• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENGKAJIAN DAN PENGAJARAN SASTRA INDONESIA BERBASIS SASTRA BANDINGAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PENGKAJIAN DAN PENGAJARAN SASTRA INDONESIA BERBASIS SASTRA BANDINGAN."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK PERNYATAAN

KATA PENGANTAR i

UCAPAN TERIMA KASIH iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR BAGAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.1.1 Definisi Sastra Bandingan... 1

1.1.2 Sastra Bandingan dan Fenomena Sastra Indonesia... 4

1.1.3 Dinamika Sastra dan Pengkajiannya secara Komparatif... 7

1.1.4 Sastra Bandingan dan Pembelajaran Sastra... 9

1.2 Identifikasi Masalah... 20

1.3 Rumusan Masalah... 21

1.4 Tujuan Penelitian... 21

1.5 Manfaat Penelitian... 22

1.6 Asumsi Penelitian... 22

1.7 Data Penelitian... 23

1.8 Definisi Operasional... 24

BAB 2 LANDASAN FILOSOFIS KEILMUAN DAN LANDASAN PENELITIAN UNTUK MENYUSUN MODEL PENGKAJIAN DAN PENGAJARAN SASTRA BERBASIS SASTRA BANDINGAN 2.1 Landasan Filosofis Keilmuan dan Landasan Penelitian untuSastra... 26

2.1.1 Landasan Filosofis Keilmuan... 26

2.1.2 Gradasi Komponen Keilmuan dalam Penelitian Sastra... 31

(2)

2.1.2.2 Pendekatan, Teori, Metode, dan Teknik... 39

2.2 Sastra sebagai Hasil Budaya... 40

2.3 Keterkaitan Kajian, Kritik, dan Apresiasi Sastra... 42

2.4 Orientasi dalam Pengkajian Sastra... 44

2.5 Konsep Sastra Bandingan dalam Pengkajian Sastra... 55

2.5.1 Definisi Konsep... 55

2.5.2 Konsep Teori Sastra Bandingan... 56

2.5.3 Pendekatan dalam Sastra Bandingan... 61

2.5.3.1 Tema, Motif, dan Mitos... 62

2.5.3.2 Genre... 64

2.5.3.3 Aliran/Mazhab... 64

2.5.3.4 Pengaruh dan Analogi... 66

2.5.4 Hubungan Sastra Bandingan dengan Intertekstualitas... 67

2.6 Model Pengkajian Sastra... 79

2.6.1 Semiotika sebahgai Teori dalam Model Pengkajian Sastra Bandingan... 80

2.6.2 Kerangka Kerja Analisis Semiotik... 82

2.7 Model Pengajaran Mengkaji Teks Sastra... 86

2.7.1 Pemahaman Model Pengajaran dan Model Pembelajaran... 86

2.7.2 Model Mengajar Teks Sastra secara Efektif... 88

2.7.3 Fokus Model Pengajaran yang Efektif... 91

2.8 Keterkaitan Model Mengajar dengan Model Mengkaji Teks Sastra secara Efektif... 93 2.9 Mengajar Teks Sastra dengan Model Advance Organizer... 96

2.9.1 Definisi Advance Organizer... 96

2.9.2 Dukungan Teoretis terhadap Advance Organizer... 97

2.9.2.1 Ide-ide Psikologi Kognitif... 97

(3)

Learning)... 104

2.9.3 Sintaksis Model Advance Organizer... 106

2.10 Temuan Hasil Penelitian yang Relevan... 108

BAB 3 METODE PENELITIAN 112 3.1 Metode Penelitian... 112

3.1.1 Metode Utama... 114

3.1.2 Metode Penunjang... 114

3.2 Teknik Pengumpulan Data... 115

3.3 Teknik Analisis dan Pengumpulan Data... 116

3.4 Sumber Data, Populasi, dan Sampel Penelitian... 117

3.4.1 Sumber Data Kualitatif... 117

3.4.2 Sumber Data Kuantitatif... 119

3.5 Instrumen Penelitian... 119

3.5.1 Format Analisis... 120

3.5.2 Soal Tes... 123

3.5.3 Pedoman Observasi... 124

3.5.4 Angket... 127

3.6 Pengukuran Tes Kajian Sastra Indonesia... 129

3.6.1 Esai sebagai Instrumen Penilaian Advance Organizer... 130

3.7 Sintaksis Skenario Model Pengajaran Advance Organizer... 141

3.8 Alur Penelitian... 148

BAB 4 KONSEP SASTRA BANDINGAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGKAJIAN DAN PENGAJARAN SASTRA INDONESIA 150 4.1 Konsep Sastra Bandingan Dikaitkan dengan Landasan Keilmuan... 150

4.2 Posisi Konsep Sastra Bandingan dalam Gradasi Komponen Penelitian.... 152

4.3 Penerapan Konsep Sastra Bandingan dalam Pengkajian Sastra... 160

4.3.1 Pengkajian Puisi Indonesia “Burak Siluman” Karya Ajip Rosidi dengan Novel Sunda Burak Siluman Karya Mohamad Ambri... 160 1) Pengarang dan Karyanya... 160

(4)

3) Ringkasan Novel Sunda Burak Siluman Karya Mohamad Ambri... 164

4) Skema Aktan Puisi “Burak Siluman” dan Novel Sunda Burak Siluman... 166

5) Skema Aktan Novel Sunda Burak Siluman... 167

6) Pembandingan Puisi “Burak Siluman” dan Novel Burak Siluman... 170

4.3.2 Pengkajian Prosa Fiksi Indonesia: Kajian Bandingan Novel Indonesia Arjuna Mencari Cinta Karya Yudhistira A.N. M. Massardi dan Novel Arjuna Mencari Mati Karya Redi Panuj dengan Novel Sunda Mapag Perang Barata Karya Ahmad Bakri... 172

1) Pengarang dan karyanya... 172

2) Pengenalan Fakta Cerita Teks Novel... 176

3) Analisis Hubungan antartokoh dengan Menggunakan Skema Aktan dan model Fungsional Teks Novel... 180

4.3.3 Pengkajian Drama : Drama Sang Kurjang Utuy Tatang Sontani, Sang Prabu Saini K.M., Sumbi dan Gigi Imitasi Benny Yohanes Dibandingkan dengan Drama Sunda Sangkuriang Karya R.T.A. Sunaryo... 256

4.4. Model Penerapan Konsep Sastra Bandingan dalam Pembelajaran Sastra 299 4.4.1 Analisis Hasil Tes awal dan Tes akhir... 300

4.4.2 Pengujian Sifat Data ... 339

4.4.3 Observasi Perkuliahan Kajian Drama Indonesia dengan Model Advance Organizer... 347

4.4.4 Perkuliahan Kajian Drama dengan Model Advance Organizer Berdasarkan Angket Mahasiswa... 350

4.4.5 Analisis Angket Keberterimaan Mahasiswa terhadap Perkuliah Kajian Drama dengan Model Advance Organizer... 357

BAB 5 KESIMPULAN... 360

5.1 Simpulan... 360

5.2 Saran dan Rekomendasi... 368

(5)
(6)

1

BAB 1

PENDAHULAN

1.1Latar Belakang Masalah 1.1.1 Definisi Sastra Bandingan

Istilah sastra bandingan bersumber dari bahasa Inggris, yaitu comparative literature.

Remak (Stallknecht, 1990:1; Damono, 2009:1) membatasi sastra bandingan sebagai kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara serta kepercayaan yang lain, seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni bangunan/arsitektur, dan seni musik), filsafat, sejarah, ilmu sosial, ilmu alam, agama, dan lain-lain. Ringkasnya, sastra bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan.

Berdasarkan batasan tersebut, dapatlah dibayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam aktivitas kajian sastra bandingan. Misalnya, seseoramg dapat

(7)

2

yang berjudul Siapa Bilang Saya Godot dengan drama Prancis karya Samuel Beckett berjudul Waiting for Godot.

Meskipun contoh tersebut masih dapat diperpanjang, hal itu belum mewadahi semua aktivitas sastra bandingan karena baru mengikuti sebagian batasan yang dikemukakan oleh Remak. Dengan demikian, kita perlu juga membayangkan kajian yang membandingan karya sastra dengan seni atau bidang disiplin lain. Misalnya, orang dapat membandingkan puisi “Dipo Negoro” karya Chairil Anwar dengan lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh, puisi Jeihan berjudul “Keluarga Berencana” dengan lukisannya sendiri yang juga berjudul “Keluarga Berencana” atau novel Umar Khayam yang berjudul Para Priyayi dan Jalan Menikung dengan buku antropologi karangan Clifford Gerrtz yang berjudul Religion of Java.

Pengkajian sastra di luar batas-batas negara dapat menimbulkan persoalan sebab konsep negara berada pada ranah ilmu politik dan bukan pada ranah ilmu sastra. Secara umum syarat suatu negara adalah memiliki wilayah, penduduk, kedaulatan, dan

mendapat pengakuan dari negara lain (Wikipedia). Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apabila suatu wilayah negara pecah --karena situasi politik-- menjadi beberapa wilayah negara, seperti Uni Soviet apakah dengan demikian sastra Uni Soviet berubah menjadi sastra Rusia, sastra Serbia, sastra Bosnia, atau sastra Checnya? Sebaliknya, setelah Jerman menyatu, apakah dengan demikian tidak ada lagi sastra yang khas Jerman Barat dan Jerman Timur?

(8)

3

suatu negara saja tidak bisa dinggap sastra bandingan karena tidak melampaui batas-batas negara. Pandangan ini menimbulkan masalah, tentu saja, sebab dalam sebuah negara bisa saja terdapat dua atau lebih bahasa yang berbeda, yang masing-masing memiliki ciri-ciri kebudayaan yang berbeda pula”. Perbedaan dua bahasa memungkinkan adanya perbedaan sejarah perkembangan bahasa tersebut dan juga perkembangan sejarah pemikiran masyarakatnya. Selain itu, Damono (2009:2) juga mengingatkan bahwa terdapat juga kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra yang melampaui batas negara, misalnya bahasa Inggris yang digunakan oleh negara Inggris, Amerika, Australia atau bahasa Arab yang digunakan oleh negara Mesir, Arab Saudi, dan Irak.

Berdasarkan kritik yang diajukan Damono, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam kaitan membandingkan sastra dengan sastra, perbedaan negara bukanlah syarat mutlak dalam kajian sastra bandingan sebab negara dalam kondisi politik tertentu dapat pecah menjadi beberapa negara atau sebaliknya, beberapa negara dapat menyatu ke dalam satu negara. Akan tetapi, persoalan perbedaan bahasa, meskipun dalam satu negara adalah hal yang sangat penting sebab bahasa merupakan kristalisasi budaya para

pemakainya sehingga memungkinkan munculnya budaya yang beragam, sesuai dengan pemakai bahasanya.

(9)

4

Minangkabau. Berdasarkan fenomena tersebut, tampaknya kita dapat memanfaatkan prinsip-prinsip kajian sastra bandingan apabila kita akan mengkaji sastra daerah tertentu dengan sastra daerah lainnya atau sastra Indonesia dengan sastra-sastra daerah. Bahkan, kita dapat mengkaji sastra yang ditulis oleh seorang pengarang, tetapi dengan

menggunakan dua bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa Sunda seperti yang dikemukakan Damono bahwa membandingkan balada Ajip Rosidi yang berjudul “Jante Arkidam” yang berbahasa Sunda dan Indonesia dapat dipandang sebagai sastra bandingan apabila kita menganggap bahwa bahasa adalah hasil kristalisasi

kebudayaan dan dengan dasar pemikiran bahwa “ sastrawan mampu melakukan

perjalanan ulang-alik antara dua kebudayaan dan bahwa di dalam masing-masing bahasa ia menyatakan dirinya di dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda “(Damono, 2009:6).

1.1.2 Sastra Bandingan dan Fenomena Sastra Indonesia

(10)

5

Sastra lisan dan sastra klasik setakat ini, meskipun perkembangannya tidak lagi subur karena menjalarnya teknologi cetak dan elektronik, keberadaannya masih

merupakan khazanah sastra yang terpendam di berbagai daerah. Sastra yang demikian disebut dengan sastra Nusantara atau sastra se-Indonesia (Teeuw, 1983). Hutomo (1991) menyebutnya dengan “mutiara yang terlupakan”.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 dimaktubkan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional dan dalam penjelasannya disebutkan bahwa

kebudayaan nasional itu adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah tidak akan menjadi puncak apabila tetap menjadi khazanah sastra yang terpendam, terbiarkan, telantar, dan akhirnya terpinggirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya pencapaiannya sehingga kebudayaan daerah itu tidak hanya dikenal, tetapi juga diakrabi oleh seluruh bangsa Indonesia. Kondisi demikian dapat memungkinkan kebudayaan daerah memiliki ciri keindonesiaan dan meningkat menjadi kebudayaan nasional.

(11)

6

pimordial itu tetap menjadi kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Dengan demikan, upaya nyata itu tidak sekadar pelestarian dan peningkatan aset pariwisata, melainkan pembentukan karakter unggul dan adiluhung bangsa.

Akan tetapi, pemertahanan terhadap khazanah primordial setakat ini mesti dianggap sebagai bagian semata dari pembentukan karakter bangsa sebab pada era globalisasi ini kita tidak mungkin memagari terpaan budaya dari luar. Menurut Damono, globalisasi mesti dianggap sebagai kesadaran, keinginan, atau rekayasa bahwa kita kini hidup dalam suatu dunia yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Lebih jauh Damono mengatakan bahwa konsep globalisasi terjadi dalam segala bidang kegiatan manusia jarak dapat dikatakan telah terhapus yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi transportasi dan komunikasi (Damono, 2009:53) B.

Berkaitan dengan penanaman budaya adiluhung bangsa, kita dapat melakukannya dengan mentrasformasi sastra daerah yang berbahasa daerah ke dalam sastra Indonesia. Transformasi atau alih wahana sastra lisan dan sastra klasik se-Indonesia ke dalam media cetak dan elektronik adalah upaya nyata agar nilai-nilai moral yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah terakses dan terserap dalam sanubari penikmatnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penikmat amatlah beragam. Misalnya, orang-orang yang

membaca cerita anak dan cerita bergambar atau yang menonton sandiwara boneka, teater modern, atau film. Penikmat juga dapat berbagai lapisan usia dan pendidikan. Akan tetapi, mereka menghadapi fenomena yang sama, yaitu bahan yang dibacanya bersumber dari sastra lisan dan sastra klasik yang sudah dialih bahasa dan dialih wahana.

(12)

7

dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Agar penyebarannya dapat diterima dan dinikmati secara optimal, sastra lisan dan sastra klasik yang sudah berbahasa Indonesia itu, kemudian dialihwahanakan ke dalam media cetak dan elektronik dalam wujud buku cerita anak, cerita bergambar, sandiwara boneka, drama panggung, dan film.

Setelah menyinggung sastra lisan dan sastra klasik sebagai khazanah sastra Indonesia, kini kita dapat menyoroti fenomena yang terjadi dalam sastra Indonesia modern.

Sastra Indonesia modern adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dan dicetak dengan

menggunakan aksara Latin (Damono, 2004:3). Oleh karena itu, apabila ada karya sastra Indonesia modern yang berlatar sastra Nusantara (sastra lisan dan sastra lasik) belum tentu merupakan terjemahan dari sastra berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dapat juga merupakan respons, reaksi, bahkan tolakan atau simpangan terhadap sastra daerah yang merupakan teks dasar, teks rujukan, atau hipogramnya.

1.1.3 Dinamika Sastra dan Pengkajiannya secara komparatif

Karya sastra sebagai produk budaya umat manusia terus berkembang.

(13)

8

Pola budaya mistis adalah pola budaya yang berada pada alam pikiran mistis, yaitu alam pikiran yang ditandai oleh rasa takut manusia terhadap daya-daya purba dalam hidup dan alam raya sehingga manusia mencari strategi untuk menemukan hubungan harmoni antara dirinya dengan daya-daya kekuatan tersebut. Oleh sebab itu, pola budaya mistis mengandalkan fungsi mitos. Mitos berfungsi untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan magis yang mempengaruhi dan menguasai alam serta kehidupan di sekitarnya. Dengan demikian, mereka berupaya untuk melakukan harmoni dengan alam, misalnya dengan melakukan upacara pegorbanan.

Sementara itu, dalam pola budaya ontologis manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang melingkunginya. Manusia mulai memperoleh pengertian terhadap kekuatan yang menggerakkan alam dan dirinya. Pola pikir ini acap kali disebut sebagai perubahan dari mitos ke logos.

Apabila dalam pikiran mistis hubungan subjek manusia dengan objek dunia saling meresapi dan saling berpartisipasi dan apabila dalam pikiran ontologis hubungan itu bersifat distantif, maka dalam pikiran fungsional hubungan itu menunjukkan relasi yang bertautan. Misalnya, dalam merespons udara panas manusia tidak lagi bermodal adaptasi, melainkan reorganisasi, yaitu dengan membuat alat pengatur suhu udara atau air conditioner

(14)

9

perantara yang menyampaikan pesan tersebut. Pesan itu dapat berwujud mantra yang diucapkan sang pawang atau kata-kata yang didapatnya dari dunia mimpi atau ketika berada dalam suasana trans (tidak sadar).

Dalam pola budaya ontologi, karya sastra dapat hadir sebagai ekspresi subjek sendiri. Misalnya, manusia meluapkan ekspresinya dalam bentuk puisi ketika melakukan pengalaman inderawi: memandang lanskap alam yang indah, menyaksikan fenomena alam yang ganjil dan menakjubkan, atau menghadapi musibah yang terus menghadang.

Dalam pola budaya fungsional dimungkinkan adanya timbal balik antara subjek dan objek. Misalnya, penyair sebagai subjek tidak lagi menanggapi objek fenomena alam, melainkan menanggapi objek yang diciptakan oleh subjek lainnya. Timbal balik

demikian dapat kita lihat dalam puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Asmaradana”, yang menanggapi kitab Ramayana atau lakon wayang Sinta Obong, novel Redi Panuju berjudul Arjuna Mencari Mati yang selain menanggapi kitab atau cerita wayang Mahabharata juga mereaksi novel Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira A.N.M. Massardi. Persoalan pengaruh dan tanggapan terhadap karya sastra yang ada sebelumnya itu dapat dijelaskan secara analitis dan kritis apabila kita mengkajinya dengan

menggunakan konsep sastra bandingan

1.1.4 Sastra Bandingan dan Pembelajaran Sastra

(15)

10

juga dapat menerampilkan berbahasa, meningkatkan cipta dan rasa, menghaluskan watak, dan menambah pengalaman budaya siswa (Moody, 1971:4; Collie & Slater, 1987:3-6). Manfaat itu relevan pula dengan salah satu tujuan dan fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang bernafas multikultural, seperti yang tertera dalam Kurikulum KTSP, yaitu sebagai sarana pemahaman keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khazanah kesusastraan Indonesia.

Budaya Indonesia memang sangat beragam dan hal itu akan tampak dalam khazanah sastra Indonesia yang terwujud dalam sastra-sastra daerah di seluruh Nusantara. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keanekaragaman budaya yang tercermin dalam karya sastra itu hanya dapat dipahami secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi (alih bahasa dan alih wahana) sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan suatu keniscayaan.

Setakat ini siswa pada setiap jenjang sekolah telah sangat mengenal cerita rakyat daerah yang sudah menasional, seperti Sangkuriang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Sunda, Malin Kundang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Minangkabau, atau Bawang Merah dan Bawang Putih yang bersumber dari cerita rakyat daerah Jawa Tengah. Namun, apabila kita membaca hasil penelitian yang berkenaan dengan cerita rakyat, maka kita dapat berkesimpulan bahwa cerita rakyat Nusantara itu banyak dan amat beragam. Akan tetapi, cerita rakyat itu akan tetap menjadi khazanah budaya daerah setempat apabila kita tidak berusaha mentransformasikannya ke dalam bahasa Indonesia; padahal, khazanah sastra Nusantara mesti dibaca secara luas oleh seluruh bangsa

(16)

11

Transformasi sastra dengan penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan upaya yang harus terus-menerus dilakukan. Usaha ke arah itu sudah dirintis, misalnya oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional atau oleh penerbit seperti Gramedia dan Yayasan Obor.

Transformasi adalah perubahan rupa (KBBI, 2008:1484)). Secara khusus, Umar Kayam (dalam Esten, 1992:) menjabarkan bahwa transformasi itu berlangsung dua tahap: pertama, menarik budaya etnis ke tataran budaya kebangsaan dan kedua, menggeser budaya agraris tradisional ke tataran budaya industri. Dalam dunia sastra, tahap pertama dapat kita lihat pada sastra Indonesia modern, baik puisi, prosa (cerpen dan novel/roman), maupun drama yang mengambil sumber penciptaannya dari budaya etnis tertentu,

khususnya budaya daerah tempat penyair dilahirkan atau dibesarkan. Tahap kedua, tampak dalam pencetakan buku sastra yang merupakan bagian dari industri media massa.

(17)

12

Pada masa ini transformasi sastra daerah, baik dari naskah klasik maupun cerita lisan ke dalam bahasa Indonesia yang berlangsung secara normatif, misalnya sesuai dengan kaidah penerjemahan, tidaklah akan menjadi kendala dalam proses apresiasi dan pembelajarannya, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Akan tetapi, ada

fenomena transformasi yang muncul, yaitu karya sastra Indonesia modern yang bersumber dari khazanah cerita rakyat Nusantara.

Meskipun demikian, fenomena transformasi cerita rakyat Nusantara ke dalam sastra Indonesia modern sebetulnya dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan sehingga kita dapat mengetahui, sejauh mana cerita rakyat Nusantara yang dijadikan teks dasarnya itu berpengaruh terhadap sastra Indonesia dan makna apa yang terkandung di dalamnya.

(18)

13

berguna sehingga pembelajaran yang dilakukan dapat mengungkap khazanah sastra Indonesia secara lintas daerah dan multikultual.

Untuk pembermaknaan pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi, tampaknya harus ada penelitian yang diawali dengan mengkaji karya sastra Indonesia yang bersumber dari cerita rakyat, sehingga dapat diperoleh klasifikasi dari segi genre, media, dan hipogram dari setiap karya. Selanjutnya, berdasarkan pengkajian tersebut perlu disusun suatu model pembelajaran yang tepat untuk kepentingan pembelajaran sastra modern yang bersumber dari cerita rakyat Nusantara.

Dalam paragraf sebelumnya telah diketahui bahwa terdapat relevansi antara manfaat pengajaran sastra dan tujuan kurikulum, terutama dalam mengapresiasi kebhinekaan budaya Indonesia. Khazanah sastra Nusantara yang beragam itu sangat berperan dalam pengembangan sastra, terutama sebagai penanda kekayaan budaya

Indonesia, di samping sebagai modal apresiasi, dasar penciptaan sastra Indonesia modern, dasar komunikasi, dan dasar pengembangan ilmu sastra (Rusyana, 1981).

Namun peran sastra Nusantara yang tersimpan dalam berbagai bahasa daerah itu jangkauannya tidak akan menasional apabila tidak ditransformasi ke dalam bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi sastra Nusantara ke dalam sastra berbahasa Indonesia adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, transformasi sastra daerah ke dalam sastra Indonesia memunculkan masalah baru sehubungan dengan status sastra Indonesia yang merupakan bagian dari konstelasi warga sastra dunia. Sebagai bagian dari konstelasi warga dunia, sastra Indonesia berada dalam tegangan atau tarik-menarik antara

(19)

14

(nostalgia), bahkan negasi (penolakan) terhadap sastra Nusantara yang ditransformasinya (Teeuw, 1985: 1-10).

Fenomena transformasi sastra selanjutnya akan memunculkan masalah lain yang berkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah. Pada usia prasekolah sebagian besar anak dibimbing langsung oleh orang tuanya. Bimbingan itu mungkin munggunakan media bahasa daerah, namun mungkin juga menggunakan bahasa Indonesia. Bimbingan berupa penanaman nilai didaktis biasanya dilakukan orang tua dengan bantuan cerita rakyat (mite, legenda, atau dongeng). Kegiatan itu dilakukan, misalnya pada saat anak akan tidur atau anak bertanya mengenai fenomena alam, asal usul nama tempat atau tokoh-tokoh dalam cerita rakyat dan pewayangan. Cerita yang disampaikan orang tua tentu akan mengacu pada cerita rakyat murni yang bersumber dari tradisi lisan. Oleh sebab itu masalah akan muncul pada saat pembelajaran sastra di sekolah. Sebagai contoh, siswa dihadapkan pada teks sastra, misalnya prosa fiksi Indonesia modern, yang

melakukan negasi terhadap hipogram atau teks dasar, seperti dalam penggalan cerpen “Bisma” karya Putu Wijaya (1981):

Bisma bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu pralaya dalam perang Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak agung ditancap oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih sudah kisut, akan tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah memikul pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.

(20)

15

hukuman sampai panah Srikandi (pihak Pandawa) menembus jantungnya. Namun dalam cerpennya, Putu Wijaya menghadirkan kembali tokoh Bisma pada zaman ini dengan alur, latar, dan tema yang sangat berbeda.

Dalam mengapresiasi cerpen yang demikian, siswa tentu akan kebingungan karena karya sastra yang dihadapinya sangat jauh dari skemata dan cakrawala harapan (horizon of expetation) yang ada dibenaknya. Terlebih-lebih, apabila siswa diminta untuk mengapresiasi puisi Subagio Sastrowardoyo (2005:) yang berjudul “Asmaradana”:

ASMARADANA Sita di tengah nyala api Tidak menyangkal

Betapa indah cinta berahi.

Raksasa yang melarikannya ke hutan Betapa lebat bulu jantannya

Dan Sita menyerahkan diri.

Dewa tak melindunginya dari neraka Dan Sita tak merasa berlaku dosa Sekadar menurutkan naluri. Pada geliat sekarat terlompat doa Jangan juga hangus dalam api Sisa mimpi dari senggama.

(21)

16

Cerita pewayangan tersebut, meskipun wujud dan bentuknya beragam, biasanya relatif tetap, yaitu memiliki pola dan kaidah yang serupa. Dalam dunia pewayangan biasa disebut dengan pakem. Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia (Tim Penulis Senawangi, 1999) dijelaskan bahwa pakem wayang adalah sebutan bagi lakon-lakon yang masih berada dalam jalur cerita asli atau amat dekat dengan jalur cerita Mahabarata dan Ramayana. Ringkasnya, cerita wayang yang dianggap pakem masih menggunakan tokoh-tokoh cerita dari kitab induk Ramayana dan Mahabarata. Sebaliknya, apabila lakon dan tokohnya menyimpang dari pakem, dalam pewayangan disebut dengan lakon

carangan atau sempalan.

(22)

17

Dalam kenyataan, kita sering menggunakan tokoh Arjuna sebagai julukan bagi lelaki yang simpatik, tampan, dan disukai banyak perempuan. Singkatnya, lelaki yang menyandang julukan Arjuna memiliki citra yang positif.

Akan tetapi, dalam karya sastra modern, tokoh Arjuna memiliki citra yang beragam. Dalam puisi ”Kayal Arjuna” karya Subagio Sastrowardoyo, Arjuna adalah kesatria yang memiliki kekuatan luar biasa yang tidak pernah ditampakkan, baik dalam epos Mahabarata maupun lakon pewayangan. Dalam puisi tersebut, Arjuna mampu memenangkan pertempuran, baik di dalam perang maupun di atas ranjang, meskipun semua dilakukan Arjuna dengan hanya membayangkan di benaknya musuh yang akan diperanginya dan perempuan yang ingin dikawininya:

KAYAL ARJUNA tanpa sekali

melangkah ke medan Kuru

hanya dibayangkan saja rupa lawannya di dalam angan-angan

dan ditusuknya dengan pedang jantung dan perutnya

sehingga keluar darah dan ususnya dan terang terdengar teriak aduh dan rubuhnya ke tanah

laki-laki itu terbunuh dari jauh

--bagaimana melepaskan dendam berahi? lihat, ditegangkan pikirannya

di kening terkenang kekasih mukanya bersimbah peluh

tubuhnya menggeliat dan mengerang dan dari alat jantannya

(23)

18

Dalam drama Semar Gugat karya N. Riantiarno, Arjuna melakukan pelecehan pada Semar yang merupakan titisan Sanghiang Ismaya, yaitu memaksa Semar untuk memotong kuncungnya sendiri demi istrinya yang sedang mengidam. Sementara itu, dalam novel Arjuna Mencari Mati, Arjuna berupaya untuk bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban yang dideritanya, yaitu hidup tanpa alat kelamin.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa cerita pewayangan ditanggapi pengarang modern secara beragam dan cenderung bersifat personal. Dengan demikian, cerita pewayangan yang sudah dialih bahasa dan dialih wahana ke dalam sastra Indonesia modern bukanlah cerita wayang murni. Pengarang sastra Indonesia modern kemungkinan besar tidak bermaksud menceritakan kembali cerita wayang tersebut, melainkan

menanggapinya, bahkan mereaksinya sesuai dengan daya kreatif yang ada di benaknya. Oleh sebab itu, pembandingan cerita wayang dengan sastra Indonesia modern perlu dilakukan sehingga kita dapat mengetahui pengaruh dan makna dari keterpengaruhan sastra Indonesia oleh cerita wayang tersebut.

(24)

19

oleh Sutan Takdir Alisjahbana, puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar, yang ditulis pada tahun 1940-an merupakan respons terhadap puisi “Berdiri Aku”, karya Amir Hamzah, yang ditulis pada zaman Pujangga Barau (pada tahun 1930-an) dan drama Semar Gugat, Konglomereat Burisrawa, Republik Bagong, dan Maaf, Maaf, Maf, Politik Cinta Dasamuka karya N. Riantiarno, yang merupakan naskah dan pementasan drama Indonesia modern, merupakan respons terhadap” cerita rakyat atau pertunjukan teater tradisional, yaitu wayang.

(25)

20

terwadahi. Segi ini baru ditambahkan oleh Keesey (1994) dalam bukunya berjudul Context for Criticism. Dalam bukunya itu Keesey memanfaatkan keempat segi yang digunakan oleh Abrams, kemudian dia menambahkan satu segi lagi, yaitu segi karya sastra- lain, yang pendekatannya disebut intertekstual. Akan tetapi, penjelasan teks sastra dengan pembandingan terhadap teks sastra lainnya, terlebih-lebih dengan melihat

keterpengaruhannya, lebih tepat disebut sebagai sastra bandingan. Dengan catatan, karya tersebut berbeda dari segi bahasa . Sementara itu, pemahaman intertekstual cenderung ditujukan pada relasi teks sastra dengan teks-teks lain, bahkan dengan pemahan teks nonverbal (musikal, pertunjukan, dan visual/film). Pemahaman intertekstual demikian mengacu pada pendapat Kristeva (Culler, 1977:139) bahwa teks merupakan mozaik kutipan, sekaligus juga merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain.

Kenyataan di atas dapat menjadi kendala bagi pembaca yang akan mengapresiasi karya-karya tersebut. Khusus bagi pembaca yang telah mengetahui cerita pewayangan, yang didapatkannya semasa kanak-kanak dari tuturan orang tuanya atau dari menonton wayang, mereka akan dibingungkan dengan teks sastra modern yang menampilkan fakta cerita yang berbeda. Masalah tersebut akan bertambah pada saat teks sastra tersebut dijadikan bahan pembelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi.

1.2 Identifikasi Masalah

(26)

21

landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi; masalah kedua berkaitan dengan posisi konsep sastra bandingan dalam konstelasi sistematika penelitian; masalah ketiga berhubungan dengan penerapan konsep intertekstual apabila telah memadai sebagai sebuah teori sastra. Penerapan itu berkaitan dengan kecukupannya sebagai alat pengkajian sastra Indonesia. Masalah keempat berkaiatan dengan penemuan model pembelajaran sastra yang relevan

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identfikasi di atas, masalah yang berkaitan dengan konsep sastra bandingan dapat kita rinci ke dalam butir-butir berikut.

1) Masalah posisi konsep sastra bandingan dalam gradasi komponen keilmuan, yaitu di manakah posisi konsep sastra bandingan dalam gradasi komponen keilmuan,

apakah berada pada paradigma, metodologi, pendekatan, teori, metode, atau teknik? 2) Masalah model pengkajan sastra, yaitu adakah model pengkajian sastra yang relevan dengan penerapan konsep sastra bandingan?

3) Masalah model pengajaran sastra, yaitu adakah model pengajaran sastra yang relevan dengan prinsip-prinsip konsep sastra bandingan?

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang sudah diidentifikasi dan dirumuskan, tujuan

(27)

22

1) mengetahui posisi konsep sastra bandingan dalam gradasi komponen keilmuan; 2) memperoleh gambaran mengenai model pengkajian sastra yang relevan dengan

penerapan konsep sastra bandingan;

3) memperoleh gambaran mengenai model pengajaran sastra yang relevan dengan prinsip-prinsip konsep sastra bandingan.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan baru bagi

pengembangan studi sastra dan pengajarannya. Pengembangan studi sastra berkaitan dengan pengutuhan teori sastra yang relevan dengan teori-teori dalam lingkup kajian sastra bandingan. Hasil penelitian pun dapat digunakan untuk mengkaji klasifikasi genre dan subgenre teks sastra Indonesia modern yang bersumber dari resepsi dan dari

pengaruh cerita rakyat Nusantara. Pengembangan pengajaran sastra berkaitan dengan temuan model pengajaran sastra, khususnya pengajaran sastra Indonesia modern yang bersumber dari cerita rakyat Nusantara.

1.6 Asumsi Penelitian

Penelitian ini bertolak pada asumsi-asumsi berikut.

1) Ciri khas karya sastra Indonesia modern dapat dilihat dari dinamikanya. Setiap karya sastra berada dalam sejumlah tegangan. Tegangan antara norma bahasa dan

(28)

23

sendiri; tegangan antarnorma sastra dan norma sosial budaya. Oleh sebab itu, perlu ada klasifikasi dan pemetaan yang jelas ketika cerita rakyat sebagai poduk dari tradisi lisan yang cenderung statis menjadi sumber penciptaan sastra Indonesia modern. 2) Karya sastra Indonesia yang bersumber dari sastra Nusantara harus diajarkan dengan

model pengajaran yang mempunyai karakteristik serupa dengan karya sastra tersebut. Oleh karena itu, perlu diupayakan model pengajaran yang relevan dengan konsep sastra bandingan, yaitu model yang mampu mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.

1.7 Data Penelitian

Data penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif bersumber dari karya sastra--baik karya sastra Indonesia modern (puisi, novel, dan drama), maupun cerita rakyat atau sastra lisan, buku-buku yang berisi landasan keilmuan dan yang berkonsep sastra bandingan.

Sumber data kuantitatif akan didapatkan setelah data kualitatif terpenuhi. Sumber data kuantitatif dalam penelitian ini sama dengan populasi penelitian, yaitu mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (Nondik) Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia semester IV (yang mengikuti mata kuliah Kajian Drama Indonesia) serta

(29)

24 1.8 Derinisi Operasional

Istilah yang perlu dijelaskan berkaitan dengan judul dan masalah penelitian adalah 1) model pengkajian sastra, 2) model pengajaran sastra, 3) sastra Indonesia, dan 4) basis konsep sastra bandingan.

Model pengkajian sastra adalah seperangkat gambaran yang menyeluruh dalam memetakan, menyiasati, dan menangkap satu gejala sastra, sesuai dengan fokus konsep teori yang akan diterapkan. Misalnya, apabila seorang dosen akan mengkaji sebuah puisi dengan menggunakan teori semiotik, maka model yang dibuatnya harus merupakan gambaran utuh dalam mengkaji puisi tersebut dengan menunjukkan kejelasan pendekatan, teori, metode, dan teknik yang dinafasi oleh konsep semiotik. Apabila pengkajian itu terdapat dalam satu kerangka penelitan, maka dalam tataran puncak konseptualnya kita harus menunjukkan paradigma dan metodologinya pula.

(30)

25

(2008:259-260), model pengajaran selalu terklasifikasi ke dalam berbagai pendekatan pengajaran sesuai dengan tujuan instruksional, sintaksis, dan sifat lingkungan belajarnya.

Sementara itu, yang dimaksud dengan sastra Indonesia adalah karya sastra Indonesia modern, yang wujud fisiknya terdiri atas puisi, prosa fiksi (cerpen dan novel/roman), dan teks drama. Sesuai dengan pendapat Damono (2004: 3), sastra Indonesia modern adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dan dicetak dengan menggunakan aksara Latin.

(31)

104

3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan hal-hal yang berkaitan

dengan prosedur pelaksanaan penelitian, khususnya yang berkenaan dengan

metode penelitian, teknik pengumpulan dan pengolahan data, populasi dan

sampel penelitian, instrumen penelitian dan pengukurannya, dan alur

penelitian.

3.1 Metode Penelitian

Berdasarkan kerangka teori dan kajian pustaka yang telah dibangun pada

bab dua, metode penelitian yang akan digunakan terdiri atas metode utama yang

bersifat kualitatif dan metode penunjang yang bersifat kuantitatif. Metode utama

digunakan untuk menjawab tiga besar masalah penelitian, yaitu landasan

keilmuan, posisi konsep sastra bandingan dalam gradasi komponen keilmuan, dan

model pengkajian sastra. Metode penunjang digunakan untuk melengkapi

jawaban masalah teakhir, yaitu yang berkaitan dengan model pengajaran sastra.

Pemaduan dua metode dengan metodologi yang berbeda dimungkinkan,

meskipun hanya dalam tataran praktis, bukan pada tataran filosofis. Norman K.

Denzin (2000) menyebutnya dengan istilah triangulation, R.G. Burgess dengan

istilah multiple research strategies, Julia Brannen dengan istilah mixing methods,

(32)

http://www.sagepub.com/upm-105

data/10981_Chapter_1.pdf) menggunakan istilah mixed methods research.

Menurut Brymmen dalam Sarwono (http://jonathansarwono.info/memadu.pdf),

terdapat empat model pemaduan metode, yaitu (1) penelitian kualitatif untuk

memfasilitasi penelitian kuantitatif, (2) penelitian kuantitatif untuk memfasilitasi

penelitian kualitatif, (3) kedua penelitian (kualitatif dan kualitatif) diberi bobot

yang sama, dan (4) triangulasi. Berdasarkan model pemaduan Brymmen,

penelitian ini cenderung mengikuti model kedua, yaitu penelitian kuantitatif untuk

memfasilitasi penelitian kualitatif. Pemaduan demikian oleh Creswell (2009:209;

http://www.sagepub.com/upm-data/10981_Chapter_1.pdf) disebut dengan

connect the data atau sequential explanatory design dengan alur sebagai berikut:

Bagan 3.1

ALUR SEQUENTIAL EXPLANATORY DESIGN CRESWELL (2009:209)

Berdasarkan model yang dikemukakan Brymmen dan Creswell, dalam

penelitian ini metode yang bersifat kualitatif merupakan metode utama, sementara

metode yang bersifat kuantitatif merupakan metode penunjang yang diharapkan

dapat menjawab butir-butir masalah penelitian.

3.1.1 Metode Utama

Metode utama penelitian ini bersifat deskriptif, kualitatif, analitis,

komparatif, dan semiotik. Apabila mengikuti klasifikasi metode penelitian sastra Qualitative

data

Quantitative data

(33)

106

menurut Ratna (2002:42-54), penelitian ini cenderung menggunakan metode

deskriptif analisis dan deskriptif komparatif. Kedua metode ini tampaknya dapat

digabung, sesuai dengan penahapan prosedur kerjanya sehingga menjadi metode

deskriptif analisis komparatif.

Metode deskriptif analisis komparatif sebenarnya merupakan inti dari cara

kerja pendekatan sastra bandingan dan teori semiotika intertekstual. Oleh sebab

itu, metode penelitian ini pun dapat disebut sebagai metode semiotika dan

cenderung menggunakan prinsip metodologi kualitatif.

3.1.2 Metode Penunjang

Setelah penelitian ini dapat menunjukkan kukuh tidaknya konsep

intertekstual sebagai landasan keilmuan dan penelitian sastra, langkah selanjutnya

adalah melakukan penerapannya terhadap pengajaran sastra, khususnya dalam

mata kuliah Kajian Drama Indonesia. Oleh sebab itu, tujuan terakhir penelitian ini

adalah berupaya menemukan model pengajaran sastra, yang memiliki basis

konsep sastra bandingan.

Setelah model tersusun, kemudian dilakukanlah penelitian lanjutan yang

besifat kuantitatif, yaitu dengan menerapkan model pengajaran di kelas. Metode

penelitian ini cenderung menggunakan prinsip metodologi kuantitatif.

Apabila mengikuti Fraenkel dan Wallen (2007:274), desain metode kuantitatif

yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam weak experimental

design. Penelitian ini menggunakan rancangan The One-Group Pretest-Postest

(34)

107

Bagan 3.2

THE ONE-GROUP PRETEST-POSTEST DESIGN (Fraenkel & Wallen, 2007:271)

O

Tes awal

X

Perlakuan

O

Tes Akhir

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data utama dilakukan untuk memudahkan upaya dalam

mendeskripsikan, menganalisis, dan membandingkan data penelitian. Oleh sebab

itu, untuk mengumpulkan data utama digunakan teknik studi pustaka.

Dalam penelitian ini juga digunakan beberapa teknik yang bersifat

kuantitatif, seperti tes, observasi, angket. Teknik tes digunakan untuk mengetahui

hasil model pengajaran yang mencakup tes awal dan tes akhir yang dilakukan

terhadap kelas perlakuan. Observasi dilakukan untuk mengamati kualitas

pelaksanakan perkuliahan kajian sastra dengan model advance organizer. Jenis

observasi dalam penelitian ini adalah observasi partisipatoris karena pengamat

berperan ganda, yaitu sebagai pengamat dan sebagai dosen pendamping.

Selanjutnya, untuk mengetahui respons mahasiswa terhadap penerapan model

advance organizer dalam pengajaran kajian drama, maka dilakukan pengisian

angket. Ada dua angket yang diisi mahasiswa: angket berkenaan dengan kualitas

pengajaran yang dilakukan dosen dan angket berkaitan dengan keberterimaan

(35)

108

3.3 Teknik Analisis dan Pengolahan Data

Analisis dan pengolahan data dilakukan dengan penahapan sebagai

berikut:

1) membaca seluruh data utama;

2) menganalisis dan membagankan data utama berdasarkan hasil studi

pustaka;

3) menyusun model pengkajian sastra berdasarkan analisis semiotika

intertekstual;

4) menyusun model pengajaran drama berbasis konsep sastra bandingan,

yaitu dengan model advance organizer;

5) mengolah data sekunder berkenaan dengan pengajaran drama berbasis

konsep sastra bandingan, yaitu dengan cara

(1) membaca seluruh hasil tes;

(2) memeriksa, menganalisis hasil, dan membubuhkan nilai sesuai kriteria

yang ditetapkan;

(3) menyusun deskripsi data hasil tes;

(4) membuat daftar tabulasi dengan tujuan untuk mencari mean dan standar

deviasi pada tes awal dan akhir;

(36)

109

3.4 Sumber Data, Populasi, dan Sampel Penelitian

3.4.1 Sumber Data Kualitatif

Data kualitatif penelitian bersumber dari karya sastra--baik drama

Indonesia modern maupun cerita rakyat atau sastra lisan, buku-buku yang berisi

landasan keilmuan dan konsep intertekstual. Sumber data penelitian yang bersifat

tekstual tersebut disenaraikan seperti di bawah ini:

Bagan 3.3

SUMBER DATA PENELITIAN YANG BERSIFAT TEKSTUAL

No. Aspek Sumber Keterangan

1. Landasan Keilmuan

1) Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu

Buku karangan C. Verhaak

2) Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan

Buku karangan Ahmad Tafsir

3) Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Popululer

Buku karangan Jujun S. Suriasumantri 4) Dimensi Kreatif dalam

Filsafat Ilmu

Buku karangan Conny R Semiawan dkk. 5) Susunan Ilmu Pengetahuan Buku karua C.A. van

Peursen

2. Gradasi Komponen Penelitian Ilmiah

1) Teori. Metode, dan Teknik Penelitian Sastra

Buku karangan Nyoman Kutha Ratna 2) Pengembangan Penelitian

Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra

Buku disunting oleh Aminuddin

3) Metode Penelitian Kualitatif Buku karangan Lexy J. Moleong

Makalah Pilnas III Hiski oleh Aminuddin

3. Konsep Sastra Bandingan

(37)

110 5) Antologi Esai Sastra

Bandingan dalam Sastra Modern Indonesia

Buku disunting oleh B. Trisman dkk.

Puisi Indonesia Modern

1) “Hang Tuah” Puisi Karya Amir

Hamzah

2) “Burak Siluman” Puisi Karya Ajip

Rosidi

3) “Rahwana-Sita” Puisi Karya Subagio

Sastrowardoyo

4) “Asmaradana” Puisi Karya Subagio

Sastrowardoyo

5) “Benih” Puisi Karya Sapardi

Djoko Damono

6) “Bima” Puisi Karya Subagio

Sastrowardoyo

7) Telinga Puisi Karya Sapardi

Djoko Damono

8) Pesan Puisi Karya Sapardi

Djoko Damono

9) “Penangkapan Sukra” Puisi Karya Goenawan

(38)

111

Novel Indonesia Modern

1) Arjuna Mencari Cinta Novel karya Yudhistira A.N. Massardi

2) Arjuna Mencari Mati Novel karya Redi Panuju

4. Drama Indonesia Modern

1) Sang Prabu Drama Indonesia karangan Saini K.M.

2) Sang Kuriang Drama Indonesia karangan Utuy Tatang Sontani

3) Sumbi dan Gigi Imitasi Drama Indonesia karangan Benny Yohanes

5. Cerita Rakyat Nusantara

Sastra lisan atau klasik yang berisi cerita mengenai Sangkuriang

Teks rujukan

3.4.1 Sumber Data Kuantitaif

Sumber data kuantitatif akan didapatkan setelah data kualitatif

terpenuhi. Sumber data kuantitatif dalam penelitian, yaitu mahasiswa

Program Studi Nondik Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FPBS Universitas Pendidikan Indonesia semester IV (yang mengikuti mata

kuliah Kajian Drama Indonesia) serta keseluruhan karakteristik yang

berkaitan dengan berbagai variabel yang mempengaruhinya.

Pengambilan mahasiswa di atas sebagai responden didasarkan pada

pertimbangan bahwa mereka adalah para calon peneliti bahasa dan sastra

Indonesia dan apabila mengikuti PPG (Pendidikan Profesi Guru), mereka

pun dapat mengajar sebagai guru, baik di Sekolah Menengah Pertama

(39)

112

3. 5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti, format

analisis, lembar tes, format observasi, format angket, dan litaratur (kepustakaan).

Selain itu, peneliti pun menggunakan foto untuk merekam kegiatan penting

selama proses pembelajaran.

3.5.1 Format Analisis

1) Konsep-konsep dalam landasan keilmuan:

No. Landasan Keilmuan Deskripsi

1. Ontologi

2. Epistemologi

3. Aksiologi

3) Deskripsi konsep intertekstual dikaitkan dengan landasan keilmuan:

No. Landasan Keilmuan Deskripsi Konsep Intertekstual Dikaitkan dengan

Landasan Keilmuan

1. Ontologi

2. Epistemologi

3. Aksiologi

3) Konsep intertekstual dikaitkan dengan komponen keilmuan:

No. Gradasi Komponen Keilmuan

(40)

113

4) Deskripsi konsep intertekstual dikaitkan dengan komponen keilmuan:

No. Gradasi Komponen Keilmuan

Deskripsi Konsep Intertekstual Dikaitkan dengan Komponen Keilmuan

5) Posisis konsep intertekstual dalam landasan keilmuan:

(41)

114

6) Posisis Konsep Intertekstual dalam Gradasi Komponen Keilmuan

No. Gradasi Komponen

Keilmuan

Posisi Konsep Intertekstual

1. Paradigma 2. Metodologi 3. Pendekatan 4. Teori 5. Metode 6. Teknik

7) Pengenalan Fakta Cerita Teks Puisi dan Teks Rujukannya

No. Judul Teks Puisi

Pengarang Fakta Cerita Teks Puisi Fakta Cerita Teks Rujukan Peristiwa Tokoh Latar Peristiwa Tokoh Latar 1. “Hang Tuah”

2. “Burak Siluman” 3.

“Rahwana-Sita”

4. “Asmaradana” 5. “Benih” 6. “Bima” 7. “Telinga” 8. “Pesan” 9. “Penangkapan

(42)

115

8) Pengenalan Fakta Cerita Teks Novel dan Teks Rujukannya

No. Judul Teks Drama

Pengarang Fakta Cerita Teks Drama Fakta Cerita Teks Rujukan Peristiwa Tokoh Latar Peristiwa Tokoh Latar

9) Pengenalan Fakta Cerita Teks Drama dan Teks Rujukannya

No. Judul Teks Drama

Pengarang Fakta Cerita Teks Drama Fakta Cerita Teks Rujukan Peristiwa Tokoh Latar Peristiwa Tokoh Latar

PENGIRIM OBJEK PENERIMA

PENOLONG SUBJEK  PENENTANG

Keterangan:

(1) Pengirim (sender) adalah aktan yang mempunyai karsa untuk mendapatkan

(43)

116

ide dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Pengirimlah yang

menimbulkan keinginan bagi subjek atau pahlawan untuk mencapai objek.

(2) Objek (object) adalah seseorang atau sesuatu yang diingini, dicari, dan

diburu oleh pahlawan/subjek atas ide si pengirim, yang kemudian akan

diserahkan kepada Penerima.

(3) Subjek (subject) atau pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi

pengirim untuk mendapatkan objek.

(4) Penolong (helper) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu atau

mempermudah usaha Subjek/pahlawan dalam mencapai objek.

(5) Penentang (opponent) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi

usaha Subjek/pahlawan dalam mencari objek.

(6) Penerima (receiver) adalah seseorang atau sesuatu yang menerima Objek

hasil buruan Subjek.

11)Model Fungsional Greimas:

SITUASI

AWAL

TRANSFORMASI SITUASI

AKHIR TAHAP UJI

KECAKAPAN

TAHAP

UTAMA

TAHAP

KEBERHASILAN

Keterangan:

(1) Dalam situasi awal ditampilkan keadaan sebelum terjadi suatu peristiwa

(44)

117

dengan munculnya pernyataan adanya keinginan untuk mendapatkan

sesuatu sehingga muncul tindakan pemanggilan perintah, atau persetujuan.

(2) Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu tahap uji kecakapan (adanya

usaha subjek, munculnya penentang dan penolong, dan jika subjek/

pahlawan tidak mampu mengatasi tantangan akan didiskualifikasi sebagai

pahlawan), tahap utama (adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti

pahlawan telah mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan kembali),

dan tahap kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan pahlawan,

eksisnya pahlawan asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman

bagi pahlawan palsu, dan jasa bagi pahlawan sejati).

Dalam situasi akhir subjek berhasil mendapatkan objek, objek telah

diterima oleh penerima, keseimbangan telah terjadi, dan berakhirlah suatu

keinginan terhadap sesuatu. Namun, situasi dapat terjadi sebaliknya, yaitu

subjek gagal mendapatkan objek.

3.5.2 Soal Tes

Untuk mengukur kemampuan mengkaji drama digunakan instrumen tes

yang diujikan, yaitu analisis drama berdasarkan teori semiotika intertekstual.

Untuk mengungkap kemampuan menganalisis drama sebelum dan sesudah

perlakuan tersebut, tes yang digunakan adalah tes jenis esai atau uraian.

Sebelum digunakan, instrumen tes diuji melalui validasi ahli dan sejawat.

Validitas tes dilakukan untuk meyakinkan bahwa soal dapat digunakan dan

tepat untuk mengukur pengetahuan dan pemahaman siswa dalam bidang yang

(45)

118

3.5.3 Pedoman Observasi

Pedoman observasi dalam penelitian ini merupakan salah satu instrumen

yang digunakan untuk menilai proses perkuliahan kajian drama dengan

menggunakan model advance organizer, yang dilakukan pada saat pelaksanaan

perkuliahan berlangsung.

Bagan 3.5

KISI-KISI PEDOMAN OBSERVASI

Variabel Indikator Data yang dibutuhkan No.

pernyataan

2. Melakukan kegiatan apersepsi 2

Menguasai materi pembelajaran

1. Menunjukkan penguasaan materi pembelajaran

3

2. Menyampaikan materi dengan jelas, sesuai dengan hierarki belajar dan karekteristik mahasiswa

4

(46)

119

4. Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang direncanakan

9

Memanfaatkan media pembelajaran

1. Menggunakan media secara efektif dan efisien

10

2. Menghasilkan pesan yang menarik

11

3. Melibatkan mahasiswa dalam pemanfaatan media

1. Menumbuhkan partisipasi aktif mahasiswa dalam

pembelajaran

13

2. Menunjukkan sikap terbuka terhadap respons mahasiswa

14

3. Menumbuhkan keceriaan dan antusiasme mahasiswa dalam belajar

15

Menilai proses dan hasil pembelajaran

1. Memantau kemajuan belajar 16 2. Melakukan penilaian akhir

sesuai dengan kompetensi

17

Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

1. Menggunakan bahasa lisan dan tulis secara jelas, baik, dan benar

18

Menutup pembelajaran 1. Melakukan refleksi atau membuat rangkuman dengan melibatkan mahasiswa

19

2. Melaksanakan tindak lanjut dengan memberikan arahan atau kegiatan/tugas sebagai bahan remidi atau pengayaan

20

Kisi-kisi di atas apabila dituangkan ke dalam pedoman observasi, rinciannya

(47)

120

Bagan 3.6 PEDOMAN OBSERVASI

MODEL PERKULIAHAN KAJIAN DRAMA INDONESIA (KDI)

DENGAN MODEL ADVANCE ORGANIZER

No. Pernyataan 1 2 3 4

1. Dosen mempersiapkan mahasiswa untuk mengikuti

perkuliahan KDI dengan model advance organizer.

2. Dosen melakukan kegiatan apersepsi, yaitu

mengaitkan perkuliahan sebelumnya dengan materi

KDI (drama Indonesia modern yang bersumber dari

cerita rakyat Nusantara) yang akan diajarkan.

3. Dosen mengaitkan materi KDI dengan pengetahuan

sebelumnya yang dimiliki mahasiswa.

4. Dosen menyampaikan materi KDI dengan jelas,

sesuai dengan hierarki belajar dan karakteristik

mahasiswa.

5. Dosen mengaitkan materi KDI dengan realitas

kehidupan mahasiswa.

6. Dosen melaksanakan perkuliahan dengan penahapan

yang runtut.

7. Dosen melaksanakan perkuliahan yang bersifat

kontekstual.

8. Dosen melaksanakan perkuliahan yang

memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif di antara

mahasiswa.

9. Dosen melaksanakan perkuliahan sesuai dengan

alokasi waktu yang direncanakan.

10. Dosen dapat memanfaatkan dan menggunakan media

secara efektif dan efisien.

(48)

121

menghasilkan pesan yang menarik.

12. Dosen melibatkan mahasiswa dalam pemanfaatan

media.

13. Dosen mampu menumbuhkan partisipasi aktif

mahasiswa dalam perkuliahan KDI.

14. Dosen menunjukkan kesan terbuka terhadap respons

mahasiswa.

15. Dosen mampu menumbuhkan keceriaan dan

antusiasme mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan.

16. Dosen memantau kegiatan mahasiswa selama

perkuliahan.

17. Dosen melakukan evaluasi sesuai dengan tujuan

perkuliahan.

18. Selama perkuliahan, dosen menggunakan bahasa lisan

dan tulisan secara jelas, baik, dan benar.

19. Dalam akhir perkuliahan, dosen melakukan refleksi

atau membuat rangkuman dengan melibatkan

mahasiswa.

20. Dosen melaksanakan tindak lanjut dengan

memberikan arahan, tugas, dan pengayaanyang

berkaitan dengan materi KDI yang telah disampaikan.

Keterangan:

1 = tidak baik; 2 = kurang baik; 3 = baik; 4 = sangat baik

3.5.4 Angket

Untuk mengetahui keberterimaan mahasiswa Kajian Drama Indonesia

terhadap model advance organizer, penulis menyusun pedoman angket berikut.

Bagan 3.7

(49)

122

DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ADVANCE ORGANIZER

No. Pernyataan SS S R TS STS

1. Saya tidak merasa tertekan saat

mengikuti perkuliahan Kajian Drama

Indonesia dengan menggunakan model

advance organizer.

2. Saya tertarik mengerjakan tugas-tugas

mata kuliah Kajian Drama Indonesia

dengan model advance organizer.

3. Saya merasa tidak terbebani dengan tugas

mata kuliah Kajian Drama Indonesia

dengan model advance organizer.

4. Dengan model advance organizer dalam

perkuliahan Kajian Drama Indonesia,

saya terpacu untuk lebih banyak

membaca teks drama dan mendalami

teori kajian drama.

5. Dengan model advance organizer dalam

perkuliahan Kajian Drama Indonesia,

saya dapat mengembangkan wawasan

pengetahuan saya dalam mengkaji teks

drama Indonesia.

6. Dengan model advance organizer, saya

menyadari bahwa pengetahun saya

sebelumnya mengenai cerita rakyat

merupakan modal berharga untuk

memahami teks drama modern.

7. Model advance organizer menjadikan

perkuliahan Kajian Drama Indonesia

(50)

123

8. Dengan model advance organizer, saya

menyadari bahwa wawasan kesastraan

dan karya sastra yang telah saya apresiasi

sangat membantu dalam mengkaji drama

Indonesia secara optimal.

9. Model advance organizer dapat

membantu saya dalam mengatasi

kesulitan mengkaji drama Indonesia

dengan teori semiotika intertekstual.

10. Saya berpendapat sebaiknya dosen

menerapkan model advance organizer

dalam perkuliahan kajian sastra lainnya

(prosa dan puisi), terutama karya sastra

Indonesia modern yang bersumber dari

cerita rakyat Nusantara.

Keterangan: SS: sangat setuju, S: setuju, R: ragu-ragu, TS: tidak setuju, STS: sangat tidak setuju.

3.6 Pengukuran Tes Kajian Sastra

Instrumen penelitian , khususnya tes Kajian Drama Indonesia

akan menggunakan tes esai analitis. Tes esai analitis merupakan transisi dari

tes tradisional ke tes alternatif yang penulis rakit sendiri dari berbagai

sumber sehingga dapat memenuhi pengukuran tes untuk kepentingan

penelitian. Karena tes esai analitis merupakan rakitan, berikut ini penulis

akan terlebih dahulu menguraikan proses penyusunannya.

(51)

124

1) Pembatasan Esai

Batasan sederhana dari esai adalah tulisan singkat dalam bentuk prosa.

Pembatasan seperti ini banyak disepakati umum, seperti tampak dalam A

Glossary Literary Terms, Encyclopedia Americana, Encyclopedia Britanica,

Ensiklopedi Indonesia, Kamus Istilah Sastra, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Meskipun demikian, kita juga dapat melihat penekanan yang berbeda dari

masing-masing pendapat. Misalnya, dalam A Glossary Literary Terms, Abrams

(1988:56-57) menyebutkan bahwa esais bertugas untuk membicarakan suatu bahan,

mengungkapkan suatu sudut pandang, atau membujuk pembaca untuk menerima

suatu tesis atau pernyataan, apa pun pokok persoalannya; sedangkan dalam

Encyclopedia Americana (tanpa tahun:508) penekanan diberikan pada pengarang

karena menurut sumber ini, esai akan menampakkan kepribadian pengarangnya

terhadap berbagai pokok persoalan. Penekanan pada segi pengarang tampak juga

dalam tulisan Arief Budiman yang berjudul "Esai tentang Esai". Ia berpendapat

bahwa esai adalah karangan yang sedang panjangnya, mempersoalkan suatu

persoalan secara mudah dan sepintas lalu--tepatnya mempersoalkan persoalan,

tetapi hanya sampai "sejauh dia merangsang hati penulisnya" (Budiman dalam

Hoerip Ed., 1982:15-19). Jadi, menurutnya, dalam esai yang penting bukanlah

pokok persoalannya, melainkan cara pengarang dalam mengemukakan

persoalannya.

Segi lain yang mendapat sorotan yang berbeda adalah kaitan esai dengan

tulisan ilmiah. Menurut Abrams (1988:56-57), esai berbeda dengan karya ilmiah,

(52)

125

tulisan yang lengkap dan sistematis, serta tidak ditujukan pada pembaca khusus.

Konsekuensinya, esai membicarakan pokok persoalannya dengan menggunakan

gaya nonteknis dan sering kali secara bebas memanfaatkan sarana anekdot,

ilustrasi, dan humor terhadap argumen yang dipegangnya. Akan tetapi menurut

Jassin, esai sebenarnya karya ilmiah atau karya studi juga, "namun yang

menentukan apakah itu esai atau studi ialah sikap jiwa si pengarang waktu

menuliskannya. Esai selalu subjektif, sedang studi objektif". Jassin (1991:92-93)

menambahkan bahwa esai adalah "studi berdasarkan pengalaman dan

pengetahuan, dinyawai oleh pengarangnya sendiri".

2) Penjenisan Esai

Abrams (1988:57) membedakan esai ke dalam dua jenis, yaitu esai formal

dan esai informal. Esai formal bersifat impersonal karena pengarangnya memiliki

otoritas atau sekurang-kurangnya berpengetahuan yang cukup luas dalam bidang

yang ditulisnya dan menjelaskan bidang tersebut dengan tertib dan apik.

Sementara itu, dalam jenis esai informal, ada juga yang menyebutnya dengan

"esai familiar" atau "esai personal", pengarangnya berusaha untuk mengakrabkan

diri dengan pembacanya, yaitu dengan menulis dalam gaya santai dan cenderung

untuk membahas persoalan sehari-hari.

Penjenisan lain dilakukan oleh Fred D. White dalam bukunya yang

bertajuk The Writer"s Art. Dia membagi esai ke dalam tiga jenis, yaitu esai

ekspresif, informatif, dan persuasif. Dalam esai ekspresif pengarang ingin

(53)

126

realis maupun imajinatif; dalam esai informatif pengarang ingin menjelaskan

suatu gagasan, fenomena, atau suatu prosedur, yang dicapainya dengan sarana

komposisi, yang mencakup definisi, klasifikasi, komparasi, dan analisis; dalam

esai persuasif pengarang memberikan argumentasi terhadap masalah aktual yang

acap kali diperdebatkan dengan maksud untuk mengubah pikiran pembacanya,

atau paling tidak membantu pembacanya dalam memahami masalah tersebut

dengan lebih baik (White, 1986:46-50).

Menurut Encyclopedia Americana (tanpa tahun:508) terdapat beberapa

tipe esai, yaitu esai familiar, esai karakter, esai deskriptif, esai kritik, esai ilmiah,

dan esai filosofis. Dalam esai familiar, kita dapat melihat beberapa segi

kepribadian pengarang berdasarkan tanggapan kehidupan yang dialaminya; dalam

esai karakter, kita dapat melihat gambaran sifat, tipe, tingkatan, kelas, dan

kepribadian seseorang--dengan demikian, sangatlah wajar jika esai karakter

sering kali memiliki tujuan moral; dalam esai deskriptif kita dapat melihat suatu

gambaran yang diwarnai oleh kepribadian pengarangnya; dalam esai kritik kita

dapat melihat usaha pengarang dalam menyampaikan penilaian terhadap karya

seni, tokoh-tokoh, peristiwa sejarah, atau suatu fenomena sosial; dalam esai

ilmiah, biasanya kita medapatkan sajian hasil observasi ilmiah; dan dalam esai

filosofis kita dapat merenungi tulisan yang merupakan hasil refleksi pengarang

mengenai kebenaran, agama, pendidikan, dan filsafat.

Dari uraian di atas kita dapat memperhatikan bahwa terdapat keragaman

dalam mengelompokkan esai. Apabila kita telaah, maka keragaman penjenisan itu

(54)

127

melihat penjenisan esai dari segi penyajian, namun Abrams cenderung

menitikberatkan pada segi gaya, sedangkan White pada segi isi. Sementara itu

Encyclopedia Americana tampak memberi tekanan pada objek yang menjadi

garapan esai.

Esai sastra adalah esai dengan objek garapan "sastra". Sebagai objek

garapan esai, sastra dapat bermakna khusus, dapat juga bermakna umum. Jadi,

esai sastra dapat membahas khusus karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama),

studi sastra (teori, kritik, dan sejarah sastra), atau membahas semuanya secara

umum.

3) Esai sebagai Jenis Penilaian Advance organizer

Menurut Mc Millan dalam Santrock (2007:638), guru yang berkompetensi

acap kali mengevaluasi muridnya dalam konteks tujuan pembelajaran dan

mengadaptasi instruksinya sesuai dengan evaluasi tersebut. Padahal, penilaian

tidak hanya pencatatan hal yang diketahui dan yang dapat dilakukan siswa,

melainkan juga memengaruhi pembelajaran dan memotivasi siswa. Dengan

demikian, kini telah terjadi arah pandang, yaitu dari konsep penilaian sebagai

hasil tersendiri yang diperoleh setelah instruksi selesai, menuju ke konsep

integrasi penilaian dengan pengajaran itu sendiri.

Penilaian dengan tes objektif, paper and pencil test atau

selected-response-test, (benar-salah, menjodohkan, pilihan ganda),

constructed-response-test (mengisi titik-titik, esai terstruktur) dianggap penilaian tradisional (Arends,

(55)

128

acap kali dibandingkan dengan penilaian alternatif, yang cenderung dianggap

penilaian yang sesuai dengan zaman kini. Penilaian alternatif mencakup penilaian

kinerja (performance assesment), penilaian autentik (authentic assesment), dan

penilaian portofolio (portofolio assesment).

Esai merupakan penilaian transisi dari penilaian tradisional ke penilaian

alternatif. Esai terstruktur termasuk penilaian tradisional, akan tetapi esai analitis

dalam bentuk karangan ilmiah termasuk ke dalam penilaian alternatif. Esai yang

sesuai untuk kepentingan penilaian pengkajian sastra adalah esai formal yang

bersifat impersonal (Abrams), informatif (White), dan kritis (Encyclopedia

Americana). Esai yang demikian memungkinkan dapat memenuhi kriteria esai

analitis, yaitu esai yang sesuai dengan penilaian unjuk kinerja.

Tes kinerja mengharuskan siswa untuk melakukan tugas yang beragam

dalam waktu bukan hitungan menit dan merupakan upaya untuk mengukur

berbagai macam kompetensi dan proses intelektual yang kompleks (Arends,

2007:242). Berkaitan dengan tes kinerja, Santrock (2008:657) bersetuju dengan

Burz & Marshal bahwa penilaian berbasis kinerja mengalihlan orientasi dari siswa

“mengetahui” ke siswa “menunjukkan”. Penilaian kinerja melingkupi aktivitas

yang dianggap sebagai kinerja aktual siswa, seperti kinerja di bidang tari, musik,

olah raga, esai analitis, proyek, presentasi lisan, dan eksperimen IPA di

laboratorium.

(56)

129

Berikut ini merupakan rubrik penilaian Kajian Drama Indonesia. Namun,

penulis akan terlebih dahulu menyertakan proses tersusunnya esai analitis yang

didasarkan pada pemahaman esai dari berbagai sumber, yang telah dijelaskan di

atas.

(1) Proses tersusunnya esai analitis:

Bagan 3.8

PROSES TERSUSUNNYA ESAI ANALITIS

Pemahaman

Umum

Penambahan Sifat/Karakter Pemahaman

Komprehensif

Esai Formal dan

Impersonal

Informatif Kritis Esai Analitis

(57)

130

(2) Rubrik penilaian Esai Kajian Drama Indonesia:

Bagan 3.9

RUBRIK PENILAIAN ESAI ANALITIS

Aspek yang

32-40 SU Kajian memenuhi semua syarat esai analitis:

penulisnya memiliki wawasan memadai dalam

mengkaji teks drama, yaitu dengan menggunakan

metode intratekstual/struktural (menelaah fakta

cerita teks drama dengan sarana skema aktan dan

model fungsional Greimas) dan metode komparatif

(membandingkan teks drama modern sebagai teks

transformasi dengan cerita rakyat/cerita klasik

Nusantara/sastra daerah sebagai teks referensi)

yang keseluruhannya dilakukan dengan

menggunakan sarana klasifikasi, analisis,

komparasi, dan evaluasi.

24-31 U Kajian telah memadai sebagai esai analitis,

meskipun ada satu syarat yang belum optimal

terpenuhi. Misalnya, penulisnya memiliki

wawasan dalam mengkaji teks drama, yaitu

dengan menggunakan metode

intratekstual/struktural (menelaah fakta cerita teks

drama dengan sarana skema aktan dan model

fungsional Greimas) dan metode komparatif

(membandingkan teks drama modern sebagai teks

transformasi dengan cerita rakyat /cerita klasik

Nusantara/sastra daerah sebagai teks referensi),

namun sarana tersebut tidak optimal (skema aktan

(58)

131

menjelaskan fakta cerita) atau keseluruhannya

telah dilakukan dengan menggunakan sarana

klasifikasi, analisis, komparasi, dan evaluasi,

namun sarana tersebut belum dioptimalkan.

16-23 Md Kajian telah memadai sebagai esai analitis, namun

ada satu syarat yang tidak terpenuhi. Misalnya,

penulisnya memiliki wawasan dalam mengkaji

teks drama, yaitu dengan menggunakan metode

intratekstual/struktural (menelaah fakta cerita teks

drama dengan sarana skema aktan dan model

fungsional Greimas) dan metode komparatif

(membandingkan teks drama modern sebagai teks

transformasi dengan cerita rakyat /cerita klasik

Nusantara/sastra daerah sebagai teks referensi),

namun salah satu sarana tidak digunakan,

misalnya tidak dimunculkannya klasifikasi,

analisis, komparasi, atau evaluasi.

8-15 S Kajian dianggap memadai sebagai esai analitis,

namun ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi.

Misalnya, penulisnya memiliki wawasan dalam

mengkaji teks drama, yaitu dengan menggunakan

metode intratekstual/struktural (namun,

penelaahan fakta cerita teks drama masih terdapat

kesalahan, misalnya sarana skema aktan dan

model fungsional Greimas yang dibuatnya tidak

tepat) atau metode intertekstual (membandingkan

teks drama modern sebagai teks transformasi

dengan cerita rakyat /cerita klasik Nusantara/sastra

daerah sebagai teks referensi) tidak menggunakan

Referensi

Dokumen terkait

Temuan penelitian menunjukkan bahwa (a) muatan materi sastra yang disajikan dalam buku teks berupa puisi baru, puisi lama atau pantun, novel, cerita pendek, dan

Penulisan disertasi yang berjudul “Model Pembelajaran Cerita Pendek Berbasis Pengembangan Kreativitas bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Keragaman budaya daerah dapat dikenali melalui bentuk-bentuk pakaian adat, lagu daerah, tarian daerah, rumah adat, alat musik, seni pertunjukan, upacara adat,

terhadap karya sastra yang berupa cerita rakyat yang berkaitan dengan.. sejarahnya dan diharapkan dapat dijadikan acuan awal

sastra berupa cerita yaug mengisahkan liku-liku kehidupan mam1sia yang melahidcan suatu konflik jma yang mengakiba1kan adanya perubaban nasib. Sumber dltta penelitian

Dari hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan instrumen evaluasi pembelajaran karya sastra berbasis budaya lokal dikembangkan sebagai alat evaluasi pembelajaran

Rencana pembelajaran dilakukan dengan membuat instrumen penelitian, berupa naskah drama, contoh CD pementasan drama, membuat tes kemampuan mengapresiasi drama,

Dapat disimpulkan bahwa evaluasi pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia itu adalah suatu tindakan atau proses mengumpulkan informasi berupa gambaran proses peserta