• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG

(Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah)

Oleh:

Turasih I34070004

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

ABSTRACT

TURASIH. Livelihood System of Potato Farmers Household in Dieng Plateu (Case in Village of Karangtengah, District Batur, Banjarnegara Regency, Central Java)

(Supervised by: SOERYO ADIWIBOWO)

This research was conducted and located in the village of Karangtengah, District Batur, Banjarnegara Regency, Central Java for one month from 25 March to 25 April 2011. The purpose of this study was to determine the household livelihood strategy of potato farmers in the village of Karangtengah, Dieng plateau associated with the history of potato farming in the village. In addition, to find out how far potato farming can build sustainable livelihood systems for farmers households. This study uses a quantitative approach that is supported by qualitative data. Quantitative data obtained through a questionnaire to 31 households of farmers who were respondents in this study. While the qualitative approach is done through observation, depth interviews, and search related documents or literary study. Basically, agriculture has become the main source of income for potato farmers households in the village of Karangtengah. This is due to the farm that has been inherited into the identity of them from generation to the generation. However, limitations of resources, especially land as a place of production led to nine respondents in this study applying multiple livelihoods both of on farm and non farm strategie. During its development, potato farming is increasingly drained on resources. Although still becoming the leading sectors, but the threat to livelihood activities has been gradually happening for example the environmental degradation caused by agricultural activity that promotes the high production so that they use the excessive of chemical inputs.

Keywords: Livelihood system, Potato farmers household, Sustainable agriculture, and Dieng Plateau.

(3)

RINGKASAN

TURASIH. Sistem Nafkah Berkelanjutan pada Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah).

(Dibimbing Oleh SOERYO ADIWIBOWO)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi nafkah rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng terkait dengan sejarah pertanian kentang di desa tersebut. Selain itu juga mengetahui sejauh mana pertanian kentang tersebut dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainainable livelihood) bagi petani. Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut digunakan metode penelitian kuantitatif dengan kuesioner didukung dengan data kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam, dan penelusuran dokumen yang terkait dengan pembahasan. Pendekatan kuantitatif ditujukan bagi 31 responden yang diperoleh dengan metode simple random sampling dari 983 kerangka sampling yang merupakan rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian kentang merupakan strategi nafkah utama rumahtangga yang menjadi tumpuan penghasilan. Kegiatan produksi pertanian tersebut dilaksanakan di atas lahan yang status penguasaan dan luasannya berbeda-beda untuk masing-masing responden. Terdapat tiga macam bentuk penguasaan yaitu lahan milik, lahan sewa, dan lahan bagi hasil.

Penyewaan cenderung dilakukan oleh petani dengan kepemilikan lahan antara 0- 0,5 ha yang jumlahnya dominan di Desa Karangtengah. Motivasi menyewa lahan sama untuk masing-masing responden yaitu memperoleh penghasilan yang lebih tinggi.

Bagi petani kecil, mereka menyesuaikan diri dengan menerapkan strategi nafkah kombinasi yaitu menjadi petani kentang sekaligus melakukan strategi nafkah sebagai buruh tani maupun strategi nafkah di sektor non farm misalnya menjadi pedagang, penjahit, atau membuka warung. Terdapat sembilan responden yang menerapkan strategi nafkah kombinasi antara pertanian kentang on farm dengan sektor lain. Namun bagaimana pun kontribusi pendapatan utama masih berasal dari pertanian kentang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

(4)

semakin luas lahan pertanian kentang yang digarap oleh petani, maka pendapatan dari sektor non pertanian kentang juga semakin kecil.

Kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usahatani sifatnya otodidak yang diperoleh dari orang tuanya. Menjadi petani tidak ditentukan oleh umur maupun pendidikan. Semenjak kecil para petani tersebut terbiasa membantu orang tuanya mengolah tanah, menanam, panen, dan memasarkan. Secara mandiri, petani dilatih oleh orang tuanya untuk melanjutkan profesi sebagai petani sekaligus mendapatkan warisan berupa lahan pertanian. Hingga sekarang kebiasaan-kebiasaan tersebut disosialisasikan oleh orang tua kemudian diadopsi oleh anaknya hingga generasi berikutnya.

Secara berangsur-angsur masuknya komoditi kentang ke Desa Karangtengah telah memperbaiki kondisi perekonomian mereka dibanding ketika menanam tembakau dan palawija. Melihat fakta yang terjadi, petani berbondong- bondong untuk memilih kentang sebagai komoditi andalan. Sayangnya, dalam perkembangannya aktivitas pertanian kentang bertentangan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Pengelolaan pertanian yang seharusnya mantap secara ekologis, layak secara ekonomi, adil, manusiawi, dan luwes, justru semakin merongrong dasar sumberdaya alam. Secara jangka panjang, kondisi pertanian kentang di Desa Karangtengah terancam keberlanjutannya jika kondisinya masih seperti saat ini yaitu menurunnya kualitas lingkungan, ketimpangan dalam hal kepemilikan lahan, sifat konsumerisme petani yang menyebabkan terjeratnya hutang, serta permasalahan kelembagaan yang masih menyudutkan petani kecil.

(5)

SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG

(Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah)

Oleh:

Turasih I34070004

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa : Turasih

NIM : I34070004

Judul Proposal Skripsi : SISTEM NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah)

Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

Mengetahui

Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(7)

Tanggal Pengesahan :

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG (KASUS DESA KARANGTENGAH, KECAMATAN BATUR, KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH)”, ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.

Bogor, Juli 2011

Turasih I34070004

(8)

RIWAYAT HIDUP

Turasih merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ahmad Salimi dan Ibu Surati. Penulis lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 06 Januari 1990. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Aisiyah Bustanul Athfal Pagentan (1994-1995), SD Negeri 1 Pagentan (1995- 2001), SMP Negeri 1 Pagentan (2001-2004), dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Banjarnegara (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia.

Selama di IPB, penulis menjadi asisten praktikum MK. Sosiologi Umum selama tiga semester, asisten MK. Pengantar Ilmu Kependudukan, MK.

Perubahan Sosial, dan MK. Kelembagaan, Organisasi, dan kepemimpinan. Selain itu penulis juga tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai manajer Divisi Research and Development HIMASIERA 2010. Penulis juga bergabung dalam OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKAMAHAMAS (Ikatan Keluarga Mahasiswa Se-Eks Karesidenan Banyumas) dan menjabat sebagai sekretaris umum. Peneliti mendapatkan beasiswa PPA pada semester 1 dan semester 2, kemudian semester 3 sampai semester 8 mendapatkan beasiswa dari Tanoto Foundation.

Prestasi yang diperoleh penulis selama studi di IPB antara lain: Penerima Dana DIKTI untuk PKM Teknologi 2011, Juara 1 Lomba Debat Politik Ekologi dalam Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2010, Finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) di Universitas Mahasaraswati Denpasar-Bali 2010, Duta Lingkungan Hidup FEMA (Fakultas Ekologi Manusia 2010, Penerima Dana DIKTI untuk PKM Pengabdian Masyarakat 2010, Runner Up DUTA FEMA (Fakultas Ekologi Manusia) 2009, Finalis 20 Besar Penulisan Cerpen BONJOUR 2009, Kategori 10 Terbaik Seminar dan Pelatihan Penulisan Buku Best Seller

(9)

2008 Penerbit Penebar Swadaya, Juara 1 Penulisan Cerpen ICON DKM Al- Huriyah IPB 2007.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, pengatur segala urusan yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tidak lupa shalawat dan salam terhaturkan kehadirat Nabi Muhammad SAW utusan dan suri tauladan yang baik.

Skripsi dengan judul “Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah)” ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Melalui skripsi ini, penulis mendeskripsikan tentang strategi nafkah rumahtangga petani kentang terkait dengan sejarah pertanian di desa Karangtengah. Selain itu juga mendeskripsikan sejauh mana prospek pertanian kentang tersebut untuk membangun sistem nafkah berkelanjutan pada rumahtangga petani kentang mengingat berbagai fakta yang semakin rawan bagi keberlanjutan pertanian.

Penulis mengharapkan bahwa penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan, mampu dijadikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya dengan peminatan yang sama, serta sebagai masukan bagi pembuatan kebijakan di tataran lokal maupun supra desa. Semoga melalui penelitian ini penulis bisa berbagi kebaikan untuk banyak pihak dan mampu memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Bogor, Juli 2011

Penulis

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pengatur dan pelancar segala urusan. Atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan serta kritik dan saran yang membangun hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan dan Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS, selaku dosen penguji utama dan penguji wakil departemen yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun guna melengkapi hasil skripsi ini.

3. Bapak dan Ibu (Bpk. Ahmad Salimi dan Ibu Surati) di Banjarnegara yang selalu memberikan semangat dan dukungan baik secara moral, material, maupun spiritual; adikku Nurhayati yang selalu ceria dan berprestasi di lingkungan akademik maupun non akademik; Bu Lik yang dengan tulus menyemangati serta seluruh keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan; Keluarga besar Mbah Sutarno dan Sutarjo yang selalu mendukung langkah penulis.

4. Kak Lestari Agusalim, SE, yang telah banyak memberikan kritik dan saran kepada penulis hingga skripsi ini diselesaikan.

5. Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa selama penulis menjalankan pendidikan hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap jajaran Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara dan Kepala Desa Karangtengah yang banyak membantu memberikan informasi dan data untuk penelitian ini; Bapak Sekdes Karangtengah serta pamong desa yang juga berjasa memberikan informasi bagi skripsi ini.

(12)

7. Keluarga besar Bapak Hadi di desa Karang Tengah (Kang Sur, Mba Irma, Kang Jono, Bejo) yang telah membantu penulis dalam proses pengambilan data dan memahami situasi di lapangan.

8. Faris Priyanto dan Christin Debora Nggauk, teman satu bimbingan yang selalu membantu dan memberikan semangat serta menjadi pendengar yang baik.

9. Sahabat-sahabat yang selalu memotivasi: Maya, Bio, Tuti, Zuhaida, Rahmawati, Rossy, Ripna, Rajib, Lukman, Arsyad, dan semua teman-teman KPM 44, 45 , dan 46 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

10. Keluarga di Ruang Tengah terutama Mamah Linda Nurhayati, Devya Ayu Kasha, Fe Meandallah (Feny Mariantika), atas semangat dan motivasi kebaikan yang tidak terputus.

11. Seluruh pihak yang telah membantu hingga skripsi ini diterbitkan dan tidak bisa disebutkan satu persatu dalam sebaris kata.

Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi banyak pihak, bagi khasanah ilmu pengetahuan, serta tanah kelahiran, bangsa, dan negara. Amiin.

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...

DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN...

1.1 Latar Belakang...

1.2 Masalah Penelitian...

1.3 Tujuan Penelitian...

1.4 Kegunaan Penelitian...

BAB II PENDEKATAN TEORITIS...

2.1 Tinjauan Pustaka...

2.1.1 Konsep Nafkah(Livelihood)...

2.1.2 Konsep Nafkah Berkelanjutan...

2.1.3 Karakteristik Rumahtangga Petani...

2.1.4 Karakteristik Dataran Tinggi...

2.1.5 Struktur Agraria...

2.1.6 Pertanian Berkelanjutan...

2.2 Kerangka Pemikiran...

2.3 Hipotesis...

2.4 Definisi Operasional...

BAB III METODE PENELITIAN...

3.1 Lokasi dan Waktu...

3.2 Teknik Pengumpulan Data...

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data...

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN...

xii xv xvi xvii

1 1 3 4 4

6 6 6 9 11 12 15 16 18 19 19

23 23 23 25

26

(14)

4.1 Kondisi Geografis...

4.2 Kondisi Demografi...

4.2.1 Penduduk dan Mata Pencaharian...

4.2.2 Pendidikan...

4.3 Sarana dan Prasarana Desa...

4.4 Kondisi Sosial...\

BAB V STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

KENTANG...

5.1 Karakteristik Petani dan Strategi Nafkah...

5.1.1 Usia/Umur...

5.1.2 Tingkat Pendidikan...

5.1.3 Jumlah Tanggungan...

5.1.4 Pengalaman Bertani...

5.2 Sejarah Pertanian Kentang di Dataran Tinggi Dieng...

5.3 Keterkaitan Sejarah Pertanian Kentang dengan Strategi Nafkah

Rumahtangga Petani Kentang...

5.4 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang...

5.4.1 Strategi Intensifikasi Lahan Pertanian (On Farm)...

5.4.2 Strategi Mendiversifikasi Sumber Nafkah

(On Farm dan Non Farm)...

5.5 Status Penguasaan Lahan dan Strategi Nafkah...

5.6 Strategi Nafkah dan Kontribusi Pendapatan pada Rumahtangga Petani Kentang...

5.7 Ikhtisar...

BAB VI PROSPEK PERTANIAN KENTANG SEBAGAI SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG...

6.1 Gambaran Sistem Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang...

6.1.1 Aspek Lingkungan...

6.1.2 Aspek Ekonomi...

6.1.3 Aspek Sosial...

26 27 27 29 30 31

33 33 33 34 35 36 37

40 42 42

44 47

51 56

57 57 59 62 63

(15)

6.1.4 Aspek Kelembagaan...

6.2 Prospek Pertanian Kentang dalam Kerangka Sistem Nafkah Berkelanjutan pada Rumahtangga Petani Kentang...

6.3 Ikhtisar...

BAB VII PENUTUP...

7.1 Kesimpulan...

7.2 Saran...

DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN...

64

66 67

69 69 70

72 75

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1.

Tabel 2.

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

Tabel 6.

Tabel 7.

Tabel 8.

Tabel 9.

Tabel 10.

.

Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Desa Karangtengah...

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa

Karangtengah...

Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok Umur...

Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat

Pendidikan...

Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jumlah Tanggungan dalam Rumahtangga...

Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman

Bertani...

Hubungan Antara Luas Lahan Garapan Rumahtangga Petani Kentang dan Strategi Nafkah...

Jumlah dan Presentase Rumahtangga Petani Kentang Berdasarkan Status Penguasaan Lahan...

B/C Ratio Usahatani Kentang Menurut Total Luas Lahan Garapan Rumahtangga Petani, Rp/Rataan Luas Lahan/Musim Hujan...

Jumlah dan Persentase Pendapatan Rumahtangga Petani Menurut Sumber Pendapatan dan Luas Lahan Garapan per Musim Hujan, Kemarau, dan Peralihan...

27

28 33

35

36

37

48

50

52

54

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 3.

Gambar 4.

Gambar 5.

Gambar 6.

Gambar 7.

Gambar 8.

Gambar 9.

Kerangka Pemikiran...

Metode Pengumpulan Data...

Persentase Jenis Mata Pencaharian Penduduk di Desa

Karangtengah...

Presentase Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa

Karangtengah...

Karakteristik Rumahtangga Petani yang Memilik Strategi Nafkah Ganda di Sektor Non Pertanian...

Persentase Pendapatan Sektor Pertanian dan Non Pertanian pada Musim Hujan, Kemarau, dan Peralihan...

Indikator Sistem Nafkah Berkelanjutan di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng Berdasarkan Cambell et al, Shivakoti, Shrestha (2003) dalam Mahdi et al (2009)...

Produktivitas Komoditi Kentang dan Bawang Daun di Kecamatan Batur, Tahun 2006-2010...

Alur Penjualan Kentang dari Petani di Desa Karangtengah Hingga Sampai di Tangan Konsumen...

19 24

28

29

45

55

58

59

65

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1.

Lampiran 2.

Lampiran 3.

Lampiran 4.

Lampiran 5.

Lampiran 6.

Peta Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah...

Panduan Pertanyaan...

Daftar Kerangka Sampling dan Responden...

Dokumentasi Penelitian...

Photo 1. Bentangan Lahan Pertanian Merupakan Perbukitan yang Gundul...

Photo 2. Kondisi Umbi Kentang yang Terbawa Longsor...

Photo 3. Penggunaan Input Kimia di Lahan Pertanian...

Photo 4. Petani pada Saat Menyemprot Tanaman Kentang...

Photo 5. Proses Pemanenan Kentang...

Photo 6. Lahan Miring yang Kritis untuk Pertanian Kentang...

Photo 7. Kentang Diserang Penyakit Busuk Akar...

Photo 8. Tanaman Kentang yang Terkena Busuk Daun...

Wawancara Strategi Nafkah...

Analisis Usaha Tani Kentang per 0,5 ha/Musim Hujan...

76 77 79 89

89 89 90 90 91 91 92 92 93 95

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi andalan bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah dilengkapi dengan iklim tropis sangat mendukung berbagai kegiatan pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan). Salah satu kegiatan pertanian adalah budidaya kentang dimana dari tahun ke tahun produksinya terus meningkat. Peningkatan ini dibuktikan dengan data dari Badan Pusat Statistik yang menjelaskan bahwa pada tahun 1997 komoditas kentang yang dihasilkan di Indonesia masih 813.368 ton dan diketahui bahwa pada tahun 2009 produktvitasnya telah mencapai 1.176.304 ton.

Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh permintaan pasar yang juga meningkat sehingga petani tertarik untuk terus membudidayakannya. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi penghasil komoditas kentang dengan panen terluas yaitu 18.655 ha dan produktivitas 15,47 ton/ha.

Budidaya kentang tersebut dilakukan oleh petani di dataran tinggi, mengingat kentang adalah salah satu komoditi hortikultura yang bisa tumbuh di daerah yang beriklim sejuk. Salah satu dataran tinggi dimana mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani kentang adalah Dataran Tinggi Dieng. Karakteristik ekologinya yang khas membuat petani mengambil keputusan untuk menjadikan tanaman kentang sebagai salah satu komoditas utama dan menjadi andalan sumber nafkah. Keputusan petani untuk menanam kentang dipengaruhi oleh permintaan pasar kentang yang terus ada serta harganya yang lebih mahal daripada komoditi hortikultura lainnya yang relatif lebih fluktuatif.

Selain itu kentang dianggap lebih mampu mendukung pendapatan petani karena jangka waktu panennya yang lebih pendek. Jika petani menanam jagung, petani hanya mampu panen setahun sekali sebab menyesuaikan dengan perubahan musim dan perbandingan untung rugi. Penghasilan yang diperoleh dari bertani jagung juga lebih rendah. Sedangkan jika bertani kentang, dalam satu tahun petani mampu melakukan tiga kali panen.

(20)

Pertanian tidak hanya sebagai usaha bagi petani, tetapi merupakan cara hidup (way of life) sehingga tidak hanya menyangkut aspek ekonomi saja tetapi juga aspek sosial dan kebudayaan. Meskipun demikian, Mubyarto (1995) menjelaskan bahwa dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani. Demikian pula dengan pertanian kentang yang dilakukan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng, salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah. Adanya jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang harus dilakukan petani dengan penerimaan hasil penjualan menyebabkan petani menentukan pilihan strategi nafkah selain pertanian kentang.

Hal ini menjadi rasional dilakukan sebab pendapatan petani kentang hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap hari atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.

Rumahtangga petani kentang menerapkan strategi nafkah yang berbeda- beda antara satu dengan lainnya tergantung dari sumberdaya yang dimiliki. Selain itu, penerapan strategi nafkah tersebut juga tergantung dari seberapa besar kendala yang dihadapi oleh petani. Strategi nafkah yang diterapkan oleh suatu rumah tangga petani bersifat spesifik sesuai dengan karakteristiknya, apalagi ditambah sikap petani yang meminimalkan resiko. Selain persoalan pengeluaran yang harus setiap hari dilakukan, pilihan strategi nafkah petani kentang juga dipengaruhi oleh kondisi ekologi, sosio-kultural, dan sistem pertanian yang dilakukan. Tantangan pertanian baik internal maupun eksternal sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan usahatani kentang yang sesungguhnya menjadi sumber nafkah pokok.

Daya dukung lingkungan yang semakin bekurang di Dataran Tinggi Dieng memberi konsekuensi bagi petani, dalam hal ini petani kentang dituntut untuk mencari sumber penghasilan lain demi memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi nafkah rumahtangga petani kentang serta melihat sejauh mana pertanian kentang mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan bagi petani di Dataran Tinggi Dieng. Hal ini menarik untuk diteliti, karena bagaimana pun petani kentang masuk dalam kategori petani komersial yang memiliki pilihan rasional untuk

(21)

menghasilkan keuntungan. Di Dataran Tinggi Dieng sendiri, pertanian kentang merupakan sumber nafkah utama untuk sebagian besar masyarakat dan dipasarkan hingga ke luar daerah. Jika pertanian kentang tidak mampu berkontribusi penuh untuk pemenuhan kebutuhan petani, maka akan ada penerapan strategi nafkah baru yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan ketahanan pangan.

1.2. Masalah Penelitian

Wilayah Dataran Tinggi Dieng dengan topografi yang khas dan mendukung untuk kegiatan pertanian merupakan faktor pendukung bagi masyarakat untuk memilih strategi bertahan hidup sebagai petani. Petani yang dalam penelitian ini spesifik pada petani kentang merupakan aktor yang anti resiko, meskipun sesungguhnya pertanian kentang bukanlah tanpa resiko. Kondisi ekologi Dataran Tinggi Dieng yang semakin menurun kualitasnya, cuaca yang semakin tidak menentu, serta fluktuasi harga di pasar memberikan konsekuensi bagi petani untuk berjaga-jaga. Selain itu, lahan yang kian terbagi-bagi dengan banyaknya jumlah penduduk di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan usahatani hanya bisa dilakukan dalam skala kecil oleh rumahtangga. Meskipun ada yang mampu melakukannya dalam skala besar, namun hal tersebut hanya berlaku bagi pemilik atau pun penggarap lahan yang luas.

Rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah menjadikan kentang sebagai komoditi andalan yang menggantikan pertanian tembakau dan palawija.

Dalam kurun waktu sekitar 26 tahun, kentang mampu bertahan dan petani juga merasakan hasilnya selama turun temurun. Sebagai sebuah strategi nafkah, pertanian menjadi tonggak kehidupan rumahtangga yang harus terus beradaptasi dalam berbagai situasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat beberapa kondisi yang mampu membuat aktivitas di sektor pertanian ini terancam. Jika hal tersebut terus berlanjut maka sistem nafkah pada rumahtangga petani juga tidak lagi bertumpu pada satu aktivitas nafkah yaitu pertanian kentang. Akan tetapi rumahtangga petani berusaha untuk mampu memenuhi kebutuhan dalam situasi dimana pertanian kentang dianggap tidak menguntungkan atau dengan kata lain ketika produksi panen sudah semakin menurun. Dalam kondisi yang dianggap

(22)

tidak menguntungkan mereka akan memilih untuk mencari alternatif bertahan hidup demi tetap terpenuhinya kebutuhan.

Melihat keberadaan ekologi yang semakin menurun kualitasnya, pertanian kentang bukanlah sistem nafkah abadi yang mampu bertahan di semua kondisi.

Untuk menghadapi berbagai resiko pertanian akan mengelola struktur nafkah sehingga meminimalkan resiko, upaya ini dilakukan sesuai dengan sumber nafkah yang dimiliki oleh rumahtangga petani. Dalam upaya untuk memperjuangkan hidup, rumahtangga petani akan melakukan berbagai aktivitas nafkah sesuai dengan kemampuannya. Oleh sebab itu, penelitian ini membahas dua rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani kentang di desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng terkait dengan sejarah pertanian kentang di desa tersebut?

2. Sejauh mana pertanian kentang yang dilakukan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi petani?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng terkait dengan sejarah pertanian kentang di desa tersebut serta berbagai resiko yang mengancam keberadaan aktivitas nafkah pertanian kentang.

2. Mengetahui sejauh mana pertanian kentang dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi petani.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Bagi penulis dan akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu diharapkan penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik livelihood, pertanian, dan pedesaan.

(23)

2. Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan menambah pengetahuan bagi masyarakat umum terkait dengan kondisi pertanian di Dataran Tinggi Dieng.

3. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran informasi dan data untuk pembuatan kebijakan yang terkait dengan petani dan pertanian khususnya di kabupaten Banjarnegara.

(24)

BAB II

PENDEKATAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Nafkah (Livelihood)

Nafkah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara hidup, definisi ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian). Sebenarnya konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas bukan hanya sekedar bagaimana memperoleh pemasukan. Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka atau peningkatan hidup (Chamber et al dalam Dharmawan, 2001). Dalam pandangan yang sangat sederhana livelihood terlihat sebagai “aliran pendapatan”

berupa uang atau sumberdaya yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Definisi lain dinyatakan oleh Ellis (2000) bahwa livelihood mencakup pendapatan “cash” (berupa uang) dan “in kind” (pembayaran dengan barang atau hasil bumi) maupun dalam bentuk lainnya seperti institusi (saudara, kerabat, tetangga, desa), relasi jender, dan hak milik yang dibutuhkan untuk mendukung dan untuk keberlangsungan standar hidup yang sudah ada. Lebih lanjut livelihood juga mencakup akses terhadap, dan keuntungan yang berasal dari pelayanan publik dan sosial yang disediakan oleh negara.

Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup).

Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka

(25)

mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumah tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.

Secara konseptual menurut Chambers dan Conway dalam Ellis (2000), terdapat lima tipe modal yang dapat dimiliki/dikuasai rumah tangga untuk pencapaian nafkahnya yaitu:

1. Modal manusia yang meliputi jumlah (populasi manusia), tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki dan kesehatannya.

2. Modal alam yang meliputi segala sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Wujudnya adalah air, tanah, hewan, udara, pepohonan dan sumber lainnya.

3. Modal sosial yaitu modal yang berupa jaringan sosial dan lembaga dimana seorang berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan hidupnya.

4. Modal finansial yang berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi.

5. Modal fisik yaitu berbagai benda yang dibutuhkan saat proses produksi, meliputi mesin, alat-alat, instrumen dan berbagai benda fisik lainnya.

Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan (2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi yaitu:

1. Tahap mengantisipasi krisis, merupakan semua usaha yang dibuat dengan memanfaatkan berbagai tindakan yang aman dan usaha perlindungan terhadap berbagai macam resiko dengan membangun

(26)

hubungan (jaringan sosial), memproduksi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengumpulkan kelebihan (menabung), membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh yang mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara.

2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi konsumsi individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama).

3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk memperbaiki kehancuran dan mendapat kembali akses untuk memperoleh sumberdaya.

Menurut Crow dalam Dharmawan (2001), terdapat aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam penerapan strategi nafkah, yaitu:

1. Harus ada pilihan yang dapat dipilih oleh seseorang sebagai tindakan alternatif.

2. Kemampuan melatih “kekuatan”. Mengikuti suatu pilihan berarti memberikan perhatian pada pilihan tersebut. Dengan demikian, memberikan perhatian pada suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada pilihan yang lain. Dalam konteks komunitas, seseorang yang memiliki lebih banyak kontrol (aset) akan lebih mempunyai kekuatan untuk dapat memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu strategi nafkah dapat dipandang sebagai suatu kompetisi untuk mendapatkan aset-aset yang ingin dikuasai.

3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang dihadapi seseorang dapat diminimalisir.

4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa seseorang.

5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda.

(27)

6. Strategi biasanya merupakan keluaran dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga.

Selanjutnya, Dharmawan (2001) menyebutkan bahwa secara umum strategi nafkah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu strategi nafkah normatif dan strategi nafkah yang ilegal. Strategi nafkah normatif berbasiskan pada kegiatan sosial ekonomi yang tergolong ke dalam kegiatan positif seperti kegiatan produksi, sistem pertukaran, migrasi, maupun strategi sosial dengan membangun jaringan sosial. Strategi ini disebut „peaceful ways‟ atau sah dalam melaksanakan strategi nafkah. Sedangkan strategi nafkah ilegal di dalamnya termasuk tindakan sosial ekonomi yang melanggar hukum dan ilegal. Seperti penipuan, perampokan, pelacuran, dan sebagainya. Kategori ini disebut sebagai

„non peaceful‟, karena cara yang ditempuh biasanya menggunakan cara kekerasan atau kriminal.

Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja – selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

2.1.2 Konsep Nafkah Berkelanjutan

Meikle, Ramasut dan Walker (2001) menggambarkan bahwa inti untuk memahami konsep nafkah berkelanjutan adalah apresiasi bahwa kemiskinan

(28)

bukanlah kondisi stabil, permanen dan statis. Terkait dengan gambaran tersebut, maka gambaran dari nafkah berkelanjutan oleh ketiga ahli tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memberikan kemampuan, aset (materi dan sosial) dan aktivitas yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan miskin yang hidup bersama.

Banyaknya kesempatan yang ada berbeda menurut orang yang hidup dan atau memiliki akses kepada sumberdaya di kampung, sub-urban, dan kota.

Nafkah dapat termasuk pekerjaan yang dibayar, tetapi hanya satu elemen dan bukan yang paling penting dari hubungan jaringan fungsional yang bersama untuk hidup. Elemen lain termasuk jaringan sosial dan bermacam institusi yang menyediakan hubungan rumahtangga dan akses terhadap sumberdaya.

2. Dinamis dan mudah diadaptasi. Nafkah berkelanjutan memiliki kemampuan untuk merespons perubahan dan secara berlanjut diperbaharukan melalui pengembangan dari strategi adaptif kemudian, dapat bangkit dari tekanan dan kejutan, stabil dan berlanjut dalam jangka panjang.

3. Berhubungan ke prioritas, interpretasi dan kemampuan masyarakat miskin.

Masyarakat di pusat kerangka nafkah dianggap sebagai aktor yang mampu, bukan korban yang tidak berdaya. Nafkah menggambarkan kemakmuran, pengetahuan, strategi adaptif dan orang miskin. Ketika nafkah berkelanjutan mencerminkan prioritas dari masyarakat miskin, perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan diantara jangka pendek, prioritas pragmatis yang mengarah kepada bertahan hidup, yang bertujuan untuk pembangunan dari nafkah berkelanjutan. Contohnya, prioritas jangka pendek untuk mengurangi pengeluaran rumahtangga dapat membuat anak putus sekolah atau mengurangi biaya kesehatan, namun ini bukan berarti sikap rumahtangga tidak menghargai investasi pada kesehatan dan pendidikan pada jangka panjang.

4. Rumahtangga dan komunitas terpusat pada alokasi sensitif. Anggota rumahtangga berkontribusi pada berbagai cara tergantung peran, tanggungjawab dan kemampuan. Rumahtangga memiliki modal sosial dan

(29)

hutang. Mereka terintegrasi kepada bahan sosial yang lebih luas, dan menggambarkan kepada hubungan dengan bermacam individu dan kelompok dalam komunitas seperti kesempatan pada bisnis lokal dan pemerintahan. Hal ini juga dapat dicatat bahwa sebagian strategi nafkah mungkin berdasarkan kepada individu daripada aktivitas rumahtangga dan lainnya dapat melihat dari hubungan diantara anggota rumahtangga yang tidak hidup bersama.

5. Meraih komponen yang disebutkan di atas tanpa merongrong dasar sumber daya alam.

2.1.3 Karakteristik Rumahtangga Petani

Wolf (1985) dalam Lestari (2005) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Menurut Shanin seperti dikutip oleh Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka pada lahan. Bagi petani lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

Rumah tangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri.

(30)

Menurut BPS (2000) secara umum rumahtangga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan juga pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Adapun White (1978) mengemukakan bahwa rumahtangga pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragam fungsi tersebut dilandasi prinsip safety first. Prinsip ini mendahulukan selamat yang berimplikasi kepada kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyak- banyaknya. Prinsip ini juga berimbas kepada kebiasaan dalam perilaku rumahtangga miskin di pedesaan dalam penerimaan mereka terhadap teknik- teknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyek- proyek pembangunan.

Sebagai unit ekonomi yang merangkap banyak fungsi, menurut White (1978), rumahtangga pedesaan Jawa harus mengalokasikan curahan waktu mereka diantara berbagai jenis kegiatan, yang mencakup: (a) pekerjaan yang tidak semuanya menghasilkan pendapatan secara langsung, khususnya pekerjaan- pekerjaan pemeliharaan rumahtangga, seperti mengurus rumahtangga, mengasuh anak, memasak, mencuci, mengambil air, mencari kayu bakar, dan memperbaiki rumah, (b) pekerjaan yang merupakan kewajiban sebagai anggota masyarakat seperti kerja bakti, gotong royong, dan sambutan, serta, (c) pekerjaan yang langsung menghasilkan pendapatan.

2.1.4 Karakteristik Dataran Tinggi 2.1.4.1 Ekologi Dataran Tinggi

Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun biasanya disebut sebagai lahan kering.

Sedangkan yang dimaksud lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 mdpl (700-2500 mdpl).

Departemen pertanian (2006) dalam Sabiham et al (2008) bahkan mendefinisikan

(31)

wilayah dengan elevasi minimal 350 mdpl dan/atau memiliki tingkat kemiringan lereng minimal 15 persen sudah termasuk lahan pegunungan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi memiliki ciri khas tidak didukung oleh irigasi teknis yang memadai, sehingga kebutuhan air bergantung pada curah hujan atau mata air yang ada di sekitar areal pertanian. Lebih lanjut dijelaskan dalam Sabiham et al (2008), lahan dataran tinggi di Indonesia berdasarkan tipe agroklimatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Di daerah beriklim basah alternatif jenis usaha yang dapat dilakukan oleh petani lebih beragam dibandingkan daerah yang beriklim kering.

Lahan kering memiliki karakteristik kemampuan tertentu yang ditentukan oleh jenis, letak, kemiringan, dan berbagai faktor lainnya. Secara implisit hal itu mengindikasikan bahwa untuk setiap jenis penggunaan atau peruntukan lahan diperlukan perlakuan dan teknologi tertentu agar lahan tersebut memberikan manfaat yang optimal dan lestari. Pola pemanfaatan lahan kering yang dimanfaatkan penduduk selama ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya yang banyak tergantung pada tingkat kemampuan, keterampilan, dan peluang serta prospek yang terdapat pada setiap daerah. Sebagian besar jenis tanah lahan kering adalah tanah podsolik merah kuning yang sangat peka terhadap erosi. Pori aerasi tanah rendah, terutama di lapisan bawah sehingga tanahnya memadat, akibatnya infiltrasi air lambat dan erosi permukaan bertambah besar. Akibat lebih jauh adalah usaha tani pada lahan ini sering kekeringan meskipun intensitas hujan cukup tinggi (Rasahan et al, 1999).

Dataran tinggi memiliki fungsi utama sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun, kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang, berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan pemukiman. Masyarakat cenderung mengabaikan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat perlakuan tersebut (Sabiham et al, 2008). Lahan dataran tinggi pada batasan-batasan

(32)

tertentu, dan jika dikelola berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan, memiliki potensi yang sangat besar sebagai penghasil pangan nasional. Harus diakui bahwa dimasa mendatang ketergantungan produksi pangan dari kawasan tersebut akan terus meningkat seiring dengan konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah yang sulit dicegah lagi.

Namun demikian, sedikitnya terdapat empat hal sama yang mencerminkan kondisi pertanian lahan dataran tinggi pada saat ini yaitu: pertama, usahatani semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan. Ketiga, meningkatnya volume hujan akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit (Anyamba et al, 2006 dalam Sabiham et al, 2008). Keempat, hilangnya kemampuan masyarakat untuk membangun modal sosial (social capital) sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada modal usaha yang berasal dari luar.

2.1.4.2 Masyarakat Dataran Tinggi

Tekanan penduduk dan pemenuhan pangan mengharuskan sebagian besar dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dimanfaatkan juga untuk lahan pertanian. Petani di daerah dengan curah hujan tinggi biasanya mengembangkan sayuran, sedangkan petani daerah kering yang memiliki curah hujan sedikit akan memilih menanami lahannya dengan tanaman yang lebih tahan kekeringan seperti ubi kayu, jagung, atau pepaya (Sabiham et al, 2008). Penyebab yang sama disampaikan oleh Rasahan et al (1999) bahwa akibat tekanan penduduk dan lapar lahan, lahan kering yang diusahakan sering melebihi batas kemiringan lereng yang relatif aman untuk usaha tani tanaman pangan. Sebagai akibatnya produktivitas lahan cepat menurun jika dalam pengusahaannya tidak diterapkan kaidah konservasi tanah dan air secara cepat.

Penduduk dataran tinggi sering dipandang sebagai kelompok masyarakat yang bodoh, yang mempertahankan cara hidup tradisional yang sangat berbeda;

(33)

sebagai kaum tani, yang mungkin agak kurang efisien; sebagai perusak dan penghuni liar; dan akhir-akhir ini, sebagai ahli lingkungan, yang tetap memegang rahasia sistem pengelolaan sumber daya berlandaskan komunitas yang berkelanjutan dan adil (Li, 2002). Selain itu, Hefner (1999) juga menyebutkan bahwa selama ini, menjadi masyarakat dataran tinggi diidentikkan dengan istilah

“wong tani”. Bahkan Hanani dan Purnomo (2010) mendefinisikan corak masyarakat dataran tinggi yang relatif “sukar” diorganisir sebagaimana masyarakat dataran rendah pada umumnya dan tidak memiliki stratifikasi yang ketat.

2.1.5 Struktur Agraria

Wiradi (2009), memberikan definisi bahwa struktur agraria merupakan tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah, namun menyangkut juga hubungan sosial manusia dengan manusia. Ini berarti akan mencakup hubungan orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dengan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dengan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak, dan sebagainya.

Lebih lanjut Wiradi (2009) mengungkapkan bahwa hakikat struktur agraria adalah menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Terdapat dua istilah penting dalam hal ini yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure berarti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani.

Uraian itu menunjuk pada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan,

(34)

mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Sedangkan land tenancy menunjuk kepada pendekatan ekonomi. Artinya penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah.

Obyek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.

Dalam pengertian struktur agraria ini perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Untuk kata “pengusahaan”

menunjuk kepada bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif.

2.1.6 Pertanian Berkelanjutan

Suzuki (1997) dalam Sunito (2007) memberikan gagasan tentang prinsip- prinsip berkelanjutan yang kemudian terkenal dengan istilah Natural Steps yaitu:

pertama, alam tidak dapat menanggung beban dari penimbunan secara sistematis dari hasil-hasil penambangan dari kulit bumi (seperti mineral, minyak, dsb).

Kedua, alam tidak dapat menanggung beban dari penimbunan secara sistematis dari bahan-bahan rekayasa permanen buatan manusia. Dan ketiga, alam tidak dapat menanggung beban dari perusakan secara sistematis dari kemampuannya untuk memperbarui dirinya (misalnya memanen ikan lebih cepat dari kemampuannya untuk memulihkan populasi atau mengkonversi tanah subur menjadi gurun pasir. Dengan demikian, bila kehidupan ingin lestari, maka kita harus: (a) efisien memanfaatkan sumberdaya; dan (b) menegakkan keadilan, karena kemiskinan akan membawa pada usaha dengan perspektif jangka pendek yang merusak lingkungan (misalnya hutan) yang diperlukan oleh semua untuk kehidupan jangka panjang. Kritik terhadap konsep pertanian yang kini dominan dan lebih dikenal sebagai High External Input Agriculture (selanjutnya disebut

(35)

HEIA) serta pendekatan pertanian alternatif dengan pendekatan ekologis, merupakan bentuk keresahan terhadap perilaku manusia terhadap alam. Sistem HEIA mengejar produktifitas yang tinggi namun menuntut pengorbanan dalam bentuk menurunnya keberlanjutan.

Lebih jauh Gips (1986) dalam Reijntjes et al (1992) menerangkan bahwa terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh sistem pertanian berkelanjutan yaitu:

1. Mantap secara ekologis: kualitas sumberdaya alam dipertahankan;

kemampuan agroekosistem (manusia, tanaman, hewan, mikro- organisme) ditingkatkan melalui pengelolaan secara biologis (regulasi sendiri) dengan penggunaan sumberdaya yang bisa diperbaharui.

2. Layak secara ekonomis: produk usahatani harus mencukupi kebutuhan serta menutupi biaya produksi. Kelayakan ekonomi dari sistem pertanian berkelanjutan harus dapat diukur juga dari kemampuannya melestarikan sumberdaya dan meminimalkan resiko.

3. Adil: sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pokok dan hak-hak anggota masyarakat untuk memperoleh akses pada tanah, modal, dukungan teknologi dan informasi terpenuhi.

4. Manusiawi: semua bentuk kehidupan (manusia, tanaman, hewan) dihargai. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dipelihara.

Untuk nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar–kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, dan rasa sayang – harus diperjuangkan.

5. Luwes: petani harus mampu menyesuaikan usaha pertaniannya denga perubahan–jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar – yang berlangsung terus. Penyesuaian ini menyangkut dimensi teknologi maupun sosial dan budaya.

Altieri seperti dikutip Hecht (1987) dalam Sunito (2007) menyampaikan terdapat empat elemen yang lebih spesifik dibanding pendapat di atas tentang persyaratan pertanian berkelanjutan yaitu: (1) Mengurangi penggunaan energi dan sumberdaya; (2) Menerapkan metoda produksi yang mengembalikan mekanisme homeostatic maksimalisasi pemanfaatan beragam fungsi dari lingkungan dan

(36)

memastikan aliran energi yang efisien; (3) Menggalakkan budidaya pangan yang sesuai dengan kondisi alam dan sosial ekonomi setempat; dan (4) Mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi dan kelayakan ekonomis dari usaha pertanian rumahtangga, dengan demikian memajukan suatu sistem pertanian yang memiliki keragaman dan ketahanan tinggi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Kegiatan ekonomi masyarakat dataran tinggi Dieng yang berbasis pertanian telah berlangsung secara turun-temurun. Secara geografis sangat memungkinkan bahwa sektor ekonomi menjadi sektor utama atau andalan masyarakat setempat. Apalagi ditambah sarana pendukung yang memungkinkan seperti mudahnya akses memperoleh saprotan (sarana produksi pertanian) serta semakin mudahnya akses pemasaran hasil pertanian.

Berdasarkan Fadjar et al (2008), sumberdaya agraria (tanah) tetap menjadi kekuatan produksi yang penting karena di atas sumberdaya agraria itulah kegiatan produksi dimulai dan kemudian sumberdaya agraria tersebut akan menjadi sumber penghasilan petani. Sebelumnya Purwanti (2007) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa luas lahan garapan petani merupakan modal petani dalam berusahatani. Kedua hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa lahan menjadi faktor penting dalam kegiatan usahatani.

Dalam konteks rumahtangga pertanian, pilihan strategi nafkah on farm yang diterapkan tentu saja dipengaruhi oleh luas lahan garapan. Besar kecilnya pendapatan petani dari usahataninya ditentukan oleh luas lahan yang dikuasainya karena luas lahan tersebut dapat mempengaruhi produksi per satuan luas. Apabila usia petani, tingkat pendidikan, lama bertani, jumlah tanggungan keluarga ikut menjadi penentu bagaimana arah pilihan strategi nafkah maka hal ini bisa menyebabkan komposisi mata pencaharian akan bergeser ke sektor non pertanian (non farm). Pilihan-pilihan rasional atas strategi nafkah tersebut berpengaruh pada jumlah pendapatan rumahtangga petani kentang yang pada akhirnya menentukan keberlanjutan nafkah rumahtangga petani serta strategi nafkah dominan yang dipilih petani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Chambers dan Conway (1991) mengungkapkan bahwa sistem nafkah yang berkelanjutan harus mampu: a)

(37)

beradaptasi dengan shock dan tekanan; b) memelihara kapabilitas dan asset-asset yang dimiliki; c) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya.

Keterangan: Mempengaruhi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2.3 Hipotesis

Status penguasaan lahan dan karakteristik petani menentukan bentuk strategi nafkah rumahtangga petani kentang.

2.4 Definisi Operasional

Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

1. Usia/umur adalah lama hidup responden yang dihitung berdasarkan tahun.

Kategorisasi variabel ini berdasarkan rata-rata usia responden, yaitu:

a. Kategori petani umur antara 20 – 34 tahun.

b. Kategori petani umur antara 35 – 49 tahun.

Sektor Pertanian (on farm) -Pertanian kentang

-Pertanian non-kentang -Buruh tani (off farm)

Strategi nafkah rumahtangga petani (Scoones, 1998) Sektor non Pertanian (non farm) -Diversifikasi nafkah

-Migrasi

 Kontribusi pendapatan sektor pertanian terhadap rumahtangga petani kentang

 Kontribusi pendapatan sektor non pertanian terhadap rumahtangga petani kentang

Keberlanjutan nafkah

Faktor yang Mempengaruhi Arah Strategi Nafkah 1. Status Penguasaan Lahan

2. Karakteristik Petani -Usia/Umur

-Tingkat pendidikan -Jumlah tanggungan -Pengalaman bertani

(38)

c. Kategori petani umur > 49 tahun.

2. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang dialami oleh responden dalam penelitian. Kategorisasi tingkat pendidikan tersebut berdasarkan kondisi faktual di lokasi penelitian yaitu:

a. Kategori tidak bersekolah b. Kategori SD tapi tidak lulus c. Kategori lulus SD

d. Kategori SMP e. Kategori SMP f. Kategori S1

3. Jumlah tanggungan adalah jumlah jiwa yang ditanggung oleh satu kepala keluarga dalam rumahtangga pertanian. Jumlah tanggungan dikategorisasikan berdasarkan rata-rata tanggungan masing-masing responden:

a. Tanggungan dalam rumahtangga berjumlah ≤ 3 orang b. Tanggungan dalam rumahtangga = 4 orang

c. Tanggungan dalam rumahtangga > 4 orang

4. Pengalaman bertani dioperasionalkan oleh peneliti dengan mengikuti pengertian dari Oxford Dictionary (2007) bahwa pengalaman digunakan untuk merujuk pada pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu yang diperoleh melalui tindakan atau dengan memperhatikan. Pengalaman bertani yang dimaksud adalah pengetahuan dan keterampilan tentang pertanian yang dimiliki oleh petani selama periode tertentu yang dihitung dalam ukuran tahun. Pengalaman bertani dikategorisasi berdasarkan rata-rata pengalaman responden dalam melakukan usahatani, yaitu:

a. Pengalaman bertani 1 – 7 tahun b. Pengalaman bertani 1 – 14 tahun c. Pengalaman bertani ≥ 15 tahun

5. Status penguasaan lahan adalah bentuk hak kuasa seseorang atas lahan dimana pada lokasi penelitian bentuknya berupa lahan milik, lahan sewa, dan lahan bagi hasil.

6. Luas lahan adalah ukuran lahan garapan yang dikuasai oleh responden untuk kegiatan usahataninya dan dihitung dalam satuan hektar. Luas lahan yang

(39)

digarap diukur dari lahan yang paling sempit hingga paling luas dan diklasifikasikan menjadi:

a. Lahan dengan luas 0,1 ha – < 0,3 ha b. Lahan dengan luas 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha c. Lahan dengan luas 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha d. Lahan dengan luas 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha

7. Strategi nafkah dalam penelitian ini mengikuti pengertian dari Dharmawan (2006) yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

8. Aktivitas nafkah adalah wujud nyata dari strategi yang diterapkan oleh rumahtangga petani meliputi kegiatan pertanian (on farm dan off farm) dan kegiatan non pertanian (non farm) (Ellis, 2000):

a. On farm; didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian perkebunan, peternakan, perikanan, dll). Dalam penelitian ini pertanian utama yang menjadi fokus adalah usahatani kentang, sedangkan untuk pertanian lainnya dianggap sebagai pertanian sampingan.

b. Off farm; yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain.

c. Non farm; yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian; (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.

9. Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini sesuai dengan pengertian yang diajukan oleh Scoones (1998) yaitu penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja –selain pertanian- dan memperoleh pendapatan.

(40)

10. Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu bentuk strategi nafkah yang merujuk pada pengertian Scoones (1998) yaitu merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

11. Kontribusi pendapatan mengikuti pengertian pendapatan dari (Oxford Dictionary (2007) sebagai jumlah uang yang diterima seseorang sebagai upah kerja pada periode waktu tertentu sehingga kontribusi pendapatan dalam penelitian ini diartikan sebagai jumlah uang yang diperoleh rumahtangga petani kentang baik dari sektor pertanian maupun sektor non pertanian terhadap pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani kentang.

12. Rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada pengertian dari Badan Pusat Statitistik (1994) dalam Sensus Pertanian 1993 yaitu rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun. Rumahtangga petani kentang adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota kelarganya bertani kentang.

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Dataran Tinggi Dieng dengan mengambil lokasi di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah berdasarkan data monografi Desa Karangtengah 2009, luas lahan pertanian kentang di lokasi tersebut paling luas (522 ha) dibandingkan dengan lahan pertanian komoditas lain (kubis: 138 ha, bawang daun: 54 ha, kacang: 44 ha). Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Karangtengah bermatapencaharian sebagai petani kentang dan menggantungkan hidup dari usahatani tersebut. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan yaitu mulai 25 Maret- 25 April 2011.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data, dan informasi di Desa Karangtengah sebagai desa lokasi penelitian adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi, 2008). Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui metode survei kepada petani dengan menggunakan kuesioner.

Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan maupun responden. Informan dalam penelitian ini berasal dari berbagai kalangan mulai dari pamong desa, tokoh masyarakat, petani kentang, serta dari Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara.

Adapun panduan wawancara bisa dilihat pada Lampiran 2. Selain itu data kualitatif juga diperoleh melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena faktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa dan data pertanian di Kabupaten Banjarnegara. Lebih lanjut tentang pengumpulan data dijelaskan dalam Gambar 2.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran  2.3  Hipotesis
Gambar 2. Metode Pengumpulan Data
Tabel 1. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Desa Karangtengah
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Karangtengah  No       Kelompok Umur (tahun)                       Jumlah jiwa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada prinsipnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban/peran sebagai warga negara dan pengetahuan yang mendasar

Ketiga, manajemen strategis menawarkan kebijakan yang lebih besar dan mengijinkan untuk mengembangkan dasar untuk pengambilan keputusan (Bryson dan Roering, 1987;

Sedangkan efisiensi penurunan kadar TDS paling rendah dihasilkan dari debit 2 L/menit yaitu pada replikasi IV yang mampu menurunkan kadar TDS sebesar 21%.. Dapat

is a free KGL∗∗-module. It appears there is no direct motivic analog: While there is a reasonable notion of evenly generated motivic spectrum as in [15, Definition 2.10] and one

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran dewan komisaris syariah, profitabilitas, dan ukuran dewan pengawas syariah terhadap pengungkapan Islamic social

Pada umumnya Aset Tetap yang digunakan dalam kegiatan normal perusahaan mempunyai umur atau masa manfaat yang terbatas, sehingga pada suatu waktu Aset tersebut tidak dapat

Apabila Saudara tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan tersebut di atas dan tidak membawa dokumen yang disyaratkan, akan dinyatakan gugur/tidak memenuhi

Sehubungan dengan dilaksanakannya proses evaluasi dokumen penawaran dan dokumen kualifikasi, Kami selaku Panitia Pengadaan Barang dan Jasa APBD-P T. A 2012 Dinas Bina Marga