TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae)
Biologi
Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 – 60 hari (lama stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 – 26 hari, pupa 8 – 11 hari) (Tenrirawe dan Talanca, 2008).
Telur berbentuk bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadang - kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok (Gambar 1). Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi, kelompok telur tertutup bulu yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina (Marwoto dan Suharsono, 2008). Setelah telur menetas, larva tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, beberapa hari kemudian larva
berpencar (Prayogo et al., 2005).
Gambar 1. Telur Spodoptera litura
Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit)
berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral
dorsal terdapat garis kuning. Larva yang baru menetas berwarna hijau muda,
Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva
menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Biasanya larva
berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar
(Marwoto dan Suharsono, 2008).
Gambar 2. Larva Spodoptera litura
Larva instar akhir akan berkepompong dalam tanah, membentuk pupa berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm (Gambar 3) (Tenrirawe dan Talanca, 2008). Pupa berbentuk oval memanjang dan berwarna cokelat mengkilat (Cardona et al., 2007).
Gambar 3. Pupa Spodoptera litura
Setiap ekor ngengat betina dapat menghasilkan telur hingga 3.000 butir
(Prayogo et al., 2005). Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau
keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam
(Gambar 4). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km
(Marwoto dan Suharsono, 2008).
Gambar 4. Imago Spodoptera litura
Gejala Serangan
Larva yang masih kecil merusak daun, menyerang serentak secara berkelompok dengan meninggalkan sisa-sisa bagian atas epidermis daun, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja (Gambar 5). Biasanya larva berada di permukaan bawah daun (Tenrirawe dan Talanca, 2008).
Larva instar lanjut merusak tulang daun. Serangan berat menyebabkan
tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan larva. Serangan berat pada
umumnya terjadi pada musim kemarau dan menyebabkan defoliasi daun yang
Gambar 5. Gejala Serangan Spodoptera litura
Beauveria bassiana
Beauveria bassiana (Bals.) (Vuill.) (Deuteromycetes: Moniliaceae) adalah
salah satu jamur entomopatogenik yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. B. bassiana sangat efektif dalam menekan perkembangan larva Lepidoptera. Jamur ini belum pernah dilaporkan resisten terhadap serangga hama, namun dalam perbanyakannya secara in vitro banyak kendala yang harus diatasi, seperti penurunan kualitas spora (kerapatan dan viabilitas) dan virulensi (Salim et al., 2008).
B. bassiana memiliki daya bunuh tinggi terhadap serangga hama terutama
ordo Lepidoptera, Hemiptera dan Coleoptera. Pertumbuhan dalam media berbentuk koloni putih seperti kapas, konidiofor yang fertile bercabang-cabang secara zig-zag dan pada bagian ujungnya terbentuk konidia. Konidia bersel satu berbentuk bulat sampai oval, hialin, berukuran 2-3 mikron (Arsyiogi, 2014).
Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk
mengendalikan hama tanaman perkebunan dan sayuran adalah Metarhizium
anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces sp., Verticillium sp., dan Spicaria sp. (Ladja et al., 2011).
Kelebihan penggunaan jamur entomopatogen sebagai pengendali populasi serangga hama adalah mempunyai kapasitas produksi yang tinggi, siklus hidup relatif pendek dan mampu membentuk spora yang tahan terhadap pengaruh lingkungan (Rosmayuningsih, 2014). Kelebihan lainnya yaitu relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Herlinda et al., 2008). Selain itu, jamur B. bassiana dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai tingkat perkembangan serangga hama mulai dari telur, larva, pupa dan imago (Trizelia et al., 2007).
Beberapa jenis jamur entomopatogen memiliki sifat khusus sehingga tidak bisa diaplikasikan dengan mudah. Kelemahan dari jamur entomopatogen adalah peka terhadap kelembaban dan sinat ultra violet (UV), sehingga teknik aplikasi dan penyimpanan diperlukan untuk tetap menjaga stabilitas, viabilitas dan virulensinya (Harjaka et al., 2011).
Mekanisme Infeksi
Ada empat tahapan etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh
cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul
cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan M. anisopliae berupa
konidia karena merupakan cendawan yang berkembang biak secara tidak
sempurna. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul
kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan. Tahap
ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus
integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini
titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Tahap
keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang
kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk
menyerang jaringan lainnya (Prayogo et al.,2005).
B. bassiana menginfeksi melalui integumen, dapat juga melalui saluran pencernaan, atau melalui spirakel (Toledo et al., 2006). B. bassiana mengadakan
penetrasi ke dalam tubuh serangga melalui kulit luar di antara ruas-ruas. Mekanisme penetrasi dimulai dengan pertumbuhan konidia pada kutikula serangga dan mebentuk apresoria yang akhirnya membentuk hifa. Selanjutnya hifa cendawan tersebut mengeluarkan enzim kitinase, lipase, dan proteinase yang mampu menguraikan komponen menyusun kutikula serangga. Di samping itu cendawan ini juga memproduksi racun beauvericin yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan maupun organ haemocoel serangga seperti saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan system pernafasan. Akibat dari keseluruhan system di atas maka akan berakhir dengan kematian serangga (Arsyiogi, 2014). Gejala Infeksi
B. bassiana menginfeksi serangga inang melalui kontak fisik, yaitu dengan
menurun, 3 - 5 hari kemudian mati dengan ditandai adanya pertumbuhan konidia pada integumen (Deciyanto, 2008).
Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan
oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti
mumi. Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar menembus integumen serangga.
Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung
di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini
cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora
(Prayogo et al., 2005).
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan B. bassiana
Efektivitas B. bassiana di lapangan diantaranya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, curah hujan, dan sinar matahari. Curah hujan sangat potensial mengurangi jumlah konidia dari permukaan daun akibat hanyut terbawa air hujan. Cahaya melalui panjang gelombang sinar ultraviolet juga berpotensi merusak konidia (Yusuf et al., 2010).