• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECERNAAN BAHAN ORGANIK DAN PROTEIN KASAR PELET DAN SILASE RANSUM KOMPLIT PADA KELINCI JANTAN LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KECERNAAN BAHAN ORGANIK DAN PROTEIN KASAR PELET DAN SILASE RANSUM KOMPLIT PADA KELINCI JANTAN LOKAL"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KECERNAAN BAHAN ORGANIK DAN PROTEIN KASAR

PELET DAN SILASE RANSUM KOMPLIT

PADA KELINCI JANTAN LOKAL

SKRIPSI

DICKY ZULHARMAN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

KECERNAAN BAHAN ORGANIK DAN PROTEIN KASAR

PELET DAN SILASE RANSUM KOMPLIT

PADA KELINCI JANTAN LOKAL

DICKY ZULHARMAN D24061355

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(3)

RINGKASAN

DICKY ZULHARMAN. D24061355. 2010. Kecernaan Bahan Organik dan

Protein Kasar Pelet dan Silase Ransum Komplit pada Kelinci Jantan Lokal.

Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.

Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Wiranda G. Piliang, M.Sc.

Kelinci termasuk hewan herbivora non ruminan yang sebagian besar keperluan pakannya dapat dipenuhi dari hijauan. Pakan utama kelinci adalah hijauan dan pelet. Kendala dari pakan bentuk pelet adalah tidak tahan simpan dan proses pembuatannya relatif mahal. Pembuatan silase ransum komplit diharapkan dapat mendukung ketersediaan pakan secara kontinu dan dapat menambah nilai kegunaan pakan karena dalam proses pembuatan silase dapat dihasilkan feed additive yaitu bakteri asam laktat dan asam organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar antara pelet dan silase ransum komplit pada kelinci jantan lokal.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2009 sampai Desember 2009. Penelitian ini menggunakan 12 ekor kelinci jantan lokal umur 4 bulan dengan bobot badan rata-rata 1.886 gram. Penelitian ini terdiri dari 2 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan R1 adalah pelet ransum komplit dan perlakuan R2 adalah silase ransum komplit. Peubah yang diamati berupa konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, konsumsi protein kasar, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan kecernaan protein kasar. Data yang diperoleh kemudian dibandingkan rata-ratanya dengan menggunakan uji-t.

Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah konsumsi bahan kering, bahan organik, dan protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan pelet ransum komplit nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan silase ransum komplit. Rataan konsumsi bahan kering, bahan organik, dan protein kasar perlakuan R1 berturut-turut adalah (127,41; 113,48; 17,49) g/ekor/hari, sedangkan rataan konsumsi bahan kering, bahan organik, dan protein kasar perlakuan R2 berturut-turut adalah (95,47; 86,57; 13,61) g/ekor/hari.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan pelet ransum komplit nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan silase ransum komplit. Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar perlakuan R1 berturut-turut adalah (70,46; 71,91; 71,91) %, sedangkan rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar perlakuan R2 berturut-turut adalah (59,48; 61,66; 60,56) %. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian silase ransum komplit pada kelinci jantan lokal memiliki kualitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pelet ransum komplit dilihat dari nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar.

(4)

ABSTRACT

Organic Matter and Crude Protein Digestibility of the Pellet and Silage Complete Ration in Local Male Rabbit

Zulharman, D., Nahrowi, W. G. Piliang

The aim of the research was to evaluate and compare dry matter, organic matter, and crude protein digestibility of the pellet complete ration and silage complete ration in local male rabbit. Twelve rabbits of 4 months of ages, weight 1886 g on the average were used in this experiment. This research used two treatments and six replications. The treatment were pellet complete ration (R1) and silage complete ration (R2). The consumption and digestibility of the dry matter, organic matter, and crude protein were measured in this experiment. The data obtained were analyzed using t-test. The results showed that the dry matter, organic matter, and crude protein intake of the pellet complete ration were 127.41; 113.48; 17.49 g/d respectively, which were higher (P<0.05) than those of the silage complete ration were 95.47; 86.57; 13.61 g/d respectively. The dry matter, organic matter, and crude protein digestibility of the pellet complete ration were 70.46; 71.91; 71.91 % respectively, which were higher (P<0.05) than those of the silage complete ration were 59.48; 61.66; 60.56 % respectively. It was concluded that the dry matter, organic matter, and crude protein digestibility of the silage complete ration in local male rabbit was lower than those of the pellet complete ration.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1988 di Cirebon. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Farihin dan Ibu Idah Hamidah.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Negeri Pangrango dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 6 Cirebon. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Cirebon pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) sebagai anggota PSDM (periode 2007-2008) dan sebagai ketua biro PSDM (periode 2008-2009). Penulis juga aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Kekeluargaan Cirebon (OMDA IKC) periode 2006-2008. Penulis juga pernah bergabung sebagai anggota KOPMA IPB pada 2007. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di PT. Japfa Comfeed Cirebon selama satu bulan pada tahun 2008 di bagian Quality Control Laboratorium. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Integrasi Proses Nutrisi (IPN) pada 2010. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun 2007/2008 dan 2008/2009. Pada tahun 2010 penulis mengikuti kegiatan PKMP (Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Penelitian) dan berhasil didanai oleh DIKTI sebanyak 2 buah proposal dengan judul: 1) Rasio Konsumsi Pakan dan Air Minum pada Kelinci Jantan Lokal Peranakan New Zealand White yang Diberi Silase Ransum Komplit dan 2) Performa Kelinci Jantan Lokal Peranakan New Zealand White yang Diberi Silase Ransum Komplit.

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kecernaan Bahan Organik dan Protein Kasar Pelet dan Silase Ransum Komplit pada Kelinci Jantan Lokalyang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Juli 2009 sampai dengan Desember 2009.

Bentuk pakan yang diberikan pada kelinci bergantung pada tujuan dan sistem pemeliharaan. Pada beberapa peternakan intensif, peternak memformulasikan hijauan dan konsentrat dalam bentuk pelet sehingga komposisi bahan keringnya lebih akurat dan peternak tidak perlu lagi memberikan hijauan dalam bentuk segar atau tambahan pakan lain. Biaya untuk membuat pakan bentuk pelet cukup mahal, sehingga penulis mencoba membuat alternatif pakan untuk kelinci dalam bentuk silase ransum komplit. Kualitas pelet dan silase ransum komplit diuji secara biologi dengan melihat kecernaannya, dimana semakin tinggi kecernaan maka kualitas ransum komplit semakin tinggi pula.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, September 2010

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Kelinci ... 3

Sistem Pencernaan Kelinci ... 4

Kebutuhan Zat Makanan Kelinci ... 5

Konsumsi Ransum ... 5

Keecrnaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 6

Kecernaan Protein Kasar ... 7

Rumput Lapang... 8

Ubi Jalar (Ipomoea batatasL.) ... 9

Bungkil Inti Sawit ... 10

Ransum Komplit ... 10

Pelet Ransum Komplit ... 11

Silase Ransum Komplit ... 12

MATERI DAN METODE ... 14

Waktu dan Lokasi ... 14

Materi ... 14

Ternak ... 14

Kandang dan Peralatan ... 14

Ransum Penelitian ... 15

Metode ... 16

Pembuatan Ransum Komplit ... 16

Pembuatan Pelet Ransum Komplit ... 17

Pembuatan Silase Ransum Komplit ... 17

Persiapan Kandang ... 17

Pemeliharaan ... 17

(8)

Rancangan Percobaan ... 18

Model Matematika ... 18

Analisis Data ... 18

Peubah yang Diamati ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Gambaran Umum Ransum Komplit ... 20

Konsumsi Ransum ... 21

Konsumsi Bahan Kering ... 22

Konsumsi Bahan Organik ... 23

Konsumsi Protein Kasar ... 24

Kecernaan Ransum Komplit ... 24

Kecernaan Bahan Kering ... 25

Kecernaan Bahan Organik ... 26

Kecernaan Protein Kasar ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

Kesimpulan ... 28

Saran ... 28

UCAPAN TERIMA KASIH ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Populasi Kelinci di Indonesia Tahun 2007-2009 ... 3

2. Kebutuhan Nutrien Kelinci dalam Berbagai Fase Fisiologis ... 5

3. Komposisi Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering ... 8

4. Komposisi Nutrien Daun Ubi Jalar Berdasarkan Bahan Kering ... 9

5. Komposisi Nutrien Bungkil Inti Sawit Berdasarkan Bahan Kerng ... 10

6. Komposisi Ransum Komplit ... 15

7. Kandungan Nutrien Ransum (% BK)... ... 16

8. Karakteristik Fisik dan Kimia Silase Ransum Komplit ... 20

9. Rataan Konsumsi Segar, Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar... 21

10. Rataan Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar... 25

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Saluran Pencernaan Kelinci ... 4

2. Kelinci Penelitian ... 14

3. Kandang Penelitian ... 15

4. Tahapan Pembuatan Ransum Komplit ... 16

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Uji-t Konsumsi Ransum Komplit... 35 2. Hasil Uji-t Kecernaan Ransum Komplit... ... 35

(12)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kelinci termasuk hewan herbivora non ruminan yang sebagian besar keperluan pakannya dapat dipenuhi dari hijauan. Ketersediaan hijauan tidak berkesinambungan sepanjang tahun karena pengaruh musim. Ketersediaan hijauan pada musim hujan melimpah, sedangkan pada musim kemarau ketersediaannya berkurang, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam kondisi seperti ini, pembuatan silase ransum komplit diharapkan dapat mendukung ketersediaan hijauan secara kontinu, mengingat produk silase dapat disimpan lama sehingga dapat membantu penyediaan hijauan pakan ternak sepanjang tahun.

Berbeda dengan silase berbahan baku tunggal, silase ransum komplit mempunyai beberapa keuntungan diantaranya: 1) tersedianya substrat untuk mendukung terjadinya fermentasi yang baik, sehingga mempunyai tingkat kegagalan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan silase berbahan tunggal, 2) mengandung nutrien yang sesuai dengan kebutuhan ternak, 3) terciptanya pakan yang berkelanjutan dan mudah diberikan pada ternak, karena tidak memerlukan pakan tambahan lainnya (Lendrawati, 2008).

Kajian silase ransum komplit pada beberapa ternak sudah banyak dilaporkan. Allaily (2006) melaporkan bahwa pemberian silase ransum komplit dengan kadar air 50% pada itik Mojosari Alabio menghasilkan performa yang lebih baik dibandingkan silase ransum komplit dengan kadar air 30, 40, dan 60%. Pemberian silase ransum komplit pada domba ekor gemuk juga sudah dilaporkan (Lendrawati, 2008).

Pada penelitian ini, ransum komplit dibuat dalam bentuk pelet dan silase. Kualitas pelet dan silase ransum komplit diuji secara biologi dengan melihat kecernaannya, dimana semakin tinggi kecernaan maka kualitas ransum komplit semakin tinggi pula.

Pakan bentuk pelet sudah umum diberikan kepada ternak kelinci karena selain memiliki nilai kecernaan tinggi, juga dapat meningkatkan asupan pakan dengan kecenderungan respon yang tinggi untuk ternak muda dibandingkan ternak tua serta meningkatkan efisiensi penggunaan energi dari sumber hijauan (NRC, 2000). Futiha (2010) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering, bahan organik dan

(13)

protein kasar kelinci yang diberi pelet mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar berturut-turut sebesar 67,62%; 69,72%; dan 67,23%.

Pemberian pakan silase pada ternak kelinci belum pernah dilaporkan sebelumnya, sehingga belum ada data yang melaporkan kecernaan pakan silase pada ternak kelinci. Penggunaan pakan silase daun kelapa sawit pada ternak domba telah dilaporkan oleh Hanafi (2004) yang menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik silase daun kelapa sawit sebesar 52,79% dan 60,98%, selanjutnya Lendrawati (2008) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit pada domba ekor gemuk jantan sebesar 64,44% dan 65,85%.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar antara pelet dan silase ransum komplit pada kelinci jantan lokal peranakanNew Zealand White.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

Kelinci merupakan ternak herbivora non ruminan karena merupakan pemakan tanaman, tetapi fermentasi pakan terjadi di dalam sekum (Church, 1991). Beberapa manfaat yang dapat diambil dari kelinci yaitu sebagai hewan penelitian, penghasil daging, penghasil bulu dan sebagai hewan kesayangan ketiga setelah anjing dan kucing (Irlbeck, 2001). Kelinci mampu memanfaatkan pakan rendah biji-bijian dan tinggi hijauan (McNitt et al., 1996) sehingga kelinci sangat potensial sebagai sumber protein dimasa mendatang (Irlbeck, 2001).

El-Raffa (2004) menyatakan bahwa kelinci merupakan ternak yang cocok dipelihara di negara berkembang dan mulai memanfaatkan kelinci sebagai sumber daging. Selain itu, kelinci juga memiliki potensi: 1) ukuran tubuh yang kecil, sehingga tidak memerlukan banyak ruang, 2) tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan kandang, 3) umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), 4) kemampuan berkembang biak yang tinggi, dan 5) masa penggemukan yang singkat (kurang dari dua bulan sejak disapih).

Bangsa kelinci yang biasa digunakan untuk produksi daging adalah California danNew Zealand Whitemaupun persilangan antar keduanya, karena ukurannya yang besar dan kemampuan induknya dalam berproduksi sangat baik. Seekor induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan 30-35 hari serta satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor anak (Ensminger, 1991).

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan (2008), populasi kelinci di Indonesia setiap tahunnya meningkat. Populasi kelinci di Indonesia tahun 2007-2009 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Populasi Kelinci di Indonesia Tahun 2007-2009

Tahun Populasi (ekor)

Tahun 2007 707.556

Tahun 2008 748.139

Tahun 2009* 999.141

(15)

Sistem Pencernaan Kelinci

McNitt et al. (1996) menyatakan bahwa kelinci diklasifikasikan ke dalam hindgut fermentors, yaitu saluran pencernaan bagian belakang memegang peranan penting dalam sistem pencernaan kelinci, seperti sekum dan kolon. Pada ternak ruminansia fermentasi pakan terutama serat terjadi di dalam rumen, pada ternak kuda fermentasi pakan terjadi di dalam kolon, sedangkan fermentasi pakan pada kelinci terjadi di dalam sekum (Irlbeck, 2001).

Pada kelinci, mikroba banyak terdapat di dalam sekum. Sekum pada kelinci sangat besar dibandingkan bagian lainnya dan berbentuk spiral. Proporsi sekum pada saluran pencernaan kelinci yaitu 40% dari total saluran pencernaannya (Irlbeck, 2001).

Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci Sumber: Cheekeet al. (2000)

Kelinci memiliki kebiasaan yang tidak dilakukan pada ternak ruminansia yaitu kebiasaannya memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut

coprophagy. Sifat coprophagy biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Sifat tersebut memungkinkan kelinci memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah, yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B, dan

(16)

memecahkan selulosa atau serat menjadi energi yang berguna (Blakely dan Bade, 1991).

Kebutuhan Zat Makanan Kelinci

Kelinci membutuhkan zat makanan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, dan vitamin (Cheeke et al., 2000). Jumlah zat makanan yang dibutuhkan tergantung pada umur, tujuan produksi, serta laju atau kecepatan pertumbuhannya (Blakely dan Bade, 1991). Kebutuhan zat makanan kelinci dalam berbagai kondisi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Kelinci dalam Berbagai Fase Fisiologis

Nutrien Status Fisiologis Kelinci

Bunting Menyusui Dewasa Muda

………(%)………. Protein Kasar 15-17 24-26 12-15 16-18 Lemak Kasar 3-6 3-6 2-4 3-6 Serat Kasar 12-16 12-16 16-22 12-16 Sumber : Ensminger (1991)

Ensminger (1991) menyatakan bahwa kelinci dengan bobot badan 1,8-3,2 kg, kebutuhan bahan keringnya sebesar 112-173 g/ekor/hari atau setara dengan 5,4-6,2% dari bobot hidup.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum dihitung berdasarkan banyaknya ransum yang dimakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan reproduksi ternak tersebut. Banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak dapat menggambarkan palatabilitas ransum tersebut. Jumlah bahan kering yang dikonsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu palatabilitas, laju alir pakan dan status protein (Yusmadiet al., 2008)

Aritonang dan Silalahi (1992) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal (kebiasaan, umur dan selera) maupun faktor eksternal (sifat pakan yang diberikan dan kondisi lingkungan). Lebih

(17)

lanjut dijelaskan bahwa palatabilitas berkaitan dengan rasa, bau dan tekstur yang dapat mempengaruhi selera makan.

Menurut Ensminger (1991) kebutuhan bahan kering kelinci yang sedang tumbuh adalah 5,4-6,2%. Sutardi (1980) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Menurut Chotimah (2002), konsumsi bahan organik pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi bahan kering dari ternak tersebut. Jika konsumsi bahan kering tinggi, maka akan tinggi pula konsumsi bahan organiknya. Menurut Okmal (1993), protein kasar ransum yang tinggi disertai dengan konsumsi bahan kering yang tinggi menghasilkan kosumsi protein kasar yang tinggi pula.

Futiha (2010) melaporkan bahwa rataan konsumsi bahan kering ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar sebesar 105,05 g/ekor/hari, sedangkan Allaily (2006) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering silase ransum komplit pada itik Mojosari Alabio jantan dengan kadar air 50% sebesar 69,26 g/ekor/hari.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Usaha untuk meningkatkan kualitas pakan dilakukan dengan meningkatkan kecernaan melalui pengolahan. Ada suatu hubungan antara kecernaan suatu ransum dengan tingkat konsumsi ransum. Makin tinggi kecernaan suatu pakan maka semakin tinggi pula tingkat konsumsinya (Davidex et al., 1992). Kecernaan adalah sebagian zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses atau bagian yang hilang dari makanan setelah proses pencernaan, penyerapan dan metabolisme. Apabila dinyatakan dalam persen maka disebut koefisien cerna (Tillmanet al., 1991).

Menurut Mathiuset al. (2001), kecernaan bahan makanan dapat dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian pakan, cara pengolahan dan pemberian pakan, komposisi pakan dan kadar zat makanan yang dikandungnya. Varga (2006) menyatakan bahwa nilai kecernaan in vivo suatu pakan dipengaruhi oleh jumlah konsumsi bahan kering, tipe dan kualitas hijauan, kandungan karbohidrat struktural dan non struktural yang terdapat dalam ransum serta ukuran partikel dan metode pemrosesan ransum.

Bahan makanan yang mengandung serat kasar tinggi akan menurunkan koefisien cerna zat-zat makanan lainnya. Menurut Oluokun (2005), tingginya

(18)

komponen serat yang tidak dapat dicerna (lignin dan silika) dapat menyebabkan rendahnya kecernaan. Lebih lanjut Dewi (2008) menyatakan bahwa jumlah kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak menyebabkan laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan ternak tersebut menjadi tinggi, sehingga kerja enzim pencernaan menjadi lebih singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan.

Kelinci kurang efisien dalam mencerna bahan organik dan serat kasar, sedangkan dalam mencerna protein kasar sama baiknya dibandingkan kuda dan marmut (Slade dan Hintz, 1969). Pemberian pelet pada ternak kelinci sudah umum diberikan, salah satunya karena menghasilkan kecernaan yang tinggi, sedangkan pemberian silase pada ternak kelinci belum pernah dilaporkan sebelumnya.

Ransum komplit pada penelitian ini diantaranya mengandung daun ubi jalar dan bungkil inti sawit. Futiha (2010) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik kelinci yang diberi pelet mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar sebesar 67,62% dan 69,72%, sedangkan Khotijah (2006) melaporkan bahwa kelinci yang diberi ransum komplit biomassa ubi jalar memiliki kecernaan bahan kering sebesar 66,03%.

Hanafi (2004) melaporkan bahwa nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik silase daun kelapa sawit pada ternak domba sebesar 52,79% dan 60,98%. Lendrawati (2008) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit pada domba ekor gemuk jantan sebesar 64,44% dan 65,85%.

Kecernaan Protein Kasar

Menurut Tillmanet al. (1991) efisiensi penggunaan protein pakan bergantung dari kandungan asam-asam amino essensial dan asam-asam amino non essensial yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya. Sebagian besar ternak non ruminansia memperoleh asam-asam amino dari pencernaan enzimatik dari protein pakan yang diabsorbsi melalui usus halus. Kelinci membutuhkan sumber asam amino essensial, meskipun dalam sekum menghasilkan sumber protein mikroba. Menurut Pond et al. (1995) untuk pakan dengan kualitas protein yang rendah, protein mikroba dalam sekum bisa secara signifikan meningkatkan keseimbangan absorbsi asam amino.

(19)

Kelinci memiliki kemampuan untuk mencerna hijauan dengan baik, dimana kelinci dapat mencerna 75-80% protein alfalfa (McNitt et al., 1996). Salah satu hal yang dapat meningkatkan kecernaan protein kasar pada kelinci adalah terjadinya peristiwa coprophagy (Irlbeck, 2001). Kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan serat kasar ransum (Garciaet al., 1993).

Khotijah (2006) melaporkan bahwa kelinci yang diberi ransum komplit biomassa ubi jalar memiliki kecernaan protein kasar sebesar 70,75% dan Futiha (2010) melaporkan bahwa kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar memiliki kecernaan protein kasar sebesar 67,23%. Adewakun et al. (1989) melaporkan bahwa kecernaan protein kasar silase jagung pada anak sapi sebesar 71,3%.

Rumput Lapang

Peranan hijauan pada ransum disamping manfaatnya sebagai bulk juga sebagai sumber gizi, yaitu sumber energi, protein, vitamin dan mineral. Salah satu jenis hijauan yang dapat digunakan adalah rumput lapang. Rumput lapang merupakan pakan yang sudah umum digunakan sebagai pakan utama ternak ruminansia (sapi dan domba). Rumput lapang lebih efisien karena merupakan makanan yang mudah diperoleh dan harganya relatif murah (Nurachman et al., 2004).

Kualitas rumput lapang di Indonesia sangat rendah, sebab itu campur tangan manusia terhadap rumput lapang maupun ternak harus dilakukan secara semi intensif (Miasari, 2004). Komposisi zat makanan rumput lapang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering

Nutrien Kandungan (%) Abu 15,68 Protein Kasar 11,33 Lemak Kasar 1,04 Serat Kasar 41,67 BETN 30,28

Sumber: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)

(20)

Kualitas rumput lapang sangat beragam karena tergantung pada kesuburan tanah, iklim, komposisi spesies, waktu pemotongan dan cara pemberiannya, akan tetapi kualitasnya secara umum dapat dikatakan rendah. Batubara (1992) melaporkan bahwa nilai koefisien cerna bahan kering dari rumput lapang sebesar 40,27% dan alang-alang sebesar 30,94%.

Ubi Jalar (Ipomoea batatasL.)

Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) termasuk tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh terdiri dari batang, ubi, daun, buah, dan biji (Rukmana, 1997). Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan (2002) menyatakan bahwa bagian batang dan daun ubi jalar dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Selanjutnya disarankan untuk menggunakan daun ubi jalar dalam bentuk kering, misalnya dalam bentuk pelet, sehinga jumlah konsumsi bahan kering yang dibutuhkan dapat terjamin.

Rukmana (1997) menyatakan bahwa panen ubi jalar yang ideal dimulai pada umur 3 bulan, dengan penundaan paling lambat sampai umur 4 bulan. Panen pada umur lebih dari 4 bulan, selain resiko serangan hama boleng cukup tinggi, juga tidak akan memberikan kenaikan hasil ubi. Komposisi zat makanan daun ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Nutrien Daun Ubi Jalar Berdasarkan Bahan Kering

Nutrien Kandungan (%) Abu 14,33 Protein Kasar 25,51 Lemak Kasar 1,15 Serat Kasar 24,29 BETN 34,7 Ca 0,79 P 0,38

Sumber: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)

Ubi jalar mengandung antitripsin yaitu suatu zat anti nutrisi yang dapat menghambat kecernaan protein dan dapat diatasi dengan pemanasan, tekanan uap tinggi (80°C), dan pengeringan sinar matahari. Selain itu, ubi jalar juga mengandung

(21)

senyawa-senyawa seperti ipomaemarone, funaroterpen, koumarin, dan polifenol. Senyawa tersebut dapat menurunkan rasa ubi jalar (menimbulkan rasa pahit) dan secara umum terbentuk dalam jaringan yang luka oleh serangan hama (Tsou et al., 1989). Khotijah (2006) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dari biomassa ubi jalar pada kelinci sebesar 66,03% dan kecernaan protein kasar sebesar 70,75%.

Bungkil Inti Sawit

Data Dirjen Perkebunan (2009) menyatakan bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 7,3 juta hektar. Kondisi ini mendorong berkembangnya industri pengolahan buah sawit untuk menghasilkan hasil samping dalam jumlah cukup besar.

Amri (2007) melaporkan bahwa penggunaan bungkil inti sawit fermentasi 18% dalam pakan memperlihatkan jumlah konsumsi pakan, pertambahan berat badan tertinggi, dan menurunkan konversi pakan. Adeniji (2002) melaporkan bahwa peningkatan level penggunaan bungkil inti sawit (12,5; 25; 37,5; dan 50 %) dalam ransum mengakibatkan penurunan bobot badan akhir kelinci. Andjaswati (1988) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar bungkil inti sawit tanpa penambahan minyak berturut-turut sebesar 74,77%; 75,84%; dan 66,78%. Komposisi zat makanan bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Nutrien Bungkil Inti Sawit Berdasarkan Bahan Kering

Nutrien Kandungan (%) Abu 4,6 Protein Kasar 17,9 Lemak Kasar 5,7 Serat Kasar 22,7 BETN 49,1

Sumber: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2009)

Ransum Komplit

Ransum komplit adalah ransum yang cukup kandungan gizinya untuk hewan tertentu di dalam tingkat fisiologis tertentu, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya ransum dan mampu memenuhi hidup pokok dan produksi tanpa tambahan lain kecuali air (Tillmanet al., 1991).

(22)

Menurut Ensminger (1991) penggunaan ransum komplit akan mendatangkan beberapa keuntungan antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) meningkatkan konsumsi ketika hijauan kurang disukai ternak, dan 3) ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan pakan yang lengkap.

Pelet Ransum Komplit

Pengolahan pakan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas ternak dan tingkat ekonomis pakan dan salah satu contohnya yaitu dengan membuat pakan dalam bentuk pelet. Ensminger (1991) menyatakan bahwa pelet adalah pakan yang dipadatkan, dikompakkan melalui proses mekanik. Produk pelet yang baik adalah kompak, kokoh dan tidak mudah rapuh.

Proses pembentukan pakan, campuran konsentrat atau ransum komplit menjadi bentuk silinder disebutpelleting. Proses pelletingadalah proses pengolahan bahan pakan melalui mekanisme penghancuran bahan kemudian pengepresan bahan melalui suatu lubang (die) dengan ukuran dan kerapatan (densitas) tertentu (Church, 1991).

Menurut Pathak (1997) tujuan dari pembuatan pelet adalah untuk mencegah ternak memilih pakan yang diberikan, mengurangi sifat berdebu pakan, meningkatkan palatabilitas pakan, mengurangi pakan yang terbuang, mengurangi sifat voluminous pakan dan untuk mempermudah penanganan pada saat penyimpanan dan transportasi.

Harriset al.(1983) menyatakan bahwa ternak kelinci lebih menyukai ransum dalam bentuk pelet dibandingkan ransum bukan pelet. Menurut Purbowati et al.

(2007), pemberian pakan bentuk pelet, selain dapat mengontrol konsumsi pakan konsentrat dan pakan kasar sesuai dengan proporsi yang diberikan, juga untuk memperbaiki palatabilitas pakan. Pakan bentuk pelet juga dapat meningkatkan daya cerna pakan. Hadiati (2003) melaporkan bahwa substitusi bungkil kedelai dengan 40% daun kupu-kupu memiliki kecernaan bahan kering sebesar 69,6%, sedangkan Chotimah (2002) melaporkan bahwa pemberian 20% ampas teh memiliki kecernaan bahan kering sebesar 43,2%.

(23)

Silase Ransum Komplit

Fluktuasi produksi hijauan sangat mempengaruhi produksi ternak, dimana terjadi kelebihan pada musim hujan dan sebaliknya kekurangan hijauan pada musim kemarau (Lukmansyah et al., 2009). Pembuatan silase ransum komplit diharapkan dapat mendukung ketersediaan hijauan secara kontinu. McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa silase merupakan bahan pakan yang diproduksi secara fermentasi yaitu dengan cara pencapaian kondisi anaerob.

Tujuan pembuatan silase adalah mengawetkan hijauan secara fermentasi anaerobik. Proses tersebut meliputi pengubahan karbohidrat terlarut hijauan menjadi asam laktat. Turunnya pH yang disebabkan produksi asam laktat sampai pada tingkat tertentu dapat menghambat aktivitas biologik pada hijauan yang diensilase tersebut. Tujuan utama penurunan pH tersebut sering disebut sebagai salah satu upaya untuk mencegah hilangnya nutrien dan turunnya nilai nutrisi (Hartadi, 1992).

Prinsip pembuatan pakan komplit dalam bentuk silase ini seperti proses fermentasi pada umumnya. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari tiga kelompok bahan yaitu kelompok bahan pakan hijauan, kelompok bahan pakan konsentrat dan bahan aditif. Bahan pakan hijauan sebagai sumber serat utama. Bahan pakan konsentrat selain untuk memperbaiki kandungan nutrien pakan yang dihasilkan juga berfungsi sebagai substrat penopang proses fermentasi. Kelompok ketiga yaitu bahan aditif dapat terdiri dari urea, mineral, dan molases (Lendrawati, 2008).

Ada dua cara dalam pembuatan silase yaitu secara kimiawi yang dilakukan dengan menambahkan asam sebagai pengawet seperti asam klorida, asam sitrat dan asam fosfat. Penambahan asam tersebut diperlukan agar pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4,2), sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah bakteri Clostridia aktif. Cara yang kedua adalah secara biologis yaitu dengan cara memfermentasi bahan tersebut sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase (Coblentz, 2003; McDonaldet al., 1991).

Coblentz (2003) menyebutkan ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo, dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan.

(24)

Silase yang baik mempunyai ciri-ciri: warna masih hijau atau kecoklatan, rasa dan bau asam adalah segar, nilai pH rendah, tekstur masih jelas, tidak menggumpal, tidak berjamur, serta tidak berlendir (Siregar, 1996). Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu: (1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas buffer, struktur fisik, dan varietas), (2) tata laksana pembuatan silase (besar partikel, kecepatan pengisian ke silo, kepadatan pengepakan dan penyegelan silo), (3) keadaan iklim (suhu dan kelembaban) (Sapienza dan Bolsen, 1993).

Teknologi fermentasi anaerob dari campuran beberapa bahan baku pakan lokal menjadi silase ransum komplit merupakan alternatif teknologi pengolahan pakan serta menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia. Selain lebih menghemat waktu dan biaya pakan karena tidak perlu mengeringkan, silase juga dapat dijadikan sebagai sumber probiotik dan asam organik serta dapat dipakai sebagai alternatif antibiotik. Keuntungan lain yaitu dari segi penyimpanan lebih tahan lama karena bakteri-bakteri pembusuk tidak tahan terhadap pH rendah (Yusmadiet al., 2008).

Pemberian pakan silase pada ternak kelinci belum pernah dilaporkan sebelumnya, sehingga belum ada data yang melaporkan kecernaan pakan silase pada ternak kelinci. Penggunaan silase jagung pada anak sapi telah dilaporkan Adewakun

et al. (1989) yang menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar berturut-turut sebesar 68%; 69,9%; dan 71,3%, sedangkan Mahrus (2008) melaporkan bahwa penggunaan silase limbah kobis yang disuplementasi mineral dan alginat pada domba memiliki nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik sebesar 74,23% dan 79,20%.

(25)

MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli-Desember 2009. Lokasi penelitian bertempat di Peternakan Kelinci Komplek Laladon Indah Bogor, Jalan Bukit Asam Ujung 1 No. 31 Bogor. Pembuatan silase ransum komplit dan analisis kecernaan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, sedangkan pembuatan pelet ransum komplit dilakukan di PT. Indofeed Bogor.

Materi Ternak

Penelitian ini menggunakan 12 ekor kelinci jantan lokal peranakan New Zealand Whiteumur 4 bulan dengan bobot badan rata-rata1886gram.

Gambar 2. Kelinci Penelitian

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu bertingkat sistem baterai yang terbuat dari bambu. Kandang yang dipakai sebanyak 12 buah dengan ukuran panjang 75 cm, lebar 60 cm dan tinggi 50 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Wadah yang digunakan untuk menampung feses dan urin diletakkan di bawah alas kandang dengan menggunakan penampung feses yang telah dirancang khusus untuk memisahkan antara feses dan urin. Alat lain yang digunakan adalah timbangan digital.

(26)

Gambar 3. Kandang Penelitian

Ransum Penelitian

Ransum penelitian yang digunakan merupakan ransum komplit berbasis hijauan yang disusun sesuai dengan kebutuhan kelinci jantan periode pertumbuhan. Hijauan yang digunakan adalah rumput lapang dan ubi jalar. Ransum dicampur dengan bahan baku lain seperti jagung, dedak padi, bungkil inti sawit, tepung ikan, bungkil kedelai, premix, DCP, CPO, serta NaCl dengan pemakaian seperti disajikan pada Tabel 6. Kandungan nutrien ransum disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6. Komposisi Ransum Komplit (% BK)

Bahan Makanan Komposisi (%)

Rumput lapang 25,00

Daun Ubi Jalar 5,00

Jagung 31,50

Dedak Padi 15,00

Bungkil Inti Sawit 5,00

Bungkil Kedelai 15,00 Tepung Ikan 1,00 DCP 1,00 CPO 0,50 NaCl 0,50 Premix 0,50 Total 100,00

(27)

Tabel 7.Kandungan Nutrien Ransum (% BK) Nutrien R1 R2 ………(%)……… Bahan Kering 89,10 51,38 Abu 10,94 9,32 Protein Kasar (PK) 13,84 14,32 Lemak Kasar (LK) 2,29 3,25 Serat Kasar (SK) 19,66 23,04 BETN 53,27 50,07

Keterangan : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2009) R1= Pelet Ransum komplit dan R2= Silase Ransum Komplit

Metode Pembuatan Ransum Komplit

Tahapan pembuatan ransum komplit dapat dilihat pada Gambar 4.

. Hijauan Segar Konsentrat

Dikeringkan

Digiling

Diformulasikan

Dicampur (mixing)

Proses Anaerob Pelleting

+ BAL (Bakteri Asam Laktat)

Silase Pelet

(28)

Pembuatan Pelet Ransum Komplit

Bahan pakan hijauan seperti rumput lapang dan daun ubi jalar terlebih dahulu dijemur di bawah sinar matahari sampai kering. Hijauan yang telah kering kemudian digiling. Hijauan yang telah berbentuk mash dicampur dengan bahan lain sesuai dengan formula dan dimasukkan ke dalam mixer sampai homogen. Bahan yang telah tercampur kemudian dimasukkan ke dalam mesin pelet untuk menghasilkan pelet yang berukuran panjang 3 mm. Pelet yang dihasilkan kemudian diangin-anginkan sampai kering dan dimasukkan ke dalam karung untuk disimpan.

Pembuatan Silase Ransum Komplit

Hijauan yang telah digiling dicampur dengan dengan bahan lain (jagung, dedak padi, bungkil inti sawit, bungkil kedelai, tepung ikan, DCP, CPO, NaCl dan premix). Setelah semua bahan tercampur merata, ditambahkan aquades yang telah dicampur dengan 105 cfu Bakteri Asam Laktat (BAL). Kemudian semua bahan dimasukkan ke dalam plastik untuk di vaccum, kemudian silase yang telah di vaccum dimasukkan ke dalam tong. Pada hari ke-30 silase sudah bisa diberikan kepada ternak kelinci.

Persiapan Kandang

Kandang sebanyak 12 buah sebelum digunakan dibersihkan terlebih dahulu. Kemudian kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum dari botol minum khusus kelinci.

Pemeliharaan

Sebanyak 12 ekor kelinci jantan lokal peranakan New Zealand White diberi salah satu dari dua perlakuan ransum yaitu :

R1 = Pelet ransum komplit R2 = Silase ransum komplit

Ternak dipelihara dalam kandang individu selama enam minggu. Dua minggu pertama sebagai masa adaptasi pakan (preliminary). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, pada pagi hari pukul 07.00–08.00 WIB dan pada sore hari pada pukul 16.00–17.00 WIB. Pakan yang diberikan berupa pelet ransum komplit dan silase ransum komplit.

(29)

Koleksi Feses

Koleksi feses dilakukan 3x24 jam pada akhir minggu penelitian. Feses dikumpulkan dan ditimbang. Contoh feses diambil sebanyak 10% untuk dikeringkan dalam oven dengan suhu 60°C selama 24 jam. Sampel feses digiling terlebih dahulu kemudian dianalisa kandungan bahan kering, bahan organik dan protein kasar.

Rancangan Percobaan Model Matematika

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 6 ulangan. Model matematika dari rancangan ini menurut Steel dan Torrie (1993) adalah:

Yij=+i+ij

Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

 = Nilai rataan umum hasil pengamatan

i = Pengaruh perlakuan ke-i

ij = Pengaruh galat ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t dengan α = 0,05. Penelitian ini mempunyai 2 hipotesis, yaitu:

H0: R1=R2; tidak ada perbedaan perlakuan H1: R1≠R2; terdapat perbedaan perlakuan

Keterangan: R1= Pelet ransum komplit, R2= Silase ransum komplit

Peubah yang Diamati

1. Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) KBK = KR x % BK ransum

Keterangan: KBK = Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) KR = Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 2. Konsumsi Bahan Organik (g/ekor/hari)

KBO = KBK x % BO ransum

(30)

KBK = Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) 3. Konsumsi Protein Kasar (g/ekor/hari)

KPK = KBK x % PK ransum

Keterangan: KPK = Konsumsi Protein Kasar (g/ekor/hari) KBK = Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) 4. Kecernaan Bahan Kering (%)

KCBK = KBK – BK feses x 100% KBK

Keterangan: KCBK = Kecernaan Bahan Kering (%)

KBK = Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) BK feses (g) = feses yang keluar (g) x % BK feses 5. Kecernaan Bahan Organik (%)

KCBO = KBO – BO feses x 100% KBO

Keterangan: KCBO = Kecernaan Bahan Organik (%)

KBO = Konsumsi Bahan Organik (g/ekor/hari) BO feses (g) = feses yang keluar (g) x % BO feses 6. Kecernaan Protein Kasar (%)

KCPK = KPK – PK feses x 100% KPK

Keterangan: KCPK = Kecernaan Protein Kasar (%)

KPK = Konsumsi Protein Kasar (g/ekor/hari) PK feses (g) = feses yang keluar (g) x % PK feses

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Ransum Komplit

Bentuk dari pelet dan silase ransum komplit dapat dilihat pada Gambar 5.

Pelet ransum komplit Silase ransum komplit

Gambar 5. Bentuk Pelet Ransum Komplit dan Silase Ransum Komplit

Gambar 5 memperlihatkan bahwa pelet ransum komplit yang dihasilkan merupakan produk pelet yang baik karena pelet yang dihasilkan kompak, kokoh dan tidak mudah rapuh. Salah satu tujuan dari pembuatan pelet adalah mengurangi sifat voluminous pakan dan untuk mempermudah penanganan pada saat penyimpanan dan transportasi.

Silase merupakan bahan pakan yang diproduksi secara fermentasi yaitu dengan cara pencapaian kondisi anaerob (McDonald et al., 1991). Pembuatan silase ransum komplit pada penelitian ini adalah secara biologis yaitu dengan cara memfermentasi bahan tersebut sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Karakteristik fisik (warna, bau dan tekstur) dan karakteristik kimia (pH) dari silase ransum komplit disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik Fisik dan Kimia Silase Ransum Komplit

Karakteristik Penilaian

Warna Hijau kecoklatan

Bau Asam

Tekstur Utuh, kompak dan tidak terlihat adanya

lendir

pH 4,0

Keterangan: Karakteristik fisik meliputi warna, bau, dan tekstur, sedangkan karakteristik kimia berupa pH

(32)

Warna silase ransum komplit yang dihasilkan berkualitas baik yaitu berwarna hijau kecoklatan. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan Macaulay (2004) yang menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase.

Bau yang dihasilkan silase ransum komplit yaitu bau khas fermentasi. Hal ini didukung oleh Lendrawati (2008) yang menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat.

Tekstur yang dihasilkan silase ransum komplit yaitu utuh, kompak dan tidak terlihat adanya lendir. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa silase yang dihasilkan berkualitas baik karena tidak terdapat kerusakan seperti tekstur yang hancur atau kering. Hal ini juga disebabkan karena kadar air silase ransum komplit yang dihasilkan sebesar 48,62%. Macaulay (2004) menyatakan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air. Silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur, sedangkan silase dengan kadar air yang rendah (<30%) mempunyai tekstur kering dan ditumbuhi jamur.

Nilai pH yang dihasilkan adalah 4,0 dan digolongkan ke dalam silase berkualitas baik sekali. Hal ini sesuai dengan pendapat Macaulay (2004) yang menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi 4 kriteria berdasarkan pH yaitu: 1) baik sekali (3,2-4,2); 2) baik (4,2-4,5); 3) sedang (4,5-4,8); dan 4) buruk (> 4,8).

Konsumsi Ransum

Rataan konsumsi segar, bahan kering, bahan organik, dan protein kasar dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Konsumsi Segar , Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar

Peubah R1 R2

……….(g/ekor/hari)………..

Konsumsi Segar (as fed) 143 ± 6,39b 185,81 ± 2,56a

Konsumsi Bahan Kering 127,41 ± 6,59a 95,47 ± 3,34b

Konsumsi Bahan Organik 113,48 ± 5,87a 86,57 ± 3,03b

Konsumsi Protein Kasar 17,49 ± 1,10a 13,61 ± 0,43b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) R1 = Pelet ransum komplit dan R2 = Silase ransum komplit

(33)

Konsumsi Bahan Kering

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi bahan kering. Rataan konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat pelet ransum komplit lebih tinggi 25,07% dibandingkan dengan rataan konsumsi silase ransum komplit. Hal ini diduga berhubungan erat dengan fisiologi kelinci dan tingkah laku makan kelinci yang menunjukkan bahwa kelinci lebih menyukai pakan bentuk pelet dibandingkan bentuk mash. Harris et al. (1983) menyatakan bahwa ternak kelinci lebih menyukai ransum dalam bentuk pelet dibandingkan ransum bukan pelet.

Rataan konsumsi ransum (as fed) pada kelinci yang diberi pakan bentuk pelet sebesar 143 g/ekor/hari, sedangkan silase ransum komplit sebesar 185,81 g/ekor/hari. Pakan bentuk silase mempengaruhi konsumsi air minum. Kelinci yang diberi silase ransum komplit mengkonsumsi air minum lebih sedikit dibandingkan pelet ransum komplit. Hasil penelitian Utomo (belum dipublikasikan) melaporkan bahwa konsumsi air minum kelinci yang mendapat pelet ransum komplit sebesar 232,83 ml/ekor/hari dan silase ransum komplit sebesar 184,12 ml/ekor/hari.

Rataan konsumsi bahan kering pelet ransum komplit sebesar 127,41 g/ekor/hari dan silase ransum komplit sebesar 95,47 g/ekor/hari (Tabel 9). Rataan konsumsi bahan kering pelet ransum komplit pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Futiha (2010) yang melaporkan bahwa rataan konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar sebesar 105,05 g/ekor/hari. Tingginya konsumsi bahan kering pada pelet ransum komplit berpengaruh terhadap performa kelinci. Hasil penelitian Rizqiani (belum dipublikasikan) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan kelinci yang diberi pelet ransum komplit sebesar 17,6 g/ekor/hari, sedangkan silase ransum komplit sebesar 17,29 g/ekor/hari.

Tingginya konsumsi bahan kering pada pelet ransum komplit menunjukkan bahwa palabilitas dari pelet ransum komplit lebih tinggi dibandingkan silase ransum komplit. Menurut Purbowati et al. (2007), pemberian pakan bentuk pelet, selain dapat mengontrol konsumsi pakan konsentrat dan pakan kasar sesuai dengan proporsi yang diberikan, juga untuk memperbaiki palatabilitas pakan. Aritonang dan Silalahi (1992) menyatakan bahwa palatabilitas berkaitan dengan rasa, bau dan tekstur yang dapat mempengaruhi selera makan. Bau asam pada silase diduga

(34)

penyebab ketidaksukaan kelinci dalam mengkonsumsi ransum tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Yusmadi et al. (2008) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering silase ransum komplit pada kambing peranakan etawah lebih rendah dibandingkan hay ransum komplit dikarenakan silase ransum komplit memiliki bau asam yang menyengat akibat proses fermentasi. Selain itu, silase memiliki sifat voluminous sehingga ruang tidak segera tersedia dalam saluran pencernaan untuk memasukkan pakan baru dan akhirnya menurunkan konsumsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Nuswantara et al. (2005) yang menyatakan bahwa waktu tinggal pakan dalam saluran pencernaan yang lama akan menyebabkan rendahnya konsumsi.

Konsumsi bahan kering pelet ransum komplit pada penelitian ini setara dengan 6,75% dari bobot hidup ternak, sedangkan konsumsi bahan kering silase ransum komplit pada penelitian ini setara dengan 5,06% dari bobot hidup ternak. Konsumsi bahan kering pelet ransum komplit sudah memenuhi kebutuhan bahan kering kelinci, sedangkan silase ransum komplit belum memenuhi kebutuhan bahan kering kelinci. Ensminger (1991) menyatakan bahwa kelinci dengan bobot badan 1,8-3,2 kg, kebutuhan bahan keringnya sebesar 112-173 g/ekor/hari atau setara dengan 5,4-6,2% dari bobot hidup.

Konsumsi Bahan Organik

Rataan konsumsi bahan organik kelinci yang mendapat pelet ransum komplit lebih tinggi 23,71% dibandingkan konsumsi bahan organik kelinci yang mendapat silase ransum komplit, dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) (Tabel 9).

Rataan konsumsi bahan organik pelet ransum komplit sebesar 113,48 g/ekor/hari dan silase ransum komplit sebesar 86,57 g/ekor/hari (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena konsumsi bahan kering pada pelet ransum komplit lebih tinggi dibandingkan silase ransum komplit. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutardi (1980) yang menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Menurut Chotimah (2002), konsumsi bahan organik (BO) pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi bahan kering (BK) dari ternak tersebut. Jika konsumsi bahan keringnya (BK) tinggi, maka akan tinggi pula konsumsi bahan organiknya (BO). Rataan konsumsi bahan organik pada penelitian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Futiha (2010) yang melaporkan

(35)

bahwa rataan konsumsi bahan organik kelinci yang mendapat ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar sebesar 95,30 g/ekor/hari.

Konsumsi Protein Kasar

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap konsumsi protein kasar. Rataan konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat pelet ransum komplit lebih tinggi 22,18% dibandingkan konsumsi protein kasar silase ransum komplit. Rataan konsumsi protein kasar pelet ransum komplit sebesar 17,49 g/ekor/hari dan silase ransum komplit sebesar 13,61 g/ekor/hari (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena konsumsi bahan kering dan bahan organik pada pelet ransum komplit lebih tinggi dibandingkan silase ransum komplit. Hal ini senada dengan hasil penelitian Cakra et al. (2005) yang melaporkan bahwa konsumsi protein kasar berkorelasi positif dengan konsumsi bahan kering dan bahan organik.

Rendahnya rataan konsumsi potein kasar (PK) kelinci yang mendapat silase ransum komplit dibandingkan pelet ransum komplit dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu kandungan protein kasar (PK) dan jumlah konsumsi bahan kering (BK). Kandungan protein kasar (PK) silase ransum komplit lebih tinggi dibandingkan pelet ransum komplit (14,32% vs 13,84%), tetapi karena konsumsi bahan kering (BK) silase ransum komplit lebih rendah maka konsumsi protein kasar (PK) silase ransum komplit lebih rendah pula, sebaliknya kandungan protein kasar (PK) pelet ransum komplit lebih rendah dibandingkan silase ransum komplit, tetapi konsumsi bahan kering (BK) pelet ransum komplit lebih tinggi dibandingkan silase ransum komplit sehingga tidak mempengaruhi rendahnya konsumsi protein kasar (PK) pelet ransum komplit. Hal ini sesuai dengan pendapat Okmal (1993) yang menyatakan bahwa kadar protein pakan yang tinggi dan disertai konsumsi bahan kering (BK) yang tinggi akan menghasilkan konsumsi protein kasar (PK) yang tinggi pula.

Kecernaan Ransum Komplit

Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar disajikan pada Tabel 10.

(36)

Tabel 10. Rataan Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan Organik dan Kecernaan Protein Kasar

Peubah R1 R2

………....(%)……...

Kecernaan Bahan Kering 70,46 ± 5,52a 59,48 ± 4,38b

Kecernaan Bahan Organik 71,91 ± 5,42a 61,66 ± 4,32b

Kecernaan Protein Kasar 71,91± 7,78a 60,56 ± 4,38b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

R1 = Pelet ransum komplit dan R2 = Silase ransum komplit

Kecernaan Bahan Kering

Secara statistik, kecernaan bahan kering pada kelinci yang mendapat perlakuan pelet ransum komplit dan silase ransum komplit menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Nilai kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan pelet ransum komplit adalah 70,46%, sedangkan kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan silase ransum komplit lebih rendah 15,58% dibandingkan perlakuan pelet ransum komplit. Hal ini disebabkan karena konsumsi bahan kering pada perlakuan R1 dan R2 berbeda nyata, yang menyebabkan kesempatan pakan untuk didegradasi dalam saluran pencernaan juga berbeda. Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa hubungan antara daya cerna dengan konsumsi adalah bertambahnya daya cerna diikuti dengan meningkatnya konsumsi. Tingginya nilai kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan pelet ransum komplit menunjukkan bahwa kualitas pelet ransum komplit lebih baik daripada silase ransum komplit, dimana koefisien cerna bahan kering merupakan tolak ukur dalam menilai kualitas pakan.

Kadar air yang tinggi pada silase juga mempengaruhi rendahnya kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan silase ransum komplit. Kadar air yang tinggi pada silase menyebabkan laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan ternak tersebut menjadi tinggi, sehingga kerja enzim pencernaan menjadi lebih singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nuswantara et al. (2005) yang menyatakan bahwa laju aliran partikel pakan yang tinggi dalam saluran pencernaan menyebabkan waktu tinggal pakan di dalam saluran pencernaan relatif singkat, sehingga kesempatan mikroba untuk mencerna pakan juga akan singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan.

(37)

Rendahya kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakaun silase ransum komplit juga disebabkan oleh tingginya kandungan serat kasar (SK) silase ransum komplit yaitu sebesar 23,04% dibandingkan kandungan serat kasar (SK) pelet ransum komplit yaitu sebesar 19,66%. Menurut Oluokun (2005), tingginya komponen serat yang tidak dapat dicerna (lignin dan silika) dapat menyebabkan rendahnya kecernaan dan pendapat tersebut didukung oleh Dewi (2008) yang menyatakan bahwa jumlah kandungan serat kasar (SK) yang tinggi pada ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak menyebabkan laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan ternak tersebut menjadi tinggi, sehingga kerja enzim pencernaan menjadi lebih singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan.

Nilai kecernaan bahan kering pelet tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan Futiha (2010) yang menyatakan bahwa kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar memiliki kecernaan bahan kering sebesar 67,62%. Hadiati (2003) melaporkan bahwa substitusi bungkil kedelai dengan 40% daun kupu-kupu memiliki kecernaan bahan kering sebesar 69,6%, sedangkan Chotimah (2002) melaporkan bahwa pemberian 20% ampas teh memiliki kecernaan bahan kering sebesar 43,2%. Nilai kecernaan bahan kering silase ransum komplit lebih rendah dibandingkan kecernaan bahan kering silase ransum komplit pada domba ekor gemuk. Lendrawati (2008) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit pada domba ekor gemuk sebesar 64,44%.

Kecernaan Bahan Organik

Kecernaan bahan organik kelinci pada perlakuan R1 adalah 71,91%, sedangkan kecernaan bahan organik pada perlakuan R2 lebih rendah 14,25% dibandingkan perlakuan R1, dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) (Tabel 10). Hal ini disebabkan karena konsumsi bahan kering pada perlakuan R1 dan R2 berbeda nyata. Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa sebagian besar bahan organik merupakan komponen bahan kering. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai kecernaan bahan organik berbanding lurus dengan kecernaan bahan kering, dimana nilai kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat pelet ransum komplit lebih tinggi dibandingkan silase ransum komplit sehingga

(38)

kecernaan bahan organik kelinci yang mendapat pelet ransum komplit pun lebih tinggi dibandingkan silase ransum komplit.

Nilai kecernaan bahan organik kelinci yang mendapat pelet ransum komplit tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan Futiha (2010) yang melaporkan bahwa kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar memiliki kecernaan bahan organik sebesar 69,72%. Chotimah (2002) melaporkan bahwa pemberian ampas teh pada taraf 20% memiliki kecernaan bahan organik sebesar 45,9%. Nilai kecernaan bahan organik silase ransum komplit lebih rendah dibandingkan kecernaan bahan organik silase ransum komplit pada domba ekor gemuk. Lendrawati (2008) melaporkan bahwa kecernaan bahan organik silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit pada domba ekor gemuk sebesar 65,85%.

Kecernaan Protein Kasar

Kecernaan protein kasar kelinci pada perlakuan R1 adalah 71,91%, sedangkan kecernaan protein kasar pada perlakuan R2 lebih rendah 15,78% dibandingkan perlakuan R1, dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) (Tabel 10). Hal ini ada hubungannya dengan konsumsi bahan kering pada R1 dan R2 yang berbeda nyata. Tingginya kecernaan protein kasar pada perlakuan R1 disebabkan karena konsumsi protein kasar R1 (pelet ransum komplit) lebih tinggi dibandingkan R2 (silase ransum komplit). Gracia et al. (1993) menyatakan bahwa kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan serat kasar ransum.

Khotijah (2006) melaporkan bahwa kelinci yang diberi ransum komplit biomassa ubi jalar memiliki kecernaan protein kasar sebesar 70,75% dan Hadiati (2003) melaporkan bahwa substitusi bungkil kedelai dengan daun kupu-kupu sampai 40% pada kelinci memiliki kecernaan protein kasar sebesar 72,7%. Adewakunet al. (1989) melaporkan bahwa pemberian silase jagung pada anak sapi memiliki kecernaan protein kasar sebesar 71,3%.

(39)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Silase ransum komplit memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan pelet ransum komplit pada kelinci jantan lokal dilihat dari nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar.

Saran

Silase ransum komplit dapat diberikan sebagai pakan alternatif bagi ternak kelinci.

(40)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Sujud syukur, segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang memberikan segala limpahan berkah, izin, nikmat, dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. sebagai dosen pembimbing utama dan Prof. Dr. Ir. Wiranda G. Piliang, M.Sc. sebagai dosen pembimbing anggota sekaligus dosen pembimbing akademik atas segala kesabarannya dalam memberikan bimbingan, nasihat dan sarannya selama penelitian hingga penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc. sebagai dosen pembahas seminar yang telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Despal, S.Pt, M.Sc.Agr dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si sebagai dosen penguji sidang atas masukan, saran, dan nasihatnya.

Sembah bakti dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya dan tak terkira, penulis haturkan kepada Ayahanda Farihin dan Ibunda Idah Hamidah yang telah berjuang dengan tenaga dan pikiran, memberikan doa, motivasi moril dan material, nasihat, kesabaran dan rasa kasih sayang yang tiada hentinya. Terima kasih saya ucapkan juga untuk kakak-kakak Penulis, Ghozali Fahamsyah dan Robby Setiadi yang terus memberi semangat, doa dan material serta kepada adik Penulis tersayang Zakiyyah Khoirunnisa yang telah menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman satu tim penelitian (Aseb, Miko, dan Arifah) yang saling membantu, memberi dukungan selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapakan terima kasih kepada Kak Rudy, Kiki, Tika, Amer, yang saat penelitian telah membantu. Penulis ucapkan terima kasih atas bantuan, dukungan dan kebersamaan teman-teman INTP 43 Rizkinia, Icha, Diana, Ina, Debon, Danu, Dea, Yue dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk peternakan kelinci di masa depan.

Bogor, September 2010

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Adeniji, A. A. 2002. Pelleting Cost Center in Feed Manufacturing Technology. In: McEllhiney R. R (Ed) American Feed Industry Association. Inc. Arlington. Adewakun, L. O., A. O. Famuyiwa, A. Felix & T. A. Omole. 1989. Growth

performance, feed intake and nutrient digestibility by beef calves fed sweet sorghum silage, corn silage and fescue hay. J. Anim. Sci. 67: 1341-1349. Allaily. 2006. Kajian silase ransum komplit berbahan baku pakan lokal pada itik

mojosari alabio jantan. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Amri, M. 2007. Pengaruh bungkil inti sawit fermentasi dalam pakan terhadap pertambahan ikan mas (Cyprinus carpio L.). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 9(1): 71-76.

Andjaswati, N. D. 1988. Pengaruh penambahan minyak sawit pada ransum bungkil inti sawit terhadap daya cerna zat makanan pada kambing lokal jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Aritonang, D., & M. Silalahi. 1992. Kecernaan nutrisi jagung, onggok, gaplek, ampas sagu, ampas bir dan ampas tahu. Majalah Ilmu dan Peternakan 5 (2): 18.

Batubara, I. 1992. Koefisien cerna setaria gajah (Setaria splendida stapt), rumput lapang (Imperata cylindrica) dengan teknik in vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Blakely, J. & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Cakra, I. G. L. O., I. G. M. Suwena, & N. M. Suci Sukmawati. 2005. Konsumsi dan koefisien cerna nutrien pada kambing peranakan etawah (PE) yang diberi pakan konsentrat ditambah soda kue (sodium bikarbonat). Majalah Ilmiah Peternakan. 8(3): 76-80.

Cheeke, P. R., J. I. McNitt & N. M. Patton. 2000. Rabbit Production. 8th Edition. Interstate Publishers Inc, Danville, Illinois.

Chotimah, D. C. 2002. Kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar ransum yang mengandung ampas teh pada kelinci persilangan lepas sapih. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Church, D. C. 1991. Livestock Feeds and Feeding. 3rd Edition. Prentice Hall International. New Jersey.

Coblentz, W. 2003. Principles of silage making. http://www.uaex.edu. [17 Juni 2010].

Davidex, J., J. Velisek, & J. Pokarny. 1992. Chemical Change During Food Processing. Elsevier Science Publishing Co., Inc. New York.

Dewi, N. W. S. 2008. Kajian pemberian tepung buah pare (Momordica charantia L.) terhadap konsumsi, kecernaan bahan kering dan performa tikus (Rattus norvegicus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(42)

Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Prospek dan Peluang Agribisnis Ubi Jalar, Jakarta.

Dirktorat Jenderal Perkebunan. 2009. Buku Statistik Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Dirktorat Jenderal Peternakan. 2008. Populasi Kelinci, Puyuh dan Merpati Tahun 2007-2009 (Per Provinsi).http://www.ditjennak.go.id. [17 Juni 2010].

El-Raffa, A. M. 2004. Rabbit production in hot climates. 8th World Rabbit Congress.

http://www.dcam.upv.es. [17 Juni 2010].

Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th Edition. Interstate Publisher, Inc. Danville, Illinois.

Futiha, E. N. 2010. Kecernaan zat makanan kelinci jantan lokal yang diberi ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dengan jenis hijauan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Garcia, J. F. Galves & J. C. de Blas. 1993. Effect substitution of sugarbeet pulp for barley in diets for finishing rabbits on growth performance and on energy and nitrogen efficiency. J. Anim. Sci. 71 : 1823-1830.

Hadiati, S. R. 2003. Kecernaan bahan kering, protein dan retensi nitrogen kelinci jantan lokal lepas sapih pada substitusi bungkil kedelai dengan daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea L.). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hanafi, N. D. 2004. Perlakuan silase dan amoniasi daun kelapa sawit sebagai bahan baku pakan domba. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Harris, D. J., P. R. Cheeke & N. M. Patton. 1983. Feed preference and growth

performance of rabbits pelleted versus unpelleted diets. J. Appl. Rabbit Res. 6(1):15-17.

Hartadi, H. 1992. Fermentasi silase sorghum biji dan kedelai yang ditanam tumpangsari. Buletin Peternakan. 16(1): 98-105.

Irlbeck, N. A. 2001. How to feed the rabbit (Oryctolagus cuniculus) gastrointestinal tract. J. Anim. Sci. 79: E343-E346.

Khotijah, L. 2006. Penambahan urea atau DL-Metionina ke dalam ransum komplit biomassa ubi jalar pada kelinci. Media Peternakan. 29(2): 1-7.

Lendrawati. 2008. Kualitas fermentasi dan nutrisi silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lukmansyah, D., T. Dhalika, Mansyur, A. Budiman & I. Hernaman. 2009. Substitusi molases dengan hasil ikutan industri kecap terhadap kandungan kualitas silase rumput gajah cv Taiwan. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan. 13(1): 21-28.

Macaulay, A. 2004. Evaluating Silage Quality. http://www.agric.gov.ab.ca [17Juni 2010].

(43)

Mahrus, A. 2008. Kecernaan nutrien ransum berbahan silase limbah kobis disuplementasi mineral dan alginat pada domba. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Mathius, I. W., Martawidjaja, M, Wilson & Manurung. 2001. Pengaruh pemberian campuran batang pisang dan bungkil kedelai terhadap penampilan domba muda. J. Ilmu Ternak dan Veteriner (13): 141-147.

McDonald, P., A. R. Henderson, & S. J. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. Britain Chalcombe Publication.

McNitt, J. I., P. R. Cheeke, N. M. Patton & S. D. Lukefahr. 1996. Rabbit Production. Interstate Publishers, Inc. Danville.

Miasari, R. 2004. Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan baku wafer ransum komplit pakan domba. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

National Reseach Council. 2000. Nutrient Requirement of Beef Cattle. Seventh Revised Edition. http://www.nap.edu/openbook/0309069343/html/133.htm. [19Mei 2010].

Nurachman, S., D. Heriyadi & Paday. 2004. Studi transfer cairan rumen kambing terhadap daya cerna bahan kering, protein kasar dan serat kasar domba lokal jantan. Jurnal Ilmu Ternak. 4(1): 13-18.

Nuswantara, L. K., M. Soejono, R. Utomo, & A. B. P. Widyobroto. 2005. Kecernaan nutrien ransum precursor nitrogen dan energi tinggi pada sapi perah yang diberikan pakan basal jerami padi. J. Indon. Anim. Agric. 30(3): 167-172. Okmal. 1993. Manfaat leguminosa pohon sebagai suplemen protein dan minyak

kelapa sebagai agen defaunasi dalam ransum pertumbuhan domba. Tesis. Fakultas Pascasarana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Oluokun, J. A. 2005. Intake digestion and nitrogen balance of diets blended with urea treated and untreated cowpea husk by growing rabbit. Afr. J. of Biochemist 4(10): 1203-1208.

Pathak. 1997. Texbook of Feed Processing Technology. New Delhi Vikas Publishing House PUT. Ltd.

Pond, W. G., D. C. Church & K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding.. 4thEdition. John Wiley and Sons, Inc. Canada.

Purbowati, E., C. I. Sutrisno, E. Baliarti, S. P. S. Budhi & W. Lestariana. 2007. Pengaruh pakan komplit dengan kadar protein dan energi yang berbeda pada penggemukan domba lokal jantan secara feedlot terhadap konversi pakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta. Sapienza, A. & Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Terjemahan: Rini, B. S.

Martoyoedo. Kansan State University.

(44)

Slade, L. M. & H. F. Hintz. 1969. Comparison of digestion in horses, ponies, rabbits and guinea pigs. J. Anim. Sci. 28: 842-843.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, IPB, Bogor.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo, & S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Prress, Yogyakarta.

Tsou, S. C. S., K. K & Wang. 1989. Biochemical studies on sweet potato for better utilization at AVRDC. Proceeding of The International Sweet Potato Symposium. Laguna, Philippines.

Varga, G. A. 2006. In vitro digestibility of forage. Dalam: Tri-State Dairy Nutrition Conference; Pennsylvania, 25-26 April 2006. Department of Dairy and Animal Science, Pennsylvania State University.

Yusmadi, Nahrowi & M.Ridla. 2008. Kajian mutu dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit berbasis sampah organik primer pada kambing peranakan etawah. J. Agripet. 8(1): 31-38.

(45)
(46)

Tabel 1. Hasil Uji-t Dua Pihak Konsumsi Ransum Komplit

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Konsumsi BK 14,05 2,23 3,17 Tolak H0

Konsumsi BO 13,33 2,23 3,17 Tolak H0

Konsumsi PK 8,43 2,23 3,17 Tolak H0

Keterangan: thitung = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data

t0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α= 0,05) t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α= 0,01)

thitung > ttabelbaik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara konsumsi BK, BO, dan PK pelet ransum komplit dengan konsumsi BK, BO, dan PK silase ransum komplit

Tabel 2. Hasil Uji-t Dua Pihak Kecernaan Ransum Komplit

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

KCBK 9,91 2,23 3,17 Tolak H0

KCBO 8,41 2,23 3,17 Tolak H0

KCPK 4,65 2,23 3,17 Tolak H0

Keterangan: thitung = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data

t0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α= 0,05) t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α= 0,01)

thitung > ttabelbaik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara KCBK, KCBO, dan KCPK pelet ransum komplit dengan KCBK, KCBO, dan KCPK silase ransum komplit

Gambar

Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci Sumber: Cheeke et al. (2000)
Tabel 4. Komposisi Nutrien Daun Ubi Jalar Berdasarkan Bahan Kering
Gambar 3. Kandang Penelitian
Tabel 7. Kandungan Nutrien Ransum (% BK) Nutrien R1 R2 ……………………………(%)………………………… Bahan Kering 89,10 51,38 Abu 10,94 9,32 Protein Kasar (PK) 13,84 14,32 Lemak Kasar (LK) 2,29 3,25 Serat Kasar (SK) 19,66 23,04 BETN 53,27 50,07
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kulit daging buah kopi fermentasi MOL sebagai ransum dalam bentuk pelet terhadap kelinci peranakan rex jantan lepas

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pemberian silase klobot jagung dalam ransum sampai level 70% dari total ransum domba lokal jantan menghasilakan konsumsi bahan kering,

Pemberian pelet ransum komersil pada kelinci memiliki pengaruh rataan persentase viabilitas dan persentase motilitas yang lebih rendah dibandingkan pelet ransum komplit

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan performa reproduksi induk kelinci peranakan New Zealand White yang diberi silase ransum komplit dan pellet ransum komplit

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kulit daging buah kopi fermentasi MOL sebagai ransum dalam bentuk pelet terhadap kelinci peranakan rex jantan lepas

plantarum pada proses pembuatan silase ransum komplit berbahan eceng gondok terhadap PBBH, konversi pakan dan efisiensi pakan domba dibandingkan ransum kontrol dan silase tanpa

Penggunaan silase ransum komplit dengan kadar air 50% pada itik Mojosari Alabio jantan mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dan menurunkan konsumsi air minum bila

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pemberian silase klobot jagung dalam ransum sampai level 70% dari total ransum domba lokal jantan menghasilakan konsumsi bahan kering,