• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan regulasi emosi istri usia remaja dan istri usia dewasa awal pada usia perkawinan kurang dari lima tahun.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan regulasi emosi istri usia remaja dan istri usia dewasa awal pada usia perkawinan kurang dari lima tahun."

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN REGULASI EMOSI ISTRI USIA REMAJA DAN ISTRI USIA DEWASA AWAL PADA USIA PERKAWINAN KURANG DARI

LIMA TAHUN

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Silviani Jusup

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan regulasi emosi antara istri usia remaja dan istri usia dewasa awal pada usia pernikahan kurang dari lima tahun. Regulasi emosi terdiri atas berbagai aspek yang mengacu pada proses, yakni aspek pemilihan situasi, modifikasi situasi, pengarahan perhatian, perubahan kognitif dan modulasi respon. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 80 subjek, yang terdiri dari 40 subjek istri usia remaja dan 40 subjek istri usia dewasa awal. Pengumpulan data dilakukan dengan skala regulasi emosi. Reliabilitas skala penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas 0,933. Data penelitian dianalisis menggunakan teknik Independent Sample T-Test. Hasil uji hipotesis adalah Ho ditolak, dengan probabilitas 0.028 (p<0,05). Hal ini berarti ada perbedaan regulasi emosi antara istri usia remaja dan istri usia dewasa awal. Perbedaan terletak pada aspek modulasi respon, dimana hasil ujiIndependent Sample T-Test pada aspek regulasi emosi mendapat nilai probabilitas 0,003 (p<0,05). Hasil pembahasan menyimpulkan bahwa usia kronologis mempengaruhi kemampuan regulasi emosi dalam menghadapi masa-masa pernikahan kurang dari lima tahun.

(2)

THE DIFFERENCES OF EMOTION REGULATION OF THE ADOLESCENT AND EARLY ADULTHOOD MARRIED WOMAN AT THE

AGE OF LESS THAN FIVE YEARS OF MARRIAGE Study in Psychology in Sanata Dharma University

Silviani Jusup

Abstract

This study aims to determine the difference between the emotion regulation of the adolescent and early adulthood married woman at less than five years the age of marriage. Emotion regulation has various aspects which refers to the process, those are the situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change and response modulation. The subjects of this study are 80 subjects with 40 subjects are the wife in the adolescent age and 40 subjects are the wife in the age of early adulthood. Data were collected by using the scale of emotion regulation. The reliability coefficient based on the scale research is 0,933. Data were analyzed by using a technique of independent sample T-Test. The results of hypothesis testing is null hypothesis to be rejected, with the 0.028 probability (p<0,05). This means that there is a difference between the emotion regulation of the adolescent and early adulthood married woman, with the result of the Independent Sample T-Test of the emotion regulation is 0,003 probability (p<0,05). The result of the discussion concluded that chronological age affects the ability of emotion regulation in less than five years of marriage life.

(3)

PERBEDAAN REGULASI EMOSI ISTRI USIA REMAJA DAN

ISTRI USIA DEWASA AWAL PADA USIA PERKAWINAN

KURANG DARI LIMA TAHUN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh Silviani Jusup

109114065

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

-Roma

5:4-Maturity comes when you stop making excuses and start making changes.

(7)

-Unknown-v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus dengan segala berkat dan anugerah-Nya dalam hidupku

Mama dan Papa yang begitu mengasihi dan mendukungku

Adikku Andreanes Jusup yang selalu menjadi alasan semangat juangku

Teman sejatiku Karolus Amma One yang selalu memotivasiku

(8)
(9)

vii

PERBEDAAN REGULASI EMOSI ISTRI USIA REMAJA DAN ISTRI USIA DEWASA AWAL PADA USIA PERKAWINAN KURANG DARI

LIMA TAHUN

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Silviani Jusup

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan regulasi emosi antara istri usia remaja dan istri usia dewasa awal pada usia pernikahan kurang dari lima tahun. Regulasi emosi terdiri atas berbagai aspek yang mengacu pada proses, yakni aspek pemilihan situasi, modifikasi situasi, pengarahan perhatian, perubahan kognitif dan modulasi respon. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 80 subjek, yang terdiri dari 40 subjek istri usia remaja dan 40 subjek istri usia dewasa awal. Pengumpulan data dilakukan dengan skala regulasi emosi. Reliabilitas skala penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas 0,933. Data penelitian dianalisis menggunakan teknik Independent Sample T-Test. Hasil uji hipotesis adalah Ho ditolak, dengan probabilitas 0.028 (p<0,05). Hal ini berarti ada perbedaan regulasi emosi antara istri usia remaja dan istri usia dewasa awal. Perbedaan terletak pada aspek modulasi respon, dimana hasil ujiIndependent Sample T-Test pada aspek regulasi emosi mendapat nilai probabilitas 0,003 (p<0,05). Hasil pembahasan menyimpulkan bahwa usia kronologis mempengaruhi kemampuan regulasi emosi dalam menghadapi masa-masa pernikahan kurang dari lima tahun.

(10)

viii

THE DIFFERENCES OF EMOTION REGULATION OF THE ADOLESCENT AND EARLY ADULTHOOD MARRIED WOMAN AT THE

AGE OF LESS THAN FIVE YEARS OF MARRIAGE Study in Psychology in Sanata Dharma University

Silviani Jusup

Abstract

This study aims to determine the difference between the emotion regulation of the adolescent and early adulthood married woman at less than five years the age of marriage. Emotion regulation has various aspects which refers to the process, those are the situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change and response modulation. The subjects of this study are 80 subjects with 40 subjects are the wife in the adolescent age and 40 subjects are the wife in the age of early adulthood. Data were collected by using the scale of emotion regulation. The reliability coefficient based on the scale research is 0,933. Data were analyzed by using a technique of independent sample T-Test. The results of hypothesis testing is null hypothesis to be rejected, with the 0.028 probability (p<0,05). This means that there is a difference between the emotion regulation of the adolescent and early adulthood married woman, with the result of the Independent Sample T-Test of the emotion regulation is 0,003 probability (p<0,05). The result of the discussion concluded that chronological age affects the ability of emotion regulation in less than five years of marriage life.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat serta anugerah-Nya yang begitu besar, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga skripsi yang berjudul “Perbedaan Regulasi Emosi Istri Usia Remaja dan Istri Usia Dewasa Awal pada Usia Perkawinan Kurang dari Lima Tahun” dapat bermanfaat dan memberi kontribusi yang baik bagi ilmu pengetahuan.

Peneliti juga menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan penuh rasa syukur, peneliti ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi. 2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi.

3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., Psi selaku dosen pembimbing skripsi atas segala waktu dan dukungannya kepada peneliti serta kesabaran dan pencerahan yang diberikan selama membimbing.

4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku dosen pembimbing akademik atas waktu dan dukungannya.

5. Seluruh dosen yang sudah membantu dan mendukung selama peneliti belajar Psikologi.

6. Pak Gi, Mas Muji, Mas Gandung, Ibu Nanik, dan Mas Doni atas segala keramahan dan bantuannya.

(13)

xi

8. Andreanes Jusup yang begitu peneliti kasihi. Terima kasih karena telah menjadi adik yang baik dan selalu menjadi motivasi bagi peneliti untuk segera menyelesaikan skripsi.

9. Karolus Amma One yang telah menjadi teman terbaik dalam segala hal. Tetap semangat dalam meraih segala impian kita!

10. Pakde Edy dan Bude Maryam yang begitu memperhatikan peneliti seperti anak sendiri.

11. Bapak dan Ibu Dukuh Cangkringan, serta Ibu Yani, yang telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data di Desa Glagaharjo Kecamatan Cangkringan.

12. Ibu Sri dan Papa Yustus atas segala perhatian, dukungan serta bantuannya, terlebih dalam proses pengumpulan data di Desa Tangen Kabupaten Sragen.

13. Saudara dan teman-teman terkasih di Kartosuro, Klaten dan Yogyakarta atas bantuannya menyebarkan skala penelitian maupun kesediaannya mengisi skala penelitian.

14. Teman-teman Kost Lovely, yang telah mewarnai hari-hari peneliti, khususnya Aning yang menemani dan membantu peneliti dalam pengumpulan data.

15. Engger, Regina, dan Sandi yang banyak membantu dan memberikan saran bagi peneliti dalam mengerjakan skripsi.

(14)

xii

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

(16)

xiv

BAB II. TINJAUAN TEORI... 14

A. Perkawinan ... 14

1. Pengertian Perkawinan... 14

2. Unsur-unsur Perkawinan... 15

a. Landasan/Latar Belakang Terjadinya Suatu Perkawinan... 15

b. Keabsahan Perkawinan ... 17

c. Kesiapan serta Komitmen Pria dan Wanita sebagai Suami Istri... 19

d. Tujuan Perkawinan... 20

3. Tahapan Perkawinan ... 21

B. Peran dan Karakteristik Istri dalam Perkawinan ... 24

1. Peran Khas Istri dalam Perkawinan ... 24

2. Karaketeristik Khas Istri dalam Perkawinan... 27

3. Perbedaan Karakteristik Istri Usia Remaja dan Istri Usia Dewasa Awal ... 29

C. Emosi ... 32

1. Pengertian Emosi ... 32

2. Tahapan Perkembangan Emosi ... 33

a. Perkembangan Emosi Remaja... 33

b. Perkembangan Emosi Dewasa ... 38

D. Regulasi Emosi Istri ... 42

1. Pengertian Regulasi Emosi ... 42

2. Pengaruh Perkawinan pada Kemampuan Regulasi Emosi... 50

3. Hubungan Regulasi Emosi dengan Kebutuhan Emosi Istri ... 53

E. Dinamika Perkawinan Kurang dari Lima Tahun ... 55

1. Karakteristik Perkawinan Kurang dari Lima Tahun ... 55

2. Konflik Perkawinan Kurang dari Lima Tahun... 57

(17)

xv

F. Perbedaan Regulasi Emosi Istri Usia Remaja dan Istri Usia

Dewasa Awal pada Usia Perkawinan Kurang dari Lima Tahun... 61

G. Hipotesis... 64

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 66

A. Jenis Penelitian... 66

B. Identifikasi Variabel... 66

C. Definisi Variabel Penelitian ... 67

1. Definisi Konseptual... 67

2. Definisi Operasional... 67

D. Subjek Penelitian... 68

E. Perolehan Data ... 69

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 69

G. Pertanggungjawaban Mutu Skala... 71

1. Validitas ... 72

2. Seleksi Item ... 73

3. Reliabilitas ... 75

H. Metode Analsis Data ... 76

1. Uji Asumsi ... 76

a. Uji Normalitas... 76

b. Uji Homogenitas ... 77

2. Uji Hipotesis ... 77

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 78

A. Pelaksanaan Penelitian ... 78

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 79

C. Hasil Penelitian. ... 80

1. Uji Asumsi ... 80

a. Uji Normalitas... 80

b. Uji Homogenitas ... 81

(18)

xvi

3. Kategorisasi... 83

D. Hasil Tambahan ... 86

E. Pembahasan... 90

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 96

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 96

2. Bagi Wanita Berusia Remaja yang sedang Menjalani Masa Pacaran ... 97

3. Bagi Istri yang sedang Menjalani Masa Perkawinan Kurang dari Lima Tahun ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Diagram 2.1: Skema Perbedaan Regulasi Emosi Istri Usia Remaja dan Istri Usia Dewasa Awal pada Usia Perkawinan Kurang

dari Lima Tahun ... 65

Tabel 3.1 :Blue PrintSkala Regulasi Emosi Uji Coba ... 71

Tabel 3.2 :Blue PrintItem yang Lolos... 74

Tabel 3.3 :Blue PrintSkala Regulasi Emosi ... 75

Tabel 4.4 : Deskripsi Subjek Istri Usia Remaja ... 79

Tabel 4.5 : Deskripsi Subjek Istri Usia Dewasa Awal ... 79

Tabel 4.6 : Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Perkawinan ... 80

Tabel 4.7 : Hasil Uji Normalitas ... 81

Tabel 4.8 : Hasil Uji Homogenitas... 81

Tabel 4.9 : Hasil Uji Beda Independent Sample T-Test ... 82

Tabel 4.10 : Hasil Perhitungan Skor Empiris dan Skor Teoritis... 83

Tabel 4.11 : Hasil Perhitungan Skor Empiris dan Skor Teoritis Berdasarkan Usia ... 84

Tabel 4.12 : Tabel Kategorisasi Regulasi Emosi ... 85

Tabel 4.13 : Hasil Uji Beda Independent Sample T-Test Aspek Regulasi Emosi ... 86

(20)

xviii

Tabel 4.15 : Hasil Perhitungan Skor Empiris dan Skor Teoritis Tiap

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1:

Data Perceraian ... 103 Lampiran 2:

Skala Penelitian ... 112 Output Data Penelitian ... 121 Lampiran 3:

Uji Reliabilitas ... 131 Lampiran 4:

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

(23)

Dari data Pengadilan Tinggi Agama Daerah Istimewa Yogyakarta yang direkap Badan Pusat Statistik Daerah Istiwewa Yogyakarta mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian menurut kabupaten/kota di DIY sepanjang tahun 2013 (Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014), menunjukkan bahwa penyebab perceraian terbesar adalah faktor tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, yaitu sebesar 2.372 kasus. Data tersebut diperkuat juga dari data Pengadilan Agama Sleman antara tahun 2011 hingga 2013 yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus perceraian dengan faktor penyebab yang paling banyak, yaitu adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Data menyatakan bahwa pada tahun 2011 terdapat 731 kasus perceraian yang diakibatkan oleh faktor tersebut. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan pada tahun 2012 yakni mencapai 845 kasus, dan di tahun 2013 meningkat lagi menjadi 855 kasus.

(24)

membangun kehidupan berumahtangga. Faktanya, ada banyak remaja menikah di usia dini yang bermasalah dengan kehidupan berumahtangga, salah satunya disebabkan oleh ketidaksiapan secara ekonomi, fisik maupun psikologis. Banyak keluarga-keluarga usia muda yang tidak siap secara fisik, sehingga sulit beradaptasi dengan lingkungan dan mengakibatkan keluarga tersebut tidak bertahan lama. Hal ini dikeluhkan oleh beberapa pasangan usia muda yang tinggal bersama mertua dan yang tinggal bersama orang tua sendiri. Keluarga-keluarga seperti ini ketahanan keluarganya sangat rapuh dan rentan terhadap perceraian (Sriudiyani & Soebijanto, 2011). Berkaitan dengan hal tersebut, Lewis dan Spanier (dalam Mantiri, Siwu, & Kristanto, 2012) menyatakan bahwa wanita yang menikah di usia belasan tahun, tingkat perceraiannya empat kali lipat dibandingkan dengan wanita yang menikah di usia dua puluh tahun keatas. Hal ini dapat dipahami karena wanita yang menikah di usia dini kurang bijaksana dalam mengontrol tingkat emosionalnya, sehingga banyak kasus kekerasan dipicu karena suatu masalah yang tidak dapat lagi untuk diselesaikan dengan komunikasi.

(25)

merupakan kasus perceraian dari pasangan yang usia perkawinannya lebih dari 5 tahun. Kemudian fakta tersebut, diperkuat pula oleh data dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaglik dari tahun 2011 sampai dengan 2013 mengenai kasus perceraian yang digolongkan berdasarkan usia perkawinan, menunjukkan bahwa pasangan yang memutuskan bercerai pada usia perkawinan 1 sampai 5 tahun cenderung lebih banyak dan meningkat dari tahun ke tahun. Data menunjukkan jumlah perceraian pada tahun 2011 sebanyak 16 kasus, kemudian tahun 2012 sebanyak 16 kasus, dan tahun 2013 sebanyak 21 kasus. Dalam hal ini, usia perkawinan juga menjadi salah satu faktor yang menentukan keutuhan perkawinan, dimana usia awal perkawinan menjadi masa yang rentan akan perceraian sebab pada masa-masa tersebut, pasangan suami istri sedang melalui masa penyesuaian yang memunculkan berbagai macam konflik.

(26)

kesabaran. Setiap pasangan memiliki kemampuan masing-masing dalam menghadapi setiap permasalahan baru yang muncul pada usia awal perkawinan, yang merupakan masa-masa rentan dan sangat menentukan bagi perjalanan usia perkawinan selanjutnya.

Dari berbagai data yang diperoleh, peneliti melihat fenomena penyebab keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian diakibatkan oleh faktor ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Ketidakharmonisan tersebut dapat mengacu pada berbagai faktor, salah satunya ketidakmampuan pasangan dalam menciptakan suasana harmonis dalam relasi antar suami-istri.

Di samping persoalan mengenai penyebab keretakan rumah tangga, menurut sumber dari Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2012 (Komisi Nasional Perempuan, 2013), diketahui bahwa data dari 329 Pengadilan Agama tingkat kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 208.846 kasus perceraian yang diajukan oleh istri, sedangkan perceraian yang diajukan oleh pihak suami terdapat 95.287 kasus. Data tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak perceraian yang diajukkan oleh pihak istri dimana jumlahnya mencapai dua kali lipat dari perceraian yang diajukan oleh pihak suami. Selain data yang diperoleh mengenai faktor-faktor perceraian di atas, menunjukkan lebih banyak pihak istri yang mengajukan perceraian dibandingkan dengan pihak suami.

(27)

Kartono (1992), seorang istri diharapkan memiliki kematangan emosi yang tinggi, yaitu memiliki kontrol emosi yang stabil, mandiri, menyadari tanggung jawab, terintegrasi segenap komponen kejiwaan, mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas, produktif-kreatif dan etis-religius. Selain itu, Hurlock (2002) menjelaskan bahwa awal perkawinan, pasangan dituntut untuk melakukan penyesuaian diri yang meliputi penyesuaian diri dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian diri dengan keluarga pihak pasangan. Keempat penyesuaian ini merupakan hal yang relatif sulit dan seringkali menimbulkan konflik dalam rumah tangga.

(28)
(29)

Dalam konteks kehidupan perkawinan, kemampuan kontrol diri dalam regulasi emosi sangat diperlukan sebagai usaha menghadapi berbagai macam permasalahan rumah tangga. Berbagai beban dan tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga seringkali dapat sangat mempengaruhi perilaku serta emosi seseorang. Menurut Chaplin (dalam Safaria, 2009) emosi merupakan suatu keadaan yang terangsang dari organism, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, sifatnya mendalam dan ditunjukkan melalui perubahan perilaku. Dengan kata lain, emosi merupakan suatu perasaan sekaligus respon seseorang terhadap suatu keadaan atau pengalaman yang dialami. Dalam konteks perkawinan, dinamika hidup berumahtangga beserta segala peran dan tanggungjawabnya memerlukan suatu proses emosional yang kompleks. Hal ini sejalan dengan pemikiran Kartono (1992) bahwa peran wanita sebagai istri menuntut kematangan emosi yang tinggi.

(30)

Kemampuan regulasi emosi juga dibutuhkan dalam penyesuaian diri pada perkawinan dimana penyesuaian tersebut mendorong perlu adanya persiapan yang matang pada masing-masing individu yang akan menikah, salah satunya melalui usia minimum menikah. Berdasarkan sumber dari Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pencatatan Nikah (Basyuni & Mattalatta, 2007), UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. Selanjutnya, perkawinan yang dilakukan oleh individu di bawah usia 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua (pasal 6 ayat (2)). Hal tersebut dikarenakan seseorang yang berada pada remaja, yakni dibawah 21 tahun, masih menjadi tanggung jawab penuh dari orang tua dalam segala segi kehidupannya.

(31)

atas dasar keputusannya sendiri secara sadar tanpa adanya pengaruh dari orang lain sebab secara psikologis seorang remaja masih belum dapat secara penuh menentukan pilihan yang terbaik dalam hidupnya. Oleh karena itu, peran orang tua menjadi sangat penting bagi anak-anak mereka yang masih berada dalam taraf usia remaja.

Berkaitan dengan usia saat menikah, wanita yang menikah di usia remaja menghadapi berbagai macam problem atau masalah yang lebih banyak di dominasi timbul dari dalam dirinya sendiri. Selain itu, terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi sebagai seorang remaja yang harus berperan sebagai ibu muda, diantaranya adalah bentuk identitas, kegelisahan pada kemandirian, dan pubertas. Hal tersebut sering membuat mereka dibebani oleh tanggung jawab sebagai orang tua termasuk sebagai pengasuh dan model bagi anak-anaknya.

(32)

Sejalan dengan hal tersebut, Havighurst (Hurlock, 1953) menyatakan tugas perkembangan dewasa yaitu antara lain (a) mencari dan menemukan pasangan, (b) belajar untuk hidup bersama pasangan, (c) mulai membangun kehidupan berkeluarga, (d) membesarkan anak-anak, (e) mengatur rumah tangga, (f) memantapkan karir, (g) memenuhi tanggung jawab sebagai bagian dari warga masyarakat, (h) mengambil peran dalam kelompok sosial. Dalam tahap dewasa awal tersebut, dimana seseorang sedang berada pada tahap peralihan dari remaja menuju dewasa, Salomon (dalam Hurlock, 1953) menyatakan bahwa seseorang mulai memiliki sikap objektif, yaitu berusaha mencapai keputusan dalam keadaan yang dihadapi, bersikap lebih realistis, sehingga lebih terbuka terhadap kritik dan saran orang lain demi peningkatan dirinya serta fleksibel dan dapat menempatkan diri dengan situasi-situasi baru. Berkaitan dengan perkembangan kematangan emosinya, Salomon juga menyatakan bahwa dalam tahap dewasa awal, seseorang mulai memiliki kemampuan kontrol diri, salah satunya mencakup juga kontrol emosi.

(33)

pengambilan keputusan yang menentukan dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan pemikiran Salomon mengenai kemampuan kontrol emosi pada tahap dewasa awal.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan diatas, maka rumusan permasalahan dalam skripsi ini adalah: apakah ada perbedaan regulasi emosi antara istri usia remaja dengan istri usia dewasa awal pada usia perkawinan kurang dari lima tahun?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan perbedaan regulasi emosi pada istri usia remaja dan istri usia dewasa awal, khususnya pada usia perkawinan kurang dari lima tahun.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan dalam lingkup Psikologi Keluarga, khususnya memberi bukti empiris dan informasi mengenai perbedaan regulasi emosi istri usia remaja dan istri usia dewasa awal pada usia perkawinan kurang dari lima tahun.

2. Manfaat Praktis

(34)
(35)

14

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu ikatan serius yang melibatkan kesiapan dari berbagai pihak, baik diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sosialnya. Di negara Indonesia, perkawinan merupakan suatu ikatan yang didasari oleh landasan hukum yang kuat. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan pengertian tersebut, Bachard, Hindin, Thomson (dalam Elfida, 2009) mendefinisikan perkawinan sebagai penyatuan yang diakui secara hukum dan sosial, idealnya sepanjang hayat, yang membawa hak dan kewajiban seksual, ekonomi, dan sosial bagi pasangan.

(36)

Dari berbagai pengertian perkawinan tersebut, terlihat jelas bahwa perkawinan merupakan suatu usaha bersatunya dua pribadi dalam sebuah ikatan kuat yang menuntut adanya komitmen yang diteguhkan melalui landasan hukum yang berlaku dalam suatu lingkungan sosial yang bertujuan untuk memenuhi hak dan kewajiban pribadi maupun sosial.

2. Unsur-unsur Perkawinan

Berdasarkan pengertian perkawinan yang dikemukakan sebelumnya, dapat dirumuskan adanya beberapa unsur-unsur perkawinan antara lain: a. Landasan/Latar Belakang Terjadinya Suatu Perkawinan

Manusia memiliki berbagai kebutuhan, baik secara fisik maupun psikologis. Setiap kebutuhan selalu menuntut adanya pemenuhan. Menurut Walgito (2000) terdapat empat penggolongan kebutuhan yang ada pada manusia secara umum, yaitu:

1) Kebutuhan yang bersifat fisiologis

Kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan jasmani atau kebutuhan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk hidup, misalnya kebutuhan akan makan, minum, seksual dan udara segar.

2) Kebutuhan yang bersifat psikologis

(37)

3) Kebutuhan yang bersifat sosial

Kebutuhan yang berkaitan dengan interaksi sosial atau kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain, misalnya kebutuhan berteman, dan kebutuhan bersaing.

4) Kebutuhan yang bersifat religi

Kebutuhan untuk berhubungan dengan kekuatan yang ada di luar diri manusia atau kebutuhan untuk berhubungan dengan Sang Pencipta.

Dari berbagai macam kebutuhan tersebut, setiap manusia mengusahakan berbagai bentuk pemenuhan salah satu caranya adalah melalui perkawinan. Menurut Harley dan Calmers (dalam Eriany, 2004), terdapat sepuluh kebutuhan emosional mendasar yang dapat dipenuhi melalui perkawinan, yaitu: kebutuhan akan pujian, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan berkomunikasi, kebutuhan dukungan keluarga, kebutuhan tekad/kebersamaan keluarga, dukungan keuangan, kejujuran dan keterbukaan, penampilan fisik, kebersamaan, serta kebutuhan seksual.

(38)

kebutuhan psikologis berupa pemenuhan akan kasih sayang dan rasa aman juga dapat diperoleh melalui perkawinan. Dari segi sosial, kebutuhan berupa dukungan keluarga dan lingkungan sekitar yang mencakup pula pengakuan sosial ditengah masyarakat merupakan hal penting yang secara jelas ditunjukkan dengan adanya status perkawinan. Selain itu, kebutuhan yang bersifat religi juga menjadi salah satu alasan terjadinya perkawinan, yaitu melalui perkawinan seseorang dapat memenuhi kebutuhan akan tuntutan ajaran agamanya.

b. Keabsahan Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang merumuskan bahwa (1) perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Basyuni & Mattalatta, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut hukum yang berlaku dan kepercayaan masing-masing agama, sehingga pelaksanaannya dikaitkan dengan ajaran agama, serta keabsahan perkawinan dicatat sesuai peraturan perundang-undangan.

(39)

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2) Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(40)

6) Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

c. Kesiapan serta Komitmen Pria dan Wanita sebagai Suami Istri Dari pengertian perkawinan yang telah di uraikan di atas, dikatakan pula bahwa perkawinan merupakan suatu usaha bersatunya dua pribadi dalam sebuah ikatan kuat yang menuntut adanya komitmen antara kedua belah pihak, yakni pria dan wanita yang kemudian akan menjadi pasangan suami istri. Kesiapan serta komitmen dari kedua belah pihak sangat diperlukan mengingat adanya suatu tanggung jawab besar yang harus diemban sebagai suami istri.

Dalam hal ini, perkawinan memiliki unsur yang secara khusus menjadi sebuah patokan bagi setiap pasangan untuk mampu melewati berbagai tahapan kehidupan perkawinan, karena setiap tahapan kehidupan perkawinan tersebut menuntut kesiapan serta komitmen akan tanggung jawab peran serta tugas setiap pasangan, baik dari suami maupun istri. Menurut Duvall (1977) dalam kehidupan perkawinan, terdapat beberapa tugas yang dimiliki oleh setiap pasangan, yaitu:

1) Menentukan tempat tinggal untuk menjalani kehidupan bersama

2) Membangun kepuasan dalam dukungan terhadap pasangan

3) Membagi tanggung jawab

(41)

5) Merencanakan kehadiran anak

6) Memelihara dan mempertahankan motivasi dan moral pasangan

d. Tujuan Perkawinan

Berdasarkan undang-undang No.1 Tahun 1974 sebagaimana yang dikemukakan di pembahasan sebelumnya, tujuan umum dalam perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, dikemukakan pula tujuan perkawinan lain yang mengarah pada pemenuhan hak dan kewajiban baik secara seksual, ekonomi maupun sosial.

Secara khusus, perkawinan dilangsungkan sebagai usaha memenuhi kebutuhan akan kebahagiaan. Kebahagiaan dalam hal ini diperoleh dengan terpenuhinya berbagai kebutuhan dasar manusia, yakni antara lain kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial dan religius sebagaimana yang menjadi landasan terjadinya suatu perkawinan.

(42)

3. Tahapan Perkawinan

Dalam keluarga terdapat tahapan-tahapan yang berturut-turut serta menunjukkan adanya siklus kehidupan keluarga dengan peran serta tugasnya masing-masing. Siklus keluarga dapat menjadi cara untuk melihat bagaimana gambaran kehidupan sebuah keluarga tersebut. Tahapan perkembangan keluarga menurut Duvall (1977) dibagi menjadi delapan tahapan, yaitu:

a. Tahap 1: Keluarga baru menikah

Pada tahap ini, seorang suami dan istri memiliki tugas saling membangun kepuasan perkawinan. Selain itu, persiapan akan kehamilan dan berkomitmen sebagai orang tua serta membangun relasi dengan sanak saudara. Tahap pertama memiliki durasi sekitar dua tahun.

b. Tahap 2: Keluarga “child-bearing” (kelahiran anak pertama)

Pada tahap ini, seorang istri yang berperan sebagai ibu dan seorang suami yang berperan sebagai ayah, memiliki tugas mempersiapkan dan membesarkan anak yang masih bayi. Selain itu, memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik kebutuhan orang tua dan anak. Tahap kedua memiliki durasi sekitar dua setengah tahun.

c. Tahap 3: Keluarga dengan anak prasekolah

(43)

dituntut menerima keadaan bahwa dengan memiliki anak, orang tua harus mampu mengorbankan lebih banyak waktu, tenaga serta kehidupan pribadinya. Tahap ketiga ini memiliki durasi sekitar tiga setengah tahun.

d. Tahap 4: Keluarga dengan anak sekolah

Pada tahap ini, seorang istri yang berperan sebagai ibu dan seorang suami yang berperan sebagai ayah, memiliki tugas untuk berinteraksi dengan orang tua lain yang juga memiliki anak usia sekolah untuk menambah wawasan yang membangun. Selain itu, orang tua memiliki tanggung jawab membimbing anak dalam hal mendukung prestasi akademiknya. Tahap keempat memiliki durasi sekitar lima tahun.

e. Tahap 5: Keluarga dengan anak remaja

Pada tahap ini, seorang istri yang berperan sebagai ibu dan seorang suami yang berperan sebagai ayah, memiliki tugas menyeimbangkan antara kebebasan dengan tanggung jawab sebagai remaja yang matang dan memberikan perubahan yang positif terhadap perkembangan mereka. Bagi para orang tua, tahap ini juga membangun serta meningkatkan semangat orang tua yang sudah melewati masa membesarkan anak mereka dan membangun peran orang tua yang lebih matang. Tahap kelima memiliki durasi sekitar tujuh tahun.

f. Tahap 6: Keluarga mulai melepas anak sebagai dewasa

(44)

melepaskan anaknya melalui cara-cara yang sesuai agar anak lebih mandiri dimana mereka sudah mendapat pekerjaan hingga menemukan pasangan hidup dan menikah. Tahap keenam memiliki durasi sekitar delapan tahun.

g. Tahap 7: Keluarga usia pertengahan

Pada tahap ini, seorang istri yang berperan sebagai ibu serta nenek dan seorang suami yang berperan sebagai ayah serta kakek, memiliki tugas membangun kembali relasi perkawinan. Selain itu, mempererat ikatan persaudaraan dengan sanak keluarga yang lebih tua maupun yang lebih muda. Tahap ketujuh memiliki durasi sekitar kurang lebih lima belas tahun.

h. Tahap 8: Keluarga usia lanjut

Pada tahap ini, seorang istri yang sudah menjadi janda serta suami yang sudah menjadi duda, memiliki kemampuan untuk menerima kesendirian karena ditinggal pasangan hidupnya. Selain itu, mampu menerima masa-masa akhir kehidupan berkeluarga serta beradaptasi pada usia-usia senja dan masa-masa pensiun. Tahap kedelapan ini memiliki durasi sekitar sepuluh sampai lima belas tahun.

(45)

dimulai dengan membangun kepuasan perkawinan antara suami-istri, hingga mempersiapkan segala kebutuhan yang memadai baik kebutuhan rumah tangga dan tumbuh kembang anak.

Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran suami dan istri dalam sebuah perkawinan menuntun mereka pada tahap-tahap perkembangan sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Dalam sebuah perkawinan, tahap-tahap tersebut harus dapat dilalui demi mencapai tujuan-tujuan perkawinan, salah satunya keharmonisan dan kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga.

B. PERAN DAN KARAKTERISTIK ISTRI DALAM PERKAWINAN Salah satu unsur yang mendasari terjadinya sebuah perkawinan adalah adanya kebutuhan dari masing-masing pihak yang menuntut adanya pemenuhan. Pada dasarnya dalam sebuah perkawinan, pria dan wanita memiliki kebutuhan yang sama. Hanya saja yang membedakan adalah prioritas kebutuhan akan karakter masing-masing yang di anggap paling penting. Prioritas kebutuhan inilah yang kemudian membedakan peran serta karakteristik istri terhadap suami dalam sebuah perkawinan.

1. Peran Khas Istri dalam Perkawinan

(46)

tersebut sejalan dengan pendapat Branon (1996) yang mengatakan bahwa pembagian tugas dalam rumah tangga berlatar belakang peran gender tradisional, yakni pria bekerja diluar rumah untuk mendapat upah, serta perempuan bekerja di rumah dengan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.

Di sisi lain, pembagian peranan antara pria dengan wanita juga disesuaikan dengan nilai sosial budaya dalam masyarakat. Nilai sosial budaya tersebut juga amat dipengaruhi oleh karakter psikologis dari masing-masing pribadi. Berdasarkan hasil studi dari William dan Best (dalam Matsumoto & Juang, 2008), dapat disimpulkan juga bahwa secara umum pria dan wanita dalam hal karakter psikologis memiliki stereotipnya sendiri yang sudah melekat dalam pandangan masyarakat secara umum. Stereotip menurut hasil studi dari William dan Best tersebut menunjukkan bahwa wanita secara umum memiliki pribadi yang pasif, lemah, cenderung merawat, dan mudah beradaptasi, dengan kebutuhan psikologis seperti patuh, bergantung pada orang lain, membutuhkan dukungan, penolong, hubungan yang baik dengan orang lain, dan kecenderungan seksual terhadap lawan jenis. Dalam kehidupan pribadinya, wanita memiliki target yang tinggi, mudah bekerjasama, dan mudah merasa khawatir.

(47)

ekspresif yang terfokus pada pembangunan kepuasan emosional satu sama lain, tipe finansial yang terfokus pada usaha pengaturan perekonomian keluarga serta tipe pengasuhan anak yang memiliki fokus pada usaha membesarkan dan mendidik anak-anak. Dalam hal ini, baik suami maupun istri memiliki ketiga jenis peran tersebut, hanya saja seorang suami pertama-tama lebih terfokus pada tipe finansial kemudian tipe ekspresif dan terakhir pada tipe pengasuhan anak. Sementara itu seorang istri, pertama-tama lebih terfokus pada tipe pengasuhan anak. Dalam beberapa kultur budaya, seorang wanita tidak hanya terfokus pada tipe pengasuhan anak saja, namun juga pada ketiga tipe peran tersebut.

(48)

2. Karakteristik Khas Istri dalam Perkawinan

Menurut Regan dan Berscheid (dalam Matlin, 2012), urutan karakter yang di anggap paling penting bagi wanita dalam memilih pasangan hidupnya adalah sifat jujur atau karakter yang dapat dipercaya, kepekaan, keseimbangan kepribadian secara menyeluruh, kecerdasan, dan perhatian akan kebutuhan. Sementara itu, pria pertama-tama lebih memprioritaskan pemilihan pasangan berupa keseimbangan kepribadian secara menyeluruh, sifat jujur atau karakter yang dapat dipercaya, daya tarik fisik, kecerdasan, dan kemudian kesehatan. Oleh sebab itu, apa yang dibutuhkan wanita yang berbeda dari pria dalam pemilihan pasangan hidup adalah lebih pada kebutuhan akan karakter pasangan yang dapat memberikan rasa aman berupa sifat kejujuran, karakter yang dapat dipercaya, serta kepekaan sebagai bentuk perhatian terhadap pasangannya. Hal ini dikarenakan, kebutuhan wanita untuk dimengerti dan diperhatikan pada dasarnya lebih besar daripada pria. Hal ini sejalan dengan pendapat Duval dan Miller (1985) yang menyatakan bahwa bagi istri, kepuasan perkawinan berarti terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya intimasi.

(49)

menjadi perhatian serta dirasa penting bagi seseorang yang mulai menginjak masa dewasa, dimana pada masa tersebut seseorang sudah mulai memikirkan masa depan dengan pasangan lawan jenisnya secara lebih mendalam. Setiap orang, baik pria maupun wanita, memiliki kebutuhan masing-masing berkaitan dengan kriteria pasangan yang mereka inginkan. Sebagai contohnya, laki-laki cenderung mencari perempuan yang dalam berbagai hal tidak lebih dari dirinya, sebab laki-laki selalu merasa lebih daripada perempuan. Sementara itu bagi perempuan dewasa, intelektualitas dan latar belakang pendidikan dari pasangannya cenderung lebih diutamakan sebagai faktor penting, sebab perempuan lebih menginginkan laki-laki yang dapat menjamin kehidupannya di masa depan. Hal tersebut sangat berbeda dengan konsep yang dimiliki oleh remaja, terutama remaja perempuan dalam memutuskan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.

(50)

status mereka diantara teman sebayanya. Hal tersebut juga menimbulkan suatu kebanggaan di hadapan teman-teman sebaya dan semakin membuat mereka mudah diterima dalam kehidupan sosial teman-teman sebayanya. Di samping itu, berpacaran juga membuat mereka mendapatkan popularitas, sehingga mereka diakui eksistensinya sebagai seorang remaja.

Dengan demikian, kebutuhan akan kriteria pasangan menjadi sebuah karakteristik khas istri dalam perkawinan. Kebutuhan akan kriteria pasangan tersebut lebih mengarah pada tuntutan akan rasa aman secara emosional berupa sifat kejujuran, karakter yang dapat dipercaya, serta kepekaan sebagai bentuk perhatian terhadap pasangannya. Karateristik khas tersebut secara khusus dimiliki oleh istri usia dewasa awal, dan belum sepenuhnya disadari oleh istri usia remaja.

3. Perbedaan Karakteristik Istri Usia Remaja dan Istri Usia Dewasa Awal

(51)

kebutuhan emosional berupa jaminan akan rasa aman maupun jaminan akan terpenuhinya berbagai kebutuhan hidupnya di masa depan. Sementara itu, wanita usia remaja belum memiliki kesadaran akan hal tersebut.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hurlock (1967), bagi remaja, menjalin hubungan dengan lawan jenis atau berpacaran merupakan salah satu tuntutan sosial, sehingga apa yang menjadi harapan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya adalah pertama-tama mereka ingin menunjukkan status sosial serta ingin menegaskan eksistensi mereka di tengah kehidupan sosialnya. Dengan kata lain, mereka memutuskan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis atau berpacaran hanya karena mereka ingin diterima dalam kehidupan sosial dengan teman sebaya. Mereka beranggapan bahwa berpacaran atau menjalin hubungan dengan lawan jenis adalah sesuatu yang sudah sewajarnya mereka lakukan dan alami. Dalam hal ini, ada kekhawatiran bahwa ketika mereka tidak berpacaran maka mereka tidak diterima dalam lingkungan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi mereka untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis yaitu hanya sebatas keinginan untuk mendapat pengakuan. Hal ini juga menunjukkan bahwa para remaja cenderung menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa adanya alasan atau motivasi yang kuat.

(52)

dewasa, sehingga ia baru menyadari prioritas kebutuhannya yang berkaitan dengan kriteria karakter pasangan yang sesungguhnya. Kriteria karakter pasangan bagi wanita dewasa tersebut adalah seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni kebutuhan akan karakter pasangan yang dapat memberikan rasa aman berupa sifat kejujuran, karakter yang dapat dipercaya, serta kepekaan sebagai bentuk perhatian terhadap pasangannya. Pada umumnya hal tersebut menjadi konflik, sebab seorang remaja yang memutuskan untuk menikah belum memiliki kesadaran akan kebutuhan kriteria-kriteria tersebut.

(53)

C. EMOSI

1. Pengertian Emosi

Dalam kehidupan, manusia mengalami banyak pengalaman yang melibatkan emosi. Tanpa adanya emosi, kehidupan akan terasa datar. Dengan emosi, manusia dapat merasakan dan menilai suatu pengalaman yang dialaminya. Menurut Thompson (1994), segala sesuatu yang dikatakan memiliki proses emosional, biasanya menyiratkan sebuah urutan peristiwa yang melibatkan; pertama, situasi nyata maupun imajinasi; kedua, analisa terhadap suatu situasi tertentu; dan ketiga, suatu tanggapan emosional yang biasanya melibatkan pengalaman, perilaku dan psikologi. Dengan kata lain, proses emosional itu timbul ketika seseorang mengalami suatu peristiwa yang membuatnya mampu menganalisa situasi di sekitarnya dan menanggapi pengalaman perilaku serta keadaan psikologi yang dialami.

(54)

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu perasaan sekaligus respon seseorang terhadap suatu keadaan atau pengalaman yang dialami, yang kemudian menimbulkan suatu perubahan psikologis dan fisiologis secara bersamaan. Adanya emosi tersebut kemudian merangsang atau menggerakkan seseorang untuk berpikir, bertindak dan melakukan sesuatu sebagai respon atas suatu pengalaman yang dialaminya.

2. Tahapan Perkembangan Emosi

Setiap individu memiliki tahap perkembangan yang dimulai dari masa kanak-kanak hingga masa dewasa akhir. Setiap tahap perkembangan berdasarkan rentang usia tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing. Tahapan perkembangan mencakup banyak hal, antara lain perkembangan fisik, motorik, sosial dan psikologi yang mencakup perkembangan emosi.

Perkembangan emosi sendiri memiliki tahapan sesuai usia kronologis, antara lain usia kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam perkembangan emosi yang dibahas pada tema ini, ada dua tahapan usia yang lebih disoroti, yakni tahapan perkembangan emosi remaja dan dewasa.

a. Perkembangan Emosi Remaja

(55)

untuk belajar bagaimana menjadi orang dewasa. Menurut Santrock (2011), masa remaja dimulai pada usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 20 tahun. Dalam proses menuju dewasa, remaja mengalami banyak perubahan dalam dirinya yang juga turut mempengaruhi perkembangan emosinya. Menurut Hurlock (1953), pola emosi pada masa remaja memiliki banyak persamaan seperti pada masa kanak-kanak, yang membedakan adalah frekuensi emosi dengan perbedaan rangsangan, intensitas emosi, respon khas yang dimunculkan dan jenis rangsangan yang mempengaruhi remaja pada umumnya.

Remaja memiliki beragam bentuk emosi, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Menurut Hurlock (1967), bentuk-bentuk emosi yang umumnya muncul pada remaja antara lain ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kemarahan, kejengkelan, frustasi, kecemburuan, iri hati, rasa ingin tahu, kebahagiaan, dan kasih sayang.

1) Takut

Bagi seorang remaja, banyaknya perubahan baru yang memerlukan berbagai penyesuaian seringkali memunculkan suatu bentuk emosi berupa rasa takut. Rasa takut dapat menjadi ukuran kedewasaan seseorang. Semakin besar ketakutan menunjukkan semakin kurang dewasanya seseorang.

2) Khawatir

(56)

tersebut, remaja membutuhkan adanya dukungan untuk mengelola kekhawatirannya.

3) Cemas

Kecemasan adalah bentuk dari ketakutan berupa perasaan tidak nyaman dan gelisah yang muncul dari imajinasi. Kecemasan dapat dikatakan sebagai bentuk kekhawatiran yang berlebihan, sehingga membuat seorang remaja berusaha mengantisipasi masalah lebih dari yang sebenarnya dihadapi.

4) Marah

Masa remaja dapat digambarkan juga sebagai masa dimana seseorang ingin lebih mengenal dirinya secara lebih mendalam. Ketika menemukan keterbatasan dalam mengekspresikan dirinya, seorang remaja cenderung menunjukkan pemberontakannya dalam bentuk kemarahan. Marah adalah emosi yang paling sering muncul pada remaja, berupa sikap agresif terhadap suatu hal, situasi maupun relasi atau hubungan dengan orang lain.

5) Jengkel

(57)

6) Frustasi

Frustasi adalah bentuk kemarahan yang dihasilkan karena ketidakmampuan atau ketidakberhasilan seseorang untuk meraih atau mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Frustasi biasanya disertai dengan perasaan gagal. Ketidakberdayaan serta perasaan gagal tersebut menimbulkan adanya potensi kemarahan.

7) Kecemburuan

Kecemburuan terjadi ketika seseorang merasa posisinya dalam kelompok atau kasih sayang dari orang terdekat telah terancam. Terdapat dua elemen emosional yang muncul dalam perasaan cemburu, yaitu takut dan marah.

8) Iri

Remaja menyadari bahwa harta benda tidak hanya memberinya kebanggaan di mata orang lain, tetapi juga suatu bentuk penerimaan sosial. Keterbatasan dalam pemenuhan harta benda menimbulkan perasaan iri pada seorang remaja. Salah satu bentuk ekspresi dari perasaan iri adalah sikap penyangkalan diri, yakni dengan mengatakan bahwa mereka puas dengan apa yang mereka miliki dan bersikap seakan-akan mereka tidak membutuhkan apa yang sebenarnya mereka inginkan.

9) Rasa ingin tahu

(58)

bila dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak, kecuali jika remaja tersebut masuk ke lingkungan yang sama sekali baru.

10) Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah keadaan sejahtera dan kepuasan yang menyenangkan. Situasi yang menimbulkan perasaan bahagia pada masa remaja adalah kapasitas atau kemampuan yang dimilikinya yang dapat membuatnya menyesuaikan diri dengan baik.

11) Kasih sayang

Kasih sayang adalah keadaan emosional yang menyenangkan dengan intensitas yang relatif ringan terhadap orang, binatang, atau benda. Kasih sayang dibangun melalui hubungan yang lebih menyenangkan, tidak dibuat-buat dan tumbuh seiring waktu.

(59)

bagi remaja yang telah menikah, potensi kemarahan menjadi lebih besar akibat adanya pembatasan-pembatasan atas tanggung jawab baru yang terkadang belum saatnya untuk dijalani.

b. Perkembangan Emosi Dewasa

Masa dewasa merupakan kelanjutan dari masa remaja. Menurut Santrock (2011), masa dewasa awal dimulai pada usia 21 sampai dengan 34 tahun. Pada masa dewasa, seseorang diharapkan telah mampu menjalani peran-peran kedewasaan yang dilekatkan padanya seiring dengan usia kronologis yang semakin bertambah dan tingkat kematangan emosional yang telah dimilikinya.

(60)

Mappiare menegaskan bahwa masa dewasa awal merupakan periode usia munculnya berbagai persoalan, baik dalam hal pasangan hidup maupun dalam lingkup pekerjaan yang memicu ketegangan emosi. Semua hal tersebut tentunya berkaitan erat dengan bagaimana penyesuaian diri individu tersebut. Dalam menyesuaikan diri, seseorang perlu memiliki sifat atau keadaan yang menunjukkan kematangan emosi. Ciri kematangan menurut Anderson (dalam Mappiare, 1983), yaitu: 1) Berorientasi pada tugas

Seseorang yang telah memasuki masa dewasa lebih berorientasi pada tugas, serta tidak condong pada perasaan-perasaan diri sendiri atau kepentingan pribadi. Dalam hal ini, seseorang yang memasuki masa dewasa mulai lebih bersemangat untuk lebih banyak mengenal dunia melalui karir yang diperankannya. Hal tersebut membuat seseorang mengesampingkan ego dan perasaan-perasaan diri atau kepentingan-kepentingan pribadinya sendiri.

2) Memiliki tujuan jelas

Bagi individu yang matang, memiliki tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efisien. Dalam hal ini, seseorang mulai mampu mengenali prioritas hidupnya, memandang jauh kedepan dan merencanakan hidup secara lebih matang.

3) Mengendalikan perasaan

(61)

ditimbulkan dari suatu pekerjaan atau yang berhubungan dengan orang lain.

4) Objektif

Individu yang matang memiliki sikap objektif, yaitu berusaha mencapai keputusan dalam keadaan yang sesuai dengan kenyataan. Dalam hal ini, seseorang mulai berorientasi pada kenyataan yang ada, serta belajar untuk menerima segala sesuatu apa adanya.

5) Menerima kritik dan saran

Seseorang yang mulai memasuki masa dewasa dituntut untuk dapat menerima kritik dan saran. Hal tersebut tampak dari harapan-harapan yang realistis dan paham bahwa dirinya tidak selalu benar, sehingga terbuka terhadap kritik-kritik dan saran-saran orang lain demi peningkatan dirinya.

6) Bertanggungjawab terhadap usaha-usaha pribadi

Individu yang telah matang tentu memiliki tanggung jawab terhadap usaha-usaha yang dijalaninya demi suatu tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, seorang yang matang mau memberi kesempatan pada orang lain dalam membantu usaha-usahanya untuk mencapai tujuan.

7) Penyesuaian diri yang realistis

(62)

dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya dalam situasi-situasi baru.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang telah memasuki masa dewasa diharapkan sudah memenuhi kriteria kematangan emosi untuk mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan dalam menjalani peran serta tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Kematangan tersebut juga berkaitan erat dengan usaha pencapaian diri untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan prioritas yang ia miliki dalam hidupnya. Pencapaian diri dalam hal ini lebih mengarah pada usaha meraih kesuksesan dalam hidup sesuai dengan prioritas masing-masing.

(63)

memasuki masa dewasa awal dituntut untuk memiliki prioritas dalam mengelola serta mempertahankan rumah tangganya. Peran sebagai suami, istri maupun orang tua menuntut kematangan emosi yang memampukan mereka dapat menjalankan perannya masing-masing. Keduanya, baik istri maupun suami, dihadapkan pada ketakutan dan kekhawatiran yang sama, yakni ketidakmampuan menjalankan perannya tersebut.

D. REGULASI EMOSI ISTRI 1. Pengertian Regulasi Emosi

Setiap manusia memiliki emosi yang selalu menyertai setiap pengalaman hidupnya. Emosi tersebut dapat berupa emosi yang sifatnya positif maupun emosi yang sifatnya negatif. Menurut Gohm dan Clore (dalam Safaria & Saputra, 2009), emosi positif yang muncul terhadap suatu pengalaman memiliki efek yang melegakan, menenangkan dan menyenangkan, sementara emosi negatif yang muncul akibat suatu pengalaman akan memberikan efek ketidaknyamanan dan cenderung menyusahkan. Baik emosi positif maupun negatif, keduanya kemudian dapat sangat berpengaruh pada tindakan atau perilaku seseorang.

(64)

emosinya. Menurut Eisenberg dan Spinrad (dalam Pratisti, 2013), regulasi emosi didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengenali, menghindari, menghambat, mempertahankan atau mengelola kemunculan, bentuk, intensitas maupun masa berlangsungnya perasaan internal, emosi psikologis, proses perhatian, status motivasional dan perilaku yang berhubungan dengan emosi dalam rangka memenuhi afek biologis atau adaptasi sosial ataupun meraih tujuan individual. Singkatnya, segala cara serta upaya pengendalian emosi dan perilaku sebagai usaha pengungkapan dan penerimaan diri oleh seseorang dengan baik dapat diartikan sebagai regulasi emosi.

(65)

mengacu pada proses regulasi emosi menurut Gross (dalam Gross & Thompson, 2006), yakni:

a. Pemilihan situasi

(66)

memperbaiki penampilannya agar terlihat lebih menarik untuk mendapatkan kembali perhatian dari suami seperti yang dharapkannya. Dalam hal ini, seorang istri tersebut memilih untuk melakukan pendekatan, yakni dalam bentuk evaluasi diri guna melakukan perubahan diri yang lebih baik untuk mendapatkan perhatian lagi dari sang suami. Dengan mendapatkan kembali perhatian dari suaminya, sang istri tersebut dapat merasakan emosi positif di dalam dirinya. b. Modifikasi situasi

(67)

ditengah permasalahan yang sedang dialami. Dengan demikian, seseorang dapat membahasakan emosi dengan penyampaian yang lebih baik guna mencapai penyelesaian suatu masalah. Contohnya, ketika seorang istri sedang merasa sedih karena suatu perbuatan suaminya, ia mencoba mengatasi kesedihannya tersebut dengan mengajak teman atau saudara terdekatnya untuk menemaninya pergi berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan atau suatu tempat rekreasi yang dapat lebih menenangkan hati dan pikirannya. Dengan cara itu pula ia dapat mengungkapkan emosi yang dirasakannya kepada teman atau saudara terdekatnya tersebut dengan menggunakan ungkapan kata-kata untuk membantu membahasakan emosi tersebut menjadi sebuah ekspresi yang lebih baik dalam upaya penyelesaian suatu masalah.

c. Pengarahan perhatian

(68)

kesulitan yang dialami. Distraksi juga dapat melibatkan respon fisik, seperti tetap dapat merasa tenang ditengah ketegangan emosi yang sedang terjadi. Sementara itu, selain untuk meregulasi emosi, terdapat pula upaya konsentrasi guna mendapat penyelesaian masalah yang sedang dihadapinya. Konsentrasi merupakan suatu bentuk perenungan atau pengolahan secara mendalam dari dalam diri, berupa perhatian yang diarahkan pada apa yang dirasakan dan konsekuensi yang dialami. Contohnya, ketika seorang istri mengalami perselisihan dengan suaminya yang membuat ia merasa resah dan khawatir, ia dengan sungguh-sungguh memfokuskan pikirannya pada apa yang ia alami, apa yang ia rasakan serta pada berbagai hal yang mungkin akan ia alami karena adanya perselisihan tersebut. Dengan cara tersebut, ia dapat menurunkan kekuatan emosi negatif yang membuatnya lebih tenang dalam menghadapi permasalahannya, sehingga dapat lebih mudah menemukan jalan keluar yang terbaik.

d. Perubahan kognitif

(69)

memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi terhadap suatu kondisi guna mengubah pemaknaan terhadap suatu situasi. Kemampuan tersebut dapat berupa tindakan mengintrospeksi diri agar ia mampu mengalihkan pengaruh ketegangan emosi. Melalui cara tersebut, seseorang mampu melakukan perubahan cara berpikir secara lebih positif dalam menilai permasalahannya. Dengan demikian, ia pun dapat terbuka untuk menerima setiap permasalahan yang dialami maupun konsekuensi dan tuntutannya. Contohnya, dalam kehidupan perkawinan, seorang istri yang mengalami kesedihan karena permasalahan rumah tangganya, ia berusaha untuk tetap berpikir tenang, mencoba mengambil nilai positif dari permasalahannya tersebut dan kemudian dapat lebih mudah menerima dan mengikhlaskan apa yang ia alami beserta segala konsekuensinya. e. Modulasi respon

(70)

Dengan cara pengingkaran tersebut sang istri berusaha mengurangi emosi negatif yang dapat timbul dalam dirinya jika aib suaminya tersebut terbongkar atau diketahui oleh orang lain.

Cara lainnya dalam modulasi respon adalah dengan menggunakan suatu sarana yang dapat mengalihkan atau sekedar mengurangi emosi negatif dalam dirinya. Contohnya, dalam kehidupan perkawinan, seorang istri yang sedang mengalami kesedihan akibat permasalahannya dengan sang suami, ia memutuskan untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan permasalahannya sebagai sarana mengurangi emosi negatif yang dirasakannya.

(71)

2. Pengaruh Perkawinan pada Kemampuan Regulasi Emosi

Tidak diragukan lagi bahwa kehidupan perkawinan seringkali menjadi ujian emosi bagi setiap pasangan yang menikah. Perkawinan seringkali menjadi suatu hubungan yang memunculkan banyak emosi negatif, seperti halnya kemarahan, ketidaksepahaman, kekecewaan dan bahkan pengkhianatan (Bloch, Haase & Levenson, 2014). Dalam hal ini, semua bentuk emosi negatif yang muncul dalam suatu perkawinan disebabkan oleh adanya dinamika perkawinan yang kompleks. Oleh karena itu, ketika setiap pasangan suami istri menghadapi sesuatu yang menimbulkan efek emosi negatif, yang terkadang membuat mereka gagal dalam membangun kehidupan perkawinan, mereka membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kemunculan emosi negatif tersebut.

(72)

Dari teori yang dikemukakan diatas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan mengenai kemampuan regulasi emosi seseorang sebelum dan sesudah memasuki kehidupan perkawinan. Perbedaan tersebut didasari oleh berbagai faktor, salah satunya faktor lingkungan. Thompson (1994) memberikan gambaran mengenai pengaruh lingkungan dengan kemampuan regulasi emosi seseorang. Sejalan dengan Masters (dalam Thompson, 1994), regulasi emosi dapat berpegaruh dalam mengatur dan meningkatkan, sekaligus menghambat kemunculan emosi dari dalam diri seseorang, dimana keadaan dari suatu lingkungan tertentu juga mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, terutama untuk mengurangi kemunculan emosi negatif.

Dengan demikian, kemampuan regulasi emosi seseorang semakin diuji ketika seseorang juga semakin banyak terlibat dengan pengaruh lingkungan hidupnya sehari-hari, dan juga dipengaruhi pula oleh campur tangan orang-orang di sekitarnya. Dalam hal ini, Thompson (1994) menyatakan bahwa regulasi emosi tidak hanya meliputi strategi kontrol emosi yang diperoleh, tetapi juga berasal dari berbagai pengaruh dari luar, salah satunya dari kehidupan sosial serta peran atau campur tangan orang lain.

(73)

kehidupan sosial yang melibatkan campur tangan orang lain (suami, istri dan anggota keluarga yang lain) dalam kehidupan seseorang, sehingga kehidupan perkawinan juga menuntut kemampuan regulasi emosi yang lebih baik. Kemampuan regulasi emosi yang lebih baik dibutuhkan ketika seseorang memasuki kehidupan perkawinan, karena secara khusus seseorang menyandang status sosial yang baru, dimana seseorang tersebut tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri melainkan bersama dengan pasangan dan anggota keluarganya yang baru. Selain itu, peran dan tanggung jawab dalam kehidupan berumahtangga memunculkan berbagai macam tuntutan pemenuhan kebutuhan emosi yang lebih tinggi pula.

(74)

3. Hubungan Regulasi Emosi dengan Kebutuhan Emosi Istri

Sejalan dengan peran khasnya, seorang istri cenderung lebih berorientasi pada tugas dan tanggung jawab mengelola rumah tangga dan mendidik anak. Selain itu, berdasarkan karakteristik khas istri dalam perkawinan yang telah diuraikan sebelumnya, pemenuhan kebutuhan emosi seorang istri, lebih terdapat pada kebutuhan berupa jaminan akan rasa aman.

Kebutuhan akan rasa aman secara emosional tersebut juga sesuai dengan pendapat Duvall dan Miller (1985) yang menyatakan bahwa bagi istri, kepuasan perkawinan berarti terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya intimasi. Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan emosional istri berupa jaminan akan rasa aman dapat pula dicapai ketika ia mampu mengatasi berbagai ketakutan dan kekhawatiran dalam menjalankan peran khasnya.

Kebutuhan emosi istri sangat berhubungan erat dengan bagaimana ia mampu meregulasi emosinya. Kemampuan regulasi emosi dapat digunakan sebagai salah satu cara istri mengelola ekspresi emosi yang timbul akibat adanya ketegangan emosi yang terutama muncul dalam penyesuaian perkawinan. Dalam hal ini, kajian regulasi emosi antara istri usia remaja dengan istri usia dewasa awal juga perlu dibedakan.

(75)

pembatasan keinginan remaja untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya, dapat memicu ekspresi emosi berupa kemarahan. Hal ini diakibatkan karena seorang remaja yang menikah dan menerima tanggung jawab hidup berumah tangga, akan menemukan banyak hal yang menjadi penghalang serta pembatas untuk mengekspresikan diri.

Sebagaimana tujuan regulasi emosi yang memiliki kaitan erat dengan upaya pengekspresian emosi, maka dalam hal ini regulasi emosi amat diperlukan pula bagi seorang remaja yang telah menikah untuk mampu mengelola dominasi ekspresi emosi yang berupa kemarahan dalam penyesuaian perkawinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan regulasi emosi yang berupa ekspresi ketegangan emosi sangat mempengaruhi penyesuaian perkawinan pada istri usia remaja.

(76)

E. DINAMIKA PERKAWINAN KURANG DARI LIMA TAHUN

Tahap perkawinan merupakan fase dimana dua orang mulai berkomitmen untuk hidup bersama sebagai suami dan istri dan kemudian keduanya akan menjalankan berbagai perannya, salah satunya sebagai orang tua bagi anak-anak mereka. Peran suami dan istri dalam sebuah perkawinan menuntun mereka pada tahap-tahap perkembangan sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Dalam sebuah perkawinan, tahap-tahap tersebut harus dapat dilalui demi mencapai tujuan-tujuan perkawinan salah satunya keharmonisan dan kebahagiaan dalam kehidupan berumahtangga.

Setiap tahapan perkembangan perkawinan memiliki dinamika dan karakteristiknya masing-masing. Salah satu tahapan yang paling krusial dalam perkawinan adalah masa-masa awal perkawinan yang berkisar antara satu hingga lima tahun pertama. Usia perkawinan kurang dari lima tahun juga dapat disebut sebagai usia perkawinan yang paling menentukan kehidupan perkawinan selanjutnya, sebab pada masa-masa tersebut pasangan mulai banyak belajar memahami maupun menerapkan kebijaksanaan dan arah keluarga. Oleh karenanya, usia perkawinan kurang dari lima tahun memiliki banyak dinamika yang kompleks serta dapat sangat menentukan kehidupan perkawinan selanjutnya.

1. Karakteristik Perkawinan Kurang dari Lima Tahun

(77)

Clinebell (2005) yang menyatakan bahwa masa lima tahun pertama merupakan masa yang paling banyak problem keluarga.

Dalam tahap perkawinan kurang dari lima tahun setiap pasangan suami-istri dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan banyak hal, antara lain penyesuaian terhadap pasangan maupun terhadap tanggung jawab dan peran baru. Selain itu, periode ini juga merupakan masa perencanaan dan penerapan kebijakan-kebijakan untuk lebih dapat mengatur keperluan rumah tangga maupun pengasuhan dan masa depan anak. Sebagai orang tua, seorang istri yang berperan sebagai ibu, dituntut untuk banyak berkorban, antara lain berkorban dalam hal waktu, tenaga dan kebutuhan pribadinya karena dituntut untuk dapat memperhatikan kebutuhan dan pekerjaan rumah tangga serta mengurus anak.

(78)

Tahap kedua dalam perkawinan menurut Duvall (1977) juga masih termasuk dalam masa perkawinan kurang dari lima tahun. Tahap ini disebut sebagai tahap kelahiran anak dimana pasangan mulai mempersiapkan serta menyambut kehadiran anak pertama yang secara bersamaan menandakan perubahan status seseorang menjadi orang tua, yakni menjadi seorang ayah atau menjadi seorang ibu. Pada tahap ini, seorang istri yang berperan sebagai ibu dan seorang suami yang berperan sebagai ayah memiliki tugas mempersiapkan dan membesarkan anak yang masih bayi. Selain itu, dinamika perkawinan pada tahap ini diwarnai dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik kebutuhan orang tua dan anak.

Setelah tahap kedua, menurut Duvall (1977) tahap ketiga yang merupakan tahap keluarga dengan anak prasekolah juga dapat di masukan dalam dinamika perkawinan kurang dari lima tahun, terutama bagi pasangan yang memiliki anak segera setelah menikah. Pada tahap ini, seorang istri yang berperan sebagai ibu dan seorang suami yang berperan sebagai ayah memiliki tugas beradaptasi terhadap berbagai kebutuhan yang sifatnya mendesak dan menstimulasi tumbuh kembang anak prasekolah.

2. Konflik Perkawinan Kurang dari Lima Tahun

(79)

hubungan relasional untuk saling melengkapi serta peran mereka yang baru dalam kehidupan berumah tangga juga menjadi salah satu faktor yang sangat mendorong munculnya konflik pada masa-masa awal perkawinan.

Bagi istri usia remaja, ketegangan emosi berupa kemarahan ditengah berbagai konflik yang timbul pada masa perkawinan kurang dari lima tahun, memunculkan ketegangan emosi berupa kemarahan sehingga membutuhkan kemampuan regulasi emosi yang baik. Disamping ketegangan emosi berupa kemarahan, remaja pun belum mampu menentukan kriteria pasangan yang dibutuhkannya seperti yang telah diulas pada karakteristik khas istri dalam perkawinan. Hal ini dikarenakan, remaja cenderung memilih pasangan demi eksistensi dirinya dalam lingkungan sosialnya, dan belum kuatnya motivasi serta alasan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Menurut Hurlock (1967), remaja yang menjalin hubungan dengan lawan jenis atau berpacaran merupakan salah satu tuntutan sosial, sehingga apa yang menjadi harapan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya adalah pertama-tama mereka ingin menunjukkan status sosial serta ingin menegaskan eksistensi mereka ditengah kehidupan sosialnya.

Gambar

Tabel 4.15  : Hasil Perhitungan Skor Empiris dan Skor Teoritis Tiap
Tabel 1. Blue Print Skala Regulasi Emosi Uji Coba
Tabel 2. Blue Print Item yang Lolos
Tabel 3. Blue Print Skala Regulasi Emosi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah satu orang, dengan kriteria: saat ini berusia dewasa awal, telah memiliki anak, pada saat menikah berusia remaja dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetauhi perbedaan kepuasan pernikahan pada istri yang menikah di usia remaja dan dewasa di kota Salatiga. Variabel

pernikahan pada istri yang menikah di usia remaja dan dewasa di kota Salatiga.. Variabel kepuasan diukur dengan menggunakan

Partisipan penelitian merupakan wanita yang menikah karena hamil sebelum menikah dan ketika menikah partisipan berada dalam masa remaja awal yaitu 14 tahun hingga

Bila kita berbicara tentang siswa SMP yang kita bicarakan adalah seseorang yag sedang berada pada masa peralihan menuju masa remaja awal (baligh) yaitu antara usia 13-16 tahun. 38

Selain itu, skripsi yang berjudul &#34;Studi perbedaan spontaneous shopping pada remaja dan dewasa awal&#34; ini dapat terselesaikan dengan baik dikarenakan adanya

Kebingungan remaja/dewasa awal dari keluarga beda agama dalam memutuskan identitas agamanya, terjadi karena remaja/dewasa awal menghadapi 2 agama yang berbeda. Dalam hal ini, proses

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dewasa awal yang menikah dan belum menikah berada pada kategorisasi tinggi, artinya individu yang memiliki subjective