• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putut Wisnu Kurniawan S 861102011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Putut Wisnu Kurniawan S 861102011"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PENDIDIKAN KARAKTER POLA TAMANSISWA DAN PONDOK

PESANTREN KRAPYAK YOGYAKARTA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mencapai Gelar Magister

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

Putut Wisnu Kurniawan

S 861102011

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)
(3)

commit to user

xvi

Putut Wisnu Kurniawan. 2012. S 861102011. Pendidikan Karakter Pola Tamansiswa

dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Husain

Haikal, MA, Pembimbing II: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Pola penerapan pendidikan karakter, (2) Persepsi pengajar dan siswa terhadap pendidikan karakter dan (3) Aktualisasi nilai karakter pada siswa. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan di Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus ganda terpancang. Cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan criterion-based selection. Pengumpulan data dilaksanakan dengan observasi langsung, wawancara mendalam, dan pencatatan dokumen. Validasi data dilakukan dengan trianggulasi. Analisis yang digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) Pola penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan MA Ali Maksum menggunakan pola yang hampir sama yaitu melalui kurikulum pembelajaran (terdapat pelajaran yang mengajarkan akhlak atau budi pekerti), kegiatan ekstrakurikuler, budaya sekolah, dan keteladanan guru. Pola lain yang diterapkan di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan adalah sistem among yaitu metode mendidik yang berjiwa kekeluargaan yang bersendi kepada kemerdekaan dan kodrat alam. Sistem ini diterapkan untuk memberikan siswa kemerdekaan untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya dengan pendekatan kekeluargaan. Pola yang lain untuk mengembangkan pendidikan karakter di MA Ali Maksum dengan model asrama (pondok pesantren). (2) Persepsi guru dan siswa mengenai pendidikan karakter akan mempengaruhi dalam penerapannya di sekolah. Persepsi guru dan siswa tentang pendidikan karakter yang muncul di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan lebih menekankan pada konsep budi pekerti yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara, sedangkan di MA Ali Maksum persepsi guru dan siswa lebih menekankan pada karakter Islam. Persepsi tersebut didasari dengan ideologi yang diterapkan di sekolah masing-masing. (3) Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dapat dilihat dari aktualisasi (pengamalan) siswa berupa sikap atau tindakan yang terlihat pada siswa. Aktualisasi yang muncul pada siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan adalah meliputi toleransi, religius, disiplin, kejujuran, kreatif, kerjasama, komunikatif, peduli, mandiri, cinta tanah air dan tanggung jawab. MA Ali Maksum dengan konsep pondok pesantren mempunyai nilai lebih beragam salah satunya kesabaran, kesederhanaan yang terlihat dalam kegiatan sehari-hari.

(4)

commit to user

Putut Wisnu Kurniawan. 2012. S861102011. Character Education Model

Tamansiswa and Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. THESIS. Principal advisor

I: Prof. Dr. Husain Haikal, MA, Co-advisor: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. History Education Post-Graduate Program of Sebelas Maret University Surakarta.

ABSTRACT

The study has goals to investigate (1) the model of character education implementation, (2) teachers’ and students’ perception toward character education, and (3) actualization of character value to the students. The study was done at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan and MA Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

The study is descriptive qualitative by double-case study strategy, direct observation, in-depth interviews and recording of documents or archives. Data validity is done by triangulation, is data triangulation, investigator triangulation, methodological triangulation and theoretical triangulation. The analysis used is an interactive analysis model, namely data collection, data reduction, data presentation, and drawing conclusions.

The result of the study can be concluded that (1) the model of character education implementation used between SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan and MA Ali Maksum is the same model which consits of the school curriculum (there are subjects which learn about manner or good moral), extracurricular activities, school culture, and teachers model of good character. The other model which is implemented at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan is “among” system; a teaching method which has family characteristics which is based on freedom and their own character. This system is implemented in order to give students a freedom to grow-up base on their skills by family approach. The other model to develop character education at MA Ali Maksum is boarding-school model. (2) The teachers’ and students’ perception toward the character education will influence the system implementation on that school. The teachers’ and students’ perception toward character education which is shown at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan tends to teach good moral which is taught by Ki Hadjar Dewantara, meanwhile at MA Ali Maksum, it tends to the Islamic character teaching. Those perceptions are based on ideology which is implemented on each school. (3) The result of the character education in the school can be reflected from the students’ actualization on their attitude or act form the students. The actualization or acts which are shown by the students at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan are a tolerance, a religion, a discipline, an honesty, a creactive, a cooperative, a care, an independence, a nationalist, and a responsibility. Meanwhile, MA Ali Maksum which applies the “pondok pesantren” concept has the higher value such as the a patient and a modesty that are shown from their daily activities.

(5)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini globalisasi merupakan kenyataan yang dapat mempengaruhi

semua segi kehidupan. Segi batas wilayah sudah tidak menjadi penghalang untuk

mengetahui perkembangan informasi di dunia, salah satunya informasi bidang

pendidikan. Pendidikan menjadi bagian yang penting untuk mengembangkan

peradaban bangsa. Sejumlah peradaban besar tidak lahir dari kegiatan ekonomi dan

politik semata, tetapi juga lahir dari pendidikan. Nilai-nilai pendidikan akan menjadi

dasar peradaban apabila negara mendorong penuh usaha memperbaiki sistem, sarana,

kebijakan yang tepat dan didukung sumber daya manusia yang profesional. Ini yang

menjadi tantangan dunia pendidikan di Indonesia.

Tantangan pendidikan tidak terlepas dengan adanya krisis yang mulai

merusak dunia pendidikan di Indonesia. Menurut Winarno (2007: 4), pendidikan dan

kebudayaan ibarat keping mata uang logam, antar sisi satu dengan sisi yang lain tidak

bisa saling dilepaskan. Pendidikan tanpa kebudayaan menjadi tidak bermakna,

sebaliknya kebudayaan tanpa pendidikan tidak akan berpijak ke bumi.

Berbeda dengan pendapat Winarno, Syarifuddin Jurdi (2010: 29) berpendapat

nilai-nilai pendidikan yang harus diperhatikan adalah untuk membentuk manusia

yang cerdas, berkualitas, kreatif, dan membentuk karakter bangsa yang harus menjadi

perhatian utama negara. Hal itu berbalik karena pendidikan yang dikembangkan

dewasa ini telah terbawa pada kegiatan bisnis yang pada akhirnya hanya pada

(6)

pencapaian tujuan kapitalisme semata. Biaya dan tuntutan sekolah di zaman sekarang

tidak terlepas dari biaya yang cukup mahal. Tujuan ini tidak sesuai dan sudah

melenceng dengan tujuan pendidikan yang diharapkan menurut Undang-Undang.

UUD 1945 mengamanatkan mengenai pentingnya pendidikan bagi seluruh

warga negara seperti tertuang di dalam Pasal 28 B Ayat (1) bahwa setiap orang

berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak

mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan

teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan mutu hidupnya demi kesejahteraan

umat manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan. Dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut,

Kemendikbud sebagai penanggungjawab pendidikan nasional mempunyai visi

menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif.

Dalam pasal 1 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun

2003 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi

peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan karakter. Dengan

demikian pendidikan tidak hanya membentuk insan cerdas, namun juga

berkepribadian atau berkarakter kuat dan berakhlak mulia yang bernafas nilai-nilai

luhur bangsa dan agama.

Dalam mewujudkan visi pendidikan tersebut Kemendikbud telah menetapkan

misinya yaitu mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia

(7)

commit to user

masyarakat global. Untuk mewujudkannya dibutuhkan mental atau psikologi dan

karakter yang baik.

Masalah bangsa Indonesia sebenarnya terletak pada sistem dan

manusia-manusia penyelenggara sistem tersebut. Untuk itu menurut Tyasno Sudarto, (2007:

29), dibutuhkan sosok pemimpin yang kuat dan berani bertindak berdasarkan

kebenaran. Perbaikan itu hanya mungkin dilakukan salah satunya melalui pendidikan.

Oleh karena itu peran pengajar atau guru menjadi sangat strategis dalam

mendampingi peserta didik supaya tumbuh dan berkembang menjadi insan yang

merdeka jiwa, pikiran, dan jasmaninya.

Pendapat itu sama dengan konsep Ki Hadjar Dewantara, melihat manusia

lebih pada sisi kehidupan psikologinya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa

yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut adanya

pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu

menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan

sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada

aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakat.

Jika melihat sejarah bangsa Indonesia, pendidikan karakter sesungguhnya

bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar

Dewantara, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, R.A Kartini, dan Moh. Hatta dulu pernah

menerapkan semangat pendidikan karakter salah satunya berupa keteladanan sebagai

pembentuk nilai-nilai suatu jati diri bangsa. Pada masa itu mereka mengajarkan budi

(8)

tujuan dan keadaan pada saat itu. Dengan suasana seperti itulah semangat cinta tanah

air dapat berkembang dalam masyarakat.

Melalui sekolah, semangat cinta tanah air, nilai budi pekerti atau pendidikan

karakter dalam setiap proses pembelajaran seharusnya dapat dikembangkan. Dalam

proses pembelajaran jika dijiwai dengan semangat pendidikan karakter, akan menjadi

suatu tempat dan lingkungan yang efektif untuk pembentukan pribadi sehingga

mereka atau siswa bisa berkembang baik dalam bermasyarakat. Menurut Doni

Koesoema (2007: 222), sejak dahulu sekolah memiliki dua tujuan utama dalam

pendidikan mereka, yaitu membentuk manusia yang cerdas dan baik.

Dengan dua keyakinan ini sekolah memiliki tanggungjawab yang besar dalam

pendidikan karakter bagi anak didiknya, terutama melalui disiplin, keteladanan, dan

organisasi sekolah (kebijakan dan kurikulum). Sekolah ataupun lembaga pendidikan

harus mempunyai keberanian untuk menanamkan pemahaman konseptual dan praktik

yang dipandu oleh nilai-nilai luhur yang akan membantu menciptakan masyarakat

yang lebih sehat dan manusiawi.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) setiap sekolah

diberikan keleluasaan untuk mengembangkan atau memasukkan pendidikan karakter.

Tentunya dengan adanya otonomi sekolah, usaha mengembangkan kurikulum dan

memasukkan pendidikan karakter akan lebih mudah serta membuat ciri dari

masing-masing sekolah. Dalam pendidikan karakter Kemendikbud mewajibkan memasukan

(9)

commit to user

sekolah dan peran para pengajar terutama dalam pengembangan dan penerapan

pendidikan karakter.

Penerapan pendidikan karakter harus diimbangi dengan pemahaman guru

tentang karakter yang baik dan dapat menjadi contoh bagi siswanya. Guru terkadang

belum mampu menjadi teladan bagi siswanya. Lingkungan yang baik dan kondusif

tentunya akan berdampak baik bagi warga sekolah. Sebaliknya, apabila lingkungan

tidak kondusif maka muncul berbagai karakter yang negatif. Misalnya terjadi tawuran

pelajar, kekerasan, dan muncul ketidakadilan serta ketidakjujuran dari siswa adalah

salah satu contoh belum berhasilnya tujuan pendidikan sesuai dengan Pasal 1

Sisdiknas tahun 2003 .

Pendidikan seharusnya bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa. Jika

ingin merunut sejarah pendidikan di Indonesia bisa dipastikan akan membantu

mengangkat wajah pendidikan di Indonesia. Beberapa tokoh yang merintis model

pendidikan yang berwajah Indonesia salah satunya Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan

ini juga menjadi media mengobarkan semangat perjuangan menuju kemerdekaan

Indonesia (Daoed Joesoef, 2007: 6). Setelah Indonesia merdeka pendidikan

mengemban misi menyiapkan generasi untuk mengisi kemerdekaan.

Pada tahun 2010 melalui Menteri Pendidikan Nasional menekankan

pentingnya pendidikan karakter. Output atau hasil dari pendidikan selama ini masih jauh dari harapan. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para

pejabat yang semestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu sebagian

(10)

masyarakat masih jauh dari identitas bangsa. Hal tersebut berdampak pada

masyarakat secara keseluruhan.

Hancurnya nilai-nilai moral dalam masyarakat yang ditandai dengan

merebaknya kekerasan, ketidakadilan, dan korupsi mengakibatkan lahirnya

pendidikan karakter yang perlu dikembangkan di sekolah ataupun lembaga

pendidikan. Lingkungan sekolah seharusnya bisa menjadi unsur terpenting bagi

pertumbuhan pendidikan karakter. Lembaga pendidikan dapat menciptakan sebuah

pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum, penegakan disiplin, manajemen

kelas, maupun melalui program-program pendidikan yang dirancangnya.

Berbagai macam cara pandang pendidikan budi pekerti, baik itu dianggap

sebagai mata pelajaran khusus, atau tergabung dalam mata pelajaran lain seperti

Pendidikan Agama, Sejarah, PPKn atau Pendidikan Kewarganegaraan menunjukan

bahwa bangsa ini sebenarnya memiliki keprihatinan mendalam tentang pembentukan

karakter bangsa. Situasi ini sesungguhnya menantang untuk kembali dapat

meletakkan dan memahami pendidikan karakter bagi pembentukan kepribadian

bangsa (Doni Koesoema, 2007: 50-51).

Pendidikan karakter dianggap penting dan sudah dimasukkan dalam proses

pembelajaran. Peran lembaga pendidikan dan guru sangat penting demi terciptanya

tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini peneliti ingin mengkaji Tamansiswa dan

Pondok Pesantren Krapyak di Yogyakarta karena melihat adanya perbedaan antar

(11)

commit to user

Persepsi pengajar yang mempunyai latar belakang berbeda akan

mempengaruhi pola pendidikan karakter di sekolah. Persepsi inilah yang akan

dikembangkan peneliti dan pola penerapannya. Tamansiswa yang terlihat kuat

pengaruh dari ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai budi pekerti dan nilai-nilai

moral akan berbeda dengan konsep Pondok Pesantren Krapyak di Yogyakarta.

Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta mempunyai cara tersendiri untuk

mengembangkan pendidikan karakter dalam model pembelajarannya. Dengan konsep

pendidikan Islam dan model pondok pesantren akan mempengaruhi pembentukan

karakter di Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Topik ini yang akan menjadi kajian penulis untuk diteliti lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Pentingnya pendidikan karakter yang diterapkan di Tamansiswa dan Pondok

Pesantren Krapyak Yogyakarta dapat dilihat dari latar belakang tersebut. Untuk

memperjelas mengenai pola penerapan pendidikan karakter di Tamansiswa dan

Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dapat diambil rumusan masalah sebagai

berikut.

1. Bagaimana pola penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu

Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak

(12)

2. Bagaimana persepsi pengajar dan siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan

dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta

terhadap pendidikan karakter?

3. Bagaimana aktualisasi atau pengamalan nilai karakter pada siswa di SMA

Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok

Pesantren Krapyak Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, peneliti memiliki tujuan penelitian

yang akan dicapai. Tujuan itu antara lain sebagai berikut.

1. Mengetahui pola penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu

Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta.

2. Mengetahui persepsi pengajar dan siswa di SMA Taman Madya Ibu

Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta terhadap pendidikan karakter.

3. Mengetahui aktualisasi atau pengamalan nilai karakter pada siswa di SMA

Taman Madya Ibu dan di Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren

(13)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Manfaatnya

adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan,

khususnya mengenai penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu

Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru

Sebagai motivasi bagi guru atau pengajar untuk lebih meningkatkan kualitas

pembelajaran khususnya dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah atau

pondok pesantren.

b. Bagi Siswa

Sebagai saranan bagi siswa atau santri supaya memperoleh pengetahuan atau

output atau hasil dalam pedidikan karakter yang diterapkan oleh masing-masing

sekolah.

c. Bagi Sekolah

Sebagai upaya peningkatan kualitas sekolah melalui kegiatan pembelajaran

(14)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Pendidikan Karakter

a) Pengertian Karakter

Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai

oleh sekumpulan kenyataan yang telah ada begitu saja dari asalnya. Sedangkan,

orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan

kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang

berkarakter adalah seperti orang yang membangun dan merancang masa depannya

sendiri. Dia tidak mau dikuasai oleh keadaan kodratinya yang menghambat

pertumbuhannya. Sebaliknya, dia menguasai, mengembangkannya demi

kesempurnaan kemanusiaannya, (Doni Koesoema, 2007: 91).

Menurut Mounir yang dikutip Doni Koesoema (2007: 90-91) bahwa

karakter dapat dilihat dari dua hal yaitu pertama sebagai sekumpulan kondisi yang

telah diberikan begitu saja atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang

dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian dianggap sebagai sesuatu

yang telah ada dari sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui seorang pribadi mampu menguasai keadaan tersebut.

Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki

(15)

commit to user

Proses yang terlihat akan memberikan hasil dan menjadi kebiasaan.

Menurut Dwi Budiyanto (2011: 83), karakter merupakan sifat yang tertanam

dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan jika diperlukan, tanpa

memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan

dorongan dari luar. Karakter juga bersifat spontan dan alami, serta perilaku

tersebut belum cukup apabila tidak sesuai dengan norma moral yang berlaku.

Secara umum menurut Marzuki (2011: 95), karakter merupakan nilai-nilai

perilaku manusia yang universal atau umum yang meliputi seluruh aktifitas

manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya,

dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam

pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma

agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter inilah

muncul konsep pendidikan karakter (character education).

Secara khusus karakter mempuyai pengertian watak, sifat atau hal-hal yang

memang sangat mendasar yang ada pada diri seseorang. Hal-hal yang sangat

abstrak yang ada pada diri seseorang. Karakter dapat ditemukan dalam sikap-sikap

seseorang, terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap tugas-tugas yang

dipercayakan padanya dan dalam situasi-situasi lainnya, (Abdul Majid dan Dian

Andayani 2011: 12).

Allport dikutip dalam Ki Fudyartanta (1998: 4) berpendapat bahwa

(16)

adalah karakter yang tidak dinilai. Jelasnya bahwa kepribadian yang telah terlibat

dengan nilai-nilai budaya manusia ini maka terbentuklah watak. Konkritnya,

bahwa setiap tingkah laku manusia termasuk penyesuaiannya di dalam masyarakat

pasti berhadapan atau berdasarkan nilai-nilai tertentu. Misalnya seseorang

memberi uang kepada pengemis, seseorang menolong temannya dan sebagainya.

Socrates berpendapat tentang karakter yaitu“…identified virtue with ethical knowledge (specifically, with knowledge of which things are intrinsically good and intrinsically evil), and so maintained that the truly virtuous consistently act virtuously….”, Erik J. (2006: 462). Socrates menjelaskan bahwa kebajikan atau kebaikan itu berhubungan dengan pengetahuan etika yang dimiliki (khususnya

dengan pengetahuan yang hal-hal yang baik dan jahat), dan mempertahankan

bahwa benar-benar bertindak berbudi pekerti secara konsisten. Artinya perlu ada

pemahaman dari manusia dalam melakukan kebaikan, sehingga mengerti baik dan

buruk serta manusia harus bisa mempertahankan secara tetap.

Pengertian di atas lebih lanjut dijelaskan Thomas Lickona mengenai

unsur-unsur untuk membentuk karakter yang baik. Menurut Thomas Lickona (1991: 51)

sebagai berikut:

(17)

commit to user

Dari penjelasan Thomas Lickona karakter memiliki tiga bagian yang saling

berhubungan yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral.

Karakter yang baik terdiri dari mengetahui moral yang baik terlebih dahulu,

menginginkan orang berbuat baik dan melakukan kebiasaan baik dari pikiran dan

kebiasaan tindakan. Ketiganya diperlukan untuk memimpin sebuah kehidupan

moral serta membentuk kematangan moral ketika berpikir tentang jenis karakter,

pengajar ingin anak-anak jelas bahwa ada keinginan mereka bisa menilai apa yang

benar, kemudian mendalami tentang apa yang benar dan kemudian melakukan apa

yang mereka yakini benar bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan

dari dalam.

Menurut Thomas Lickona, (2004: 7) tentang karakter yang baik adalah

sebagai berikut.

The content of good character is virtue. Virtues such as honesty, justice, courage, and compassion are dispositions to behave in amorally good way. They are affirmed by societies and religions around the world. Because they are intrinsically good, they have a claim on our conscience. Virtues transcend time and culture (although their cultural expression may vary);

justice and kindness, for example, will always and everywhere be virtues, regardless of how many people exhibit them.

Thomas Lickona menekankan isi dari karakter yang baik adalah kebajikan.

Kebajikan dapat dicontohkan dengan sikap kejujuran, keadilan, keberanian dan

belas kasih adalah perilaku atau sikap yang baik. Dijelaskan juga secara

terkandung bahwa dalam masyarakat dan nilai-nilai agama dapat mempengaruhi

karakter, selanjutnya juga dikatakan kebajikan juga dapat muncul melalui budaya.

(18)

menciptakan nilai-nilai yang baik. Menurut Thomas Lickona (1991: 53) komponen

untuk membentuk karakter yang baik adalah sebagai berikut.

Bagan Komponen Karakter Baik Thomas Lickona (1991:53)

Thomas Lickona (1991:56-62), menekankan untuk mendapatkan

pengetahuan yang baik tentang moral perlu adanya kesadaran moral, pengetahuan

nilai-nilai moral, pengambilan sudut pandang, penalaran moral, pengambilan

keputusan dan pengetahuan diri adalah nilai yang dapat membentuk moral. Semua

memberikan sumbangan penting ke sisi penanaman karakter. Hati nurani, harga diri,

empati, mencintai, pengawasan diri yang baik, kerendahan hati ini membentuk sisi

emosional dari diri moral kita. Jadi pengetahuan tentang kebaikan kemudian akan

(19)

commit to user

menimbulkan komitmen atau niat terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar

melakukan tindakan kebaikan.

Dalam penjelasan bagan di atas pendidikan karakter menuju terbentuknya

moral yang baik dalam diri setiap siswa ada tiga tahapan strategi yang harus dilalui

diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Moral knowingatau learning to know

Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter. Dalam

tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai.

Siswa harus mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta

nilai-nilai universal, siswa secara logis dan rasional mengerti pentingnya akhak

mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan.

2. Moral lovingatau moral feeling

Belajar mencintai dengan melayani orang lain. Belajar mencintai dengan cinta

tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa

butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran

guru adalah dimensi emosional siswa, hati atau jiwa. Guru menyentuh emosi siswa

sehingga tumbuh kesadaran, keinginan dan kebutuhan.

3. Moral doingatau learning to do

Inilah puncak keberhasilan mata pelajaran akhlak, siswa mempraktikkan

nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya sehari-hari. Siswa menjadi semakin sopan,

ramah, hormat, jujur, penyayang, displin, adil. Contoh atau teladan adalah guru

(20)

Konsep pendidikan karakter juga disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara,

yaitu karakter adalah budi. Manusia menurut Ki Hadjar Dewantara, (1967: 70),

adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi tidak lain artinya jiwa yang telah

melalui batas kecerdasan yang tertentu, sehingga menunjukkan perbedaan yang

tegas dengan jiwa makhluk lain (hewan). Jiwa manusia merupakan pembeda

kekuatan-kekuatan, yang dikenal dengan sebutan konsep tri sakti. Ketiga kekuatan

itu adalah fikiran, rasa dan kemauan atau cipta, rasa dan karsa.

Tri sakti ini yang disebut Ki Hadjar Dewantara sebagai budi. Setiap manusia

mempunyai sifat budinya masing-masing. Sifat yang tetap dan pasti serta karenanya

disebut watak dan dalam bahasa dipakai perkataan budi pekerti dan itu lebih tegas

karena pekerti berarti tenaga. Budi pekerti berarti mempunyai sifat dari budinya

(batin) sampai pekertinya (lahir).

Karakter dapat dilihat dari tingkah laku ketika orang berinteraksi, yang

memiliki arti psikologis dan etis. Dalam arti psikologis, karakter adalah sifat-sifat

yang demikian nampak dan seolah-olah mewakili pribadinya, sedangkan dalam arti

etis, karakter harus mengenai nilai-nilai yang baik dan menunjukkan sifat-sifat yang

selalu dapat dipercaya, sehingga orang berkarakter itu menunjukkan sifat

mempunyai pendirian teguh, baik, terpuji dan dapat dipercaya. Berkarakter berarti

memiliki prinsip dalam arti moral di mana perbuatannya atau tingkah lakunya dapat

dipertanggungjawabkan dan teguh.

(21)

commit to user

kebaikan (knowing good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Karakter itu harus diketahui, dicintai dan dilakukan. Unsur-unsur tersebut kemudian dijabarkan sesuai dengan kemampuan

masing-masing lembaga.

Menurut Abdul Mujib (2006: 45), karakter adalah watak, perangai, sifat yang

khas atau sifat yang tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan cirri untuk

mengidentifikasikan seseorang. Elemen karakter terdiri atas dorongan-dorongan,

insting, refleks, kebiasaan, kecenderungan, perasaan, emosi, dan minat.

Dengan demikian karakter merupakan ciri khas dari setiap pribadi yang

berkaitan dengan jati diri, hati (batiniyah atau rohaniah), cara berfikir serta cara

berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) dalam hidup seseorang yang harus

memberikan respon atau jawaban terhadap lingkungan baik keluarga, masyarakat

ataupun negara.

b) Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dimaknai sebagai keseluruhan dinamika rasional antar

pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar

dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga ia

dapat semakin bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi

(22)

Jika dilihat dari kacamata sosiologi dan politis, pendidikan karakter

merupakan kepentingan negara, karena negara berkepentingan agar individu dapat

memiliki persiapan yang matang ketika harus masuk dalam kehidupan politik

masyarakat normal dan wajar tanpa kesulitan. Tanpa persiapan diri untuk menjadi

warga negara yang baik (good citizen), dia akan mengalami kesulitan, tidak mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga memiliki potensi

menjadi pengganggu dinamika dan kemapanan masyarakat.

Tokoh filsuf Jerman, Johann Herbart mengatakan bahwa tujuan akhir

pendidikan adalah perkembangan moral dan manusia pada dasarnya merupakan

makhluk yang baik, tetapi kalau moral dan pengetahuannya tidak dikembangkan,

mereka akan cenderung membuat kesalahan, (Ari Benawa, 2010: 40-42). Tokoh

pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara juga mengungkapkan pendapatnya

tentang pendidikan karakter yaitu “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya di depan memberi contoh atau teladan, di tengah ikut berkarya, dan di belakang ikut mendukung.

Pendidikan karakter merupakan sebuah keadaan dinamis stuktur

antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinisme

kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral

mangatasi determinisme alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya

terus-menerus. Karakter sekaligus berupa hasil dan proses dalam diri manusia

(23)

commit to user

Dalam penerapannya pendidikan karakter lebih mengutamakan

pertumbuhan moral. Menurut Doni Koesoema, (2007: 136) pemikiran pendidikan

karakter merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Penanaman nilai

dalam diri siswa dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai

kebebasan perseorangan merupakan dua wajah pendidikan karakter dalam

lembaga pendidikan.

Pendidikan dan pengajaran sangat lekat dengan karakter. Menurut Ki

Fudyartanta, (2010: 283) pendidikan adalah suatu upaya untuk membantu

pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk meningkatkan kualitas

perilakunya ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Jadi secara tersirat pendidikan

itu telah bermuatan untuk menanamkan kesadaran terhadap semua nilai-nilai

kebaikan dan keburukan, sehingga diharapkan para lulusannya meningkat perilaku

baiknya dari waktu ke waktu dan perilaku yang buruk berkurang.

Menurut Samsuri (2011: 8) pendidikan karakter hendaknya mencakup

aspek pembentukan kepribadian yang membuat dimensi nilai-nilai kebajikan

universal dan kesadaran kultural dimana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan

berkembang. Pendidikan karakter mampu membuat kesadaran individu untuk

berperilaku dalam kehidupan sosial atau masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat Mastuhu (2003: 136) berpendapat bahwa

pendidikan bisa mengembangkan human dignity yaitu harkat dan martabat

(24)

mampu menjadi teladan baik merupakan ciri dari konsep yang diusung dari

pendidikan karakter.

Yudi Latief yang dikutip Sabar Budi Raharjo (2010: 232) berpendapat

pendidikan karakter adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek

pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan sosial. Lebih lanjut

dikemukakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang

menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan

peserta didik.

Dalam pengertian makna pendidikan karakter di sekolah, semua komponen

(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan,

penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan

aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,

dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia,

apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan

pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan penerapan

pembelajaran serta penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya

dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang

harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam

(25)

commit to user

ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum

pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut, Maksudin (2012: 4) menambahkan pendidikan karakter

adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang

meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,

sesama, lingkungan maupun kebangsaan. Pendidikan karakter merupakan suatu

penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri peserta didik yang tidak harus

merupakan satu program atau pelajaran secara khusus.

Pendidikan karakter di sekolah bisa efektif dan berjalan dengan baik

apabila ada komponen yang menjadi bagian dalam sekolah. Menurut Risworth

Kidder yang dikutip Abdul Majid (2011: 37-38), ada tujuh kualitas yang

diperlukan dalam pendidikan karakter, yaitu empowered, effective, extended into community,embedded,engaged, epistemologicaldanevaluative.

1. Empowered (pemberdayaan). Guru harus mampu memberdayakan dirinya

untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan dimulai dari dirinya sendiri.

2. Effective, proses pendidikan harus dilaksanakan dengan efektif.

3. Extended into community, komunitas harus membantu dan mendukung

sekolah dalam menanamkan nilai-nilai.

(26)

5. Engaged, melibatkan komunitas dan menampilkan topik-topik yang cukup esensial.

6. Epistemological, harus ada koherensi antara cara berfikir makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu siswa menerapkannya secara benar.

7. Evaluative, menurut Kidder terdapat lima hal yang harus diwujudkan dalam menilai manusia berkarakter, yaitu: (a) diawali dengan kesadaran etik; (b)

adanya kepercayaan diri untuk berpikir dan membuat keputusan tentang etik;

(c) mempunyai kapasitas untuk menampilkan kepercayaan diri secara praktis

dalam kehidupan; (d) mempunyai kapasitas dalam menggunakan

pengalaman praktis tersebut dalam sebuah komunitas; (e) mempunyai

kapasitas untuk menjadi agen perubahan dalam merealisasikan ide-ide etik

dan menciptakan suasana yang berbeda.

Berdasarkan hal tersebut Dasim Budimansyah dalam Abdul Majid (2011:

109-110) berpendapat bahwa program pendidikan karakter perlu dikembangkan

dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.

1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai

karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal

peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya,

proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan

berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas terakhir SMP.

(27)

commit to user

2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya satuan

pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter

bangsa dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran,

kurikuler dan ekstra kurikuler. Pembinaan karakter melalui kegiatan

kurikuler mata pelajaran pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan dan

Pendidikan Agama harus sampai melahirkan dampak instruksional

(instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect), sedangkan bagi mata pelajaran lain cukup melahirkan dampak pengiring.

3. Nilai tidak diajarkan, tetapi dikembangkan (value is neither cought nour taught, it is learned) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat

ditangkap sendiri dan diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui

proses belajar. Artinya adalah nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok

bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu

konsep, teori dan prosedur ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran

tertentu.

4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.

Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh

peserta didik bukan guru. Guru menerapkan prinsip tut wuri handayani

dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga

menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar

(28)

Prinsip tersebut hampir sama dengan pendapat Thomas Lickona. Menurut

Lickona yang dikutip Maksudin (2012: 4), terdapat 11 prinsip agar pendidikan

karakter berjalan efektif yaitu (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai

kinerja pendukungnya sebagai pondasi karakter yang baik, (2) definisikan karakter

secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku, (3) gunakan

pendekatan yang komprehensif, disengaja dan proaktif dalam pengembangan

karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa

kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang

bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik,

mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan

mendorong motivasi diri siswa.

Selanjutnnya (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan

moral yang berbagi tanggungjawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk

mematuhi nilai-nilai untuk membimbing peserta didik, (9) tumbuhkan

kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi

inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat

sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah,

fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter dan sejauh mana siswa mengamalkan

karakter yang baik.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai seperti

(29)

commit to user

etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagi basis gerakan karakter yang baik.

Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik

berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang

dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu

dan menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antar manusia dengan

mengaplikasikan di sekolah dan masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut pendidikan karakter adalah

penanaman dan pengembangan nilai-nilai baik dalam diri peserta didik secara

umum dan harus ada program pendukung baik dalam proses pembelajaran atau di

luar proses tersebut.

2. Pendidikan Sekolah Tamansiswa

a) Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan ialah usaha

kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa

raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya,

mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki

Suratman, 1987: 12). Sedang yang dimaksud adab kemanusiaan adalah

tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang selama

hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter

(30)

Pendidikan dan pengajaran sebenarnya suatu upaya untuk membantu

pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk meningkatkan kualitas

perilakunya kearah yang lebih baik dan lebih maju. Jadi secara implisit pendidikan

itu telah bermuatan untuk menanamkan kesadaran terhadap semua nilai-nilai

kebaikan dan keburukan, sehingga diharapkan para lulusannya meningkat perilaku

baiknya.

Corak pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat

nasional. Artinya secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama

dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia yang terdiri dari

banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan corak dalam

mengembangkan karakter anak bangsanya.

Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah

Pendidikan Nasional. Hal ini bisa diartikan bahwa perjuangan kemerdekaan

bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya

orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan

selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan

Nasional, dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi

bekal kuat untuk membangun karakter bangsa.

Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya sebagai

“peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu

(31)

commit to user

b. Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming) c. Pengajaran (wulang-wuruk)

d. Laku (zelfbeheersching)

e. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa) (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 28).

Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang pendidik mengemukakan betapa

pentingnya tiga pusat pendidikan ialah alam atau lingkungan keluarga, alam

perguruan dan alam pemuda (Darsiti Soeratman, 1989: 6). Setiap pusat

mempunyai tugas sendiri-sendiri tapi mempunyai tujuan yang sama. Sistem

pendidikan dengan menggunakan pendekatan tiga pusat tersebut dinamakan

Tripusat. Menurut Darsiti Soeratman, (1989: 7) tugas dari Tripusat atau tiga pusat

pendidikan itu adalah sebagai berikut.

1. Alam keluarga, pusat pendidikan yang pertama dan yang terpenting. Tugasnya

mendidik budi pekerti dan laku sosial,

2. Alam perguruan, pusat pendidikan yang berkewajiban mengusahakan

kecerdasan pikiran dan memberikan ilmu pengetahuan,

3. Alam pemuda, membantu pendidikan baik menuju kepada kecerdasan jiwa

maupun budi pekerti.

Daoed Joesoef (2007: 6) mengatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara

(32)

pendidikan Indonesia yang ideal adalah yang menghamba pada pertumbuhan dan

perkembangan anak didik sebagai warga negara Indonesia, oleh karena itu

pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan pemikiran mendalam soal kebudayaan

bangsanya.

Kebudayaan adalah roh pendidikan dan menjadi ruang tempat proses demi

proses pendidikan itu terjadi. Kebudayaan akan mengantar bangsa Indonesia pada

dua arus utama, yakni pembangunan dan tuntutan peningkatan martabat manusia.

Dalam konteks ini pendekatan pembangunan pendidikan hanya akan berhasil jika

selalu ditempatkan dalam kerangka sitemik dan bukan ensiklopedik. Pada zaman

sekarang ini sangat sulit mengajarkan setiap hal berdasarkan pendekatan

fragmentaris belaka. Sebaliknya pendidikan seharusnya lebih diarahkan pada

metodologi umum yang dapat membantu anak didik dalam mengorganisasi

pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti kegiatan.

b) Sekolah Tamansiswa

Tamansiswa merupakan suatu badan perjuangan yang berjiwa nasional yaitu

dengan ditandai suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri

sebagai dasar perjuangannya. Tamansiswa tidak hanya menghendaki pembentukan

intelek saja, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan

latihan susila, (Darsiti Soeratman, 1989: 96).

(33)

commit to user

adalah supaya ciptanya merdeka (pikiran), rasanya merdeka (batin) dan karsanya

merdeka (karsa mendorong perbuatan-tenaga). Manusia merdeka merupakan tujuan

Tamansiswa dan sekaligus menjadi salah satu ciri pendidikan Tamansiswa yaitu

pendidikan merdeka.

Ki Soeratman juga menyebutkan bahwa nasionalisme yang ada di dalam

Tamansiswa adalah nasionalisme kultural yang selaras dengan kebutuhan

masyarakat, maka cara memberikan pendidikan kebangsaan itu dilakukan melalui

etik, sejarah kebudayaan, pelajaran bahasa, kesenian termasuk antara lain

permainan, nyanyian, tarian dan musik serta kepemudaan.

Dalam pengertian lain Tamansiswa sering disebut sebuah peguruan.

Perguruan merupakan tempat tinggal guru dan juga tempat guru mendidik

murid-muridnya (Pranata, 1959: 57). Istilah perguruan ini sengaja diambil untuk

membedakannya dari kata sekolah yang pada masa itu merupakan tempat yang

dalam perguruan muncul rasa kekeluargaan. Hubungan batin antara murid dengan

guru dan murid dengan murid akan lebih erat.

Tugas Tamansiswa adalah membina manusia-manusia merdeka, serta asas

kebangsaannya, yang di Eropa dalam abad ke-19 dicerminkan oleh aliran

liberalisme, mendapat ruang yang istimewa dalam semangat nasionalisme yang

sedang berkobar-kobar dalam masyarakat Indonesia (Pranata, 1959: 58). Semangat

nasionalisme inilah yang menjadi daya tarik orang-orang untuk masuk ke

(34)

Suharman (2005: 95) berpendapat bahwa setiap perguruan Tamansiswa dan

setiap pamong mempunyai kebebasan untuk mencari dan mencoba menemukan dan

menentukan sendiri teknik mendidik yang sesuai dengan garis kodrat pribadi

masing-masing dengan keadaan setempat yang berbeda-beda, dengan ketentuan

tidak mengingkari atau menyalahi asas dan tujuan Tamansiswa.

3. Pendidikan Pondok Pesantren

a) Konsep Pendidikan Islam

Islamisasi pengetahuan menurut Mujamil Qomar (2005: 223) adalah

merupakan respon terhadap keadaan pengetahuan yang tersekulerkan,

terdikotomikan, dan terbaratkan, sehingga mengarah pada deislamisasi. Dengan kata

lain islamisasi pengetahuan adalah bermaksud mengembalikan pengetahuan ke

dalam pengaruh nilai-nilai Islam, sebagaimana yang terjadi pada zaman kejayaan

Islam.

Sistem pendidikan Islam ditawarkan sebagai alternatif bagi umat Islam ini

merupakan koreksi selama ini terhadap sistem pendidikan yang berkembang dan

yang pernah ada. Tidak menutup kemungkinan sistem pendidikan barat dapat

diadaptasi tetapi tetap mengikuti petunjuk-petunjuk Islam. Dengan demikian

identitas, karakter dan kemandirian sistem pendidikan Islam merupakan pola-pola

dasar dari Islam yang dikembangkan untuk merangkai sistem pendidikan Islam itu

(35)

commit to user

Sisi lain dari konsep pendidikan Islam menurut Murray adalah sebagai berikut.

One useful way to perceive educational trends in Indonesia, as well as in other Islamic societies, is from the vantage point of four goals on which an instructional system can focus. These are the goals (1)of producing good people (social/moral education); (2) of producing skilled communicators

(basic education in reading, writing, speaking, listening, calculating); (3)

of developing well-informed people who understand the physical and social universe (liberal or general education); and (4) of producing efficient worker (vocational education),(Thomas Murray, 1988: 897).

Menurut Murray, salah satu cara yang berguna untuk melihat gaya pendidikan

di Indonesia, serta dalam masyarakat Islam lainnya adalah dari sudut pandang

empat gol atau empat tujuan di mana sebuah sistem instruksional dapat fokus.

Tujuannya antara lain, (1) menghasilkan yang baik orang (pendidikan sosial atau

moral), (2) menghasilkan komunikator yang terampil (pendidikan dasar dalam

membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, menghitung), (3) dari berkembang

baik informasi orang-orang yang memahami fisik dan sosial semesta (liberal atau

pendidikan umum), dan (4) pekerja yang efisien menghasilkan (pendidikan

kejuruan).

Dalam penjelasan Murray ingin menjelaskan model pendidikan di Indonesia

yang di dalamnya mempunyai tujuan menjadi manusia yang bermoral, mempunyai

pemahaman kognitif yang baik, tidak tertinggal dan mempunyai ketrampilan. Model

pendidikan yang diharapkan bukan hanya sekedar penguatan pemahaman kognitif

saja, melainkan juga mengembangkan moral dan ketrampilan.

Al Ghazali dengan hadist Rasulullah mengatakan, bahwa semua orang akan

(36)

yang mengamalkan pengetahuannya, yang mengamalkan akan rusak kecuali yang

menggunakan ketulusan. Maka Zamakhsyari Dhofier (1984: 21) mengatakan tujuan

pendidikan Islam adalah memberikan moral, menghaluskan budi pekerti,

meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Muhaimin (2002: 38) dalam konteks historik-sosiologik, pendidikan Islam

pernah dimaknai sebagai pendidikan atau pengajaran keagamaan atau keislaman

dalam rangka tarbiah al-muslimin(mendidik orang-orang Islam) untuk melengkapi dan membedakan dengan pendidikan sekuler (non keagamaan atau non keislaman).

Misalnya adanya sistem pendidikan madrasah diniyah (sekolah agama sore hari)

yang didirikan sebagai wahana penggalian, kajian dan penguasaan ilmu-ilmu

keagamaan serta pengalaman ajaran agama Islam bagi para peserta didik muslim

yang pada pagi harinya menempuh pendidikan yang didirikan oleh pemerintah

kolonial Sistem pendidikan Islam semacam itu sampai sekarang ini masih tumbuh

dan berkembang.

Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan dan seluruh proses

hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam

pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan

tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup orang Islam, (Muhaimin, 2002:

39).

Selanjutnya menurut Jalaludin, (2001: 76) pendidikan Islam sebagai usaha

(37)

commit to user

disimpulkan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan Islam bukan

hanya berhenti pada munculnya perilaku untuk berbuat baik saja, tetapi pendidikan

Islam haruslah didasarkan pada kesadaran ketuhanan yang kuat.

Pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan

pendidikan karakter di dunia Barat. Menurut Abdul Majid perbedaan- perbedaan

tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama, aturan dan hukum

dalam memperkuat moralitas dan penekanan pada pahala di akhirat sebagai

motivasi berperilaku moral. Inti dari perbedaan-perbedaan tersebut adalah

keberadaan wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu dalam pendidikan

karakter Islam, (2011: 58).

b) Pengertian Pondok Pesantren

Pesantren merupakan bagian dari infrastruktur masyarakat yang secara makro

telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat yang mempunyai idealisme,

kemampuan intelektual, dan perilaku mulia (al-akhlaq al-karimah) guna menata dan membangun karakter bangsa yang paripurna.

Definisi singkat istilah pondok adalah tempat sederhana yang merupakan

tempat tinggal kiai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa,

besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat

kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah

yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa

(38)

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri

dan rumah kiai, termasuk perumahan kiai, gedung madrasah, lapangan olahraga,

kantin, koperasi, lahan pertanian dan atau lahan pertenakan. Kadang-kadang

bangunan pondok didirikan sendiri oleh kiai dan kadang-kadang oleh penduduk

desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Kata pondok pesantren sendiri merupakan gabungan antara kata pondok dan

pesantren. Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan agama Islam

tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) dimana

santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah

yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen

dalam segala hal.

Marwan dalam Achmad Patoni (2007: 91) juga berpendapat bahwa pondok

pesantren berarti suatu lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada

umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara bandongan

dan sorogan dimana kiai mengajar santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang santri

tinggal di pondok atau asrama.

Metode soroganmerupakan suatu metode pengajaran yang bersifat individual, dimana santri belajar secara langsung dan berhadapan dengan kiai. dalam metode

(39)

commit to user

kalau dirasa perlu Dia membenarkan apa yang dibaca santri bila terjadi kesalahan.

Berbeda dengan sistem sorogan, sistem bandongan merupakan metode pengajaran dimana kiai menghadapi santri secara klasikal yang masing-masing santri

memegang kitab yang sama. Kiai membacakan, menerjemahkan dan menerangkan

teks-teks Arab gundul (tanpa harakat), sedangkan santri menyimak.

Pendapat lain sebuah lembaga yang bernama pondok pesantren adalah suatu

komunitas tersendiri, di dalamnya hidup bersama-sama sejumlah orang yang dengan

komitmen hati dan keikhlasan atau kerelaan mengikat diri dengan kiai, tuan guru,

buya, ajengan atau nama lainnya untuk hidup bersama dengan standar moral

tertentu, membentuk budaya tersendiri. Sebuah komunitas disebut pondok pesantren

minimal ada kiai, masjid, asrama (pondok), pengajian kitab kuning atau naskah

salaf tentang ilmu-ilmu keislaman, (Achmad Patoni, 2007: 92).

Berdasarkan perspektif keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi pondok

pesantren dibagi menjadi salafi dan khalafi. Salafi tetap mengajarkan kitab-kitab

Islam klasik sebagai inti pengajarannya. Pondok pesantren khalafi telah

memasukkan pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya atau

membuka tipe-tipe sekolah umum dilingkungan pondok pesantren.

Dari sisi pendidikan yang dikembangkan ada tiga tipe pondok pesantren.

Pertama, memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai, kurikulum

tergantung kiai dan pengajuan secara individual. Kedua, memiliki madrasah,

kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan pelajaran secara

(40)

mempelajari pengetahuan umum dan agama. Ketiga, hanya berupa asrama, santri

belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi, sementara kiai sebagai

pengawas dan pembina mental.

Menurut Mohammad Iskandar (2001: 91) pesantren pada dasarnya merupakan

asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan

belajar di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang dikenal dengan sebutan

kiai atau ajegan. Unsur-unsur pesantren adalah masjid, pondok atau kobong, santri, pelajaran kitab-kitab Islam klasik yang sekarang dikenal dengan sebutan kitab-kitab

kuning dan kiai. Biasanya letak asrama atau pondokan para santri tidak berjauhan

dengan masjid dan rumah kiai.

Menurut Sumarsono Mustoko (1986: 65) para santri yaitu murid-murid yang

belajar, diasramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan pondok. Pondok

tersebut dapat dibangun atas biaya guru yang bersangkutan ataupun atas biaya

bersama dari masyarakat desa pemeluk agama Islam. Pesantren tersebut disamping

berfungsi sebagai pondok juga dapat digunakan bersama untuk diusahakan antara

para guru dan santri.

Zamakhsari Dhofier (1985: 51-52) membagi santri menjadi dua tipe. Pertama,

santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap

dalam kelompok. Santri mukim yang paling lama tinggal disebuah pesantren

biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab

(41)

commit to user

Kedua adalah santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk

mengikuti pelajaran di pesantren mereka pulang-pergi dari rumahnya sendiri.

Biasanya pada pesantren kecil santri kalong lebih banyak, sedangkan dalam pesantren besar santri mukim lebih banyak jumlahnya.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama

para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan

ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat

sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian

sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok, (Dhofier, 1985:45).

Orang tua membawa anaknya ke pondok pesantren untuk dua tujuan, yaitu

untuk belajar dan tinggal di pesantren lebih murah serta juga dimata orang tua bisa

memberi latihan disiplin (Pradjarta Dirdjosanjoto. 1999: 150). Kemandirian,

kesetiakawanan, disiplin merupakan harapan hasil dari pendidikan di pondok

pesantren. Harapan lain adalah supaya anak mereka bisa lebih mendalami dan

menghayati nilai-nilai islam. Pendidikan yang murah dan harapan mulia menjadi

daya tarik orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren.

Pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan

penyiaran agama. Abuddin Nata (2001: 112) berpendapat sebagai lembaga

pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah

(42)

mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran ulama fikih,

hadis, tafsir, tauhid dan tasawuf.

Ronald Lukens (2010: 9) berpendapat tentang pendidikan di pesantren

khususnya dalam kurikulum dan yang dikembangkan adalah sebagai berikut.

The curriculum found in contemporary pesantren can be devided into four basic areas: religious education (ngaji), character development, vocational skills training and general education. The first three types of instruction are rigidly gender segregated. At some pesantren general education may be co-educational following the example of the government schools, thougt this has proven to be somewhat problematic. Religious education involves studying texts, which include the Qur’an, Hadith and the classical texts which include commentaries on scripute, expositions on mystic.

Ronald Lukens berpendapat bahwa kurikulum ditemukan di pesantren

kontemporer dapat dibagi menjadi empat bidang dasar antara lain pendidikan agama

(ngaji), pengembangan karakter, pelatihan ketrampilan kejuruan dan pendidikan

umum. Pada beberapa pendidikan dipesantren mengikuti contoh pendidikan pada

umumnya di sekolah-sekolah. Dalam pendidikan agama memasukan pelajaran teks

yang meliputi Al Qur’an, hadist dan teks klasik.

Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan

masyarakat muslim, tanpa membedakan tingkat sosial ekonomi mereka. Sementara

itu setiap hari menerima tamu yang datang dari masyarakat. Mereka datang untuk

bersilaturahim, berkonsultasi, memohon doa, meminta nasihat dan sebagainya.

(43)

commit to user

Sesuai dengan fungsinya pesantren memiliki prinsip-prinsip utama dalam

menjalankan pendidikannya. Menurut Abuddin Nata (2001: 113) ada dua belas

prinsip yang seharusnya dipegang teguh pesantren yaitu (1) theocentric(2) sukarela dalam pengabdian; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (6) mengatur

kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) kemandirian; (9) pesantren adalah

tempat untuk mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama; (11)

belajar di pesantren bukan mencari ijazah; (12) restu kiai artinya semua perbuatan

yang dilakukan setiap warga pesantren bergantung pada kerelaan dan doa kiai.

Jadi bisa disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah sebuah tempat tinggal

santri atau asrama santri yang digunakan dalam proses belajar agama, sosial,

pendidikan dan sebagai pengembangan minat dan bakat santri.

c) Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta

Yayasan Ali Maksum dalam sejarah berdirinya tidak terlepas dari sejarah

Pondok Pesantren Krapayak Yogyakarta dan al-maghfurlah KH. Ali Maksum.

Pondok Pesantren Krapyak didirikan tahun 1910 oleh al-maghfurlah KH. M. Moenawwir, merupakan salah satu pesantren di Indonesia yang telah dikenal luas di

berbagai kalangan. Hal tersebut disebabkan karena Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta telah mampu menunjukan perannya dalam membina umat, menyiapkan

kader-kader bangsa yang memiliki kesatuan wawasan dan kedalaman ilmu dengan

landasan keimanan dan ketakwaan yang baik, Tim Yayasan Pondok Pesantren Ali

(44)

Arif Subhan (2003: 76) menyatakan bahwa Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta dikenal sebagai pesantren Al Quran sehingga mempunyai

ketergantungan yang cukup tinggi terhadap KH. Munawir. Ketika tokoh ini tiada,

sementara dikalangan anggota keluarga tidak ada yang memiliki kemampuan setara,

maka reputasi pesantren mulai menurun. Dalam kondisi tersebut Ali Maksum tiba di

Krapyak dengan mempertahankan ciri yang dikenal pesantren Al Quran. Ali

Maksum mempertahankan ciri khas itu dan menambah sistem madrasah di

lingkungan pesantren.

Dengan adanya madrasah tidak mengurangi tradisi pondok pesantren yang

sudah berjalan. Justru akan membentuk kepribadian dengan banyak faktor yang

brepengaruh pada santri seperti faktor lingkungan dan keteladanan. Sekarang

Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta berkembang cukup pesat. Madrasah dari

tingkat paling bawah sampai tingkat tinggi ada dalam Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dari Miftahuddin, Grendi Hendrastomo dan Sudrajat

yang berjudul Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta: Menggali Nilai-Nilai Moderasi Untuk Aksi Berbangsa dan Bernegara.

Dalam penelitian ini dijelaskan implementasi pendidikan karakter di Pondok

(45)

commit to user

Penelitian relevan lainnya salah satunya oleh Suharman, dengan judul

Nilai-Nilai Kebangsaaan dalam Ajaran Tamansiswa dan Aktualisasinya di Bidang

Pendidikan (Studi Kasus di SMA Taman Madya Yogyakarta). Penelitian ini

menekankan pada pembentukan karakter dalam nilai-nilai kebangsaan di SMA

Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Dari dua penelitian tersebut penulis akan

membahas pola pendidikan karakter yang terdapat di Tamansiswa dan Pondok

Pesantren Krapyak, sehingga terdapat perbedaan dalam pengkajiannya.

C. Kerangka Berpikir

Pendidikan karakter dibutuhkan untuk menumbuhkan moral atau karakter

yang ada dalam lembaga pendidikan. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman

tentang pentingnya penerapan dan evaluasi dari pendidikan karakter. Pola

pendidikan karakter di setiap lembaga pendidikan mempunyai ciri yang berbeda.

Hal itu bisa dilihat dalam lembaga pendidikan Tamansiswa yaitu di SMA Taman

Madya Ibu Pawiyatan dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta yaitu di

Madrasah Aliyah Ali Maksum.

Pola pembetukan karakter yang diterapkan mempunyai pengaruh yang

berbeda dan berkembang dengan ideologinya. Persepsi yang baik tentang

pendidikan karakter akan mempermudah penerapan pendidikan karakter di sekolah.

Siswa mempunyai respon dalam pola pengembangan pendidikan karakter dengan

(46)

disekolah masing-masing. Harapannya semua proses tersebut mempunyai

keselarasan dengan tujuan pendidikan nasional.

Bagan Kerangka Pikir

Grand Desain Pendidikan Karakter Bangsa

Budaya sekolah

Pola pendidikan karakter di Tamansiswa

Pola pendidikan karakter di Pondok Pesantren Krapyak

Respon dan aktualisasi (pengamalan) nilai karakter pada

siswa Tujuan Pendidikan Nasional

Gambar

   Gambar Model Analisis Interaktif
Tabel 1Keteladanan Pengajar SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta dan
Tabel di atas adalah contoh keteladanan dari para pamong di sekolah.
    Tabel 2Kegiatan Ektrakurikuler SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta dan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Gigi tiruan lepasan adalah bagian prostodonsia yang menggantikan satu atau beberapa gigi yang hilang atau seluruh gigi asli yang hilang dengan gigi tiruan dan didukung oleh

Untuk diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435, 300.02) ditegakkan bila terdapat kecemasan kronis yang lebih berat (berlangsung lebih dari 6 bulan;

Hasil penelitian ini adalah (1) kesalahan memahami masalah yang disebabkan oleh kekurangfahaman siswa dengan pertanyaan yang diajukan dalam soal (2) kesalahan

Jika para pengurus memahami bahasan ini, maka otomatis para anggota akan menaruh perhatian terhadapnya dan kita akan menyaksikan keteladanan ketaatan di tiap bidang dan

Politisi Partai Gerindra yang juga Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mempertimbangkan keluar dari partai politik jika RUU Pilkada yang mengatur kepala

Berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.9 menunjukan pengaruh variabel Jumlah Penduduk, Angka Partisipasi Sekolah, dan Angka Partisipasi Murni terhadap upah minimum