II. TELAAH PUSTAKA
Nepenthes adalah salah satu Genus yang termasuk dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) terdapat dalam apendiks I dan II yang tergolong hampir punah dan langka (Samsurianto, 2010). Di Indonesia, tanaman ini termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999, Tanggal 27 Januari 1999, tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, sehingga setiap aktivitas yang dapat mengganggu kelestarian tanaman ini harus dihindari. Nepenthes umumnya tumbuh secara spatial yang kemudian berkembang dalam jumlah besar hampir di setiap tipe vegetasi, terutama tanah yang tidak subur, misalnya tanah gambut atau tanah vulkanis yang tercuci logam berat. Nepenthes sering berada di sepanjang sungai, puncak bukit berbatu yang terbuka atau hutan lumut basah. Keunikan Nepenthes terletak pada caranya mendapatkan makanan (Mulyanto et al., 2000).
Gambar 2.1 Kantong Tanaman Nepenthes bicalcarata
Sumber Foto: www.sunbelleexotics.com
Nepenthes hidup di habitat ekstrim, yang miskin nutrisi mendorong Nepenthes
untuk melakukan adaptasi secara morfologi dan fisiologi sebagai strategi untuk bertahan hidup. Nepenthes mampu melakukan adaptasi secara morfologi dengan melakukan modifikasi daun yaitu pada perpanjangan ujung tangkai daun tumbuh organ berbentuk kantong. Kemampuan menumbuhkan kantong sebagai bentuk modifikasi daun ini merupakan strategi tanaman untuk menghindari kematian akibat minimnya
5
unsur mineral esensial yang dikandung oleh tanah, terutama nitrogen, fosfor, dan kalium. Secara fisiologi, kantong tersebut mengeluarkan cairan yang mengandung enzim protease yang dapat menguraikan tubuh binatang kecil, misal serangga yang terjebak dan mati di dalam kantong sehingga menjadi molekul yang lebih sederhana seperti fosfor, nitrogen, kalium, dan garam-garam mineral untuk kemudian diserap oleh tanaman guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moran, 2006). Secara morfologi kantong, N. bicalcarata memiliki keunikan tersendiri dibanding tanaman Nepenthes lainnya. Terdapat dua buah taring di tutup kantong tanaman ini yang juga dijadikan ciri khas dari tanaman ini (Gambar 2.1)
Perkecambahan biji merupakan awal mula dimulainya pertumbuhan tanaman. Proses perkecambahan merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-perubahan biokimia, fisiologi, dan morfologi. Di dalam peristiwa perkecambahan, endosperm yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak mengalami hidrolisis dan degradasi yang hasilnya ditranslokasikan ke titik embrio. Produk baru dari proses hidrolisis karbohidrat, protein, dan lemak dimanfaatkan pula sebagai substrat di dalam proses respirasi (Abidin, 1991). Tahapan perkecambahan biji menurut Sutopo (2002), adalah sebagai berikut :
1. Tahap pertama dimulai dengan penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih dan hidrasi oleh protoplasma.
2. Tahap kedua dimulai dengan kegitan sel-sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih.
3. Tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh.
4. Tahap keempat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah terurai di daerah meristematik untuk menghasilkan energi dari kegiatan pembentukan komponen dalam pertumbuhan sel-sel baru.
5. Tahap kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh, pertumbuhan kecambah ini tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam biji.
Salah satu kendala yang dapat menghambat perkecambahan biji, karena adanya masa dormansi biji. Masa dormansi ini membuat biji menjadi sulit untuk berkecambah. Menurut Silvertown (1999), dormansi biji terbagi atas beberapa tipe yaitu tipe endogenus yang berhubungan dengan keadaan embrio dan tipe eksogenus yang
6
berhubungan dengan endosperm atau jaringan-jaringan lain pada biji atau buah. Tipe dormansi endogenus terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Dormansi endogenus yang disebabkan oleh hambatan fisiologi embrio.
2. Dormansi endogenus yang disebabkan oleh tidak berkembangnya embrio secara sempurna atau disebut juga morphological dormancy.
3. Dormansi endogenus yang disebabkan oleh gabungan keduanya sebab di atas yang disebut juga morphophysiological dormancy.
Tiga tipe dormansi eksogenus adalah:
1. Physical dormancy, yang disebabkan oleh impermiabilitas biji atau kulit biji terhadap air.
2. Chemical dormancy, yang disebabkan oleh senyawa penghambat perkecambahan. 3. Mechanical dormancy, yang disebabkan oleh struktur keras dari biji yang
menghalangi pertumbuhan kecambah.
Wilkins (1969), berpendapat bahwa ada cara mematahkan dormansi biji menggunakan pengaturan penyinaran cahaya, yaitu:
1. Pemberian cahaya terhadap biji-biji yang bersifat fotoblastik positif, cahaya ini akan memacu perkecambahan.
2. Pemberian cahaya secara fotoperiodik yaitu pencahayaan terhadap biji-biji dorman dengan periode waktu tertentu.
Menurut Chauhan et al. (2009), perkecambahan biji dan pertumbuhan bibit juga dapat dipengaruhi oleh berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh yaitu seperti hormon GA3. Terdapat dua fungsi GA3 selama perkecambahan, pertama GA3
diperlukan untuk meningkatkan potensi tumbuh dari embrio dan sebagai promotor perkecambahan, dan kedua diperlukan untuk mengatasi hambatan mekanik oleh lapisan penutup biji karena terdapatnya jaringan di sekeliling radikula (Rusmin et al., 2011). Peranan hormon GA3 di dalam biji yang mengalami dormansi juga telah dibahas oleh
Warner (1967) dalam Weaver (1972) yang menyatakan bahwa GA3 dapat menstimulasi
sintesis ribonuklease, amilase, dan protease di dalam endosperm biji barley. Penggunaan GA3 dengan konsentrasi 0,1-1 % sudah dibuktikan efektif dalam
mematahkan dormansi biji. Biji direndam selama satu hingga tiga hari pada larutan GA3, biji-biji tersebut diletakkan ditempat pada kondisi suhu -100 hingga 00C. Tingkat
perkecambahan biji akan meningkat dalam waktu yang lebih singkat dengan penerapan menggunakan GA3 ini (Pasek, 1999).