• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siklisasi Intramolekuler Sitronelal Dikatalisis Zirkonia Hidrat Dan Padatan Asam Lainnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Siklisasi Intramolekuler Sitronelal Dikatalisis Zirkonia Hidrat Dan Padatan Asam Lainnya."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

 

  Karya Tulis Ilmiah

Disusun oleh:

Jamaludin Al Anshori, S.Si., M.Sc.

Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

(2)

 

  Karya Tulis Ilmiah

Mengetahui Bandung, April 2009

Kepala Lab. Kimia Organik Penyusun

Tati Herlina,MSi. Jamaludin Al Anshori, S.Si., M.Sc.

(3)

i   

ABSTRAK

Siklisasi intramolekuler sitronelal menjadi isopulegol merupakan tahap penting dalam sintesis mentol. Beberapa jenis katalis zirkonia diuji coba pada reaksi ini. Zirkonium hidroksida dan zirkonia terfosfatisasi memiliki aktifitas dan selektifitas yang sangat baik. TPD amonia dan IR piridin menandakan adanya asam kuat Lewis bersama asam lemah Brønsted. Asam kuat lainnya seperti zirkonia tersulfatisasi, Amberlyst dan Nafion sangat aktif tetapi selektifitasnya terhadap isopulegol sangat rendah. Katalis tersebut menimbulkan reaksi samping seperti dehidrasi, cracking dan eterifikasi isopulegol. Silika dengan keasaman Lewis yang lemah menghasilkan aktifitas yang sangat rendah. Adanya keasaman Lewis dan Brønsted merupakan sifat dasar yang diperlukan pada reaksi ini. Mekanisme reaksi yang diusulkan adalah melalui proses interaksi awal molekul sitronelal terhadap asam Lewis zirkonium melalui oksigen aldehid dan elektron π pada ikatan rangkap, maka konfigurasi yang stabil akan tercapai melalui siklisasi. Protonasi aldehid melalui situs asam Brønsted tetangga mengakibatkan proses siklisasi menjadi isopulegol.

(4)

ii   

ABSTRACK

The Intramolecular cyclization of citronellal toward isopulegol is an important step in the synthesis of menthol. Several zirconia-based catalysts were evaluated for this reaction. Zirconium hydroxides and phosphate zirconia had very good activity and selectivity. Ammonia TPD and pyridine IR studies indicate the presence of strong Lewis together with weak Brønsted acid sites. Other strong acids like sulfated zirconia, Amberlyst, and Nafion were very active but the selectivity toward isopulegol was poor. They catalyzed side reactions such as dehydration, cracking, and etherification of isopulegol. Silica, with only weak Lewis acidity, showed very low activity. The presence of both Lewis and Brønsted sites is therefore essential for the reaction. A reaction mechanism is proposed where the citronellal molecule binds to a zirconium Lewis acid site via the aldehyde oxygen and the π-electrons of the double bond so that the right configuration is attained for cyclization. Subsequent protonation of the aldehyde via a neighbouring Brønsted acid site initiates the cyclization to isopulegol.

Key Words: citronellal; cyclization; isopulegol; dual acid sites—Lewis and Brønsted; zirconium hydroxide; phosphated zirconia.

(5)

iii   

DAFTAR ISI……….

DAFTAR GAMBAR………

DAFTAR TABEL……….

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN………

BAB I PENDAHULUAN……….

BAB II TINJAUAN UMUM………

2.1. Terpenoida………...……….……….

2.1.1. Monoterpena……….………..………..

2.2. Sitronelal dan Isopulegol……….………...

2.3. Siklisasi Sitronelal………..………

BAB III TINJAUAN KHUSUS……….

3.1. Latar Belakang……….………...

3.2. Persiapan dan Karakterisasi……….………...

3.3. Siklisasi Katalitik Sitronelal…….………..

3.4. Hasil dan Pembahasan………

3.5. Rentang Suhu………

3.6. Aktifitas Katalis………..………..

BAB IV KESIMPULAN………....

DAFTAR PUSTAKA……….

(6)

iv   

Gambar 2.2 Sitronelal, Isopulegol dan Mentol………...………...

Gambar 2.3 Siklisasi dari sitronelal………...

Gambar 2.4 Adisi trans dan mekanisme siklisasi………..

Gambar 2.5 Mekanisme siklisasi sitronelal menjadi isopulegol...

Gambar 2.6 Sintesis isopulegol epoksida dari sitronelal dengan katalis Ti-MCM-41………

Gambar 3.1 Katalis Padatan Asam Lainnya………..

Gambar 3.2 Distribusi ukuran pori ZrO2-0-300 (○), ZrO2-0-500 (●)………...

Gambar 3.3 Distribusi ukuran pori ZrO2-16-300 (○), ZrO2-16-500 (●)……..

Gambar 3.4 Distribusi ukuran pori ZrO2-0-500-SO4 (□), ZrO2-0-500-PO4 (■).

Gambar 3.5 Spektra IR piridin setelah pengkondisian pada suhu 100˚C (a)ZrO2-0-300, (b) ZrO2-16-300, (c) ZrO2-0-500, (d) ZrO2

-16-500, (e) ZrO2-0-500-PO4 dan (f) ZrO2-16-500-PO4………..

Gambar 3.6 Tampilan TPD amonia dari zirkonia dan zirkonia terfosfatisasi (a) ZrO2-0-500, (b) ZrO2-0-500-PO4, (c) ZrO2-4-500 dan (d)

ZrO2-4-500-PO4………...

Gambar 3.7 Tampilan TPD amonia dari (a) silika, (b) beta zeolit dan (c) zirkonia tersulfatisasi………

Gambar 3.8 Spektra IR piridin setelah pengkondisian pada suhu 100˚C dari (a) silika, (b) beta zeolit, (c) sirkonia tersulfatisasi, (d) K10 dan (e) Clayzic……….

Gambar 3.9 Rendemen isopulegol pada katalis berbeda setelah 10 menit reaksi kecuali silika (4 jam)………..

Gambar 3.10 Mekanisme reaksi siklisasi sitronelal menjadi isopulegol dengan katalis zirkonium hidroksida………...…….

(7)

v   

(8)

vi   

Digestasi : Proses pembentukan partikel koloid yang lebih besar

GC-MS : Gas Chromatography-Mass Spectroscopy

1H-NMR : Proton-Nuclei Magnetic Resonance

IR : Infrared

Kalsinasi : Proses pemanasan untuk pembentukan struktur yang teratur

TPD : Temperature Programmed Desorption

XRF : X-Ray Fluorescence

XRD : X-Ray Diffraction

ZrO2-D-T : Zirkonia Hidrat dengan D adalah lama hari didigestasi dan T

(9)

Sitronelal merupakan senyawa monoterpena yang mempunyai gugus

aldehid, ikatan rangkap dan rantai karbon yang memungkinkan mengalami reaksi

siklisasi aromatisasi (Iryanti, 2005). Isopulegol merupakan terpena alkohol,

C10H18O, yang digunakan untuk membuat komposisi wewangian (Bauer et al.,

1988). Isopulegol dibentuk dari siklisasi sitronelal, sama dengan sitronelal yang

mempunyai 2 karbon kiral yang akan membetuk pusat asimetrik produk dengan 4

stereoisomer yang berbeda (Gambar 1.1). Isopulegol merupakan tahapan yang

penting dalam membentuk mentol (C10H20O) yang memiliki harum peppermint.

Delapan optik aktif mentol, hanya mentol yang diturunkan dari hidrogenasi

(-)-isopulegol yang memiliki rasa peppermint dan juga berasa dingin. Tetapi isomer

lainnya tidak memiliki sifat menyejukan.

(10)

Beberapa katalis homogen dan heterogen yang telah diteliti memiliki

keaktifan dalam reaksi siklisasi. Katalis homogen seperti rhodium

tris(trifenilfosfin) yang diteliti oleh Sakai dan Oda (1972), sama baiknya dengan

kompleks karbonil molybdenum dan tungsten seperti

(PhCH2(Et)3N+[Mo(CO)4ClBr2]-, Mo(CO)5(OTf)2, [Mo(CO)4Br2]2,

PhCH2(Et)3N+[W(CO)4ClBr2]-, dan W(CO)5(OTf)2 yang telah diteliti sebelumnya

oleh Kočovský et al. (1999). Dengan menggunakan katalis tersebut, cis

-diastereoisomer, (+)-neoisopulegol terbentuk lebih banyak. Kelompok ligan yang

bulky dalam pergeseran hubungan kompleksnya membentuk (-)-isopulegol

menjadi (+)-neoisopulegol. Skadium triflorometanasulfonat telah diteliti Jensen et

al. (2000) merupakan katalis efisien untuk selektifitas siklisasi sitronelal menjadi

isopulegol. Reaksi dikondisikan pada di bawah suhu normal. Pada -78˚C, hasil

yang didapat >95%, sedangkan pada suhu kamar 58% hal ini disebabkan reaksi

berkaitan dari pembentukan isopulegol dengan sitronelal.

Padatan “super asam” seperti zirkonia tersulfatisasi juga diteliti sebagai

katalis reaksi siklisasi. Walaupun memiliki konversi yang tinggi sebanyak 96%,

selektifitas terhadap isopulegol hanya 46% dengan produk utama menjadi

isopulegol eter dan sitronelal. Ketika zirkonia tersulfatisasi dilapiskan pada

saringan molekul karbon selektifitas meningkat menjad 60%. Hal ini menjelaskan

bahwa pengaruh besar eklusi berbanding besar pori yang lebih kecil menghalangi

pembentukan isopulegol eter (Yadav and Nair, 1998).

Zeolit dengan besar pori yang berbeda, seperti clioptilolite, mordenite, dan

(11)

isomerisasi sitronelal. Aktifitas berkaitan dengan sisi keasaman Brønsted. Zeolit

dengan besar pori yang lebih kecil memiliki aktifitas yang kecil pula dibanding

dengan ukuran pori yang besar, yang dapat meningkatkan selektifitas terhadap

isopulegol eter.

Pengulangan dari literatur yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa

sisi keasaman diperlukan dalam siklisasi dan zirkonium memiliki sifat katalis

yang istimewa. Sifat dari sisa keasaman berhubungan dengan keasaman Lewis

dan Brønsted. Pada penelitian penggunaan katalis zirkonia yang

bermacam-macam untuk reaksi siklisasi seperti zirkonia diketahui memiliki sisi asam Lewis

dan sebagian kecil asam Brønsted setelah dikalsinasi pada 200˚C (Nakano et al.,

1979). Sama dengan zirkonium hidroksida yang memiliki lebih banyak gugus

hidroksil dibanding zirkonia, perbandingan kedua zat tersebut menarik untuk

diteliti. Sebelumnya telah diteliti mendigestasi pengendapan zirkonium hidroksida

segar dari larutan induk mempengaruhi besar pori dan keasaman dari sampel.

Keasaman juga dapat dimodifikasi dengan memfosfatisasi atau sulfatisasi sirkonia

(Chuah et al., 2000). Pada penelitian ini, akan dibandingkan dengan menggunakan

katalis resin tersulfonasi yang komersial dipasaran, seperti Amberlyst 15 dan

Nafion SAC 13. Sebagai tambahan, beta zeolit dan montmorillonite K10 juga

dipergunakan sebagai katalis untuk mempelajari efek mikropori dan struktur pori

(12)

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Terpenoida

Terpenoida merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai

bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan disebut sebagai

minyak atsiri. Sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang

dibangun oleh dua atau lebih unit C-5 yang disebut unit isoprena (Gambar 2.1).

Unit C-5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya sama seperti

senyawa isoprena (Lenny, 2006).

Gambar 2.1 Satuan unit terpenoid

2.1.1. Monoterpenoid

Monoterpenoid merupakan senyawa “essence” dan memiliki bau yang

spesifik yang dibangun oleh 2 unit isopren atau dengan jumlah atom karbon 10.

Lebih dari 1000 jenis senyawa monoterpenoid telah diisolasi dari tumbuhan

tingkat tinggi, binatang laut, serangga dan binatang jenis vertebrata dan struktur

senyawanya telah diketahui. Senyawa monoterpenoid banyak dimanfaatkan

sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolotik dan sedatif. Di samping itu

monoterpenoid yang sudah dikenal banyak dimanfaatkan sebagai bahan pemberi

aroma makan dan parfum dan ini merupakan senyawa komersial yang banyak

(13)

2.2. Sitronelal dan Isopulegol

Sitronelal merupakan senyawa monoterpena yang mempunyai gugus

aldehid, ikatan rangkap dan rantai karbon yang memungkinkan mengalami reaksi

siklisasi aromatisasi (Iryanti, 2005). Isopulegol merupakan terpena alkohol,

C10H18O, digunakan untuk membuat komposisi wewangian (Gambar 2.2) (Bauer

et al., 1988). Isopulegol dibentuk dari siklisasi sitronelal. Sama dengan sitronelal

yang mempunyai 2 karbon kiral yang akan membetuk pusat asimetrik produk

dengan 4 stereoisomer yang berbeda. Isopulegol merupakan tahapan yang penting

dalam membentuk mentol (C10H20O) yang memiliki harum peppermint. Delapan

optik aktif mentol, hanya mentol yang diturunkan dari hidrogenasi

(-)-isopulegol yang memiliki rasa peppermint dan juga berasa dingin (Gambar 2.2).

Tetapi isomer lainnya tidak memiliki sifat menyejukan.

 

Gambar 2.2 Sitronelal, Isopulegol dan Mentol

2.3. Siklisasi Sitronelal

Reaksi karbonil-ene adalah metode sintesis yang berguna sekali karena

pembentukan dari ikatan C-C dengan konstruksi dari 2 pusat kiral. Salah satu

studi intramolekul reaksi ini adalah siklisasi dari sitronelal. Dengan isomer utama

(14)

karena merupakan salah satu sintesis mentol. Lainnya juga, isopulegol digunakan

untuk sintesis feromon (Moreira and Corrêa, 2000).

Beberapa katalis homogen dan heterogen yang telah diteliti memiliki

keaktifan dalam reaksi siklisasi. Katalis homogen seperti rhodium

tris(trifenilfosfin) yang diteliti oleh Sakai dan Oda (1972), sama baiknya dengan

kompleks karbonil molybdenum dan tungsten seperti

(PhCH2(Et)3N+[Mo(CO)4ClBr2]-, Mo(CO)5(OTf)2, [Mo(CO)4Br2]2,

PhCH2(Et)3N+[W(CO)4ClBr2]- dan W(CO)5(OTf)2 yang telah diteliti sebelumnya

oleh Kočovský et al. (1999). Dengan menggunakan katalis tersebut, cis

-diastereoisomer, (+)-neoisopulegol terbentuk lebih banyak. Kelompok ligan yang

bulky dalam pergeseran hubungan kompleksnya membentuk (-)-isopulegol

menjadi (+)-neoisopulegol. Untuk katalis yang digunakan kembali, lebih baik

diektrak dari fasa air. Katalis asam Lewis heterogen seperti ZnCl2, ZnBr2, AlCl3,

SbCl3, SnCl4, dan TiCl4 memberikan pemisahan yang mudah dan katalis tersebut

membentuk produk utama (-)-isopulegol. Khususnya ZnBr2, memiliki efesiensi

70% dan selektifitas 94% terhadap (-)-isopulegol (Nakatani and Kamashima,

1978).

Arata dan Matsuura (1989) meneliti padatan asam tidak dipengaruhi

hidrolisis seperti Si-Al2O3, FeSO4, NiSO4, Ti(SO4)2, Zr(SO4)2 dan Al2O3 juga

memiliki selektifitas yang tinggi (>90%) dan konversi (65-91%) terhadap

isomerisasi sitronelal menjadi isopulegol. Berbeda jauh dengan CaO yang

memiliki aktifitas yang rendah, hal ini menandakan pentingnya sisi asam Lewis.

(15)

dengan katalis ini semua, lebih baik dalam jumlah perbandingan 0,34-0,42 katalis

dan sitronelal yang dipergunakan (Kroop et al., 1995).

Andrade et al. (2004) dalam penelitiannya menemukan katalis niobium

pentaklorida (NbCl5), tantalum pentaklorida (TaCl5), dan indium triklorida (InCl3)

untuk digunakan dalam reaksi siklisasi (R)-sitronelal menjadi suatu campuran

isopulegol dan neoisopulegol (Gambar 2.3). Pada suhu –40˚C dan durasi reaksi 6

jam, katalis NbCl5 merupakan katalis asam lewis yang paling aktif dengan nilai

konversi 98% serta rasio iso:neo sebesar 1:1,2 sedangkan InCl3 merupakan katalis

asam lewis paling selektif dengan nilai konversi 89% serta rasio iso:neo sebesar

4,3:1.

Aggarwal et al. (1998) telah menemukan Skandium trifluorometansulfonat

(5-10 mol%) sebagai katalis efisien untuk reaksi intermolekular karbonil-ene dan

siklisasi intramolekular sitronelal. Kondisi siklisasi sitronelal menjadi isopulegol

terbaik dilakukan pada suhu –78˚C, jumlah katalis sekitar 5-10% dalam pelarut

diklorometana selama 1-1,5 jam dapat menghasilkan produk >95% dan rasio

isomer isopulegol:isomer lainnya sebesar 94:6.

Berdasarkan hasil penelitian Jensen et al. (2000) bahwa katalis SnCl4

dalam diklorometana juga dapat digunakan untuk mensintesis (S)-sitronelal

menjadi isopulegol sebesar 85% pada T 0˚C, sedangkan Da Silva et al. (2004)

menggunakan katalis H3PW12O40/SiO2 untuk mengkonversi (+)-sitronelal menjadi

(-)-isopulegol dan (+)-neo-isopulegol sebagai produk utama hampir 100% dengan

total selektifitas antara 95-100%, 80%-nya selektif terhadap (-)-isopulegol.

(16)

a

NbCl5, TaCl5 atau InCl3

Gambar 2.3 Siklisasi dari sitronelal

Reaksi siklisasi intramolekular sitronelal bisa terjadi dengan mereaksikan

sitronelal dengan HCl, H2SO4, asam asetat anhidrida dan dengan pengaruh Al2O3

aktif bersifat asam, zeolit, bentonit maupun lempung aktif menghasilkan

isopulegol yang merupakan senyawa prekursor pembentukan mentol melalui

reaksi hidrogenasi katalitik Raney-Ni (Priatmoko, 1990).

Padatan “super asam” seperti zirkonia tersulfatisasi juga diteliti sebagai

katalis reaksi siklisasi. Walaupun memiliki konversi yang tinggi sebanyak 96%,

selektifitas terhadap isopulegol hanya 46% dengan produk utama menjadi

isopulegol eter dan sitronelal (Gambar 2.4). Ketika zirkonia tersulfatisasi

dilapiskan pada saringan molekul karbon selektifitas meningkat menjadi 60%. Hal

ini menjelaskan bahwa pengaruh besar eklusi berbanding besar pori yang lebih

(17)

Dalam publikasinya Mäki-Arvela, et al. (2004) menyimpulkan bahwa

zeolit dan bahan-bahan mesopori sangat bagus digunakan untuk siklisasi sitronelal

menjadi isopulegol pada atmosfer nitrogen dalam pelarut sikloheksana. Produk

siklisasi tertinggi diperoleh dengan menggunakan bahan mesopori dan zeolit

cincin 12 yang memiliki keasaman Brønsted tinggi, sedangkan produk siklisasi

terendah diperoleh dengan menggunakan silika yang tidak memiliki keasaman

Brønsted. Pengaruh asam Brønsted ini terlihat pada skema mekanisme reaksi

siklisasi sitronelal menjadi isopulegol yang disajikan pada Gambar 2.5.

O O H

H

O H

OH O

O O

OH O

H+

isopulegol

isopulegol eter 1 isopulegol eter 2 mentolglikol eter

HO HO

sitronelal

 

(18)

Gambar 2.5 Mekanisme siklisasi sitronelal menjadi isopulegol

Stereoselektifitas terhadap masing-masing isomer isopulegol hanya

dipengaruhi oleh kestabilan senyawa intermediet isopulegol terprotonasi, bukan

dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsentrasi asam Brønsted, asam lewis dan

daerah permukaan tertentu suatu katalis.

Zeolit dengan besar pori yang berbeda, seperti clioptilolite, mordenite, dan

faujasite, telah diteliti dalam pelarut yang berbeda oleh Fuentes et al. (1989) untuk

isomerisasi sitronelal. Aktifitas berkaitan dengan sisi keasaman Brønsted. Zeolit

dengan besar pori yang lebih kecil memiliki aktifitas yang kecil pula dibanding

dengan ukuran pori yang besar, yang dapat meningkatkan selektifitas terhadap

isopulegol eter. Mengikuti reaksi fasa-gas dari sitronelal dengan isopropanol lewat

faujasite pertukar-ion telah diteliti oleh Shabtai et al. (1984). Pembentukan

isopulegol lebih banyak dihasilkan oleh besar pori yang lebih besar dalam LiX

dan NaX (diameter ionik <2Å) yang memberikan sekat yang baik untuk

membentuk cincin dari siklisasi. Jika zeolit ditukarkan dengan kation yang

meruah, seperti Ba2+, Rb+ dan Cs+ (diameter ionik 2,7-3,4Å) memiliki besar

efektifitas pori yang lebih kecil dan zat yang dikatalisis akan membentuk reduksi

(19)

(MPV). Zirkonium-penukar montmorillonite telah diteliti sebagai katalis reaksi

siklisasi dengan stereoselektifitas 90% terhadap (-)-isopulegol dengan sedikit

kandungan (+)-neoisopulegol selama 24 jam dalam pelarut asetonitril pada 80˚C

dengan hasil 91% (Tateiwa et al., 1997).

Guidotti et al. (2000) dalam publikasinya menyatakan telah berhasil

menkonversi sitronelal menjadi isopulegol epoksida menggunakan katalis

titanium silikat mesoporus (Ti-MCM-41) dalam satu rangkaian proses sekaligus

dengan rendemen 68%. Dalam tahapan siklisasi sitronelal menjadi isopulegol

yang memakan waktu 6 jam digunakan toluena sebagai pelarut, kemudian

ditambahkan tert-butilhidroksiperoksida (TBHP) dan asetonitril untuk

menkonversi isopulegol menjadi isopulegol epoksida selama 18 jam sebesar 76%

dan selektivitas 90% (Gambar 2.6).

 

Gambar 2.6 Sintesis isopulegol epoksida dari sitronelal dengan katalis Ti-MCM-41

Setelah ditemukannya katalis asimetris tris(2,6-diarilfeniloksi)aluminium

oleh Iwata et al. (2002) atas nama perusahaan Takasago, konversi siklisasi

(+)-sitronelal menjadi (-)-isopulegol bisa mencapai 95% dengan stereoselektifitas

hampir 100%. Sebelumnya digunakan katalis ZrBr2 yang dapat menkonversi

(+)-sitronelal menjadi (-)-isopulegol secara kuantitatif dengan kapasitas produksi per

(20)

Iosif, et al. (2004) berhasil menkonversi sitronelal menjadi mentol

menggunakan katalis bifungsional Ir/H-Beta zeolit. Ir/H-Beta merupakan katalis

heterogen yang paling aktif dan selektif untuk satu langkah sintesis mentol dari

sitronelal. Dengan mereaksikan sitronelal dengan katalis 3% Ir/H-Beta dalam

atmosfir nitrogen selama 4 jam, kemudian dialirkan hidrogen dapat menghasilkan

produk dengan selektivitas 95% terhadap isomer mentol, 75%-nya adalah

(-)-mentol, dimana rasio isomernya (mentol:neomentol:isomentol) adalah 75:20:5.

Jika logamnya diganti, 3% Ru/H-Beta dapat menghasilkan 70% sitronelol, 3%

Pd/H-Beta dapat menghasilkan 69% 3,7-dimetiloktanal, 3% Pt/H-Beta dapat

menghasilkan 56% mentol dan 3% Rh/H-Beta dapat menghasilkan 55% mentol.

Yuntong et al. (2007) telah berhasil mensintesis mentol dari sitronelal

dengan menggunakan katalis bifungsional Ni/Zr-Beta dan Zr-beta/Ni-MCM-41,

dimana diastereoselektifitasnya mencapai 90-94% terhadap (±)-mentol dengan

rendemen mentol total 86-97%. Pembentukan mentol paling efektif dilakukan

dengan menggunakan katalis Ni 3-5% (b/b) terimfregnasi dalam Zr-beta, dua jam

pertama sitronelal dikonversi menjadi isopulegol. Konversi semakin menurun

seiring dengan semakin besarnya konsentrasi nikel, dari 96% untuk 3% Ni/Zr-beta

menjadi 44% untuk 15% Ni/Zr-beta. Penurunan aktivitas ini disebabkan oleh

tertutupnya sebagian pusat aktif Zr oleh Ni yang terimfregnasi. Sebaliknya

kecepatan hidrogenasi isopulegol menjadi mentol semakin meningkat dengan

semakin tingginya konsentrasi Ni terimfregnasi. Selektivitas maksimal terhadap

(21)

menghasilkan produk hidrogenasi yang sangat rendah dan sebaliknya jika berkisar

antara 5-15% meningkatkan pembentukan sitronelol dan 3,7-dimetiloktanol.

(22)

14 

BAB III

TINJAUAN KHUSUS

3.1. Latar Belakang

Sifat dari sisa keasaman berhubungan dengan keasaman Lewis dan

Brønsted. Pada penelitian penggunaan katalis zirkonia yang bermacam-macam

untuk reaksi siklisasi seperti zirkonia diketahui memiliki sisi asam Lewis dan

sebagian kecil asam Brønsted setelah dikalsinasi pada 200˚C (Nakano et al.,

1979). Sama dengan zirkonium hidroksida yang memiliki lebih banyak gugus

hidroksil dibanding zirkonia, perbandingan kedua zat tersebut menarik untuk

diteliti. Sebelumnya telah diteliti mendigestasi pengendapan zirkonium hidroksida

segar dari larutan induk mempengaruhi besar pori dan keasaman dari sampel.

Keasaman juga dapat dimodifikasi dengan memfosfatisasi atau sulfatisasi sirkonia

(Chuah et al., 2000). Pada penelitian ini, akan dibandingkan dengan dengan

katalis resin tersulfonasi yang komersial di pasaran, seperti Amberlyst 15 dan

Nafion SAC 13. Sebagai tambahan, beta zeolit dan montmorillonite K10 juga

dipergunakan sebagai katalis untuk mempelajari efek mikropori dan struktur pori

(23)

 

Amberlyst Nafion

Silika Gel

Montmorillonite Beta Zeolit (Robson,

Gambar 3.1 Padatan Asam Lainnya

(24)

   

3.2. Persiapan dan Karakterisasi

Zirkonia hidrat dipersiapkan dengan cara mengendapkan larutan

zirkonium klorida 10% dengan amoniak 5M (ca. 50% berlebih) (Chuah et al.,

1998). Sebagian endapan diambil dan dicuci dengan amonium nitrat sampai

bebas klorida, selanjutnnya dicuci dengan akuades dan dikeringkan pada 100˚C.

Sisa dari bahan sebelumnya direfluks pada 100˚C selama 4 dan 16 hari. Kemudian

masing-masing sampel, disaring, dicuci, dikeringkan dan dikalsinasi pada 300˚C

dan 500˚C selama 12 jam. Sampel-sampel ini diberi label ZrO2-D-T dimana D

adalah lama hari didigestasi dan T adalah suhu kalsinasi.

Zirkonia fosfat dipersiapkan berdasarkan penelitian Spielbauer et al.

(1997). Zirkonia hidrat didigestasi selama 4 dan 16 hari dicuci sampai bebas

klorida dan dikeringkan pada 100˚C, kemudian disuspensikan dalam larutan

(NH4)2HPO4 (8%wt) selama 1 jam dengan pengadukan konstan. Kemudian

kandungan air diuapkan dan dikalsinasi pada 500˚C. Beberapa zirkonia tanpa

didigestasi pada 500˚C diperlakukan sama dengan prosedur penempelan gugus

fosfat. Zirkonia sulfat dibuat dengan cara merendam zirkonia hidrat kering dalam

H2SO4 0,25 N selama 1 jam pada suhu kamar menggunakan 5 ml per gram

padatan. Padatan yang dihasilkan disaring dan dikeringkan pada 100˚C. kemudian

dikalsinasi pada 500˚C selama 12 jam. Kandungan fosfor dan sulfur ditentukan

dengan ICP-AES dan XRF. Beta zeolit dipersiapkan berdasarkan penelitian

Robson (1998). Setelah zeolit dikalsinasi pada 550˚C, dilakukan proses

(25)

 

dilakukan kalsinasi pada 500˚C untuk mendapatkan bentuk-H. Silika gel 60

(Merck), Ambelyst 15 (Fluka), Nafion SAC-13 (Aldrich), Montmorillonite K10

(Fluka) dan Clayzik (seng klorida dalam montmorillonite) digunakan sebagai

penerima.

Luas permukaan, distribusi ukuran pori dan volume pori ditentukan

dengan adsorpsi nitrogen dengan menggunakan Quantrachrome NOVA 2000.

Fase serbuk kristalin dari sampel ditentukan dengan XRD menggunakan Siemens

D5005 difraktometer (Cu anoda dalam 40 kV dan 40 mA).

Temperature-programed desorption amonia digunakan untuk menentukan keasaman suatu

sampel. Sebanyak 0,2 gram sampel ditempatkan dalam reaktor kuarsa dan

dipersiapkan dalam helium pada 600˚C selama 2 jam sebelum didinginkan pada

suhu kamar. Amonia dimasukkan dengan helium sebelum TPD diukur.

Pemanasan diatur 20˚C min-1 dipergunakan untuk melepaskan amonia. Pelepasan

gas-gas dianalisa dengan menggunakan quadropole spekroskopi massa (Hiden

HAL 201) parallel terhadap reaktor dengan perbedaan antar-muka tekanan yang

berbeda. Sifat situs keasaman diidentifikasi dengan Spektroskopi Inframerah

pengadsorpsian piridin pada sampel (Chuah et al., 1999). Sampel tipis dihitung

dalam taksiran sel Pyrex IR dengan sel NaCl. Spektroskopi Bruker Equnox 55

digunakan dengan resolusi 2 cm-1. Sampel divakum dalam 300˚C selama 2 jam

sebelum didinginkan pada suhu kamar dan dikenai piridin pada 22 mbar. Piridin

berlebih dipompa keluar dan sampel divakum sampai 10-3 mbar selama 30 menit

(26)

 

di dalam kondisi vakum selama 30 menit dan didinginkan pada suhu kamar

sebelum diukur dengan inframerah dan sampel lainnya diukur pada 200˚C.

3.3. Siklisasi Katalitik dari Sitronelal

Campuran rasemat sitronelal (sigma) digunakan sebagai prekursor yang

mengandung 87% (±)-sitronelal dengan 13% isopulegol. Campuran reaksi

mengandung 2,0 gram sitronelal (13 mmol), 15 ml toluena dan 1 ml nitrobenzena

(internal standar) ditempatkan dalam labu dasar bulat dengan sekat, kondensor

refluks dan penutup. Dalam campuran ini, 100 mg katalis kering (150˚C,

didiamkan semalam) dimasukkan. Reaksi siklisasi dilakukan pada suhu 110˚C

pada kondisi udara bebas dengan pengadukan. Sampel diambil berdasarkan

perbedaan waktu reaksi dan produk dianalisis dengan kromatografi gas

(HP-Inowax PEG kolom kapiler (0,25 mm, 30 m). konversi dari sitronelal dikoreksi

oleh isopulegol yang terkandung sebelumnya. Perbedaan isomer diidentifikasi

dengan GC-MS (Shimadu) dan 1H-NMR menggunakan spektrofotometer Bruker

AMX500 (500MHz). Sebagai pembanding, R-(+)-sitronelal (Aldrich) disiklisasi

dengan menggunakan katalis zirkonia. Dengan menggunakan NMR kiral

pergeseran pelarut, eouropium tris

{3-(hepta-floropropilhidroksimetilena-(+)-kamporat}, membuktikan adanya stereokimia pada karbon pada posisi 3 yang

tidak dipengaruhi oleh reaksi.

3.4. Hasil dan Pembahasan

Zirkonium hidroksida yang dikeringkan pada 300˚C memiliki luas

permukaan 186 sampai 285 m2/g (Tabel 3.1). Luas permukaan dan porositas dari

(27)

 

Kenaikan porositas ditandai oleh pembentukan jaringan pori akibat oksolasi antara

gugus hidroksil zirkonium hidroksida (Chuah et al., 2000). Dehidrasi gugus

hidroksida pada 500˚C menghasilkan pembentukan zirkonia. Luas permukaan

ZrO2-0-500 sangat rendah yaitu 44,1 m2/g jika dibandingkan terhadap luas

permukaan zirkonia yang didigestasi selama 4 dan 16 hari sebesar 198 dan 265

m2/g. Tingginya luas permukaan zirkonia yang didigestasi dapat diakibatkan 2

pengaruh. Selama digestasi hidroksida pada pH 9, beberapa silika dari alat gelas

larut dan masuk ke dalam sampel. Zirkonia yang dibentuk setelah 4 hari digestasi

mengandung 0,4% silika sedangkan sampel 16 hari memiliki 3,5% silika

(dianalisis degan XRF). Pengendapan silika dengan cara ini mempengaruhi

kestabilan luas permukaan zirkonia yang diperoleh. Digestasi hidroksida juga

bertujuan untuk menghilangkan situs permukaan yang rusak, yang bertanggung

jawab terhadap proses penggumpalan selama kalsinasi. Hal ini akan menghasilkan

luas permukaan zirkonia yang lebih baik.

Tabel 3.1 Sifat-sifat bentuk permukaan katalis

Katalis Luas Permukaan Volume Pori Bentuk Kristal

(m2/g) (ml/g) (% tetragonal)

ZrO2-0-300 186 0,15 Amorf

ZrO2-4-300 285 0,76 Amorf

ZrO2-16-300 273 0,72 Amorf

ZrO2-0-500 44,1 0,13 Amorf

ZrO2-4-500 198 0,49 22,3

ZrO2-16-500 263 0,71 100

ZrO2-0-500-PO4 31,0 0,08 Amorf

ZrO2-4-500-PO4 240 0,46 22,9

ZrO2-16-500-PO4 220 0,54 Amorf

ZrO2-0-500-SO4 90,0 0,10 Amorf

H-Beta zeolit 226 0,25 100

Montmorillonite 209 0,32 Si/Al 13,1 Clayzic 149 0,21

(28)

 

Semua bentuk zirkonium hidroksida hasil analisa sinar-x adalah amorf,

untuk semua yang dipanaskan sampai 300˚C. Tetapi setelah dipanaskan sampai

500˚C, mayoritas zirkonia yang diperoleh membentuk kristal. Zirkonia yang

dibentuk dari pengendapan langsung hidroksida, ZrO2-0-500, menghasilkan

campuran bentuk monoklinik dan tetragonal (77%:23%). Rata-rata ukuran kristal

adalah 110Å. Zirkonia yang dibentuk dari hasil digestasi hidroksida selama 4 dan

16 hari berturut-turut menghasilkan 100% tetragonal dan amorf. Ukuran kristal

pada ZrO2-4-500 adalah 48Å, lebih kecil dibanding zirkonia yang tidak

didigestasi.

Dari hasil adsorpsi isotermis nitrogen, distribusi ukuran pori

diperhitungkan dengan metode Barret, Joyner dan Halenda. Pada ZrO2-0-300,

ukuran pori menjadi lebih besar dari mikropori menjadi 50Å (Gambar 3.2).

(29)

 

Gambar 3.3 Distribusi ukuran pori ZrO2-16-300 (○), ZrO2-16-500 (●)

Setelah dikalsinasi untuk membentuk zirkonia, pori yang lebih kecil hilang

meninggalkan yang berukuran 40-150Å dengan rata-rata ukuran pori sekitar 90Å.

Volume pori berkurang dari 0,15 menjadi 0,13 ml/g setelah membentuk zirkonia.

Hiroksida yang didigestasi, ZrO2-4-300 dan ZrO2-16-300, lebih baik karena

mampu mempertahankan struktur porinya, walaupun setelah kalsinasi sampai

500˚C mikropori masih ada dalam sampel ini (Gambar 3.3).

Luas permukaan hidroksida pada zirkonium hidroksida terfosfatisasi

sebelum kalsinasi sangat tinggi. Kedua zirkonia fofat 4 dan 16 hari, ZrO2

-4-500-PO4 dan ZrO2-16 -500-PO4, masing-masing memiliki luas permukaan lebih dari

200 m2/g dan volume pori 0,46 dan 0,54 ml/g. Sebaliknya ZrO2-0-PO4-500, yang

difosfatisasi setelah dikalsinasi menjadi, memiliki luas permukaan dan volume

yang sama dengan bahan pendukung murninya. Distribusi ukuran pori ZrO2-0-500

juga tidak berubah, dari hasil tersebut adanya gugus fosfat tidak menyebabkan

(30)

 

Gambar 3.4 Distribusi ukuran pori ZrO2-0-500-SO4 (□), ZrO2-0-500-PO4 (■)

Zirkonia tersulfatisasi dapat dibentuk dari zirkonium hidroksida yang tidak

didigestasi yang dilanjutkan kalsinasi yaitu ZrO2-0-SO4-500. Keberadaan setelah

dikalsinasi sulfat menghasilkan luas permukaan yang tinggi sebesar 90 m2/g,

dibandingkan terhadap luas permukaan oksida yang tidak tersulfatisasi sebesar

44,1 m2/g. Volume porinya 0,10 ml/g sama dengan ZrO2-0-500. Tetapi, distribusi

ukuran pori menunjukan bahwa pori kecil sangat dominan dalam sampel setelah

dikalsinasi dibandingkan dengan ukuran pori pada ZrO2-0-500. Pori pada zirkonia

tersulfatisasi memiliki diameter pori rata-rata 45 Å.

Keasaman sampel dibandingkan dengan menggunakan

Temperature-Programed desorbtion amonia (TPD). Pengukuran TPD tidak dilakukan pada

sampel ini karena desorpsi amonia hanya akan tercapai sempurna jika mencapai

suhu 500˚C, suhu ini lebih tinggi dibanding dengan suhu yang digunakan untuk

(31)

 

spektroskopi inframerah piridin (Gambar 3.5). Zirkonium hidroksida yang tidak

didigestasi, ZrO2-0-300, menunjukan adanya asam lewis. Bilangan gelombang

antara 1434-1456, 1480-1498 dan 1560-1632 cm-1 menunjukkan adanya ikatan

hidrogen dan ikatan koordinasi dengan piridin (Parry, 1963). Setelah digestasi,

terlihat adanya kenaikan keasaman, ditandai sedikit pergeseran bilangan

gelombang ke arah bilangan gelombang lebih tinggi dan kenaikan absorbansi pada

1490 cm-1, selain itu serapan lemah di 1540 cm-1, menandakan adanya keasaman

Brønsted, pada sampel yang didigestasi. Sifat sisi keasaman tidak dipengaruhi

oleh kalsinasi zirkonia. Kenaikan keasaman dari sampel yang didigestasi juga

terlihat dari TPD amonia (Gambar 3.6). Zirkonia yang tidak didigestasi

memperlihatkan penyerapan yang melebar pada 50-500˚C. penyerapan zirkonia

yang didigestasi hampir sama, tapi suhunya bergeser 20-30˚C lebih tinggi.

Kenaikan keasaman dari sampel yang didigestasi mungkin dapat dijelaskan oleh

adanya silika. Menurut Tanabe et al. (1974) keasaman dihasilkan dari oksida biner

dan juga ketidakseimbangan muatan ketika komponen oksida kecil mengadopsi

matriks oksida (mayor). Berdasarkan model ini, pemasukan silika ke dalam

zirkonia meningkatkan situs asam Lewis. Adanya keasaman Brønsted pada

sampel yang didigestasi mungkin disebabkan oleh keasaman gugus –OH yang

berdampingan dengan ujung ion zirkonium yang tidak berikatan (Chuah et al.,

(32)

 

Gambar 3.5 Spektra IR piridin setelah pengkondisian pada suhu 100˚C (a)ZrO2-0-300, (b) ZrO2-16-300, (c) ZrO2-0-500, (d) ZrO2

-16-500, (e) ZrO2-0-500-PO4 dan (f) ZrO2-16-500-PO4

3.5. Rentang Suhu

Pelepasan amonia dari zirkonia terfosfatisasi, ZrO2-0-500-PO4, lebih

sempit daripada zirkonia yang tidak terfosfatisasi, dengan pelepasan utama pada

100 sampai 450˚C (Gambar 3.6). Oleh karena itu, kedua situs asam lemah dan

kuat hilang ketika proses fosfatisasi dan situs intermediet asam baru akan

terbentuk. Spektroskopi inframerah piridin yang teradsorpsi membuktikan bahwa

adanya serapan pada gelombang 1490 dan 1540 cm-1 disamping serapan

(33)

 

Gambar 3.6 Tampilan TPD amonia dari zirkonia dan zirkonia terfosfatisasi (a) ZrO2-0-500, (b) ZrO2-0-500-PO4, (c) ZrO2-4-500 dan (d) ZrO2

-4-500-PO4

Kedua serapan ini dapat dianggap mewakili situs asam Lewis dan

Brønsted. Spektra inframerah piridin dari zirkonia terfosfatisasi terbentuk oleh

fosfatisasi awal zirkonium hidroksida, yang diikuti dengan kalsinasi, juga

menunjukkan adanya situs asam Lewis dan Brønsted. Gugus hidroksi atau oksida

yang telah ditempeli gugus fosfat, memiliki kekuatan asam yang cukup kuat

(Boyse & Ko, 1996). Spielbauer et al. (1997) telah meneliti zirkonia fosfat

termodifikasi yang dapat meningkatkan protonasi asam lewat sifat zirkonia. Hal

ini ditandai oleh adanya gugus P-OH. Sebagai tambahan, koordinasi pusat

zirkonia tak jenuh dapat memperkuat asam Lewis dibandingkan dengan zirkonia

fosfat bebas. Fosfat dipercaya mengikat permukaan lewat (i) bentuk jembatan

ganda dimana 2 oksigen berikatan dengan 2 ion zirkonium. Dan (ii) bentuk khelat

(34)

 

Sifat asam kuat dari zirkonia tersulfatisasi ditunjukkan pada spectra TPD,

yang terjadi pada rentang suhu 100 sampai 600˚C (Gambar 3.7).

Gambar 3.7 Tampilan TPD amonia dari (a) silika, (b) beta zeolit dan (c) zirkonia tersulfatisasi

Jika kekuatan asam beta zeolit dan silika dibandingkan terhadap zirkonia

tersulfatisasi maka nilainya lebih kecil. Puncak maksimum pelepasan amonia

bergeser ke arah suhu lebih rendah pada sampel ini. Spielbauer et al. (1996) telah

melakukan pengamatan menggunakan spektroskopi FT-IR dengan karbon

monoksida sebagai molekul pengisinya yang dapat membuktikan zirkonia

tersulfatisasi memiliki keasaman Lewis dan Brønsted yang tinggi. Spektroskopi

IR piridin membuktikan adanya situs asam Lewis dan Brønsted sangat kuat pada

beta zeolit, K10, dan Clayzic sedangkan silika hanya memiliki asam Lewis yang

(35)

 

Gambar 3.8 Spektra IR piridin setelah pengkondisian pada suhu 100˚C dari (a) silika, (b) beta zeolit, (c) sirkonia tersulfatisasi, (d) K10 dan (e) Clayzic

3.6. Aktifitas Katalis

Tabel 2 membandingkan konversi sitronelal dan selektifitas pembentukan

isopulegol dengan menggunakan sampel yang bervariasi setelah 1 jam reaksi.

Kesetimbangan massa terdiri dari 1% reaksi. Perbedaan diastereomer

diidentifikasi dengan menggunakan 1H-NMR. Semua katalis zirkonia memberikan

(±)- isopulegol sebagai produk utama, diikuti dengan (±)-neo-isopulegol,

(±)-iso-isopulegol dan (±)-neoiso-(±)-iso-isopulegol dengan rasio 72:22:5:0,4, setelah

menghitung isopulegol dari bahan awal sitronelal. Dengan (+)-sitronelal sebagai

reaktan, akan menghasilkan produk yang sama. Analisis NMR membuktikan

bahwa (-)-isopulegol merupakan isomer utama, walaupun (+)-iso-isopulegol juga

(36)

 

Perbandingan (-)-isopulegol : isopulegol : (+)-iso-isopulegol :

(+)-neo-isopulegol adalah 68:14:17:1. Produk lainnya adalah hasil isomerisasi, sebagai

produk sampingnya pada beberapa kasus isopulegol eter dapat diidentifikasi.

Produk ini terbentuk dari hasil dehidrasi 2 molekul isopulegol (Fuentes et al.,

1989). Konversi sitronelal menjadi isopulegol dengan zirkonium hidroksida yang

tidak didigestasi, ZrO2-0-300, hanya mencapai 11% setelah 1 jam. Hal sebaliknya

terjadi pada zirkonium hidroksida yang didigestasi 4 dan 16 hari, yang sangat aktif

dengan konversi mencapai 92-94%. Lebih jauh lagi selektifitas zirkonium

hidroksida sangat tinggi, 94-98%, dengan hanya sedikit bagian fraksi yang

mengalami dimerisasi menjadi eter. Zirkonia hasil dari kalsinasi hidroksida yang

tidak didigestasi dan yang didigestasi 4-hari kurang aktif. Bagaimanapun juga,

zirkonia hidroksida yang tidak didigestasi 16 hari, ZrO2-16-500, tetap memiliki

aktifitas dan selektifitas hidroksida yang tinggi, dengan 93% sitronelal

berisomerisasi setelah 1 jam. Hal ini dikarenakan oleh sifat mikropori sampel dan

adanya kombinasi keasaman Lewis dan Brønsted.

Bergabungnya ion fosfat pada zirkonia dapat merubah sifat keasamannya.

Setelah ZrO2-0-300 yang tidak aktif difosfatisasi, tentu saja akan menghasilkan

bahan katalis ZrO2-0-300-PO4, yang aktif untuk reaksi siklisasi, walaupun luas

permukaannya kecil dan tidak memiliki mikropori (Tabel 2.2).

Hal ini membuktikan bahwa mikropori tidak penting untuk siklisasi, akan

tetapi sifat keasaman sampel lebih penting. Pada permukaan zirkonia fosfat, situs

asam lewis kuat juga hadir dengan asam Brønsted. Zirkonia terfosfatisasi dibuat

(37)

 

akan meningkatkan keaktifan dalam pembentukan isopulegol. Setelah 1 jam

reaksi, konversi dari tiga sampel zirkonia fosfat melebihi 95%. Pada katalis yang

digunakan terdapat 0,9% residu organik yang dianalisis dengan termogravimetri.

Tabel 3.2 Aktifitas dan selektifitas katalis terhadap pembentukan isopulegol dalam 1 jam reaksi dalam toluena

Katalis Konversi (%) Selektifitas (%)

ZrO2-0-300 11 94

ZrO2-4-300 92 977

ZrO2-16-300 94 98

ZrO2-0-500 0 0

ZrO2-4-500 7 85

ZrO2-16-500 93 99

ZrO2-0-500-PO4 97 98

ZrO2-4-500-PO4 95 99

ZrO2-16-500-PO4 99 99

ZrO2-0-500-SO4 97 52

H-Beta zeolit 95 84

Montmorillonite 98 19

Clayzic 60 76

Silika gel 60 5 84

Beta zeolit memiliki keaktifan dan selektifitas yang tinggi (84%) untuk

siklisasi sitronelal. Produk sampingnya antara lain dimerisasi menjadi isopulegol

eter, dehidrasi dan cracking. Dari hasil TPD amonia memperlihatkan bahwa

sampel ini keasamannya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan zirkonia

tersulfatisasi. Beta zeolit memiliki sistem ikatan silang tiga dimensi yang

memiliki dua sistem ikatan yang saling tegak lurus dengan bagian menyilang 0,76

x 0,64 nm dan yang ketiga 0,55 x 0,55 nm. Mikropori mencegah terjadinya

dimerisasi menjadi isopulegol eter. Hasil analisis NMR mengidentifikasi adanya

isomer (±)-isopulegol:(±)-neo-isopulegol:(±)-iso-isopulegol:(±)-neoiso-isopulegol

(38)

 

yang menunjukkan bahwa ukuran pori hanya mempengaruhi sedikit terhadap

selektifitas isomer yang berbeda.

Zirkonia tersulfatisasi merupakan padatan super asam. Katalis ini

digunakan untuk menentukan bila asam kuat khususnya asam Brønsted lebih

disukai untuk reaksi ini. walaupun konversi 100% dapat dicapai dalam 10 menit,

selektifitas terhadap isopulegol hanya 61%, beberapa produk isopulegol telah

terbentuk dehidrasi (C10H16). Selain itu juga, terjadi eterifikasi isopulegol menjadi

macam-macam isomer eter isopulegol, bersama-sama dengan produk dehidrasi

dan cracking dari eter. Produk ini adalah rangkaian hirokarbon dengan komposisi

C11H22-C15H24. Reaksi ini di katalisis asam kuat yang ada pada zirkonia

tersulfatisasi. Produk meningkat dengan berjalannya waktu akan tetapi selektifitas

isopulegol menurun masing-masing menjadi 52 dan 25% setelah 1 dan 4 jam.

Sama dengan dua katalis resin tersulfonasi, Nafion SAC-13 dan Amberlyst 15,

masing-masing memberikan hasil isopulegol 39 dan 8% setelah 10 menit reaksi

(Gambar 3.9).

Montmorillonite K10 sangat aktif dengan konversi 94% dalam 10 menit.

Tetapi, selektifitas isopulegol hanya 35% dan menurun menjadi 19% setelah 1

jam. sama dengan zirkonia tersulfatisasi dan asam kuat lainnya, selektifitas yang

rendah juga diakibatkan oleh reaksi yang bersaing seperti dehidrasi dan

pembentulan isopulegol eter. Hasil ini dibandingkan dengan Tateiwa et al. (1997)

yang menghasilkan 41% produk siklisasi dalam acetonitril pada 80˚C setelah 24

jam ketika pendukung K10 digunakan. Montomorillonite K10 merupakan

(39)

 

perbandingan 1:2 (Aldridge et al., 1973). Fungsi katalis adalah sebagai asam

Brønsted karena berikatan koordinasi dengan molekul air terhadap setiap kation

pada antar-muka dan sebagai asam Lewis dimana situs asamnya adalah atom

aluminium pada stuktur lempung. Jarak antar molekul K10 cukup luas untuk 2

molekul isopulegol mengalami dimerisasi menjadi eter, hal ini sama dengan kasus

pada bahan mesopori lainnya seperti zirkonium tersulfatisasi.

Gambar 3.9 Rendemen isopulegol pada katalis berbeda setelah 10 menit reaksi kecuali silika (4 jam)

Ketika ZnCl2 diembankan pada K10 (Clayzic), diperoleh selektifitas 76%

terhadap isopulegol dibandingkan dengan K10 walaupun aktivitasnya hanya 60%

setelah 1 jam reaksi. Ketika ZnCl2 diembankan pada lempung, sebagian asam

(40)

 

Silika gel memiliki aktifitas yang rendah untuk siklisasi sitronelal dengan

konversi 5% setelah 1 jam. Hal ini disebabkan oleh tingkat keasaman yang rendah

seperti terlihat dari hasil TPD amonia. Hal ini juga diperlihatkan pada hasil

inframerah piridin, hanya memiliki asam lewis yang lemah.

Siklisasi sitronelal pada zeolit sering dipergunakan untuk memprotonasi

gugus karbonil pada sitronelal oleh bagian asamnya, diikuti oleh penanta-ulangan

intramolekular untuk membentuk karbokation yang lebih stabil dan akhirnya

terjadi deprotonasi membentuk isopulegol. Fuentes et al. (1989) meneliti laju

reaksi yang cepat dan selektifitas tinggi untuk sintesis isopulegol dengan

menggunakan pelarut kloroform. Berdasarkan penelitian tersebut, diusulkan reaksi

dalam kondisi melalui karbokation pada bagian luar zeolit. Ravasio et al. (1997)

menggunakan campuran oksida seperti titania, zirkonia dan

silika-alumina untuk meningkatkan stereoselektifitas produk suatu reaksi siklisasi ketika

adanya asam lewis kuat. Hal yang berbeda ditemukan oleh Fuentes et al.(1989),

tidak ada peningkatan laju reaksi ketika menggunakan kloroform sebagai

pengganti toluena, sebab hal tersebut menghambat pembentukan karbokation.

walaupun sifat situs katalis tidak jelas, peneliti menganjurkan bahwa

kemungkinan mekanisme katalisis sesuai dengan penghambatan kuat ketika

dioksana digunakan sebagai pelarut. Dalam penelitian ini, diteliti sampel yang

memiliki asam Lewis kuat dan asam Brønsted lemah yang menunjukan aktivitas

dan selektifitas yang bagus untuk reaksi siklisasi sitonelal menjadi isopulegol.

Berdasarkan hasil katalisis dan FT-IR piridin, mekanisme reaksinya dapat

(41)

 

Sitronelal akan berkoordiansi dengan ion zirkonium karena memiliki atom

oksigen pada aldehid dan ikatan rangkap yang kaya akan elektron (Gambar 3.10).

Hal ini akan membentuk sitronelal pada keadaan yang lebih stabil yaitu

membentuk cincin tertutup melalui reaksi karbonil-ene (C-C). Pada keadaan

transisi, oksigen akan terprotonasi oleh gugus hidroksil Brønsted bersama dengan

lepasnya hidrogen dari gugus isopropil diikuti oleh menutupnya cincin

membentuk isopulegol. Permukaan zirkonium hidroksida, zirkonia yang

didigestasi dan zirkonia terfosfatisasi mengandung sisi aktif yang baik untuk

siklisasi. Zirkonia yang tidak didigestasi kurang memiliki situs asam Brønsted,

sementara itu situs asam Lewis pada silika lemah, sehingga keduanya merupakan

sampel yang tidak aktif untuk reaksi siklisasi. Keasaman dari beta zeolit dengan

perbandingan Si/Al 13, cocok untuk reaksi siklisasi tanpa dihasilkan produk

samping akibat reaksi yang dikatalisis oleh asam kuat seperti dehidrasi dan

eterifikasi. Katalis asam kuat seperti zirkonia tersulfatisasi, Ambelist atau Nafion

tidak hanya menghasilkan produk siklisasi tetapi juga menghasilkan produk

eterifikasi dan cracking.

Gambar 3.10 Mekanisme reaksi siklisasi sitronelal menjadi isopulegol dengan

(42)

34   

BAB IV

KESIMPULAN

(43)

35   

Carbonyl-Ene Reaction and the Intramolecular Cyclisation of Citronellal.

Tetrahedron Lett,

39

, 1997-2000.

Ali, A. A. M., and Zaki, M. I. 1998.

Colloids Surf. A.

139

, 81.

Andrade, C.K.Z., Vercillo, O.E., Rodrigues, J.P. & Silveira, D.P. 2004.

Intramolecular Ene Reactions Catalyzed by NbCl

5

, TaCl

5

and InCl

3

.

J. Braz.

Chem. Soc

.

813-817

V. 15 No. 6.

Arata, K., and Matsuura, C. 1989.

Chem. Lett.

1797.

Aldridge, L. P., McLaughlin, J. R., and Pope, C. G. 1973.

J. Catal.

30

, 409.

Bauer, K., Garbe, D., and Surburg, H., “Ullmann’s Enclyclopedia of Industrial

Chemistry” (W. Gerhertz, Ed.) VCH, Weinheim,

141

. Vol. A11 (1988).

Boyse, R. A., and Ko, E. I. 1996.

Catal. Lett.

38

, 225.

Busca, G., Lorenzelli, V., Galli, P., Ginestra, A. L., and Patrono, P. 1987.

J. Chem.

Soc. Faraday Trans. 1

83

, 853.

Chuah, G. K., and Jaenicke, S. 1997.

Appl. Catal. A.

163

, 261.

Chuah, G. K., Liu, S. H., Jaenicke, S., and Li, J. 2000.

Microporous Mesoporous

Mater.

39

, 381.

Chuah, G. K., Jaenicke, S., and Pong, B. K. 1998.

J. Catal.

175

, 80.

Chuah, G. K., Jaenicke, S., and Xu, T. H. 1999.

Surf. Interface Anal.

28

, 331.

Chuah, G.K., Liu, S.H., Jaenicke, S. & Harrison, L.J. 2001. Cyclisation of Citronellal

to Isopulegol Catalysed by Hydrous Zirconia and Other Solid Acids.

J. of Cat

.

352-359

,

200.

(44)

Guidotti, M., Moretti, G., Psaro, R. & Ravasio, N. 2000. One-Pot Conversion of

Citronellal into Isopulegol Epoxide on Mesoporous Titanium Silicate.

Chem.

Com

.

1789-1790

.

Iosif, F., Coman, S., Parvulescu, V., Grange, P., Delsarte, S., De Vos, D. & Jacobs, P.

2004. Ir-Beta zeolite as a heterogeneous catalyst for the one-pot

transformation of citronellal to mentol.

Chem. Com

.

1292-1293

.

Iryani. 2005.

Transformasi Sitronelal dari Minyak Sereh menjadi p-Simena Melalui

Reaksi Siklisasi Aromatisasi dengan Katalis FeCl

3

dalam Nahidrida Asetat

.

Jurusan Kimia S1. FMIPA UNNES.

Iwata, T., Yoji, H. & Yoshiki, O. 2002. Process for Producing Isopulegol.

European

Patent Application

. No. EP 1 225 163 A2.

Jansen, J. C., Creyghton, E. J., Njo, S. L., van Koningsveld, and van Bekkum, H.

1997.

Catal. Today

38

, 205 ().

Jensen, B.L., Malkawi, A. & McGowan, V. 2000. Cyclization of the Monoterpene

Citronellal to Isopulegol: A Biomimetic Natural Product Synthesis.

J. Chem.

Educ

. V.77 No.11:

1474

.

Kropp, P. J., Breton, G. W., Craig, S. L., Crawford, S. D., Durland, W. F., Jr., Jones,

J. E., III, and Raleigh, J. S. 1995.

J. Org. Chem.

60

, 4146.

Lenny, S. 2006.

Senyawa Terpenoida dan Steroida

. USU Reporsitory. Medan.

Ko

č

ovský, P., Ahmed, G., Šrogl, J., Malkov, A.V., and Steele, J. 1999.

J. Org.Chem.

64

, 2765.

Mäki-Arvela, P., Kumar, N., Nieminen, V., Sjoholm, R., Salmi, T. & Yu. Murzin, D.

2004. Cyclization of citronellal over zeolites and mesoporous materials for

production of isopulegol.

J. of Cat

.

155-169

,

225.

Moreira, J., and Corrêa, A.G. 2000.

J. Braz. Chem. Soc.

11

, 204.

Nakatani, Y., and Kawashima, K. 1978.

Synthesis

147.

.

Nakano, Y., Iizuka, T., Hattori, H., and Tanabe, K. 1979.

J. Catal.

57

, 1.

(45)

Priatmoko. 1990.

Sintesis Mentol dari Sitronelal Hasil Isolasi dari Minyak Sereh

.

Tesis FMIPA UGM. Jogjakarta.

Ravasio, N., Antenori, M., Babudri, F., and Gargano, M. 1997.

Stud. Surf. Sci. Catal.

108

, 625.

Robson, H. 1998.

Microporous Mater.

22

, 551.

Sakai, K., and Oda, O. 1972.

Tetrahedron Lett.

42

, 4375.

Schulte-Elte, K. H., and Ohloff, G. 1967.

Helv. Chim. Acta.

50

, 153.

Shabtai, J., Lazar, R., and Biron, E. 1984.

J. Mol. Catal.

27

, 35.

Spielbauer, D., Mekhermer, G. A. H., Zaki, M. I., and Knözinger, H. 1996.

Catal.

Lett.

40

, 71.

Spielbauer, D., Mekhermer, G. A. H., Riemer, T., Zaki, M. I., and Knözinger, H.

1997.

J. Phys. Chem. B

101

, 4681.

Tanabe, K., Sumiyoshi, T., Shibata, K., Kiyoura, T., and Kitagawa, J. 1974.

Bull.

Chem. Soc. Jpn.

47

, 1064.

Tateiwa, J., Kimura, A., Takasuka, M., and Uemura, S. 1997.

J. Chem. Soc. Perkin

Trans. 1.

2169.

Yadav, G. D., and Nair, J. J. 1998. Novelties of Eclectically engineered Sulfated

Zirconia and Carbon Molecular Sieve Catalyst in Cyclisation of Citronellal to

Isopulegol.

Chem. Commun.

2369-2370

.

Yadav, G. D., and Nair, J. J. 2000.

Langmuir

16

, 4072.

Yuntong, N., Niah, W., Jaenicke, S. & Chuah, G.K. 2007. Synthesis of Menthol from

Citronellal over Bifunctional Ni/Zr-Beta and Zr-beta/Ni-MCM-41 Catalysts,

Gambar

Gambar 1.1 Siklisasi (+)-sitronelal menjadi isopulegol
Gambar 2.2 Sitronelal, Isopulegol dan Mentol
Gambar 2.3 Siklisasi dari sitronelal
Gambar 2.4 Adisi trans dan mekanisme siklisasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) Pelaksanaan Usulan KARPEG Pemrosesan KARIS/ KARSU Pelaksanaan Sumpah PNS Pemrosesan Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen Pemrosesan Kenaikan

Sedangkan penelitian Mahmudah dkk (2015) membuktikan bahwa ada hubungan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia didapatkan nilai p = 0,001 (p&lt;0,05),

Berdasarkan hasil zonasi tingkat kerentanan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlu dibuat skala prioritas untuk pengelolaan airtanah terkait lokasi sarana dan prasarana yang

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh jenis lateks dan jenis bahan tambahannya serta dosis penambahan lateks dalam aspal terhadap nilai penetrasi dan titik lembek

Benzene digunakan sebagai parameter karena: (1) Merupakan salah satu senyawa kimia yang berasosiasi dengan LNAPL, (2) Tidak mengalami hidrolisis dan tidak mengalami degradasi

Pada penelitian ini ditemukan karakteristik RPP yang meliputi: (1) unsur dan urutan RPP disesuaikan berdasarkan rumusan yang dibuat oleh BSNP, (2) memuat secara

Tabel 6. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model regresi terbebas dari multikolonieritas antar variabel independen. Analisis Regresi Linier Berganda. Regresi digunakan

Arif (2000 : 135) mengemukakan bahwa dalam penataan organisasi tergambar dalam bentuk Penataan Organisasi, dalam struktur organisasi ini tergambar tugas- tugas