4 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Crude Palm Oil (CPO)
Minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu andalan produk pertanian Indonesia baik sebagai bahan baku minyak goreng maupun komoditas ekspor. Untuk mencapai keuntungan maksimum maka perusahaan penghasil CPO perlu berproduksi secara efisien. Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia dengan produksi mencapai 30,9 juta ton pada tahun 2015, nilai ini mengalami peningkatan sebesar 5,47% dibandingkan tahun 2014 (BPS,2015). Apabila dilihat dari kontribusinya, 56,33% berasal dari perkebunan swasta, 36,56% dari perkebunan rakyat dan 7,11% berasal dari perkebunan milik pemerintah (BPS, 2015).
Tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan oleh ketiga jenis perkebunan tersebut akan diolah oleh pabrik kelapa sawit (PKS) untuk dijadikan CPO atau produk lainnya. Pabrik kelapa sawit di Indonesia umumnya dimiliki oleh pemerintah dan swasta baik swasta dalam negeri maupun asing. Seiring dengan bertambahnya luas lahan penanaman sawit di Indonesia, jumlah pabrik kelapa sawit (PKS) juga mengalami peningkatan baik dari segi jumlah maupun kapasitas. Pada tahun 2012 terdapat 695 unit PKS dengan kapasitas 37.213 ton TBS per jam dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 713 unit dengan kapasitas sebesar 34.628 ton TBS per jam atau terjadi peningkatan jumlah PKS sebesar 2,59%. Namun, dari sisi kapasitas menurun sebesar 6,95 (Central Data Mediatama Indonesia, 2014). Di satu sisi, terjadi peningkatan produksi CPO sebesar 6,79% pada periode 2012–2013 (BPS, 2015).
Peningkatan produksi CPO dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan penambahan PKS dan meningkatkan efisiensi PKS itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi pabrik kelapa sawit (PKS) di
5
Indonesia serta membandingkan tingkat efisiensi PKS berdasarkan kepemilikannya, lokasi pabrik serta orientasi pemasaran PKS tersebut apakah dijual pada pasar domestik atau diekspor Tidak banyak yang telah melakukan penelitian efisiensi pabrik kelapa sawit, antara lain yang pernah melakukan adalah Azman (2014) untuk kasus pabrik kelapa sawit di Malaysia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat efisiensi pabrik kelapa sawit serta membuktikan apakah pabrik yang berskala besar lebih efisien dibandingkan dengan yang berskala kecil dan membandingkan tingkat efisiensi pabrik yang terintegrasi dan dengan yang tidak terintegrasi. Metode yang digunakan adalah analisis stochastic frontier. Hasil yang didapat adalah bahwa pabrik kelapa sawit di Malaysia telah beroperasi secara efisien serta pabrik yang berskala besar lebih efisien dibandingkan dengan yang berskala kecil.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pabrik yang terintegrasi juga lebih efisien dibandingkan dengan yang tidak terintegrasi. Penelitian mengenai efisiensi pada yang berkaitan dengan kelapa sawit lebih banyak dilakukan pada satu pabrik kelapa sawit seperti yang dilakukan oleh Utami (2013) dan Azzuhdan et al. (2014) atau di level usahatani (Mohamad et al. 2013).
mengukur efisiensi kebun dengan menggunakan DEA menggunakan data 10 tahun dengan membandingkan tiga kebun. Input yang digunakan terdiri dari lahan, tenaga kerja, pupuk, mesin dan modal, sedangkan output yang digunakan adalah produksi tandan buah segar (TBS). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tiap tahun tingkat efisiensi kebun bervariasi dan secara keseluruhan dua dari tiga kebun telah berproduksi secara efisien. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini analisis efisiensi yang dilakukan adalah dengan membandingkan antar pabrik kelapa sawit di Indonesia dengan menggunakan DEA. Sebaliknya, pada penelitian terdahulu umumnya dilakukan pada satu perusahaan atau di level usahatani (Mohamad et al. 2013).
Peningkatan produksi CPO dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan penambahan PKS dan meningkatkan efisiensi PKS itu sendiri. Tulisan ini
6
bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia serta membandingkan tingkat efisiensi PKS berdasarkan kepemilikannya, lokasi pabrik serta orientasi pemasaran PKS tersebut apakah dijual pada pasar domestik atau diekspor. Tidak banyak yang telah melakukan penelitian efisiensi pabrik kelapa sawit, antara lain yang pernah melakukan adalah Azman (2014) untuk kasus pabrik kelapa sawit di Malaysia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat efisiensi pabrik kelapa sawit serta membuktikan apakah pabrik yang berskala besar lebih efisien dibandingkan dengan yang berskala kecil dan membandingkan tingkat efisiensi pabrik yang terintegrasi dan dengan yang tidak terintegrasi. Metode yang digunakan adalah analisis stochastic frontier. Hasil yang didapat adalah bahwa pabrik kelapa sawit di Malaysia telah beroperasi secara efisien serta pabrik yang berskala besar lebih efisien dibandingkan dengan yang berskala kecil.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pabrik yang terintegrasi juga lebih efisien dibandingkan dengan yang tidak terintegrasi.
2.2 Mutu Crude Palm Oil (CPO)
Minyak sawit atau crude palm oil memegang peranan penting dalam perdagangan dunia. Oleh karena itu, syarat mutu harus menjadi perhatian utama dalam perdagangan dunia. Standar mutu merupakan hal yang penting untuk Crude Oil Tank Oil Guitter Sand Trap Tank Vertical Clarifier Tank Vacuum Drayer Oil Purifier Storage Tank Sludge Tank Sludge Separator Vibrating Screen/ Vibro Double Deck Buffer Tank Vibro Single Deck Fat-Fit Oil Tank Preclaim/Slude Drain Tank Limbah menentukan minyak yang bermutu.15 Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti.
Pertama, benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain.
Mutu minyak kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat- sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. 16 Dalam hal ini syarat mutunya meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas, logam besi, kadar zat pengotor, logam tembaga, dan ukuran pemucatan.
7
Dalam dunia perdagangan, mutu minyak sawit dalam arti penting.
Berdasarkan peranan dan kegunaan minyak sawit tersebut maka mutu dan kualitas harus diperhatikan sebab sangat menentukan harga dan nilai komoditinya. Kebutuhan mutu minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan nonpangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih diperhatikan. Analisa mutu produksi dilakukan setiap hari untuk mengetahui kualitas produk yang dihasilkan dan dikirim sesuai norma (standar yang diharapkan), sehingga dapat diketahui seberapa kehandalan pabrik dalam mendapatkan minyak dan inti sesuai standar dan dapat diterima pasar.
2.3 Asam Lemak Bebas (ALB)
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang sudah lepas dari trigliserida yang dikandung pada minyak. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya factor-faktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk (Ketaren, 1986).
CPO mengandung diasilgliserol (DAG) dan asam lemak bebas (ALB) dengan kadar yang tinggi. Proses kontak beberapa jenis adsorben (dengan pemisahan kembali adsorben pada akhir reaksi) ke dalam CPO dapat mereduksi kedua senyawa tersebut, diantaranya lempung teraktifasi seperti zeolit dan bleaching earth (Strijowski dkk., 2011) dan material sintetik berbahan dasar silikat (Clowutimon dkk., 2011 ; Ermacora dan Hrncirik, 2014)
Penelitian (Clowutimon dkk. 2011) menunjukkan bahwa magnesium silikat sintetik dari abu sekam padi dapat mengadsorp ALB dalam CPO hingga 130 – 140 mg/g adsorben pada suhu 50 C selama 2 jam. (Strijowski dkk. 2011) menambahkan beberapa adsorben ke dalam minyak sawit hasil pemurnian dan menunjukkan bahwa magnesium silikat (kadar 70) dan zeolit
8
terkalsinasi dapat menurunkan DAG hingga 25 pada suhu 80 C, tetapi adsorben lain tidak bisa mereduksi secara signifikan. Sedangkan (Ermacora dan Hrncirik. 2014) dapat menurunkan kadar DAG pada CPO yang dilarutkan dalam pelarut organik hingga 99 dengan kolom silikat gel. Data Global Specialty Ingredient (materi promosi komersial) juga menunjukkan magnesium silikat sintetik (Magnesol R60) dapat menurunkan asam lemak bebas hingga 80 (dari 0,09 menjadi 0,012) dan menurunkan DAG 20
(dari 4 menjadi 2,8) pada fraksi olein minyak goreng sawit. Reduksi DAG hasil penelitian–penelitian tersebut umumnya dilakukan terhadap minyak sawit hasil pemurnian dengan kandungan ALB yang rendah, padahal umumnya CPO mengandung ALB yang tinggi ( 3 ).
2.4 Nilai DOBI Pada CPO
DOBI (Deterioration Of Blachability Index) merupakan salah satu parameter untuk menentukan kualitas minyak sawit. DOBI didapat pada rasio perbandingan absorbansi pada range visibel dan absorbansi pada range UV.
DOBI adalah index derajat kepucatan minyak dengan penurunan daya pemucatan akibat rusaknya karotenoid yang mengalami oksidasi dalam buah.
Rusaknya karotenoid disebabkan oleh suhu tinggi yang berasal dari proses oksidasi yang terjadi sejak panen (Pahan, 2008).
Kerusakan karotenoid ini menyebabkan dekomposisi karotenoid sehingga terjadi penurunan intensitas warna karoten menghasilkan produksi oksidasi sekunder berupa senyawa yang berwarna kecoklat-coklatan (Eskin, 1979).
Hal ini membuat nilai DOBI menjadi rendah. Rendahnya nilai DOBI dapat menyulitkan minyak untuk dimurnikan (Siew, 2000). Maka dari itu, sejumlah industri minyak sawit menghindari rendahnya nilai DOBI pada produk minyak terutama pada minyak sawit kasar (CPO)
Memasukkan DOBI dalam analisa memberikan sebuah indikasi baik bagi proses pengolahan CPO dari estate ke akhir pengolahan (mill) sampai ke refineri (kilang minyak).
9
DOBI adalah perbandingan numerik dari spectrophotometric penyerapan 446 nm dengan 269 nm. Metode ini pertama kali dilakukan oleh Dr. P.A.T.
Swoboda dari (PORIM) Palm Oil Research Institute of Malaysia (Sekarang menjadi Malaysian Palm Oil Board). Metodenya adalah melarutkan palm oil ke dalam hexane dan kemudian ditentukan penyerapannya dengan menggunakan spectrophotometer.
Salah satu penyebab rendahnya angka DOBI adalah adanya perbedaan persyaratan mutu antara SNI CPO dengan persyaratan mutu yang dituntut oleh konsumen. Konsumen mensyaratkan angka DOBI minimal sementara persyaratan mutu SNI menurut angka asam lemak bebas max 5%.
Adapun penyebab DOBI (Deterioration Of Bleachability Index) yang rendah antara lain adalah sebagai berikut :
1. Tingginya persentase buah berwarna hitam (kurang matang) dan terlalu matang.
2. Tertundanya proses pengolahan, terutama pada saat musim hujan dan efeknya tertundanya pengangkutan buah sawit ke pabrik, sehingga mengakibatkan restan di kebun.
3. Kontaminasi CPO dengan kondensate rebusan.
4. Kontaminasi CPO dengan jeleknya oksidasi di oil sludge.
5. Waktu perebusan buah yang panjang dan suhu tinggi.
6. Pemanasan CPO lebih ( > 55 oC ) di storage tank dengan waktu yang panjang.
Sebab – sebab lain yang berhubungan dengan kasus diatas adalah tertundanya proses sementara akibat machinery breakdown yang berpengaruh tertundanya proses pengolahan (buah restan), Tingginya temperatur crude oil pada Station Klarifikasi.
1. Tandan buah warna hitam sebelah kiri mempunyai minyak dengan DOBI yang sangat rendah.
10
2. Tandan buah ditengah mempunyai minyak dengan DOBI yang sangat tinggi.
3. Minyak yang diambil dari buah hitam mempunyai DOBI < 1,5, sedangkan tandan buah dengan kematangan yang tinggi mempunyai DOBI > 3,5.
Menurut (Siew. 2000), semakin tinggi nilai DOBI pada CPO, maka harga jual CPO di pasaran domestik dan internasional dapat diterima dengan nilai yang tinggi juga. Maka dari itu, nilai DOBI harus dikontrol dengan baik.
2.5 Magnesium Oksida (MgO)
MgO merupakan bahan keramik yang potensial. MgO merupakan bahan keramik yang mempunyai titik lebur yang tinggi, sehingga bersifat tahan api, permukaan yang kuat, tahan air, kedap suara, tahan terhadap serangan jamur, lumut dan pembusukan. MgO biasanya digunakan pada pembuatan material sebagai dinding tahan panas pada furnace, isolator listrik, pembungkus makanan, kosmetik dan pembuatan obat pada bidang farmasi (Klabunde, 2001).
Sintesis nanopartikel MgO, dapat dilakukan dengan metode presipitasi, sol- gel, dan hidrotermal. Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode hidrotermal dapat mengurangi aglomerasi partikel dan menghasilkan kristal dengan ukuran relatif seragam dan homogen pada temperatur rendah (di bawah 150 C). Metode ini, sayangnya, mahal dan stoikoimetri larutan sulit untuk dikontrol (Witjaksono, 2011). Metode presipitasi memungkinkan kontrol atas ukuran partikel sehingga waktu yang dibutuhkan relatif singkat dan dapat dilakukan pada suhu rendah.
2.6 Bentonit
Nama bentonit pertama kali digunakan untuk menyebut lempung yang bersifat plastis dan sangat koloida yang tersusun sebagian besar dari smektit (montmorrilonit) sebanyak 70% atau lebih yang ditemukan pertama kali di
11
daerah Ford Benton dalam lapisan Cretaceous di Wyoming Amerika Serikat (Reddy, etal., 2005). Bentonit termasuk jenis lempung dengan materi koloid yang kuat dan akan berubah menjadi substansi gelatin ketika bereaksi dengan air. Lempung ini akan mengembang hingga beberapa kali volume asalnya jika di tempatkan dalam air dan membentuk gel tiksotropik bila sedikit saja ditambahkan pada air. Warna bentonit bervariasi sesuai dengan kondisi yaitu kuning keputih-putihan, kehitaman, hijau kekuningan hingga coklat (wigati, 1998). Bentuknya pun bervariasi ada yang berbentuk serbuk, bongkahan atau menjadi gel atau suspense ketika bercampur dengan air.
Nama montmorrilonit sendiri adalah sejenis nama mineral yang banyak ditemukan di daerah montmorrilonit, perancis oleh Damaour pada tahun 1847. Kandungan lain dalam bentonit merupakan pengotor dari beberapa jenis mineral seperti kwarsa, ilit, kalsit, mika dan klorit. Struktur montmorillonit terdiri dari 3 layer yang terdiri dari 1 lapisan alumina (AIO6) berbentuk octahedral pada bagian tengah diapit pleh 2 buah lapisan silica (sio4) berbentuk tetrahedral. Diantara lapisan octahedral dan tetrahedral terdapat kation monovalent maupun bivalent, seperti Na+, Ca2+ dan Mg2+
dan memiliki jarak (d-spacing) sekitar 1,2 – 1,5 mm (Syuhada, 2009).
Bentonit banyak digunakan untuk berbagai aplikasi dalam proses katalis, proses adsorpsi maupun sebagai resin penukar ion dalam berbagai industri.
Bentonit banyak dijadikan alternatif utama dalam proses adsorpsi karena monmorrilonit didalamnya memiliki ukuran ruang antar lapis yang mempunyai kapasitas besar dalam absorpsi sehingga sangat efektif sebagai absorben.
2.6.1 Proses Terbentuknya Bentonit
Secara umum terbentuknya endapan bentonit ada empat macam, yaitu : 1. Endapan Hasil Pelapukan. Bentonit ini terbentuk akibat proses pelapukan dari mineral-mineral penyusun batuan yang dipengaruhi
12
oleh iklim, jenis batuan, relief muka bumi, tumbuh tumbuhan yang berada di atas batuan tersebut. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya jenis mineral lempung dalam proses ini adalah komposisi mineral batuan, komposisi kimia dan daya larut air tanah.
Pembentukan mineral lempung oleh pelapukan adalah akibat reaksi ion-ion hidrogen yang terdapat dalam air tanah dengan mineral- mineral silikat. H⁺ umumnya berasal dari asam karbonat yang terbentuk sebagai akibat pembusukan oleh bakteri terhadap zat organik dalam tanah. Pada proses pelapukan bila laju aliran air lebih cepat dibanding dengan pelarutan yang terjadi, biasanya di daerah curam maka akan terbentuk gibsit [Al(OH)3)] dari felspar. Jika laju aliran makin rendah biasanya di daerah landai, maka dari felspar tersebut akan terbentuk kaolinit [Al2SiO2(OH)4]. Sedangkan bila laju aliran terhenti biasanya di dalam cekungan, suatu reaksi yang lambat akan terjadi antara kation dengan Al(OH)3 dan silika membentuk montmorillonit [Al₂O₃.₄SiO₂.H₂O].
2. Endapan Proses Hidrotermal. Proses ini berlangsung karena adanya injeksi larutan hidrotermal yang bersifat asam merembes melalui celah-celah rekahan pada batuan yang dilaluinya, sehingga mengakibatkan terjadinya reaksi antar larutan tersebut dengan bantuan itu. Pada saat reaksi berlangsung, komposisi larutan hidrotermal tersebut menjadi berubah. Unsur unsur alkali akan dibawa ke arah luar, sehingga selama proses itu berlangsung akan terjadi daerah atau zona yang berkembang dari asam ke basa dan pada umumnya berbentuk melingkar sepanjang rekahan dimana larutan itu menginjeksinya. Terjadinya montmorillonit sebagai mineral penyusun utama bentonit, terjadi karena adanya ubahan dari felspar plagioklas, mineral mika dan feromagnesian. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya magnesium (Mg) dan kalium (K) yang
13
berasal dari mika atau felspar. Peristiwa ini terjadi pada alterasi hidrotermal tingkat rendah.
3. Endapan Akibat Transformasi atau devitrivikasi. Pada proses ini bentonit dapat terbentuk dari hasil mekanisme pengendapan debu volkanik yang kaya akan gelas mengalami devitrifikasi (perubahan gelas volkanik menjadi mineral lempung). Setelah diendapkan pada lingkungan danau atau laut.
4. Endapan Sedimen. Bentonit dapat terbentuk tidak saja dari tufa melainkan juga dari endapan sedimentasi dalam suasana basa (alkali) yang sangat silikan (authigenic neoformation) atau yang biasa disebut endapan kimia. Mineral-mineral yang terbentuk secara sedimen yang tidak berasosiasi dengan tufa adalah attapulgit, seopilit dan montmorillonit.
2.6.2 Jenis-jenis Bentonit
Berdasarkan jenisnya, bentonit dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Na-bentonit – Swelling bentonit (Tipe Wyoming)
Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih atau krem, pada keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap.
Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspense koloidal mempunyai pH: 8,5-9,8, tidak dapat diaktifkan, posisi pertukaran diduduki oleh ion-ion sodium (Na⁺). kandungan Na₂O dalam natrium bentonit umumnya lebih besar dari 2%. Karena sifat-sifat tersebut maka mineral ini sering dipergunakan untuk lumpur pemboran, penyumbat kebocoran bendungan pada teknik sipil, bahan pencampur pembuatan cat, bahan baku farmasi, dan perekat pasir cetak pada industri pengecoran logam.
14
2. Ca-bentonit – non swelling bentonit.
Tipe bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi di dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik. Perbandingan kandungan Na dan Ca rendah, suspensi koloidal memiliki pH 4-7.
Posisi pertukaran ion lebih banyak diduduki oleh ion-ion kalsium dan magnesium. Dalam keadaan kering bersifat rapid slaking, berwarna abuabu, biru, kuning, merah dan coklat. Penggunaan bentonit dalam proses pemurnian minyak goreng perlu aktivasi terlebih dahulu. Bentonit jenis ini sangat baik digunakan sebagai lempung pemucat warna pada minyak kelapa. Pada keadaan awal lempung jenis ini memiliki daya serap warna yang rendah. Daya serap dapat ditingkatkan dengan diaktifasi menggunakan asam mineral.
2.6.3 Senyawa dalam Bentonit
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bentonit
Senyawa Na-Bentonit (%) Ca-Bentonit (%)
SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO Na2O K2O H2O
61,3-61,4 19,8 3,9 0,6 1,3 2,2 0,4 7,2
62,12 17,33 5,30 3,68 3,30 0,50 0,55 7,22
2.6.4 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Bentonit
Sifat – sifat fisika bentonit antara lain berkilap lilin, umumnya lunak dan plastis. berwarna pucat dengan kenampakan putih, hijau muda,
15
kelabu hingga merah muda dalam keaadaan segar dan menjadi krem bila lapuk yang kemudian berubah menjadi kuning, merah coklat hingga hitam. Bila diraba terasa licin seperti sabun. Bila dimasukkan ke dalam air, akan menyerap air, sedikit atau banyak, bila kena air hujan bentonit dapat berubah menjadi bubur dan bila kering akan menimbulkan rekahan yang nyata. Sifat fisik lainnya berupa massa jenis 2,2-2,8 g/L; indeks bias 1,547-1,557; dan titik lebur 1330-1430C.
Sifat kimia bentonit mempunyai PH 6 atau bersifat asam. Sifat asam ini diduga berasal dari proton yang ada dalam ruang interlamellar yang berfungsi sebagai ion penyeimbang. Proton ini hanya akan lepas apabila ada kation lain yang menukarnya, misalnya NaCl yang bersifat basa dan NaCl digunakan untuk penentuan power of hydrogen (PH)
2.6.5 Kegunaan Bentonit
Endapan bentonit Indonesia saat ini masih cukup tinggi (380 juta ton) dan mempunyai prospek yang bagus baik domestik maupun ekspor.
Karena jenis endapan yang dimiliki kebanyakan dari jenis bleaching clay (untuk penjernihan minyak kelapa sawit), maka bentonit banyak digunakan hanya sebagai adsorben dan nilai jual yang diperoleh juga hanya sedikit. Pemanfaatan lainnya dari bentonit adalah sebagai lumpur bor, pengecoran logam, dan untuk pembuatan pellet konsentrat besi dan logam lainnya. Diharapkan dengan adanya pengolahan bentonit menjadi montmorillonit nilai jualnya akan bertambah.