan Nomor