• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI RECIPROCAL TEACHING.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI RECIPROCAL TEACHING."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... 1

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... .... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Definisi Operasional ... 20

F. Hipotesis Penelitian ... 21

BAB II LANDASAN TEORETIS A. Kemampuan Penalaran Matematis ... 22

B. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 28

C. Model Reciprocal Teaching ... 31

D. Teori Belajar yang Mendukung ... 41

E. Penelitian yang Relevan ... 45

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 48

B. Populasi dan Sampel Penelitian... 49

C. Variabel Penelitian ... 49

D. Instrumen Penelitian ... 50

(2)

F. Prosedur Penelitian ... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 76

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 123

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 136

B. Saran ... 138

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel

Kontrol ... 30

Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Kemampuan Penalaran Matematis ... .. 51

Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis... 52

Tabel 3.4 Koefisien Korelasi Validitas dan Interpretasinya ... 53

Tabel 3.5 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 54

Tabel 3.6 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 56

Tabel 3.7 Koefisien Reliabilitas dan Interpretasinya ... 57

Tabel 3.8 Uji Reliabilitas Tes ... 57

Tabel 3.9 Koefisien Tingkat Kesukaran dan Interpretasinya ... 58

Tabel 3.10 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 58

Tabel 3.11 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 59

Tabel 3.12 Koefisien Daya Pembeda dan Interpretasinya ... 60

Tabel 3.13 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 61

Tabel 3.14 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis . 61 Tabel 3.15 Klasifikasi Gain ... 69

Tabel 3.16 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 74

Tabel 4.1 Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Awal matematis ... 77

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis... 78

Tabel 4.3 Uji Mann-Whitney U Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis ... 79

Tabel 4.4 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 81

(4)

Tabel 4.6 Uji ANOVA Dua JalurData Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 83

Tabel 4.7 Kemampuan Komunikasi Matematis berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Awal matematis ... 87

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 89

Tabel 4.9 Uji Mann-Whitney U Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 89

Tabel 4.10 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 92

Tabel 4.11 Uji Homogenitas Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 93

Tabel 4.12 Uji ANOVA Dua Jalur Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 93

Tabel 4.13 Uji Scheffe Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis antar Kemampuan Awal Matematis ... 96

Tabel 4.14 Hasil Pengamatan Aktivuitas Guru Selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching ... 100

Tabel 4.15 Respon Siswa Terhadap Postes Kemampuan Penalaran Matematis 107

(5)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 4.1 Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa

Berdasarkan Fajtor Pembelajaran dan Faktor Kemampuan

Awal Matematis... 86

Gambar 4.2 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Fajtor Pembelajaran dan Faktor Kemampuan AwalMatematis………... 98

Gambar 4.3 Diagram Aktivitas Positif Siswa selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching.……...…... 102

Gambar 4.4 Diagram Aktivitas Negatif Siswa selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching …...…. 103

Gambar 4.5 Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Eksperimen…...…… 103

Gambar 4.6 Aktivitas Guru sedang Melaksanakan Scaffolding dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Eksperimen ... 104

Gambar 4.7 Salah Seorang Siswa di Kleas Eksperimen Sedang Memimpin Dialog dengan Menyajikan Hasil Diskusinya... 105 Gambar 4.8 Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Kontrol ... 105

Gambar 4.9 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 1... 109

Gambar 4.10 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 1... 110

Gambar 4.11 Butir Soal No. 2 ... 111

Gambar 4.12 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 112

Gambar 4.13 Butir Soal No. 3 ... 113

Gambar 4.14 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 114

Gambar 4.15 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 115

Gambar 4.16 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 116

Gambar 4.17 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 117

(6)

Gambar 4.19 Butir Soal No. 2... 119

Gambar 4.20 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 120

Gambar 4.21 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 121

Gambar 4.22 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 122

Gambar 4.23 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 123

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A.1 RPP Kelas Eksperimen... 146

Lampiran A.2 Bahan Ajar Kelas Eksperimen ... 151

Lampiran A.3 LKS Kelas Eksperimen ... 158

Lampiran B.1a Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 161

Lampiran B.1b Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 162

Lampiran B.2a Instrumen Kemampuan Penalaran Matematis ... 163

Lampiran B.2b Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematis ... 167

Lampiran B.3a Alternatif Jawaban dan Penskoran Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 169

Lampiran B.3b Alternatif Jawaban dan Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 177

Lampiran C.1 Lembar Observasi Aktivitas Guru ... 184

Lampiran C.2 Lembar Observasi Aktivitas Siswa ... 186

Lampiran D.1a Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 189

Lampiran D.1b Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Komunuikasi Matematis ... 190

Lampiran D.2 Analisis Data Validitas Tes Kemampuan Penalaran Matematis 191 Lampiran D.3 Analisis Data Reliabilitas Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 194

Lampiran D.4 Analisis Data Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 195

Lampiran D.5 Analisis Data Daya Pembeda Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 195

Lampiran D.6 Analisis Data Validitas Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 196

(8)

Lampiran D.8 Analisis Data Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 200

Lampiran D.9 Analisis Data Daya Pembeda Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 200

Lampiran E Daftar Nilai Awal Siswa Kelas Eksperimen ... 201

Lampiran E Daftar Nilai Awal Siswa Kelas Kontrol ... 202

Lampiran E.1a Hasil Pretes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen ... 203

Lampiran E.1b Hasil Pretes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Kontrol 204 Lampiran E.2a Hasil Postes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen ... 205

Lampiran E.2b Hasil Postes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Kontrol ... 206

Lampiran E.3a Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen ... 207

Lampiran E.3b Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Kontrol ... 208

Lampiran E.4a Hasil Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen ... 209

Lampiran E.4b Hasil Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Kontrol ... 210

Lampiran E.5a Hasil Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Kelas Kontrol ... 211

Lampiran E.5b Hasil Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Kelas Eksperimen ... 212

Lampiran E.6a Uji Statistik Data Kemampuan Penalaran Matematis ... 213

Lampiran E.6b Uji Statistik Data Kemampuan Komunikasi Matematis ... 221

Lampiran F.1 Data Aktivitas Guru selama Pembelajaran ... 229

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempunyai peranan

penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan materi

matematika menjadi suatu keharusan dalam pemetaan nalar siswa terutama pada

saat pengambilan keputusan dalam menyelesaikan permasalahan. Jika siswa

kurang menggunakan nalar dalam menyelesaikan masalah, maka akan gagal

menguasai matematika dengan baik (Wahyudin, 1999). Oleh karena itu,

pembelajaran matematika di sekolah harus dapat mengembangkan potensi yang

dimiliki siswa, sehingga mereka diharapkan mampu menyelesaikan masalah dan

menguasai matematika dengan benar.

Sumarmo (2004) mengatakan pendidikan matematika pada hakikatnya

memiliki dua arah pengembangan yaitu pengembangan masa kini dan masa

datang. Pada masa kini pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman

matematis siswa dan disiplin ilmu lainnya dalam menyelesaikan masalah ketika

mereka masih duduk dibangku sekolah. Sedangkan pengembangan masa

mendatang mempunyai arti yaitu memberikan kemampuan nalar yang logis,

sistematis, kritis dan cermat serta berpikir obyektif dan terbuka dalam

menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan.

Dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya mengembangkan proses

(10)

bahwa pendidikan matematika pada hakikatnya memiliki dua tujuan yaitu; (1)

tujuan yang bersifat formal dan (2) tujuan yang bersifat material. Tujuan yang

bersifat formal memberi tekanan pada penataan nalar serta pembentukan karakter

siswa dan tujuan yang bersifat material yaitu memberi tekanan pada

mengaplikasikan matematika serta kemampuan memecahkan masalah

matematika. Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika

maupun pola pikir matematika dalam menyelesaikan masalah kehidupan

sehari-hari.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (2006) menyatakan tujuan

pembelajaran matematika diantaranya adalah agar siswa memiliki kemampuan

sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan

sebagai antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,

akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran

pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat

generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan

matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami

masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,

diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki

sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa

ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet

dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Demikian pula halnya tujuan yang

(11)

Mathematics (NCTM) (2000), menetapkan standar-standar kemampuan

matematis yang harus dimiliki oleh siswa, seperti kemampuan pemecahan

masalah (problem solving), kemampuan komunikasi (communication),

kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan

kemampuan representasi (representation). Berdasarkan uraian di atas,

kemampuan penalaran dan komunikasi matematis termuat dalam standar

kemampuan menurut Depdiknas dan NTCM, sehingga merupakan dua

kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika.

Pentingnya kemampuan penalaran matematis dapat terlihat dalam standar

penalaran yang ditetapkan oleh NCTM (2000) yang merekomendasikan bahwa

tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6-8 adalah agar siswa dapat: (1)

menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan; (2) merumuskan

generalisasi dan konjektur hasil observasi keteraturan; (3) mengevaluasi

konjektur; dan (4) membuat dan mengevaluasi argumen matematika. Selain itu

pentingnya penalaran diungkapkan pula oleh Depdiknas (2002) bahwa “ Materi

matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan, karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran

dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika”. Sejalan dengan hal

tersebut, Shadiq (2007) berpendapat bahwa seni bernalar dibutuhkan dalam semua

segi dan sisi kehidupan agar setiap warga bangsa dapat menunjukkan dan

menganalisis masalah secara jernih, dapat memecahkan masalah dengan tepat,

serta dapat mengemukakan pendapat maupun idenya serta runtut dan logis.

(12)

terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan siswa penalaran

logika. Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi

siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian

prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya (Rochmad,

2008). Hal yang sama dikemukakan oleh Tinggih (Suherman, 2001) bahwa

matematika adalah ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dengan bernalar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kemampuan penalaran matematis

diperlukan oleh siswa agar siswa dapat menguasai konsep matematika dengan

benar dan dapat menganalisis masalah dengan tepat sehingga dapat mempernudah

dalam menyelesaikan masalah matematika maupun masalah dalam kehidupan

sehari-hari. Dengan penalaran seseorang akan lebih cepat dalam berpikir dan

akurat dalam mengambil keputusan. Selanjutnya Baroody (Juariah, 2008)

mengungkapkan ada empat alasan mengapa penalaran penting untuk matematika

dan kehidupan sehari-hari, yaitu:

1. The reasoning needed to do mathematics artinya penalaran diperlukan untuk

mengerjakan matematika. Ini berarti penalaran berperan penting dalam

pengembangan dan aplikasi matematika.

2. The need for reasoning in school mathematics artinya penalaran dibutuhkan

dalam pelajaran matematika di sekolah. Hal ini jelas terlihat bahwa untuk

menguasai konsep matematika dengan benar diperlukan penalaran dalam

(13)

3. Reasoning involved in other content areas. Artinya

keterampilan-keterampilan penalaran dapat diterapkan pada ilmu-ilmu lainnya. Hal ini

berarti bahwa penalaran dapat menunjang dalam pengembangan ilmu lainnya.

4. Reasoning for everyday life. Artinya penalaran berguna untuk kehidupan

sehari-hari. Ini berarti penalaran berguna untuk mengatasi masalah kehidupan

sehari-hari.

Selain kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi matematis siswa

pun penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pentingnya

kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat dari standar kemampuan

komunikasi yang ditetapkan oleh NCTM pada tahun 2000, menetapkan bahwa

standar kemampuan komunikasi matematis ditingkat sekolah dasar dan menengah

adalah siswa harus mampu: (1) mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan

pemikiran matematis mereka melalui komunikasi; (2) mengkomunikasikan

(menyampaikan) pemikiran matematis mereka secara jelas dan terarah kepada

teman, guru dan orang lain; (3) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran

matematis dan strategi yang dibuat orang lain; dan (4) menggunakan bahasa

matematika untuk mengungkapkan ide matematika dengan tepat.

Pentingnya kemampuan komunikasi juga dikemukakan Jacob (2003),

bahwa matematika sebagai bahasa, sehingga komunikasi matematis merupakan

esensi dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Sejalan dengan Jacob,

Pugalee (2001) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa perlu

(14)

memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga

proses pembelajarannya akan menjadi bermakna.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kemampuan komunikasi

matematis harus dimiliki siswa untuk menyampaikan apa yang ia pikirkan,

mengemukakan ide/gagasannya ketika berhubungan dengan orang lain atau

mengungkapkan hasil penalarannya dalam proses pembelajaran. Siswa

memerlukan kemampuan komunikasi, karena dengan komunikasi matematis

siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematikanya baik secara lisan maupun

secara tulisan yang terjadi dalam proses pembelajaran.

Namun, Fakta di lapangan belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan.

Berdasarkan laporan The Trends in International Mathematics and Science Study

(TIMSS) tahun 2003 dilaporkan bahwa untuk salah satu soal yang berkaitan

dengan penalaran matematis hanya sekitar 7% siswa Indonesia yang menjadi

sampel mampu menjawab soal tersebut. Sedangkan siswa dari Singapura sekitar

44% yang mampu mejawab soal yang sama. Pada TIMSS 2007, untuk jenis soal

yang sama hanya sekitar 17% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu

menjawab, sedangkan siswa Singapura sekitar 59%. Kesimpulan dari laporan

studi TIMSS tersebut, tidak jauh berbeda dengan hasil PISA 2009. Prestasi

belajar matematika siswa di Indonesia dari data PISA tahun 2009 Indonesia hanya

menduduki rangking 61 dari 65 peserta dengan rata skor 371, sementara

rata-rata skor internasional adalah 500 (Wardhani dan Rumiati, 2011).

Pada kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia, berdasarkan

(15)

Indonesia dalam komunikasi matematika sangat jauh di bawah negar-negara lain.

Sebagai contoh, untuk soal matematika yang menyangkut kemampuan

komunikasi matematis, siswa Indonesia yang berhasil menjawab benar hanya 5 %

dan jauh dibawah negara seperti Singapura, Korea, dan Tiwan yang mencapai

lebih dari 50%. Namun kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa

Indonesia dari hasil riset TIMSS (2003 dan 2007) serta PISA (2009) belum cukup

menggambarkan kemampuan siswa Indonesia pada kelompok tinggi, sedang atau

rendah. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengkaji kemampuan

penalaran dan komunikasi matematis siswa berdasarkan pengelompokan

kemampuan awal matematis siswa tinggi, sedang, dan rendah.

Laporan TIMSS dan PISA di atas merupakan salah satu indikator yang

menunjukkan bahwa hasil pembelajaran kemampuan penalaran dan komunikasi

matematis siswa di Indonesia belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.

Rendahnya hasil pembelajaran matematika di Indonesia disebabkan oleh beberapa

faktor. Salah satu faktor penyebabnya, berkaitan dengan pembelajaran yang

diselenggarakan guru di sekolah. Widdiharto (2004) dan Tahmir (2007)

menyatakan bahwa pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama (SMP)

cenderung text book oriented dan masih didominasi dengan pembelajaran yang

terpusat pada guru. Kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang

mempertimbangkan tingkat kognitif siswa yang disesuaikan dengan

perkembangan usianya.

Seseorang dengan kemampuan penalaran yang rendah akan selalu

(16)

Hal itu dikarenakan ketidakmampuannya dalam menghubungkan fakta dan bukti

untuk sampai pada suatu kesimpulan. Sehingga dapat diartikan bahwa

pengembangan kemampuan penalaran dan komunikasi menjadi esensial agar

siswa mampu melakukan analisis sebelum membuat keputusan, dan mampu

membuat argumen untuk mempertahankan pendapatnya.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

penalaran matematis, Pada tahun 2010 Yuniati mengembangkan model

pembelajaran Problem Posing untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan

penalaran matematis siswa SMP, namun peningkatan penalarannya masih dalam

tahap sedang sehingga masih perlu ditingkatkan. Pembelajaran berbalik atau

reciprocal teaching adalah salah satu model pembelajaran matematika yang

dipandang tepat untuk meningkatkan kemampuan penalaran dan berpikir kritis

matematis (Karim, 2010). Setelah dilakukan pembelajaran model reciprocal

teaching pada siswa kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional pada

kelompok kontrol, terdapat peningkatan penalaran dan berpikir kritis matematis

siswa yang signifikan pada siswa kelompok eksperimen. Namun, peningkatan

kemampuan penalaran matematis siswa yang diperoleh ini belum optimal, karena

rerata peningkatannya masih pada tingkat sedang yaitu sebesar 0,66 dengan

klasifikasi kategori sedang, Karim (2010).

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis Sudihartinih (2009) ketuntasan

belajar secara klasikal tercapai dalam kemampuan penalaran dan pemahaman

konsep pada siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik Structure of

(17)

matematis pada siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik SOLO belum

mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. walaupun demikian kemampuan

penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik SOLO

lebih baik daripada yang pembelajarannya dengan konvensional. Dari beberapa

studi tentang penalaran di atas terlihat bahwa kemampuan siswa dalam

kemampuan penalaran masih perlu ditingkatkan. Hal tersebut membuat penulis

ingin mengkaji lebih jauh tentang kemampuan penalaran dengan indikator yang

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu kemampuan siswa dalam:

(1) menganalisis masalah secara matematika melalui proses analogi dengan

memperhatikan kesamaan dan atau perbedaan; (2) mencermati hubungan sebab

akibat; (3) mengkontruksi argumentasi secara logis; (4) membuat kesimpulan.

Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika menurut NCTM (2000),

kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika juga penting

untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematis siswa

dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik secara

lisan maupun tulisan yang dapat terjadi dalam proses pembelajaran. Menurut

Collins (Asikin, 2002) dalam buku Mathematics: Applications and Connections

disebutkan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika

adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk

mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui lisan

maupun tulisan, modeling, speaking, writting, talking, drawing serta

(18)

Sehubungan dengan komunikasi matematis, Lindquist dan Elliott (1996)

menyebutkan bahwa “jika kita ingin memenuhi kebutuhan masyarakat pekerja

sosial yang mampu membaca dan menulis secara matematis, belajar sepanjang

hayat, berkesempatan untuk banyak hal, maka kita semua akan memerlukan

komunikasi matematis”. Kenyataan yang sering terlihat adalah siswa kurang

berani mengungkapkan apa yang ia pikirkan, takut salah atau merasa malu.

Seringkali jika diberi pertanyaaan, siswa tidak langsung menjawab, tetapi

menoleh ke kiri atau ke kanan seakan-akan mencari dukungan pada teman di

sebelahnya (Asmiati, 2009). Jika mereka diberi soal dalam bentuk verbal

seringkali mereka memberikan komentar untuk kesimpulan yang cenderung hanya

meniru kata-kata yang ada pada soal sebelumnya yang mirip dengan soal tersebut.

Kondisi ini selain menunjukkan lemahnya kemampuan komunikasi matematis

siswa, rendahnya rasa percaya diri, juga memperlihatkan siswa kurang mampu

mengelola emosinya, selalu ragu-ragu dalam bertindak.

Menyadari akan pentingnya kemampuan komunikasi matematis maka

guru perlu mengupayakan pembelajaran dengan menggunakan

pendekatan-pendekatan yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatihkan

kemampuan komunikasi. Menurut Baroody (1993) pada pembelajaran matematika

dengan pendekatan tradisional, kemampuan komunikasi siswa masih terbatas

pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh

guru. Cai dan Patricia (2000) berpendapat guru dapat mempercepat peningkatan

(19)

variasi. Oleh karena itu perubahan pandangan guru dalam belajar harus menjadi

fokus utama dalam setiap kegiatan pembelajaran matematika.

Hasil belajar matematika siswa sampai saat ini masih menjadi suatu

permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang tua siswa maupun

oleh para pakar pendidikan matematka sendiri. Pada penelitian yang dilakukan

Rohaeti (2003), Wihatma (2004), Helmaheri (2004) dan Astuti (2009)

menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi siswa berada pada

kualifikasi kurang dan siswa dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika

kurang sekali. Sehingga penulis ingin mengkaji lebih mendalam kemampuan

komunikasi dengan indikator yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu

kemampuan siswa dalam: (1) mengilustrasikan ide matematika ke dalam bentuk

model matematika yaitu bentuk persamaan, notasi, gambar dan grafik atau

sebaliknya; (2) membaca dengan merepresentasikan simbol-simbol matematis

yang diberikan; (3) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika ke dalam

bahasa sendiri.

Untuk dapat mencapai standar-standar kemampuan pembelajaran

matematika baik yang tercantum dalam kurikulum ataupun NCTM, seorang guru

hendaknya dapat menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa aktif

belajar dengan mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan

pengetahuannya. Karena mengajar matematika tidak sekedar menyusun urutan

informasi, tetapi perlu meninjau relevansinya bagi kegunaan dan kepentingan

(20)

mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikan ide-ide

yang muncul dalam benak siswa.

Standar kemampuan matematis yang diharapkan dimiliki oleh siswa tidak

dapat terwujud hanya dengan mengendalikan proses pembelajaran yang selama

ini berjalan, dengan urutan-urutan seperti: diajarkan teori/definisi/teorema,

diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal (Soejadi, 2000). Proses

pembelajaran seperti ini kecil kemungkinan membuat siswa belajar secara aktif

dan memiliki kemampuan bernalar, tetapi lebih menerima ilmu secara pasif.

Dengan demikian, proses pembelajaran yang selama ini umumnya dilakukan oleh

para guru di sekolah menjadi kurang tepat, karena akan membuat siswa menjadi

pribadi yang pasif.

Hal senada diungkapkan oleh Turmudi (2008) yang memandang bahwa

pembelajaran matematika selama ini kurang melibatkan siswa secara aktif,

sebagaimana dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika selama ini

disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh

informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga dapat dikatakan

rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa akan kurang dilibatkan dalam

menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini

menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam

ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam

memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan

(21)

Kemampuan komunikasi matematis siswa bisa dikembangkan dengan

berbagai cara, salah satunya dengan melakukan diskusi kelompok. Brenner (1998)

menemukan bahwa pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan

pengembangan kemampuan komunikasi matematis. Dengan adanya

kelompok-kelompok kecil, maka intensitas siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan

lebih tinggi. Sehingga duharapkan dapat meningkatan kemampuan komunikasi

matematisnya. Sementara itu Clark (2005) menyatakan bahwa untuk

mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa bisa diberikan 4

strategi, yaitu: (1) Memberikan tugas yang memadai untuk membuat siswa atau

kelompok diskusi lebih aktif; (2) Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

siswa agar bisa mengungkapkan ide-idenya; (3) Mengarahkan siswa untuk

menjelaskan dan memberi argumentasi pada hasil dan gagasan-gagasan yang

dipikirkan; (4) mengarahkan siswa agar aktif memproses berbagai macam ide dan

gagasanya.

Selama ini, telah banyak model pembelajaran yang diterapkan

dikelas-kelas pembelajaran dan banyak penelitian yang telah dilakukan dalam upaya

perbaikan pembelajaran di kelas, diantaranya model reciprocal teaching. Dalam

tesis penelitian pada tahun 2004, Rahman menggunakan model reciprocal

teaching untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan

generalisasi matematik siswa SMA. Pada tahun yang sama Hendriyana juga

mengembangkan model reciprocal teaching dalam penelitian tesisnya. Hasilnya

dengan menerapkan model reciprocal teaching ini ternyata dapat meningkatkan

(22)

seminar MIPA pada tahun 2000 di Unversitas Negeri Yogyakarta juga

menerapkan pembelajaran dengan model reciprocal teaching dalam perkuliahan

di Jurusan Pendidikan Matematika sebagai wahana untuk meningkatkan

kemampuan mahasiswa dalam belajar mandiri (Astuti, 2009). Model reciprocal

teaching, diharapkan mampu meningkatkan kinerja mahasiswa dalam belajar

mandiri yang diharapkannya adalah menurut Diedrich (Astuti, 2009) yang

meliputi: visual activities, drawing activities, oral activities, listening activities,

wtitten activities, motor activities, dan emotional activities.

Palinscar (1986 ) menyatakan bahwa reciprocal teaching adalah suatu

kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar yang telah disusun kemudian

siswa meringkasnya, membuat pertanyaan, mengklarifikasi dan menyusun

prediksi. Pembelajaran yang dilakukan secara kooperatif yang salah satu anggota

kelompok berperan sebagai ketua kelompok. Salah satu siswa yang bertugas

sebagai ketua kelompok tersebut memimpin teman-teman dalam kelompoknya

untuk melaksanakan tahap-tahap reciprocal teaching. Sedangkan guru berperan

sebagai fasilitator dan pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding

merupakan bantuan yang diberikan oleh guru atau siswa kepada siswa lainnya

untuk belajar dan menyelesaikan masalah.

Pemilihan model pembelajaran harus diarahkan pada kemampuan siswa

yang umumnya heterogen. Ada kemungkinan siswa berkemampuan sedang atau

rendah apabila model pembelajaran yang digunakan sesuai maka kemampuan

penalaran dan komunikasinya akan meningkat. Reciprocal teaching dalam

(23)

sifat perkembangan intelektual siswa. Hal ini dikarenakan reciprocal teaching

menerapkan sistem pembelajaran bertahap, yaitu dari hal sederhana ke kompleks,

dari konsep yang mudah ke yang sukar dan menggunakan sistem spiral yaitu

setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep yang telah dipelajari

sebelumnya karena ada keterkaitannya, sehingga model reciprocal teaching dapat

dijadikan alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran dan

komunikasi matematis siswa.

Kaitan antara pembelajaran dengan model reciprocal teaching terhadap

kemampuan penalaran dan komunikasi matematis, bahwa dalam model reciprocal

teaching, siswa diarahkan untuk mengkonstruksi sendiri konsep yang ingin

dicapai. Pengkonstruksian diawali dengan memberikan bahan ajar dan

permasalahan yang disajikan dalam bentuk LKS, kemudian siswa meringkas

bahan ajar dan membuat pertanyaan dari permasalahan yang disajikan dalam

bentuk LKS dengan menjawab pertanyaan yang telah mereka buat.

Meringkas memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi

dan mengintegrasikan informasi yang paling penting dalam bahan ajar ataupun

masalah yang disajikan. Ketika siswa menghasilkan pertanyaan, mereka pertama

kali mengidentifikasi informasi yang cukup signifikan dalam memberikan

substansi untuk membuat pertanyaan. Kemudian informasi ini dibuat dalam

bentuk pertanyaan dan self-test untuk memastikan bahwa mereka memang bisa

menjawab pertanyaan mereka sendiri. Klarifikasi adalah kegiatan yang sangat

penting ketika siswa memiliki kesulitan memahami bahan ajar ataupun masalah

(24)

yang dia pahami dan apa yang dia tidak pahami. Di samping itu, siswa dapat

mengkomunkasikan ide-idenya melalui pertanyaan dan klarifikasi sehingga siswa

dapat mengkonstruksi pengetahuananya sendiri.

Memprediksi terjadi ketika siswa berhipotesis mengenai bahasan materi

selanjutnya. Untuk melakukan hal ini, siswa harus mengaitkan latar belakang

pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya tentang topik yang akan

dibahas selanjutnya. Membaca bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menyangkal

hipotesis mereka. Selanjutnya, para siswa diharuskan untuk menghubungkan

pengetahuan baru akan mereka hadapi dalam bahan ajar dan LKS dengan

pengetahuan yang sudah mereka miliki. Singkatnya, masing-masing strategi

dipilih sebagai sarana untuk membantu siswa untuk membangun belajar bermakna

juga sebagai sarana pemantauan membaca untuk memastikan siswa memahami

apa yang mereka baca. Memprediksi membantu siswa untuk menjadi lebih terlibat

dalam pembelajaran. Ketika siswa menggunakan keterampilan memprediksi

dalam membaca, membantu mereka untuk mengembangkan tingkat berpikir yang

lebih tinggi tentang apa yang mereka pelajari. Pada tahap inilah diharapkan siswa

dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematisnya.

Dari uraian tentang penalaran dan komunikasi matematis di atas, terlihat

bahwa kemampuan-kemampuan itu sangat perlu ditingkatkan maka penulis

tertarik untuk mengkaji Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi

(25)

B. Rumusan Masalah

Beradasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang

mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik

daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis

siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa

yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan

awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan

kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran matematis

siswa?

4. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang

mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik

daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

5. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis

siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa

yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan

awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

6. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika dan

kemampuan awal matematis terhadap kemampuan komunikasi matematis

(26)

Pokok bahasan yang dipilih sebagai bahan ajar dalam penelitian ini yaitu

pokok bahasan segitiga dan segiempat berdasarkan kurikulum yang berlaku

diajarkan di kelas VII semester genap. Dipilihnya pokok bahasan tersebut, agar

dalam pembelajaran pada penelitian yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang

diharapkan dalam meningkatkan aspek penalaran dan komunikasi matematis.

Selain itu topik ini memiliki nilai guna yang sangat erat kaitannya dengan

kehidupan sehari-hari, sehingga diduga akan cocok jika penyampaian materi

tersebut dengan model pembelajaran reciprocal teaching.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menelaah apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa

yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik

daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Menelaah apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran

matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan

siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok

kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

3. Menelaah apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang

diberikan dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran

(27)

4. Menelaah apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara

siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih

baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

5. Menelaah apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi

matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan

siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok

kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

6. Menelaah apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika

dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan komunikasi matematis

siswa?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak,

diantaranya:

1. Siswa, karena dalam pembelajaran reciprocal teaching terdapat pengalaman

matematik sehingga pengalaman dan pengetahuan siswa dapat lebih meresap

dan diterapkan dalam proses belajar mendatang.

2. Guru, dapat menjadi acuan ketika akan menerapkan model reciprocal

teaching dalam pembelajarannya dan dapat dijadikan salah satu alternatif

metode pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan

kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.

3. Peneliti, sebagai sarana pengembangan diri peneliti dan dapat dijadikan

(28)

E. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesimpangsiuran persepsi terhadap beberapa istilah yang

digunakan dalam penelitian ini, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari

istilah-istilah berikut;

1. Reciprocal teachig adalah pembelajaran dalam kelompok kecil yang diawali

dengan tugas membaca bahan ajar oleh siswa dan dilanjutkan dengan

melakukan empat kegiatan yaitu: merangkum bacaan, membuat pertanyaan,

memberi penjelasan dan membuat permasalahan lanjutan. Pembahasan dalam

kelompok dipimpin oleh siswa dan guru berperan sebagi fasilitator dan

pembimbing.

2. Kemampuan penalaran matematis adalah kemampuan siswa dalam (1)

menganalisis masalah secara matematika melalui proses analogi dengan

memperhatikan kesamaan dan atau perbedaan; (2) mencermati hubungan

sebab akibat; (3) mengkontruksi argumentasi secara logis; (4) membuat

kesimpulan.

3. Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah kemampuan siswa dalam: (1) menyatakan dalam mengilustrasikan ide

matematika ke dalam bentuk model matematika yaitu bentuk persamaan,

notasi, gambar dan grafik atau sebaliknya; (2) membaca dengan

merepresentasikan simbol-simbol matematis yang diberikan; (3)

(29)

F. Hipotesis Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis

penelitiannya adalah:

1. Peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang mendapat

pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa

yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa

yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang

mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal

matematis (tinggi, sedang, dan rendah).

3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan

kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran matematis

siswa.

4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mendapat

pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa

yang mendapat pembelajaran konvensional.

5. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa

yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang

mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal

matematis (tinggi, sedang, dan rendah).

6. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika dan kemampuan

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan

penalaran dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan

model reciprocal teaching bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat

pembelajaran konvensional dan perbedaan peningkatan kemampuan penalaran

dan komunikasi matematis antar kelompok kemampuan awal matematis (tinggi,

sedang dan rendah), serta interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan

kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan

komunikasi matematis.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini metode kuasi

eksperimen dan desain kelompok kontrol nonequivalen. Pada penelitian ini ada

dua kelas subjek penelitian, yaitu kelas eksperimen yang menggunakan

pembelajaran dengan model reciprocal teaching dan kelas kontrol yang

menggunakan pembelajaran konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan

posttes yang sama.

Adapun desain penelitian berbentuk kuasi-eksperimen (Sugiyono, 2010)

adalah sebagai berikut:

O X O

O O

Keterangan:

(31)

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP negeri di Cianjur. Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di Cianjur dengan sampel

penelitian terdiri dari dua kelas, yakni kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan

kelas VII B sebagai kelas kontrol. Penentuan sampel pada penelitian ini

dilakukan dengan ’Purposive Sampling’, yaitu sampel dipilih secara sengaja

dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Sampel yang dipilih yaitu dua

kelas dari 7 kelas yang ada.

C. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas, terikat dan kontrol.

Variabel bebasnya yaitu model reciprocal teaching dan yang menjadi variabel

terikatnya adalah kemampuan penalaran dan komunikasi matematis, sedangkan

yang menjadi variabel kontrolnya adalah kategori kemampuan awal matematis.

Kategori kemampuan awal didapat dari data ulangan harian siswa sebelum

pelaksanaan penelitian. Kategori kemampuan awal ini dikelompokan dalam tiga

kategori, yaitu kategor rendah, sedang dan tinggi seteah data ulangan harian

dirangking. Pengelompokannya menggunakan perbandingan 30% dari data siswa

untuk kelompok rendah, 40% kelompok sedang dan 30% kelompok tinggi

(Dahlan,2004).

Keterkaitan antara variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol

(32)
[image:32.595.114.515.130.518.2]

Tabel 3.1

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel Kontrol

Kemampuan yang diukur

Penalaran (P) Komunikasi (K)

Pembelajaran Konvensional

PK(A) Reciprocal Teaching RT(B) Konvensional PK(A) Reciprocal Teaching RT(B) Kemampuan Awal

Tinggi (T) AT BT AT BT

Sedang (S) AS BS AS BS

Rendah (R) AR BR AR BR

Keseluruhan PPK(A) PRT(B) KPK(A) KRT(B)

Keterangan:

PK(A) : Pembelajaran konvensional

RT(B) : Pembelajaran dengan model Reciprocal Teaching

D. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, yaitu jenis tes dan

observasi. Instrumen jenis tes adalah instrumen kemampuan penalaran dan

komunikasi matematis sedangkan instrumen jenis observasi adalah lembar

observasi aktivitas siswa dan guru. Masing-masing jenis instrumen tersebut

diuraikan sebagai berikut:

a. Instrumen Tes Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data kemampuan penalaran

dan komunikasi matematis adalah dengan memberikan pretes dan postes. Data

hasil pretes dan postes digunakan untuk mengetahui peningkatan kemampuan

penalaran dan komunikasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum

dan setelah diberikan pembelajaran. Instrumen untuk tes kemampuan penalaran

dan komunikasi matematis disusun dengan memperhatikan setiap indikator

kemampuan penalaran dan komunikasi matematis yang diberikan dalam bentuk

(33)

Materi yang diteskan adalah geometri dimensi dua (bidang datar).

Instrumen tes penalaran terdiri dari empat soal berbentuk uraian, sedangkan

instrumen tes komunikasi terdiri dari empat soal berbentuk uraian. Walaupun

pada awalnya penulis membuat soal masing-masing tujuh soal untuk tes soal

kemampuan penalaran dan komuniksai matematis, tetapi setelah melalui tahap

ujicoba didapat soal yang valid yaitu masing-masing empat butir soal tes

kemampuan penalaran dan komunikasi matematis berbentuk uraian. Alasan

pemilihan soal berbentuk uraian, dengan maksud untuk melihat proses pengerjaan

yang dilakukan siswa sehingga dapat terlihat sejauhmana siswa mampu

melakukan penalaran dan komunikasi matematis. Indikator dari masing-masing

kemampuan dapat dilihat pada Lampiran B.1

Sebelum instrumen tes diujicobakan terlebih dahulu dikonsultasikan

kepada dua orang dosen pembimbing, untuk diperiksa segi bahasa dan redaksi,

penyajian, serta akurasi gambar, kemudian soal diujicobakan untuk mengetahui

tingkat reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda setap butir soal.

Instrumen tes diujicobakan kepada siswa kelas VII salah satu SMP negeri

di Cianjur sebanyak 31 orang. Selanjutnya dilakukan penyekoran terhadap hasil

tes ujicoba sesuai dengan pedoman penyekoran yang telah dibuat sebelumnya .

Pedoman penskoran tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada

lampiran B.3 dengan memodifikasi Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan

oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) seperti yang tercantum pada Tabel 3.2 di

(34)

Tabel 3.2. Kriteria Penilaian Kemampuan penalaran Matematis

Selain penskoran pada tes kemampuan penalaran matematis, juga

penskoran dilakukan pada tes kemampuan komunikasi. Untuk memberikan

penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk soal tes kemampuan

komunikasi berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh

Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) seperti yang tercantum pada Tabel 3.3 di bawah

[image:34.595.115.513.133.710.2]

ini, yang kemudian dimodifikasi dan disajikan dalam lampiran B.3.

Tabel 3.3 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematik

Skor Respon siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1 Hanya sedikit yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik dan gambar yang dilukis.

2 Hanya sebagian yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik masuk akal, dan melukiskan gambar.

3 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap dan benar namun mengandung sedikit kesalahan

4 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap, jelas dan benar

Skor Kriteria

0 Tidak ada jawaban

1 Menjawab tidak sesuai dengan aspek pertanyaan tentang penalaran atau menarik kesimpulan salah

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar

3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar

(35)

Kemudian setelah proses penyekoran data hasil ujicoba dilakukan

pengolahan data menggunakan rumus yang tersedia dengan batuan software Ms.

Exel untuk mengetahui tingkat validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat

kesukaran dari instrumen tersebut. Perhitungan tingkat validitas, reliabilitas, daya

pembeda dan tingkat kesukaran soal tes tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Validitas Butir Soal

Validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki

oleh sebutir soal dalam mengukur apa yang seharusnya diukur melalui butir soal

tersebut (Sudijono, 2010). Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai daya

dukung yang besar terhadap skor total. Berkenaan dengan validitas isinya yaitu

tentang kesahihan instrumen dengan materi yang akan ditanyakan, baik menurut

setiap butir soal maupun menurut soalnya secara keseluruhan. Untuk menentukan

validitas instrumen khususnya validitas isi, maka harus ditentukan dan dinilai oleh

para pakar yang berpengalaman dan tidak ada cara lain untuk menentukan

validitas isi ini (Ruseffendi, 2005). Untuk memperoleh butir tes yang memiliki

validitas banding yang handal, berkenaan dengan statistik menurut Ruseffendi

(2005) digunakan rumus produk moment dari pearson sebagai berikut:

 

}

)

(

}{

)

(

{

)

)(

(

2 2 2 2

Y

Y

N

X

X

N

Y

X

XY

N

r

xy Keterangan:

= Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y N = Jumlah peserta tes

(36)

Interpretasi berdasarkan nilai koefisien korelasi validitas butir soal

[image:36.595.131.511.166.561.2]

disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.4.

Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas

Koefisien Korelasi Interpretasi

00 , 1 80

,

0 rxySangat tinggi

80 , 0 60

,

0 rxyTinggi

60 , 0 40

,

0 rxyCukup

40 , 0 20

,

0 rxy  Rendah

20 , 0 00

,

0 rxy  Sangat rendah

Sumber : Arikunto (2009)

Hasil perhitungan validitas tiap item tes uji coba, untuk mengetahui

signifikan korelasi yang didapat, selanjutnya diuji dengan menggunakan

rumus uji-t, yaitu:

ℎ �=

�−2 1− 2

Sudjana (2005)

Keterangan:

ℎ � =daya beda uji-t

� =jumlah subjek

=koefisien korelasi

Jika > maka validitas butir soalnya valid.

Data ujicoba diolah dengan bantuan Program Ms. Exel, sehingga diperoleh

nilai koefisien korelasi validitas butir soal. Rangkuman uji validitas tes

kemampuan penalaran matematis disajikan pada Tabel 3.5. Perhitungan

(37)

Tabel 3.5

Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis

No Soal Koef.Korelasi Interpretasi t hitung t tabel keterangan

1 0,730 Tinggi 5,7528 2,0452 valid

2 0,798 Tinggi 7,1455 2,0452 valid

3a 0,832 sangat tinggi 8,1042 2,0452 valid

3b 0,841 sangat tinggi 8,3789 2,0452 valid

4a 0,843 sangat tinggi 8,4435 2,0452 valid

4b 0,807 Tinggi 7,3796 2,0452 valid

Dari Tabel 3.5, tampak bahwa keempat butir soal tes kemampuan

penalaran matematis dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Hal ini dapat

terlihat dari tingginya koefisien korelasi dari skor masing-masing butir soal

terhadap skor totalnya, termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan

hasil uji validitas ini, keempat butir soal tersebut layak untuk mengukur

kemampuan penalaran matematis siswa.

Rangkuman uji validitas tes kemampuan komunikasi matematis disajikan

[image:37.595.109.512.135.736.2]

pada tabel berikut.

Tabel 3.6

Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

No Soal Koef.Korelasi Interpretasi t hitung t tabel Keterangan

1a 0,6216 Tinggi 4,2738 2,0452 valid

1b 0,7007 Tinggi 5,2892 2,0452 valid

2a 0,3784 Rendah 2,2016 2,0452 valid

2b 0,5042 Cukup 3,1448 2,0452 valid

3a 0,5800 Cukup 3,8342 2,0452 valid

3b 0,5979 Cukup 4,0175 2,0452 valid

4a 0,6151 Tinggi 4,2013 2,0452 valid

4b 0,5325 Cukup 3,3881 2,0452 valid

(38)

Dari Tabel 3.6, tampak bahwa keempat butir soal tes kemampuan

komunikasi matematis dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Walapuan

hasil koefisisen korelasinya bervariasi, mulai dari tingkat rendah sapai tinggi

tetapi hal itu cukup menunjukan bahwa masing-masing butir soal telah memiliki

validitas yang memadai sehingga keempat butir soal tersebut cukup layak untuk

mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa.

2. Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrumen adalah ketetapan instrumen dalam mengukur atau

ketetapan siswa dalam menjawab setiap butir instrumen tersebut (Ruseffendi,

2005). Sebuah instrumen dikatakan baik jika memiliki reliabilitas yang tinggi.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik perhitungan koefisien

reliabilitas dengan menggunakan perhitungan Cronbach’s Alpha atau Koefisien

Alpha (Arifin, 2009). Rumus yang digunakan dinyatakan dengan:

           

2 2 1 1 x i R R   Keterangan:

= reliabilitas instrumen

R = jumlah butir soal

2

i

 = variansi butir soal

2

x

 = variansi skor total

Tingkat reliabilitas dari soal uji coba kemampuan penalaran dan

komunikasi matematik didasarkan pada klasifikasi Guilford (Ruseffendi,

(39)

Tabel 3.7.

Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Besarnya

Tingkat Reliabilitas 0,00

0,20 Kecil

0,20

0,40 Rendah 0,40

0,70 Sedang 0,70

0,90 Tinggi

0,90

1,00 Sangat tinggi

Rangkuman perhitungan reliabilitas tes untuk kedua kemampuan tersebut

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.8 Uji Reliabilitas Tes

No. Kemampuan �� Interpretasi

1 Panalaran 0,7844 Tinggi

2 Komunikasi 0,6468 Tinggi

Dari Tabel 3.8, tampak bahwa tes kemampuan penalaran dan tes

kemampuan komuniksai matematis memiliki konsistensi yang handal walaupun

dikerjakan oleh siapapun (dalam level yang sama), kapanpun dan di manapun.

3. Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran ini dimaksudkan untuk mengetahui sukar atau

mudahnya soal yang digunakan. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu

mudah dan tidak terlalu sukar. (Arifin, 2009). Tingkat kesukaran pada

masing-masing butir soal dihitung menggunakan rumus (Sudjana, 2010):

I N B

[image:39.595.115.510.114.579.2]
(40)

Keterangan:

I = indeks kesukaran untuk setiap butir soal

B = banyaknya siswa yang menjawab benar setiap butir soal N = banyaknya siswa yang memberikan jawaban pada soal yang

dimaksudkan

Hasil perhitungan tingkat kesukaran diinterpretasikan menggunakan

kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan Arikunto (2009) yang

[image:40.595.120.501.234.670.2]

telah dimodifikasi, seperti Tabel berikut :

Tabel 3.9.

Kriteria Tingkat Kesukaran

Indeks Kesukaran Interpretasi

IK = 0,00 Terlalu sukar

30 , 0 00

,

0 IK Sukar

70 , 0 30

,

0 IK Sedang

00 , 1 70

,

0 IK Mudah

IK = 1,00 Terlalu Mudah

Modifikasi Arikunto (2009)

Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal

tes kemampuan penalaran matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.10

Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis

No Soal Koefisien Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 0,375 sedang

2 0,3229 sedang

3a 0,2813 sukar

3b 0,3021 sukar

4a 0,3958 sedang

4b 0,2917 sukar

Dari Tabel 3.10, dapat dilihat bahwa keempat soal termasuk baik karena

tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah, kecuali soal no 3 dan no 4b termasuk

(41)

benar-benar sukar, tetapi lebih dikarenakan jarangnya siswa diberikan soal-soal

penalaran matematis. Sehingga mereka tidak terbiasa mengerjakan soal-soal

penalaran.

Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal

[image:41.595.125.478.247.472.2]

tes kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.11

Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komuniksai Matematis

No Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1a 0,5 Sedang

1b 0,6 Sedang

2a 0,36 Sedang

2b 0,11 Sukar

3a 0,53 Sedang

3b 0,64 Sedang

4a 0,33 Sedang

4b 0,63 Sedang

4c 0,42 Sedang

Dari Tabel 3.11, dapat dilihat bahwa keempat soal termasuk baik karena

tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah hanya ada satu komponen soal yang

interpretasinya sukar yaitu soal 2b tetapi hal itu tidak menunjukan bahwa soal

tersebut benar-benar sukar. Hal ini disebabkan karena siswa jarang diberikan

soal-soal komunikasi.

4. Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan

antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan

rendah (Arikunto, 2009). Jika suatu soal yang dapat dijawab benar oleh siswa

(42)

baik siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa yang berkemampuan rendah

tidak dapat menjawab dengan benar, maka soal tersebut tidak baik juga karena

tidak mempunyai daya pembeda. (Arikunto, 2009). Untuk memperoleh

kelompok atas dan kelompok bawah, maka untuk kepentingan penelitian ini,

jumlah seluruh siswa pada suatu kelas dikelompokkan menjadi tiga kategori

dengan komposisi jumlah yang seimbang. Siswa yang termasuk ke dalam

kelompok atas adalah siswa yang mendapat skor tinggi dalam evaluasi,

sedangkan siswa yang termasuk kelompok rendah adalah siswa yang mendapat

skor rendah dalam evaluasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya

pembeda soal uraian adalah sebagai berikut:

A B A

JS

JB

JB

DP

B B A

JS

JB

JB

DP

Keterangan:

DP : daya pembeda

JBA : jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar,

atau jumlah benar kelompok atas

JBB : jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan

benar, atau jumlah benar kelompok bawah

JSA : jumlah siswa kelompok atas (higher group atau upper group)

JSB : jumlah siswa kelompok bawah (lower group)

[image:42.595.204.419.601.716.2]

Interpretasi indeks daya pembeda didasarkan pada klasifikasi berikut ini:

Tabel 3.12.

Klasifikasi Daya Pembeda

Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal DP < 0,00 Sangat jelek 0,00 < DP < 0,20 Jelek 0,20 < DP < 0,40 Cukup 0,40 < DP < 0,70 Baik 0,70 < DP < 1,00 Sangat baik

(43)

Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan penalaran matematis

[image:43.595.118.510.170.691.2]

disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.13

Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis

No Soal Koefisien Daya Pembeda Interpretasi

1 0,4167 Baik

2 0,3542 Cukup

3a 0,4375 Baik

3b 0,4375 Baik

4a 0,4167 Baik

4b 0,5833 Baik

Dari Tabel 3.13, dapat dilihat bahwa keempat butir soal kemampuan

penalaran matematis dapat dengan baik membedakan antara siswa yang

berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan komuniksai matematis

disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.14

Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

No Soal Koefisien Daya Pembeda Interpretasi

1a 0,44 Baik

1b 0,42 Baik

2a 0,28 Cukup

2b 0,22 Cukup

3a 0,44 Baik

3b 0,5 Baik

4a 0,56 Baik

4b 0,53 Baik

4c 0,78 sangat baik

(44)

sangat baik. Artinya setiap butir soal dapat membedakan antara siswa yang

berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

A. Lembar observasi aktivitas guru dan siswa

Lembar observasi disusun berdasarkan sintak atau tahapan kegiatan model

reciprocal teaching. Lembar observasi aktivitas guru digunakan untuk memeriksa

kelengkapan sintak/ tahapan kegiatan pembelajaran model reciprocal teaching

yang dilaksanakan guru selama proses pembelajaran. Sedangkan lembar observasi

aktivitas siswa digunakan untuk memantau aktivitas siswa yang relavan dengan

sintak model reciprocal teaching dan aktivitas siswa yang tidak relevan dengan

sintak model reciprocal teaching.

Data hasil observasi merupakan data yang diperoleh dari pengisian lembar

observasi dengan memperhatikan kondisi kenyataan di lapangan. Tujuannya

adalah untuk melakukan refleksi dan perbaikan, sehingga pembelajaran yang

berlangsung pada tiap pertemuannya terjadi peningkatan dari pertemuan

sebelumnya dan sesuai dengan rencana yang telah disusun pada RPP. Pengolahan

dilakukan dengan menghitung rerata persentase skor pada tiap pertemuan lalu

dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya, apakah terjadi peningkatan atau

tidak. Semakin tinggi rerata persentase, maka semakin baik pembelajaran yang

berlangsung dan semakin sesuai pula dengan rencana yang telah disusun.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

(45)

mengumpulkan data yang terdapat pada lembar observasi. Lembar observasi diisi

oleh pengamat selama proses pembelajaran berlangsung yang berguna untuk

memperoleh data tentang aktivitas guru dan siswa.

Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan

kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa baik pretes maupun

posttes.

F. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap kegiatan yaitu: tahap persiapan,

tahap pelaksanaan penelitian dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan, yaitu:

a. studi kepustakaan mengenai pembelajaran matematika dengan metode

reciprocal teaching, kemampuan penalaran dan komunikasi matematis

siswa;

b. menyusun instrumen penelitian berupa soal kemampuan penalaran dan

komunikasi matematis dan bahan ajar yang sesuai dengan model

pembelajaran yang digunakan, pada tahap ini disertai dengan proses

bimbingan dengan dosen pembimbing;

c. mengurus surat perizinan penelitian;

d. melakukan observasi ke sekolah untuk mengkonsultasikan mengenai

(46)

harian siswa untuk dikelompokan sebagai kemampuan awal matematis

siswa baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen serta ;

e. melaksanakan ujicoba instrumen penelitian dan mengolah data hasil

ujicoba instrumen tersebut kemudian di konsultaikan dengan dosen

pembimbing.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, kegiatan penelitian diawali dengan memberikan pretes baik

pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, hal ini bertujuan untuk mengetahui

pengetahuan awal siswa dalam kemampuan penalaran dan komunikasi matematis.

Setelah pretes dilaksanakan, selanjutnya pelaksanaan pembelajaran dengan

menggunakan model reciprocal teaching pada kelas eksperimen dan pembelajaran

dengan pendekatan konvensional pada kelas kontrol. Dalam penelitian ini peneliti

bertindak sebagai guru pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Pada saat proses pembelajaran di kelas eksperimen dilakukan observasi

oleh seorang guru pengamat, yaitu guru pengajar matematika di kelas tersebut.

Jumlah jam pelajaran, materi yang diajarkan, serta soal-soal latihan dan tugas

pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol diperlakukan sama. Kelas

eksperimen menggunakan bahan ajar rancangan peneliti, sedangkan kelas kontrol

menggunakan sumber pembelajaran dari buku paket ataupun LKS yang telah

disediakan oleh sekolah. Jumlah pertemuan pada kelas eksperimen dan kontrol

masing-masing sepuluh kali pertemuan.

Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran matematika dengan model

(47)

1. Kegiatan awal ( 10 menit)

a. Guru mengelompokan siswa. Tiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa.

b. Guru melakukan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa

untuk menggali kemampuan awal yang berkaitan dengan konsep yang

akan dipelajari dan memberikan motivasi kepada siswa dengan

menjelaskan pentingnya pembelajaran matematika dan membaca buku

teks.

c. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta

penilaian yang akan dilakukan berupa partisipsi siswa dalam setiap

kelompok, hasil kerja kelompok dan hasil mengerjakan soal latihan.

d. Pada pertemuan pertama guru menyampaikan mekanisme yang akan

digunakan dalam pembelajaran dengan model reciprocal teaching dengan

menjelaskan, memimpin, melaksanakan dan memperagakan empat strategi

reciprocal teaching, yaitu membaca kemudian merangkum bahan ajar,

siswa diharapkan dapat membuat pertanyaan, menjelaskan dan

memprediksi masalah baru yang akan muncul dari situasi yang

dianalisisnya. Selanjutnya guru menyampaikan kepada siswa

Gambar

Gambar 4.19
Tabel 3.1 Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel Kontrol
Tabel 3.3 Penskoran untuk Perangkat   Tes Kemampuan Komunikasi Matematik
Tabel 3.4. Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil

Hasil uji korelasi Pearson’s antara jumlah keempat insisivus rahang atas dengan nilai ukur interpremolar dan intermolar pada mahasiswa suku India Tamil Fakultas Kedokteran

concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar menjadi hak guna usaha, sebagai yang dimaksud dalam pasal IV ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-undang Pokok

Tujuan : citra direpresentasikan dalam bentuk lebih kompak, sehingga keperluan memori lebih sedikit namun dengan tetap mempertahankan kualitas gambar (misal dari .BMP

Pembelajaran Membaca Permulaan Pada Siswa Low Vision Kelas I SDLB Di SLB Negeri A Kota Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Analisis laporan keuangan ini sangatlah penting untuk mengetahui tingkat likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas agar perusahaan dapat melakukan tindakan tindakan atau

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. © Faisal

Berdasarkan evaluasi terhadap perhitungan PPh Pasal 21 atas karyawan pada tahun 2006 yang dipotong oleh PT Loka Mampang Indah Realty hanya sebagian kecil yang telah sesuai dengan