• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUNNAH TASYRI’IYYAH DAN GHAIRU TASYRI’IYYAH (Studi Analisis Terhadap Pemikiran Mahmud Syaltut) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SUNNAH TASYRI’IYYAH DAN GHAIRU TASYRI’IYYAH (Studi Analisis Terhadap Pemikiran Mahmud Syaltut) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TERKAIT KLASIFIKASI SUNNAH

TASYRI<

IYYAH

DAN

GHAIRU TASYRI<

IYYAH

A. Asumsi Dasar

Sebagai seorang tokoh ulama sekaligus pemikir Islam, dalam mengemukakan suatu pendapat atau mencetuskan suatu gagasan pemikiran maka mereka harus memiliki suatu asumsi sebagai pijakan dasar dan menguatkan gagasan yang dikemukakannya tersebut. Begitu juga dengan gagasan Syaltut dalam mengklasifikasikan sunnah nabi menjadi dua golongan yaitu sunnah tasyri<‟iyyah dan ghairu tasyri<‟iyyah. Dalam hal ini, rupanya Syaltut dalam mengemukakan pendapat tersebut dalam karya pokoknya yang membahas tentang permasalahan ini, ia secara tersurat tidak menyertakan alasan atau asumsi yang menjadi dasar gagasan tersebut dalam bab yang sama. Namun alasan itu masih dapat ditelusuri melalui keterangan-keterangannya pada halaman lain dan bahkan dari karyanya yang lain, salah satunya yaitu dalam karya tafsirnya.

Berkaitan dengan persoalan yang dibahas dalam penelitian ini, asumsi dasar yang digunakan Syaltut dalam mengklasifikasikan sunnah nabi salah satunya yaitu dapat ditelusuri melalui hadis yang ia cantumkan dalam karya tafsirnya saat menafsirkan surat Al-Anfal. Hadis yang dimaksud adalah,

(2)

dunia kalian) yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim.1 Hadis ini ia pergunakan untuk mendukung penjelasan dan penafsirannya tentang adanya beberapa perkara keduniaan yang menurutnya memang sengaja tidak dirinci

dan tidak pula diatur dalam tasyri‟ ilahi. Allah membiarkan hal itu dibahas

oleh manusia sendiri dengan akal yang telah dianugerahkan oleh-Nya, hingga mereka mencapai hasilnya baik itu salah maupun benar.2 Jadi setiap manusia memiliki kesempatan yang luas untuk mengeksplor kemampuan akalnya untuk mengadakan penelitian terkait cara-cara bercocok tanam, perindustrian, medis atau pengobatan, taktik peperangan dan hal-hal lain yang Allah sendiri mewakilkan kesemuanya itu kepada pertimbangan akal manusia dalam mengetahui dan mengambil manfaat darinya.

Di samping hadis yang telah disebutkan oleh Syaltut, adanya perbedaan pendapat di sekitar sunnah nabi untuk dijadikan sebagai suatu undang-undang umum atau syari‟at dengan yang tidak, itu juga dimungkinkan karena adanya ikhtilaf pendapat dalam memandang perbuatan Rasulullah dan hubungannya dengan umat. Salah satunya yaitu tentang adanya perbuatan khususiyah nabi, seperti halnya sholat dhuha dan tahajud wajib bagi Rasulullah, boleh beristri lebih dari empat serta menikah tanpa

1Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini merupakan kasus penyerbukan kurma. Hadis ini diriwayatkan dalam tiga versi dengan periwayat yang berbeda, yaitu berasal dari Thalhah r.a, dari Rafi‟ bin Khudaij r.a, dan terakhir adalah berasal dari Aisyah dan Anas r.a. Ketiga versi ini diriwayatkan dalam shahih muslim. Salah satu riwayat tersebut adalah: “Dari Aisyah dan Anas r.a mengatakan bahwa nabi pernah berjalan melewati suatu kelompok orang yang sedang

menyerbuki kurma. Kemudian beliau bersabda,” Seandainya kalian tidak melakukannya, tentu buahnya akan baik.” Aisyah dan Nas mengatakan bahwa kurma itu kemudian berbuah jelek.

Kemudian Rasulullah melewati mereka lagi dan bertanya,” Apa yang terjadi pada kurmakalian?” Mereka menjawab,” Engkau katakan begini dan begini.” Beliaupun bersabda,”Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian.” Lihat: Al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh Al-Na wawi Juz XV (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), h. 116

2

(3)

mahar. Sylatut berkomentar bahwa terkait perbuatan yang demikian ini tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa umat Islam dibenarkan untuk mengikuti perbuatan Rasulullah yang demikian tersebut. Hal ini mengartikan bahwa perbuatan-perbuatan nabi tersebut bukan merupakan syari‟at untuk ditetapkan kepada para umatnya. Kekhususan Rasulullah tersebut dapat ditinjau dari firman-Nya sebagai berikut:





























































































































Artinya: “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu

(4)

mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.3 (Q.S Al-Ahzab: 50)

Syaltut menambahkan, dari berbagai latar belakang pensyari‟atan suatu perbuatan menurutnya dapat diketahui dengan didasarkan pada tolok ukur baik atau buruknya. Baik dan buruk tersebut bukan dilihat dari gambaran atau kenampakan lahiriah sosok luar itu sendiri, melainkan yaitu diukur dari makna yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu memisahkan anak yatim dalam hal makan dan minumnya belum tentu dianggap baik

sebelum syari‟at mengharuskannya demikian (misalnya: wali anak yatim

rakus atau curang), maka demikian halnya dalam mencampur hartanya. Sebagai tolok ukur kebaikan dalam hal ini adalah terjaganya diri dan harta anak yatim berdasarkan ketentuan.4

Yang menjadi landasan sebuah syari‟at, menurut Syaltut adalah

apabila perbuatan itu mengandung maslahat maka perbuatan itu dianggap baik dan dianjurkan untuk dikerjakan. Namun apabila perbuatan itu mengandung kerusakan, maka perbuatan itu dianggap buruk dan harus dihindarkan.5

B. Kriteria Tasyri<’iyyah dan Ghairu Tasyri<’iyyah

Melihat dari uraian Syaltut dalam mengklasifikasikan sunnah nabi dalam golongan tasyri<‟iyyah dan ghairu tasyri<‟iyyah, maka secara garis besar dapat diketahui kriteria-kriterianya sebaga berikut. Adapun kriteria sunnah tasyri<‟iyyah meliputi:

3Departemen Agama Republik Indonesia. Al Qur‟an dan Terjemahnya..., h. 567 4Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur‟an..., h. 985

(5)

1. Segala sesuatu yang datangnya dari Rasulullah baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap Al-Qur‟an. Seperti halnya menjelaskan ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang sifatnya masih samar atau belum jelas, membatasi yang masih bersifat umum atau bermakna ambigu, memberi qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadah, halal dan haram, akidah serta akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul, merupakan sunnah berdaya hukum yang wajib diikuti. Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW, maka semua yang datang darinya yang terkait berbagai masalah agama adalah mutlak untuk diikuti, sedangkan yang bukan dari Rasul meskipun itu terkait masalah agama maka tidak bisa dibenarkan dan harus ditolak. Sunnah nabi yang seperti ini mengandung unsur syari‟at (tasyri<‟iyyah) yang berlaku bagi semua umat muslim hingga hari kiamat. Pelaksanaannya tidak tergantung pada izin atau persetujuan siapapun. Jadi seluruh umat Islam diwajibkan untuk mentaati baik perintah ataupun larangan yang terkandung di dalamnya. 2. Hal-hal yang datangnya dari Rasulullah, baik berupa ucapan, perbuatan

(6)

perjanjian, pengangkatan wali atau pembesar suatu negara, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan fungsi rasul sebagai seorang pemimpin yang bertanggungjawab untuk mengurus kepentingan masyarakat. Namun sunnah tasyri<‟iyyah yang demikian ini tidak berlaku secara umum bagi semua umat Islam, sebab pelaksaannya tergantung pada izin dan persetujuan dari imam atau pemimpin dari masing-masing wilayah yang dikuasainya.

3. Segala hal yang datangnya dari Rasulullah dalam kedudukannya sebagai hakim peradilan. Pada batas lingkungan ini rasul berhak memberikan keputusan suatu perkara sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam berdasarkan bukti-bukti yang ada. Namun sunnah tasyri<‟iyyah yang demikian ini kedudukan hukumnya sama sebagaimana saat nabi berposisi sebagai imam (kepala pemerintahan), yaitu tidak dapat diberlakukan

sebagai syari‟at umum. Sehingga pelaksaannya pun juga terikat dengan

keputusan hakim.

Di samping memiliki beberapa kriteria di atas, sunnah nabi yang bermuatan unsur syari‟at menurut Syaltut mencangkup tiga bidang yaitu sunnah nabi yang dari segi kandungannya berkaitan dengan persoalan akidah, akhlak dan budi pekerti, serta sunnah yang bermuatan tentang hukum

„amaliah sehari-hari. Yang disebutkan terakhir ini, hukum-hukum yang

diperoleh dari sunnah dalam bentuk yang demikian disebut sebagai “Fiqih

Sunnah”, sedangkan hadis-hadisnya dikenal dengan “Hadis Ahkam”. Lain

(7)

daya hukum dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum

syari‟at, atau yang oleh Syaltut disebut dengan sunnah ghairu tasyri<‟iyyah

juga dapat dikelompokkan berdasarkan kriterianya, yaitu menyangkut beberapa aspek sebagai berikut:

1. Sunnah nabi yang di dalamnya bermuatan tentang perbuatan rasul sebagai kepentingan kehidupan manusia biasa, misalnya makan, minum, tidur, berjalan, berkunjung, tawar menawar dalam jual beli dan lain sebagainya.

Perbuatan nabi semacam ini menurut Syaltut tidak termasuk dalam syara‟

yang ada kaitannya dengan perintah ataupun larangan. Di samping itu juga tidak terdapat indikasi ibadah di dalamnya. Sehingga menurutnya perbuatan Rasulullah tentang itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber atau dasar untuk menghukumi perbuatan umat Islam.

2. Sunnah nabi yang bermuatan tentang penelitian, pengalaman dan atau adat kebiasaan suatu golongan. Dalam hal ini menurut Syaltut bisa berupa pengalaman penelitian urusan pertanian, medis, perindustrian, dan kebiasaan berpakaian.

3. Sunnah nabi yang berhubungan dengan permasalahan pimpinan untuk menangani keadaan tertentu. Misalnya dalam hal ini adalah mengatur strategi peperangan, mengerahkan pasukan dalam pertempuran, dan memusatkan tentara pertempuran pada wilayah-wilayah tertentu. Tindakan nabi yang demikian ini menurut Syaltut juga tidak dapat dianggap sebagai

(8)

Dalam uraiannya, Syaltut turut mencantumkan beberapa contoh riwayat dari hadis yang kemudian menjelaskan permasalahan seputar unsur tasyri<‟iyyah yang terkandung di dalamnya. Beberapa riwayat tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Riwayat hadis yang menyatakan bahwa,”rasulullah bersabda,”

barangsiapa menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi

miliknya”.

Dalam menyikapi hadis ini, menurut Syaltut mayoritas ulama berpendapat bahwa hadis ini disampaikan oleh rasul dalam posisinya sebagai tabligh ar-risalah dan fatwa rasul. Maka dari itu hadis tersebut dianggap memuat unsur syari‟at secara umum. Sehingga berarti setiap orang berhak mengolah lahan kosong dan kemudian memilikinnya secara penuh, baik dengan atau tanpa izin dari Imam.6

Kemudian Syaltut menambahkan pula pendapat dari Imam Abu Hanifah yang berbeda dengan kesepakatan ulama di atas. Menurutnya hadis tersebut merupakan sabda rasul dalam posisinya sebagai Imam dan kepala pemerintahan. Oleh sebab itu tidak dapat dianggap sebagai

syari‟at yang berlaku secara umum. Oleh sebab itu menurutnya tidak

sembarang orang diperbolehkan untuk menghidupkan tanah mati kecuali dengan izin imam.7

2. Telah sah riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah bersabda kepada

Hindun bin „Uqbah (istri Abu Sofyan). Kemudian ketika rasul hendak

6Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidah ..., h. 513 7

(9)

menyampaikan bahwa Abu Sofyan adalah orang yang sangat kikir, tidak memberi istri dan anak-anaknya uang belanja yang cukup. Sehingga

rasulullah besabda,”Ambilah olehmu untuk perbelanjaanmu dan untuk

anakmu barang seperlunya menurut kebiasaan.”

Dalam menanggapi riwayat di atas, menurut Syaltut dikalangan ulama juga terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut dalam hal menentukan apakah sabda rasul saat itu merupakan fungsinya sebagai utusan Allah yang menyampaikan pesan-Nya dan fatwa. Jika demikian maka itu berarti setiap orang berhak untuk mengambil haknya yang ada pada orang lain meskipun itu tanpa sepengetahuan dari orang tersebut. Atau bisa jadi sabda tersebut disampaikan ketika rasulullah saat itu bertindak sebagai qadhi yang memutuskan hukum. Jika demikian adanya maka berarti setiap orang tidak berhak mengambil secara paksa haknya yang ada pada orang lain, kecuali melalui putusan hakim.8

3. Telah sah suatu riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah pernah

bersabda,”Barang siapa yang membunuh musuh, maka ia berhak memiliki

pakaian dan alat senjatanya.”

Dalam menanggapi riwayat ini pun menurut Syaltut para ulama berbeda pendapat tentang alasan yang mendasari rasul bersabda demikian. Terdapat ulama yang menyatakan bahwa rasulullah mengucapkan sabda tersebut dalam fungsinya sebagai rasul yang membawa pesan Allah SWT. Sehingga hal itu nanti akan berimbas pada pemahaman bahwa setiap

8

(10)

pasukan atau prajurit perang yang menewaskan musuhnya maka mereka berhak mengambil pakaian dan alat senjatanya, baik itu melalui keputusan dari imam ataukah tidak. Di samping itu, sebagian ulama lain berpendapat bahwa sabda tersebut diucapkan rasul dalam fungsinya sebagai imam. Jika demikian maka prajurit perang yang menewaskan musuhnya tidak berhak memiliki pakaian dan alat senjata yang dimiliki oleh lawannya.9

Selanjutnya Syaltut mencantumkan komentar Al-Kamal terkait dengan hadis tersebut. Menurut Al-Kamal, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang sah atau tidaknya riwayat tersebut dari rasulullah. Justru yang menjadi permasalahan adalah apakah hukum yang terkandung dalam sunnah tersebut bersifat umum yaitu untuk sepanjang waktu dan berbagai keadaan ataukah hanya sebatas dorongan Nabi untuk mengobarkan semangat perjuangan dalam pertempuran, maka itu berarti sabda nabi memiliki makna yang khusus pada situasi dan kondisi saat itu.

Syaltut menambahkan bahwa Imam Syafi‟i menghukumi sunnah

tersebut sebagai sunnah tasyri<‟iyyah umum karena tugas pokok

rasulullah adalah untuk menerapkan syara‟. Permasalahan ini dikupas

pula dalam kitab Fathul Qadir juz IV tentang bab tanfil (rampasan). Selain itu juga pernah dibahas oleh Imam Ghurafi dalam kitabnya Al-Furuq juz I

dan juga Ibnu Qayyim dalam kitab Zadul Ma‟ad juz II pada pembahasan

tentang perang Hunain. Selain merek masih banyak lagi ulama fiqih khususnya yang sering berbeda pendapat dalam meninjau

9

(11)

tindakan rasulullah yang kemudian dihubungkan dengan fungsi rasul saat itu. Dari hal itu kemudian Syaltut menyimpulkan bahwa sebenarnya sebagaian besar para fuqaha sepakat mengenai pernyataan dasar bahwa terdapat dua arah kandungan sunnah nabi, yaitu sunnah tasyri<‟iyyah dan sunnah ghairu tasyri<‟iyyah. Dan mereka pun mengakui adanya pemilahan tersebut.10

C. Implikasi Teori

Dari teori-teori yang dicetuskan oleh Syaltut ini terkait pembagian sunnah nabi yang bermuatan unsur tasyri<‟iyyah dan ghairu tasyri<‟iyyah, maka hal itu akan memberikan implikasi tersendiri khususnya bagi kalangan ulama yang telah memegang anggapan bahwa semua sunnah nabi bersifat tasyri<‟iyyah. Adanya klasifikasi tersebut dapat memberikan pencerahan dan

pemahaman bahwa memang tidak semua perbuatan atau ucapan nabi itu selalu berdaya hukum sehingga mewajibkan seluruh umat Islam untuk senantiasa mengikutinya dalam semua aspek kehidupan dan segala situasi atau kondisi. Hal ini mengingat bahwa rasul memiliki kedudukan yang bermacam-macam selama hidupnya, di samping nabi juga sebagai manusia biasa yang secara naluriah memiliki selera dan respon yang tidak terduga dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu sebagaimana manusia lainnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa tidak semua perbuatan Rasulullah bersifat ukhrawiyah, namun ada pula yang dunyawiyah.

10

(12)

Adanya pemilahan sunnah nabi ke dalam dua arah ini pun semestinya juga bermanfaat dalam menghindari pemaknaan hadis-hadis tertentu yang masih dipahami secara kaku. Misalnya saja terkait perdebatan tentang hadis adab makan nabi yang menurut Syaltut sebenarnya hal itu tidak perlu diperdebatkan. Sebab menurutnya hal itu merupakan kategori hajat hidup manusia, dan sunnah tidak merasa berkepentingan untuk lebih jauh membahasnya.11 Namun dalam pemilahan yang dilakukan oleh Syaltut di sini nampaknya masih dapat ditemukan beberapa poin kelemahan yang kemudian menarik munculnya permasalahan baru.

Permasalahan baru yang muncul dalam uraian Syaltut ini utamanya dapat dilihat dari contoh hadis yang ia cantumkan. Dalam contoh-contoh tersebut Syaltut sendiri tidak memberikan klasifikasi yang jelas apakah contoh yang diuraikannya tersebut termasuk dalam bagian sunnah tasyri<‟iyyah ataukah ghairu tasyri<‟iyyah. Penjelasannya pun lebih banyak

mencantumkan pendapat-pendapat dari para ulama sebelumnya, utamanya adalah kalangan para ulama fiqih. Namun dalam penjelasan tersebut Syaltut ternyata tidak turut mencantumkan hasil analisanya sendiri atau memberikan vonis apakah contoh tersebut termasuk dalam bagian sunnah tasyri<‟iyyah ataukah ghairu tasyri<‟iyyah. Uraian dalam sekian contoh yang ia cantumkan tersebut seolah hanya ingin memberikan ketegasan bahwa adanya pemisahan sunnah nabi menjadi dua arah yaitu sunnah tasyri<‟iyyah dan

ghairu tasyri<‟iyyah, yang berlaku secara umum atau tidak, sebenarnya

11

(13)

semua itu sudah ada sejak masa para ahli fiqih terdahulu. Jadi tidak seharusnya memahami semua sunnah nabi sebagai dasar penetapan syari‟at (tasyri‟) secara keseluruhan, terlebih lagi apabila sampai memaksakannya menjadi sebuah syari‟at yang bersifat mengikat.

Kelemahan lain dari teori pengklasifikasian yang dilakukan oleh Syaltut yaitu adanya kesulitan dalam memasukkan beberapa contoh sunnah nabi (hadis) untuk disesuaikan dengan kriteria yang ia jadikan pijakan dasar pemilahannya. Misalnya dalam permasalahan memasukkan contoh hadis yang berkaitan dengan persoalan makan dan minum sebagai bagian dari sunnah ghairu tasyri<‟iyyah. Padahal jelas bahwa terdapat beberapa hadis nabi yang berbicara tentang makan dan minum namun redaksinya berupa larangan yang kemudian berujung pada hukum pengharaman. Contohnya saja yaitu hadis tentang larangan makan dan minum menggunakan wadah yang terbuat dari emas, perak atau sejenisnya.12

Di samping persoalan makan dan minum, begitu pula terkait dengan permasalahan adat atau kebiasaan berpakaian. Apabila pakaian dimasukkan dalam bagian sunnah ghairu tasyri<‟iyyah tanpa ada penjelasan atau

pemilahan yang lebih mendetail lagi, maka hal ini bisa jadi akan turut berimplikasi pada kesalahan pemahaman terhadap semua hadis atau sunnah

12

Riwayat hadis tersebut adalah sebagai berikut:

َلاَق :َلاَق امُهْ نَع ُها َيِضَر ِناَمَيْلا ِنْب َةَفْ يَذُح ْنَع اَحِص ْيِف اْوُلُكْأَت َاَو ،ِةضِفْلاَو ِبَهذلا ِةَيِنآ ْيِف اْوُ بَرْشَت َا :َملَسَو ِهْيَلَع ها ىّلَص ها ُلوُسَر

اَه نِإَف ،اَمِهِف

.ِةَرِخآا يِف ْمُكَلَو ،اَيْ ندلا يِف ْمُهَل Artinya: “Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu „anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu

„alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kamu minum dengan gelas (yang terbuat) dari emas dan

perak, dan jangan pula kamu makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak, karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mer eka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di

(14)

nabi yang di dalamnya membahas tentang berpakaian dengan menggunakan redaksi larangan. Misalnya saja yaitu hadis tentang larangan bagi laki-laki menggunakan pakaian berbahan sutera.13 Di samping itu juga dapat berdampak pada pemahaman terhadap sunnah nabi yang di dalamnya bermuatan tentang hukum-hukum pemakaian jilbab ataupun pakaian yang menutup aurat bagi semua kaum perempuan. Sebab jilbab akan dipahami sebagai pakaian budaya dan tradisi orang arab. Sehingga apabila hal ini dimasukkan dalam ranah sunnah ghairu tasyri<‟iyyah maka dapat menimbulkan kesalahan pemahaman atau bahkan mematahkan dasar-dasar hukum menutup aurat yang sudah ada dan di dibangun oleh para ulama selama ini.

Pernyataan Syaltut berkaitan dengan klasifikasi sunnah ini pun pernah juga mendapat komentar dari salah satu muridnya yang juga memiliki keahlian di bidang hadis, yaitu Yusuf Al-Qardhawi<y. Menurut Qardhawi<y, klasifikasi yang dilakukan oleh Syaltut ini tidak atau belum memperhatikan terkait adanya macam-macam sunnah nabi dilihat dari segi penyampaiannya. Klasifikasian sunnah tersebut semestinya dibedakan antara yang fi‟liyyah

dengan yang qauliyyah.14 Sebab menurutnya jika sunnah itu disampaikan secara fi‟liyyah, maka ia tidak lebih dari sekedar menunjukkan sebagai anjuran dan tidak memuat kewajiban ataupun sunnah dalam mengerjakannya.

13

Riwayat hadis yang dimaksud tersebut adalah:

ملسو هيلع ها ىلص ِهللا ُلوُسَر َلاَق ُلوُقَ ي ِباطَخْلا َنْب َرَمُع ُتْعِمَس ىِنِإَف

َ ت َا ِةَرِخآا ىِف ُهْسَبْلَ ي ْمَل اَيْ ندلا ىِف ُهَسِبَل ْنَم ُهنِإَف َريِرَحْلا اوُسَبْل

Artinya: Sesungguhnya aku mendengar Umar bin Khattab berkata bahwa Rasulullah SAW telah

bersabda,” Janganlah kalian memakai sutera karena siapa yang mengenakannya di dunia, maka ia tidak mengenakannya di akhirat.” Lihat: Shahih Muslim Juz VI, Hadis No. 5531..., h. 140

14

(15)

Dalam hal ini ia memberikan contoh kasus makan dengan tangan yang disampaikan dengan tidak menunjukkan tujuan taqarrub kepada Allah SWT.15 Namun demikian apabila terdapat umat Islam yang kemudian berkenan untuk melakukannya dengan alasan kecintaannya terhadap segala sesuatu yang datang dari rasul, maka ia sudah mendapat pahala atas niat dan kemauan baiknya tersebut. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Umar yang karena besar kecintaannya terhadap rasul, ia melakukan segala sesuatu yang pernah dilakukan oleh rasul sekalipun itu tidak termasuk dalam muatan ibadah.16

Lain halnya dengan yang fi‟liyyah, apabila sunnah nabi itu disampaikan dalam bentuk qauliyyah maka menurut Qardhawi<y hal itu bisa menunjukkan sebuah anjuran, bisa juga sunnat apabila redaksinya perintah, atau juga makruh apabila redaksinya berupa larangan. Bisa pula berarti wajib apabila redaksinya berupa perintah dan haram apabila berupa larangan.17

15Ibid., h. 55

16

Ibn Umar adalah termasuk golongan sahabat yang besar cintanya kepada rasulullah. Karena saking besarnya kecintaan dan ta‟dhim itu ia sering kali melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh nabi. Bahkan meskipun itu berupa kebiasaan sehari-hari nabi dan tidak mengandung unsur ibadah serta tidak diperintahkan untuk menjalankannya. Pernah suatu ketika seorang sahabat yang lain melihatnya sedang shalat dengan kancing yang terbuka. Saat ditanya mengapa ia melakukan demikian, ia pun menjawab bahwa ia pernah melihat nabi melakukan demikian. Padahal bisa jadi pada saat itu nabi melakukannya karena bertepatan dengan keadaan musim panas sehingga nabi merasa kegerahan. Kemudian juga pada saat melakukan perjalanan ibadah haji, Ibn Umar pernah mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan yang menyertainya pun ikut beristirahat bersamanya. Para rombongan itu pun bertanya-tanya tentang apa yang akan diperbuat oleh Ibn Umar di tempat tersebut. Kemudian ternyata Ibn Umar pergi ke suatu tempat untuk membuang hajat (buang air kecil/besar). Saat ditanya ia menjawab bahwa hal itu pernah ia lihat dilakukan pula oleh Nabi pada saat perjalanan nabi ibadah haji sampai di tempat tersebut. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, dan Al-Qardhawiy mengupasnya secara lebih detail dan pembahasan yang jelas. Lihat: Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah

Non-Tasyri‟iyyah..., h. 248

17

(16)

Sedangkan untuk sunnah yang berupa taqrir, mengutip dari pernyataan Syaikh Muhammad Al-Ghazali bahwa segala sesuatu yang didiamkan oleh

syari‟at maka hal itu termasuk dalam hukum mubah (boleh) sehingga tidak

dihukumi sebagai sebuah keharusan ataupun larangan.18 Jadi dari sini dapat dikatakan bahwa analisis Syaltut dalam mengklasifikasikan sunnah nabi ke dalam bentuk tasyri<‟iyyah dan ghairu tasyri<‟iyyah ini seolah mengesampingkan adanya hukum taklifi yang lima yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Terlepas dari adanya komentar atau kealfaan dalam teori yang diusung oleh Syaltut ini, sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah agama yang dalam berbagai aspek ia memiliki etika dan tatakrama tersendiri yang mengacu pada tujuan agamis, moral, sosial, ekonomi dan politik yang tidak dapat diabaikan demi tercapainya kemaslahatan bagi segenap umat Islam.

18

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Data yang harus dibawa untuk diverifikasi adalah sesuai dengan form isian data kualifikasi (Dokumen Asli dan Copy) yang diupload oleh penyedia jasa atau data

Ada kerisauan khusus yang dibawa arus budaya global tatkala sebuah nilai – nilai, sistem, dan ilmu pengetahuan - teknologi hasil karya, cipta dan karsa manusia

Pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi kerja pendidik taman kanak- kanak di Kecamatan Sail Kota Pekanbaru banyak disebabkan oleh kemampuan pimpinan untuk

ODPD PHQHWDS GDUL ODQVLD GL 3DQWL 6RVLDO 7UHVQD :HUGKD 7HUDWDL .RWD 3DOHPEDQJ )DNWRU \DQJ EHUKXEXQJDQ WHUVHEXW DGDODK NHEXWXKDQ SULPHU OLQJNXQJDQ VRVLDO HNRQRPL DQDN

Hasil: Hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan penggunaan citrus aromaterapi terhadap ansietas pasien preoperasi bedah mayor di Rumah

Pidato menggunakan teknik menghafal, boleh ada pengembangan (tidak sesuai teks) tapi tidak melenceng dari isi teks.. Ketentuan Video Pidato