• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA ETNIS JAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA ETNIS JAWA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH PUBLIKASI

TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA ETNIS JAWA

ANAS ROHMIATI MUHAMMAD IDRUS

PRODI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2008

(2)

NASKAH PUBLIKASI

TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA ETNIS JAWA

Telah Disetujui Pada Tanggal

_________________

Dosen Pembimbing Utama

(Dr.Drs. Muhammad Idrus, S.Psi.,M.Pd.)

(3)

TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA ETNIS JAWA

Anas Rohmiati Muhammad Idrus

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara pola asuh mendorong orang tua Jawa dengan tingkat kepercayaan diri remaja. Asumsi awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara pola asuh mendorong orang tua Jawa dengan tingkat kepercayaan diri remaja, yaitu semakin tinggi pola asuh mendorong orang tua Jawa maka akan semakin tinggi tingkat kepercayaan diri remaja, sebaliknya semakin rendah pola asuh mendorong orang tua Jawa maka akan semakin rendah tingkat kepercayaan diri remaja.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang masih aktif sebagai siswa tingkat lanjutan atas di Yogyakarta, yang orang tuanya berlatar belakang budaya Jawa (Jateng, Jatim, dan DIY), berusia 15-18 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, tinggal di DIY, dan menggunakan bahasa Jawa dalam berinteraksi sehari-hari baik di rumah maupun di sekolah. Jumlah responden sebanyak 237 orang, dan pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kepercayaan diri yang disusun berdasarkan teori Lauster (1990) dan Kumara (Yulianto & Nashori, 2006), dan skala pola asuh mendorong orang tua Jawa yang mengacu pada teori Idrus (2004).

Metode analisis data yang digunakan adalah uji korelasi product moment dari Pearson. Perhitungannya dilakukan dengan program SPSS 12.00 for windows. Hasilnya menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh mendorong orang tua Jawa dengan tingkat kepercayaan diri remaja, dengan nilai r = 0,419 dan nilai p

= 0,000 (p < 0,01).

Kata kunci: kepercayaan diri, pola asuh mendorong orang tua Jawa

(4)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian manusia yang berfungsi penting untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Tanpa adanya kepercayaan diri pada manusia akan timbul berbagai masalah dalam hidupnya, karena dari tingkat kepercayaan diri yang dimiliki seseorang dapat diprediksikan tentang kesuksesan dan keberhasilan hidup seseorang. Individu yang percaya diri biasanya selalu bersikap optimis dan yakin akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Namun sebalikya, seseorang yang rasa percaya dirinya rendah akan mengalami hambatan-hambatan dalam hidupnya, baik dalam berinteraksi dengan individu lain maupun dalam pekerjaan.

Paramita (2003), menyatakan kepercayaan diri sebagai keyakinan yang dimiliki seseorang, bahwa dia mampu melakukan tugas-tugasnya secara positif dan kepercayaan diri ini merupakan gambaran diri seseorang dimana orang tersebut dapat menghargai dan mampu memahami dirinya sendiri dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa interaksi individu

(5)

dengan lingkungan sekitar mempunyai unsur penting dalam pembentukan pribadi seseorang, salah satunya yaitu kepercayaan diri.

Tedjasaputra (2007), mengungkapkan bahwa, peranan lingkungan adalah mengoptimalkan dimensi perkembangan yang mencakup faktor biologis (fisik, motorik), faktor kognitif (bahasa, berpikir, daya nalar, daya ingat), dan faktor psikososial yang meliputi kemandirian, bagaimana anak bersikap berperilaku, kesadaran akan diri, harga diri, dan percaya diri.

Fokus utama dalam aspek psikososial ini adalah menumbuhkan keyakinan diri kepada anak agar mereka mampu berbuat sesuatu terhadap lingkungannya sehingga anak merasa percaya diri. Tentu saja hal ini tidak luput dari peranan orang tua, karena perlakuan orang tua pada anak sejak bayi merupakan landasan atau hal yang mendasari dalam pembentukan kepercayaan diri anak. Dengan begitu anak akan merasa ada orang yang dapat dia andalkan untuk memenuhi semua kebutuhannya, lekat dengan ibu-ayahnya sedapat mungkin. Ketika anak merasakan kelekatan yang membuatnya merasa nyaman, maka hal ini akan berdampak jangka panjang, sehingga memunculkan keinginan pada anak seperti meraih prestasi yang baik, dan memilih pasangan hidup.

Koentjaraningrat (dalam Afiatin dan Martinah, 1998) menegaskan bahwa salah satu kelemahan generasi muda Indonesia adalah kurangnya kepercayaan diri. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Afiatin, dkk (dalam Afiatin dan Martinah, 1998) terhadap remaja siswa SMTA di Kodya Yogyakarta menunjukkan bahwa permasalahan yang banyak dirasakan dan dialami oleh remaja pada dasarnya disebabkaan oleh kurangnya kepercayaan diri.

(6)

Salah satu contoh perilaku siswa yang tidak percaya diri adalah suka mencontek pekerjaan orang lain, tidak bersemangat ketika mengikuti pelajaran, takut berbicara di depan kelas dan keinginan berprestasinya kurang.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa MAN se Kodya Yogyakarta.

Berdasarkan data profil dari salah satu sekolah, menyebutkan bahwa kebanyakan para siswa mereka memiliki motivasi yang rendah untuk berkompetisi, termasuk di dalamnya adalah rendahnya motivasi siswa untuk mengembangkan diri serta motivasi belajar siswa yang rendah. Selain itu disebutkan bahwa kepribadian siswa cenderung labil sehingga senang meniru dan tidak mentaati tata tertib sekolah. Rendahnya motivasi untuk berkompetisi maupun motivasi belajar pada siswa tersebut, bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor kepribadian yang dimiliki oleh setiap siswa, yang salah satunya adalah kepercayaan diri.

Ada anggapan bahwa MAN merupakan sekolah yang seolah dinomor duakan oleh masyarakat. Sekolah mengakui bahwa hal ini terjadi dikarenakan kurangnya publikasi ke masyarakat tentang keberadaan MAN itu sendiri, mereka mengatakan bahwa kurangnya publikasi tersebut dikarenakan terbatasnya dana yang dimiliki sekolah, karenanya banyak masyarakat yang tidak mengetahui akan keberadaan MAN selama ini. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa Madrasah identik dengan sekolah swasta dan terkesan sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan pondok pesantren. Sehingga memunculkan persepsi bahwa sekolah tersebut hanya terfokus pada pelajaran agama dan sedikit

(7)

memberikan mata pelajaran umum seperti yang diajarkan pada sekolah-sekolah umum lainnya yang sederajat, seperti SMA atau SMK.

Adanya anggapan masyarakat tersebut, tentu saja akan mempengaruhi siswa dalam hal bersikap, terutama ketika mereka dihadapkan pada sebuah kegiatan atau kompetisi yang melibatkan banyak sekolah dari berbagai pihak.

Tidak menutup kemungkinan bahwa anak tersebut akan merasa minder, takut, atau tidak yakin akan kemampuan yang dimilikinya, yang akhirnya akan menimbulkan rasa tidak percaya diri pada diri anak tersebut.

Sekarang ini masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa permasalahan pola pengasuhan dalam keluarga sebagai persoalan yang tidak layak untuk dipublikasikan, cenderung sebagai persoalan intern keluarga. Casmini (2002), menyatakan bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengasuhan dalam keluarga menurut tradisi budaya masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) merupakan persoalan “tabu / aib” ketika didengar oleh keluarga lain di sekitarnya. Hal tersebut menjadikan sulitnya pengungkapan tentang masalah-masalah yang terjadi di wilayah publik. Orang tua akan membungkam diri meskipun terkadang mereka telah mengalami kesulitan yang berarti dalam menghadapi sikap-sikap anaknya. Dampak yang ditimbulkan dari persoalan ini adalah ada ketidak jujuran orang tua dalam mengungkapkan pengasuhan yang mereka lakukan terhadap anak-anaknya.

Penelitian ini menggunakan pola asuh dengan latar belakang budaya Jawa, di mana budaya Jawa adalah budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau adat istiadat dan unggah-ungguh yang sudah diterapkan oleh masyarakat.

(8)

Berdasarkan teori Idrus (2004), pola asuh orang tua Jawa ini terdiri dari tiga, yaitu pola asuh yang mendorong, pola asuh yang menghambat dan pola asuh yang membiarkan. Namun pola asuh orang tua Jawa yang digunakan dalam penelitian ini hanya terfokus pada pola asuh orang tua yang mendorong saja.

Pola asuh orang tua Jawa ini mempunyai ciri khas tersendiri yang tentunya tidak dimiliki oleh budaya lain. Dalam pola asuh mendorong, Idrus (2004) membaginya menjadi enam ciri-ciri, antara lain adalah membelokkan dari tujuan yang tidak diinginkan, menunda kebutuhan sesaat, mengajarkan kepatuhan, mengajarkan kesopanan, memberi perintah terperinci tanpa emosional dan memberi hadiah. Salah satu ciri khas tersebut terlihat dari sikap orang tua yang diterapkannya dalam pola pengasuhan mendorong, khususnya dalam hal mengajarkan kesopanan pada anak.

Geertz (dalam Idrus, 2004), mengungkapkan bahwa para orang tua Jawa mengajarkan sopan-santun kepada anak-anak mereka dengan jalan membuatnya malu. Bahkan ditegaskan oleh Koentjaraningrat (dalam Idrus, 2004) bahwa perilaku membuat malu pada anak tersebut terkadang dilakukan secara berlebihan. Koentjaraningrat (dalam Idrus, 2004) memberikan contoh, salah satu cara membuat malu dalam tradisi orang Jawa adalah dengan mengungkapkan kalimat seperti “ketok wong ndalan”.

Idrus (2004), mengungkapkan bahwa membuat malu dalam tradisi pengasuhan orang tua Jawa, bukan dimaksudkan untuk memojokkan anak pada situasi negatif, melainkan dimaksudkan agar anak dapat menilai dirinya pada lingkungan sosial yang lebih besar, dapat menempatkan dirinya secara baik dan

(9)

terutama agar anak menjadi Jawa yang dapat dimaknai telah matang. Idrus (2004), juga mengungkapkan bahwa pola asuh dengan membuat malu ini tidak ditemui pada pola pengasuhan yang berlatar belakang budaya barat, dan sulit untuk mengelompokkan pada kerangka model pengasuhan yang diajukan pakar berlatar budaya barat tersebut.

Perbedaan latar belakang budaya tentunya menimbulkan pula perbedaan bagaimana cara para orang tua menerapkan pengasuhan pada anak- anak mereka. Anak dengan orang tua berlatar budaya Jawa tentunya akan menerima pengasuhan yang berbeda dengan anak dengan orang tua yang berlatar belakang budaya barat. Perlakuan khas yang dimiliki orang tua Jawa tersebut yang membedakan antara pengasuhan budaya Jawa dan budaya barat.

Dari permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa mengasuh anak ternyata sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang rumit bagi setiap orangtua. Bagaimana memilih pola asuh yang tepat dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan dari orangtua masih menemukan hambatan.

Perbedaan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua tentu saja membentuk karakter dan pribadi yang berbeda pula bagi setiap anak dalam sebuah keluarga.

Peneliti tertarik dan mencoba untuk menggali lebih dalam lagi bagaimana peran pola asuh orang tua, khususnya pola asuh mendorong orang tua etnis Jawa dalam pembentukan pribadi yang percaya diri dan bagaimana proses psikologisnya sehingga timbul perbedaan kepercayaan diri pada tiap individu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pertanyaan yang diajukan penelitian ini adalah “Apakah

(10)

ada hubungan antara pola asuh mendorong orang tua Jawa dengan tingkat kepercayaan diri remaja?”.

TINJAUAN PUSTAKA 1. Kepercayaan Diri

Salah satu aspek kepribadian yang menunjukkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang. Yusworini dan Afiatin (2004) mengemukakan bahwa kepercayaan diri berfungsi untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki seseorang. Kepercayaan diri sangat berpengaruh terhadap masa depan seseorang. Kadang ada saatnya dimana kesuksesan itu dimulai dari rasa percaya diri yang dimiliki seseorang. Hal tersebut sejalan dengan Lauster (dalam Wahyuningrum, 2006) yang mengemukakan bahwa kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting dalam hidup manusia.

Lauster (1990) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga seseorang tidak terpengaruh oleh orang lain. Rasa percaya diri adalah mempunyai keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang dimiliki, keyakinan pada suatu maksud atau tujuan dalam kehidupan dan percaya bahwa dengan akal budi bisa melaksanakan apa yang diinginkan, direncanakan dan diharapkan (Davies,

(11)

2004). Lebih lanjut Brennecke & Amich (dalam Yusni, 2002) menyatakan bahwa kepercayaan diri (self confidence) adalah suatu perasaan atau sikap tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain, karena telah merasa cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan di dalam hidup ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu perasaan positif yang ada dalam diri seseorang yang berupa keyakinan dan kepercayaan terhadap kemampuan dan potensi yang dimilikinya, serta dengan kemampuan dan potensinya tersebut dia merasa mampu untuk mengerjakan segala tugasnya dengan baik dan untuk meraih tujuan hidupnya.

Lauster (1990), mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri antara lain:

a). Ambisi

Ambisi merupakan dorongan untuk mencapai hasil yang diperlihatkan kepada orang lain. Orang yang percaya diri cenderung memiliki sikap ambisi yang tinggi. Mereka selalu berpikiran positif dan berkeyakinan bahwa mereka mampu untuk melakukan sesuatu

b). Mandiri

Orang yang mandiri adalah orang yang tidak tergantung pada orang lain karena mereka merasa mampu untuk menyelesaikan segala tugasnya.

Mandiri akan membuat seseorang menjadi tahan terhadap tekanan dan bebas dari pendapat orang lain.

c). Optimis

(12)

Orang yang optimis selalu berpikiran positif, selalu beranggapan bahwa akan berhasil, yakin dan dapat menggunakan kemampuan dan kekuatannya secara efektif, serta terbuka.

d). Tidak mementingkan diri sendiri

Sikap percaya diri tidak hanya mementingkan kebutuhan pribadi akan tetapi selalu peduli pada orang lain.

e). Toleransi

Sikap toleransi selalu mau menerima pendapat dan perilaku orang lain yang berbeda dengan dirinya.

Berkaitan dengan aspek-aspek kepercayaan diri, Kumara (dalam Yulianto dan Nashori, 2006) menyatakan bahwa ada empat aspek kepercayaan diri, yaitu:

a) Kemampuan menghadapi masalah

b) Bertanggung jawab terhadap keputusan dan tindakannya c) Kemampuan dalam bergaul

d) Kemampuan menerima kritik

Hakim (2002), mengemukakan bahwa keluarga merupakan lingkungan hidup pertama dan utama dalam kehidupan setiap orang, dan tentunya hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan rasa percaya diri pada seseorang. Salah satu kondisi keluarga yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang adalah pola pendidikan keluarga. Pola pendidikan keluarga yang dimaksud adalah cara kedua orang tua mendidik anaknya atau dapat pula disebut sebagai pola asuh orang tua.

(13)

Ginder (dalam Djuwarijah, 2002) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan kepercayaan diri remaja, antara lain adalah interaksi di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Martani dan Adiyanti (dalam Djuwarijah, 2002) yang mengemukakan bahwa faktor kondisi serta keadaan sekolah mempunyai peranan yang besar terhadap pembentukan kepercayaan diri remaja.

Kebanggaan terhadap sekolah yang berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik yang baik akan mengakibatkan sikap yang positif dan menimbulkan kepercayaan diri.

2. Pola Asuh Orang Tua

Casmini (2004), mengemukakan pola asuh orang tua merupakan upaya pemeliharaan seorang anak yakni bagaimana orang tua memperlakukan, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak yang meliputi cara orang tua memberikan peraturan, hukuman, hadiah, kontrol dan komunikasi untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma yang diharapkan masyarakat.

Hetherington & Parke (1986) memaknai pola asuh orang tua sebagai suatu interaksi antara dua dimensi perilaku orang tua. Dimensi pertama adalah hubungan emosional antara orang tua dan anak. Dimensi kedua, adalah cara- cara orang tua dalam mengontrol perilaku anak-anaknya. Dimensi ini merupakan kontrol orang tua yang bersifat perlakuan orang tua terhadap anak yang diekspresikan.

(14)

Pola asuh orang tua merupakan sebuah proses interaksi berkelanjutan yang menyangkut pemeliharaan, perlindungan dan pengarahan orang tua terhadap anak dalam rangka perkembangan anak (Idrus, 2004). Lebih lanjut Idrus (2004) menjelaskan bahwa, sebagai sebuah interaksi maka akan dengan sendirinya terjadi proses saling pengaruh-mempengaruhi. Artinya, perilaku yang ditunjukkan oleh orang tua akan dengan sendirinya mempengaruhi perilaku anaknya, dan sebaliknya perilaku yang ditunjukkan anak kepada orang tuanya akan pula mempengaruhi perilaku orang tua.

3. Pola Asuh Orang tua Jawa

Di muka telah di paparkan beberapa model pengasuhan yang di ambil dari teori dengan latar belakang budaya barat. Perbedaan latar belakang budaya tersebut, tentunya akan menyebabkan perbedaan pula bagaimana cara para orang tua mengasuh anak-anak mereka. Mereka mempunyai tujuan dan cara tersendiri dalam hal mengasuh anak, bagi orang tua Jawa keberhasilan mengasuh anak adalah melihat anak mereka mampu bertingkah laku dan berinteraksi di lingkungan masyarakat. Artinya anak mereka mampu bergaul dengan masyarakat sekitar dan mempunyai etika atau sopan santun yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.

Pola asuh orang tua Jawa adalah proses interaksi orang tua anak yang berkelanjutan yang menyangkut pemeliharaan, perlindungan dan pengarahan orang tua terhadap anak dalam rangka perkembangan anak dengan memperhatikan situs budaya Jawa (Idrus, 2004).

(15)

Lebih lanjut Idrus (2004), mengemukakan bahwa biasanya bagi anak Jawa yang berhasil dalam berinteraksi dengan lingkungannya diberikan label njawani oleh masyarakat sekitar, sebaliknya masyarakat akan memberikan label durung njawani kepada mereka yang belum secara baik menjalankan nilai-nilai atau aturan-aturan yang ada di masyarakat. Para orang tua Jawa akan melakukan pelbagai hal untuk membantu anak-anak mereka supaya menjadi njawani, yaitu anak yang berperilaku sesuai etika kejawaan.

Upaya orang tua Jawa untuk mejadikan anak mereka disebut sebagai orang yang njawani, tentu saja tidak luput dari peranan pola pengasuhan yang mereka terapkan kepada anak. Pola asuh orang tua memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan pribadi anak seperti yang diharapkan oleh setiap orang tua. Idrus (2004) membedakan tiga macam cara pola pengasuhan orang tua Jawa, yaitu meliputi:

a) Pola asuh yang mendorong, dengan ciri-ciri sebagai berikut;

1. Membelokkan dari tujuan yang tidak diinginkan, yaitu orang tua Jawa membimbing anak-anak mereka dengan cara mengalihkan perhatian anak dari hal-hal yang menurut orang tua belum layak disaksikan, ataupun tidak pantas dilihat anak.

2. Menunda kebutuhan sesaat, yaitu orang tua Jawa kerap menunda pemenuhan kebutuhan terhadap keinginan-keinginan anak yang menurut orang tua mereka belum saatnya dipenuhi.

(16)

3. Mengajarkan kepatuhan, yaitu orang tua Jawa sudah mulai mengenalkan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak-anak mereka sejak bayi.

4. Mengajarkan kesopanan, yaitu orang tua Jawa mengajarkan anak mereka untuk berlaku sopan baik terhadap orang tua, orang yang lebih tua, ataupun dengan orang lain sejak anak mereka masih bayi, meskipun anak tersebut belum sepenuhnya mengerti tingkah laku serta kata-kata orang yang ada di sekitarnya. Salah satu adat kesopanan yang diajarkan oleh orang tua Jawa adalah dengan mengajarkan kepada anak mereka sejak bayi untuk menerima maupun memegang sesuatu hanya dengan tangan kanan.

5. Memberi perintah terperinci tanpa emosional, yaitu orang tua Jawa memberikan perintah terperinci, dan tidak emosional serta tanpa ancaman. Meskipun perintah yang diberikan dilakukan dengan rinci namun tidak didasari rasa emosi ataupun ancaman hukuman jika perintah-perintah tersebut tidak dilakukan oleh anak.

6. Memberi hadiah, yaitu pemberian hadiah digunakan sebagai strategi orang tua Jawa untuk membiasakan perilaku yang diharapkan oleh mereka dan orang sekitar mereka.

b) Pola asuh yang menghambat, dengan ciri-ciri sebagai berikut;

1. Menakut-nakuti anak, yaitu orang tua Jawa menaku-nakuti anak mereka melalui ancaman tentang nasibnya yang mengerikan di tangan orang lain atau makhluk halus. Namun model pengasuhan dengan

(17)

menakut-nakuti ini didorong oleh keinginan orang tua agar anaknya berperilaku baik, dan orang asing akan berbuat jahat kepadanya jika dirinya tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang baik.

2. Memberi hukuman, yaitu dalam pemberian hukuman ini orang tua Jawa jarang memberi hukuman yang akan menghilangkan kasih sayang. Hukuman ini akan diberikan ketika anak sudah melakukan kesalahan atau tidak mematuhi perintah secara berulang, dan benar- benar telah membuat marah orang tua, orang tua tidak akan memberi hukuman ketika pertama kali anak melakukan kesalahan tetapi menuggu sampai datang kesempatan baru yang tepat untuk memberinya hukuman. Hukuman yang diberikan orang tua Jawa tidak selamanya berupa hukuman fisik, ataupun ungkapan verbal yang kasar lainnya, melainkan dengan tidak mengajak bicara atau disebut dengan disatru.

3. Memusuhi (menyatru), yaitu makna harfiahnya adalah dimarahi atau dimusuhi biasanya dengan tidak diajak bicara.

c) Pola asuh yang membiarkan, dengan ciri sebagai berikut;

1. Mengumbar, yaitu membiarkan atau membebaskan atau tidak membatasi anak untuk bermain dengan teman sebayanya.

2. Ngelulu, yaitu membiarkan anak atau seseorang untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya, namun dengan maksud memberi kesadaran bahwa hal itu sebenarnya tidak diinginkan atau tidak disenangi oleh orang yang memberi ijin.

(18)

Penelitian ini menggunakan teori pengasuhan khususnya pada pola asuh mendorong orang tua Jawa yang dikemukakan oleh Idrus (2004), yang terbagi dalam enam aspek, yang meliputi membelokkan dari tujuan yang tidak diinginkan, menunda kebutuhan sesaat, mengajarkan kepatuhan, mengajarkan kesopanan, memberi perintah terperinci tanpa emosional, dan memberi hadiah.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 237 remaja siswa MAN se- Kodya Yogyakarta, yang meliputi MAN I, II, dan, III Yogyakarta. Dengan rentang usia 15-18 tahun, karena pada umur inilah remaja sedang mulai proses pencarian jati diri dan kebanyakan remaja seusia ini memiliki emosi yang tidak stabil. Subjek berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, kedua orang tua berasal dari Jawa (Jateng, Jatim, DIY), menggunakan bahasa Jawa dalam berinteraksi sehari-hari baik di rumah maupun di sekolah, dan tinggal di DIY. Peneliti memilih subjek penelitian ini berdasarkan lokasi sekolah sebagai tempat penelitian berada di wilayah Yogyakarta dan tentunya persentase jumlah siswa yang berasal dari suku Jawa akan lebih banyak dari pada yang berasal dari luar Jawa.

Subjek penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu memilih subjek dengan menentukan ciri atau kriteria khusus (Prasetyo & Jannah, 2005).

(19)

A. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini akan dilakukan secara kuantitatif. Pengumpulan data dalam bentuk angket dengan metode skala, yaitu menggunakan skala-skala psikologis yang dijadikan variabel dalam penelitian ini. Skala dalam penelitian ini terdiri dari dua skala, yaitu skala kepercayaan diri dan skala pola asuh mendorong orang tua Jawa. Pengumpulan data dalam penelitian ini, mengadopsi skala Likert yang terdiri dari lima tingkatan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), Ragu-ragu (R), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Nilai bergerak antara 1-5, penilainnya adalah nilai 5 untuk sangat sesuai (SS), 4 untuk sesuai (S), 3 untuk ragu-ragu (R), 2 untuk tidak sesuai (TS), dan 1 untuk sangat tidak sesuai (STS).

Metode Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji korelasi product moment dari Pearson. Uji korelasi ini digunakan untuk melihat hubungan antara pola asuh mendorong orang tua dengan tingkat kepercayaan diri. Proses analisis data ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya perangkat lunak SPSS for Windows versi 12.0.

Hasil Penelitian 1. Uji asumsi

a. Uji normalitas

(20)

Uji asumsi normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran skor subjek terdistribusi secara normal atau tidak. Sebaran yang normal merupakan gambaran bahwa data yang diperoleh telah mewakili keseluruhan data. Kaidah yang digunakan yaitu jika p>0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p<0,05 maka sebaran data tidak normal.

Hasil uji normalitas pada skala kepercayaan diri dengan menggunakan teknik one-sample Kolmogorof-Smirnov Test (KS-1 sample) dari program SPSS 12.00 for Window menunjukkan nilai K-SZ sebesar 0,864 dengan nilai p = 0,444 (p > 0,05). Untuk skala pola asuh mendorong menunjukkan nilai K-SZ sebesar 1,105 dengan nilai p = 0,174 (p > 0,05).

Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa skala kepercayaan diri maupun skala pola asuh mendorong terdistribusi secara normal.

b. Uji Linieritas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel kepercayaan diri dan pola asuh mendorong memiliki hubungan yang linear. Hubungan antara kedua variabel dikatakan linier apabila p < 0,05 begitu pula sebaliknya, hubungan antara kedua variabel dikatakan tidak linier apabila p > 0,05.

Hasil uji linearitas dengan menggunakan program SPSS (Statistic Program For Social Science) 12.00 for Windows dengan teknik Compare Means menunjukkan F = 54,075; p = 0,000. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel kepercayaan diri dan pola asuh mendorong linier karena p < 0,05.

(21)

2. Uji hipotesis

Untuk mengetahui adanya hubungan pola asuh mendorong dan kepercayaan diri maka digunakan uji korelasi dengan menggunakan korelasi product moment dari Pearson dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistic Program For Social Science) 12.00 for Windows.

Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel pola asuh mendorong dan kepercayaan diri nilai r = 0,419 dengan p = 0,000 (p < 0,01).

Hal ini berarti menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh mendorong dan tingkat kepercayaan diri remaja, semakin mendorong pola asuh yang diterima, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan diri yang dimiliki seseorang, sehingga hipotesis yang diajukan diterima.

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh mendorong orang tua Jawa dengan tingkat kepercayaan diri remaja. Semakin mendorong pola asuh orang tua semakin tinggi tingkat kepercayaan diri, sebaliknya semakin tidak mendorong pola asuh orang tua maka semakin rendah tingkat kepercayaan diri.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,419 dengan nilai p = 0,000 (p < 0,01).

Adanya korelasi tersebut membuktikan bahwa pola asuh mengambil peran penting dalam perkembangan dan pembentukan pribadi seorang anak.

Aspek-aspek pola asuh yang mendorong seperti, membelokkan dari tujuan yang

(22)

tidak diinginkan, menunda kebutuhan sesaat, mengajarkan kesopanan dan kepatuhan, serta memberi perintah yang terperinci tanpa emosional, dan memberi hadiah merupakan aspek yang paling banyak memberikan kontribusi terbentuknya kepercayaan diri pada anak.

Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh merupakan faktor yang mendasar bagi pembentukan kepercayaan diri anak. Sikap orang tua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percaya diri pada anak tersebut.

Agar anak dapat berkembang dengan baik maka orang tua dalam mendidik anak- anaknya perlu menerapkan pola asuh yang tepat, baik dan sesuai. Pola asuh orang tua merupakan cerminan bagaimana interaksi antara orang tua dengan anaknya dapat terwujud.

Dalam pengasuhan keluarga Jawa, orang tua Jawa selalu menginginkan anak-anak mereka untuk menjadi orang yang njawani. Dalam Istilah bahasa Jawa orang njawani adalah orang yang matang secara pribadi, tahu bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap orang lain. Dengan begitu bahwa remaja yang njawani adalah sosok remaja yang penuh tanggung jawab, mampu membawa diri di depan orang lain, dan tentunya percaya diri. Melihat hasil penelitian ini bahwa pola asuh mendorong orang tua Jawa berpengaruh terhadap kepercayaan diri, sehingga dapat dikatakan bahwa pola asuh mendorong orang tua Jawa merupakan pola asuh yang tepat dan mampu mendorong anak untuk menjadi pribadi yang njawani seperti yang diharapkan oleh para orang tua Jawa.

(23)

Baumrind (dalam Handayani, 2001) mengungkapkan bahwa pola asuh orang tua mempengaruhi tumbuhnya kepercayaan diri pada diri seseorang.

Semakin baik pola asuh orang tua yang diterapkan maka akan semakin tinggi tingkat kepercayaan diri pada diri seseorang, begitu sebaliknya semakin jelek pola asuh orang tua maka akan semakin rendah tingkat kepercayaan diri pada diri seseorang. Mouly (dalam Idrus, 2004) menyatakan bahwa pengasuhan orang tua sangat penting peranannya dalam pengembangan kepribadian. Sementara itu penelitian Dewi (2004) juga membuktikan bahwa pola asuh demokratis orang tua mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan tingkat kepercayaan diri remaja, yaitu semakin demokratis pola asuh orang tua maka semakin tinggi tingkat kepercayaan diri yang dimiliki seseorang.

Penelitian tersebut membuktikan bahwa pola asuh demokratis dalam budaya barat maupun pola asuh mendorong dalam budaya Jawa sama-sama merupakan faktor yang memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan pribadi anak yang percaya diri. Perbedaan budaya tentunya juga berbeda bagaimana cara pengasuhan, namun demikian anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis maupun pola asuh mendorong mampu menghasilkan anak- anak yang percaya diri. Semakin mendorong pola asuh orang tua maka semakin tinggi tingkat kepercayaan diri yang dimiliki seseorang, sebaliknya semakin tidak mendorong atau menghambat pola asuh orang tua maka semakin rendah pula kepercayaan diri seseorang.

Namun demikian, melihat sumbangan efektif pola asuh mendorong terhadap kepercayaan diri sebesar 17,5 %, hal ini menunjukkan bahwa pola asuh

(24)

orang tua bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri pada seseorang. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan diri, seperti pendidikan, keadaan atau penampilan fisik, lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat), kepribadian, jenis kelamin, serta keadaan ekonomi yang mampu memberikan kontribusi dalam membentuk pribadi yang percaya diri pada diri seseorang. Penelitian sebelumya menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan interaksi teman berpengaruh terhadap kepercayaan diri remaja.

Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Martani dan Adiyanti (dalam Djuwarijah, 2002) menyimpulkan bahwa faktor kondisi serta keadaan sekolah mempunyai peranan yang besar terhadap pembentukan kepercayaan diri remaja.

Kebanggaan terhadap sekolah yang berprestasi baik dalam bidang akademik maupun non akademik akan mengakibatkan sikap yang positif dan menimbulkan kepercayaan diri pada remaja. Hasil penelitian Afiatin dkk (dalam Martaniah dan Afiatin, 1998) menunjukkan bahwa siswa remaja yang mengalami masalah berkaitan dengan kepercayaan diri lebih sering mengungkapkan masalahnya kepada teman sekolahnya dari pada kepada orang tua, guru atau warga masyarakat sekitar lainnya. Teman sekolah merupakan sarana perubahan untuk mendapatkan solusi terhadap masalahnya, mereka juga mengatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sarana untuk evaluasi diri serta mendapatkan dukungan sosial.

Pendapat Fulgini, dkk (dalam Idrus, 2004), menyatakan bahwa pengaruh teman sebaya meningkat terhadap anak saat mereka memasuki masa transisi remaja. Garbarino dan Benn (dalam Idrus, 2004) menyatakan bahwa teman sebaya memainkan peranan penting dalam pembentukan identitas

(25)

seseorang. Sementara itu hasil penelitian Idrus (2004) juga membuktikan bahwa dalam proses pencarian jati diri, remaja cenderung lebih dekat kepada teman sebaya atau teman sepermainan mereka. Dari pendapat pakar di atas, interaksi antar teman sebaya dalam kehidupan seseorang mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kehidupannya, termasuk perkembangan pribadi pada diri seseorang, salah satunya adalah membentuk pribadi yang percaya diri.

Selain itu penerimaan kelompok pada remaja dapat menumbuhkan sikap yang percaya diri, dari pada mereka yang diabaikan dan ditolak oleh teman kelompoknya. Mussen (dalam Idrus, 2004), menyatakan bahwa remaja yang diterima oleh kelompoknya memiliki sifat toleran, luwes energik, riang, memiliki rasa humor, bertingkah sewajarnya, antusias, mendorong dan merencanakan aktifitas kelompoknya. Untuk remaja yang diabaikan atau ditolak oleh kelompoknya memiliki karakteristik yang hampir sama, seperti kurang percaya diri, cenderung bereaksi kasar atau agresif, mencari-cari perhatian, egois, tidak mau menerima kondisi orang lain dan berpusat selalu pada diri.

Beberapa temuan yang merupakan kelemahan dari penelitian ini adalah kurangnya referensi yang digunakan, baik referensi pada pola asuh orang tua Jawa maupun referensi kepercayaan diri. Pada pola asuh orang tua Jawa, penulis hanya menggunakan referensi yang dikembangkan oleh Idrus (2004).

Sejauh pengamatan penulis, buku atau referensi yang membahas khusus tentang pola asuh orang tua Jawa belum ada, sehingga hanya terbatas pada teori yang dikembangkan oleh Idrus (2004). Begitu juga dengan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini juga masih memiliki kelemahan, yakni pada skala pola asuh

(26)

orang tua Jawa. Skala pola asuh orang tua Jawa yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala yang pernah diuji cobakan oleh Idrus (2004).

Pada penelitian Idrus (2004), subjek yang digunakan adalah komunitas remaja pada masyarakat pedesaan yang orientasinya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, dan tidak memandang jenjang pendidikan yang ditempuh pada subjek penelitian. Pada penelitian ini menggunakan subjek anak sekolah, dan diketahui bahwa sekolah merupakan sebuah instansi pendidikan yang orientasinya lebih banyak menggunakan bahasa indonesia. Untuk itu pemahaman subjek terhadap kalimat pertanyaan pada skala pola asuh orang tua khususnya untuk istilah-istilah bahasa Jawa terlihat kurang. Hal tersebut terlihat dari beberapa responden yang menanyakan istilah-istilah bahasa Jawa ketika pengisian angket.

Untuk itu perlu dilakukan pemilihan subjek dengan memperhatikan penguasaan bahasa Jawa pada subjek penelitian.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diberikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh mendorong orang tua Jawa dengan tingkat kepercayaan diri remaja, artinya semakin mendorong pola asuh orang tua maka semakin tinggi tingkat kepercayaan diri remaja dan sebaliknya semakin tidak mendorong pola asuh orang tua semakin rendah tingkat kepercayaan diri remaja.

Saran

? Saran bagi orang tua

(27)

Diharapkan para orang tua lebih memperhatikan dan mengevaluasi aspek-aspek pola asuh yang telah diterapkan selama ini dalam mendidik anak.

Pola asuh yang bersifat mendorong sebaiknya ditingkatkan agar dapat membentuk tingkat kepercayaan diri yang tinggi pada diri seorang anak sesuai dengan perkembangannya.

? Saran bagi peneliti selanjutnya

Bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik dengan bahasan yang sama, disarankan untuk menggunakan variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi kepercayaan diri, seperti penampilan fisik, pendidikan, jenis kelamin maupun status sosial. Namun apabila tertarik menggunakan judul yang sama, disarankan untuk menambah variasi dengan membedakan tempat tinggal subjek, yaitu membedakan kepercayaan diri pada orang Jawa yang tinggal atau menetap di kota dan orang Jawa yang tinggal atau menetap di desa, atau mungkin membedakan kepercayaan diri antar etnis yang lain.

Pada pola pengasuhan orang tua Jawa ini terbagi menjadi tiga macam pola asuh, yaitu pola asuh mendorong, pola asuh menghambat dan pola asuh membiarkan. Hanya saja penelitian ini terfokus pada pola pengasuhan mendorong orang tua Jawa, bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan bahasan yang sama diharapkan mampu menggali lebih dalam lagi dari dua pola asuh orang tua Jawa yang lain, yaitu pola asuh menghambat dan pola asuh membiarkan. Kemudian dapat juga memberikan variasi dalam penulisan angket, yaitu bentuk angket disesuaikan dengan alternatif pilihan sesuai dengan pola asuh. Yaitu dengan memberikan tiga atau lebih alternatif jawaban yang terdiri dan mengindikasikan

(28)

masing-masing dari tiga pola asuh tersebut pada setiap pertanyaaan. Misalnya jawaban (a) untuk pernyataan pola asuh mendorong, jawaban (b) untuk pernyataan pola asuh menghambat dan jawaban (c) untuk pernyataan pola asuh membiarkan.

Selain itu perlu dilakukan pemilihan subjek penelitian dengan memperhatikan penguasaan bahasa Jawa pada diri subjek, karena penguasaan bahasa Jawa ini sangat diperlukan ketika pengisian angket, sehingga tidak terjadi kesalahan pengisian alat ukur dan menghindari pengisian alat ukur secara sembarang atau asal-asalan pada subjek penelitian. Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh subjek penelitian juga perlu untuk diperhatikan, karena perbedaan jenjang pendidikan tersebut akan menyebabkan simpulan yang berbeda pula.

Pemilihan tempat tinggal subjek penelitian juga sangat diperlukan, karena diketahui bahwa dalam budaya Jawa ada sedikit perbedaan perlakuan terhadap anak-anak mereka antara orang tua Jawa yang tinggal di desa dan orang tua Jawa yang tinggal di kota.

? Saran bagi sekolah

Bagi sekolah yang menjadi subjek dalam penelitian ini diharapkan lebih meningkatkan lagi kualitas belajar mengajar untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan menambah jumlah prestasi siswa dalam bidang akademik maupun non akademik, agar kepercayaan diri siswa yang sudah terbentuk tidak mudah pudar dengan sendirinya. Selain itu juga perlu meningkatkan motivasi siswa dalam berkompetisi, yang di dalamnya termasuk motivasi belajar dan motivasi untuk mengembangkan diri dengan mengadakan training motivasi pada siswa atau

(29)

mengadakan aktivitas out bond sehingga siswa dapat belajar sambil bermain sesuai yang dikehendakinya, yang akhirnya dapat meningkatkan semangat belajar para siswa.

Daftar Pustaka

Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Afiatin, T., & Martinah, S. M., 1998. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok. Jurnal Psikologika, No. 6 / 67-79.

Aken, C., at all. 2007. Parental Personality, Parenting and Toddlers Externalising Behaviours. Euripan Journal of Personality, 21: 993- 1015/www.ebscohost.com/25/08/08.

Casmini. 2002. Pola Asuh Orang Tua Ditinjau Dari Penghayatan Ayat-ayat Al- Quran & Hadist Yang Bernuansa Pendidikan, Jenis Kelamin, dan Latar Belakang Pendidikan. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Davies, P. 2004. Meningkatkan Rasa Percaya Diri. Alih Bahasa Saut Pasaribu.Yogyakarta: Torent Books.

Dewi, P. E. 2004. Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis Dengan Tingkat Kepercayaan Diri Remaja. Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.

Djuwarijah. 2002. Penignkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FIAI Universitas Islam Indonesia.

(30)

Geertz, H. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.

Hakim, T. 2002. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.

Hamner, T. J., & Turner, P. H., 1996. Parenting in Contemporary Society. Third Edition. Boston: Allyn & Bacon.

Handayani, A. 2001. Hubungan Pola Asuh Demokratis Orang Tua dalam Masalah Sexualitas pada Remaja. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Hildingh, C.,& Luepker, R. V.,& Baigi, A.,& Lidell, E. 2006. Stress, Health Complaints And Self Confidence: A Comparison Beetwen Young Adult Women in Swedenn And USA. Scand J Caring Sci, 20, 202-208/

www.ebscohost.com./25/08/08.

Hetherington, E. M., & Parke, R. D., 1986. Child Psychology A Contemporary Viewpoint. Fourth Edition. Tokyo: Mc Graw-Hill.

Hurlock, E. B. 1973. Adolscent Development 4th Ed. Tokyo: Mc Graw-Hill.

Hurlock, E. B. 1996. Developmental Psychology. Alih Bahasa Istiwidayanti dan Soedjarwo. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Lauster, P. 1990. Personality Test. Alih Bahasa D.H. Gulo. Jakarta: Bumi Aksara.

Idrus, M. 2004. Kepercayaan Eksistensial Remaja Jawa. Disertasi. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Istriati, I. 1999. Perbedaan Perilaku Seksual Pada Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Karma, N. 2002. Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang Tua Dan Otonomi Remaja. Jurnal Psikologi Vol. 9/No.1/45-59

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Mahmud, 2003. Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orang Tua Dengan Tingkah Laku Prososial Anak. Jurnal Psikologi Vol.11/ No.1/ 1-9

Noegroho, T. AJ. 1994. Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan Prestasi Terbang Siawa Sekolah Penerbangan TNI AU di Yogyakarta: Skripsi.

Fakultas Psikologi Gajah Mada Yogyakarta.

(31)

Paramita, D. 2003. Kemampuan Kerja Sama Ditinjau Dari Kepercayaan Diri Dan Kepercayaan Terhadap Orang Lain Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Idonesia.

Prasetyo, B., & Jannah, L. M., 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Purbasari, N. A. 2007. 8 Cara Melepas Kelekatan Anak.

http://www.bandungadvertiser.com/main.php?screen=tips&id=2&arcc=5 6&PHPSESSID=dd3edd6f3c95555619ecaa492df61ba.04/8/2007.

Purnamasari, L. D. & Retnowati, S. 2005. Perbedaan Harga Diri Remaja Ditinjau Dari Status Keluarga Bercerai & Keluarga Yang Tidak Bercerai. Skripsi.

Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Rahmania, H. N & Putra, B. A. 2006. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dengan Kecenderungan Pemalu (Shyness) Pada Remaja Awal. INSAN Vol.8/ No.5/ 211-219

Setiawati, L. 1987. Peran Pola Asuh Orang Tua Terhadap Konsep Diri Remaja Awal di Yogyakarta. Tesis: Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Tanel, Z.,& Erol, M. 2007. Influence of Cooperative Learning Techniques on Student Self Confidence and Factors Affecting Learning Physics.

American Institute of Physics, 978-0-7354-0404-5/07.

www.ebscohost.com./25/08/08.

Tedjasaputra, M. S. 2007. All About Prenting.

http://www.sahabatnestle.co.id/HOMEV2/main/dunia- dancow/parenting_asp.30/8/2007.

Wahyuningrum, A. 2006. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kepercayaan Diri Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh. Skripsi.

Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.

Widayanti, S. Y & Iryani, S. W. 2005. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kenakalan Anak. Jurnal PKS Vol. IV No.13 / 30-41.

Winarto, 1990. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dengan Kepribadian Wiraswasta pada Remaja. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Yulianto, F. & Nashori, F. 2006. Kepercayaan Diri Dan Prestasi Atlet Tae Kwon

Do Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Psikologi Universitas Diponegara Vol. 3 No.1 / 55-62.

(32)

Yusni. M. 2002. Hubungan Kepercayaan Diri Dengan Prestasi Kerja Pada Perawat. Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.

Yusworini, M & Afiatin, M. 2007. Perbedaan Kepercayaan Diri Remaja Panti Asuhan Yatim Piatu. Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan 17 (tujuh belas) data kasus yang digunakan untuk pengujian, sistem menghasilkan 5 (lima) data kasus yang memiliki urutan nilai akhir terbesar

Walaupun Harimurti menggambarkan linguistik sebagai “ilmu yang mempunyai derajat kebebasan yang tinggi” karena dapat “bermetamorfosis” ke dalam ilmu-ilmu di luar bahasa

Penerapan teknologi informasi dalam pengelolaan data bagi pelayanan publik pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (BP2TSP) Kota Samarinda telah terlaksana

Namun kacang tanah dengan kerapatan tanaman 50x30 cm merupakan tanaman penutup tanah yang lebih baik karena menghasilkan sisa tanaman (bahan organik) yang lebih banyak dan

Mengungkapkan makna dan langkah retorika dalam esei pendek sederhana dengan menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima untuk berinteraksi dalam konteks § Teks

Indikator pada variabel sikap konsumen yang mempunyai pengaruh dominan terhadap variabel keputusan pembelian produk ekolabel PT Ultrajaya adalah indikator komponen

Pada titik ini kita dapat melihat bahwa dengan menyangkal aspek ke-guna-an sebuah obyek estetik, Croce mencoba untuk memaknai ekspresi sebagai sesuatu yang intuitif –

Cara kerja dari produk ini adalah; 1) Pembiayaan salam adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk transaksi jual beli barang