No. : 125/Ketua/VIII/2021
Hal : Penugasan Dosen STFT Jakarta dalam Program “Kursus Teologi Dasar Seri 4”
Semester Ganjil TA 2021-2022
SURAT TUGAS
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta melalui surat ini menugaskan 4 (empat) orang dosen STFT Jakarta untuk menjadi pembicara dalam program Kursus Teologi Dasar (KTD) Seri 4 dengan tema “Liturgika dan Musik Gereja”. Program ini dilaksanakan secara daring pada semester ganjil TA 2021-2022. Tujuan penyelenggaraan program ini adalah menyediakan tempat bagi masyarakat yang berminat belajar teologi dasar sekaligus mempopulerkan ilmu teologi kepada masyarakat. Narasumber untuk program ini yang merupakan dosen STFT Jakarta adalah sebagai berikut.
Tanggal Topik Narasumber
2 September 2021 Liturgika: Pengertian, Sejarah, dan
Praktiknya Rasid Rachman, D.Th.
23 September
2021 Musik Gereja: Makna Nyanyian Jemaat,
Jenis dan Bentuk Nyanyian Ibadah Rahel S. H. Daulay, Th.M.
7 Oktober 2021 Nyanyian Jemaat Kontekstual:
Perbendaharaan dan Tema Teologis Nyanyian Jemaat Masa Kini
Dina Elisye Siahaan, M.A.
14 Oktober 2021 Unsur-unsur Liturgi, Bagian Ordo, dan
Maknanya Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
4 November 2021 Liturgi Ekumenis-Kontekstual Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
Demikian surat tugas ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya Jakarta, 3 Agustus 2021
Septemmy Eucharistia Lakawa, Th.D.
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
`
Nomor : 098/Waket IV/VII/2021 28 Juli 2021 Lampiran : 2 lembar
Perihal : Permohonan menjadi pembicara
Yth. Pdt. Rahel Daulay, MLM di tempat.
Salam dalam kasih Kristus.
Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta, kembali mengadakan program bina warga jemaat bersertifikat, yaitu Kursus Teologi Dasar 4 pada semester genap di tahun akademik 2020/2021 ini, dengan tema besar “Liturgika dan Musik Gereja”. Untuk itu, kami hendak mengundang Ibu sebagai salah satu pembicara dalam kegiatan tersebut:
hari, tanggal : Kamis, 23 September 2021 waktu : 18.00–20.00 WIB
tempat : Virtual melalui Zoom
topik : “Musik Gereja: Makna Nyanyian Jemaat, Jenis dan Bentuk Nyanyian Ibadah”
Pembicara harap menyiapkan makalah/diktat (3000–4000 kata) dengan format Microsoft Word, serta bahan presentasi dengan format Microsoft Powerpoint. Makalah dapat kami terima selambat-lambatnya satu minggu sebelum kelas dilaksanakan dengan mengirimkannya melalui surel [email protected], guna peserta dapat membaca makalah tersebut sebelum kelas dilaksanakan. Informasi selanjutnya dapat menghubungi 081286489848 (Sdri. Monica Michelle).
Demikianlah undangan ini kami sampaikan. Kami menantikan respons dari Ibu. Rahmat dan berkat Tuhan kiranya memberkati kita sekalian.
Teriring salam dan doa,
Pdt. Binsar J. Pakpahan, Ph.D.
Wakil Ketua IV bidang Relasi Publik Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
Tembusan:
1. Pengurus Yayasan LPTTI 2. Ketua STFT Jakarta
3. Bagian Keuangan STFT Jakarta 4. Arsip
`
KURSUS TEOLOGI DASAR 4
“Liturgika dan Musik Gereja”
PENJELASAN
Melihat kebutuhan jemaat untuk belajar teologi dasar dengan baik dari tempat yang terpercaya, program Kursus Teologi Dasar, adalah sebuah kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat, dan salah satu program Bina Warga Jemaat dan Aktivis Bersertifikat, yang dirancang oleh Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta (STFT Jakarta), yang memberikan kesempatan kepada warga jemaat untuk belajar tema-tema dasar dalam ilmu teologi, dan juga untuk mempopulerkannya kepada publik. Program ini mendorong peserta yang berasal dari berbagai gereja menjadi ruang belajar bagi warga jemaat untuk memiliki keterampilan teologi dasar.
Pada seri keempat ini, Kursus Teologi Dasar mengangkat tema “Liturgika dan Musik Gereja”.
Diharapakan melalui proses ruang belajar ini, peserta diharapkan memiliki keterampilan dalam liturgika dan musik gereja yang dapat diterapkan pada pelayanan di gereja masing- masing.
PENYELENGGARA
Kantor Wakil Ketua IV bidang Relasi Publik - Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta.
PESERTA
Target peserta adalah 80-100 orang. Komposisi peserta dalam kegiatan ini adalah para pendeta, anggota Majelis Jemaat, aktivis/pengurus gereja (secara khusus pelayan dalam pelayanan liturgi dan musik gereja), mahasiswa teologi, dan warga jemaat umum.
WAKTU PELAKSANAAN
Kelas diselenggarakan setiap hari Kamis, mulai tanggal 2 September-4 November 2021 pukul 18.00–20.00 WIB secara daring menggunakan aplikasi Zoom (jadwal terlampir).
BENTUK PERTEMUAN
• Pertemuan/kelas diadakan sebanyak 10 kali secara daring melalui aplikasi Zoom.
• Pembicara adalah dosen-dosen STFT Jakarta.
• Para pembicara menyiapkan dan menulis makalah/diktat (3000-4000 kata), serta bahan presentasi Powerpoint.
• Kesepuluh pertemuan/kelas dibagi sebagai berikut:
- Paparan materi selama 1 jam (18.00–19.00 WIB) - Istirahat selama 5 menit (19.00–19.05 WIB)
- Diskusi interaktif selama 55 menit (19.05–20.00 WIB) - Praktik (menyesuaikan pembicara)
`
JADWAL KEGIATAN
No. Tanggal Topik Pembicara
1 2 September 2021 Liturgika: Pengertian, Sejarah, dan
Praktiknya Rasid Rachman, D.Th.
2 9 September 2021 Unsur-Unsur Liturgi, Bagian Ordo, dan Maknanya
Williams Bill Mailoa, S.Si.(Teol.) 3 16 September 2021
Liturgi Virtual? Pemanfaatan Teknologi dalam Penyelenggaraan
Liturgi dan Ibadah Virtual
Johanes Lengkong, M.Hum.
4 23 September 2021
Musik Gereja: Makna Nyanyian Jemaat, Jenis dan Bentuk
Nyanyian Ibadah
Rahel Daulay, MLM
5 30 September 2021 Pelayanan dan Pelayan Musik Gereja
Aria Prasetio Adi S.Si.(Teol.)M.C.M.
6 7 Oktober 2021
Nyanyian Jemaat Kontekstual:
Perbendaharaan dan Tema Teologis Nyanyian Jemaat Masa
Kini
Dina Siahaan, M.A.
7 14 Oktober 2021 Liturgi Inisiasi: Baptisan, Sidi, dan Perjamuan Kudus
Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
8 21 Oktober 2021 Teks liturgi: Cara Membuat dan Menyusun teks-teks liturgi
Susan Sahusilawane, S.Si.(Teol.) 9 28 Oktober 2021 Liturgi yang Merangkul Kaum
Marginal Irene Umbu Lolo, D.Th.
10 4 November 2021 Liturgi Ekumenis-Kontekstual Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
`
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
1
Musik Gereja: Makna, Jenis, dan Bentuk Nyanyian Jemaat
Rahel Daulay, Th.M.
Pengantar
Nyanyian memiliki tempat khusus di sepanjang sejarah kekristenan. Jauh sebelum kekristenan ada, masyarakat Yahudi, akar tradisi Kristen, sudah menempatkan nyanyian sebagai salah satu dasar dari praktik spiritualitas mereka. Dalam kisah 1 Tawarikh 25, Daud mempersiapkan sejumlah orang (288 orang, bandingkan 1 Taw 25:7) untuk dilatih bernyanyi dan kemudian ditugaskan dalam ibadah.
Mereka sekalian adalah keturunan/anak-anak dari Asaf, Yedutun dan Heman. Mereka dipersiapkan dan dilatih secara khusus setiap hari oleh ayahnya di rumah dengan iringan ceracap, gambus dan kecapi sehingga mereka menjadi ahli seni. Ini dilakukan oleh karena nyanyian dianggap sebagai suatu yang penting dalam Bait Allah. Daud merasa perlu untuk mempersiapkan dan melatih para penyanyinya dengan baik dan terstruktur.
Mengapa perlu bernyanyi? Rasul Paulus menyampaikan dalam suratnya kepada jemaat di Kolose:
“Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu (Kol. 3:16). Nyanyian menjadi pegangan bagi kita untuk mengajar dan menegur; artinya nyanyian menjadi media untuk hidup berdampingan dengan orang lain. Nyanyian memiliki dimensi sosial yang memersatukan. Di dalam Alkitab terkandung beberapa teks yang aslinya merupakan nyanyian.
Kitab Mazmur merupakan kumpulan nyanyian yang menolong orang untuk mempertemukan sisi kemanusiaan dengan Allah. Mazmur merupakan Ibu dari semua nyanyian yang ada sampai saat ini.
Hampir dapat dikatakan, tidak ada gereja yang tidak bernyanyi. Nyanyian yang digunakan di gereja- gereja sampai saat ini sangat beragam. Sekalipun beragam, nyanyian hadir sebagai bagian penting dari sebuah liturgy serta menolong umat untuk berpartisipasi. Saat ini saya akan mengajak kita untuk melihat ragam dari nyanyian yang digunakan di gereja. Apa yang dinyanyikan, siapa yang bernyanyi, serta bagaimana keterhubungan konteks dengan bentuk nyanyian. Kekayaan nyanyian yang kita warisi saat ini membuktikan bahwa nyanyian mengalami perkembangan. Ia lahir dari inspirasi dan imajinasi orang-orang yang mengekspresikan imannya seturut dengan konteks yang mereka alami dan gumuli.
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
2 Kiranya pengenalan akan nyanyian jemaat kali ini menolong kita untuk semakin mengapresiasi nyanyian jemaat, dan menolong kita dalam menggunakan nyanyian sebagai bagian dari ibadah kita.
Definisi Nyanyian Jemaat
Agustinus dari Hippo membuat pemaknaan Hymn berdasarkan Mazmur 148, yaitu “pujian kepada Allah dengan nyanyian”. Menurut Eskew dan McElrath konsep ini baik namun kurang lengkap, sebab nyanyian yang kita gunakan tidak selalu berisi pujian. The Hymn Society in the United States and Canada membuat definisi Hymns sebagai berikut:
“A Christian Hymn is a lyric poem, reverently and devotionally conceived, which is designed to be sung and which expresses the worshipper’s attitude toward God or God’s purposes in human life. It should be simple and metrical in form, genuinely emotional, poetic and literary in style, spiritual in quality, and in its ideas so direct and so immediately apparent as to unify a congregation while singing it.”1
Dari definisi ini ditemukan beberapa kriteria yang harus tampak dalam sebuah nyanyian jemaat adalah:
- Syairnya berbentuk puisi lirik
- Dibangung dari devosi dan permenungan yang dalam - Dibuat untuk dinyanyikan
- Mengekspresikan sikap umat kepada Allah - Bentuknya sederhana dan metrical
- Melibatkan rasa
- Menggunakan gaya bahasa puisi dan sastra
- Mendorong umat untuk bertumbuh secara spiritual - Idenya langsung dan mudah ditangkap
- Menyatukan umat ketika menyanyikannya.
Berdasarkan kriteria ini untuk lebih sederhananya, hymn dapat diartikan sebagai nyanyian jemaat.
Seturut dengan perkembangan penelitian terhadap nyanyian ibadah ternyata himne juga sudah muncul dari abad mula-mula (contoh: Himne Ambrosius pada ab. 4). Dan sampai saat ini istilah nyanyian jemaat juga ditujukan pada nyanyian dari abad mula-mula yang tidak diperuntukkan untuk dinyanyikan oleh jemaat umum. Kita bisa menilai bahwa istilah ini mengandung dualisme. Nyanyian jemaat dapat berarti sebagai nyanyian yang dinyanyikan oleh jemaat, tetapi istilah ini juga bisa berarti nyanyian yang dinyanyikan bersama jemaat. Dari zaman dahulu, nyanyian tidak selalu dinyanyikan oleh jemaat. Namun nyanyian dicipta untuk digunakan dalam ibadah dan dinyanyikan bersama dengan jemaat, secara aktif maupun pasif. Di sini saya menekankan bahwa bernyanyi tidak
1 Harry Eskew and Hugh McElrath, Sing With Understanding (Nashville: Church Street Press, 1995), ix.
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
3 selalu harus mengeluarkan suara. Pada abad pertengahan kita mengenal plain chant (pendarasan) yang dinyanyikan dengan latihan khusus oleh biarawan monastic (schola cantorum). Pada zaman reformasi, muncul dorongan untuk melibatkan jemaat dalam bernyanyi. Mulai saat itu jemaat dilatih cara bernyanyi dan dibantu oleh kantoria (paduan suara) supaya dapat bernyanyi bersama. Para reformator pun mengupayakan bentuk-bentuk musik yang dapat dinyanyikan oleh jemaat. Mulai saat itu hingga saat ini, jemaat selalu terlibat dalam bernyanyi, bahkan mereka adalah pemeran utama dalam nyanyian ibadah. Dengan demikian pemahaman tentang nyanyian jemaat adalah nyanyian yang tidak selalu dinyanyikan oleh jemaat, namun dinyanyikan bersama dengan jemaat.2 Brian Wren, seorang himnolog, mengatakan bahwa nyanyian jemaat memiliki kelebihan yang menonjol, dua di antaranya ialah bersifat corporate dan corporeal. Corporate artinya komunal.
Nyanyian jemaat bisa mempersatukan orang banyak untuk merayakan musik secara bersama-sama.
Ketika kita bernyanyi, kita tidak pernah sendirian. Kita bernyanyi bersama dengan komposer yang bergumul menciptakan nyanyian tersebut, kita juga bernyanyi bersama dengan mereka yang menyanyikannya jauh sebelum kita lahir di dunia, dan kita juga bernyanyi bersama dengan mereka yang mendengar nyanyian ini dibunyikan. Nyanyian jemaat juga bersifat corporeal yang berarti melibatkan tubuh manusiawi secara bersama-sama. Pengalaman bernyanyi tidak hanya dilakukan oleh mulut saja, tetapi oleh seluruh tubuh. Mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Bernyanyi merupakan pengalaman yang menubuh dan direkam oleh memori tubuh. Nyanyian yang pernah tinggal dalam diri seseorang sulit untuk dilupakan. Tubuh kita yang bernyanyi adalah bagian dari tubuh Kristus. Oleh sebab itu sifat corporeal ini sekaligus menolong kita untuk menghayati bahwa ketika bernyanyi, kita sedang bernyanyi bersama dengan Kristus.3
Jenis dan Bentuk Nyanyian Jemaat
Saat ini kita mewarisi ribuan atau bahkan lebih nyanyian jemaat. Setiap nyanyian lahir dari inspirasi dan imajinasi masing-masing komposer yang dikumpulkan, diedit, dan dipublikasi menjadi sebuah buku nyanyian oleh orang-orang yang kita sebut dengan editor nyanyian/tim nyanyian. Di dalam
2 Di masa pandemic COVID-19, gereja memproduksi ibadah online yang mana nyanyian dibuat dalam bentuk audio/video yang direkam khusus dan diedit sedemikian rupa untuk ditampilkan di media elektronik. Di antara jemaat yang beribadah dari rumah masing-masing mungkin ada yang ikut bernyanyi, tapi mungkin juga ada yang hanya memilih untuk mendengar saja. Bukan berarti tidak bernyanyi. Nyanyian seperti ini tetap dapat disebut sebagai nyanyian jemaat.
Sekalipun jemaat tidak duduk bernyanyi bersama-sama, namun, nyanyian tersebut dikumandangkan bersama dengan jemaat.
3 Brian Wren, Praying Twice: The Music and Words of Congregational Song (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 84-87.
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
4 sebuah buku nyanyian terdapat jenis yang beragam sebagai upaya untuk mengakomodir semua kebutuhan jemaat untuk bernyanyi.
Untuk mengenali nyanyian dapat dilakukan analisis berdasarkan jenis dan bentuk nyanyian tersebut.
Jenis nyanyian dapat dikenali melalui beberapa pendekatan historis, psikologis, liturgis, dan juga berdasarkan aliran (genre). Jika ditinjau dari aspek historis maka kita akan menemukan berbagai jenis nyanyian yang lahir di era-era tertentu yang mana bentuk dan musiknya pun dipengaruhi oleh musik yang berkembang pada zaman itu. Jika ditinjau berdasarkan genre maka kita akan mengenal bentuk dan alunan nyanyian yang bervariasi. Jika ditinjau dari aspek psikologis perkembangan kita melihat ada nyanyian yang dikhususkan untuk kategori usia tertentu, misalnya nyanyian anak, nyanyian pemuda, nyanyian lansia. Jika ditinjau dari aspek liturgis maka kita akan menemukan jenis nyanyian berdasarkan susunan liturgy (order). Pada tulisan ini saya akan membatasi pemaparan pada jenis nyanyian berdasarkan pendekatan historis dan genre.
Berdasarkan pembabakan zaman
Bentuk dan gaya liturgi berkembang dari zaman ke zaman. Tradisi liturgi pada ibadah Kristen mula- mula (sekitar empat abad pertama) sangat dipengaruhi oleh bentuk ibadah Yahudi. Tata liturginya masih sederhana: membaca Kitab Suci, menyanyikan Mazmur, dan berdoa di sinagoge. Ketiga unsur ini adalah bagian utama dalam Ibadah Kristen mula-mula. Nyanyian Mazmur yang dipakai adalah berdasarkan Mazmur pilihan mengikuti jadwal sinagoge Yahudi. Selain Mazmur, ada juga Kantika (canticle) seperti: nyanyian pujian Zakaria (Benedictus), nyanyian pujian Maria (Magnificat) dan nyanyian pujian Simeon (Nunc Dimittis) dinyanyikan dalam rangka pengenangan. Adapun bentuk nyanyian adalah responsoris dan antifonal.
Sekitar abad ke-6 pada masa pemerintahan Paus Gregorius Agung, nyanyian warisan sinagoge diatur sedemikian rupa berdasarkan tradisi Gregorian. Nyanyian ini dinyanyikan secara satu suara (unisono) dan juga tanpa iringan, yang disebut Gregorian plainsong/plainchant. Cara bernyanyi dengan mendaras membuat bentuk nyanyian ini bersifat bebas dan fleksibel, seperti orang berbicara namun dengan alunan melodi. Saat ini jarang sekali kita menemukan bentuk nyanyian gregorian digunakan dalam ibadah gereja. Adapun bentuk-bentuk mazmur yang digunakan umumnya sudah mengalami perkembangan baik dari segi melodi, harmoni maupun bahasa.
Pada masa Reformasi tahun 1517, ibadah kristen mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Tokoh reformasi, Martin Luther, membuat beberapa perubahan dalam bentuk nyanyian juga bahasa yang digunakan. Nyanyian haruslah dapat dipahami oleh jemaat dan bisa dinyanyikan oleh jemaat.
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
5 Dengan demikian Martin Luther bersama rekan-rekannya mulai melakukan penerjemahan untuk beberapa nyanyian ke dalam bahasa lokal. Luther juga memperkenalkan bentuk nyanyian baru yang disebut Koral (chorale: nyanyian jemaat yang berbentuk himne stofic/berbait). Pada masa ini juga, Luther mulai memasukkan iringan-iringan instrumen untuk diterapkan pada nyanyian jemaat.
Kelompok penyanyi (kantoria) juga berperan penting dalam ibadah. Bahkan Luther membuka kelas untuk melatih para kantoria dalam bernyanyi. Merekalah yang nantinya akan bertugas dalam memimpin nyanyian jemaat di ibadah.
Di samping Martin Luther, ada juga tokoh Reformasi lainnya seperti John Calvin dan Zwingli yang turut membuat sebuah perubahan terhadap bentuk ibadah Kristen. Zwingli yang adalah seorang musisi menganggap bahwa alat musik sangat tidak layak untuk disandingkan dengan kekudusan ibadah. Oleh sebab itu ia melarang penggunaan alat musik dalam gereja. Tidak jauh berbeda, Calvin juga beranggapan demikian. Selain itu Calvin juga sangat menjunjung mazmur agar tetap digunakan dalam ibadah Kristen. Dia kemudian membuat sebuah perubahan terhadap nyanyian Mazmur.
Bersama dengan rekan-rekannya di Geneva, Swiss, Calvin memelopori pembuatan Mazmur Jenewa.
Pasca Reformasi, pada abad ke-17 di Inggris terjadi perkembangan Himne yang pesat. Bentuk nyanyian himne ber-bait (strofis) menjadi model yang lazim ditemukan. Bahkan nyanyian mazmur pun mengalami sebuah proses yang cukup ‘berani’, yaitu memparafrasekan isi yang tertulis dalam kitab Mazmur serta menambahkan unsur kristen ke dalamnya. Tokoh yang mempeloporinya adalah Isaac Watts. Setelah Watts, mulai bermunculan tokoh-tokoh himnody seperti Charles Wesley dan John Wesley (pendiri gereja Methodist). Ada pun bentuk nyanyian yang berkembang pada masa ini selain dari pada bentuk strofic (ber-bait) adalah isinya sarat dengan kitab Injil. Pada masa ini nyanyian memang dianggap sebagai sarana yang paling efektif dalam mengabarkan Injil. Bahkan dalam gerakan Methodistme nyanyian disebut sebagai “kendaraan yang paling baik untuk mengajak masyarakat mengenal Yesus Kristus”. Oleh sebab itu, jika kita melihat kembali model nyanyian abad 17-19 (sebagai yang paling banyak diadopsi dalam buku nyanyian jemaat saat ini) jarang sekali tema dari kitab Perjanjian Lama diangkat sebagai tema nyanyian.
Di Amerika pada abad-abad selanjutnya juga mengalami kebangunan rohani yang cukup
menggemparkan (Great Awakening). Dari perkembangan ini bentuk penginjilan serta peribadahan orang Kristen juga mengalami perubahan yang cukup beraneka. Dimulai dari gaya Gospel spiritual yang dipelopori oleh kelompok Black American, ada juga gaya Kontemporer yang didukung oleh perangkat teknologi, berkhotbah sambil bernyanyi, dsb. Komposer-komposer nyanyian ibadah pada
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
6 masa ini lebih menekankan pada hubungan individu dengan Allah. Ditandai dengan kata-kata yang menggunakan kata ganti orang pertama seperti aku, -ku.
Pada abad ke-20 mulai muncul gerakan yang mengajak gereja untuk menekankan inkulturasi dalam ibadah. Dari sini lahir Nyanyian etnik yang diinspirasi dari musik tradisional lokal dari setiap Negara.
Di Asia muncul buku nyanyian Sound the Bamboo yang terdiri dari himne Asia. Dalam rangka mendukung gerakan perdamaian dan keadilan, lahir juga Nyanyian global yang mewakili tradisi musik dari negara berkembang.
Nyanyian ini merupakan warisan bagi gereja masa kini. Setiap nyanyian memerlukan interpretasi khusus ketika dinyanyikan dalam ibadah. Analisis teks dan musik serta pemahaman terhadap konteks lahirnya nyanyian tersebut akan menolong dalam mengapresiasi jenis-jenis nyanyian tersebut.
Keanekaragaman nyanyian memberi variasi sekaligus menunjukkan kekayaan gereja-gereja saat ini.
Tidak ada diantaranya yang dianggap paling benar atau salah; paling cocok atau tidak cocok. Semua bergantung pada bagaimana kita menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan pergumulan jemaat. Tentu ada baiknya jika tetap dijaga variasi dan corak pilihannya. Akan membosankan jika kita hanya menggunakan himne konvensional saja setiap minggunya; sebab secara musikal nyanyian ini memang memiliki corak yang datar/polos dan metrical. Sebaliknya juga, jika kita hanya
menggunakan nyanyian populer rohani dalam ibadah kita akan lupa dengan harta berharga yang diwarisi gereja-gereja dari abad-abad sebelumnya. Oleh sebab itu diperlukan keseimbangan dalam menata serta memilih nyanyian jemaat dalam liturgi.
Berdasarkan Aliran (Genre) Nyanyian
Jika dilihat dari aliran (genre) nyanyian, maka kita bisa mengklasifikasi nyanyian ke dalam beberapa bentuk:4
1. Himne (nyanyian jemaat); karakteristiknya adalah: Terdiri dari beberapa bait yang
berbentuk puisi, menggunakan melodi yang sama untuk setiap baitnya (sequence) sehingga mudah dipelajari; Tema dalam syair diceritakan secara lengkap dari mulai ide awal sampai kepada konklusi; Dapat digunakan sebagai alat untuk mengajarkan doktrin gereja, teks Alkitab, atau kesaksian iman. Oleh karena bentuknya yang berbait sehingga memungkinkan
4 Wren, Praying Twice, 100-106.
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
7 untuk mengembangan syair secara mendalam. Dengan nyanyian seperti ini, umat diajak melakukan perjalanan tema melalui penyusuran dari bait ke bait.
2. Chorus (Nyanyian pendek); karakteristik dari nyanyian ini adalah: Kalimatnya pendek; Tidak selalu berbentuk bait; Dapat dinyanyikan berulang-ulang; Mengandung sebuah tema tapi tidak secara mendalam; Merupakan nyanyian yang mudah dinyanyikan karena pendek dan mudah diingat; Dapat digunakan untuk menumbuhkan rasa persatuan antar jemaat.
3. Rounds (Putaran); Rounds dapat disebut juga dengan kanon, walaupun tidak semua kanon dapat dinyanyikan sama seperti rounds. Karakteristiknya adalah: Melodi sederhana; melodi yang sama dinyanyikan oleh beberapa kelompok pada waktu yang berbeda, namun diakhiri secara bersama-sama sesuai dengan petunjuk dari pemimpin nyanyian. Pada kanon biasanya menggunakan melodi yang berbeda dan harus diakhiri sampai kepada ujung nyanyian.
4. Refrains; nyanyian yang berada di ujung bait. Himne atau Mazmur ada yang menggunakan refrain. Karakteristiknya adalah: Terdiri dari satu atau lebih baris yang dapat diulang-ulang;
Merupakan rangkuman dari pesan penting dari keseluruhan nyanyian (punch line);
Memberikan momen partisipasi pada umat yang mudah dipelajari dan diingat; Jika seandainya nyanyian mempunyai melodi bait yang sulit dinyanyikan, maka refrain adalah bagian yang menolong umat untuk tetap bisa bernyanyi; Inklusif.
5. Chant (Pendarasan); warisan nyanyian yang kita miliki saat ini sangat beragam. Di gereja kita mengenal bentuk nyanyian yang khusus, seperti pendarasan. Adapun karakteristik dari nyanyian ini adalah: Memungkinkan semua teks (termasuk teks dari bahasa asing), yang tidak terikat dalam bentuk puisi lirik dan metriks, dapat dinyanyikan; Menyanyikan mode ini bisa dipelajari dengan melihat model bernyanyi yang dikembangkan di abad pertengahan.
6. Nyanyian Ritual; sampai saat ini ada nyanyian-nyanyian pendek yang digunakan sebagai respons maupun aklamasi sesuai dengan tradisi liturgy. Nyanyian ini terdiri dari haleluya, hosanna, maranatha, amin, dan termasuk juga ordinarium seperti Gloria, Kyrie, Sanctus Benedictus, Credo, dan Agnus Dei yang digunakan pada saat perjamuan kudus. Nyanyian seperti ini: Nyanyian pendek yang mudah diingat karena dinyanyikan secara rutin.
7. Spirit Singing; pada konteks pentakostal kita menemukan nyanyian yang tidak terstruktur namun dianggap sebagai nyanyian yang mendukung peribadahan. Karakteristikanya:
Nyanyian spontan dan informal; temponya bervariasi dan tidak ada keseragaman; melodi dan irama mengikuti improvisasi masing-masing orang; teks yang biasa digunakan antara lain “Haleluya, Terima kasih Tuhan, Praise the Lord, We Worship You, dll.”
Kursus Teologi Dasar 4 “Liturgi dan Musik Gereja”
Kamis, 23 September 2021 Pkl. 18.00 – 20.00 WIB, via zoom
8 Kesimpulan
‘Tak kenal maka ‘tak sayang. Ini merupakan pepatah yang digunakan untuk mengajak orang supaya mau mengenali dan mendalami sesuatu. Sebab hanya dengan cara demikian maka rasa sayang dan penghargaan akan muncul. Begitu juga dengan nyanyian jemaat. Nyanyian jemaat merupakan kekayaan gereja yang kita miliki saat ini. Semakin kita mengenali keunikan dan kekhasan dari sebuah nyanyian maka semakin kita bisa menghidupkan nyanyian tersebut menjadi sebuah ekpresi iman yang bergairah di hadapan Allah dan umatNya. Kata-kata memiliki keterbatasan emosi, namun nyanyian, yang dibalut dengan musik, dapat menolong seseorang berjumpa dalam gairah Allah dan umatNya.
Daftar Pustaka
Eskew, Harry and Hugh McElrath. Sing with Understanding. Nashville: Church Street Press, 1995.
Wren, Brian. Praying Twice: The Music and Words of Congregational Song. Louisville:
Westminster John Knox Press, 2000.
Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada
“Kursus Teologi Dasar”