• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENUJU LINGUISTIK KEBUDAYAAN SEBAGAI ILMU: SEBUAH PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU. Ida Bagus Putra Yadnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENUJU LINGUISTIK KEBUDAYAAN SEBAGAI ILMU: SEBUAH PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU. Ida Bagus Putra Yadnya"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SEBUAH PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Ida Bagus Putra Yadnya

1. Dasar Pemikiran

Bahasa adalah instrumen utama manusia dalam mengintegrasikan dirinya baik secara internal maupun eksternal sebagai individu yang berfungsi dan partisipan aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia (Mc Quown, 1978:171). Oleh karenanya kajian tentang bahasa harus selalu menempatkan kajian itu dalam hubungannya dengan kehidupan manusia (Harimurti Kridalaksana,1998:2). Dalam kontek budaya, bahasa tidak saja bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan, kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau kelompok lain, tetapi juga bisa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya, mulai dari prilaku berbahasa, identitas dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya. Berangkat dari paradigma ini maka studi tentang bahasa tidak hanya terbatas pada penelitian mikro yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan bahasa itu sendiri dan sekaligus bisa dipandang sebagai argumentasi untuk menganggap linguistik sebagai ilmu pengetahuan budaya.

Linguistik adalah studi ilmiah yang menempatkan bahasa sebagai objek kajiannya. Dalam sejarahnya, perkembangan linguistik tidak bisa dipisahkan dengan nama Saussure yang dipandang sebagai Bapak linguistik modern. Ketenaran Saussure di kalangan para linguis bukan saja karena jasa-jasa pada aspek-aspek terinci mengenai bahasa tetapi juga pada peletakan dasar-dasar filosofis ilmu linguistik khususnya yang berkaitan dengan binary opposition (seperti dalam konsep langue versus parole, sinkronis versus diakronis, hubungan sintagmatig versus paradigmatik, dan signifie dan signifiant) Bahkan seperti yang diklaim oleh Ricoeur (1978:229), language is one of the dominant features of philosophy today dan menempatkan linguistics into a leading position among the human sciences.

Saussure memandang bahasa sebagai fakta sosial yang sebenarnya juga diperkenalkan oleh Durkheim (1895) dalam bukunya Rules of Sociological Method. Menurut

(2)

Durkheim fakta sosial adalah gagasan-gagasan (representations) dalam kesadaran kolektif (collective mind, ame collective, atau conscience collective) dari suatu masyarakat yang diartikan sebagai cara hidup yang dilakukan bersama-sama dan tidak diturunkan dari moyangnya (Sampson, 1985:57) Hubungan bahasa dan kebudayaan penuturnya juga tercermin dalam hipotesis Sapir-Whorf melalui cultural relativity. Bahasa sebagai fakta sosial selanjutnya juga dianut oleh Halliday (1978) dalam mengembangkan teori teks dan context of situation dan memandang bahasa sebagai semiotik sosial dalam memberikan interpretasi terhadap bahasa dan makna. Berdasarkan praanggapan ini Halliday menawarkan berbagai paradigma studi bahasa. Berangkat dari berbagai sudut pandang terhadap bahasa Halliday mengelompokkan kajian bahasa ke dalam dua jenis yakni (1) yang berasal dari intra-organism perspectives dan (2) inter-organism perspectives yang saling melengkapi. Intra-organism perspectives memandang bahasa sebagai system dan telah menjadikan linguistik mikro sedangkan inter-organism perspectives memandang bahasa sebagai behaviour, knowledge, dan art dalam interaksinya dengan bidang pengetahuan lain. Sebagai behaviour bidang ini berinteraksi dengan sosiologi dan melahirkan sosiolinguistik, sebagai knowledge bersentuhan dengan psikologi memunculkan psikolinguistik dan sebagai art kajian bahasa terrealisasi dalam kajian-kajian sastra (Halliday, 1978: 9—16)

Walaupun Harimurti menggambarkan linguistik sebagai “ilmu yang mempunyai derajat kebebasan yang tinggi” karena dapat “bermetamorfosis” ke dalam ilmu-ilmu di luar bahasa (yang memungkinkan tumbuhnya ilmu-ilmu baru seperti Linguistik Kebudayaan) serta dapat melaksanakan kajian secara nomotetis dan ideografis tetapi Masinambow (1998:19) masih menganggap bahwa linguistik merupakan ilmu dengan pendekatan yang khas sebagaimana yang tercermin dalam definisi Sturtevant (1947) tentang bahasa (sebagai “system of arbitrary vocal symbols by which members of a social group cooperate and interact”) yang memiliki komponen sosial di samping komponen yang terdiri atas sistem tanda. Sayangnya perhatian para pakar linguistik dalam perkembangannya disinyalir lebih terfokus pada sistem tanda daripada pengguna sistem tanda tersebut (yakni by which members of a social group cooperate and interact) sampai munculnya sosiolinguistik, etnolinguistik atau anthropological linguistics. Berangkat dari fleksibilitas dan kekhasan ciri kajian terhadap bahasa, suatu pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah mungkinkah linguistik kebudayaan dianggap sebagai suatu bidang ilmu? Tentu saja lahir, tumbuh dan

(3)

kokohnya ilmu menimbulkan berbagai persoalan. Untuk menjadikan linguistik kebudayaan sebagai suatu ilmu akan memerlukan epistimological thinking yang berfungsi untuk mewahanai keterkaitan bahasa dengan interdisipliner yang diilustrasikan di atas.

Berbagai pengertian tentang filsafat ilmu telah diberikan oleh para filsuf. Sebagaimana dikutip oleh Gie (1999:58), A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual. Selanjutnya Benjamin membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang: (1) telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur logis dari sistem perlambangan ilmiah, (2) penjelasan mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-landasan empiris, rasional, atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya, dan (3) aneka telaah mengenai saling keterkaitan di antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta. Berdasarkan kajian pustaka, tulisan ini mencoba melihat kemungkinan linguistik kebudayaan sebagai ilmu dengan berargumentasi dari persepktif filsafat ilmu dan memakai prasyarat keilmuan (aspek ontologis, epistimogolis, dan aksiologis) sebagai tolok ukur kemandirian linguistik kebudayaan sebagai ilmu. Tentu saja simpulan argumentasi yang diberikan (kalau tidak terlalu dini) masih memerlukan pembenaran empiris dan kajian lebih mendalam untuk mengklaim kemandirian Linguistik Kebudayaan sebagai ilmu. Paling sedikit tulisan ini diharapkan bisa membangkitkan sikap optimisme terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan memberikan apresiasi terhadap pemikiran yang menganggap adanya kesalingbermaknaan suatu ilmu terhadap ilmu yang lain.

2. Linguistik Kebudayaan Sebagai Ilmu

Istilah ilmu atau science mengandung pengertian ganda. Di satu sisi, ilmu bisa digunakan sebagai istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan (science in general) dan di sisi lain istilah ilmu juga digunakan untuk mengacu pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah atau cabang ilmu khusus yang mempelajari suatu pokok soal tertentu seperti antropologi, sosiologi dan linguistik itu sendiri. Ilmu bisa dipahami (1) sebagai pengetahuan karena merupakan

(4)

kumpulan yang disusun secara sistematis dari data tentang alam semesta, (2) sebagai aktivitas (atau suatu proses, yakni serangkaian aktifitas yang dilakukan manusia) karena merupakan suatu produk yang dihasilkan melalui kegiatan manusia dan (3) sebagai metode guna memperoleh pengetahuan yang obyektif dan dapat diperiksa kebenarannya (Lihat Gie, 1999:85-88). Rangkaian aktifitas tersebut bersifat rasional karena mempergunakan kemampuan pikiran untuk bernalar yang berbeda dengan aktifitas berdasarkan perasaan atau naluri sehingga ilmu menampakkan diri sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris. Ilmu adalah sebuah proses yang bersifat kognitif karena berhubungan dengan proses mengetahui dan pengetahuan melalui serangkaian aktifitas seperti pengenalan, penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran. Di samping bersifat rasional dan kognitif, ilmu juga bercorak teleologis yakni mengarah pada tujuan tertentu yang diinginkan oleh ilmuwan itu sendiri. Berdasarkan berbagai pustaka, Gie (1999:130) akhirnya merumuskan ilmu sebagai “rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan”. Dari pengertian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa suatu bidang pengetahuan bisa dikatakan mandiri sebagai ilmu apabila memiliki obyek yang menjadi bidang kajian, metode, dan manfaat atau kegunaan.

Dasar berfikir mengenai adanya hubungan antara bahasa dengan budaya penuturnya telah melahirkan konsep etnolinguistik atau antropolinguistik, linguistik kultural dan linguistik kebudayaan. Istilah tersebut muncul dari perspektif yang berbeda. Perbedaannya terletak pada titik tolak kajian. Identik dengan konsep etnolinguistik dan antropolinguistik, linguistik kultural yang diperkenalkan oleh Suharno (1992) merupakan telaah kebudayaan berdasarkan data kebahasaan (lihat juga Salombe 1989; Simon 1998) sedangkan linguistik kebudayaan yang dicoba diperkenalkan dan dipopulerkan dalam berbagai seminar nasional dan internasional oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (bahkan menjadi mata kuliah wajib pada Program S2 dan S3 bidang Linguistik Universitas Udayana) merupakan telaah bahasa dalam kaitannya dengan kebudayaan. (Lihat juga Robin 1992; Sutjiati 1998: dan Simon 1998)

(5)

2.2.1 Paradigma Ontologis

Ilmu dibangun di atas suatu struktur yang memiliki tiga aspek (1) ontologis yang merupakan jawaban terhadap apa yang menjadi objek sebenarnya (proper object) dari ilmu tersebut, (2) epistemologis yang mengacu pada metode atau cara bagaimana objek tersebut dikaji untuk mendapat pengetahuan, dan (3) aksiologis yang berhubungan dengan kebermaknaan pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Secara kuantitatif ilmu terus berkembang dan yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa yang menentukan macam ilmu tersebut dan apa yang membedakan suatu ilmu dengan yang lainnya.

Setiap ilmu harus mempunyai objek sebenarnya (proper object) yang berwujud objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena yang ditelaah oleh ilmu sedangkan objek formal adalah pusat perhatian dalam penelahaan terhadap fenomena. Tidak bisa disangsikan lagi bahwa ilmu bisa memiliki objek material yang sama tetapi perbedaan sudut pandang terhadap objek material yang sama akan menghasilkan macam ilmu yang berbeda. Linguistik, Sosiolinguistik, dan Linguistik Kebudayaan misalnya bisa dikatakan memiliki objek material yang sama yakni bahasa tetapi ketiga disiplin ilmu ini memiliki paradigma yang berbeda mengenai bahasa sehingga menjadikan masing-masing bisa dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Linguistik dalam pengertian mikro merupakan telaah intrinsik atau internal bahasa sedangkan Sosiolinguistik dan Linguistik Kebudayaan merupakan telaah ekstrinsik terhadap bahasa. Walaupun Sosiolinguistik dan Linguistik Kebudayaan memiliki persamaan karena keduanya memiliki kajian terhadap bahasa dikaitkan dengan aspek-aspek di luar bahasa tetapi kedua bidang studi bahasa ini memiliki fokus kajian berbeda yang dalam kepustakaan diacatat oleh Gie (1999:142) sebagai focus in interest, selective interest, attitude of mind atau kadang-kadang approach. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai suatu institusi sosial di mana baik individu maupun kelompok masyarakat melakukan interaksi sosial. Sosiolinguistik berusaha menemukan bagaimana pola prilaku linguistik dalam hubungannya untuk kepentingan kehidupan kelompok dan mengkorelasikan perbedaan perilaku linguistik dengan variabel-variabel yang menentukan kelompok sosial seperti umur, jenis kelamin, ras, kedudukan dan sebagainya (Foley, 1997:3). Linguistik Kebudayaan memperlakukan bahasa sebagai fenomena yang kebermaknaannya hanya bisa dipahami secara menyeluruh bila dikaitkan dengan budaya penuturnya. Linguistik

(6)

Kebudayaan berusaha mengungkap the meaning behind the use, mis-use or non-use of language (dalam hal ini pengertiannya identik dengan Anthropological Linguistics yang memandang bahasa melalui prisma konsep antropologi yang paling inti yakni kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Foley ,1997)

Sebagaimana yang dicatat oleh Ricoeur (1978:229), keyakinan akan pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dan sebagai peran sosial di kalangan pemikir untuk menelaah dan mengungkapkan kebenaran dan pemahaman tentang hakekat manusia dan dunia di sekitarnya telah ditunjukkan oleh Plato dan Aristoteles. Kita telah terbiasa dengan pemikiran bahwa kata dan kalimat mempunyai makna tetapi sebagian orang kurang akrab dengan notion bahwa objek, produk dan aktifitas juga bermakna. Fenomena sosial seperti makan, berpakaian, arsitektur, disain, dekorasi interior, sapaan, postur dan gerak tubuh, periklanan dan sebagainya dapat dipahami melalui model bahasa dalam artian bahwa semua fenomena tersebut bisa dilihat sebagai suatu sistem yang dilandasi oleh suatu konvensi. Wacana kebudayaan adalah wacana yang dapat berwujud teks media, pepatah dan peribahasa, cerita rakyat dan lain-lain dan merupakan produk penggunaan bahasa yang mencerminkan bahasa sebagai sumber daya yang memiliki bentuk, fungsi dan makna tersendiri. Fenomena kebahasaan tersebut memberikan alternatif penelitian dan memiliki daya tarik tersendiri untuk diangkat sebagai fokus kajian Linguistik Budaya.

Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang (orang yang satu berbeda dengan orang yang lainnya), begitu juga kebudayaan. Sebagaimana yang diasumsikan oleh Wierzbicka (1994), dalam masyarakat yang berbeda orang tidak saja berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda tetapi mereka juga menggunakan bahasa tersebut dengan cara yang amat berbeda. Perbedaan cara bertutur mencerminkan nilai-nilai budaya yang berbeda atau paling sedikit tataran nilai yang berbeda. Pernyataan ini sesuai dengan definisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1988:94), yakni “the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression”. Dari definisi tersebut terkandung pengertian bahwa masing-masing guyub bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya Memberi pemerian dan menjelaskan cara bertutur khas seperti itu dibicarakan dalam studi wacana kebudayaan. Oleh karena itu merupakan tantangan yang menarik bagi para linguis untuk mengungkapkan hubungan antara cara bertutur tertentu dengan budaya orang yang terlibat di dalamnya.

(7)

Tantangan tersebut bisa ditanggapi melalui penerapan ancangan yang bersifat ideografis yang berupaya mengetahui ”apa dalam diri manusia baik sebagai mahluk individual maupun sebagai mahluk sosial yang mendorongnya berprilaku menurut pola-pola tertentu” (Masinambow, 1998:10).

Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk melayani setiap pikiran manusia. Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri, 2001:120). Fishman (1985) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan prilaku manusia. Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item leksikal dan sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis.

Berdasarkan perbincangan di atas dapat dirumuskan berbagai alternatif bidang kajian Linguistik Kebudayaan melalui sejumlah pertanyaan orientasi seperti berikut:

(1) Bagaimana budaya berpengaruh pada bahasa?,

(2) Seberapa jauh prilaku linguistik merupakan variabel secara kultural? (3) Apakah ekspresi linguistik berbeda dari satu budaya dengan budaya lain?

(4) Apakah pengaruh norma budaya menyebabkan reaksi atau prilaku linguistik yang amat berbeda bagi situasi dasar yang sama? dsb.

2.2 Aspek Epistimologis Linguistik Kebudayaan

Aspek epistimologis dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai metode yang berarti cara kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan dan sekaligus merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Oleh karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan (termasuk Linguistik Kebudayaan) harus mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek studi ilmu pengetahuan itu sendiri. Seperti yang

(8)

dikemukakan di depan, bahwa yang membedakan Linguistik Kebudayaan dengan bidang studi bahasa lainnya adalah paradigma yakni cara bagaimana disiplin ilmu ini memandang bahasa sebagai objek studi.

Seperti yang disinggung sebelumnya, Wierzbicka (1994) dalam tulisannya yang berjudul “Cultural Scripts: A New Approach to the Study of Cross-cultural Communication” berasumsi bahwa dalam masyarakat dan komunitas yang berbeda orang bertutur secara berbeda. Perbedaan dalam cara bertutur sangat terasa, tampak serta sistematis. Perbedaan ini mencerminkan nilai-nilai budaya yang berbeda atau paling tidak memiliki hirarki nilai yang berbeda. Dan cara bertutur atau communicative style yang berbeda dapat dijelaskan dan dimengerti melalui konteks nilai-nilai dan prioritas budaya yang berbeda. Untuk mengkaji perbedaan dalam pola-pola karakteristik komunikasi dari budaya yang berbeda kita memerlukan kerangka kerja yang sesuai. Wierzbicka (1994) mengemukakan bahwa model wacana kebudayaan (“cultural script model”) adalah sebuah alternatif. Model kerangka kerja ini memungkinkan kita mempelajari baik perbedaan dalam cara berkomunikasi maupun perbedaan yang melandasi cara berpikir. Wacana kebudayaan diformulasikan dalam makna alamiah metabahasa (natural semantic metalanguage) yang didasarkan atas serangkaian leksikal dan pola-pola sistaksis yang universal. Penggunaan metabahasa ini bisa menjelaskan perbedaan antara budaya termasuk cara bertutur (communicative style) dan pada tingkat praktis bisa mempermudah komunikasi lintas budaya (cross-cultural communication). Dengan mendasarkan penjelasan dan ilustrasinya mengenai wacana kebudayaan pada norma-norma budaya Anglo, Jepang dan Polandia, Wierzbicka akhirnya menyimpulkan bahwa walaupun di dalam kebanyakan masyarakat terdapat banyak variasi dalam bertutur, namun di dalamnya juga terdapat tingkat kesamaan intra-komunitas yang banyak pula. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa setiap masyarakat memiliki serangkaian norma budaya yang sama, yang kelihatan amat spesipik dan dapat dinyatakan dalam bentuk wacana kebudayaan secara eksplisit.

Wacana kebudayaan terdapat dalam wacana yang digunakan dalam aktifitas sehari-hari seperti apa yang boleh atau tidak boleh diucapkan seseorang, sesuatu yang boleh atau tidak boleh dilakukan serta sesuatu yang baik untuk dikatakan atau dilakukan. Wacana-wacana tersebut membentuk suatu kaedah budaya (cultural grammar) yang tak bisa diucapkan tetapi bagian-bagiannya pada suatu saat muncul dalam wujud wacana misalnya

(9)

pepatah, peribahasa, ajaran-ajaran populer, rutinitas sosialisasi yang umum dan sebagainya. Karena wacana kebudayaan dapat diformulasikan dalam leksikon universal maka wacana tersebut dengan mudah bisa dibandingkan secara lintas budaya.

Memberikan pemerian dan penjelasan tentang cara bertutur yang memiliki kekhasan budaya merupakan bagian dari kajian wacana kebudayaan. Dan tugas ini bisa dianalisis dari berbagai arah yang berbeda dengan menggunakan berbagai metode. Menurut Goddard dan Wierzbicka (1994) tantangan yang paling besar adalah menunjukkan hubungan-hubungan antara cara bertutur yang khas dengan budaya dari orang yang terlibat di dalamnya. Untuk melakukan itu tentu saja kita harus mampu menentukan nilai-nilai dan prioritas budaya yang relevan dari pola-pola tuturan itu sendiri secara mandiri. Dan kemampuan ini bisa muncul dari berbagai sumber seperti melalui survei, atau interview tentang sikap dan prilaku, pengamatan kebiasaan mengasuh anak, pepatah, peribahasa, dan ungkapan budaya, analisis semantik terhadap kata-kata kunci budaya serta analisis budaya yang lebih luas. Namun demikian Goddard dan Wierzbicka mengingatkan bahwa masalah bias etnosentris yakni pemahaman kita terhadap kebiasaan wacana kebudayaan lain bisa mengalami distorsi jika kita memandangnya melalui prisma kebiasaan dan konsep budaya kita sendiri.

Sebagaimana yang dikutip oleh Harimurti Kridalaksana (1998:3), Ferdinand de Saussure pernah menyatakan “Sudut pandang menciptakan obyek penelitian”. Hal ini oleh Verschueren et al (1995:13) dinyatakan mengakibatkan bahwa dalam linguistik terdapat pluralisme teoritis dan metodologis. Pluralisme ini juga tercermin dalam Linguistik Kebudayaan sehingga pendekatannya cenderung bersifat eklektik. Alternatif pendekatan yang bisa diterapkan dalam Linguistik Kebudayaan adalah pendekatan etnografi komunikasi, NSM (Natural Semantic Metalanguage), pragmatik dan semiotik sosial.

Pendekatan etnografi komunikasi pertama dikemukakan oleh Hymes (1962) pada saat teori-teori linguistik didominasi oleh aspek struktural bahasa yang bersifat preskriptif dibandingkan dengan bahasa dalam penggunaan. Hymes menekankan bahwa menjadi penutur yang kompeten berarti lebih dari sekedar mengenal tatabahasa (grammar). Menjadi penutur kompeten adalah mengetahui bagaimana bertutur dengan cara yang layak atau tepat secara budaya kepada orang yang berbeda tentang hal yang berbeda dalam latar yang berbeda. Dalam kaitannya dengan meneliti kemampuan komunikasi, Hymes menyatakan bahwa penelitian harus terfokus pada apa yang disebut dengan aktifitas tutur (speech event).

(10)

Walaupun terkesan lebih menekankan keindahan singkatan bagi pembaca penutur bahasa Inggris dibandingkan dengan skala prioritas yang memungkinkan terjadinya suatu peristiwa wicara, sosiolinguis ini memperkenalkan suatu kerangka dimensi peristiwa komunikasi yang disebut SPEAKING framework, yakni S (setting dan scene) yang mengacu pada latar di mana dan kapan terjadinya peristiwa bicara, P (participants) pada siapa saja yang terlibat, E (ends) pada apa yang ingin dicapai oleh pelibat, A (acts) pada apa yang dikatakan dan dilakukan, K (kesy) pada bagaimana nada emosi seperti serius, lembut, sedih dan sebagainya, I (instrumentalities) pada sarana atau media yang menyangkut saluran (channels) seperti verbal, tertulis dan sebagainya dan kode (codes) seperti variasi dan cara pemakaian bahasa serta gaya berbicara, N (norms) pada norma-norma interaksi dan interpretasi (misalnya mengapa seseorang harus berprilaku seperti ini atau itu), dan G (genres) pada macam/ jenis peristiwa wicara.

Untuk menjelaskan fenomena wacana dalam kontek budaya, variabel yang paling penting adalah komponen N (norms). Norma-norma interaksi mengacu pada kaedah bagaimana orang diharapkan bertutur dalam peristiwa tutur tertentu. Dan semua pengetahuan budaya lain yang diperlukan untuk memahami peristiwa komunikasi berada di bawah norma-norma interpretasi. (Bandingkan pula dengan teori konteks situasi dari berbagai ahli seperti Malinowski (1923) dengan istilah context of situation dan context of culture, konsep Firth (1950) tentang konteks situasi yang mencakup participants, action, situasi relevan, dan efek dari aksi verbal; dan Halliday (1985) mencakup field , tenor and mode of discourse)

Secara pragmatik penggunaan bahasa atau wacana kebudayaan tertentu mengacu pada konteks dan situasi tertentu pula. Dengan mengutip Grice (1975), Goddard dan Wierzbicka (1996) mengungkapkan bahwa semua komunikasi manusia didasarkan atas prinsip universal yang disebut dengan maxim of conversation misalnya: singkat, informatif, relevan dan jelas. Dalam kutipan selanjutnya diungkapkan bahwa Brown dan Levinson’s (1978) menyatakan bahwa semua kebudayaan memberikan penuturnya dua jenis strategi umum mengimbangi gangguan yang terdapat dalam komunikasi yakni strategi positive politeness yang berlaku pada kelompok yang memiliki identitas dan kepentingan umum yang sama dan strategi negative politeness yang menekankan otonomi dan kebebasan pembicara dan pendengar.

(11)

Wierzbicka (1994) yang telah mengembangkan pendekatan NSM (natural semantic metanguage) menyatakan bahwa metabahasa dari lexical universals tidak saja dapat digunakan dalam analisis semantik tetapi juga untuk memformulasikan kaedah budaya untuk bertutur yang disebut dengan “cultural scripts”. Wacana seperti itu bisa mencakup sikap/ prilaku, assumsi dan norma khas budaya dengan tepat. NSM adalah sebuah teori yang berpegang pada postulat bahwa makna yang kompleks yang terkandung dalam suatu bentuk (kata, frasa, atau klausa) baik dalam suatu bahasa maupun antar bahasa dapat diuraikan dengan menggunakan sejumlah makna asali (semantic prime) yang bersifat universal (Goddard, 1994:24; Wierzbicka, 1992:17-18). Keberadaan makna asali didasari oleh asumsi bahwa konsep dasar yang dimiliki manusia diwarisi sejak lahir (innate) serta merupakan warisan genetis sehingga dapat ditemukan pada setiap bahasa manusia.

Dari sudut pandang semiotik, segala sesuatu dalam kebudayaan dapat dilihat sebagai bentuk komunikasi, yang diatur dengan cara yang serupa dengan bahasa verbal, dan dapat dimengertikan dalam kontek serangkaian kaedah atau prinsip dasar yang umum (Hodge dan Kress,1991:1). Semiotik pada dasarnya adalah studi yang umum tentang semiosis yakni proses dan efek dari produksi dan reproduksi, penerimaan dan penyebaran makna dalam berbagai bentuk yang digunakan oleh segala jenis pelaku komunikasi. Semiotik sosial berhubungan dengan semiosis manusia sebagai fenomena sosial yang melekat pada sumber, fungsi, kontek dan efek. Semiotik sosial juga menyangkut makna sosial yang dibangun melalui teks dan praktek semiotik dalam segala jenis masyarakat manusia pada sepanjang periode sejarah manusia (Hodge dan Kress, 1991:261). Fenomena semiotik selalu memiliki dimensi sosial dan referensial dan oleh karena itu harus dijelaskan melalui mimetic plane yang menunjukkan versi realitas sebagai kemungkinan acuan dan semiotic plane yang menunjukkan peristiwa semiotik yang menghubungkan yang memproduksi, yang menerima dan yang diacu dan ditunjukkan dalam suatu hubungan yang signifikan.

2.3 Aspek Aksiologis dari Linguistik Kebudayaan

Aspek aksiologis suatu ilmu pengetahuan bersifat pragmatis berhubungan dengan nilai dan manfaat bagi kemanusiaan. Dengan meminjam istilah ilmu ekonomi, sebagai suatu produk (identik dengan komoditi) hasil sebuah aktivitas atau proses ilmiah setiap ilmu pengetahuan pasti memiliki nilai guna (utility) dan kebergunaan (usefulness). Misalnya kapal

(12)

selam adalah suatu produk iptek. Sebagai kapal selam, dia memiliki nilai guna (utility) tersendiri tetapi kebergunaannya (usefulness) hampir tidak ada bagi suatu negara yang tidak memiliki laut (seperti Swiss). Ilustrasi ini juga bisa diproyeksikan kepada Linguistik Kebudayaan. Sebagai ilmu, nilai guna yang dimiliki disiplin ini tercermin dalam tujuan dibangunnya ilmu itu sendiri yakni untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Untuk kepentingan pengembangan linguistik itu sendiri Linguistik Kebudayaan telah memberikan kontribusi berupa alternatif model kajian kebahasaan. Linguistik Kebudayaan memberikan pemahaman tentang hakekat bahasa dan kebudayaan, memberikan penjelasan tentang keterkaitan antara bahasa dan kebudayaan dan menunjukkan kemungkinan keterkaitan penerapan berbagai pendekatan yang berbeda terhadap data-data kebahasaan. Kebergunaan Linguistik Kebudayaan ditunjukkan oleh kemungkinan yang diberikan oleh disiplin ilmu ini untuk memahami komunikasi lintas budaya yang bisa memperluas wawasan budaya kita terhadap budaya orang lain yang pada gilirannya nanti mampu memperkokoh kecintaan terhadap budaya sendiri.

3. Simpulan

Dari uraian dan ilustrasi terdahulu secara singkat dapat disimpulkan bahwa Linguistik Kebudayaan memenuhi syarat sebagai ilmu karena disiplin ini bisa dibangun di atas landasan ontologis, epistimologis dan aksiologis yang jelas berbeda dari bidang kajian kebahasaan lain seperti mikrolinguistik, sosiolinguistik, psikolinguistik dan bahkan dengan etnolinguistik atau antropolinguistik (walaupun masih diperdebatkan dan perbedaannya dengan disiplin ilmu ini tidak setegas perbedaanya dengan sosiolinguistik). Linguistik Kebudayaan merupakan disiplin ilmu interpretative yang mengupas bahasa untuk menemukan pemahaman tentang kebudayaan. Walaupun pendekatan ilmu pengetahuan ini bersifat eklektik tapi tetap mempertahankan kekhasannya dalam pemilihan data kebahasaan sebagai objek studi (yakni parole) dengan ancangan yang bersifat ideografis dan kecenderungan penerapan metodologi kulatitatf pendekatan fenomenologis.

(13)

Daftar Pustaka

Fishman, Joshua, 1985. “Language” dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper. The Social Science Encyclopedia. London, Boston and Henley.

Foley, W.A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.Oxford: Blackwell.

Gie, The Liang. 1999, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi Kedua (Diperbaharui). Yogyakarta: Penerbit Liberty

Goddard, Cliff dan Anna Wierzbicka. 1996. “Discourse and Culture” dalamThe Third Autralian Linguistic Institute. Australian National University, July 1- 12, 1996. Cross-Cukltural Communication.

Guiraud, Pierre. (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh George Gross). 1975. Semiology. London: Routledge & Kegan Paul.

Halliday, M A K. 1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold.

Halliday, M A K. dan Raquaiya Hasan.1986. Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press.

Harun Hadiwijono.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.

Hill, Archibald A (Ed.). 1978. Linguistics. USA: Voice of America Forum Series.

Hodge, Robert dan Gunther Kress. 1991. Social Semiotics. Cambridge. Polity Press.

Hymes, D. H. 1962. “The Ethnography of Speaking”. Dicetak ulang dalam Joshua Fishman (Ed.). Readings on the Sociology of Language. (pp. 99-138. The Hague-Mouton. 1968.

Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Kridalaksana, Harimurti. 1998. “Linguistik dan Ilmu Pengetahuan Budaya” dalam Linguistika. Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana. Tahun V Edisi Kesembilan September 1998, pp. 1—9.

Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Linguistika, Wahana Pengembang Cakrawala Linguistik. Tahun V Edisi Kesembilan, September 1998.

Masinambow, E.K.M. 1998. “Linguistik: Masuk Ilmu Pengetahuan Apa?” dalam Linguistika. Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana. Tahun V Edisi Kesembilan September 1998, pp. 10—20.

(14)

Mc Quown, Norman A. 1978. “Linguistics and Anthropology” dalam Archibald A Hill (Ed.). Linguistics. USA: Voice of America Forum Series.

Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penellitian Kualitatif. Edisi III. Yogyakarta:Rake Sarasin

Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice-Hall.

Ricoeur, Paul. 1978. Main Trends in Philosophy. New York: Holmes and Meler Publishers.

Robin, R.H. 1992. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius

Salombe, Cornelius. 1989. “Aspek Ekologis Alam Pemikiran Tradisional Suku Toraja: Suatu Analisis Antropolinguistik”, Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.

Sampson, Geofrey. 1985. Aliran-Aliran Linguistik (Diterjemahkan oleh Abd.Syukur Ibrahim dkk.).Surabaya: Penerbit Usaha Nasional

Simon Sabon Ola. 1998. ”Bahasa, Gambaran Budaya Penuturnya : Tinjauan Awal terhadap Ungkapan Bahasa Kedang” dalam Linguistika, Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana TahunV, Edisi ke sembilan, September 1998, pp 21—27

Suharno, Ignasius. 1982. “Linguistik Kultural” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1998. “Materi Kajian Linguistik Kebudayaan” dalam Linguistika, Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana TahunV, Edisi ke sembilan, September 1998, pp 41—45.

Tarigan, Henry Guntur, Prof. Dr. 1986.Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkhasa.

Wierzbicka, Anna. 1991. Cross-Cultural Pragmatics: Semantics of Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter.

Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition: Universal Human Concept in Culture-Specific Configurations. Oxford: Oxford University Press.

Verschueren, Jef & Jan-Ola Ostman &Jan Blommaert. 1995. Handbook of Pragmatics Manual. Amsterdam: John Benjamins.

Wierzbicka, Anna. 1994. “Cultural Scripts: A New Approach to the Stiudy of Cross-Cultural Communication” dalam The Thrid Australian Linguistic Institute. Australian National University, July 1 - 12, 1996. Cross-Cultural Communication.

Wierzbicka, Anna. 1996. Semantics: Primes and Universals. Oxford,New York:Oxford University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Pada variable rumen 10% tahap hidrolisis diperkirakan terjadi pada kurang dari 5 hari pertama sama dengan variable 5% dimana pada hari tersebut kandungan metana belum mengalami

Abstrak -- Tesis ini menganalisis tentang pemanfaatan Sistem Peringatan Dini tiga lembaga terkait pengamanan laut Indonesia, yaitu TNI AL, KKP dan Bakamla, dalam

Inkubator merupakan alat yang paling sering kita temui pada laboratorium mikrobiologi dalam jumlah lebih dari satu unit. Hal ini dikarenakan fungsi dari alat ini yang

Nout Mjr and Kiers Jl. A Review Tempe Fermentation, Innovation, And Functionality: Update Into The Third Millenium. Peran tempe kedelai hitam dalam meningkatkan

KONDOMINIUM TAMAN ANGGREK TOWER 7-46 C, JL. MEGA KUNINGAN BARAT IX, KAV. MEGA KUNINGAN BARAT IX, KAV.. M.H THAMRIN KAV. M.H THAMRIN KAV.. SULTAN HASANUDDIN NO. SULTAN HASANUDDIN

Alat yang digunakan untuk mendapatkan atau mengukur besaran performa diatas biasa disebut atau lebih dikenal dengan metode Sebelumnya penulis bersama teman – teman

Penarikan kesimpulan dan saran adalah tahap terakhir dari penelitian dimana data hasil pengujian sistem akan dianalisa yang nantinya akan menghasilkan kesimpulan

Sehingga komponen yang mempengaruhi besar kecilnya marjin yang akan diterima oleh bank (m) adalah harga dasar pembelian (x), total target pembiayaan tahun berjalan yang telah