No. : 125/Ketua/VIII/2021
Hal : Penugasan Dosen STFT Jakarta dalam Program “Kursus Teologi Dasar Seri 4”
Semester Ganjil TA 2021-2022
SURAT TUGAS
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta melalui surat ini menugaskan 4 (empat) orang dosen STFT Jakarta untuk menjadi pembicara dalam program Kursus Teologi Dasar (KTD) Seri 4 dengan tema “Liturgika dan Musik Gereja”. Program ini dilaksanakan secara daring pada semester ganjil TA 2021-2022. Tujuan penyelenggaraan program ini adalah menyediakan tempat bagi masyarakat yang berminat belajar teologi dasar sekaligus mempopulerkan ilmu teologi kepada masyarakat. Narasumber untuk program ini yang merupakan dosen STFT Jakarta adalah sebagai berikut.
Tanggal Topik Narasumber
2 September 2021 Liturgika: Pengertian, Sejarah, dan
Praktiknya Rasid Rachman, D.Th.
23 September
2021 Musik Gereja: Makna Nyanyian Jemaat,
Jenis dan Bentuk Nyanyian Ibadah Rahel S. H. Daulay, Th.M.
7 Oktober 2021 Nyanyian Jemaat Kontekstual:
Perbendaharaan dan Tema Teologis Nyanyian Jemaat Masa Kini
Dina Elisye Siahaan, M.A.
14 Oktober 2021 Unsur-unsur Liturgi, Bagian Ordo, dan
Maknanya Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
4 November 2021 Liturgi Ekumenis-Kontekstual Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
Demikian surat tugas ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya Jakarta, 3 Agustus 2021
Septemmy Eucharistia Lakawa, Th.D.
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
Kuliah Teologi Dasar
Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta LITURGI KONTEKSTUAL-EKUMENIS
Pdt. Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
Pengantar
Dalam salah satu tulisannya, Stephen Bevans1menyebutkan bahwa semua teologi adalah kontekstual, karena teologi lahir dari konteks tertentu. Misalnya, St. Agustinus berteologi dari konteks kontroversi dengan kaum Donatis, sehingga ia menekankan karunia Allah dialami oleh penerima sakramen terlepas dari keadaan diri pelayan sakramen. Pada pertengahan abad ke-20, di tengah-tengah konteks penindasan dan diskriminasi, muncullah teologi pembebasan, teologi feminis, teologi Dalit, teologi Minjung, dan sebagainya. Artinya, pengalaman umat saat ini turut menentukan bentuk dan isi teologi. Namun, Bevans juga menekankan bahwa berteologi melibatkan dialog antara dua pengalaman, yaitu pengalaman masa lampau sebagaimana dicatat dalam Alkitab dan tradisi gereja dan pengalaman masa kini atau konteks di mana umat Kristen hidup. Kedua pengalaman ini menentukan teologi dan cara berteologi, juga praktik bergereja dan relasi antara gereja dengan masyarakat.
Apa yang dituliskan oleh Bevans juga berlaku bagi peribadahan di gereja kita. Ibadah atau liturgi gereja selalu bersifat kontekstual karena diadakan oleh orang-orang tertentu yang memiliki pengalaman khusus di tengah-tengah konteks tertentu. Namun, liturgi Kristen juga melibatkan pengalaman masa lalu dan tradisi gereja, yang memengaruhi liturgi gereja saat ini, yang berupa teks Alkitab, nyanyian, teks doa, ritus-ritus sakramental, elemen-elemen liturgis, dan bahkan struktur dasar ibadah Kristen. Rm. Boli Ujan dan Rm. Georg Kirchberger menyebut kedua jenis pengalaman ini sebagai aspek relevan dan historis dari liturgi Kristen.
Aspek relevan menyangkut perayaan ibadah di suatu tempat dan waktu tertentu dengan menampilkan “warna individualnya,” sedangkan aspek historis merupakan “perayaan syukur yang memperingati dan menghadirkan karya agung Allah yang tidak berasal dari jemaat itu, yang mendahului dan melampaui jemaat yang sedang berkumpul.” Dengan demikian, aspek historis tidak hanya dipusatkan pada masa lampau, tetapi peristiwa sejarah tersebut, yaitu karya penyelamatan Allah dalam sejarah penyalamatan bangsa Israel dan dalam diri Yesus
1Stephen B. Bevans, “Contextual Theology,” a paper presented at the 2010 Study Week of the Southwest Liturgical Conference, lihat: chrome-
extension//efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/viewer.html?pdfurl=https%3A%2F%2Fna.eventscloud.com%2Ff ile_uploads%2Fff735620c88c86884c33857af8c51fde_GS2.pdf).
2
Kristus serta para rasul, yang masih memengaruhi gereja masa kini dan masa depan, yang terus-menerus dipercakapakan dengan konteks masa kini sehingga menghasilkan perenungan dan respons umat dalam ucapan syukur dan pujian, dalam ratapan dan doa permohonan, juga dalam tekad dan aksi nyata.
Bagi Ujan dan Kirchberger, aspek historis yang melampaui tempat dan waktu ini merupakan sisi autentik dari liturgi. Setiap liturgi kristiani, menurut mereka, selalu berada dalam ketegangan antara “autentisitas – sungguh berakar dalam warisan para rasul – dan relevansi – sungguh mencerminkan situasi dan kondisi kondret dan individual dari jemaat yang merayakannya.”2Dalam penjelasan saya kali ini, saya akan menyebut aspek relevan sebagai dimensi kontekstual liturgi dan autentik sebagai dimensi ekumenis. Saya sengaja tidak menggunakan kata autentik untuk menghindari kesan bahwa hanya sisi historis liturgi yang menjadi liturgi autentik, sementara ungkapan kekinian dari liturgi tidak atau kurang autentik. Saya akan memulai penjelasan tentang kontekstualitas liturgi dan ekumenitas liturgi dengan menuturkan hubungan antara ibadah dengan budaya sebagaimana tercantum dalam
“Nairobi Statement on Worship and Culture,”3yang dihasilkan oleh konsultasi internasional ketiga tentang ibadah dan budaya yang diselenggarakan oleh Lutheran World Federation (LWF) pada tahun 1996, mengingat konteks budaya sangat memengaruhi cara kita beribadah kepada Allah sebagai sebuah jemaat.
Kontekstualisasi Liturgi
Kontekstualisasi liturgi sering disebut juga inkulturasi liturgi. Istilah inkulturasi banyak dipakai di kalangan Gereja Katolik Roma. Di dalam istilah inkulturasi tercantum kata kultur yang diartikan sebagai budaya. Secara sempit, tidak jarang budaya dianggap hanya berbentuk seni, meskipun sebenarnya KBBI juga memasukkan hasil pemikiran manusia, adat istiadat, kebiasaan hidup suatu kelompok masyarakat juga merupakan bentuk budaya.
Sementara itu, istilah kontekstualisasi dipakai untuk menunjukkan bahwa kehidupan umat Kristen ditentukan oleh berbagai peristiwa dan pandangan sosial-politik, paham keagamaan, dan berbagai bentuk budaya (baik budaya lokal maupun global).
2Bernadus Boli Ujan dan Georg Kirchberger, “Kata Pengantar Editor,” dalam Liturgi Autentik dan Relevan, peny. Bernadus Boli Ujan dan Georg Kirchberger, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), vi.
3Lihat:https://worship.calvin.edu/resources/resource-library/nairobi-statement-on-worship-and-culture-full- text. Juga bisa lihat: chrome-
extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/viewer.html?pdfurl=http%3A%2F%2Fdownload.elca.org%2FEL CA%2520Resource%2520Repository%2FHow_do_we_make_worship_contextual.pdf, untuk mempelajari cara praktis menerapkan isi dokumen tersebut dalam perencanaan ibadah secara detail.
3
Oleh karena ibadah Kristen dirayakan dalam budaya tertentu, Nairobi Statement mencatat ada empat macam cara budaya berhubungan dengan Kekristenan, yaitu transcultural, contextual, countercultural, dan cross-cultural (lintas budaya).
1. Transcultural (melampaui budaya)
Ada elemen-elemen ibadah yang bersifat melampaui budaya. Nairobi Statement menyatakan bahwa “Kristus yang bangkit dan kita sembah, dan melalui-Nya dengan kuasa Roh Kudus kita mengenal rahmat Allah Trinitas, melampaui dan bahkan melebihi semua budaya.”
Sebuah ibadah/liturgi dikatakan Kristen bila berdasarkan pada kepercayaan akan Yesus sebagai Kristus dan Tuhan yang bangkit dan pada Allah Trinitas. Alkitab dan pemberitaan firman, sakramen baptisan dan perjamuan Kudus, hari-hari raya yang menuturkan Allah yang berkarya untuk mencipta dan menyelamatkan manusia dan ciptaan-Nya, khususnya
penyelamatan Allah melalui hidup, kematian, dan kebangkitan Tuhan Yesus, bersifat
melampaui budaya dan merupakan inti sari dari peribadahan Kristen. Meskipun ada berbagai berbagai terjemahan Alkitab, cara pemberitaan firman yang beragam, dan cara melayankan baptisan dan perjamuan kudus yang berbeda, pusat ajaran Kristen tidak akan berbeda. Selain itu, beberapa elemen liturgi secara khusus juga memperlihatkan dinamika transkultural ini, yaitu beberapa pengakuan iman ekumenis (Pengakuan Iman Rasuli, Nicea-Konstatinopel, Atanasius), Doa Bapa Kami, formula baptisan dalam nama Trinitas dan membaptis dengan air, persekutuan pada hari Minggu, ordo (bentuk dasar ibadah: menghadap Allah, mendengar sabda Allah, merespons sabda Allah, dan pengutusan/berkat). Nyanyian dan doa yang
diucapkan juga merupakan unsur liturgis yang bersifat transkultural. Pemakaian elemen dan struktur liturgi yang melampaui budaya ini tentu saja merupakan salah satu wujud dari ekumenitas dan ditujukan untuk menyatakan kesatuan umat Kristiani yang melampaui segala abad dan tempat, termasuk budaya dan konteks kehidupan, bahkan tradisi Kekristenan.
2. Contextual (kontekstual)
Dinamika kontekstual dari ibadah sangat nyata terlihat dari berbagai cara pemberitaan sabda Allah dilakukan (secara verbal atau visual, tertulis atau diucapkan), bahasa yang digunakan, jenis musik dan alat musik yang digunakan, dan berbagai macam cara ibadah kepada Allah diungkapkan sesuai dengan ungkapan budaya setempat. Menurut Nairobi Statement, nilai- nilai dan pola-pola budaya dapat dipakai untuk mengekspresikan dan tujuan dari ibadah Kristen sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai Injil. Dengan demikian, kontekstualisasi liturgi tidak cukup hanya menampilkan bentuk luar dari elemen ibadah dalam pola (bentuk)
4
budaya setempat, tetapi juga menyangkut isi dari unsur ibadah tersebut. Misalnya, tidak cukup kita hanya memakai pentatonis Jawa sebagai lagu yang dinyanyikan oleh jemaat, tetapi isi nyanyian jemaat tersebut juga menyuarakan pergumulan umat dan masyarakat setempat.
Sebaliknya, kita tidak hanya mementingkan isi dari nyanyian yang kontekstual, tetapi juga mengemas isi tersebut dengan bentuk musik budaya setempat.
Misteri inkarnasi Tuhan Yesus Kristus menjadi model dari kontekstualisasi. Allah dapat dijumpai di dalam budaya-budaya lokal. Demikian pula kepercayaan bahwa Allah menciptakan bumi, termasuk manusia, baik adanya dan melalui karya Roh Kudus Allah menyucikan yang berdosa, menjadi penguatan untuk melakukan kontekstualisasi.
Kontekstualisasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya:
a. dynamic equivalent: mengekspresikan komponen dari liturgi Kristen dengan unsur budaya lokal yang memiliki kesamaan makna, nilai, dan fungsi dengan komponen liturgi tersebut. Misalnya, memberi salam di Timor dan Sumba dilakukan bukan dengan berjabat tangan, tetapi dengan cium hidung yang berarti berbagi nafas, berbagi hidup.
b. creative assimilation: menambahkan komponen penting dari sebuah budaya lokal ke dalam liturgi untuk lebih memperkaya ibadah. Misalnya, pembaptisan di beberapa tradisi Kekristenan Barat tidak hanya dilakukan dengan menumpangkan tangan sambil memercikkan air dengan mengatakan formula baptisan, tetapi juga menambahkan ritus pemakaian pakaian putih dan pemberian lilin.
Dalam upaya kontekstualisasi liturgi, pertama-tama gereja perlu benar-benar mengetahui makna teologis dan historis dari elemen ibadah. Gereja juga perlu perlu mempelajari dengan seksama unsur budaya setempat yang akan dipakai tanpa ada rasa prasangka terlebih dahulu (budaya lokal adalah sesat, misalnya). Kemudian, gereja perlu mempertimbangkan
keuntungan spiritual dan pastoral bagi umat dengan adanya upaya kontekstualisasi tersebut.
3. Countercultural (melawan budaya)
Kehadiran Tuhan Yesus Kristus ke dunia adalah untuk mentransformasi semua orang dan semua budaya. Tuhan juga memanggil kita untuk tidak menjadi serupa dengan dunia, tetapi untuk berubah sesuai dengan kehendak Tuhan. Harus diakui bahwa tidak semua bentuk budaya lokal sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, bahkan bisa saja ada bentuk budaya lokal bersifat merusak kehidupan dan tidak manusiawi. Kontekstualisasi liturgi perlu
memasukkan upaya kritik pada bentuk budaya yang menindas sesama manusia dan merusak alam, juga budaya egosentris dan konsumeristis. Misalnya, di tengah-tengah budaya yang
5
tidak menghargai orang-orang dengan disabilitas, ibadah Kristen justru seharusnya menjadi tempat yang memungkinkan orang-orang dengan disabilitas untuk merasakan dekapan Allah dan memfasilitasi mereka untuk menyatakan kasih mereka kepada Allah. Dinamika
counterculture menjadikan ibadah terbuka dan merangkul semua orang, memberikan tempat bagi mereka untuk terlibat secara penuh dan aktif dalam ibadah, dan menginspirasi umat untuk menjadi penegak keadilan dan pencipta kesejahteraan bagi semua makhluk. Oleh karena itu, upaya kontekstualisasi liturgi smelibatkan juga upaya untuk menolong umat untuk transformasi dirinya dan menghidupi iman Kristiani secara nyata.
4. Cross-cultural (lintas budaya)
Tuhan Yesus Kristus datang ke dunia untuk menjadi Penyelamat semua orang. Sebagai umat yang percaya kepada-Nya, kita dipersatukan sebagai para murid Kristus, sebagai Tubuh Kristus, sebagai satu Keluarga Allah. Inilah yang menjadi dasar dari kesatuan Gereja.
Kontekstualisasi liturgi juga seharusnya menerapkan dinamika lintas budaya ini sebagai bentuk dari ekumenitas gereja. Dinamika lintas budaya memungkinkan jemaat menyanyikan nyanyian-nyanyian jemaat, menggunakan teks-teks doa dan ungkapan seni liturgis lainnya yang berasal dari gereja-gereja di berbagai tempat dan suku yang berbeda. Kita saling meminjam materi liturgi. Saling meminjam juga dapat diterapkan pada hubungan antar- tradisi Kekristenan. Kita tidak hanya menyanyikan nyanyian atau mengucapkan doa dari gereja dengan tradisi liturgi dan dari denominasi gereja yang sama, tetapi juga dari
denominasi (tradisi Keristenan) yang berbeda dengan gereja kita. Konteks Indonesia dengan berbagai macam suku dan budaya (lokal dan global), juga adanya berbagai macam tradisi Kekristenan (denominasi gereja), menjadikan upaya kontekstualisasi liturgi perlu
memperhatikan dinamika lintas budaya dan lintas tradisi. Dengan demikian, liturgi kita menjadi kontekstual sekaligus ekumenis.
Percakapan dengan peserta KTD: bagikan contoh-contoh upaya kontekstualisasi liturgi di gereja masing-masing, baik kontekstualisasi dengan mengekspresikan elemen ibadah dengan budaya tertentu, juga kontekstualisasi dalam arti memperhatikan dinamika kontra-budaya dan lintas budaya.
6 Kegiatan Doa Ekumenis
Di awal presentasi, saya katakan bahwa liturgi selalu bersifat kontekstual. Di akhir dari penjelasan saya tentang dinamika hubungan antara budaya dan ibadah, saya dapat menyimpulkan sebenarnya bahwa selain liturgi bersifat kontekstual, ia juga memiliki aspek ekumenis. Oleh karena itu, ibadah kita memiliki kedua aspek tersebut: kontekstual dan ekumenis. Namun, aspek ekumenis tidak serta-merta disadari keberadaannya. Bahkan, ada jemaat lokal yang dengan sengaja meninggalkan kekayaan tradisi Kristiani yang
transkultural, misalnya menghapus pengucapan pengakuan iman ekumenis atau hanya memilih nyanyian-nyanyian jemaat kekinian dan meminggirkan nyanyian jemaat dari abad- abad lampau, demi menjadi gereja yang relevan. Tentu saja, liturgi yang ekumenis tidak hanya berbentuk menyanyikan nyanyian dari berbagai macam tradisi Kekristenan. Gereja- gereja dapat mewujudkannya dengan saling mendoakan dan secara sengaja beribadah bersama. Berikut ini, saya ingin membagikan tiga kegiatan doa/ibadah ekumenis yang dapat dipraktikkan oleh gereja kita dan dapat dilakukan secara kolaboratif bersama dengan gereja- gereja lainnya.
1. Hari Doa Sedunia (HDS).4Jatuh setiap Jumat pertama pada bulan Maret. Biasanya disediakan tata ibadah khusus yang dibuat oleh sekelompok perempuan dari negara tertentu. Tema dari HDS menolong kita untuk menyadari keadaan gereja-gereja di sebuah negara, terutama bentuk-bentuk ketidakadilan dan masalah sosial yang dialami oleh para perempuan, juga masyarakat pada umumnya di negara tersebut. Terjemahan materi HDS biasanya disediakan oleh Biro Perempuan PGI. Penyelenggaraan ibadah HDS sebaiknya dilakukan secara kolaboratif oleh beberapa jemaat lokal dari denominasi gereja yang berbeda yang letaknya berdekatan.
2. Pekan Doa bagi Kesatuan Kristiani.5Diselenggarakan pada tanggal 18-25 Januari setiap tahun. Kegiatan doa ini merupakan kolaborasi antara Dewan Gereja-Gereja se-Dunia dengan Dewan Kepausan untuk Memajukan Persatuan Kristiani dari Gereja Katolik Roma. Fokus dari pekan doa adalah memohon kepada Allah agar gereja-gereja digerakkan untuk mewujudkan kesatuan Kristiani (kesatuan gereja/kesatuan umat Kristen), yang merupakan rahmat Allah. Materi pekan doa (termasuk sebuah tata ibadah lengkap dan renungan-renungan selama seminggu) disiapkan oleh sebuah tim ekumenis
4Lihat:https://worlddayofprayer.net/index.html#.
5https://www.oikoumene.org/resources/documents/worship-and-background-material-for-the-week-of- prayer-for-christian-unity-2022.
7
dari suatu negara yang ditunjuk oleh DGD atau DKMPK. Ada sebuah tim editor yang anggotanya berasal dari DGD dan DKMPK yang memastikan materi pekan doa bersifat ekumenis. STFT Jakarta mulai melaksanakan pekan doa ini sejak dua tahun yang lalu.
3. Siklus Doa Ekumenis (Ecumenical Prayer Cycle).6Kegiatan ini merupakan program DGD untuk mewujudkan kesatuan Kristiani dengan saling mendoakan, sama seperti Tuhan Yesus yang mendoakan para murid-Nya dan bagi siapa pun yang percaya kepada- Nya. Setiap minggu, gereja-gereja diundang untuk berdoa bagi dan bersama gereja-gereja dan rakyat di negara-negara tertentu. Misalnya, minggu depan, gereja-gereja diundang untuk berdoa bagi dan bersama gereja/rakyat di negara-negara Oceania. Disediakan pokok doa syafaat, contoh-contoh doa dan nyanyian dari negara-negara tersebut.
Penutup
Kita perlu menyadari bahwa liturgi/ibadah Kristen selalu bersifat kontekstual dan ekumenikal, karena gereja-gereja kita harus selalu menjadi gereja yang relevan (kontekstual) dan ekumenis. Kesadaran semacam ini tentu saja harus diwujudnyatakan dengan upaya strategis dalam merancang ibadah dengan disertai keingan untuk belajar terus-menerus, baik dari masyarakat luas yang merupakan konteks kehidupan sehari-hari dan dari gereja-gereja lain dengan latar-belakang budaya dan tradisi Kekristenan yang berbeda. Kiranya, nama Allah dimuliakan melalui ibadah kita.
6Lihat:https://www.oikoumene.org/resources/prayer-cycle.
Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada
“Kursus Teologi Dasar”
1. “Kursus Teologi Dasar” diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta bagi anggota gereja yang ingin belajar mengenai ilmu teologi dan praktik bergereja. Kursus Teologi Dasar pada Semester Gasal TA 2021-2022 difokuskan pada kajian “liturgika dan musik gereja,” yang merupakan bidang kajian saya.
2. Pada sesi terakhir, saya membawakan materi yang berjudul “Liturgi
Kontekstual-Ekumenis,” pada tanggal 4 Nopember 2021, pkl. 18:00-20:00 3. “Kursus Teologi Dasar” dilaksanakan secara daring dengan mediasi Zoom.WIB.
4. Sesi yang saya bawakan diikuti oleh sekitar 50 orang. Peserta, yang sebagian besar adalah anggota jemaat awam, berasal dari berbagai gereja yang tinggal di berbagai propinsi di Indonesia.
5. Terlampir adalah makalah dan sertifikat dari STFT Jakarta.
Jakarta, 7 Januari 2022
Ester Pudjo Widiasih, Ph. D.