SKRIPSI SARJANA
KAJIAN FILOLOGI TERHADAP NASKAH BATAK
NO.INV.943/07124/2075 KOLEKSI MUSEUM NEGERI PROVINSI
SUMATERA UTARA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA
: DESY NATALIA PINEM
NIM
: 050703020
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK
MEDAN
SKRIPSI SARJANA
KAJIAN FILOLOGI TERHADAP NASKAH BATAK
NO.INV.943/07124/2075 KOLEKSI MUSEUM NEGERI PROVINSI
SUMATERA UTARA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA
: DESY NATALIA PINEM
NIM
: 050703020
Diketahui Oleh:
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs.Warisman Sinaga, M.Hum
Drs. Jamorlan Siahaan
NIP.131789087
NIP.131659607
Disetujui Oleh:
Departemen Bahasa dan Sastra Daerah
Ketua
KAJIAN FILOLOGI TERHADAP NASKAH BATAK
NO.INV.943/07124/2075 KOLEKSI MUSEUM NEGERI PROVINSI
SUMATERA UTARA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
DESY NATALIA PINEM
NIM. 050703020
Disetujui Oleh:
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Warisman Sinaga, M.Hum
Drs. Jamorlan Siahaan
NIP.131789087
NIP.131659607
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK
MEDAN
PENGESAHAN
Diterima OlehPanitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada,
Tanggal :
Hari :
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D.
NIP.132098531
Panitia Ujian
No. Nama Tandatangan
1. ………. ……….
2. ………. ……….
3. ………. ……….
4. ………. ……….
Disetujui Oleh Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan
Departemen Bahasa dan Sastra Daerah Ketua,
Drs. Baharuddin, M.Hum NIP. 131785647
ABSTRAK
Dalam penelitian ini, penulis membahas “Kajian Filologi Terhadap
Naskah Batak No.INV.943/07124/2075 Koleksi Museum Negeri Provinsi
Sumatera Utara”. Masalah penelitian dapat dideskripsikan melalui rumusan
masalah yang didalamnya terdapat cara untuk transliterasi dan terjemahan
naskah. Selain itu, permasalahan yang ada juga menyangkut fungsi dari naskah
tersebut.
Penulis telah menganalisis naskah dengan menggunakan bantuan dari
teori Baroroh untuk menyelesaikan bagian naskah. Penelitian ini belumlah
sesempurna mungkin sehinga, perlu ditindaklanjuti untuk masa yang akan
UCAPAN TERIMA KASIH
Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Bapa di
surga, atas kasih dan karunia-Nya yang dianugerahkan kepada penulis selama
masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.
Penulis juga menyadari bahwa penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan rasa haru dan penuh kebahagiaan
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D. sebagai Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sastra Daerah
dan Bapak Drs. Flansius Tampubolon, sebagai dosen wali penulis, juga
seluruh staf pengajar yang telah bersusah payah mendidik dan megarahkan
penulis selama menyelesaikan studi.
3. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen
Sastra Daerah dan merangkap sebagai pembimbing I dan Bapak
Drs.Jamorlan Siahaan sebagai pembimbing II yang telah banyak
memberikan masukan dan bermurah hati meluangkan waktu untuk
membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Keterbukaan dan
ketidakjenuhan mereka terutama dalam hal penyusunan skripsi ini menjadi
pendorong yang membesarkan hati dan merupakan pengabdian yang tak
kenal pamrih.
4. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang teristimewa kepada papa dan
dari penulis dan memberikan nasihat yang membangkitkan semangat di
dalam perkuliahan. Doa mereka senantiasa mengiringi langkah dalam
mewujudkan cit-cita penulis. Sungguh pengorbanan yang diberikan tak
dapat penulis membalasnya. Sinar kasih sayang setiap saat terpancar dari
sikap mereka benar-benar merupakan suluh dalam menerangi hati penulis
dalam menempuh studi ini. Begitu juga kepada seluruh keluarga yang telah
memberikan dukungan dan juga doa kepada penulis hingga dapat
menyelesaikan perkuliahan ini, kiranya Bapa yang di surgalah nantinya
yang akan membalasnya.
5. Begitu juga kepada seluruh informan yang tak dapat penulis sebutkan
satu-per satu yang telah banyak memberikan informasi tentang isi skripsi ini.
6. Semua yang tergabung dalam anggota IMSAD dan juga teman sekampus
lainnya yang telah membantu penulis dalam studi, juga dalam penyusunan
skripsi ini.
7. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak baik di
Medan maupun yang di luar kota Medan yang telah membantu penulis.
Pada kesempatan ini penulis memohon kepada Tuhan kiranya pertolongan
yang mereka berikan, dan tidak mungkin penulis balas, kiranya Tuhanlah
Akhirnya penulis mengucapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
Desy Natalia Pinem
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Bapa di
surga, karena berkat dan kasih-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah
Kajian Filologi Terhadap Naskah Batak
Skripsi ini berisi uraian dari penelitian yang penulis lakukan terhadap
naskah Batak. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi
syarat menempuh ujian sarjana dalam bidang sastra pada Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan.
Skripsi ini terdiri atas enam bab dan kemudian bab-bab tersebut dibagi
lagi atas subbab agar uraiannya lebih terperinci dan tampak jelas.
Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, deskripsi naskah, dan
metode dasar.
Bab II merupakan kajian pustaka yang mencakup kepustakaan yang
relevan dan tinjauan pustaka.
Bab III merupakan metodologi penelitian yang mencakup metode
analisis data, metode pengumpulan data, lokasi, sumber data, instrumen, dan
metode dasar.
Bab IV mengetengahkan tentang teks dan terjemahan yang di dalamnya
termasuk teks, terjadinya teks, sistem penyalinan, transliterasi, terjemahan, dan
kebudayaan dan fungsi dalam pendidikan, yang dibagi dalam beberapa bagian
yaitu fungsi dalam ilmu sejarah, filsafat, linguistik, sastra, dan antropologi.
Bab V berisikan kesimpulan dan saran.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena
ilmu yang penulis miliki sangat minim. Tetapi dengan bimbingan bapak dan
ibu dosen sekalian selama pendidikan atau semasa perkuliahan maka skripsi
ini dapat penulis selesaikan sebagaimana mestinya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik yang membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan
skripsi ini.
Atas segala bantuan saya ucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini
berguna bagi pembacanya.
Medan, Desember 2008
Penulis ,
Desy Natalia Pinem
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ... i
Ucapan terima kasih ... ii
Kata pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 8
1.3.Tujuan Penelitian ... 9
1.4.Manfaat Penelitian ... 9
1.5.Anggapan Dasar ... 10
1.6.Deskripsi Naskah ... 10
BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 12
2.1. Kepustakaan yang Relevan ... 12
2.2. Teori yang Digunakan ... 13
2.2.1. Suntingan Teks ... 13
2.2.2. Kedudukan dan Fungsi ... 16
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 17
3.1 Metode Dasar ... 17
3.2 Lokasi, Sumber Data dan Instrumen Penelitian ... 17
3.4 Metode Analisis Data ... 18
BAB IV :PEMBAHASAN ... 20
4.1Fungsi Naskah dalam Masyarakat ... 20
4.1.1 Fungsi dalam Kebudayaan ... 20
4.1.2 Fungsi dalam Pendidikan ... 25
4.2 Edisi Teks ... 35
4.2.1 Teks... ... ... 32
4.2.2 Terjadinya Teks ... 34
4.2.3 Sistem Penyalinan ... 35
4.3 Suntingan Teks ... 38
4.3.1 Transliterasi ... 38
4.3.2 Terjemahan ... 39
4.3.3 Analisis ... 42
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 46
5.1. Kesimpulan ... 46
5.2. Saran ... 47
Daftar Pustaka ... 49
Lampiran Naskah ... 52
Transliterasi ... 52
Terjemahan ... 91
Glosarium ... 106
ABSTRAK
Dalam penelitian ini, penulis membahas “Kajian Filologi Terhadap
Naskah Batak No.INV.943/07124/2075 Koleksi Museum Negeri Provinsi
Sumatera Utara”. Masalah penelitian dapat dideskripsikan melalui rumusan
masalah yang didalamnya terdapat cara untuk transliterasi dan terjemahan
naskah. Selain itu, permasalahan yang ada juga menyangkut fungsi dari naskah
tersebut.
Penulis telah menganalisis naskah dengan menggunakan bantuan dari
teori Baroroh untuk menyelesaikan bagian naskah. Penelitian ini belumlah
sesempurna mungkin sehinga, perlu ditindaklanjuti untuk masa yang akan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Terlebih dahulu harus diketahui apa itu sebenarnya Batak. Di zaman
sekarang ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang sekali dipakai untuk
merujuk kepada semua suku di Sumatera Utara. Suku Batak terdiri atas lima
subsuku yaitu:
1. Batak Toba,
2. Batak Angkola-Mandailing,
3. Batak Simalungun,
4. Batak Karo, dan
5. Batak Pakpak/Dairi.
Defenisi awal tentang Batak adalah sebutan bagi semua suku yang
tidak atau belum memeluk agama Islam (Kozok,1999:11), tetapi sekarang
sudah berbeda. Sekarang, hanya suku Batak Toba saja yang menyebut dirinya
sebagai Batak, sedangkan yang lainnya lebih suka disebut Karo, Pakpak/Dairi,
Simalungun, dan Angkola-Mandailing. Sebabnya ialah karena suku yang lazim
disebut “Toba” ini, sebenarnya terdiri dari sejumlah daerah. Diantaranya
adalah daerah Toba (juga disebut Toba Holbung), tetapi ada juga daerah
Uluan, Habinsaran, Samosir, dan Silindung yang sebenarnya tidak termasuk
penduduknya lazim disebut etnis Toba oleh para ahli bahasa dan antropologi.
Karena sampai sekarang, orang Samosir atau Silindung masih tetap merasa
janggal bila menyebutkan diri sebagai orang Toba, maka mereka pergunakan
istilah Batak saja.
Lama-kelamaan nama Batak ini sudah melekat begitu erat pada orang
Batak Toba ini, sehingga suku-suku lain mencari identitas diri di luar label
Batak yang maknanya sudah didominasi oleh Toba namun sesungguhnya
kelima subetnis tersebut merupakan bagian dari Batak (Kozok, 1999:12).
Marga dan nama Batak diambil dari nama Si Raja Batak. Dari nama itulah
berpangkal silsilah marga Batak. Menurut pengetahuan orang Batak, “semua
orang yang menamakan dirinya Batak adalah keturunan Si Raja Batak”
(W.Hutagalung dalam Adelina 1990:8,). Siapa ayah Siraja Batak tidak dapat
diketahui dengan pasti, tetapi jelas bahwa dia lahir dan bertempat tinggal di
Sianjurmula-mula Dolok Pusuk Buhit dan dari sinilah berpencar keturunannya
ke seluruh pelosok Tapanuli dan sekitarnya (W. Hutagalung dalam Adelina
,1990:8).
Asal-usul suku Batak secara etnis dan sejarah telah dikemukakan oleh para
ahli, di antaranya bahwa, “para leluhur suku Batak berasal dari Asia Selatan
yang bermigrasi ke tanah Batak secara bergelombang(Marbun, 1978:28).
Menurut mitos, “leluhur suku Batak adalah keturunan dewa-dewi dari Banua
Kemasyarakatan Batak didasarkan atas garis keturunan ayah, yang
lebih dikenal dengan istilah Patrilineal. Kampung sebagai tempat tinggal pada
masyarakat Batak Toba disebut huta atau bius, pada Batak
Angkola-Mandailing disebut partahian serta pada Batak Simalungun, Batak Karo dan
Batak Pakpak/Dairi disebut dengan urung. Dalam masyarakat Batak setiap
orang tua mereka pasti selalu menanamkan akan kesadaran marga kepada anak
mereka dan mengenai larangan akan incest, yaitu perkawinan sedarah
(semarga) yang tabu menurut norma adat. Setiap orang Batak harus
mengetahui kedudukannya terhadap sesama orang Batak terlebih dalam
pergaulan adat.
Pengetahuan yang demikian disebut dengan martarombo atau martutur.
Setiap orang harus mengetahui dan selalu ingat akan pantun yang berbunyi:
“ jolo tinitip sanggar,
asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga,
Asa binoto partuturan”
Pantun tersebut berarti:
Pimping(seperti galah yang batangnya tidak berongga) dipotong rata,
Dijadikan sebagai sangkar burung,
Ditanya dulu marga,
Dapat dikatakan bahwa, pantun ini mengingatkan orang untuk martutur,
agar kita dapat menentukan sikap terhadap seseorang setelah status
masing-masing diketahui. Pada masyarakat Batak berlaku sistem pembagian
masyarakat atas tiga bagian yang disebut dengan sistem kekerabatan, yang
mengatur tatakrama pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, kekerabatan ini
disebut dengan Dalihan Na Tolu (dalihan = tungku, na = yang, tolu = tiga).
Ketiga dari golongan ini adalah:
1. Dongan Sabutuha, yaitu saudara semarga atau sanina pada Batak
Simalungun, kahanggi pada Batak Angkola-Mandailing, senina atau
sembuyak pada Batak Karo, dan sabeltek pada Batak Pakpak/Dairi.
2. Boru, yaitu pihak laki-laki yang mengambil putri pihak pemberi, anak
boru pada Batak Simalungun dan Batak Angkola-Mandailing, anak
beru pada Batak Karo dan Batak Pakpak/Dairi.
3. Hula-hula, yaitu pihak anak perempuan yang diambil dengan semua
teman semarga pihak mertua, disebut tondong pada Batak Simalungun
dan mora pada Batak Angkola-Mandailing, kalimbubu pada Batak Karo
dan Batak Pakpak/Dairi.
Dengan adanya dalihan na tolu ini, setiap hubungan antar golongan
ataupun juga marga telah diatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu
keseimbangan dan keserasian hidup dalam bermasyarakat. Seperti pepatah
orang Batak: Manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula,
mengambil hati pihak boru, karena mereka ini dipercayai untuk memberi
sumbangan tenaga dan materi, sedangkan hula-hula harus dihormati karena
mereka inilah pemberi berkat yang dianggap sebagai wakil Tuhan yang
nampak (Siahaan, 1964:48).
Sebagai masyarakat yang patrilineal, anak laki-laki sangat penting sekali,
karena dialah yang dapat melanjutkan keturunannya atau sebagai penyambung
silsilahnya. Bagi mereka yang tidak memiliki anak atau keturunan sangatlah
hina di tengah masyarakat dan dianggap orang yang terkutuk. Orang yang
tidak memiliki keturunan disebut pupur serta yang tidak mempunyai anak
laki-laki(hanya anak perempuan saja) disebut punu dan garis silsilah orang seperti
ini menjadi terputus (Siahaan, 1964:49). Akan tetapi, sekarang ini sudah terjadi
perubahan, anak perempuan sudah disamakan haknya dengan anak laki-laki.
Suku Batak mendiami seluruh wilayah Tapanuli sebahagian besar di
Sumatera Timur yang luasnya kira-kira 50.000 km atau sama dengan 1/9 luas
Sumatera dan terletak di antara 0,5 - 3,5 derajat Lintang Utara(LU), dan 97,5
derajat – 100 derajat Bujur Timur(Siahaan, 1964:17).
Suku Batak terdiri dari lima subsuku yang mempunyai daerah dan
bahasa sendiri. Tempat tinggal mereka berada di wilayah Sumatera Utara dan
tersebar di daerah-daerah. Kabupaten Tapanuli Utara ditempati masyarakat
Batak Toba, Kabupaten Simalungun bagi Batak Simalungun, Kabupaten Karo
Batak Angkola-Mandailing, serta daerah Lingga dan Tanah Pinem di
Kabupaten Dairi.
Bahasa Batak di daerah Tapanuli Tengah merupakan bahasa peralihan
antara bahasa Batak Toba dengan bahasa Batak Angkola-Mandailing. Yang
artinya daerah sepanjang perbatasan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara
memakai bahasa Batak Toba, daerah sepanjang perbatasan Tapanuli Tengah
dan Tapanuli Selatan mempergunakan bahasa Batak Angkola-Mandailing.
Di Kotamadya Sibolga dan sekitarnya dipakai bahasa Batak yang
disebut dialek Sibolga, merupakan campuran bahasa Batak Toba, Batak
Angkola-Mandailing, dan bahasa Melayu Pesisir(diperoleh dari Kantor
Gubernur Tk.I Provinsi Sumatera Utara, Bagian Statistik).
Salah satu bentuk peninggalan sejarah masa lalu Indonesia adalah
naskah lama. Berbicara tentang naskah, maka akan merujuk kepada apa yang
tersimpan di dalamnya (teks). Jika berbicara mengenai teks suatu naskah dari
budaya tertentu, akan terurai berbagai ragam budaya yang di dalamnya ada
sistem religi hingga sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraninggrat, dalam
tesis Adelina,1990:3). Hal ini disebabkan oleh budaya suatu masyarakat
tertentu akan terekam dengan jelas dalam sebuah bukti tertulis (naskah) yang
dihasilkan oleh masyarakat tersebut, di samping prasasti dan peninggalan
purbakala lainnya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.
Peninggalan berupa naskah ini merupakan dokumen yang menarik untuk
merupakan warisan nenek moyang bangsa kita yang sangat berharga, karena di
dalamnya banyak terkandung nilai keagamaan, pendidikan, pengobatan,
sejarah dan sebagainya. Di dalam naskah tersebut tertuang semua hasil buah
pikiran, perasaan dan cita-cita nenek moyang kita. Dengan mempelajari
naskah-naskah itu kita bisa memahami dan menghayati pikiran, perasaan, serta
cita-cita mereka.
Dalam warisan tertulis dari zaman kuno, Indonesia bisa dikatakan
beruntung, karena masih menyimpan naskah-naskah kuno dalam jumlah yang
cukup banyak di tiap-tiap daerah. Namun ternyata naskah yang telah hilang
pun cukup banyak. Contohnya ada beberapa naskah Batak yang dijual kepada
wisatawan asing yang datang ke daerah mereka. Hal ini perlu kita sadari
sepenuhnya, betapa pentingnya warisan budaya bangsa kita yang tersimpan
dalam naskah-naskah kuno. Sebab naskah-naskah tersebut merupakan sumber
pengetahuan yang dapat membantu kita dalam mempelajari, mengetahui,
mengerti, dan kemudian menyajikan sejarah perkembangan kebudayaan
bangsa kita.
Naskah tersebut masih banyak yang belum diteliti oleh para ahli, karena
naskah-naskah tersebut belum banyak dimanfaatkan isinya. Hal itu disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain penelitian akan memakan waktu cukup lama.
Dan yang paling pokok, peneliti harus menguasai tulisan dan bahasanya
terlebih dahulu. Naskah-naskah Indonesia, khususnya ditulis kebanyakan
bermacam-macam jenisnya misalnya, naskah Batak ditulis pada bahan bambu, kulit kayu,
dan rotan. Sedangkan naskah Melayu umumnya ditulis di atas kertas.
Mengingat hal tersebut, penulis tertarik untuk mengenal, menyelami,
dan memahami salah satu warisan nenek moyang bangsa kita. Keinginan ini
timbul karena adanya rasa cinta dan tanggung jawab atas kelestarian
naskah-naskah tersebut. Salah satu naskah-naskah yang akan dikaji dalam hal ini adalah
naskah Batak, yang menurut pengamatan penulis jarang diteliti oleh para ahli
maupun yang lainnya.
Dilihat secara sepintas, naskah ini cukup menarik dan berharga, di
dalamnya tersaji pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat Batak, seperti
kebiasaan dalam menentukan hari baik dan buruk, pembuataan ramuan obat
tradisional, cara tolak bala, dan lain sebagainya. Semua ini disusun menjadi
satu kesatuan yang disajikan dalam bahasa dan aksara Batak. Naskah ini
dikenal masyarakat sebagai pustaha lak-lak.
Sangat disayangkan naskah ini banyak yang belum diterjemahkan dan
ditindaklanjuti. Namun yang lebih disayangkan lagi ternyata sebahagian dari
naskah ini sudah ada yang rusak atau tulisannya juga sudah ada yang hilang
sehingga tidak dapat dibaca. Faktor-faktor tersebutlah yang menarik perhatian
penulis untuk memilih naskah sebagai objek penelitian.
1.2Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
2. Bagaimana kedudukan dan fungsi naskah di tengah-tengah masyarakat
Batak?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dibagi dalam tujuan khusus dan tujuan
umum.
Tujuan khusus penelitian ini yaitu:
1. Menyunting teks dan mengungkapkan isi dari suntingan teks tersebut.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi naskah pada masyarakat Batak.
Tujuan umum penelitian ini yaitu:
1. Menggali nilai-nilai budaya yang masih terpendam, khususnya di dalam
naskah yang diamati.
2. Agar dapat dijadikan sumber penelitian bagi ilmu-ilmu lainnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah
1. Menambah khasanah pengkajian terhadap karya yang berupa naskah.
2. Sebagai sumbangan ilmu yang diharapkan dapat mengembangkan
penelitian Sastra Daerah di Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra,
3. Menyukseskan program pelestarian sastra daerah sebagai bagian dari
kebudayaaan nasional.
1.5 Anggapan Dasar
Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh
peneliti, yang harus dirumuskan secara jelas dengan tujuan untuk memperkuat
permasalahan dan untuk membantu peneliti dalam memperjelas dan
menetapkan objek penelitiannya, wilayah pengambilan data, dan instrumen
pengumpulan data ( Arikunto, 1996:65).
Naskah merupakan bagian peninggalan kebudayaan lama, sehingga
dengan bertambahnya umur naskah tersebut mengakibatkan adanya kerusakan
pada naskah sehingga naskah tersebut susah untuk dibaca.
1.6Deskripsi Naskah
Tempat penyimpanan naskah :Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara
Nomor Koleksi : No.INV.943/07124/2075
Bahasa : Batak
Tarikh Penulisan : Tidak tersedia
Halaman Kosong : Tidak didapati
Halaman tertulisi : Keseluruhan tertulisi
Bahan Naskah : Kulit kayu alim
Tinta : Warna hitam terbuat dari getah
Kondisi naskah : Masih baik
Jenis Aksara : Batak
Sampul :
Jilidan :
Penomoran halaman : Tidak didapati
Penomoran bait :Tidak didapati
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
Ada beberapa pendapat ataupun batasan tentang filologi yang dapat
dipakai sebagai acuan pada penelitian ini.
Baried (1985:2) mengatakan, ”Filologi merupakan sebuah studi yang
diperlukan untuk satu upaya yang dilakukan terhadap peninggalan masa
lampau.”
August dalam Tadillah (2004:60) mengatakan, ”Filologi berarti ilmu
pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang.”
Mario dalam Tadillah (2004:62) mengatakan, ”Filologi merupakan
ilmu studi bahasa yang ilmiah seperti yang disandang oleh linguistik pada
masa sekarang dan apabila studinya dikhususkan kepada teks, teks tua filologi
memperoleh pengertian semacam ilmu linguistik historis.”
Robson (2004:3) mengatakan, ”Naskah merupakan perbendaharaan
pikiran dan cita-cita para nenek moyang kita. Dengan mempelajari
naskah-naskah itu kita bisa mendekati dan menghayati pikiran serta cita-cita yang dulu
menjadi pedoman kehidupan mereka.”
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, filologi
merupakan ilmu pengetahuan yang kajiannya dikhususkan kepada teks
2.2 Teori yang Digunakan
Filologi berusaha mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui
kajian bahasa pada peninggalan dalam bentuk tulisan. Hasil budaya yang
diungkapkan oleh teks dapat dibaca dalam peninggalan-peninggalan yang
berupa tulisan yang disebut dengan naskah.
2.2.1 Suntingan Teks
Dalam rangka penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf daerah,
perlu terlebih dahulu teks itu ditransliterasikan ke huruf Latin. Salah satu
tujuan penyuntingan teks ialah agar teks dapat dibaca dengan mudah oleh
kalangan yang lebih luas. Oleh sebab itu, diusahakan agar susunannya mudah
dibaca dan dipahami, untuk memudahkan kita mengetahui isinya secara
keseluruhan.
Naskah-naskah lama merupakan sumber data yang penting tentang
bahasa. Oleh karena itu, penyuntingan teks lama atau kuno perlu dijaga
kemurniannyasupaya ciri bahasa lama tidak hilang (Djamaris, 2002:2).
Transliterasi artinya penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari
abjad yang satu ke abjad yang lainnya. Istilah ini dipakai bersama-sama
dengan istilah transkripsi dengan pengertian yang sama pada penggantian jenis
tulisan naskah. Transliterasi dapat diartikan juga sebagai salinan atau tulisan
tanpa mengganti macam tulisan (huruf tetap). Baried, dkk,(1985:59)
teks-teks lama yang ditulis dengan huruf daerah karena kebanyakan orang
sudah tidak mengenal atau tidak akrab lagi dengan tulisan daerah.
Menurut Catford dalam makalah Haslinda (2005:103, “Menerjemahkan
adalah mengganti teks dalam bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam
bahasa sasaran”. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa menerjemahkan
adalah pengalihan bahasa dengan tujuan pembaca dapat memahami isi naskah.
Hoed (1993:1) mengutip pendapat Nida dan Taber (1974:1) bahwa:
correctness must be determined by the wxtent to which the average reader for
which a translation is intended will be likely to understand it correcly.
Berdasarkan keterangan tersebut maka terdapat implikasi sebagai berikut:
a) Sebelum mulai mengalih bahasakan sebuah teks, penerjemah harus
memahami pesan yang terkandung dalam teks tersebut.
b) Siapa pengirim pesan tersebut, ditujukan kepada siapa, dan siapa calon
pembaca dalam bahasa sasaran.
c) Makin jelas (terbatas) calon pembaca hasil penerjemahan, makin
mudah untuk memuat keputusan tentang pilihan bentuk bahasa dalam
proses penerjemahan.
d) Benar tidaknya suatu terjemahan berkaitan dengan apakah pesan dalam
bahasa sumber diterima secara sepadan dalam bahasa sasaran.
Djajasudarma (1988:1) mengemukakan bahwa penerjemahan merupakan
(a) penggantian naskah bahasa sumber dengan naskah bahasa sasaran yang
wajar dan paling mendekati pesan bahasa sumber. Berdasarkan pendapat
tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. objek terjemahan adalah bahasa tulis
2. penerjemah harus dapat memindahkan pesan naskah asli semaksimal
mungkin
3. bahasa terjemahan mestilah wajar (alamiah)
4. di dalam proses penerjemahan, harus dicari padanan yang dinamik,
artinya padanan kontekstual, bukan padanan yang hanya berdasarkan
makna leksikal di dalam tataran tertentu.
Selain itu, Pradotokusumo (1986:173) mengemukakan bahwa terjemahan
secara harafiah mungkin masih dapat mengungkapkan pesan, jika teks yang
diterjemahkan itu berbentuk prosa serta bahasa sumber dan bahasa sasaran
termasuk satu rumpun bahasa, sehingga tidak banyak terjadi perubahan dalam
bentuk gaya. Berkaitan dengan penerjemahan teks Ruhalliah (2006:33)
memberikan suatu pertimbangan dalam menerjemahkan naskah, antara lain:
a. Teks ditulis menggunakan bahasa daerah dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Karena bahasa yang berbeda memiliki struktur dan
makna yang berbeda, maka perbedaan ini harus dipertimbangkan agar
makna terjemahannya sama atau mendekati.
b. Bahasa yang digunakan dalam naskah adalah bahasa daerah lama,
disesuaikan dengan bahasa Indonesia “modern”. Dengan demikian akan
terjadi perubahan di dalam memahami teks tersebut.
2.2.2 Kedudukan dan Fungsi
Kedudukan adalah letak sesuatu status suatu keadaan atau tindakan
sedangkan fungsi adalah kegunaan yang dapat dinikmati dan dapat diambil
manfaatnya (KBBI, 2002:278).
Fungsi dan kedudukan naskah dalam masyarakat Batak dapat
dibedakan menurut status dan kedudukan pemiliknya. Pada masa pemerintahan
kerajaan, pemilik naskah adalah mereka yang berasal dari masyarakat
keturunan dari bangsawan. Mereka itu memiliki status sebagai tokoh
pemerintah (raja dan seluruh perangkatnya) tokoh masyarakat (para pemuka
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Dasar
Di dalam menyusun suatu karya tulis, lebih-lebih yang bersifat ilmiah
sudah barang tentu harus digunakan suatu metode yang baik. Karena metode
merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu
yang bersangkutan ( Koentjaraninggrat, dalam tesis Adelina, 1990:10).
Metode dasar dalam penelitian ini adalah metode naskah tunggal edisi standar
alasannya adalah karena naskah yang hendak dikaji bukan naskah ganda
melainkan naskah tunggal.
3.2 Lokasi, Sumber Data, dan Instrumen
Lokasi sumber data adalah Museum Negeri Sumatera Utara yang berada
di jalan H.M.Joni. Sumber data diperoleh dari sebuah naskah Batak.
Naskahnya bertuliskan aksara Batak. Aksara tersebut bernama lak-lak yang
ditulis di atas kulit kayu yang berukuran 9,5 x 6,5 cm, dengan
No.INV.943/07124/2075. Lak-lak tersebut belum dialihaksarakan ke aksara
Latin dan belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
penulis seperti buku catatan, daftar pertanyaan dan alat rekam, dalam arti lebih
proses penelitian ini penulis menggunakan alat bantu seperti: alat tulis, kamera
dan buku-buku acuan yang memperlancar proses penelitian ini.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Tahap awal yang dilakukan adalah pengumpulan data yang berupa
inventarisasi naskah. Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan
menggunakan metode pustaka. Metode pustaka yang dilakukan adalah
membaca naskah yang asli dari bahan yang dipergunakan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Observasi, melakukan pengamatan meliputi pemusatan perhatian
terhadap objek penelitian dalam mencari naskah.
2. Pencatatan, mencatat naskah untuk memudahkan dalam
pentransliterasian.
3. Studi pustaka, untuk mencari bahan bacaan ejaan yang mendukung
penelitian.
4. Pendokumentasian, pengambilan gambar naskah sebagai dokumentasi.
3.4 Metode Analisis Data
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode
naskah edisi standar (Baried, dkk, 1985:60). Metode standar adalah metode
yang biasa digunakan dalam penyuntingan teks naskah tunggal, di mana yang
kecil, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Semua
perubahan yang diadakan dicatat di tempat yang khusus agar selalu dapat
diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah sehingga masih
memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar antara lain:
1. Mentransliterasi teks.
2. Membetulkan kesalahan teks.
3. Membuat catatan perbaikan atau perubahan.
4. Membagi teks dalam beberapa bagian.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Fungsi Naskah dalam Masyarakat 4.1.1 Fungsi dalam Kebudayaan
Secara khusus fungsi yang terdapat pada naskah yang dijadikan sebagai
objek penelitian dalam tulisan ini dalam bidang kebudayaan dapat di lihat dari
berbagai sisi yang diantaranya yaitu:
• Dapat dijadikan sebagai salah satu peninggalan budaya Batak yang
ternyata memiliki identitas dari suku tersebut.
• Isi dari naskah yang telah di terjemahkan memperkuat bahwa suku
Batak Toba memiliki banyak pengetahuan yang didalamnya berupa
ilmu perdatuan (dukun).
• Secara tidak langsung dari naskah yang ditemukan telah memberi
warna bahwa suku Batak Toba memiliki ciri khas dari segi tulisan yang
dimana, ada beberapa suku lain juga memilikinya. Tetapi, ada juga
yang tidak memilikinya.
Dari beberapa hasil tersebut dapat terlihat bahwa suku Batak mampu
untuk bersaing dalam bidang kebudayaan dengan suku yang lain. Hal ini
dibuktikan dengan adanya ciri khas yang dimiliki dari bagian naskah tersebut
yang dimulai dari adanya naskah beserta tulisannya, adanya pengetahuan yang
dulu. Dimana secara mayoritas setiap suku di Indonesia memiliki bagia dari
cirri khas tersebut.
Bangsa Indonesia boleh bangga karena memiliki beraneka ragam
bahasa dan sastra daerah sebagai warisan nenek moyang yang tidak ternilai
harganya. Sastra daerah yang beraneka ragam itu turut mewarnai khazanah
sastra Nusantara dan merupakan alat penunjang untuk memperkaya kesastraan
Indonesia pada umumnya. Dalam bab pertama dikatakan bahwa kebudayaan
adalah kelompok adat istiadat kebiasaan, pikiran, kepercayaan, dan nilai yang
turun-temurun dipakai oleh masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi
dan menyesuaikan diri terhadap segala situasi yang sewaktu-waktu timbul,
baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan.
Hasil budaya masa lampau yang terungkap dalam sastra lama dapat
dibaca dalam peninggalan yang berupa tulisan yaitu naskah. Karya sastra
Nusantara yang pada saat ini tersimpan dalam naskah lama merupakan
peninggalan pikiran para leluhur (nenek moyang). Mempelajari sastra lama
selalu dihadapkan pada kesukaran-kesukaran yang tidak sedikit karena tidak
dijumpainya sumber hidup tempat berkonsultasi. Sastra lama itulah yang
menjadi satu-satunya sumber informasi yang tidak terlepas dari kemungkinan
berbagai macam tafsiran. Di satu pihak, interpretasi tersebut dapat benar, tetapi
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini
kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti
perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber untuk
menilai, yaitu penilaian baik dan buruk, berharga aatu tidak berharga, bersih
atau kotor, dan sebagainya. Hal itu terjadi karena kebudayaan mengandung
nilai-nilai normal yang bersumber pada pandangan hidup dan kode etik yang
dimiliki oleh setiap manusia (Geetz dalam Baroroh,1985:86).
Kebudayaan lama yang sudah ada beberapa abad yang lampau dapat
dikenal kembali dalam bermacam-macam bentuk, antara lain, dalam bentuk
tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang
lain, dan naskah-naskah. Selain itu, ada juga yang berbentuk lisan.
Peninggalan suatu kebudayaanyang berupa naskah merupakan dokumen
bangsa yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama karena
memiliki kelebihan, yaitu dapat memeberi informasi yang luas dibandingkan
peninggalan berbentuk puing bangunana besar seperti candi, istana raja, dan
juga pemandian suci. Peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar itu
tidak dapat berbicara dengan sendirinya, tetapi harus ditafsirkan (Soebadio,
1975:1).
Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan memiliki
aktivitas-aktivitas tertentu hasilnya dapat dirasakan oleh generasi kemudian. Manusia
dapat berpedoman kepada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi
manusia dapat mengatasi keruwetan-keruwetan yang terjadi dalam hidupnya.
Pewarisan kebudayaan itu terjadi lewat bahasa. Oleh karena ruang lingkup
kebudayaan itu luas sekali maka pengertian bahasa tidak hanya meliputi
bahasa dalam arti yang sempit, melainkan meliputu segala macam bentuk
simbol dan lambang (tarian, gambar) yang dapat mencatat kebudayaan dari
generasi yang satu kepada generasi yang lain (Van Peursen, 1976:143).
Pada umumnya, hasil budaya manusia makin hari makin sempurna.
Dalam bidang kesenian, misalnya, manusia terus-menerus mencari
bentuk-bentuk ekspresi baru. Jadi, pada dasarnya seluruh seluruh kebudayaan
merupakan suatu proses belajar yang besar yang menghasilkan bentuk-bentuk
baru dengan menimba pengetahuan dan kepandaian dari kebudayaan
sebelumnya. Meskipun demikian, kebudayaan sebagai suatu proses belajar
tidak menjamin kemajuan dan perbaikan sejati. Dengan berguru kepada
kesalahan dan kekeliruannya manusia mungkin akan menjadi lebih bijaksana.
Kekeliruan dan kesalahan ada manfaatnya, walaupun tidak selalu demikian.
Pada dasarnya, kebudayaan yang ada sekarang ini melalui tiga tahap,
yaitu mistis, ontologis, dan fungsional. Tahap mistis adalah suatu tahap yang
sikap manusianya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap
ontologis adalah tahap yang sudah melalui tahap mistis sehingga sikap
manusianya sudah secara bebas ingin meneliti segala hal di luar dirinya,
yaitu tahap yang sikap dan alam pikiran manusianya sudah nampak makin
modern (Van Peursen, 1976:18).
Ahli filologi, selain akrab dengan bahasa dan sastra, juga mengamati
jalannya kebudayaan suatu bangsa. Apabila ditinjau dari sudut kebudayaan
pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam naskah-naskah lama itu
sangat besar. Dengan mengkaji isi rekaman tersebut akan tergalilah
kebudayaan suatu bangsa, tempat berpijaknya kebudayaan yang ada sekarang
ini.
Pembangunan di bidang kebudayaan meliputi juga segala usaha
pembinaan dan pengembangan sastra karena karya sastra adalah manifestasi
kehidupan bangsa di masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Melalui sastra diperoleh nilai-nilai tata hidup sebagai sarana kebudayaan dan
komunikasi antargenerasi masa lampau, generasi sekarang, dan generasi yang
akan datang. Melalui sastra dan kemajuan teknologi modern merupakan hal
yang harus isi-mengisi untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan dalam
pembangunan kebudayaan suatu bangsa.
Kedua hal itu dapat tercapai jika penelitian terhadap sastra lama
digalakkan untuk menunjang pengembanagn kebudayaan dan melestarikan
warisan nenek moyang. Dalam hal ini filologilah, sebagai ilmu pengetahuan
yang berperan untuk menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan
kesusasteraannya dalam rangka penggalian dan pelestarian serta
4.1.2.Fungsi dalam Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan naskah ini telah membuka peluang untuk
dipelajari oleh khalayak umum ataupun bagi mereka yang berkecimpung
didalamnya yang bersangkutpaut dengan ilmu pernaskahan. Sehingga tidak
menutup kemungkinan untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam
ilmu pendidikan dan ilmu pernaskahan. Contohnya, apabila naskah tersebut
bersangkutan dengan pengobatan maka dalam ilmu pendidikan boleh
dilakukan suatu penelitian mengenai hal tersebut sehingga dapat dijadikan
sebagai ilmu tambahan guna membantu ilmu pendidikan dari segi pengobatan.
Jika diperhatikan dalam bidang filologi ada beberapa ilmu yang erat
hubungannya dengan objek penelitian filologi, dimana akan terlihat hubungan
timbal-balik, saling membutuhkan. Untuk kepentingan tertentu, filologi
memandang ilmu-ilmu yang lain sebagai ilmu bantunya. Di bawah ini
dikemukakan ilmu yang dipandang sebagai ilmu bantu filologi dan
ilmu-ilmu yang memandang filologi sebagai ilmu-ilmu bantunya.
Mempelajari bahasa naskah bukanlah tujuan filologi yang
sesungguhnya. Meskipun demikian, karena kebanyakan bahasa naskah sudah
berbeda dengan bahasa sehari-hari maka sebelum samapi kepada tujuan yang
sebenarnya, seorang ahli filologi harus terlebih dahulu mengkajinya. Untuk
pengkajian bahasa naskah inilah diperlukan bantuan linguistik.
Bantuan linguistik kepada filologi sudah terlihat sejak perkembangan
bahasa tulis, termasuk di dalamnya bahasa naskah, bahkan studi bahasa sampai
pada abad ke-19 dikenal dengan nama filologi. Dalam perkembangannya yang
kemudian, linguistik lebih mengutamakan bahasa lisan, bahasa yang dipakai
sehari-hari. Meskipun demikian, diharapkan kemajuan metode-metodenya
dapat diterapkan juga dalam pengkajian bahasa-bahasa naskah.
Ada beberapa cabang linguistik yang dipandang dapat membantu
filologi, antara lain, yaitu etimologi, sosiolinguistik, dan stilistika. Etimologi,
ilmu yang mempelajari asal-usul dan sejarah kata, telah lama menarik
perhatian para ahli filologi. Hampir dapat dikatakan bahwa pada setiap
pengkajian bahasa teks, selalu ada yang bersifat etimologis.
Hal ini mudah untuk dimengerti karena bahasa-bahasa naskah
Nusantara banyak yang mengandung kata serapan dari bahasa asing, yang
dalam perjalanan hidupnya mengalami perubahan bentuk dan kadang-kadang
juga perubahan dalam arti. Itulah sebabnya maka kata-kata semacam itu, untuk
pemahaman teks perlu dikaji sejarahnya.
Sosiolinguistik, sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan
dan saling mempengaruhi hubungan dan saling pengaruh antara perilaku
bahasa dan perilaku masyarakatnya, sangat bermanfaat untuk menekuni bahasa
teks, misalnya ada tidaknya ragam bahasa, alih kode yang erat kaitannya
dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian seperti ini
diharapkan dapat membantu pengungkapan keadaan sosiobudaya yang
Selanjutnya stilistika, yaitu cabang ilmu linguistik yang menyelidiki
bahasa sastra, khusunya gaya bahasa, diharapkan dapat membantu filologi
dalam pencarian teks asli atau mendekati aslinya dan dalam penentuan usia
teks. Telah disinggung dalam pembicaraan tentang pengertian filologi bahwa
naskah-naskah yang sampai kepada kita mencerminkan adanya tradisi
penyalinan yang longgar, artinya penyalin dapat mengubah dan mengurangi
naskah yang disalinnya apabila dirasa perlu.
Untuk penelitian linguistik diakronik, ahli linguistik memerlukan
suntingan teks-teks lama hasil kerja filologi dan mungkin juga membutuhkan
hasil kajian bahasa teks lama oleh ahli filologi. Pada umumnya ahli linguistik
mempercayakan pembacaan teks-teks lama kepada para ahli filologi atau ahli
epigrafi. Dari hasil kerja mereka inilah, ahli linguistik menggali dan
menganalisis seluk-beluk bahasa tulis yang pada umumnya telah berbeda
dengan bahasa sehari-hari. Hasil kajian linguistik ini kelak juga bermanfaat olh
para penggarap naskah lama. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal
balik antara filologi dan linguistik, seperti telah disinggung pada awal bab.
Masalah naskah Nusantara yang mengandung teks sastra, yaitu teks
yang berisi cerita rekaan (fiksi). Contoh teks yang demikian itu, antara lain
teks-teks Melayu yang tergolong cerita pelipur lara, cerita jenaka, cerita
berbingkai, teks-teks yang berisi cerita wayang, dan cerita pahlawan Islam.
Untuk menangani teks sastra, filologi memerlukan metode-metode pendekatan
Ilmu sastra telah lama dipelajari sejak zaman Aristoteles, buku Poetika,
hasil karya Aristoteles yang sangat terkenal, merupakan karya terbesar tentang
teori sastra yang paling awal (Sutrisno,1981:6). Dalam memperlihatkan
perkembangan ilmu sastra sepanjang masa, Abrams (1953) oleh Teew (1980)
dinilai telah berhasil dengan baik dan tepat. Berdasarkan cara menerangkan
dan menilai karya-karya sastra, Abrams (1981:36-37) membedakan tipe-tipe
pendekatan (kritik) tradisional menjadi empat yaitu:
1. Pendekatan mimetik: menonjolkan aspek-aspek referensi, acuan karya
sastra, dan kaitannya dengan dunia nyata.
2. Pendekatan pragmatik: menonjolkan pengaruh karya sastra terhadap
pembaca atau pendengarnya.
3. Pendekatan ekspresif: menonjolkan penulis karya sastra sebagai
penciptanya.
4. Pendekatan objektif: menonjolkan karya sebagai struktur otonom, lepas
dari latar belakang sejarahnya dan dari diri serta niat penulisnya.
Ketiga pendekatan pertama di atas termasuk pendekatan yang oleh
Wellek dan Waren dalam Teew (1980) disebut pendekatan ekstrinsik, yaitu
pendekatan yang menerangkan karya sastra melalui latar belakangnya, keadaan
sekitarnya, dan sebab-sebab luarnya: sedangkan pendekatan yang keempat,
termasuk pendekatan yang disebut pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang
berusaha menafsirkan dan menganalisis karya sastra dengan teknik dan metode
Karena banyaknya jumlah teks sastra dan besarnya kecenderungan
untuk menanganinya maka dalam perjalanan sejarahnya, filologi pernah
dipandang sebagai ilmu sastra. Sebaliknya, sekarang ini karena pesatnya
kemajuan ilmu sastra maka filologi dipandang sebagai cabang ilmu sastra.
Bantuan ilmu filologi kepada ilmu sastra terutama berupa penyediaan
suntingan naskah lama dan hasil pembahasan teks yang mungkin dapat
dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan sejarah sastra ataupun teori sastra.
Ilmu sastra akan benar-benar bersifat umum hanya apabila data untuk
penyusunan teori-teorinya didasarkan juga pada sastra lama, bukan hanya pada
sastra baru. Konvensi sastra baru belum tentu sama dengan konvensi sastra
lama. Dengan demikian, hasil-hasil kajian terhadap teks-teks sastra lama akan
sangat berguna untuk penyusunan teori-teori ilmu sastra yang benar-benar
bersifat umum.
Penggarapan naskah tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat
dan budaya masyarakat yang melahirkannya. Untuk keperluan ini, ahli filologi
dapat memanfaatkan hasil kajian atau metode antropologi sebagai suatu ilmu
yang berobjek penyelidikan manusia dipandang dari segi fisiknya,
masyarakatnya, dan kebudayaannya. Masalah yang erat pautannya dengan
antropologi, misalnya sikap masyarakat terhadap naskah yang sekarang masih
hidup, terhadap naskah yang dimilikinya, apakah naskah itu dipandang sebagai
Karya-karya pujangga keraton yang sekarang tersimpan di
perpustakaan keraton Surakarta dan Yogyakarta tampak dikeramatkan seperti
benda-benda pusaka. Tradisi caos dhahar “memberi sesaji” dan nyirami
“memandikan” yang biasanya dilakukan untuk benda-benda pusaka, dilakukan
juga untuk naskah-naskah sastra. Tentu saja nyirami naskah tidak berarti
memandikan naskah, tetapi mengangin-anginkannya. Selain itu, pengeramatan
atau penghormatan terhadap naskah terlihat dari istilah yang dipakai untuk
tindakan penyalinan naskah, yaitu “mutriani”.
Makna harfiah istilah ini “membuat putra”: diturunkan dari kata “putra”
yang mengandung rasa hormat. Selanjutnya hasil “mutrani” ini disebut putran,
yaitu naskah kopi (Sutjipto,1977). Ada juga naskah-naskah magis yang
pendekatannya memerlukan informasi antropologis, misalnya naskah-naskah
yang mengandung teks-teks mantera. Ada pula naskah yang oleh penyalinnya
dikatakan dapat menghapuskan dosa pembacanya apabila dibacanya sampai
tamat, misalnya teks Hikayat Nabi Bercukur.
Naskah-naskah nusantara yang oleh pendukungnya dipandang berisi
teks sejarah jumlahnya cukup banyak, misalnya Hikayat Aceh, Hikayat Banjar
(Melayu). Suntingan naskah-naskah jenis ini, terutama yang melalui proses
pengkajian filologis, dapat dimanfaatkan sebagai sumber sejarah setelah diuji
berdasarkan sumber-sumber lain (sumber asing, prasasti, dan sebagainya) atau
Biasanya yang bersifat historis hanyalah bagian-bagian yang
melukiskan peristiwa-peristiwa yang sezaman dengan penulisnya. Itupun
banyak yang penyajiannya diperhalus, yaitu apabila peristiwanya dipandang
dapat mengurangi nama baik raja yang sedang berkuasa. Meskipun demikian,
teks-teks semacam itu sangat bermanfaat untuk melengkapi informasi sejarah
yang terdapat dalam sumber-sumber lain, misalnya batu nisan, prasasti dan
candi.
Ilmu sejarah juga memanfaatkan suntingan teks jenis lain, bukan jenis
sastra sejarah, khususnya teks-teks lama yang dapat memberikan informasi
lukisan kehidupan masyarakat yang jarang ditemukan dalam sumber-sumber
sejarah di luar sastra.
Selain itu dalam naskah-naskah Nusantara banyak yang mengandung
teks keagamaan. Dapat dikemukakan bahwa naskah-naskah Jawa Kuna dan
Batak banyak diwarnai agama Hindu dan Budha, sedangkan naskah Melayu
banyak dipengaruhi oleh agama Islam. Pengaruh sastra Islam dalam sastra
Jawa Baru pada umumnya melalui sastra Melayu.
Suntingan naskah, terutama naskah yang mengandung teks keagamaan
atau sstra kitab dan hasil pembahasaan kandungannya, akan menjadi bahan
penulisan perkembangan agama yang sangat berguna. Dari teks-teks semacam
itu akan diperoleh gambaran, antara lain, perwujudan penghayatan agama,
percampuran agama Hindu, Budha dan Islam dengan kepercayaan yanghidup
ke Nusantara. Gambaran itu merupakan permasalahan yang ditangani oleh
ilmu sejarah perkembangan agama. Dengan demikian, penanganan naskah
sastra kitab secara filologis akan sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah
perkembangan agama.
Banyak defenisi filsafat, tetapi inti sarinya adalah cara berfikir menurut
logika dengan bebas sedalam-dalamnya hingga sampai ke dasar persoalan
(Shadily,1980). Dilihat dari bidang objek pemikirannya, filsafat dapat dibagi
menjadi beberapa cabang: metafisika (antologi), epistemologi, logika, etika,
estetika, dan sebagainya (Runes dkk., 1963:234). Ada juga yang membaginya
menjadi filsafat manusia, filsafat alam, dan filsafat ilmu pengetahuan (Shadily,
1980).
Renungan yang bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau,
antara lain dapat digali melalui warisan budaya lama yang berwujud naskah
atau teks sastra. Kehidupan masyarakat tradisional Nusantara tampak dominan
oleh nilai-nilai seni dan agama, bahkan menurut Al-Attas (1972:13) pandangan
hidup asli “Melayu-Indonesia” adalah berdasarkan seni.
4.2 Edisi Teks 4.2.1 Teks
Teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang
hanya dapat dibayangkan saja. Perbedaan antara naskah dengan teks menjadi
Teks terdiri atas isi, yaitu ide-ide atau amanat yang hendak disampaiakn
pengarang kepada pembaca dan bentuk. Bentuk yaitu cerita dalam teks yang
dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur,
perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu yang mempelajari seluk-beluk teks disebut tekstologi,
yang antara lain meneliti penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan
pemahamannya. Lichavest dalam Baroroh (1985:57) seorang ahli tekstologi
mengungkapkan ada 10 prinsip yang harus diketahui dalam melakukan edisi
teks, diantaranya yaitu
1. Tekstologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks
suatu karya.
2. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.
3. Penelitian teks harus didahulukan dari penyuntingan.
4. Tidak ada kenyataan tekstologi tanpa penjelasannya.
5. Secara metodis perubahan diadakan secara sadar dalam sebuah teks
(perubahan ideologi, artistik, psikologis, dan lain-lain) harus
didahulukan dari pada perubahan mekanis, misalnya kekeliruan tidak
sadar oleh seorang penyalin.
6. Teks harus diteliti sebagai keseluruhan (prinsip kekompleksan pada
penelitian teks).
7. Bahan-bahan yang mengiringi sebuah teks (dalam naskah) harus
8. Perlu diteliti pemantulan sejarah teks sebuah karya dalam teks-teks dan
monumen sastra lain.
9. Pekerjaan seorang penyalin harus diteliti secara menyeluruh.
10.Rekonstruksi teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan
dalam naskah-naskah.
4.2.2 Terjadinya Teks
Sangat jarang sekali ada teks yang bentuk aslinya atau bentuk
sempurnanya sekaligus terlihat sangat jelas dan tersedia secara utuh dari
keseluruhan teks tersebut. Menurut De Haan dalam Baroroh (1985:57)
mengenai terjadinya teks ada beberapa kemungkinan:
1. Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita.
Turun-temurun terjadi secara terpisah yang satu dari yang lain melalui
dikte apabila orang ingin memiliki teks itu sendiri. Tiap kali teks
diturunkan dapat terjadi variasi. Perbedaan teks adalah bukti dari
berbagai pelaksanaan penurunan dan perkembangan cerita sepanjang
hidup pengarang.
2. Aslinya adalah teks tertulis, yang lebih kurang merupakan kerangka
yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam
hal ini, ada kemungkinan bahwa aslinya disalin begitu saja dengan
tambahan seperlunya. Kemungkinan lain adalah aslinya disalin,
ketiga di samping yang telah ada karena varian-varian pembawa cerita
dimasukkan.
3. Aslinya merupakan teks yang tidak mengijinkan kebebasan dalam
pembawaannya, karena pengarang telah menentukan pilihan kata,
urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat
dalam bentuk literer itu.
4.2.3 Sistem Penyalinan
Dalam penurunan yang dilewati oleh suatu teks yang turun-temurun
disebut tradisi. Naskah diperbanyak karena orang ingin memiliki sendiri
naskah tersebut, kemungkinan karena naskah asli sudah rusak dimakan zaman,
atau karena kekhawatiran terjadi sesuatu terhadap naskah tersebut, misalnya
hilang, terbakar, ketumpahan benda cair yang dapat membuat kerusakan.
Mungkin pula naskah disalin denga tujuan magis, dengan menyalin suatu
naskah tertentu orang merasa mendapat kekuatan magis dari yang disalinnya
tersebut. Naskah yang dianggap penting disalin dengan berbagai tujuan,
misalnya tujuan politik, agama, pendidikan, dan sebagainya.
Akibat dari penyalinan tersebut, terjadilah beberapa atau bahkan
banyak naskah mengenai suatu cerita. Dalam penyalinan yang berkali-kali
tersebut, tidak tertutup kemungkinan timbulnya berbagai kesalahan atau
perubahan. Hal ini terjadi, anatara lain, karena mungkin si penyalin kurang
memahami bahasa atau pokok persoalan naskah yang disalin tersebut,
ketidaktelitian sehingga beberapa huruf hilang (haplografi), atau penyalinan
yang maju dari perkataan yang sama, suatu kata suatu bagian dalam kalimat,
beberapa baris, atau satu bait terlampaui, atau sebaliknya ditulis dua kali
(ditografi).
Penggeseran dalam lafal dapat mengubah ejaan, ada kalanya huruf
yang terbalik atau dalam setiap barisnya tertukar, demik
ian pula dapat terjadi peniruan bentuk kata karena pengaruh dari perkataan
yang lain yang baru saja disalin. Dalam proses salin-menyalin yang demikian,
kerusakan terhadap bacaan tidak dapat terhindarkan lagi. Di samping dari
perubahan yang terjadi karena unsur ketidaksengajaan, setiap penyalin bebas
untuk dengan sengaja menambah, mengurangi, mengubah naskah, menurut
seleranya masing-masing yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman
penyalin.
Sehubungan dengan itu, teks modern juga perlu diadakan penelitian
secara filologi karena ada kemungkinan juga yang menyebabkan terjadinya
beberapa bentuk penyajian tersebut adalah perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh penyusunnya sendiri dengan maksud menyempurnakan teks
sesuai dengan pertimbangan atau pandangan yang dianggap baik. Di samping
itu, unsur-unsur dari luar yang berhubungan dengan teks tersebut, antara lain
sensor dari pemerintah, pengetik, pencetak, dan sebagainya dapat merupakan
penyebab timbulnya perbedaan antara beberapa penyajian atau penerbitan
Dengan demikian, naskah salinan belum tentu merupakan bagian yang
sempurna dari naskah yang disalin. Ada kalanya perbedaan sangat kecil sekali,
tetapi ada pula perbedaan yang besar sehingga timbul naskah-naskah yang
berbeda versi atau berbeda bacaannya.
Oleh karena itu, terlihatlah bahwa tugas utama filologi adalah untuk
memurnikan teks dengan mengadakan kritik terhadap teks. Tujuan dari hal ini
yaitu menghasilkan sesuatu teks yang paling mendekati aslinya. Teks yang
sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti
semula merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber
untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lainnya.
Dalam penyalinan tersebut, naskah pada umumnya tidak menyebutkan
waktu dari penulisannya. Oleh karena itu, umur naskah hanya dapat diketahui
melalui keterangan dari dalam dan keterangan dari luar naskah itu sendiri.
Namun, adakalanya penyalin memberi catatan pada akhir teks mengenai
bilamana dan dimana teks tersebut selesai disalin (kolofon). Apabila kolofon
tidak ada, kertas bahan naskah sering memperlihatkan tanda atau lambang
yang dipergunakan.
Di samping itu, perlu diperhatikan catatan-catatan di sampul luar,
sampul kertas depan dan belakang naskah, serta ciri-ciri lain yang dapat
memberi keterangan tentang umur naskah. Demikian pula asal mula naskah
akhirnya, dapat juga memberi petunjuk dalam memperkirakan umur naskah
ialah waktu atau peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut-sebut dalam teks.
4.3 Suntingan Teks 4.3.1 Transliterasi
Dalam melakukan transliterasi perlu diikuti pedoman yang
berhubungan dengan pembagian kata, ejaan, dan pungtuasi. Sebagaimana
diketahui, teks-teks lama ditulis tanpa memperhatikan unsur-unsur kata tulis
yang merupakan kelengkapan wajib untuk memahami teks.
Transliterasi artinya penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari
abjad yang satu ke abjad yang lainnya. Istilah ini dipakai bersama-sama
dengan istilah transkripsi dengan pengertian yang sama pada penggantian jenis
tulisan naskah. Transliterasi dapat diartikan juga sebagai salinan atau tulisan
tanpa mengganti macam tulisan (huruf tetap). Baried, dkk, (1985:59)
mengungkapkan bahwa transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan
teks-teks lama yang ditulis dengan huruf daerah karena kebanyakan orang
sudah tidak mengenal atau tidak akrab lagi dengan tulisan daerah.
Lebih bermanfaat lagi bagi peminat dari daerah lain di Nusantara
apabila teks yang sudah ditransliterasi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, kecuali teks berbahasa Melayu karena bahasa itu telah dipandang
menyatu dengan bahasa Indonesia. Dalam menerjemahkan kiranya dapat
perlu untuk menjaga kemurnian segala lapisan penciptaan teks dalam bahasa
asalnya.
Salah satu contoh yang dapat dilakukan dalam transliterasi tersebut
dapat dilihat dari penggalan naskah yang diambil dari penelitian ini yaitu:
Ini adalah penggalan naskah yang jenis tulisan, huruf demi huruf dari
abjad yang satu ke abjad yang lainnya belum mengalami pergantian.
Transliterasi dari penggalan naskah tersebut yaitu:
. mani hasuhuton
tu soto moto asuhuton
bea dibisara
nagodang asa imana
tiding gurunta guru
tandang ni aji bao
aji bunga bunga anak
na boru honsitan ni
tiyan tano na buyar
Dari contoh tersebut terbukti cara melakukan transliterasi dari
penggalan naskah yang dilakukan dalam penelitian. Dimana terlebih dahulu
harus mengetahui arti dari tulisan-tulisan yang ada dalam penggalan naskah
tersebut agar lebih mempermudah melakukan transliterasi.
4.3.2 Terjemahan
Setelah melakukan transliterasi dalam naskah maka tugas selanjutnya
yang harus dilakukan adalah melakukan terjemahan dimana terjemahan dapat
diartikan sebagai usaha pemindahan suatu teks dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran. Bahasa sasaran yang dimaksudkan adalah ke bahasa mana kita
terjemahkan hasil transliterasi tersebut, apakah ke bahasa Indonesia ataupun ke
bahasa lain yang diinginkan oleh penerjemah.
Dari contoh yang diambil diketahui bahwa bahasa sumber adalah
bahasa Batak Toba sementara bahasa sasaran yang dilakukan oleh penulis
Contoh bahasa sumber dalam naskah
mani hasuhuton
di mulani juhut mate
tu soto moto asuhuton
bea dibisara
nagodang asa imana
tiding gurunta guru
tandang ni aji bao
aji bunga bunga anak
na boru honsitan ni
tiyan tano na buyar
Sementara untuk melakukan terjemahan atau memindahkannya ke
bahasa sasaran harus dilakukan sesuai dengan kemampuan dan aturan dalam
melakukan terjemahan. Hasil dari transliterasi yang dilakukan ke terjemahan
adalah sebagai berikut. “untuk orang yang melakukan pesta di awal agar
daging yang telah mati namun memiliki kekuatan yang banyak untuknya yang
diberikan oleh guru kita, maka datanglah guru yang sudah tua,guru
bunga-bunga tersebut sangat menyayangi anak perempuannya yang telah hampir
kembali ke tanah “.
Untuk selanjutnya dapat dilihat dalam lampiran yang tertera dalam
tulisan ini, karena ini hanya penggalan dari beberapa naskah yang diambil
4.3.3 Analisis
Sebagai analisis dari hasil transliterasi, peneliti memberikan analisis
berdasarkan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu:
1. Halaman 1 : meninggal saat mengandung.
2. Halaman 2 : menghilangkan kesialan dengan bantuan singa.
3. Halaman 3-4: melakukan pesta untuk anak perempuannya yang hampir
ke tanah dan memberi nasehat oleh Guru Hamuntal.
4. Halaman 5-7: guru yang bermimpi akan mendapat berkah, apa yang
diinginkan semuanya tercapai.
5. Halaman 8-10: meminta teman untuk pergi meninggalkan kampung
karena kedatangannya membawa masalah.
6. Halaman 11-14: ada pesta pernikahan yang menyedihkan karena
mengalami banyak kerugian mulai dari kebakaran, pembunuhan dan
lainnya.
7. Halaman 15-19: melakukan ritual dengan menggunakan
rempah-rempah, bulu ayam, daun sirih, ikan mas, pandan, padi, asam dan
garam. Semua ini adalah bahan untuk melakukan ritual buang sial.
8. Halaman 20-21: bermantra untuk mengembalikan niat jahat orang
kepada diri kita, dan orang itu akan meninggal nantinya.
9. Halaman 22-28: hasil dari mantra terlihat dalam waktu tiga hari
diperantarakan melalui kalajengking kecil yang akan mengantarkannya
ke tempat musuh.
10.Halaman 29-41: untuk mengembalikan mantra dipergunakan daun sirih,
agar musuh habis meninggal, lalu semua yang menjadi syarat harus
dipenuhi kata Guru Banggu Asinapati Siatipal.
11.Halaman 42-47: yang menang saat melawan musuh, kehidupannya
aman dan nyaman.
12.Halaman 48-51: orang yang meninggal di rumah kalau dikuburkan
harus menyediakan sesajen.
13.Halaman 52-55: bapak dan ibu panglima memanggil hantu lalu
menyuruh untuk membunuh orang.
14.Halaman 56-58: membuat ramuan-ramuan untuk membunuh orang
yang diinginkan.
15.Halaman 59-65: melihat nasib baik atau buruk dari arah penjuru mata
angin.
16.Halaman 66-68: mengingatkan agar jangan mencuri bila tak ingin mati
dibunuh orang kampung.
17.Halaman 69-73: mencari tahu hari atau waktu yang baik dan yang
buruk untuk berhutang kepada banyak orang.
18.Halaman 74-76: membayar hutang lalu berpestadengan memilih waktu
19.Halaman 77-78: menyelesaikan masalah dilakukan pada waktu sipaha
sembilan, siapapun yang berhutang akan membayar hutangnya dengan
cepat.
20.Halaman 79-81: kemenangan untuk melawan musuh, membayar
hutang, lalu perjuangan untuk kaya raya.
Pada masyarakat Batak, mengenal pembagian hari-hari, waktu dan
letak mata angin (Panggorda Desa Na Walu) dipercayai untuk menentukan
hari yang baik dan buruk diantaranya yaitu:
a. nama-nama hari
• Artia (hari pertama)
• Suma (hari kedua)
• Anggara (hari ketiga)
• Muda (hari keempat)
• Boraspati (hari kelima)
• Sikora (hari keenam)
• Samisara (hari ketujuh)
b. waktu (pormamis na lima)
• Sogot = mamis (pagi hari kira-kira jam 6-9)
• Pangului = hala (naik matahari kira-kira jam 9-12)
• Hos = sori (tengah hari kira-kira jam 12-14)
• Bot = wisnu (sore hari kira-kira jam 17=18)
c. letak mata angin
• Purba (timur)
• Anggoni (tenggara)
• Dangsina (selatan)
• Nariti (barat daya)
• Pastima (barat)
• Manabiya (barat laut)
• Otara (utara)
• Irisan (timur laut)
Dari keterangan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa
masyarakat di tanah Batak sebelum mengenal agama meyakini adanya
kekuatan di luar kemampuan manusia. Masyarakat yakin bahwa guru atau datu
dengan kekuatan mantranya beserta ramuan-ramuannya dapat meramal
keadaan masyarakat dimasa depan. Dan untuk melaksanakan suatu acara,
kegiatan (membuat obat, berperang, dan membunuh musuh), dukun meramal
hari dan waktu yang baik untuk melaksanakannya agar tujuan tersebut tercapai
dengan baik, kekuatan mantranya beserta ramuannya dapat meramalkan
kehidupan di masa yang datang, misalnya meramal hari yang baik dan buruk
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Atas dasar pembahasan bab-bab sebelumnya, pada akhir tulisan ini
disajikan kesimpulan sebagai hasil studi naskah Batak Toba.
Penelitian ini telah berhasil mentransliterasi dan mencoba untuk
menterjemahkan walaupun hasilnya belum cukup sempurna. Naskah yang
menjadi bahan penelitian ini diambil dari koleksi Museum Negeri Provinsi
Sumatera Utara dengan no. inventaris: 943/07124/2075, merupakan salah satu
naskah kuno yang memiliki ukuran sedang, dimana panjang : 9,5 cm, lebar :
6,5 cm, terdiri dari 82 halaman, jumlah baris setiap halaman berbeda-beda ada
yang 8, 9, dan 11 baris, ukurannya juga tidak sama pada setiap halaman serta
jarak antara baris tidak menentu.
Hal yang dilakukan dalam naskah yaitu melakukan transliterasi dan
juga terjemahan, sehingga hasil dari naskah tersebut dapat diketahui apa
isinya.
Dalam naskah ini memuat tentang upacara buang sial, upacara agar
orang tersebut sehat, mendapat kekayaan dan lain sebagainya. Dimana
kegiatan tersebut diundanglah para datu atau dukun dari daerah lain untuk
Seandainya dari ramalan seseorang dukun adanya suatu tanda-tanda bahaya
yang serius maka dibuatlah penangkal dengan porsili (buang sial).
Demikian juga dalam penentuan waktu yang baik apakah (subuh, saat
matahari terbit, matahari mulai turun, sore hari atau malam hari), dan juga
menentukan kapan berhutang saat ingin mencapai kejayaan.
Adapun kesimpulan-kesimpulan khusus yang dapat ditarik dari naskah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pustaka Laklak menguraikan suatu cara untuk mencapai kejayaan,
membunuh musuh dari jarak jauh, menentukan hari baik dalam
melakukan setiap pekerjaan, selain itu ada juga upacara buang sial
(porsili).
2. Kegiatan di dalam teks ini tidak hanya dilakukan dengan menggunakan
obat-obatan berupa ramuan-ramuan, tetapi juga mantera-mantera
dimana tata pelaksanaannya dilakukan oleh para datu atau dukun.
Fungsi naskah dalam masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. fungsi kebudayaan
2. fungsi pendidikan.
5.2 Saran
Sebelum penulis mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini maka
penulis ingin memberikan sedikit saran-saran dari penulis yang berupa
1. Untuk menjaga agar lestarinya na