DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
DAFTAR ISI ... 1
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... .... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Definisi Operasional ... 20
F. Hipotesis Penelitian ... 21
BAB II LANDASAN TEORETIS A. Kemampuan Penalaran Matematis ... 22
B. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 28
C. Model Reciprocal Teaching ... 31
D. Teori Belajar yang Mendukung ... 41
E. Penelitian yang Relevan ... 45
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 48
B. Populasi dan Sampel Penelitian... 49
C. Variabel Penelitian ... 49
D. Instrumen Penelitian ... 50
F. Prosedur Penelitian ... 62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ... 76
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 123
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 136
B. Saran ... 138
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel
Kontrol ... 30
Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Kemampuan Penalaran Matematis ... .. 51
Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis... 52
Tabel 3.4 Koefisien Korelasi Validitas dan Interpretasinya ... 53
Tabel 3.5 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 54
Tabel 3.6 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 56
Tabel 3.7 Koefisien Reliabilitas dan Interpretasinya ... 57
Tabel 3.8 Uji Reliabilitas Tes ... 57
Tabel 3.9 Koefisien Tingkat Kesukaran dan Interpretasinya ... 58
Tabel 3.10 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 58
Tabel 3.11 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 59
Tabel 3.12 Koefisien Daya Pembeda dan Interpretasinya ... 60
Tabel 3.13 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 61
Tabel 3.14 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis . 61 Tabel 3.15 Klasifikasi Gain ... 69
Tabel 3.16 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 74
Tabel 4.1 Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Awal matematis ... 77
Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis... 78
Tabel 4.3 Uji Mann-Whitney U Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis ... 79
Tabel 4.4 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 81
Tabel 4.6 Uji ANOVA Dua JalurData Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 83
Tabel 4.7 Kemampuan Komunikasi Matematis berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Awal matematis ... 87
Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 89
Tabel 4.9 Uji Mann-Whitney U Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 89
Tabel 4.10 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 92
Tabel 4.11 Uji Homogenitas Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 93
Tabel 4.12 Uji ANOVA Dua Jalur Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 93
Tabel 4.13 Uji Scheffe Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis antar Kemampuan Awal Matematis ... 96
Tabel 4.14 Hasil Pengamatan Aktivuitas Guru Selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching ... 100
Tabel 4.15 Respon Siswa Terhadap Postes Kemampuan Penalaran Matematis 107
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 4.1 Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa
Berdasarkan Fajtor Pembelajaran dan Faktor Kemampuan
Awal Matematis... 86
Gambar 4.2 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Fajtor Pembelajaran dan Faktor Kemampuan AwalMatematis………... 98
Gambar 4.3 Diagram Aktivitas Positif Siswa selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching.……...…... 102
Gambar 4.4 Diagram Aktivitas Negatif Siswa selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching …...…. 103
Gambar 4.5 Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Eksperimen…...…… 103
Gambar 4.6 Aktivitas Guru sedang Melaksanakan Scaffolding dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Eksperimen ... 104
Gambar 4.7 Salah Seorang Siswa di Kleas Eksperimen Sedang Memimpin Dialog dengan Menyajikan Hasil Diskusinya... 105 Gambar 4.8 Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Kontrol ... 105
Gambar 4.9 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 1... 109
Gambar 4.10 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 1... 110
Gambar 4.11 Butir Soal No. 2 ... 111
Gambar 4.12 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 112
Gambar 4.13 Butir Soal No. 3 ... 113
Gambar 4.14 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 114
Gambar 4.15 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 115
Gambar 4.16 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 116
Gambar 4.17 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 117
Gambar 4.19 Butir Soal No. 2... 119
Gambar 4.20 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 120
Gambar 4.21 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 121
Gambar 4.22 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 122
Gambar 4.23 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 123
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A.1 RPP Kelas Eksperimen... 146
Lampiran A.2 Bahan Ajar Kelas Eksperimen ... 151
Lampiran A.3 LKS Kelas Eksperimen ... 158
Lampiran B.1a Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 161
Lampiran B.1b Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 162
Lampiran B.2a Instrumen Kemampuan Penalaran Matematis ... 163
Lampiran B.2b Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematis ... 167
Lampiran B.3a Alternatif Jawaban dan Penskoran Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 169
Lampiran B.3b Alternatif Jawaban dan Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 177
Lampiran C.1 Lembar Observasi Aktivitas Guru ... 184
Lampiran C.2 Lembar Observasi Aktivitas Siswa ... 186
Lampiran D.1a Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 189
Lampiran D.1b Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Komunuikasi Matematis ... 190
Lampiran D.2 Analisis Data Validitas Tes Kemampuan Penalaran Matematis 191 Lampiran D.3 Analisis Data Reliabilitas Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 194
Lampiran D.4 Analisis Data Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 195
Lampiran D.5 Analisis Data Daya Pembeda Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 195
Lampiran D.6 Analisis Data Validitas Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 196
Lampiran D.8 Analisis Data Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan
Komunikasi Matematis ... 200
Lampiran D.9 Analisis Data Daya Pembeda Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 200
Lampiran E Daftar Nilai Awal Siswa Kelas Eksperimen ... 201
Lampiran E Daftar Nilai Awal Siswa Kelas Kontrol ... 202
Lampiran E.1a Hasil Pretes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen ... 203
Lampiran E.1b Hasil Pretes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Kontrol 204 Lampiran E.2a Hasil Postes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen ... 205
Lampiran E.2b Hasil Postes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Kontrol ... 206
Lampiran E.3a Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen ... 207
Lampiran E.3b Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Kontrol ... 208
Lampiran E.4a Hasil Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen ... 209
Lampiran E.4b Hasil Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Kontrol ... 210
Lampiran E.5a Hasil Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Kelas Kontrol ... 211
Lampiran E.5b Hasil Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Kelas Eksperimen ... 212
Lampiran E.6a Uji Statistik Data Kemampuan Penalaran Matematis ... 213
Lampiran E.6b Uji Statistik Data Kemampuan Komunikasi Matematis ... 221
Lampiran F.1 Data Aktivitas Guru selama Pembelajaran ... 229
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempunyai peranan
penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan materi
matematika menjadi suatu keharusan dalam pemetaan nalar siswa terutama pada
saat pengambilan keputusan dalam menyelesaikan permasalahan. Jika siswa
kurang menggunakan nalar dalam menyelesaikan masalah, maka akan gagal
menguasai matematika dengan baik (Wahyudin, 1999). Oleh karena itu,
pembelajaran matematika di sekolah harus dapat mengembangkan potensi yang
dimiliki siswa, sehingga mereka diharapkan mampu menyelesaikan masalah dan
menguasai matematika dengan benar.
Sumarmo (2004) mengatakan pendidikan matematika pada hakikatnya
memiliki dua arah pengembangan yaitu pengembangan masa kini dan masa
datang. Pada masa kini pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman
matematis siswa dan disiplin ilmu lainnya dalam menyelesaikan masalah ketika
mereka masih duduk dibangku sekolah. Sedangkan pengembangan masa
mendatang mempunyai arti yaitu memberikan kemampuan nalar yang logis,
sistematis, kritis dan cermat serta berpikir obyektif dan terbuka dalam
menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan.
Dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya mengembangkan proses
bahwa pendidikan matematika pada hakikatnya memiliki dua tujuan yaitu; (1)
tujuan yang bersifat formal dan (2) tujuan yang bersifat material. Tujuan yang
bersifat formal memberi tekanan pada penataan nalar serta pembentukan karakter
siswa dan tujuan yang bersifat material yaitu memberi tekanan pada
mengaplikasikan matematika serta kemampuan memecahkan masalah
matematika. Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika
maupun pola pikir matematika dalam menyelesaikan masalah kehidupan
sehari-hari.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (2006) menyatakan tujuan
pembelajaran matematika diantaranya adalah agar siswa memiliki kemampuan
sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
sebagai antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran
pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Demikian pula halnya tujuan yang
Mathematics (NCTM) (2000), menetapkan standar-standar kemampuan
matematis yang harus dimiliki oleh siswa, seperti kemampuan pemecahan
masalah (problem solving), kemampuan komunikasi (communication),
kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan
kemampuan representasi (representation). Berdasarkan uraian di atas,
kemampuan penalaran dan komunikasi matematis termuat dalam standar
kemampuan menurut Depdiknas dan NTCM, sehingga merupakan dua
kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika.
Pentingnya kemampuan penalaran matematis dapat terlihat dalam standar
penalaran yang ditetapkan oleh NCTM (2000) yang merekomendasikan bahwa
tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6-8 adalah agar siswa dapat: (1)
menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan; (2) merumuskan
generalisasi dan konjektur hasil observasi keteraturan; (3) mengevaluasi
konjektur; dan (4) membuat dan mengevaluasi argumen matematika. Selain itu
pentingnya penalaran diungkapkan pula oleh Depdiknas (2002) bahwa “ Materi
matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran
dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika”. Sejalan dengan hal
tersebut, Shadiq (2007) berpendapat bahwa seni bernalar dibutuhkan dalam semua
segi dan sisi kehidupan agar setiap warga bangsa dapat menunjukkan dan
menganalisis masalah secara jernih, dapat memecahkan masalah dengan tepat,
serta dapat mengemukakan pendapat maupun idenya serta runtut dan logis.
terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan siswa penalaran
logika. Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi
siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian
prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya (Rochmad,
2008). Hal yang sama dikemukakan oleh Tinggih (Suherman, 2001) bahwa
matematika adalah ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dengan bernalar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kemampuan penalaran matematis
diperlukan oleh siswa agar siswa dapat menguasai konsep matematika dengan
benar dan dapat menganalisis masalah dengan tepat sehingga dapat mempernudah
dalam menyelesaikan masalah matematika maupun masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan penalaran seseorang akan lebih cepat dalam berpikir dan
akurat dalam mengambil keputusan. Selanjutnya Baroody (Juariah, 2008)
mengungkapkan ada empat alasan mengapa penalaran penting untuk matematika
dan kehidupan sehari-hari, yaitu:
1. The reasoning needed to do mathematics artinya penalaran diperlukan untuk
mengerjakan matematika. Ini berarti penalaran berperan penting dalam
pengembangan dan aplikasi matematika.
2. The need for reasoning in school mathematics artinya penalaran dibutuhkan
dalam pelajaran matematika di sekolah. Hal ini jelas terlihat bahwa untuk
menguasai konsep matematika dengan benar diperlukan penalaran dalam
3. Reasoning involved in other content areas. Artinya
keterampilan-keterampilan penalaran dapat diterapkan pada ilmu-ilmu lainnya. Hal ini
berarti bahwa penalaran dapat menunjang dalam pengembangan ilmu lainnya.
4. Reasoning for everyday life. Artinya penalaran berguna untuk kehidupan
sehari-hari. Ini berarti penalaran berguna untuk mengatasi masalah kehidupan
sehari-hari.
Selain kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi matematis siswa
pun penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pentingnya
kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat dari standar kemampuan
komunikasi yang ditetapkan oleh NCTM pada tahun 2000, menetapkan bahwa
standar kemampuan komunikasi matematis ditingkat sekolah dasar dan menengah
adalah siswa harus mampu: (1) mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan
pemikiran matematis mereka melalui komunikasi; (2) mengkomunikasikan
(menyampaikan) pemikiran matematis mereka secara jelas dan terarah kepada
teman, guru dan orang lain; (3) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran
matematis dan strategi yang dibuat orang lain; dan (4) menggunakan bahasa
matematika untuk mengungkapkan ide matematika dengan tepat.
Pentingnya kemampuan komunikasi juga dikemukakan Jacob (2003),
bahwa matematika sebagai bahasa, sehingga komunikasi matematis merupakan
esensi dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Sejalan dengan Jacob,
Pugalee (2001) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa perlu
memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga
proses pembelajarannya akan menjadi bermakna.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kemampuan komunikasi
matematis harus dimiliki siswa untuk menyampaikan apa yang ia pikirkan,
mengemukakan ide/gagasannya ketika berhubungan dengan orang lain atau
mengungkapkan hasil penalarannya dalam proses pembelajaran. Siswa
memerlukan kemampuan komunikasi, karena dengan komunikasi matematis
siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematikanya baik secara lisan maupun
secara tulisan yang terjadi dalam proses pembelajaran.
Namun, Fakta di lapangan belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Berdasarkan laporan The Trends in International Mathematics and Science Study
(TIMSS) tahun 2003 dilaporkan bahwa untuk salah satu soal yang berkaitan
dengan penalaran matematis hanya sekitar 7% siswa Indonesia yang menjadi
sampel mampu menjawab soal tersebut. Sedangkan siswa dari Singapura sekitar
44% yang mampu mejawab soal yang sama. Pada TIMSS 2007, untuk jenis soal
yang sama hanya sekitar 17% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu
menjawab, sedangkan siswa Singapura sekitar 59%. Kesimpulan dari laporan
studi TIMSS tersebut, tidak jauh berbeda dengan hasil PISA 2009. Prestasi
belajar matematika siswa di Indonesia dari data PISA tahun 2009 Indonesia hanya
menduduki rangking 61 dari 65 peserta dengan rata skor 371, sementara
rata-rata skor internasional adalah 500 (Wardhani dan Rumiati, 2011).
Pada kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia, berdasarkan
Indonesia dalam komunikasi matematika sangat jauh di bawah negar-negara lain.
Sebagai contoh, untuk soal matematika yang menyangkut kemampuan
komunikasi matematis, siswa Indonesia yang berhasil menjawab benar hanya 5 %
dan jauh dibawah negara seperti Singapura, Korea, dan Tiwan yang mencapai
lebih dari 50%. Namun kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa
Indonesia dari hasil riset TIMSS (2003 dan 2007) serta PISA (2009) belum cukup
menggambarkan kemampuan siswa Indonesia pada kelompok tinggi, sedang atau
rendah. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengkaji kemampuan
penalaran dan komunikasi matematis siswa berdasarkan pengelompokan
kemampuan awal matematis siswa tinggi, sedang, dan rendah.
Laporan TIMSS dan PISA di atas merupakan salah satu indikator yang
menunjukkan bahwa hasil pembelajaran kemampuan penalaran dan komunikasi
matematis siswa di Indonesia belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.
Rendahnya hasil pembelajaran matematika di Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor. Salah satu faktor penyebabnya, berkaitan dengan pembelajaran yang
diselenggarakan guru di sekolah. Widdiharto (2004) dan Tahmir (2007)
menyatakan bahwa pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
cenderung text book oriented dan masih didominasi dengan pembelajaran yang
terpusat pada guru. Kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang
mempertimbangkan tingkat kognitif siswa yang disesuaikan dengan
perkembangan usianya.
Seseorang dengan kemampuan penalaran yang rendah akan selalu
Hal itu dikarenakan ketidakmampuannya dalam menghubungkan fakta dan bukti
untuk sampai pada suatu kesimpulan. Sehingga dapat diartikan bahwa
pengembangan kemampuan penalaran dan komunikasi menjadi esensial agar
siswa mampu melakukan analisis sebelum membuat keputusan, dan mampu
membuat argumen untuk mempertahankan pendapatnya.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
penalaran matematis, Pada tahun 2010 Yuniati mengembangkan model
pembelajaran Problem Posing untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan
penalaran matematis siswa SMP, namun peningkatan penalarannya masih dalam
tahap sedang sehingga masih perlu ditingkatkan. Pembelajaran berbalik atau
reciprocal teaching adalah salah satu model pembelajaran matematika yang
dipandang tepat untuk meningkatkan kemampuan penalaran dan berpikir kritis
matematis (Karim, 2010). Setelah dilakukan pembelajaran model reciprocal
teaching pada siswa kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional pada
kelompok kontrol, terdapat peningkatan penalaran dan berpikir kritis matematis
siswa yang signifikan pada siswa kelompok eksperimen. Namun, peningkatan
kemampuan penalaran matematis siswa yang diperoleh ini belum optimal, karena
rerata peningkatannya masih pada tingkat sedang yaitu sebesar 0,66 dengan
klasifikasi kategori sedang, Karim (2010).
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis Sudihartinih (2009) ketuntasan
belajar secara klasikal tercapai dalam kemampuan penalaran dan pemahaman
konsep pada siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik Structure of
matematis pada siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik SOLO belum
mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. walaupun demikian kemampuan
penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik SOLO
lebih baik daripada yang pembelajarannya dengan konvensional. Dari beberapa
studi tentang penalaran di atas terlihat bahwa kemampuan siswa dalam
kemampuan penalaran masih perlu ditingkatkan. Hal tersebut membuat penulis
ingin mengkaji lebih jauh tentang kemampuan penalaran dengan indikator yang
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu kemampuan siswa dalam:
(1) menganalisis masalah secara matematika melalui proses analogi dengan
memperhatikan kesamaan dan atau perbedaan; (2) mencermati hubungan sebab
akibat; (3) mengkontruksi argumentasi secara logis; (4) membuat kesimpulan.
Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika menurut NCTM (2000),
kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika juga penting
untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematis siswa
dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik secara
lisan maupun tulisan yang dapat terjadi dalam proses pembelajaran. Menurut
Collins (Asikin, 2002) dalam buku Mathematics: Applications and Connections
disebutkan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika
adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk
mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui lisan
maupun tulisan, modeling, speaking, writting, talking, drawing serta
Sehubungan dengan komunikasi matematis, Lindquist dan Elliott (1996)
menyebutkan bahwa “jika kita ingin memenuhi kebutuhan masyarakat pekerja
sosial yang mampu membaca dan menulis secara matematis, belajar sepanjang
hayat, berkesempatan untuk banyak hal, maka kita semua akan memerlukan
komunikasi matematis”. Kenyataan yang sering terlihat adalah siswa kurang
berani mengungkapkan apa yang ia pikirkan, takut salah atau merasa malu.
Seringkali jika diberi pertanyaaan, siswa tidak langsung menjawab, tetapi
menoleh ke kiri atau ke kanan seakan-akan mencari dukungan pada teman di
sebelahnya (Asmiati, 2009). Jika mereka diberi soal dalam bentuk verbal
seringkali mereka memberikan komentar untuk kesimpulan yang cenderung hanya
meniru kata-kata yang ada pada soal sebelumnya yang mirip dengan soal tersebut.
Kondisi ini selain menunjukkan lemahnya kemampuan komunikasi matematis
siswa, rendahnya rasa percaya diri, juga memperlihatkan siswa kurang mampu
mengelola emosinya, selalu ragu-ragu dalam bertindak.
Menyadari akan pentingnya kemampuan komunikasi matematis maka
guru perlu mengupayakan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatihkan
kemampuan komunikasi. Menurut Baroody (1993) pada pembelajaran matematika
dengan pendekatan tradisional, kemampuan komunikasi siswa masih terbatas
pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh
guru. Cai dan Patricia (2000) berpendapat guru dapat mempercepat peningkatan
variasi. Oleh karena itu perubahan pandangan guru dalam belajar harus menjadi
fokus utama dalam setiap kegiatan pembelajaran matematika.
Hasil belajar matematika siswa sampai saat ini masih menjadi suatu
permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang tua siswa maupun
oleh para pakar pendidikan matematka sendiri. Pada penelitian yang dilakukan
Rohaeti (2003), Wihatma (2004), Helmaheri (2004) dan Astuti (2009)
menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi siswa berada pada
kualifikasi kurang dan siswa dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika
kurang sekali. Sehingga penulis ingin mengkaji lebih mendalam kemampuan
komunikasi dengan indikator yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu
kemampuan siswa dalam: (1) mengilustrasikan ide matematika ke dalam bentuk
model matematika yaitu bentuk persamaan, notasi, gambar dan grafik atau
sebaliknya; (2) membaca dengan merepresentasikan simbol-simbol matematis
yang diberikan; (3) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika ke dalam
bahasa sendiri.
Untuk dapat mencapai standar-standar kemampuan pembelajaran
matematika baik yang tercantum dalam kurikulum ataupun NCTM, seorang guru
hendaknya dapat menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa aktif
belajar dengan mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan
pengetahuannya. Karena mengajar matematika tidak sekedar menyusun urutan
informasi, tetapi perlu meninjau relevansinya bagi kegunaan dan kepentingan
mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikan ide-ide
yang muncul dalam benak siswa.
Standar kemampuan matematis yang diharapkan dimiliki oleh siswa tidak
dapat terwujud hanya dengan mengendalikan proses pembelajaran yang selama
ini berjalan, dengan urutan-urutan seperti: diajarkan teori/definisi/teorema,
diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal (Soejadi, 2000). Proses
pembelajaran seperti ini kecil kemungkinan membuat siswa belajar secara aktif
dan memiliki kemampuan bernalar, tetapi lebih menerima ilmu secara pasif.
Dengan demikian, proses pembelajaran yang selama ini umumnya dilakukan oleh
para guru di sekolah menjadi kurang tepat, karena akan membuat siswa menjadi
pribadi yang pasif.
Hal senada diungkapkan oleh Turmudi (2008) yang memandang bahwa
pembelajaran matematika selama ini kurang melibatkan siswa secara aktif,
sebagaimana dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika selama ini
disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh
informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga dapat dikatakan
rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa akan kurang dilibatkan dalam
menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini
menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam
ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam
memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan
Kemampuan komunikasi matematis siswa bisa dikembangkan dengan
berbagai cara, salah satunya dengan melakukan diskusi kelompok. Brenner (1998)
menemukan bahwa pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan
pengembangan kemampuan komunikasi matematis. Dengan adanya
kelompok-kelompok kecil, maka intensitas siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan
lebih tinggi. Sehingga duharapkan dapat meningkatan kemampuan komunikasi
matematisnya. Sementara itu Clark (2005) menyatakan bahwa untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa bisa diberikan 4
strategi, yaitu: (1) Memberikan tugas yang memadai untuk membuat siswa atau
kelompok diskusi lebih aktif; (2) Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
siswa agar bisa mengungkapkan ide-idenya; (3) Mengarahkan siswa untuk
menjelaskan dan memberi argumentasi pada hasil dan gagasan-gagasan yang
dipikirkan; (4) mengarahkan siswa agar aktif memproses berbagai macam ide dan
gagasanya.
Selama ini, telah banyak model pembelajaran yang diterapkan
dikelas-kelas pembelajaran dan banyak penelitian yang telah dilakukan dalam upaya
perbaikan pembelajaran di kelas, diantaranya model reciprocal teaching. Dalam
tesis penelitian pada tahun 2004, Rahman menggunakan model reciprocal
teaching untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan
generalisasi matematik siswa SMA. Pada tahun yang sama Hendriyana juga
mengembangkan model reciprocal teaching dalam penelitian tesisnya. Hasilnya
dengan menerapkan model reciprocal teaching ini ternyata dapat meningkatkan
seminar MIPA pada tahun 2000 di Unversitas Negeri Yogyakarta juga
menerapkan pembelajaran dengan model reciprocal teaching dalam perkuliahan
di Jurusan Pendidikan Matematika sebagai wahana untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam belajar mandiri (Astuti, 2009). Model reciprocal
teaching, diharapkan mampu meningkatkan kinerja mahasiswa dalam belajar
mandiri yang diharapkannya adalah menurut Diedrich (Astuti, 2009) yang
meliputi: visual activities, drawing activities, oral activities, listening activities,
wtitten activities, motor activities, dan emotional activities.
Palinscar (1986 ) menyatakan bahwa reciprocal teaching adalah suatu
kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar yang telah disusun kemudian
siswa meringkasnya, membuat pertanyaan, mengklarifikasi dan menyusun
prediksi. Pembelajaran yang dilakukan secara kooperatif yang salah satu anggota
kelompok berperan sebagai ketua kelompok. Salah satu siswa yang bertugas
sebagai ketua kelompok tersebut memimpin teman-teman dalam kelompoknya
untuk melaksanakan tahap-tahap reciprocal teaching. Sedangkan guru berperan
sebagai fasilitator dan pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan oleh guru atau siswa kepada siswa lainnya
untuk belajar dan menyelesaikan masalah.
Pemilihan model pembelajaran harus diarahkan pada kemampuan siswa
yang umumnya heterogen. Ada kemungkinan siswa berkemampuan sedang atau
rendah apabila model pembelajaran yang digunakan sesuai maka kemampuan
penalaran dan komunikasinya akan meningkat. Reciprocal teaching dalam
sifat perkembangan intelektual siswa. Hal ini dikarenakan reciprocal teaching
menerapkan sistem pembelajaran bertahap, yaitu dari hal sederhana ke kompleks,
dari konsep yang mudah ke yang sukar dan menggunakan sistem spiral yaitu
setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep yang telah dipelajari
sebelumnya karena ada keterkaitannya, sehingga model reciprocal teaching dapat
dijadikan alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis siswa.
Kaitan antara pembelajaran dengan model reciprocal teaching terhadap
kemampuan penalaran dan komunikasi matematis, bahwa dalam model reciprocal
teaching, siswa diarahkan untuk mengkonstruksi sendiri konsep yang ingin
dicapai. Pengkonstruksian diawali dengan memberikan bahan ajar dan
permasalahan yang disajikan dalam bentuk LKS, kemudian siswa meringkas
bahan ajar dan membuat pertanyaan dari permasalahan yang disajikan dalam
bentuk LKS dengan menjawab pertanyaan yang telah mereka buat.
Meringkas memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi
dan mengintegrasikan informasi yang paling penting dalam bahan ajar ataupun
masalah yang disajikan. Ketika siswa menghasilkan pertanyaan, mereka pertama
kali mengidentifikasi informasi yang cukup signifikan dalam memberikan
substansi untuk membuat pertanyaan. Kemudian informasi ini dibuat dalam
bentuk pertanyaan dan self-test untuk memastikan bahwa mereka memang bisa
menjawab pertanyaan mereka sendiri. Klarifikasi adalah kegiatan yang sangat
penting ketika siswa memiliki kesulitan memahami bahan ajar ataupun masalah
yang dia pahami dan apa yang dia tidak pahami. Di samping itu, siswa dapat
mengkomunkasikan ide-idenya melalui pertanyaan dan klarifikasi sehingga siswa
dapat mengkonstruksi pengetahuananya sendiri.
Memprediksi terjadi ketika siswa berhipotesis mengenai bahasan materi
selanjutnya. Untuk melakukan hal ini, siswa harus mengaitkan latar belakang
pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya tentang topik yang akan
dibahas selanjutnya. Membaca bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menyangkal
hipotesis mereka. Selanjutnya, para siswa diharuskan untuk menghubungkan
pengetahuan baru akan mereka hadapi dalam bahan ajar dan LKS dengan
pengetahuan yang sudah mereka miliki. Singkatnya, masing-masing strategi
dipilih sebagai sarana untuk membantu siswa untuk membangun belajar bermakna
juga sebagai sarana pemantauan membaca untuk memastikan siswa memahami
apa yang mereka baca. Memprediksi membantu siswa untuk menjadi lebih terlibat
dalam pembelajaran. Ketika siswa menggunakan keterampilan memprediksi
dalam membaca, membantu mereka untuk mengembangkan tingkat berpikir yang
lebih tinggi tentang apa yang mereka pelajari. Pada tahap inilah diharapkan siswa
dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematisnya.
Dari uraian tentang penalaran dan komunikasi matematis di atas, terlihat
bahwa kemampuan-kemampuan itu sangat perlu ditingkatkan maka penulis
tertarik untuk mengkaji Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi
B. Rumusan Masalah
Beradasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang
mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik
daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis
siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan
awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?
3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan
kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran matematis
siswa?
4. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang
mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik
daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
5. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis
siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan
awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?
6. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika dan
kemampuan awal matematis terhadap kemampuan komunikasi matematis
Pokok bahasan yang dipilih sebagai bahan ajar dalam penelitian ini yaitu
pokok bahasan segitiga dan segiempat berdasarkan kurikulum yang berlaku
diajarkan di kelas VII semester genap. Dipilihnya pokok bahasan tersebut, agar
dalam pembelajaran pada penelitian yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan dalam meningkatkan aspek penalaran dan komunikasi matematis.
Selain itu topik ini memiliki nilai guna yang sangat erat kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari, sehingga diduga akan cocok jika penyampaian materi
tersebut dengan model pembelajaran reciprocal teaching.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menelaah apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa
yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik
daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
2. Menelaah apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan
siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok
kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?
3. Menelaah apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang
diberikan dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran
4. Menelaah apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara
siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
5. Menelaah apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi
matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan
siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok
kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?
6. Menelaah apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika
dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan komunikasi matematis
siswa?
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak,
diantaranya:
1. Siswa, karena dalam pembelajaran reciprocal teaching terdapat pengalaman
matematik sehingga pengalaman dan pengetahuan siswa dapat lebih meresap
dan diterapkan dalam proses belajar mendatang.
2. Guru, dapat menjadi acuan ketika akan menerapkan model reciprocal
teaching dalam pembelajarannya dan dapat dijadikan salah satu alternatif
metode pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.
3. Peneliti, sebagai sarana pengembangan diri peneliti dan dapat dijadikan
E. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran persepsi terhadap beberapa istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari
istilah-istilah berikut;
1. Reciprocal teachig adalah pembelajaran dalam kelompok kecil yang diawali
dengan tugas membaca bahan ajar oleh siswa dan dilanjutkan dengan
melakukan empat kegiatan yaitu: merangkum bacaan, membuat pertanyaan,
memberi penjelasan dan membuat permasalahan lanjutan. Pembahasan dalam
kelompok dipimpin oleh siswa dan guru berperan sebagi fasilitator dan
pembimbing.
2. Kemampuan penalaran matematis adalah kemampuan siswa dalam (1)
menganalisis masalah secara matematika melalui proses analogi dengan
memperhatikan kesamaan dan atau perbedaan; (2) mencermati hubungan
sebab akibat; (3) mengkontruksi argumentasi secara logis; (4) membuat
kesimpulan.
3. Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kemampuan siswa dalam: (1) menyatakan dalam mengilustrasikan ide
matematika ke dalam bentuk model matematika yaitu bentuk persamaan,
notasi, gambar dan grafik atau sebaliknya; (2) membaca dengan
merepresentasikan simbol-simbol matematis yang diberikan; (3)
F. Hipotesis Penelitian
Sejalan dengan masalah penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis
penelitiannya adalah:
1. Peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang mendapat
pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional.
2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa
yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang
mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal
matematis (tinggi, sedang, dan rendah).
3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan
kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran matematis
siswa.
4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mendapat
pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional.
5. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa
yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang
mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal
matematis (tinggi, sedang, dan rendah).
6. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika dan kemampuan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
penalaran dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan
model reciprocal teaching bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional dan perbedaan peningkatan kemampuan penalaran
dan komunikasi matematis antar kelompok kemampuan awal matematis (tinggi,
sedang dan rendah), serta interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan
kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini metode kuasi
eksperimen dan desain kelompok kontrol nonequivalen. Pada penelitian ini ada
dua kelas subjek penelitian, yaitu kelas eksperimen yang menggunakan
pembelajaran dengan model reciprocal teaching dan kelas kontrol yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan
posttes yang sama.
Adapun desain penelitian berbentuk kuasi-eksperimen (Sugiyono, 2010)
adalah sebagai berikut:
O X O
O O
Keterangan:
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP negeri di Cianjur. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di Cianjur dengan sampel
penelitian terdiri dari dua kelas, yakni kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan
kelas VII B sebagai kelas kontrol. Penentuan sampel pada penelitian ini
dilakukan dengan ’Purposive Sampling’, yaitu sampel dipilih secara sengaja
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Sampel yang dipilih yaitu dua
kelas dari 7 kelas yang ada.
C. Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas, terikat dan kontrol.
Variabel bebasnya yaitu model reciprocal teaching dan yang menjadi variabel
terikatnya adalah kemampuan penalaran dan komunikasi matematis, sedangkan
yang menjadi variabel kontrolnya adalah kategori kemampuan awal matematis.
Kategori kemampuan awal didapat dari data ulangan harian siswa sebelum
pelaksanaan penelitian. Kategori kemampuan awal ini dikelompokan dalam tiga
kategori, yaitu kategor rendah, sedang dan tinggi seteah data ulangan harian
dirangking. Pengelompokannya menggunakan perbandingan 30% dari data siswa
untuk kelompok rendah, 40% kelompok sedang dan 30% kelompok tinggi
(Dahlan,2004).
Keterkaitan antara variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol
Tabel 3.1
Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel Kontrol
Kemampuan yang diukur
Penalaran (P) Komunikasi (K)
Pembelajaran Konvensional
PK(A) Reciprocal Teaching RT(B) Konvensional PK(A) Reciprocal Teaching RT(B) Kemampuan Awal
Tinggi (T) AT BT AT BT
Sedang (S) AS BS AS BS
Rendah (R) AR BR AR BR
Keseluruhan PPK(A) PRT(B) KPK(A) KRT(B)
Keterangan:
PK(A) : Pembelajaran konvensional
RT(B) : Pembelajaran dengan model Reciprocal Teaching
D. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, yaitu jenis tes dan
observasi. Instrumen jenis tes adalah instrumen kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis sedangkan instrumen jenis observasi adalah lembar
observasi aktivitas siswa dan guru. Masing-masing jenis instrumen tersebut
diuraikan sebagai berikut:
a. Instrumen Tes Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data kemampuan penalaran
dan komunikasi matematis adalah dengan memberikan pretes dan postes. Data
hasil pretes dan postes digunakan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
penalaran dan komunikasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum
dan setelah diberikan pembelajaran. Instrumen untuk tes kemampuan penalaran
dan komunikasi matematis disusun dengan memperhatikan setiap indikator
kemampuan penalaran dan komunikasi matematis yang diberikan dalam bentuk
Materi yang diteskan adalah geometri dimensi dua (bidang datar).
Instrumen tes penalaran terdiri dari empat soal berbentuk uraian, sedangkan
instrumen tes komunikasi terdiri dari empat soal berbentuk uraian. Walaupun
pada awalnya penulis membuat soal masing-masing tujuh soal untuk tes soal
kemampuan penalaran dan komuniksai matematis, tetapi setelah melalui tahap
ujicoba didapat soal yang valid yaitu masing-masing empat butir soal tes
kemampuan penalaran dan komunikasi matematis berbentuk uraian. Alasan
pemilihan soal berbentuk uraian, dengan maksud untuk melihat proses pengerjaan
yang dilakukan siswa sehingga dapat terlihat sejauhmana siswa mampu
melakukan penalaran dan komunikasi matematis. Indikator dari masing-masing
kemampuan dapat dilihat pada Lampiran B.1
Sebelum instrumen tes diujicobakan terlebih dahulu dikonsultasikan
kepada dua orang dosen pembimbing, untuk diperiksa segi bahasa dan redaksi,
penyajian, serta akurasi gambar, kemudian soal diujicobakan untuk mengetahui
tingkat reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda setap butir soal.
Instrumen tes diujicobakan kepada siswa kelas VII salah satu SMP negeri
di Cianjur sebanyak 31 orang. Selanjutnya dilakukan penyekoran terhadap hasil
tes ujicoba sesuai dengan pedoman penyekoran yang telah dibuat sebelumnya .
Pedoman penskoran tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada
lampiran B.3 dengan memodifikasi Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan
oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) seperti yang tercantum pada Tabel 3.2 di
Tabel 3.2. Kriteria Penilaian Kemampuan penalaran Matematis
Selain penskoran pada tes kemampuan penalaran matematis, juga
penskoran dilakukan pada tes kemampuan komunikasi. Untuk memberikan
penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk soal tes kemampuan
komunikasi berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh
Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) seperti yang tercantum pada Tabel 3.3 di bawah
[image:34.595.115.513.133.710.2]ini, yang kemudian dimodifikasi dan disajikan dalam lampiran B.3.
Tabel 3.3 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematik
Skor Respon siswa
0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan
1 Hanya sedikit yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik dan gambar yang dilukis.
2 Hanya sebagian yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik masuk akal, dan melukiskan gambar.
3 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap dan benar namun mengandung sedikit kesalahan
4 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap, jelas dan benar
Skor Kriteria
0 Tidak ada jawaban
1 Menjawab tidak sesuai dengan aspek pertanyaan tentang penalaran atau menarik kesimpulan salah
2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar
3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar
Kemudian setelah proses penyekoran data hasil ujicoba dilakukan
pengolahan data menggunakan rumus yang tersedia dengan batuan software Ms.
Exel untuk mengetahui tingkat validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat
kesukaran dari instrumen tersebut. Perhitungan tingkat validitas, reliabilitas, daya
pembeda dan tingkat kesukaran soal tes tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Validitas Butir Soal
Validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki
oleh sebutir soal dalam mengukur apa yang seharusnya diukur melalui butir soal
tersebut (Sudijono, 2010). Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai daya
dukung yang besar terhadap skor total. Berkenaan dengan validitas isinya yaitu
tentang kesahihan instrumen dengan materi yang akan ditanyakan, baik menurut
setiap butir soal maupun menurut soalnya secara keseluruhan. Untuk menentukan
validitas instrumen khususnya validitas isi, maka harus ditentukan dan dinilai oleh
para pakar yang berpengalaman dan tidak ada cara lain untuk menentukan
validitas isi ini (Ruseffendi, 2005). Untuk memperoleh butir tes yang memiliki
validitas banding yang handal, berkenaan dengan statistik menurut Ruseffendi
(2005) digunakan rumus produk moment dari pearson sebagai berikut:
}
)
(
}{
)
(
{
)
)(
(
2 2 2 2Y
Y
N
X
X
N
Y
X
XY
N
r
xy Keterangan:= Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y N = Jumlah peserta tes
Interpretasi berdasarkan nilai koefisien korelasi validitas butir soal
[image:36.595.131.511.166.561.2]disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.4.
Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas
Koefisien Korelasi Interpretasi
00 , 1 80
,
0 rxy Sangat tinggi
80 , 0 60
,
0 rxy Tinggi
60 , 0 40
,
0 rxy Cukup
40 , 0 20
,
0 rxy Rendah
20 , 0 00
,
0 rxy Sangat rendah
Sumber : Arikunto (2009)
Hasil perhitungan validitas tiap item tes uji coba, untuk mengetahui
signifikan korelasi yang didapat, selanjutnya diuji dengan menggunakan
rumus uji-t, yaitu:
ℎ �=
�−2 1− 2
Sudjana (2005)
Keterangan:
ℎ � =daya beda uji-t
� =jumlah subjek
=koefisien korelasi
Jika ℎ �> maka validitas butir soalnya valid.
Data ujicoba diolah dengan bantuan Program Ms. Exel, sehingga diperoleh
nilai koefisien korelasi validitas butir soal. Rangkuman uji validitas tes
kemampuan penalaran matematis disajikan pada Tabel 3.5. Perhitungan
Tabel 3.5
Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis
No Soal Koef.Korelasi Interpretasi t hitung t tabel keterangan
1 0,730 Tinggi 5,7528 2,0452 valid
2 0,798 Tinggi 7,1455 2,0452 valid
3a 0,832 sangat tinggi 8,1042 2,0452 valid
3b 0,841 sangat tinggi 8,3789 2,0452 valid
4a 0,843 sangat tinggi 8,4435 2,0452 valid
4b 0,807 Tinggi 7,3796 2,0452 valid
Dari Tabel 3.5, tampak bahwa keempat butir soal tes kemampuan
penalaran matematis dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Hal ini dapat
terlihat dari tingginya koefisien korelasi dari skor masing-masing butir soal
terhadap skor totalnya, termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan
hasil uji validitas ini, keempat butir soal tersebut layak untuk mengukur
kemampuan penalaran matematis siswa.
Rangkuman uji validitas tes kemampuan komunikasi matematis disajikan
[image:37.595.109.512.135.736.2]pada tabel berikut.
Tabel 3.6
Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
No Soal Koef.Korelasi Interpretasi t hitung t tabel Keterangan
1a 0,6216 Tinggi 4,2738 2,0452 valid
1b 0,7007 Tinggi 5,2892 2,0452 valid
2a 0,3784 Rendah 2,2016 2,0452 valid
2b 0,5042 Cukup 3,1448 2,0452 valid
3a 0,5800 Cukup 3,8342 2,0452 valid
3b 0,5979 Cukup 4,0175 2,0452 valid
4a 0,6151 Tinggi 4,2013 2,0452 valid
4b 0,5325 Cukup 3,3881 2,0452 valid
Dari Tabel 3.6, tampak bahwa keempat butir soal tes kemampuan
komunikasi matematis dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Walapuan
hasil koefisisen korelasinya bervariasi, mulai dari tingkat rendah sapai tinggi
tetapi hal itu cukup menunjukan bahwa masing-masing butir soal telah memiliki
validitas yang memadai sehingga keempat butir soal tersebut cukup layak untuk
mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa.
2. Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas instrumen adalah ketetapan instrumen dalam mengukur atau
ketetapan siswa dalam menjawab setiap butir instrumen tersebut (Ruseffendi,
2005). Sebuah instrumen dikatakan baik jika memiliki reliabilitas yang tinggi.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik perhitungan koefisien
reliabilitas dengan menggunakan perhitungan Cronbach’s Alpha atau Koefisien
Alpha (Arifin, 2009). Rumus yang digunakan dinyatakan dengan:
2 2 1 1 x i R R Keterangan:
= reliabilitas instrumenR = jumlah butir soal
2
i
= variansi butir soal
2
x
= variansi skor total
Tingkat reliabilitas dari soal uji coba kemampuan penalaran dan
komunikasi matematik didasarkan pada klasifikasi Guilford (Ruseffendi,
Tabel 3.7.
Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Besarnya
Tingkat Reliabilitas 0,00
0,20 Kecil0,20
0,40 Rendah 0,40
0,70 Sedang 0,70
0,90 Tinggi0,90
1,00 Sangat tinggiRangkuman perhitungan reliabilitas tes untuk kedua kemampuan tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.8 Uji Reliabilitas Tes
No. Kemampuan ��� Interpretasi
1 Panalaran 0,7844 Tinggi
2 Komunikasi 0,6468 Tinggi
Dari Tabel 3.8, tampak bahwa tes kemampuan penalaran dan tes
kemampuan komuniksai matematis memiliki konsistensi yang handal walaupun
dikerjakan oleh siapapun (dalam level yang sama), kapanpun dan di manapun.
3. Indeks Kesukaran
Indeks kesukaran ini dimaksudkan untuk mengetahui sukar atau
mudahnya soal yang digunakan. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sukar. (Arifin, 2009). Tingkat kesukaran pada
masing-masing butir soal dihitung menggunakan rumus (Sudjana, 2010):
I N B
[image:39.595.115.510.114.579.2]Keterangan:
I = indeks kesukaran untuk setiap butir soal
B = banyaknya siswa yang menjawab benar setiap butir soal N = banyaknya siswa yang memberikan jawaban pada soal yang
dimaksudkan
Hasil perhitungan tingkat kesukaran diinterpretasikan menggunakan
kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan Arikunto (2009) yang
[image:40.595.120.501.234.670.2]telah dimodifikasi, seperti Tabel berikut :
Tabel 3.9.
Kriteria Tingkat Kesukaran
Indeks Kesukaran Interpretasi
IK = 0,00 Terlalu sukar
30 , 0 00
,
0 IK Sukar
70 , 0 30
,
0 IK Sedang
00 , 1 70
,
0 IK Mudah
IK = 1,00 Terlalu Mudah
Modifikasi Arikunto (2009)
Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal
tes kemampuan penalaran matematis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.10
Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis
No Soal Koefisien Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 0,375 sedang
2 0,3229 sedang
3a 0,2813 sukar
3b 0,3021 sukar
4a 0,3958 sedang
4b 0,2917 sukar
Dari Tabel 3.10, dapat dilihat bahwa keempat soal termasuk baik karena
tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah, kecuali soal no 3 dan no 4b termasuk
benar-benar sukar, tetapi lebih dikarenakan jarangnya siswa diberikan soal-soal
penalaran matematis. Sehingga mereka tidak terbiasa mengerjakan soal-soal
penalaran.
Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal
[image:41.595.125.478.247.472.2]tes kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.11
Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komuniksai Matematis
No Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1a 0,5 Sedang
1b 0,6 Sedang
2a 0,36 Sedang
2b 0,11 Sukar
3a 0,53 Sedang
3b 0,64 Sedang
4a 0,33 Sedang
4b 0,63 Sedang
4c 0,42 Sedang
Dari Tabel 3.11, dapat dilihat bahwa keempat soal termasuk baik karena
tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah hanya ada satu komponen soal yang
interpretasinya sukar yaitu soal 2b tetapi hal itu tidak menunjukan bahwa soal
tersebut benar-benar sukar. Hal ini disebabkan karena siswa jarang diberikan
soal-soal komunikasi.
4. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan
rendah (Arikunto, 2009). Jika suatu soal yang dapat dijawab benar oleh siswa
baik siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa yang berkemampuan rendah
tidak dapat menjawab dengan benar, maka soal tersebut tidak baik juga karena
tidak mempunyai daya pembeda. (Arikunto, 2009). Untuk memperoleh
kelompok atas dan kelompok bawah, maka untuk kepentingan penelitian ini,
jumlah seluruh siswa pada suatu kelas dikelompokkan menjadi tiga kategori
dengan komposisi jumlah yang seimbang. Siswa yang termasuk ke dalam
kelompok atas adalah siswa yang mendapat skor tinggi dalam evaluasi,
sedangkan siswa yang termasuk kelompok rendah adalah siswa yang mendapat
skor rendah dalam evaluasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya
pembeda soal uraian adalah sebagai berikut:
A B A
JS
JB
JB
DP
B B A
JS
JB
JB
DP
Keterangan:
DP : daya pembeda
JBA : jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar,
atau jumlah benar kelompok atas
JBB : jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan
benar, atau jumlah benar kelompok bawah
JSA : jumlah siswa kelompok atas (higher group atau upper group)
JSB : jumlah siswa kelompok bawah (lower group)
[image:42.595.204.419.601.716.2]Interpretasi indeks daya pembeda didasarkan pada klasifikasi berikut ini:
Tabel 3.12.
Klasifikasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal DP < 0,00 Sangat jelek 0,00 < DP < 0,20 Jelek 0,20 < DP < 0,40 Cukup 0,40 < DP < 0,70 Baik 0,70 < DP < 1,00 Sangat baik
Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan penalaran matematis
[image:43.595.118.510.170.691.2]disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.13
Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis
No Soal Koefisien Daya Pembeda Interpretasi
1 0,4167 Baik
2 0,3542 Cukup
3a 0,4375 Baik
3b 0,4375 Baik
4a 0,4167 Baik
4b 0,5833 Baik
Dari Tabel 3.13, dapat dilihat bahwa keempat butir soal kemampuan
penalaran matematis dapat dengan baik membedakan antara siswa yang
berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.
Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan komuniksai matematis
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.14
Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
No Soal Koefisien Daya Pembeda Interpretasi
1a 0,44 Baik
1b 0,42 Baik
2a 0,28 Cukup
2b 0,22 Cukup
3a 0,44 Baik
3b 0,5 Baik
4a 0,56 Baik
4b 0,53 Baik
4c 0,78 sangat baik
sangat baik. Artinya setiap butir soal dapat membedakan antara siswa yang
berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.
A. Lembar observasi aktivitas guru dan siswa
Lembar observasi disusun berdasarkan sintak atau tahapan kegiatan model
reciprocal teaching. Lembar observasi aktivitas guru digunakan untuk memeriksa
kelengkapan sintak/ tahapan kegiatan pembelajaran model reciprocal teaching
yang dilaksanakan guru selama proses pembelajaran. Sedangkan lembar observasi
aktivitas siswa digunakan untuk memantau aktivitas siswa yang relavan dengan
sintak model reciprocal teaching dan aktivitas siswa yang tidak relevan dengan
sintak model reciprocal teaching.
Data hasil observasi merupakan data yang diperoleh dari pengisian lembar
observasi dengan memperhatikan kondisi kenyataan di lapangan. Tujuannya
adalah untuk melakukan refleksi dan perbaikan, sehingga pembelajaran yang
berlangsung pada tiap pertemuannya terjadi peningkatan dari pertemuan
sebelumnya dan sesuai dengan rencana yang telah disusun pada RPP. Pengolahan
dilakukan dengan menghitung rerata persentase skor pada tiap pertemuan lalu
dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya, apakah terjadi peningkatan atau
tidak. Semakin tinggi rerata persentase, maka semakin baik pembelajaran yang
berlangsung dan semakin sesuai pula dengan rencana yang telah disusun.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
mengumpulkan data yang terdapat pada lembar observasi. Lembar observasi diisi
oleh pengamat selama proses pembelajaran berlangsung yang berguna untuk
memperoleh data tentang aktivitas guru dan siswa.
Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan
kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa baik pretes maupun
posttes.
F. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap kegiatan yaitu: tahap persiapan,
tahap pelaksanaan penelitian dan tahap pengolahan data.
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan, yaitu:
a. studi kepustakaan mengenai pembelajaran matematika dengan metode
reciprocal teaching, kemampuan penalaran dan komunikasi matematis
siswa;
b. menyusun instrumen penelitian berupa soal kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis dan bahan ajar yang sesuai dengan model
pembelajaran yang digunakan, pada tahap ini disertai dengan proses
bimbingan dengan dosen pembimbing;
c. mengurus surat perizinan penelitian;
d. melakukan observasi ke sekolah untuk mengkonsultasikan mengenai
harian siswa untuk dikelompokan sebagai kemampuan awal matematis
siswa baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen serta ;
e. melaksanakan ujicoba instrumen penelitian dan mengolah data hasil
ujicoba instrumen tersebut kemudian di konsultaikan dengan dosen
pembimbing.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini, kegiatan penelitian diawali dengan memberikan pretes baik
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, hal ini bertujuan untuk mengetahui
pengetahuan awal siswa dalam kemampuan penalaran dan komunikasi matematis.
Setelah pretes dilaksanakan, selanjutnya pelaksanaan pembelajaran dengan
menggunakan model reciprocal teaching pada kelas eksperimen dan pembelajaran
dengan pendekatan konvensional pada kelas kontrol. Dalam penelitian ini peneliti
bertindak sebagai guru pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Pada saat proses pembelajaran di kelas eksperimen dilakukan observasi
oleh seorang guru pengamat, yaitu guru pengajar matematika di kelas tersebut.
Jumlah jam pelajaran, materi yang diajarkan, serta soal-soal latihan dan tugas
pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol diperlakukan sama. Kelas
eksperimen menggunakan bahan ajar rancangan peneliti, sedangkan kelas kontrol
menggunakan sumber pembelajaran dari buku paket ataupun LKS yang telah
disediakan oleh sekolah. Jumlah pertemuan pada kelas eksperimen dan kontrol
masing-masing sepuluh kali pertemuan.
Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran matematika dengan model
1. Kegiatan awal ( 10 menit)
a. Guru mengelompokan siswa. Tiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa.
b. Guru melakukan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa
untuk menggali kemampuan awal yang berkaitan dengan konsep yang
akan dipelajari dan memberikan motivasi kepada siswa dengan
menjelaskan pentingnya pembelajaran matematika dan membaca buku
teks.
c. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta
penilaian yang akan dilakukan berupa partisipsi siswa dalam setiap
kelompok, hasil kerja kelompok dan hasil mengerjakan soal latihan.
d. Pada pertemuan pertama guru menyampaikan mekanisme yang akan
digunakan dalam pembelajaran dengan model reciprocal teaching dengan
menjelaskan, memimpin, melaksanakan dan memperagakan empat strategi
reciprocal teaching, yaitu membaca kemudian merangkum bahan ajar,
siswa diharapkan dapat membuat pertanyaan, menjelaskan dan
memprediksi masalah baru yang akan muncul dari situasi yang
dianalisisnya. Selanjutnya guru menyampaikan kepada siswa