• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status kufur karena meninggalkan shalat: kajian ma'ani al hadith dalam kitab Sunan al Tirmidhi no indeks 2621.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status kufur karena meninggalkan shalat: kajian ma'ani al hadith dalam kitab Sunan al Tirmidhi no indeks 2621."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

KHAIRUL BARIYYAH NIM: E73213125

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Khairul Bariyyah, 2017. STATUS KUFUR KARENA MENINGGALKAN SHALAT (KAJIAN MA’ANI AL-HADI>TH DALAM KITAB SUNAN

AL-TIRMIDHI> NOMOR INDEKS 2621).

Kafirnya seseorang akibat meninggalkan shalat merupakan pemahaman yang terkandung dalam teks hadis tersebut, dimana lafaz} kufr yang menjadi persoalan, dianggap relevan dengan kondisi umat Islam sekarang yang banyak terlihat tidak mengerjakan shalat, entah karena kemalasan, kesengajaan, atau karena adanya uzur, sehingga pantas untuk dikaji kembali makna yang sebenarnya, karena menjadi kafir merupakan suatu perbuatan yang amat tercela, dan merupakan pelanggaran dengan dosa yang amat besar dalam Islam.

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang status kufur karena meninggalkan shalat dalam kitab

Sunan al-Tirmidhi no. indeks 2621. 2) bagaimana pemaknaan lafaz} kufr yang

tercakup dalam dalam kitab Sunan al-Tirmidhi no. indeks 2621.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan al-Tirmidhi dan dibantu dengan kitab standar lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhri>j, I’tibar, kritik sanad dan matan serta menerapkan kajian keilmuan Ma‘ani al-H{adi>th.

Adapun hasil dari penelitian ini bahwa hadis tentang status kufur karena meninggalkan shalat adalah s}ah}i>h} li ghairihi serta diriwayatkan oleh rawi yang sanadnya kesemuanya thiqah, serta sanadnya bersambung sampai Rasulullah SAW, dari segi matannya juga dapat dikatakan sahih karena terhindar dari

sudhu>dh dan ‘illa>t, tidak bertentangan dengan Alqur’an, tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Sehingga hadisnya dapat dijadikan hujjah. Sedangkan makna kufur yang tercakup dalam hadis adalah kufur yang tujuannya memberatkan saja, dan bukan menghukumi orang Islam sebagai orang kafir yang sesungguhnya.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL HALAMAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

TRANSLITERASI ... xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 13

E. Kegunaan Penelitian... 13

F. Penegasan Judul ... 14

G. Telaah Pustaka ... 15

(8)

I. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS A. Pengertian Hadis ... 20

B. Klasifikasi Hadis ... 21

C. Metodologi Kritik Hadis 1. Pengertian Kritik Hadis ... 25

2. Metodologi Kesahihan Sanad ... 27

3. Metodologi Kesahihan Matan ... 33

4. Takhri>j al-Hadi>th ... 34

5. Ilm al-jarh} wa al-ta’di>l ... 35

6. I’tibar ... 39

D. Teori Kehujjahan Hadis ... 43

E. Pemaknaan Hadis ... 48

BAB III : KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI< DAN HADIS TENTANG STATUS KUFUR KARENA MENINGGALKAN SHALAT A. Biografi Sunan al-Tirmidhi> ... 52

B. Kitab Sunan al-Tirmidhi> ... 57

C. Hadis Tentang Status Kufur Karena Meninggalkan Shalat ... 65

D. Skema Hadis dan I’tiba>r ... 68

(9)

BAB IV : ANALISA HADIS TENTANG STATUS KUFUR KARENA MENINGGALKAN SHALAT

A. Kualitas dan Kehujjahan Hadis ...77 B. Pemaknaan Hadis ...95 C. Implikasi Hadis ...105 BAB V : PENUTUP

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Shalat merupakan salah satu kewajiban yang dilaksanakan oleh setiap orang muslim. Shalat merupakan komunikasi antara hamba dan Tuhannya, perantara yang menghubungkan bumi dengan langit dan mengangkat orang-orang mukmin kepada Tuhannya.1

Menurut bahasa, shalat diartikan sebagai doa atau permohonan untuk mendapat kebajikan dan pujian. Sedangkan menurut syara‟, shalat diartikan sebagai beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, serta dilakukan dengan keadaan beribadah kepada Allah SWT melalui syarat yang ditentukan.2

Ahlul Haqiqah men-ta’rif-kan, bahwa shalat itu adalah menghadapkan hati kepada Allah SWT dengan cara yang dapat mendatangkan rasa takut kepada-Nya, serta menumbuhkan dalam hatinya rasa keagungan Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.3

Pelaksanaan shalat melibatkan beberapa gerakan anggota badan. Itulah shalat jasmani yang umunya dikerjakan oleh umat Islam. Shalat jasmani atau shalat fardhu dikerjakan dengan waktu yeng telah ditetapkan oleh Allah SWT dan berhukum wajib (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim.

1

Muhammad Abdullah Al-Khatib, Mengapa Aku Harus Segera Shalat? terj. Muhammad Suhadi (Surakarta: Shahih, 2012), 36.

2

Muhammad Mawaidi, Sudah Shalat, Kok Tetap Maksiat? (Yogyakarta: Diva Press, 2015), 12.

3

(11)

Kewajiban mengerjakan shalat sehari semalam tersebut diterima Nabi ketika peristiwa I‟sraj dan mi‟raj. Menurut sejarah, isra‟ dan mi‟raj Nabi Muhammad SAW terjadi pada tahun ke-12 dari kerasulannya tepatnya pada tahun 672M.4 Ketika peristiwa isra‟ mi‟raj itu terjadi, agama Islam sudah berumur 11 tahun

lebih dan pengikutnya pun sudah beratus jumlahnya. Ada yang tinggal menetap di Mekkah, ada yang tinggal di Ethiopia dan ada juga di tempat lainnya.5

Peristiwa isra‟ dan mi‟raj merupakan titik tolak dari shalat dan para Nabi terdahulu, yang hanya dikerjakan pagi dan sore hari menjadi lima kali sehari semalam. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

ْسَِْا َةَلْ يَل َِمُا ىَلَع ُها َضَرَ ف :ْمَلَسَو ِهْيَلَع ُها َلَص ِها ُلوُسَر َلاَق

ْمَلَ ف ًة َاَص َْنِسََْ ِءاَر

ُهُعِجاَرُا ْلَزَا

َفْيِفْخَتلا ُهُلَاْسَاَو

ٍةَلْ يَل َو ٍمْوَ ي ِلُك ِف اًسََْ اَهَلَعَج ََح

.

6

Rasulullah SAW bersabda, “ Allah mewajibkan atas umatku di malam isra‟ mi‟raj 50 kali shalat, maka tidak henti-hentinya aku memohon keringanan kepada-Nya sehingga menjadilah shalat itu 5 kali setiap sehari semalam”.

Oleh karena itu, shalat fardhu berada pada posisi kedua yang juga menjadi syarat bagi sesorang yang ingin masuk Islam.7 Shalat fardhu mempunyai lima ketentuan waktu dalam sehari semalam, terdiri atas shalat zuhur, „ashar, maghrib, isha‟ dan subuh. Bagi seseorang yang mengerjakan shalat fardhu, Allah SWT menjamin kehidupan dan memasukkannya ke surga. Sebab, seseorang yang mengerjakan shalat akan terhindar dari perbuatan maksiat (keji dan mungkar). Hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

4

Abu Ahmadi, Mutiara Isra’ Mi’raj (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 6. 5

Ibid., 9. 6

Ibid., 112. 7

(12)

ُا ْت

ُل

َم ُاا

َاَو ِباَتِكْلا َنِم َكْيَلِا َىِحو

ِق ِم

َصلا

َا

َة

ۖ

ىهْنَ ت َةَاَصلا َنِا

ۖ

َرَكْنُمْلاَو ِءاَشْحَفْلا ِنَع

ۖ

ِذَلَو

ْك

ُر

ِها

َا

ْك

ر

ۗ

َو

ُها

َ ي ْع

َل ُم

َم َتا

ْص َ ن

ُع ْو

َن

.

8

Sesungguhnya, shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. (QS. Al-„Ankabut[29]:45).

Shalat fardhu yang wajib tersebut mempunyai waktu-waktu tertentu dalam melaksanakannya, yaitu:

1. Zuhur, waktu zuhur dimulai dengan condongnya matahari dari pertengahan langit kea rah barat—yang disebut waktu zawal— dimana orang dapat melihat bayang-bayang pendek yang mulai memanjang ke arah timur—yang disebut bayang-bayang zawal—. Waktu zuhur ini berlangsung sampai saat panjang bayang-bayang sesuatu sama dengannya, ditambah bayang-bayang Zawal yang merupakan tanda mulai masuknya waktu zuhur.9 Rasulullah SAW bersabda:

َو ْق

ُت

ظلا

ْه ِر

ِا

َذ َزا

َلا

ِت

َشلا

ْم

ُس

َو َك

َنا

ِظ

ل

َرلا

ُج

ِل

َك

ُط ْو

ِل ِه

َم

ََْا

َْي

ُض

ِر

ُرْصَعْلا

. 10

waktu zuhur adalah apabila matahari telah condong, dan (berlangsung sampai saat) bayang-bayang seseorang sepanjang tubuhnya, yakni selagi waktu „ashar belum tiba.

2. Ashar, waktu ashar mulai masuk dengan berakhirnya waktu zuhur, dan berlangsung sampai terbenamnya matahari. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW:

8

Mawaidi, Sudah Shalat, 7. 9

Mustofa Sayani, Shalat Sebagai Penebus Dosa, (Jakarta: Hi-Fest Publishing, 2008), 13 10

(13)

َرْصَعْلا َكَرْدَا ْدَقَ ف ُسْمَشلا َبُرْغَ ت ْنَا َلْبَ ق ِرْصَعْلا َنِم ًةَعْكَر َكَرْدَا ْنَم

.

11

Barangsiapa dapat mengejar satu rakaat dari shalat ashar sebelum terbenamnya matahari, maka berarti dia telah dapat mengejar shalat ashar seluruhnya.

Akan tetapi, untuk memperoleh waktu ikhtiar (leluasa), hendaklah seseorang tidak menangguhkan shalat ashar sampai melampaui saat bayang-bayang sesuatu sepanjang dua kali lipatnya, ditambah bayang-bayang-bayang-bayang zawal. Dikarenakan adanya hadis mengenai waktu tersebut di atas, dan juga karena Nabi SAW bersabda:12

َم ِرْصَعْلا ُتْقَوَو

ُسْمَشلا َرَفْصَت ََْا

dan waktu ahar adalah selagi matahari belum menguning.

3. Maghrib, waktu maghrib dimulai dengan terbenamnya matahari, dan berlangsung sampai hilangnya mega merah tanpa meninggalkan bekas lagi di arah barat. Mega merah yang dimaksud ialah sisa-sisa dari bekas cahaya matahri yang Nampak dari cakrawala sebelah timur ketika terbenamnya matahari, yang selanjutnya diganti oleh kegelapan sehingga hilang sedikit demi sedikit. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, berikut ini:

ِةَاَص ُتْقَوَو

ُقَفَشلا ِبِغَي ََْاَم ِبِرْغَمْلا

.

13

dan waktu maghrib adalah selagi mega merah belum lenyap.

4. Isya, waktu isya mulai dengan berkahirnya waktu maghrib, dan berlangsungnya sampai terbitnya fajar shadiq. Tetapi waktunya yang leluasa

11 Ibid. 12

Sayani, Shalat Sebagai, 14. 13

(14)

(ikhtiar), hendaklah jangan sampai melampaui sepertiga malam yang pertama. Fajar shadiq adalah cahaya yang tersebar di sepanjang cakrawala timur, yang merupakan pantulan cahaya matahari yang datang dari jauh. Selanjutnya, cahaya ini meratai langit sedikit demi sedikit, sampai akhirnya memenuhinya dengan terbitnya matahari.14

5. Subuh, waktu subuh masuk apabila Nampak fajar shadiq, dan berlangsung sampai terbit matahari. Rasulullah SAW bersabda:

ْجفْلا ِعْوُلُط ْنِم ِحْب صلا ِة َاَصلا ُتْقَوَو

ِر

َم

ََْا

َت

ْط ُل

ِع

َشلا

ْم

ُس

.

15

waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya fajar (dan berlangsung) selagi matahari belum terbit.

Selain waktu shalat fardhu yang lima, maka ada waktu-waktu yang memang dimakruhkan untuk melaksanakan shalat, yaitu:

1. Pada waktu istiwa’ (pas tengah hari), kecuali di hari jumat,

2. Sesudah shalat subuh sampai matahari naik setinggi tombak menurut penglihatan.

3. Sesudah shalat ashar sampai terbenamnya matahari.16

Selain ketentuan waktu untuk melaksanakan shalat fardhu yang lima, kewajiban melaksanakan shalat juga sudah dilakukan jauh ketika Nabi Muhammad masih hidup, hingga kepada pengikut seterusnya. Kewajiban shalat lima waktu berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti puasa, zakat dan haji,

14

Ibid., 16. 15

Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadis 3: Shahih Muslim 1, ed. Nanang Ni‟amurrahman, dkk (Jakarta: Almahira, 2012), 279 16

(15)

karena perintah shalat diterima Nabi SAW langsung dari hadrat Allah SWT.17 Dijelaskan pula dalam al-Qur‟an Surat Al-Hajj ayat 77,

َبَر اوُدُبْعاَو اوُدُجْساَو اوُعَكْراوُنَما ِنْيِذَلا اَه يَا َاَي

َنْوُحِلْفُ ت ْمُكَلَعَل َرْ يَْْا اوُلَعْ فاَو مُك

.

18

Hai orang-orang yang beriman, ruku‟lah dan sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.

Shalat menjadi suatu hal yang membedakan antara seorang muslim dengan agama lainnya, dengan shalat seorang muslim akan selalu mengingat sang Pencipta. Sebagaimana yang terdapat dalam Surat Thaha ayat 14:

يِرْكِذِل َةَاَصلا ِمِقَاَو ِنْدُبْعاَف اَنَا ََِا َهلِا ََ ُهاَنَا ِنَنِا

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.

Kata Shalat juga memiliki akar kata shi>lah yang bermakna “hubungan”. Contohnya, “shi>lah al-rahi>m” bermakna “silaturahmi” atau “hubungan kasih sayang”, dalam kaitannya dengan kata Shi>lah ini, shalat bermakna medium hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan kata lain shalat merupakan mi‟raj nya orang-orang beriman.19

Pentingnya kewajiban shalat sehingga menjadikan beban pertama oleh Allah SWT ketika hari kiamat atas hamba-hambaNya sebagai ibadah sekaligus do‟a. Shalat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Bahkan disisi

17

Idrus Hasan, Risalah Shalat: Dilengkapi dengan Dalil-dalilnya (Surabaya: CV Karya Utama, t.t.), 56.

18

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2006), 474.

19

(16)

Allah, shalat memiliki kedudukan yang agung dan mulia. Shalat juga merupakan amal manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat.

Menegakkan shalat berarti melaksanakan shalat dengan disertai kesadaran dimensi eksoteris (shalat lahiriyah) dan dimensi esoteris (shalat batiniyah). Shalat yang ditegakkan dengan dimensi lahir dan batin akan melahirkan sebuah energi positif yang mampu menciptakan perubahan individual sosial.20

Idealnya shalat dapat membuat pelaksananya hingga mampu berkomunikasi dan berdialog langsung dengan Allah SWT. Revolusi mental-spiritual dan moral melalui shalat itu menuntut kekhusukan hati dan pikiran, sekaligus menghendaki komitmen suci untuk menjadi shalat sebagai solusi kehidupan. Sebagaimana dalam Surat al-Baqarah ayat 45.

َلَصلاَو ِْرَصلاِب اوًنْ يِعَتْساَو

َْنِعِسَْْا ىَلَع ََِا ٌةِِْْبَكَل اَهَ نِاَو ِةو

.

21

Dan mohonlah ampun pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusuk.

Betapa pentingnya shalat hingga Alquran berkali-kali memerintah untuk mendirikan shalat. Alquran menyandingkan shalat sebagai kebaikan dan kebahagiaan. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 277:

20

Muhsin Qiraati, Tafsir Shalat (Bogor: Cahaya, 2004), dalam Pengantar hal. 5 21

(17)

َنْيِذَلا َنِا

َا

ُلِمَعَو اوُنَم

َا َو َةَاَصلا وُماَقَاَو ِتاَِحاَصلا او

ْمِهْيَلَع ٌفْوَخ َََو ْمِِبَر َدْنِع ْمُُرْجَا ْمَُل َةاَكَزلا اوُت

َنْوُ نَزَْي ْمُ َََو

. 22

Sesungguhnya orang-orang yang beriman (kepada Allah dan para rasul-Nya dan apa-apa yang mereka bawa) dan mengerjakannya amal saleh, mendirikan salat dan mengeluarkan zakat, bagi mereka (disediakan) pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan (menimpa) atas mereka (terhadap hal-hal yang akan datang) dan tidak pula mereka bersedih (terhadap apa-apa yang sudah lalu).

Shalat bukan semata-mata gerakan-gerakan jasmaniyah yang biasanya dilakukan oleh orang yang shalat, seperti qira>ah (membaca surat al-fa>tih}ah dan surat lainnya), rukuk, sujud, dan zikir. Tetapi shalat yang hakiki merupakan simbol ketundukan seseorang pada printah Allah SWT, serta persiapan untuk menjalankan semua perintah dan syariat-Nya.23

Sehingga ajaran Islam memerintahkan umatnya agar selalu melaksanakan shalat di manapun dan kapan pun, di tengah perjalanan dan dalam situasi menakutkan sekalipun, terlebih lagi sedang dalam keadaan aman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 238-239:

َا اَذِاَف اَناَبْكُرْوَا ًَاَجِرَف ْمُتْفِخ ْنِاَف ,َْنِتِنَق ِهلِل اوُموُقَو ىَطْسُوْلا ِتوَلَصلا ىَلَع اْوُظِفَح

َم ْن ُت

ْم

َف

ْذا

ُك ُر

َك ه او

َم ا

َع َل

َم ُك

ْم

َم

ََْا

َت

ُك

ُنو

َ ت او

ْع َل

ُم ْو

َن

.

24

Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), shalatlah sambil berjalan atau

22

Hasan, Risalah Shalat, 58. 23

Irwan Kurniawan, The Miracle of Shalat, cet. II (Bandung: Marja, 2015), 81. 24

Syaikh Jalal Muhammad Syafi‟I, The Power Of Shalat (Bandung: MQ Publishing,

(18)

berkendaraan. Kemudian, apabila kamu telah aman maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Pentingnya shalat sehingga tidak diperbolehkan seorang muslim untuk tidak mengerjakannya atau bahkan meninggalkannya. Agama-agama sebelum Islam pun sangat menekankan pada pelaksanaan shalat, meskipun pada waktu yang sangat sulit seperti waktu peperangan. Nabi Ibrahim tercatat selalu memohon kepada Allah agar dirinya dan anak cucunya dijadikan orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. Sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah surat Ibrahim ayat 40.

ِءاَعُد ْلَبَقَ تَو اَنَ بَر , َِيِرُذ ْنِمَو ِةَاَصلا َمْيِقُم ِنْلَعْجا ِبَر

.

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

Shalat ibarat kotak yang terkunci dan tertutup rapat, tidak akan ada yang bisa membukanya, kecuali dengan sebuah kunci khusus, yaitu totalitas hati dan raga untuk bertemu dengan-Nya dan berpaling dari segala sesuatu selain Dia.25 Shalat harus dilakukan secara sempurna, karena dengan begitu dapat menghindarkan pelakunya dari perbuatan maksiat. Dalam hal ini, kata sempurna berarti melaksanakan segala syarat sah dan rukun shalat secara tepat dan ikhlas, termasuk wudhu‟ (bersuci). Bersuci merupakan perbuatan membebaskan diri dari cela

25

(19)

(maksiat). Dengan kata lain perbuatan tercela dilakukan oleh seseorang yang tidak menyucikan dirinya. 26

Perbuatan tercela akan berdampak negatif bagi pelakunya dan orang lain, misalnya menjadikan seseorang bersifat munafik dan kufur, dan beberapa perbuatan tercela yang dapat memunculkan kedua sifat tersebut diantaranya berbohong, sombong dan mungkar.27

Tidak ada alasan bagi orang yang telah dibebani kewajiban shalat untuk menunda-nunda mengerjakannya, kecuali orang yang tidur, lupa, ud}ur (halangan), karena safar (bepergian) atau karena hujan. Mereka boleh mengakhirkan shalat dengan niat jamak.28 Sehingga dengan adanya shalat, maka segala hal-hal negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain tidak akan terjadi.

Selain dari pentingnya shalat, kehadiran ilmu dalam shalat, Allah SWT juga mengecam orang-orang yang meremehkan shalat. Mereka diancam dengan siksa neraka wail. Hal ini telah dijelaskan dalam Alquran surat Maryam ayat 59.

ْوُعِبَتاَو َةوَلَصلا اوُعاَضَا ٌفْلَخ ْمِِدْعَ ب ْنم ِ َفَلَخَف

يَغ َنْوَقْلَ ي َفْوَسَف , ِتَوَهَشلا ا

ا

Maka, datanglah setelah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka, kelak mereka akan menemui kesesatan.

Bukan malah mendapatkan pahala, meninggalkan shalat bukan hanya mendapat dosa besar akan tetapi berakibat dibunuh. Sebagaimana Sabda Nabi SAW:

26

Mawaidi, Sudah Shalat, 15. 27

Ibid. 28

(20)

َع ِن

ْبا

ِن

ُع

َم َر

َا

َن

َنلا

َِب

َص

َل

ُها

َع َل

ْي ِه

َو َس

َل ْم

َق

َلا

ُا :

ِم ْر

ُت

َا

ْن

ُا َق

ِتا

َل

َنلا

َسا

َح

َ

َي

ْش

َه ُد

او

َا ْن

آ ِا

َل َه

ِا

ََ

,ها

َو َا َن

ََُ

ّم ًد

ا َر

ُس

ُلو

َو ,ها

ُي ِق

ُمي

َصلا او

َا َة

َو ُ ي

ْؤ ُت

َزلا و

َك

َةا

َف ,

ِا َذ

َ ف ا

َع ُل

َذ او

ِل

َك

َع

َص

ُم

ِم او

ِن

ِد

َم َءا

ُ ْم

َو َا

ْم َو

َُلا

ْم ِا

ََ

َِب

ِق

َِْا

ْس

َا

ِم

َو ,

ِح

َس

ُ با ُه

ْم

َع َل

ِها ى

َع

َز

َو َج

َل

.

29

Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Aku diperintahkan untuk

memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu, maka darah dan harta mereka terpelihara dari (pemerangan)ku kecuali yang berkaitan dengan hak Islam, kemudian hisab (perhitungan amal) mereka diserahkan kepada Allah.”

Selain itu hadis Nabi menjelaskan pula bagi orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Sabda Nabi SAW:

َح

َد َ ث

َن

َا ا

ُب

َع و

َم

ُحا را

َس

ْن

ْب

ُح ن

َر ْي

ُث

َو ُي

ُسو

ْب ف

ِع ن

َسي

َق ى

ََا

َح :

َد َ ث

َن

َفلا ا

ْض

ْب ل

ِن

ُم

َسو

ُحا ِنَع ى

َس

ْن

ْب

َو ن

ِقا

َو .ح :ٍد

َح

َد َ ث

َن

َا ا

ُب

َعو

ّم َا

ُحا ر

َس

ْن

ْب

ِن

ُح َر

ْي

ُث

َو

ََ

ُم

ْب دو

ِن

َغ

ْي َا

َاق َن

ََ

َح :

َد َ ث

َن

َع ا

ِل

ي

ُنْب

ُحا

ْنَس

ْب

َو ُن

ِقا

َع ٍد

ْن

َا ِب ْي

َق ِه

َلا

َو .ح :

َح

َد َ ث

َن

ََ ا

ُم

ْب د

ُن

َع

ِيل

ْب

َحا ن

َس

َشلا ِن

ِق

ِيقي

َو

ََْ

ُم

دو

ْب

َغ ُن

ْي َا

َق ن

ََا

:

َح

َد َ ث

َن

َع ا

ِل

ْب ي

َْحا ن

َس

ْب ِن

ن

َش ِق

َع ٍقي

ِن

ُحا

َس

ِْن

ْب

َو ِن

ِقا

َع ٍد

َع ن

ْب ُد

ِها

ْب

ُن

َةَدْيَرُ ب

َع

ْن

َا ِب ْي

ِه

َلاَق

:

َق

َلا

َلوُسَر

ْمَلَسَو ِهْيَلَع ها يَلَص ها

:

.َرَفَك ْدَقَ ف اَهَكَرَ ت ْنَمَف ,ُةَاَصلَا ْمُهَ نْ يَ بَو اَنَ نْ يَ ب يِذَلا ُدْهَعْلَا

30

Dari Abu „Ammar al-Husain ibn Huraits dan Yusuf ibn Isa menyampaikan kepada kami dari al-Fadhl ibn Musa, dari al-Husain ibn Waqid; dalam sanad lain, Abu Ammar al-Husain ibn Huraits dan Mahmud ibn Ghailan menyampaikan kepada kami dari „Ali ibn al-Husain ibn Waqid, dari ayahnya; dalam sanad lain, Muhammad ibn „Ali ibn al-Hasan asy-Syaqiqi dan Mahmud ibn Ghailan menyampaikan kepada kami dari „Ali ibn al-Husain ibn Syaqiq, dari al-al-Husain ibn Waqid, dari „Abdullah ibn Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda, “perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah kafir.”

29Imam Asy-Syaukani

, Ringkasan Nailul Authar, terj. Syaikh Faishal bin Abdul Aziz

Alu Mubarak, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), 251. 30

(21)

Hadis di atas telah menjelaskan bahwa seseorang yang meninggalkan shalat adalah kufur dan pelakunya dicap kafir. Jika hal tersebut dikaitkan dengan konteks kekinian, dimana pada zaman modern sangat banyak terlihat manusia sibuk bekerja dan terlihat tidak mengerjakan shalat, entah karena kemalasaan atau bahkan tidak punya waktu luang. Bukan hanya itu saja, bagaimana dengan para pekerja-pekerja buruh yang memakai waktunya selama 12 jam bahkan lebih untuk bekerja, dan para penjaga toko-toko, dan para pekerja mall? yang mana mereka dituntut untuk bekerja secara profesional. Meninggalkan shalat dengan sengaja atau tidak sengaja apakah langsung di cap pelakunya sebagai kafir?

Terlebih-lebih zaman modern saat ini banyak sekali kegiatan-kegiatan sosial, masyarakat bahkan kegiatan kemahasiswaan yang menghabiskan banyak waktu, memungkin saja mereka meninggalkan shalat karena hal tersebut.

Oleh karena itu, karya ilmiah tentang kufur karena meninggalkan shalat pada kitab Sunan Al-Tirmidhi>, No. Indeks 2621 ini perlu ditinjau kembali kualitas hadis yang dikatakan oleh Imam al-Tirmidhi dan perlu dicari kebenaran arti kufur tersebut.

B. Identifikasi Masalah

(22)

shalat yang terdapat pada kitab Sunan Al-Tirmidhi>, serta aplikasi hadisnya di masa sekarang.

C. Rumusan Masalah

Dari pembahasan di atas, dapat merumuskan masalah menjadi tiga, yaitu: 1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang status kufur karena

meninggalkan shalat dalam hadis Sunan Al-Tirmidhi>, No. Indeks 2621? 2. Bagaimana makna status kufur karena meninggalkan shalat dalam hadis

Sunan Al-Tirmidhi>, No. Indeks 2621?

3. Bagaimana implikasi hadis tentang status kufur karena meninggalkan shalat dalam hadis Sunan Al-Tirmidhi>, No. Indeks 2621?

D. Tujuan Masalah

1. Untuk memahami kualitas dan kehujjahan hadis tentang status kufur karena meninggalkan shalat dalam hadis Sunan Al-Tirmidhi>, No. Indeks 2621.

2. Untuk memahami makna status kufur karena meninggalkan shalat dalam hadis Sunan Al-Tirmidhi> No. Indeks 2621.

3. Untuk memahami implikasi hadis tentang status kufur karena meninggalkan shalat dalam hadis Sunan Al-Tirmidhi>, No. Indeks 2621.

E. Kegunaan Penelitian

Beberapa hasil yang didapatkan dari studi ini diharapkan akan bermanfaat sekurang-kurangnya untuk hal-hal sebagai berikut:

(23)

hadis tentang kafirnya seseorang yang meninggalkan shalat melalui pendekatan metodologis-fenomenologis.

2. Secara praktis, manfaat penelitian ini diharapkan agar mendapat kepastian terkait tentang status kufur karena meninggalkan shalat tersebut untuk dapat dijadikan landasan atau pedoman dalam beramal bagi semua kalangan beserta aplikasi pada problematika yang terjadi.

F. Penegasan Judul

Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman, maka sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

Kufur : tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya.

Diartikan pula ingkar dan tidak bersyukur kepada nikmat yang dilimpahkan Allah.31

Shalat : rukun Islam kedua, berupa ibadah wajib kepada Allah SWT sehingga wajib dilakukan oleh setiap muslim, mukalaf, dengan syarat, rukun dan bacaan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.32

Kitab Sunan al-Tirmidhi> : Imam al-Tirmidhi>, Vol.4, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.,

No 2621.

31

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 608.

32

(24)

Ma’ani al-Hadi>th :Ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan memahami hadis Nabi Muhammad SAW.33 G. Telaah Pustaka

Karya ilmiah ini tidak satupun yang membahas tentang status kufur karena meninggalkan shalat dalam Sunan Al-Tirmidhi>, namun ada beberapa karya yang membahas tentang meninggalkan shalat namun dengan objek yang berbeda. 1. Hadis-Hadis Tentang Memukul Anak Yang Meninggalkan Shalat. Oleh

Syamsul Arifin, Fakultas Ushuluddin UIN SUKA tahun 2004.

2. Perselisihan Karena Suami Sering Meninggalkan Shalat Lima Waktu Sebagai Alasan Cerai Gugat” oleh Elliyati, Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2004. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang suami meninggalkan shalat yang mengakibatkan hilangnya keharmonisan dalam rumah tangga, akibat tersebut berdampak buruk terhadap pernikahan, sehingga istri mencerai gugat suami karena hal tersebut.

3. Studi Komparatif Antara Pemikiran Syeikh Abdu Al Aziz Bin Baz Dan Syaikh Muhammad Mutawalli Al Sya’rawi Mengenai Batalnya Akad Nikah Karena

Meninggalkan Shalat” oleh Syamsudin, Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2012.

Berdasarkan telaah pustaka di atas, maka penelitian skripsi ini jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya.

33

(25)

H. Metode Penelitian

Sebuah penelitian ilmiah wajib adanya metode tertentu untuk menjelaskan objek yang menjadi kajian. Agar mendapatkan hasil yang tepat sesuai rumusan masalahnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk membatasi gerak dan batasan dalam pembahasan ini agar tepat sasaran.34 Secara terperinci metode penelitian digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan kualitatif untuk mendapatkan data yang komprehensif tentang kedudukan, fungsi dan peranan kufur karena meninggalkan shalat dalam pemaknaan hadis dan menggunakan metode research library (penelitian kepustakaan) dan kajiannya disuguhkan secara deskriptif analitis.

2. Metode penelitian

a. Takhri>j al-h}adi>s, yaitu meneliti keberadaan hadis dalam kitab-kitab yang mu’tabarah.

b. Kritik sanad hadis, yaitu meneliti para perawi dengan cara mengetahui sejarah hidup perawi yang terdapat dalam sebuah sanad, baik itu kehidupan, sepak terjang, serta para guru dan muridnya.

c. Kritik matan hadis, yaitu metode yang digunakan untuk melakukan penelitian pada sebuah matan hadis.

34

(26)

d. Metode jarh} dan ta’di>l, yaitu metode untuk menkritisi para perawi dalam sebuah sanad, sehingga dapat diketahui sifat dan perilaku masing-masing perawi hadis.

e. Metode Ma’ani> al-H{adi>s, yaitu metode yang digunakan dalam rangka memahami maksud dan tujuan yang terkandung dalam teks sebuah hadis. 3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua klasifikasi, antara lain:

a. Sumber data primer

1) Kitab SunanAl-Tirmidhi>

2) Kitab Tuh}fatu al-Ah}waziBisharh{ Ja>mi’ Al-Tirmidhi> b. Sumber data sekunder

1) Kutu>b al-Tis’ah (Kitab-kitab hadis yang enam)

2) Tah}dhi>but Tah}dhi>b karya Ibnu Hajar al-Asqolani 3) Us}u>l al-H{adi>th karya M. Ajjaj al-Khatib

4) Kitab Tah}dhi>b al-Kamal karya Imam Abi Mahasin Syamsudin Muhammad bin Ali al-Husaini

5) Al-Mu’jam al-Mufah}ros li alfa>z} al-Nabawi karya A.J Wensinck

6) Metodologi penelitian hadis dan kaidah kesahihan sanad hadis karya M. Syuhudi Ismail

(27)

4. Metode Pengumpulan data

Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik penumpulan data, yaitu: Takhri>j al-H{adi>s dan I’tiba>r

al-H{adi>s.

5. Metode Analisis Data

Dalam penelitian sanad digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan kelimuan Tari>kh al-Ruwa>h dari al-Jarh} wa al-ta’di>l. Serta mencermati silsilah guru-guru dan murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tah}amulwa al-ada>’).

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat keseuaian hadis dengan penegasan eksplisit Alquran, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis lain yang bermutu shahih.

I. Sistematika Pembahasan

Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka penelitian perlu menyajikan sistematika penulisan. Sehingga dengan sistematika yang jelas hasil penelitian ini yang berjudul status kufur karena meninggalkan shalat ini lebih baik dan terarah seperti yang diharapkan. Adapaun sistematika karya ini sebagai berikut:

(28)

Bab dua menjelaskan Landasan Teori atau Ilmu Hadis yang meliputi: teori kualitas dan kehujjahan hadis, kritik hadis dan pemaknaan hadis

Bab tiga menjelaskan data hadis Sunan Al-Tirmidhi> yang meliputi: biografi

Sunan Al-Tirmidhi>, kitab-kitab Sunan Al-Tirmidhi>, data hadis tentang status kufur karena meninggalkan shalat dalam Kitab Sunan Al-Tirmidhi, I’tibar serta skema sanad, dan syarah hadis.

Bab empat menjelaskan analisa hadis yang meliputi: Otentitas hadis dari matan dan sanad, kehujjahan hadis, pemaknaan hadis dan disertai dengan aplikasi hadis.

(29)

BAB II

METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS

A. Pengertian Hadis

Hadis atau al-H{adi>th menurut bahasa, berarti al-Jadi>d (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-Qadi>m (sesuatu yang lama). Kata hadis juga berarti al-Kha>bar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Jamaknya ialah al-Ah}adi>th.1

Pada masa Jahiliyah, ucapan al-H{adi>th bermakna khabar sudah sangat terkenal, yaitu ketika menyebutkan al-Ayya>m mereka dengan nama al-H{adi>th. Kemudian penggunaan kata al-H{adi>th semakin luas adalah sesudah wafatnya Rasulullah, yaitu berupa perkataan, perbuatan, serta apa yang diterima dari Rasulullah.2

Dengan pengertian tersebut, para ulama‟ hadis dan ulama‟ ushul berbeda

dalam mengartikan kata hadis. Ulama‟ hadis cenderung mengartikan kata hadis yaitu segala sesuatu yang menyangkut perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya Nabi.3 Sedangkan ulama‟ ushul mengartikan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun

1

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Al-Muna, 2010), 1; Muhammad al-Sabbag, al-Hadi>th al-nabawi;Mustalah}u al-Balagatu al-‘Ulumuh al-Kutubuh (Riyad: Manshurat al-Maktab al-Islami, 1972 M/1392H), 13.

2

Abu Azam Al-Hadi, Studi al-Hadith (Jember: Pena Salsabila, 2015), 1; Abd.al-Halim Mahmud, Al-Ijtiha>d al-Fiqhiyah ‘Inda Muhaddithi>n (t.k.: Maktabah al-Khanaji, 1980), 2. Lihat Juga M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 192.

3

(30)

ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.4

Sehingga dengan penjelasan tersebut, diartikan bahwa secara istilah hadis adalah berupa ucapan, perbuatan, pengakuan, sifat fisik, dan akhlak beliau. Kadang-kadang yang dimaksud dengan al-hadis segala sesutau yang disandarkan kepada sahabat atau tabi‟in. Namun apabila yang dimaksud selain Nabi SAW

pada umumnya diberi penjelasan. B. Klasifikasi Hadis

Hadis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Segi Kuantitas

Segi kuantitas hadis terbagi menjadi tiga, yaitu Mutawa>tir, Mashhu>r dan

Ah}ad. Akan tetapi ada yang membaginya menjadi dua, yakni Mutawa>tir dan

Aha>d, sedangkan hadis mashhu>r tersebut digolongkan kedalam hadis Ahad.

a. H{adi>th Mutawa>tir

Hadis mutawatir secara bahasa berarti muttabi’ yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.5 Secara istilah h}adi>th mutawa>tir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak didasarkan panca indera (dilihat atau didengar) yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk

4

Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013), 4.

(31)

berdusta atau berbohong dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir.6

Ada perbedaan pendapat tentang jumlah rawi yang diperlukan untuk memenuhi standart tersebut, namun sebagian ahli menentukan minimal tujuh orang, ada pula empat puluh, tujuh puluh dan jumlah yang lebih besar lagi.7

b. H{adi>th Ah}ad

H{adi>th Ah}ad secara bahasa berarti al-wa>h}id atau satu. Sedangkan menurut istilah yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawa>tir atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian z}anni> dan tidak sampai kepada qath’i dan yaqin.8 H{adi>th Ah}ad tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu:

1) H{adi>th mashhu>r, adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau

lebih, namun belum mencapai tingkatan h}adi>th mutawa>tir.

2) H{adi>th ‘azi>s, adalah hadis yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua jalur rawi pada semua tingkatan sanadnya.

3) H{adi>th ghari>b, adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkan.

6

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), 146 7

Fazlur Rahman, dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogya: PT Tiara Wacana, 2002), 103.

8

(32)

2. Segi Kualitas, yakni diterima atau ditolaknya suatu hadis terbagi menjadi dua, yaitu:

a. H{adi>th Maqbu>l

H{adi>th maqbu>l adalah hadis-hadis yang bisa diterima dan bisa dijadikan hujjah. Hadis ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1) H{adi>th S{ah}i>h, yaitu hadis yang bersambung sanadnya, dengan

periwayatan perawi yang adil dan dhabit dari perawi pertama sampai perawi terakhir, tidak mengandung shadh dan ‘illat.9

Berdasarkan definisi di atas, syarat-syarat hadis sahih adalah: a) Sanadnya bersambung

b) Diriwayatkan oleh perawi adil

c) D{abi>t}

d) Tidak mengandung cacat (‘Illat) e) Matannya tidak janggal (sha>dh)

Para ulama membagi hadis sahih menjadi dua macam, yaitu: a) S{ah}i>h} li Dha>tihi adalah hadis s}ah}i>h} yang memiliki lima syarat atau

kriteria sebagaimana disebutkan pada persyaratan di atas. Dengan demikian, penyebutan hadis s}ah}i>h} li dha>tihi dalam pemakaiannya sehari-hari, pada dasarnya cukup dengan memakai hadis sahih, tanpa harus member tambahan li dha>tihi.10

9 Muhammad ‘Alawwi‘Abbas al-Maliki al-H{asani, al-Manhal al-Lat}i>f Fi Us}u>l al-hadi>th al-Shari>f (t.k.: Da>r al-Rahmah, t.t.), 55.

10

(33)

b) S{ah}i>h} li Ghairihi adalah hadis yang ke-s}ah}i>h-annya ibantu oleh adanya keterangan lain.11

2) H{adi>th H{asan, yaitu hadis yang bersambung sanadnya dengan

periwayatan perawi yang adil dan d}abit}, tetapi nilai ke-d}abit-annya kurang sempurna, serta selamat dari unsur shudu>dh dan illat.12

Sedangkan menurut al-Tirmidhi sendiri, hadis h}asan adalah:

ُكَي َََو ِبِذَكْلاِب ُمَهَ تُ ي ْنَم ِِداَنْسِا ِِ ُنْوُكَي ََ يِذَلا ُثْيِدَْحا َوُ :ُنَسَْحا ُثْيِدَْحَا

ُنْو

َكِلَذ ِوََْ ٍهْجَو َِْْغ ْنِم ىَوْرُ يَو ا ذاَش اًثْ يِدَح

. 13

Hadis hasan adalah hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat rawi yang disangka berdusta, tidak termasuk hadis yang syadz (janggal), dan diriwayatkan dari jalur-jalur lain yang sederajat.

Pada sanadnya tidak terdapat rawi yang disangka berdusta, dalam kriteria ini dapat memasukkan hadis mastur dan hadis majhul, berbeda halnya dengan hadis s}ah}i>h} yang mensyaratkan rawinya dapat dipercaya, adil, dan kuat hafalannya.14 Yang dimaksud dengan syadz (janggal) menurut Imam al-Tirmidhi adalah hadis ini berbeda dengan riwayat para rawi yang thiqah, jadi salah satu syarat suatu hadis dapat dikatakan sebagai hadis hasan adalah hadis tersebut harus selamat dari pertentangan.15

11

Ibid, 166. 12

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: PT Alma‟arif, 1974), 135. 13Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shuhbah, al-Wasi>t} fi ‘Ulu>mi wa Mus}t}alah} al-H{adi>th

(Kairo: dar al-Fikr al-Arabi>), 266. 14

Nuruddin „Itr, ‘Ulu>m al-H{adi>th 2, terj. Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), 32.

15

(34)

Sedangkan makna diriwayatkan dari jalur lain yang sederajat adalah suatu hadis yang diriwayatkan tidak dari satu jalur saja, akan tetapi diriwayatkan dari dua jalur atau lebih, dengan catatan sederajat atau lebih kuat, dalam hal ini tidak dapat disyaratkan dengan redaksi

(lafaz}) yang sama dengan artian bahwa dari riwayat lain dapat

mengambil kesimpulan makna saja.16

Sebagaimana hadis s}ah}i>h}, hadis h}asan dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a) H{asan li dha>tihi yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau

sifat-sifat hadis hasan.

b) H{asan li ghairihi yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat

hadis hasan. Hadis ini kemudian menjadi hadis hasan karena ada rawi yang mu’tabar dengan adanya muttabi’ atau shahi>d.

b. H{adi>th Mardu>d

H{adi>th mardu>d yakni hadis yang ditolak, yakni tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Hadis yang tergolong pada hadis ini adalah h}adis d}a’i>f.

H{adis d}a’i>f adalah hadis yang didalamnya terdapat salah satu syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan (h}adi>th maqbu>l).17

C. Metodologi Kritik Hadis 1. Pengertian Kritik Hadis

Kritik hadis berasal dari Bahasa Arab dikenal dengan nama Naqd

al-H{adi>th. Kata naqd sendiri berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan

16

Ibid., 34. 17

(35)

pembedaan, sehingga kritik hadis merupakan penelitian terhadap kualitas hadis, analisis terhadap sanad dan matannya, pengecekan hadis ke dalam sumber-sumber, serta pembedaan antara hadis autentik dan yang tidak.18

Selain itu kritik hadis dilakukan untuk menguji dan menganalisa segi historisnya secara kritis, sehingga hadis tersebut dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari Nabi atau tidak.

Kritik hadis dilakukan sejak Abab III hijriah, yang mana pada saat itu kodifikasi hadis mengalami kemajuan sangat cepat, sehingga dengan rentang yang panjang itu pula hadis-hadis palsu banyak beredar. Pemalsuan hadis yang menurut jumhur ulama dimulai masa „Ali bin Abi Thalib.19 Munculnya hadis palsu tersebut memungkinkan untuk melakukan kritik hadis terlebih dahulu, yaitu dengan melihat dan menganalisis hadis baik dari segi sanad, perawi hadis, matan, hingga sosio-historisnya sebagai uapaya untuk menguji daya tangkap dan kejujuran para perawi.

Tentu saja kritik hadis perspektif ulama hadis sangatlah berbeda dengan kritik hadis perspektif para orientalis. Jika dalam perspektif ulama hadis, kritik hadis tidak lebih dari upaya penyeleksian terhadap hadis Nabi sehingga dapat dibedakan hadis-hadis yang bernilai shahih ataupun sebaliknya, maka dalam perspektif orientalis, kritik hadis dimaksudkan sebagai upaya memberikan semacam kecaman sehingga berujung pada skeptisisme umat Islam terhadap

18

Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 275. 19

(36)

otentisitas dan orisinalitas hadis sebagai kontekstualisasi Rasulullah terhadap ajaran Islam.20

2. Metodologi Ke-shahih-an Sanad Hadis

Sanad atau isna>d yaitu mata rantai para perawi yang menunjukkan kebenaran adanya matan.21 Sebuah hadis, diklaim S{ah}i>h} bila memiliki beberapa syarat, yakni ketersambungan sanad, perawi bersifat adil, perawi bersifat d}a>bit}, terhindar dari ‘illat.22

a. Ittisha>l al-Sanad

Ittisha>l al-Sanad yakni sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis tersebut.23 Matan hadis yang s}ah}i>h belum tentu sanadnya s}ah}i>h. Sebab, boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya tidak tsiqah (‘adil dan d}abit}). Adapun kriteria ketersambungan sanad, antara lain:

1) Periwayat hadis yang terdapat dalam sanad hadis diteliti semua berkualitas thiqah (‘adl dan d}abit}).

20

Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003), 25.

21

Suryadi, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogya: PT Tiara Wacana Yogya, 2002), 77.

22

Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: SUKSES Offset, 2008), 45.

23

(37)

2) Masing-masing periwayat menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-Sama’), yang menunjukkan adanya pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau kata yang dipakai untuk cara al-Sama’ beragam, diantaranya: h}addatsana>, sami’tu, h}addatsani>, akhbarana>, akhbarani>, qa>la lana>.

3) Adanya identikasi kuat perjumpaan antara mereka, seperti:

a) terjadi proses guru dan murid, yang dijelaskan oleh para penulis

rija>l al-h}adi>th dalam kitabnya,

b) tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan bersamaan, dan

c) mereka tinggal belajar atau mengabdi (mengajar) di tempat yang sama.24

b. Perawinya Adil

Beberapa kriteria periwayat yang bersifat „adil yaitu:

1) Beragama Islam. Periwayat hadis ketika mengajarkan hadis harus telah beragama Islam, karena kedudukannya periwayat hadis dalam Islam sangat mulia.

2) Berstatus mukallaf. Syarat ini didasarkan pada dalil naqliyang bersifat umum. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW dijelaskan bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung jawab ini. 3) Melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh melaksanakan adab-adab

syara’, dan

24

(38)

4) Memelihara muru’ah. Muru’ahmerupakan salah satu tata nilai berlaku dalam masyarakat.25

Sifat-sifat keadilan perawi di atas dapat dipahami melalui:

1) Popularitas kepribadian yang tinggi nampak di kalangan ulama hadis. 2) Penelitian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan

kekurangan yang terdapat dalam kepribadiannya.

3) Penerapan kaidah al-Jarh} wa al-Ta’dil, cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Ulama Ahlissunnah berpendapat bahwa, perawi hadis pada tingkatan sahabat secara keseluruhan bersifat adil.26

c. Periwayat bersifat D{abit}

Pengertian d}abit} menurut istilah telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai bentuk keterangan. Menurut Ibnu Hajar al-„Asqalaniy dan al -Sakhawiy, yang dinyatakan sebagai orang d}abit} ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya.27 Beberapa kriteria d}abit} diantaranya:

1) Kuat ingatan dan kuat pula hafalannya, tidak pelupa.

25

Ibid., 43. 26

Nuralita Khamidiyah, “Dropshipping Dalam Hadis; Studi Hadis Larangan Menjual

Barang Yang Bukan Miliknya dalam Sunan Tirmidhi Nomer 1236”, (Skripsi tidak

diterbitkan, Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, 2016), 18; M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1998), 117-118.

27

(39)

2) Memelihara hadis, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, ketika ia meriwayatkan hadis berdasarkan buku catatannya atau sama dengan catatan ulama lain.28

Ulama yang berhati-hati adalah yang berdasarkan ke-d}abit}}-an bukan hanya kepada kemampuan hafalannya saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Misalnya, bila pendapat yang lebih hati-hati itu yang harus diperpegangi, maka periwayat yang memiliki kemampuan hafalan saja dan tidak memiliki kecerdasan memahami apa yang telah difalanya tidak lagi termasuk sebagai periwayat yang d}abit}}. Padahal, mereka itu oleh sebagian ulama hadis dinyatakan sebagai periwayat yang

d}abit}} juga. Kalau begitu, periwayat yang memiliki kemampuan hafalan

dan pemahaman harus dihargai lebih tinggi tingkat ke-d}abit}-annya daripada periwayat yang hanya memiliki kemampuan hafalan saja.29

d. Terhindar dari shudud

Ulama berbeda pendapat tentang pengertian shudud suatu hadis. Dari pendapat-pendapat yang berbeda itu, ada tiga pendapat yang menonjol, yakni bahwa yang dimaksudkan dengan hadis shudud ialah:

1) Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang thiqah juga. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam asy-Syafi‟i (wafat 204H/ 820M).

28

Bustamin, Metodologi Kritik, 43. 29

(40)

2) Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi orang-orang yang thiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hakim an-Naisaburi (wafat 405H/ 1014M). 3) Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat

thiqah maupun tidak bersifat thiqah. Pendapat ini dikemukakan oleh

Abu Ya‟la al-Khalili (wafat 446H).30

Salah satu langkah penelitian yang penting untuk menetapkan kemungkinan terjadinya shudud dalam hadis adalah dengan cara membanding-bandingkan satu hadis dengan hadis yang lain satu tema.31 Ulama hadis pada umumnya mengakui, shudud dan „illat hadis sangat sulit diteliti. Hanya mereka yang benar-benar mendalam pengetahuan ilmu hadisnya dan telah terbiasa meneliti kualitas hadis mampu menemukan

shudud dan „illat hadis. Sebagian ulama lagi menyatakan, penelitian

shudud hadis lebih sulit daripada penelitian ‘illat hadis. Dinyatakan

demikian, karena belum ada ulama hadis yang menyusun kitab khusus tentang hadis shudud, sedang ulama yang menyusun kitab ‘illat, walaupun jumlahnya tidak banyak namun telah ada.32

e. Terhindar dari ‘illat

Kata ‘illat menurut bahasa dapat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Sedangkan pengertian ‘illat secara istilah ilmu hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-S{alah dan al-Nawawiy,

30

Ismail, Metode Penelitian, 82. 31

Tim Penyusun MKD UINSA, Studi Hadis (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 162.

32

(41)

ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.33

Ulama ahli kritik hadis mengakui bahwa penelitian ‘illat hadis yang disinggung oleh salah satu unsur kesahihan sanad hadis itu sulit dilakukan. Sebagian dari ulama tersebut menyatakan bahwa:

1) untuk meneliti ‘illat hadis, diperlukan intuisi (ilham). Pernyataan yang demikian itu dikemukakan oleh „Abdur-Rahman bin Mahdi (wafat 194H/ 814M).

2) yang mampu melakukan penelitian ‘illat hadis adalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham akan hadis yang dihafalnya, berpengatahuan yang mendalam tentang tingkat ke- d}a>bit}-an para periwayat hadis, serta ahli dibidd}a>bit}-ang sd}a>bit}-anad dd}a>bit}-an matd}a>bit}-an hadis. 3) yang dijadikan acauan utama untuk meneliti ‘illat hadis adalah hafalan,

pemahaman, dan pengetahuan yang luas tentang hadis. Pernyataan butir ketiga ini dikemukakan oleh al-H{akim an-Naisaburi.34

4) kemampuan seseorang untuk meneliti ‘illat hadis ibarat kemampuan seseorang ahli peneliti kesetiaan uang logam yang dengan mendengarkan lentingan bunyi uang logam ditelitinya, dia dapat menentukan asli dan tidak aslinya uang tersebut.35

33

Ibid., 152; Ibn al-S{alah, op.cit., hlm.81; al-Nawawiy,op.cit., hlm.10; Nur al-Din „Itr, op.cit., hlm. 447.

34

Ismail, Kaidah Kesahihan, 130; an-Naisaburi, op.cit., hlm. 112-113. 35

(42)

‘Illat pada sanad terkadang membuat cacat pada keabsahan sanad saja,

Di sisi lain, ‘illat pada sanad juga terkadang membuat cacat pada keabsahan sanad dan matan sekaligus, seperti ‘illah mursal dan mauquf.36 Ulama kritikus hadis menjelaskan bahwa berikut ini empat hal yang berkaitan dengan ‘illat: 37

1) sanad yang tampak muttasil (bersambung) dan marfu’ (bersandar kepada Nabi), tetapi ternyata munqathi’ (terputus) atau mauquf (bersandar kepada sahabat Nabi).

2) sanad hadis tampak muttasil dan marfu’, tetapi kenyataannya mursal (bersandar kepada tabi‟in).

3) terjadi kerancuan dalam matan hadis karena bercampur dengan matan hadis lain.

4) terjadi kesalahan dalam penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan dengan periwayat lain yang berbeda kualitas.

3. Metodologi Keshahihan Matan Hadis

Matan yaitu teks atau lafal hadis yang merupakan rekaman perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW yang membentuk landasan ritual atau pula hukum Islam.38 Kriteria matan hadis menurut muhadditsi>n tampak nya beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar

36 Khon, Takhrij dan, 126; Zainuddin Abdurrahim bin Husain Iraqi, AlTaqyid wa Al-Idha>h lima> Uthliqa wa Ughliqa min Muqaddimah ibn Al-Shala>h, hlm. 97

37

Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), 126. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, 85 dan M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan, 156.

38

(43)

belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta masyarakat yang dihadapi oleh mereka. Beberapa kriteria matan, yaitu: 39

a. Tidak bertentangan dengan hukum Alquran yang telah muhkam(ketentuan hukum yang telah tetap).

b. Tidak bertentangan dengan h}adi>thmutawa>tir.

c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indera dan fakta sejarah. d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama

masa lalu (ulama salaf).

e. Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti, dan

f. Tidak bertentangan dengan hadis ah}ad yang berkualitas kesahihannya lebih kuat.

4. Takhri>j al-H{adi>th

Takhri>j menurut bahasa ialah mengeluarkan, menampakkan,

meriwayatkan, melatih dan mengajarkan.40 Menurut Syuhudi Ismail, takhri>j

al-h}adi>th adalah kegiatan mencari hadis dengan cara menelusuri sampai

berhasil menemukannya di kitab-kitab yang ditulis periwayatannya langsung

(mukharij al-h}adi>th).41 Takhri>j al-H{adi>th dalam pandangannya terbagi menjadi dua, yakni:

a. takhri>j al-h}adi>th bil-Faz, yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis dengan cara menelusuri matn hadis yang bersangkutan berdasarkan lafal atau lafal-lafal dari hadis yang dicarinya itu.

39

Bustamin, Metodologi kritik, 63. 40

Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), 2. 41

(44)

b. takhri>j al-h}adi>th bil-maudhu’, yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang dibahas oleh sejumlah matan hadis.42

Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, takhri>j secara istilah mempunyai beberapa pengertian, yaitu: 43

c. Mengambil sesuatu hadis dari sesuatu kitab, lalu mencari sanad yang lain dari sanad penyusun kitab itu.

d. Menerangkan bahwa hadis itu terdapat dalam sesuatu kitab, yang dinukilkan ke dalamnya oleh penyusunnya dari sesuatu kitab lain.

e. Menerangkan perawi dan derajat hadis yang tidak diterangkan.

Sehingga ada dua objek dalam Takhri>j al-H{adi>th, yaitu penelitian matan dan sanad. Kedua objek penelitian tersebut saling berkaitan karena matan dapat dianggap valid jika disertai silsilah sanad yang valid pula.

5. ‘Ilm al-Jarh} wa al-Ta’di>l

Menurut bahasa, kata al-Jarh} merupakan masdar dari kata jarah}a-yajrah}u yang berarti melukai. Menurut istilah ilmu hadis, kata al-Jarh} berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut.44

42

Ibid. 43

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 170.

44

(45)

Sedangkan kata al-Ta’di>l secara istilah adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya.45 Jadi, orang yang di-ta’di>l atau yang dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatannya tidak ditolak. Seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadis, harus seorang muslim,

mukallaf, d}abit},thiqah dan selamat dari kefasikan.

Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-Jarh} dan al-tajrih} dan sebagian lagi membedakan penggunaan kedua kata tersebut. Para ulama yang membedakan penggunaan kedua kata tersebut beralasan kata al-Jarh} berkonotasi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang, karena memang telah tampak dengan sendirinya pada orang tersebut. Sedang al-tarjih} berkonotasi pada upaya aktif untuk mencari-cari dan mengungkapkan sifat-sifat tercela seseorang.46

Merupakan suatu hal yang harus tampak dalam penggunaan ilmu Jarh} wa

al-Ta’di>l yang bisa memberikan informasi logis dalam menentukan suatu nilai

yang cermat dan tepat, adapun kaidah-kaidah yang dipakai antara lain:

a. Kritik eksternal (al-naqd al-kha>riji> atau al-naqd al-z}a>hiri), yang memiliki orientasi terhadap tata cara periwayatan hadis, dan sahnya periwayatan, serta kapasitas nilai kepercayaan pada perawi yang bersangkutan.

45

M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 56.

46

(46)

b. Kritik Internal (al-naqd ad-dakhi>li atau al-naqd al-ba>tini), tujuan orientasinya adalah nilai sahih atau tidaknya suatu makna hadis dan karakteristik kesahihan hadis serta cacat dan janggalnya suatu hadis.47

Dalam kerangka Jarh} wa al-Ta’di>l, maka para pen-ta’di>l dan pen-tarjih} harus memiliki persyaratan berikut:

a. Memiliki kapasitas kelimuan yang tinggi b. Taqwa

c. Tidak ujub pada diri sendiri (muta’assub) d. Memahami sebab-sebab jarh}

e. Memahami sebab-sebab tazkiyah (ta’di>l).48

Kriteria lain yang harus dipenuhi, dengan menguatkan syarat-syarat diatas: Jujur, wira’i, tidak terkena jarh}, tidak fanatik terhadap sebagian perawi.49 Apabila hal tersebut memang benar-benar terjadi, maka diperlukan adanya penelitian terlebih lanjut tentang substansinya.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut jika bisa diketahui, maka sikap tegas dalam menilai seorang perawi haruslah ada. Berikut ini sebagian teori-teori yang telah dikemukakan oleh ulama ahli al-Jarh} wa al-Ta’dil yang dijadikan bahan oleh para peneliti hadis tatkala melakukan kegiatan penelitian, diantaranya:50

47

Salamah Noorhidayatai, Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang Al-Riwayah bi al-Makna dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2009), 9-12.

48

Teungku Muhammad Hasbi Al-Siddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 331.

49Muhammad „Ajjaj Al

-Khatib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, terj. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 240.

50

(47)

a. ْر ْلا ع دق ْيدْعَتلا (ta’di>l didahulukan atas jarh}), bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan, jadi yang dipilih adalah kritikan yang berisi pujian.

b. ْيدْعَتلا ع ْدق ْر ْلا (Jarh} didahulukan daripada ta‟dil). Bila seseorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan, jadi yang dipilih adalah kritikan yang berisi celaan, sebab kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya itu.

c. رَسفمْلا ْر ْلا ت ث ا ا ََا لدعمْ ل مْ حْلاف لدعمْلاو ا ْلا اعت ا ا (Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya). Maksudnya adalah apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.

(48)

e. نْيحْورْ مْلا ف ا ْش َْا يْشخ ت َتلا دْعب ََا ْر ْلا ْقيَ(al-Jarh} tidak diterima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya. Maksudnya adalah apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.

f. بدتْعي َ َيويْند وادع ْنع ئشاَنلا ْر ْلا (al-Jarh} yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan). Maksudnya adalah apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.

6. I’tibar

I’tibar adalah suatu usaha untuk mencari dukungan hadis dari kitab lain

yang setema. Menurut istilah ilmu hadis, al-I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, hadis pada saat itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad hadis dimaksud.51

51

(49)

I‟tibar juga berguna untuk mengkategorikan muttaba’ ta>m atau muttaba’

qa>s}ir yang burujung pada akhir sanad (nama sahabat) yang berbeda

(shahi>d).52 Dinamakan muttabi’ (biasa juga disebut tabi’ dengan jamak

tawa>bi’) ialah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang

bukan sahabat Nabi. Pengertian shahi>d (dalam istilah ilmu hadis dibaca diberi kata jamak dengan shawa>hid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi.53

Dengan demikian muttabi‟ adalah rawi yang statusnya mendukung pada tingkatan sanad selain sahabat. Muttabi’ terbagi menjadi dua sebagaimana tersebut diatas. Adapun pengertian dari masing-masing tersebut, yaitu:

a. Muttabi’ Ta>m, periwayatan si muttabi’ itu mengikuti periwayatan guru muttaba‟ sejak awal sanad, yaitu dari guru yang terdekat sampai guru

yang terjauh.

b. Muttabi’ Qas}i>r, persekutuan terjadi pada pertengahan sanad, yaitu mengikuti periwayatan guru yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti guru yang jauh.54

Proses I’tiba>r bisa dilakukan dengan pembuatan skema sanad terhadap hadis yang diteliti. Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan skema, yaitu:

a. Semua jalur sanad;

52

Hermansyah, Metodologi Penelitian, 146.

53 Ismail, Metodologi Kesahihan, 50. Lihat Juga Fatchur Rahman, Iktis}a>r Mus}t}alah}ul Hadi>th (Bandung: Alma‟arif, 1974), 107.

(50)

b. Semua nama rawi sanad, dan

c. Metode periwayatan yang digunakan masing-masing rawi.55

Dengan metode ini pula, hadis yang sebelumnya berstatus rendah dapat terangkat satu derajat, jika terdapat riwayat lain yang perawi-perawinya lebih kuat.

Adapun metode yang digunakan dalam penerimaan riwayat hadis yang disepakati oleh para muhaddisin dimulai dari urutan yang tertinggi, antara lain:56

a. Sama’; yaitu seorang murid mendengar hadis langsung dari gurunya.

Lafaz} yang biasa digunakan adalah

َِس

ْع

ُت

َح ,

َد َ ث

َن

َح ,ا

َد َث

ِن

َا ,

ْخ َ ب

َر َنا

b. ‘Ardl; yaitu seorang murid membacakan hadis (yang didapatkan dari guru yang lain) di depan gurunya. Lafaz} yang biasa digunakan adalah

َ ق َر ْا

ُت

َع َل

ْي ِه

ُق ,

ِر َا

َع َل

ُق ى

َا

ِن

َو َا َن

َا ا

َْس

ُع

c. Ija>zah; yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk

meriwayatkan sebuah buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu persatu. Lafaz} hadis biasa digunakan adalah

َا َج

ْز

ُت

َل

َك

ِر

َو َيا َة

ْلا

ِك َت

ِبا

ْلا

ُف

َا

ِن

َع

ِن

َا ,

َج ْز

ُت

َل

َك

َِج ْي

َع

َم ْس

ُم ْو

َع ِتا

َا ى

ْو

َم ْر ِو

َي

ِتا

,

َا

َج ْز

ُت

ِل ْل

ُم

ْس ِل

ِم

َْن

َِج ْي

َع

َم ْس

ُم

َعو

ِتا

ى

55

Ismail, Kaidah Kesahihan, 61. 56

Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin, Cet. 2

(51)

d. Munawalah; yaitu seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang untuk meriwayatkannya. Dalam munawalah disertai ijazah. lafaz} yang digunakan adalah

َا ْ ن َب

َا

ِن

ِا

َج

َزا

َا ,ة

ْ ن َب َا

َن

َح ,ا

َد َ ث

َن

ِا ا

َج

َزاة

Sedangkan munawalah tanpa ijazah menggunakan lafaz}

َن َوا

َل َن

َن ,ا

َوا َل

ِن

e. Kita>bah/Mukatabah; yaitu seorang guru menuliskan rangkaian hadis

untuk seseorang. Lafaz} yang digunakan adalah

َك َت

َب

ِا

َََ

ُف َا

َا ,ن

ْخ َ ب

َر ِن

ِب

ِه

ُم َك

ِتا َب

َا ,ة

ْخ َ ب

َر ِن

ِب

Gambar

Tabel urutan periwayat:
Tabel urutan periwayat:
Tabel urutan periwayat:
Tabel urutan periwayat:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji coba dan evaluasi menghasilkan hasil yang memuaskan dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan karena menurut pengguna, penyajian cerita legenda melalui aplikasi

1 Saya cukup Mudah Menemukan Penjual Es Dawet Cah Mbanjar Di Lingkungan Sekitar Saya. 2 Saya Membeli Es Dawet Cah Mbanjar Karena Tertarik Dengan

Dalam membahas Islamisasi di Kalimantan Timur, terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian islamisasi. Secara sederhana, islamisasi dapat diartikan sebagai proses

\DQJ OHELK EHURULHQWDVL SDGD YLVL GDQ PLVL \DQJ WHODK GLHP EDQQ\D GHPL OXOXVDQ \DQJ VLDS NHUMD SURIHVVLRQDO GDQ GDSDW EHUVDLQJ GLSDVDU JOREDO 3HQHOLWLDQ LQL EHUWXMXDQ XQWXN

Pada saat digesta masuk ke dalam colon, sebagian besar digesta yang mengalami hidrolisis sudah terserap sehingga materi yang masuk ke dalam colon adalah materi yang tidak dicerna.

Jamur ini merupakan jamur yang mempunyai tubuh buah berbentuk seperti payung berwarna kecoklatan pada tubuh buah dan berwarna putih kecoklatan pada tangkai

Desain inverter satu fasa ini penulis lakukan untuk memenuhi tugas akhir dan penelitian gelombang output sinusoidal yang dihasilkan dari inverter tersebut. Analisa gelombang sinus

Pipa HDPE dapat disambungkan dengan cara pemanasan (heat fusion) yang mana sambungan pipa HDPE akan menyatu (bersenyawa) dan mempunyai kekuatan lebih dibandingkan