• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2. 1 Kerangka Teori

Adapun dalam penelitian ini, terdapat kerangka teori sebagai konse p dasar yang menjadi acuan dalam melakukan penelitian, dimana membahas bagaimana konsep film sebagai sebuah medium komunikasi, yang mana didalamnya terdapat dasar teori mengenai komunikasi, komunikasi massa, media komunikasi, dan kaitannya dengan budaya massa dan budaya popular di Indonesia. Dalam unsur film sendiri juga terdapat dasar teori mengenai unsur didalam film tersebut, genre dan makna dari film tesebut. Diikuti dengan sifat pesan yang bisa berbentuk verbal maupun non verbal.

2. 1. 1 Film sebagai Medium Komunikasi

Film, merupakan bentuk dari sebuah medium komunikasi, yaitu alat penyampai pesan, baik berupa informasi, pandangan, maupun simbol tertentu dari seorang komunikan yang disampaikan kepada komunikator, yaitu khalayak ramai.

Pesan dalam film disampaikan dalam berbagai bentuk yang cenderung secara tidak langsung, melalui seni peran dan seni drama. Film juga merupakan representasi dari kreatifitas penciptanya, yang dipengaruhi dengan pengalaman hidup, dan pemikiran dari pengkarya itu sendiri

1. Komunikasi

Definisi dari komunikasi terus bertambah seiring berkembangnya zaman, satu definisi menyempurnakan definisi sebelumnya, atau bahkan bertentangan dengan definisi yang sudah ada. namun Definisi yang banyak digunakan dan dirasa mudah untuk dimengerti adalah penjelasan dari Harold Lasswell. Lasswell menggambarkan komunikasi menjadi beberapa bagian yang berupa pertanyaan, yaitu “Who Says What in Which Channel to Whom With What Effect”.

Berdasarkan kalimat barusan, komunikasi diawali dari seseorang yang menciptakan pesan itu sendiri baik sengaja maupun tidak sengaja (Who) dan menyampaikan suatu pesan (Say What) melalui media tertentu, bisa secara langsung maupun tidak langsung (in Which Channel) kepada seseorang atau lebih (To Whom) dan akan menimbulkan efek tertentu (With What Effect). Komunikasi membantu individu dalam banyak aspek, salah satunya adalah aspek sosial

(2)

13

dimana komunikasi membentuk konsep dalam diri kita, membentuk karakter dan pandangan berdasarkan informasi yang disampaikan kepada kita melalui berbagai sumber, baik komunikasi dengan orang-orang sekitar kita, atau komunikasi massa seperti melalui tontonan, bahan bacaan, dan berbagainya, menjadi sumber kita untuk mengetahui konsep diri sendiri. Melalui komunikasi juga kita menyatakan eksistensi kita di dunia ini, dengan berkomunikasi orang lain akan sadar akan keberadaan kita (Mulyana, 2010).

2. Komunikasi Massa

Komunikasi massa adalah salah satu bentuk komunikasi, dimana ada pesan yang disampaikan ke khalayak banyak dan jarak yang cukup jauh, sehingga hanya memungkinkan untuk melibatkan indra penglihatan dan pendengaran saja. Bentuk dari komunikasi massa ini bisa berbagai macam, siaran radio, tayangan televisi maupun film layar lebar, atau melalui media cetak seperti Koran dan majalah.

Media massa ini diperuntukan untuk menyampaikan sesuatu yang sifatnya serentak dan cepat, namun lebih sulit untuk mendapatkan feedback dari komunikator, dan ketepatan pesan cukup rendah karena mendapatkan cukup banyak noise atau disebut juga gangguan dalam penyampaian pesan, seperti latar belakang budaya, suasana saat pesan itu disampaikan, dan berbagai macam gangguan lainnya (Mulyana, 2010).

3. Media Komunikasi

Pesan disampaikan dalam berbagai cara, cara tersebut bisa kita katakan dengan media komunikasi. Media komunikasi adalah bentuk saluran bagaimana pesan tersebut disampaikan, pemilihan media sendiri ditentukan juga dengan tujuan dari komunikasi dilakukan, dengan tujuan memberikan pesan kepada satu orang saja, maka media yang digunakan cenderung sederhana, seperti berbicara secara langsung, melalui pesan singkat, surat, maupun telfon genggam. Untuk tujuan komunikasi yang lebih luas, yaitu untuk disampaikan kepada banyak orang, dengan latar belakang dan lokasi yang berbeda, tentunya menggunakan media yang berbeda pula. Pola aktifitas masyarakat mempengaruhi bagaimana media tersebut digunakan, karena penggunaan media dilandasi dengan kebutuhan dari seseorang itu sendiri yang juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. awal mula media yang banyak digunakan adalah majalah, surat kabar, dan kemudian berkembang menjadi media yang inkonvesional seperti internet. dalam teori ‘Uses and gratifications’, memberikan definisi bahwa penggunaan media mencakup isi

(3)

14

media yang bisa berupa berita, drama, film dan lain-lain, dalam jenis media cetak maupun elektronik, kemudian terpaan media dan situasinya, akan berbeda ketika situasi penontonnya adalah di dalam ruangan sendirian ataupun diluar bersama orang ramai. (Imran, 2013)

4. Film

Film adalah paduan yang seimbang di antara seni sastra, seni musik, bahkan sen komedi di dalamnya, menjadi sebuah bentuk hiburan yang menyajikan cerita mengenai suatu peristiwa yang merupakan suatu karya dari pikiran kreatif seseorang ataupun beberapa orang. Film merupakan suatu hiburan sekaligus media komunikasi yang mampu menjangkau setiap lapisan masyarakat, dan semakin luas ketika dunia digital ikut berkembang (Mudjiono, 2011), memberikan akses untuk setiap orang menonton film yang diinginkan. Di dalam film, terdapat pesan yang berbentuk tanda, lambang maupun symbol mengenai sebuah pikiran, informasi, kepercayaan, maupun himbauan, pesan ini tersirat melalui berbagai macam unsur yang terkandung di dalam film. Namun simbol ini hanya berhasil bila setiap komunikan yang menonton film tersebut memiliki pemahaman yang sama dengan simbol yang disampaikan sehingga keadaan bisa dikatakan komunikatif. Unsur yang dimaksud di dalam film ini, adalah (Estu Miyarso, 2011);

o Visual Gerak

Yaitu simbol dan tanda yang berupa penampilan visual, baik ekspresi, tingkah laku, perbuatan yang mengandung nilai estetika artistik dan dramatis.

o Audio

Unsur audio merupakan tanda berupa dialog dan intonasi yang memperjelas pesan maupun informasi yang dikomunikasikan. Suara musik sebagai latar dari cerita yang memiliki peran menciptakan suasana sesuai dengan yang diharapkan oleh pengkaryanya.

o Jalan Cerita

Bagaimana jalan cerita berjalan adalah pesan dari keseluruhan film, maknanya universal bagi penontonnya, maksudnya, penonton lah yang memaknai film tersebut sesuai dengan pikiran mereka masing-masing. Melalui rangkaian visual

(4)

15

dan audio dari awal sampai akhir film yang dibatasi dengan durasi film, penulis menyampaikan pesan sebab dan akibat dari awal film hingga akhir film.

o Setting

Setting adalah dimana gambar diambil dan menjadi objek visual dari setiap adegan, membawa pesan suasana dan keadaan dari suatu lokasi yang akan mempengaruhi bagaimana penonton menerima pesan visual gerak. Karena sebuah setting membangun suasana yang mendukung visual gerak dan audio, serta memperjelas jalan cerita dan pergantian scene dari sebuah film.

o Properti

Dalam sebuah film, properti meliputi kostum dan tatarias dari pemain film, kemudian perlengkapan, alat maupun benda yang mendukung dramatisasi dari sebuah scene, properti mendukung visual dari film terlihat lebih alami dan terlihat mendukung. Selain itu, properti juga termasuk peralatan yang dibutuhkan saat shoot, baik untuk mic, pencahayaan, maupun kamera untuk merekam.

o Efek

Setelah proses shooting, tentu saja film akan memasuki tahap editing, meruntutkan setiap potongan rekaman menjadi alur film yang diinginkan serta memasukan setiap audio dan kemudian efek, efek ini adalah gambar, suara, cahaya, transisi, atau bahkan animasi yang deprogram di computer sehingga film memiliki kesan dramatis dan mengarahkan emosi dari penontonnya kelak.

Sebuah film juga memiliki genre tertentu, ditentukan dari pesan apa yang disampaikan dan bagaimana pesan tersebut disampaikan. Film pertama di Indonesia, muncul pada 1900 di Jakarta, saat itu film masih disebut dengan nama

“Gambar idoep”, saat itu film yang ditampilkan adalah genre dokumenter mengenai perjalanan ratu dan raja Belanda di Den Haag. Kemudian mulai bermunculan film di Indonesia dalam genre action, fantasi, dan berbagai macam sebagai hiburan saat masa penjajahan. Adapun beberapa genre film yang banyak ditampilkan di Indonesia yaitu;

o Aksi/laga

(5)

16

Genre film ini berisi banyak adegan fisik dan adegan berbahaya yang berputar pada tempo yang cepat, dan berlangsung sepanjang film,genre ini cenderung mendorong adrenalin penontonnya. Di Indonesia, sebelum reformasi, genre ini banyak dikaitkan dengan adegan seksi namun pada zaman sekarang, genre ini cenderung sepenuhnya berisi pertarungan dan pertumpahan darah baik dengan tangan kosong maupun senjata.

o Drama

Film Drama menggambarkan kehidupan sehari-hari yang diperngaruhi pendalaman karakter dan emosi, drama sangat luas dan biasa dikombinasikan dengan genre lainnya, seperti komedi, romantic, horror. Drama sendiri diambil dari penampilan pertunjukan seni, yang mana lebih focus kepada dialog antar pemainnya, dan menggambarkan realitas masyarakat.

o Roman

Genre romantic atau roman bercerita mengenai percintaan atau asmara manusia, konflik yang muncul dalam sebuah kisah cinta bisa berbagai macam, perselingkuhan, seksualitasm kisah cinta yang tragis. Genre roman banyak diminati oleh kaum perempuan, karena ceritanya menjadi fantasi bagi penonton sehingga ikut merasakan gejolak emosi dari cerita dalam genre tersebut.

o Horror

Genre horror fokus pada kejutan dan ketakutan kepada penontonnya, genre ini membawa tokoh fiksi berwujud hantu, membawa kisah mistis dan bermain dengan emosi penontonnya lewat visual dan efek suara yang menakutkan, di Indonesia sendiri, memiliki sejarah mengenai kisah hantu yang sampai saat ini dianggap ada dan tiada. Namun sejarah tersebut menjadi bahan yang menarik ketika dibentuk dalam sebuah film horror.

o Komedi

Genre komedi merupakan genre yang banyak digemari, dikemas dalam bentuk drama ringan yang penuh dengan kelucuan dan dialog yang mengundang tawa. Dalam genre komedi, sebuah aksi, dialog dan adegan dibuat berlebihan dan dramatisir sehingga membuat penonton terbawa keseruan dan kelucuan dari genre ini

(6)

17

Film sebagai sebuah media komunikasi massa memiliki pesan yang disampaikand ari pembuat film itu sendiri, namun pesan disampaikan tidak secara tersurat, melainkan tersirat melalui adegan, jalan cerita, dialog, dan elemen pendukung lainnya. Maka sifat dalam pesan terbentuk menjadi dua, yaitu;

o Verbal

Pesan yang disampaikan secara verbal melalui dialog, percakapan antar tokoh, hal tersebut digambarkan sebagai pola pikir dari tokoh, pada umumnya, latar belakang sebuah tokoh dan karakter sebuah tokoh juga digambarkan dalam film, sehingga pesan dalam bentuk dialog dapat terdengar selaras dengan latar belakangnya. Pesan yang disampaikan lewat verbal atau dialog ini bisa berupa sebuah pernyataan, pola pikir, dan pendapat. Yang kemudian akan diperkuat sejalan dengan mengalirnya dialog antar tokoh tersebut.

o Non verbal

Pesan non verbal disampaikan lebih tersirat dan diartikan berbeda- beda oleh penonton, karena pesan disampaikan berupa tanda dan simbol yang artinya akan dipengaruhi oleh latar belakang, pengalaman hidup dan pola pikir penontonnya. pesan non verbal sendiri dapat berupa gesture dari tokoh, ekspresi, dan simbol berupa penampilan yang digambarkan oleh tokoh atau suasana.

2. 1. 2 Industri Media dalam Budaya Massa & Budaya Popular

Globalisasi memberikan pengaruh besar pada aspek kebudayaan, dimana nilai masyarakat terus berkembang dan saling bertemu antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain, begitu pula dengan media massa yang membawa budaya baik fashion, gaya hidup, hingga cara berfikir yang lebih modern. Film, sebagai salah satu produk dari budaya massa memberikan ruang gerak pada individu.

Budaya massa sendiri tidak hanya bersifat hiburan, namun produk yang dianggap sebagai produk massal untuk penggunaan yang meluas ke khalayak banyak, komersial, menghibur, popular dan modern dengan audiens yang luas. Dan budaya popular, yaitu budaya yang meghasilkan standard baru melalui budaya.

(Hereyah, 2011).

(7)

18

Kepraktisan, pragmatisme dan keinstanan yang di tawarkan Budaya popular menyebabkan budaya popular tersebut mendapatkan perhatian masyarakat, namun juga menciptakan pertarungan antara satu makna dengan makna lainnya untuk mempengaruhi ideology masyarakat. budaya tersebut masuk melalui media massa yang memiliki fungsi sebagai model perilaku, yaitu ketika media massa menampilkan contoh perilaku atau model lainnya maka masyarakat akan membandingkan apakah dirinya sama seperti model tersebut atau justru sama sekali berbeda dengan model tersebut, berikutnya masyarakat akan menyerap dan mempertimbangkan apakah perilaku dan pola pikirnya akan berubah mengikuti model tersebut, atau masyarakat tersebut akan memilih untuk melakukan hal yang berlawanan, bahkan memungkinkan masyarakat tersebut untuk bersikap acuh dan tak acuh terhadap model perilaku tersebut Kemudian media massa adalah sarana untuk mengidentifikasi tentang nilai yang ada di luar lingkungannya maupun yang ada di lingkungannya. Berdasarkan kedua fungsi tadi muncul fungsi yang lain seperti memunculkan identitas dari pemahamannya mengenai diri sendiri karena memiliki perbandingan dengan apa yang ada di media massa. Seseorang juga mampu memahami kondisinya dan posisinya secara fisik, intelektual, moral.

Media massa juga memiliki fungsi sebagai hiburan yang bisa masuk ke setiap lapisan masyarakat. Media massa memiliki jangkauan yang sangat luas untuk setiap lapisan masyarakat itu memberikan peluang untuk menyebarkan budaya populer untuk menjadi lebih global. Namun pada dasarnya Setiap individu memiliki keinginan untuk menampilkan Siapa dirinya sebenarnya dengan adanya budaya populer mulai banyak muncul masyarakat yang memperjuangkan kebebasan untuk menunjukkan Siapa dirinya tanpa memikirkan aturan moral dan lingkungan sekitarnya. (Tanudjaja, 2007)

Film Sebagai Industri

Film, sebagai sebuah hiburan juga merupakan bagian dari industry kreatif, yang memiliki pengaruh besar terhadap berkembangnya ekonomi kreatif. Film adalah benda yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi jika diukur dari jumlah

(8)

19

peminatnya di Indonesia. bahkan ekonomi kreatif dianggap sebagai era yang baru setelah ekonomi pertanian, industri, dan lain-lain. (Idola Perdini Putri, 2017) .

Dengan begitu besarnya peran film dalam industri kreatif dan perekonomian, tentu ketika sebuah film dibuat, pencipta dan tim dibaliknya akan memiliki harapan besar agar film yang dibuat menjadi terobosan besar, menarik banyak minat penonton, dan juga memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Bentuk promosi dari film sendiri ada berbagai macam, dimulai dari poster, trailer, meet & greet dan lain-lain. Namun selain materi promosi seperti demikian, ada beberapa cara yang dilakukan secara implisit oleh pemain dibalik industri film, di antaranya memunculkan kontroversi untuk mendongkrak penjualan dan penayangan film. Dengan adanya pemberitaan kontroversi mengenai sebuah film, baik negatif maupun positif, masyarakat akan mengetahui keberadaan dari film tersebut, dan mulai mencari tahu, hingga pada akhirnya ikut menonton film tersebut akibat rasa penasaran yang tumbuh. Kontroversi bisa dibentuk sedemikian rupa, isu sensitif seperti misalnya SARA, LGBT, politik jika diangkat menjadi film cenderung lebih banyak mengundang perhatian masyarakatnya.

2. 1. 3 Semiotika Dalam Sebuah Film

Film adalah bentuk simbol dari sebuah pengalaman, atau pikiran dari orang-orang yang ada di balik pembuatan tersebut, seperti penulis naskah dan sutradara. Pikiran tersebut bisa berupa pengalaman hidup yang dirasakan ataupun imajinasi dari kepalanya sendiri. Maka film tersebut menjadi media komunikasi bagi penulis naskah dan sutradara tersebut. Di dalam sebuah film, setiap tanda baik melalui penampilan, visualisasi dari pemeran, dialog, audio, maupun jalan cerita menggambarkan sesuatu baik secara umum maupun spesifik. Dengan tujuan masyarakat dapat memahami apa maksud dari dibuatnya film ini, walaupun setiap lapisan masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda dan menjadikan persepsi yang juga berbeda dalam mengerti apa yang digambarkan dari sebuah film tersebut, namun penulis dan sutradara jelas memberikan visualisasi dari pikiran mereka kedalam bentuk film dan setiap unsur yang dikandung dalam film tersebut. Gambaran yang ada di dalam film, bisa berasal dari sebuah kebudayaan dan fenomena yang melatarbelakangi dibuatnya film ini, fakta sosial adalah bekal awal dari terbentuknya ide untuk membuat film.

(9)

20

Menurut Hall, film adalah salah satu media dalam menggambarkan peristiwa, karena setiap adegannya akan terkonstruk dengan sendirinya di kepala para penonton dan secara otomatis, penonton akan memberikan makna sesuai sudut pandangnya masing-masing (Hall, 1997). Maka ilmu semiotika, membantu kita dalam menangkap berbagai simbol dan makna tersembunyi dari sebuah film.

o Semiotika

Diambil dari bahasa yunani, ‘semeion’ yang artinya tanda, semiotika adalah sesuatu yang di representasikan dari sebuah tanda, bagaimana tanda, atau penunjuk dapat memberikan makna sesuai dengan budaya yang ada dimana tanda tersebut muncul. Objek, atau tanda bisa berbentuk konkret, berwujud, seperti misalnya binatang dengan warna pink dan berkaki 4 yang dirujuk dengan kata

‘babi’ dan objek yang abstrak, seperti perasaan sedih, ide cemerlang, sesuatu yang bersifat imajiner dan tidak dapat dilihat bentuk nyatanya. Sebuah pemahaman terhadap objek tersebut disebut konsep, bagaimana di kepala kita secara otomatis mengenali objek dan konsep yang membentuk objek tersebut, maka semiotika akan mengacu kepada kandungan kultural dan personal yang timbul di dalam budaya sehingga dapat membentuk konsep tersebut. Tanda sendiri bisa kita definisikan sebagai sesuatu yang merepresentasikan suatu objek dalam jangakauan indra kita. Konsep dari semiotika membuat kita memperhatikan makna dari pesan dan bagaimana pesan tersebut disampaikan melalui tanda.

Roman Jakobson mengeatakan bahwa ada kecenderungan membuat tanda-tanda yang merepresentasujab dunia melalui simulasi, sedangkan Roland Barthes mengatakan bahwa semiotika digunakan untuk membongkar struktur makna yang ada di dalam sebuah pertunjukan, tontonan, maupun konsep umum. (Danesi, 2004)

Analisis semiotika secara mudah adalah menentukan relasi antara X=Y, X dan Y sendiri bisa berupa apa saja, baik benda, warna, bahasa, perilaku, dan sebagainya yang bisa ditangkap oleh indra kita. X dan Y adalah subjek dari penelitian kita di dalam analisis semiotika. Analisis semiotika akan menangkap bagaimana sebuah tanda merepresentasikan sesuatu, dan konsep dibalik representasi tersebut berdasarkan budaya yang ada (Danesi, 2004).

(10)

21

Dikutip dari buku Danesi, menurut Charles Morris, metode semiotika dibagi menjadi; (1) Sintatik yaitu hubungan antara tanda satu dengan tanda lainnya. (2) semantik yaitu hubungan antara tanda dengan makna dasarnya. (3) pragmatik yaitu hubungan tanda dengan penggunaannya.

o Teori Semiotika menurut Charles Sanders Peirce

Gambar II-1

Struktur triadik Peirce (Danesi, 2004)

Gambar diatas, mengarahkan kita untuk membaca sebuah semiotika berdasarkan 3 poin yang saling berkaitan tersebut. Diawali dengan Objek (Y), yaitu sebuah gagasan, atau ide, baik benda, maupun pikiran yang kemudian di tunjukan dalam bentuk tanda, disebut juga representamen (X). maka kedua hal tersebut akan menciptakan makna, yang kemudian kita sebut dengan Interpretan.

1. Objek, Peirce membagi tanda menjadi 3, yaitu;

 Ikon: Tanda yang merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi, tanda ini terdapat di banyak aspek kehidupan sehari-hari manusia, baik dari ikon vokal, dalam bentuk kata maupun kalimat, langsung menggambarkan objek yang dimaksud, atau bahkan foto dan diagram. Ikon adalah bukti bahwa persepsi manusia terhadap pola berulang, baik warna, bentuk, gerakan, rasa,

 Indeks: Tanda yang mengindikasi sumber acuan atau saling menghubungkan acuan satu dengan acuan lainnya, contohnya jari yang menunjuk, atau kalimat

‘di sini’, ‘di sana’

(11)

22

 Simbol: Tanda yang menyandikan sumber acuan berdasarkan kesepakatan tertentu, seperti pita merah sebagai lambang peduli HIV/AIDS.

2. Representamen, atau kita sebut juga dengan tanda, disambungkan dengan

’Ground Theory’ milk Peirce, ia membagi menjadi 3 bentuk, yaitu;

 Qualisign: kualitas yang ada pada tanda, yaitu ketika tanda tersebut berupa suatu hal yang kemudian disampaikan dalam bentuk keras, kasar, akan berbeda dengan pada saat hal tersebut disampaikan secara lemah lembut dan halus.

 Sinsign: yaitu eksistensi sesungguhnya suatu benda atau peristiwa yang ada pada tanda, sebagai contoh, kata ‘keruh’ pada ‘air sungai yang keruh’

menandakan bahwa ada hujan pada hulu sungai.

 Legisign: adalah norma yang terkandung dalam sebuah tanda berkaitan dengan cara hidup individu, seperti lampu merah menunjukan merah yang artinya pengendara harus berhenti dan menunggu (Sobur, 2013).

 Interpretan, peirce mengklasifikasikan kembali menjadi 3 bagian, yaitu;

 Rheme: tanda yang memberikan peluang untuk seseorang menafsirkan berdasarkan beberapa pilihan, seperti mata merah bisa berarti orang tersebut ingin menangis, marah, atau sakit mata.

 Dicent sign/dicigint: tanda yang menyatakan sesuai kenyataan, seperti tanda tikungan tajam pada rambu berarti beberapa meter didepan aka nada tikungan tajam.

 Argument: yaitu tanda yang langsung memberikan alasan tertentu atau penilaian seseorang berdasarkan apa yang ia tangkap dalam suatu peristiwa.

Contohnya, seseorang mengatakan ‘gelap’ ketika semua lampu mati di malam hari, yang artinya kondisi memang sedang gelap gulita.

o Tanda

Komunikasi adalah suatu proses simbolik. Maksud dari kalimat ini adalah, lambang ataupun simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan sesuatu. Lambang tersebut bisa dalam bentuk kata-kata verbal, perilaku, maupun objek tertentu yang disepakati bersama, dan dengan kemampuan individu, bahasa tersebut bisa terus berkembang. Lambang sendiri tidak memiliki makna, namun individu lah yang memberikan makna terhadap suatu lambang, dalam artian bebas

(12)

23

diartikan seperti apa tanpa batasan yang kemudian mencapai kesepakatan.

Bagaimana suatu suku, seperti jawa atau sunda misalnya, memiliki bahasa daerah mereka masing-masing adalah suatu bentuk bahwa suatu hal melambangkan sesuatu sesuai kesepakatan daerahnya masing-masing dan tidak sama antar satu sama lain. Tak hanya bahasa, namun segala hal disekitar kita merupakan simbol dari sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sesuatu dianggap sebagai tanda apabila suatu hal tersebut memiliki pola tertentu yang dapat berulang dan diprediksi, dengan kata lain disebut juga sintagmatik. Kemudian bentuknya berbeda dengan tanda yang sudah ada, yaitu paradigmatic. Dalam sebuah struktur bahasa, ‘apel’, ‘jeruk’, mengacu pada salah satu jenis buah dengan menggunakan pola yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia, sedangkan ‘qwef’ tidak mengacu pada apapun karena tidak sesuai dengan pola bahasa yang digunakan di Indonesia.

Tanda juga bisa dilihat dari pilihan makanan misalnya, di Indonesia, restoran cepat saji seperti Mcdonald, Kentucky, atau Starbucks, menampilkan status ekonomi menengah keatas. Sedangkan di Amerika, restoran seperti itu adalah kesukaan masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah. Selain makanan, penampilan fisik juga merupakan simbol yang lebih kompleks, pakaian rapih, kemeja, jas, celana kain merupakan simbol dari laki-laki maskulin yang bekerja di kantor, brewok dan kumis sebagai bentuk maskulinitas. Jaket jeans, kaos, menandakan jiwa yang muda, cenderung digunakan anak band. tempat tinggal juga memberikan simbol tertetu, dimana tempat tinggalnya, bagaimana bentuk rumahnya, furniture dan ornament seperti apa yang ada dirumahnya semua melambangkan hal tertentu. (Mulyana, 2010)

o Makna

Makna, merupakan sesuatu yang menggambarkan maksud maupun arti dari sebuah symbol tertentu, simbol sendiri dapat berupa bahasa, ekspresi, tanda universal yang disepakati secara tertulis maupun tidak tertulis oleh sekelompok masyarakat tertentu dan masih banyak lagi, karena pada dasarnya apapun yang ada di dunia ini memiliki makna bagi setiap orang, makna tidak selalu sama satu sama lain. Individu memahami makna secara otomatis pada cara berfikirnya, hal tersebut berasal dari bagaimana keadaan lingkungannya, pengalaman hidupnya,

(13)

24

dan persepsinya masing-masing, namun dengan adanya kesamaan budaya sebuah kelompok masyarakat, makna yang diambil dari setiap orang dengan budaya yang sama tidak jauh berbeda atau bahkan bisa sama persis.

Sistem dalam representasi adalah cara bagi kita untuk memproses pemaknaan kita pada dunia, berkaitan dengan objek-objek seperti; orang, benda, kejadian, objek abstrak.yang nantinya akan terhubung dengan peta konseptual yang ada di kepala kita. Sistem representasi mental membuat kita mempertukarkan makna kita secara sosial, kemudian sistem representasi bahasa membantu kita untuk menggambarkan serta menyampaikan makna yang ada.peta konseptual tersebut sebaiknya dupahami bersama agar pertukaran makna terjadi dengan baik (Hall, 1997)

2. 1. 4 Budaya LGBT dan Homofobia di Indonesia

Salah satu bagian penting dari semiotika adalah budaya, keberadaan budaya merupakan penentu bagaimana sebuah konsep akan terbentuk sehingga tanda bisa diproses dengan konsep budaya yang ada. Budaya akan membentuk tanda yang merepresentasikan sesuatu, atau tanda akan menjadi simbol dari sesuatu berdasarkan budaya tertentu.

Individu memiliki kemampuan berfikir dan merencanakan sesuatu secara sadar untuk memindahkan pengetahuan dan keahlian yang telah dipelajari kepada generasi berikutnya. Kemudian akan terjadi perkembangan seiring pengetahuan dan keahlian tersebut diturunkan, sehingga terbangunlah hubungan sosial dan lingkungan yang lebih berkembang, yang membentuk sebuah kebudayaan dan generasi ke generasi individu lahir dengan latar belakang budaya tertentu dan dapat mengalahkan alam dalam menjamin kelangsungan hidup dan evolusinya.

Budaya terbentuk dari komunikasi, dan komunikasi pun terbentuk akibat budaya, bagaimana individu berkumpul dan hidup bersama, kemudian muncul bahasa vokal, sistem etika, sistem hubungan sosial, dan bekerjasama dalam memodifikasi lingkungannya. (Danesi, 2004)

Budaya di Indonesia, mengenai LGBT dan Homofobia sudah ada bahkan sejak 1824, dikutip dari majalah Historia dimanasultan Hamengkubuwono V di keraton Surakarta, menemukan beberapa selirnya melakukan hubungan sesama

(14)

25

jenis (Nugraha, 2016) LGBT di Indonesia terus berkembang. Keberadaan media sosial dan media massa terus mendongkrak keberadaan kaum LGBT, beberapa gerakan bawah tanah, dan organisasi-organisasi sosial tertentu juga kerap bermunculan. LGBT sendiri tidak semuanya menyembunyikan diri di Indonesia, banyak orang terkenal, influencer, aktor ataupun artis yangblak-blakan memunculkan diri di televisi.

Namun, walaupun keberadaan LGBT sudah muncul sejak lama, masyarakat Indonesia memiliki latar belakang budaya, terutama dalam sisi agama dan peraturan Negara yang melarang keberadaan LGBT. Berdasarkan data BPS 2016, umat islam mencapai 87% dari total penduduk di Indonesia, agama terbanyak kedua adalah agama Kristen. Dimana kedua agama ini sangat melarang keberadaan LGBT. Pemerintah Indonesia juga mengatur di dalam pasal 1 UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan dimana perkawinan hanya dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita. Dengan latar belakang tersebut, dirasa cukup membuat konsep masyarakat Indonesia untuk menjauhi, dan melarang LGBT dan secara tidak langsung menumbuhkan sifat Homofobia di dalam konsep pemikiran masyarakat Indonesia.

Tak hanya larangan agama dan peraturan Undang Undang, namun tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh LGBT, terutama homoseksual, banyak menimbulkan pelanggaran adat istiadat yang kemudian menjadi sorotan publik, sehingga walaupun tidak semua anggota komunitas LGBT memiliki tingkah laku yang buruk dan melanggar aturan, namun stigma masyarakat secara otomatis terbentuk. Sebagai contoh, perilaku yang menjadikan homoseksual memiliki stigma negatif di Indonesia adalah;

 Perilaku seksual yang tidak sehat. Dengan dilarangnya pernikahan sesama jenis, memberikan celah lebih besar bagi homoseksual untuk kerap berganti- ganti pasangan pada kurun waktu tertentu. terdapat penelitian yang melakukan survey pada homoseksual, dan 75% diantaranya mengaku telah melakukan hubungan sosial dengan lebih dari 100 pria, dan 15% nya mengakui telah berhubungan dengan 100-249 pasangan, kemudian 17% memberikan pernyataan telah melakukan hubungan dengan 250-499 pria (Alan Bell, Martin Weinberg, 1978). Aktifitas seksual dari homoseksual adalah

(15)

26

melakukan anal seks dan oral seks yang secara medis membahayakan kesehatan pelakunya (Dermawan, 2017)

 Hubungan seksual yang lebih berpotensi pada penyakit kelamin menular.

Hubungan seksual antar sesama jenis tentunya tidak sama seperti hubungan dengan lawan jenis, dan hubungan seksual inilah memberikan kemungkinan akan timbulnya penyakit lebih besar, seperti contohnya HIV/AIDS, Herpes, Hepatitis, sipilis, Gonorrhea atau disebut juga kencing nanah, Uretritis, kemandulan, dan penurunan kekebalan tubuh akibat berhubungan dengan kelompok homoseksual yang disebut Gay Related Immune Deficiency.

(Yanggo, 2018)

 Homoseksual erat kaitannya dengan kehidupan bebas, mengarah ke penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, tak jarang juga memiliki penyakit mental seperti depresi, bipolar. Homoseksual tak jarang yang tertangkap pihak berwajib dengan kasus tersebut sehingga memberikan kesan negatif kepada masyarakat luas.

 Pelecehan seksual dari homoseksual banyak terjadi pada laki-laki heteroseksual, hal tersebut menimbulkan trauma tertentu kepada korbannya.

Sebagai contoh, kasus saiful jamil yang melakukan pelecehan pada anak laki- laki dibawah umur, menyebabkan ia dipenjara dalam kurun waktu tertentu.

1. LGBT

LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender) adalah sebuah merupakan konsep kebebasan seksualitas yang muncul dalam diri seseorang, dan kemudian muncul kelompok-kelompok yang merasakan hal yang sama. Pada konsep LGBT sendiri, seorang laki-laki tidak diharuskan berpenampilan dan berperilaku maskulin, begitu juga dengan perempuan yang tak harus berpenampilan feminim, kebebasan ini juga berpengaruh kepada hubungan romansa dan hubungan seksual yang mana LGBT tidak sebatas dengan lawan jenis saja, namun juga dengan sesama jenis. Definisi dari homoseksual sendiri merupakan laki-laki yang menyukai sesame jenis, baik berpenampilan maskulin maipun feminim.

Sedangkan lesbian adalah perempuan yang menyukai sesama perempuan, mayoritas salah satu dari hubungan lesbian ini berpenampilan maskulin. LGBT juga tidak menutup kemungkinan bahwa hubungan bisa dilakukan baik dengan

(16)

27

laki-laki maupun dengan perempuans sekaligus, yang mana masuk kedalam sebutan biseksual. Ada pula mereka yang merubah penampilannya untuk memaksimalkan kebebasan dalam diri mereka, disebut dengan Transgender dan bagi yang memutuskan untuk melakukan tindakan medis mengubah jenis kelaminnya (Transeksual) lalu. Pada mulanya, LGBT, atau Homoseksual termasuk dari penyakit gangguan jiwa pada Diagnostic and Statistic manual of Mental Desorder (DSM) versi 1 dan 2, namun pada DSM 3 terdapat perubahan yang dibawa oleh American Psychiatric Association, mereka mendefinisikan bahwa Orientasi Seksual sebenarnya terbentu oleh beberapa faktor, yaitu genetik, kognitif, hormonal, dan lingkungan. (McWhirter, 1990). Kemudian penyebab dari munculnya homoseksual berdasarkan beberapa kasus adalah jumlah hormon di dalam tubuh seseorang yang tidak stabil, atau penyebab lainnya adalah secara psikologi, dimana pengalaman seorang individu di masa lalunya, seperti pelecehan seksual, trauma terhadap lawan jenis, trauma yang timbul akibat keluarga, menciptakan ketidakstabilan secara psikologis dan bisa jadi menjadi penyebab orientasi seksualnya berubah menjadi homoseks. Pada pendapat lain, homoseks bisa juga muncul akibat warisan genetik dari orang tuanya. (Hammer, 1994)

2. Homofobia

Dari sisi normatif, riset mengenai pandangan homofobia telah dilakukan, salah satunya oleh Herek, ia mengatakan bahwa Homofobia merupakan kebencian yang irasional terhadap kaum homoseksual. Agama dan aturan negara menyatakan bahwa homoseksual merupakan hal yang salah dan melanggar norma, namun tidak ada dari sumber tersebut yang menyatakan keharusan untuk membenci atau memusuhi golongan tertentu. Salah satunya adalah homoseksual.

Sedangkan, rasa benci tanpa alasan yang jelas merupakan definisi dari homofobia itu sendiri, dan tak jarang orang menggunakan alasan agama untuk menormalisasikan tindakan homofobia tersebut.

Keberadaan LGBT di dunia sudah sangat marak, beberapa Negara menganggap LGBT sebagai hal yang normal dan legal, dan beberapa Negara lain, Indonesia salah satunya, menolak keras konsep LGBT, selain peraturan Negara

(17)

28

yang mengatakan bahwa pernikahan harus dilakukan antara perempuan dan laki- laki, hal ini juga dipengaruhi oleh agama mayoritas di Indonesia, Islam dan Kristen, yang keduanya sama-sama menolak keras hubungan sesama jenis. Latar belakang budaya tersebut menciptakan pola pikir masyarakat, yang akhirnya memandang LGBT adalah sebuah aib dan perilaku tidak terpuji. Dengan lingkungan yang seperti itu, keberadaan LGBT cukup dibenci, terutama pada masyarakat yang tabu akan hal tersebut, atau masyarakat dengan kepercayaan yang cukup kuat. (Wieringa, 2019)

Homofobia pertama muncul di tahun 1969 oleh George Weinberg, kata ini digunakan untuk menggambarkan diskriminasi, dan rasisme yang terjadi kepada kaum LGBT, setiap tindakan kebencian yang berasal dari kaum heteroseksual kepada pelaku LGBT. Homofobia bisa muncul dari hati tanpa disadari oleh seseorang, rasa benci dan jijik tanpa alasan akibat apa yang sudah dikonsumsi sejak kecil dimana pemahaman mengenai LGBT adalah hal yang terlarang.

Kemudian mempengaruhi pada sikap seseorang saat melihat pelaki LGBT, muncul perilaku menghakimi dan menghina pada pelaku atau bahkan organisasi LGBT itu sendiri. (Herek, 1999) Siswa di menengah pertama atau menengah akhir lebih tampak akan homofobia dan ketidaksukaannya pada kaum LGBT, temuan ini dilatar belakangi dari struktur sekolah dan budaya yang tertanam (Chotim, 2019)

3. Konstruksi LGBT dan Homofobia dalam Media

LGBT dan Homofobia pada media massa di Indonesia digambarkan sebagai bahan lawakan yang selalu berhasil dimata penontonnya, bagaimana kaum LGBT di hina adalah hiburan bagi penonton di Indonesia. Melihat peluang ini, banyak media menggunakan pemeran LGBT sebagai bahan ejekan. Hal ini menggambarkan homofobia yang ada di masyarakat ketika hinaan terhadap kaum tertentu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Pemberitaan mengenai LGBT selalu negatif dan cenderung mengarah ke justifikasi dan menyudutkan kaum Gay, tidak ada pemberitaan mengenai prestasi gay sementara berita negatif terus muncul di media.

Penolakan terhadap keberadaan LGBT di Indonesia terus muncul di media massa, baik di sisi pemerintahan, akademisi, maupun orang awam pun selalu menyatakan sikap penolakan terhadap LGBT, banyak ujaran kebencian dan

(18)

29

provokasi yang muncul di media sosial. Media massa memberikan stigma bahwa LGBT adalah penyebab dari munculnya HIV, AIDS, dan harus dikembalikan menjadi “normal” dalam arti menjadi heteroseksual. Sehingga kaum LGBT banyak menutup diri dan menyembunyikan ‘kelainannya’. Meski juga banyak di antaranya menunjukan kepada publik bahkan menjadi public figure. (Niko, 2016) 2. 1. 5 Pretty Boys

(Sumber Gambar: https://kumparan.com)

Film Pretty Boys (rilis 19 September 2019) disutradarai oleh Tompi, dengan nama asli Dr. Teuku Adifitrian, Sp.BP-RE seorang dokter, penyanyi jazz, pembawa acara, dan juga penulis cerita untuk beberapa film layar lebar seperti

‘Trinity, The Nekad Traveler’, dan film ‘Pretty Boys’ ini. Skenario ditulis oleh Imam Darto, seorang pembawa acara, actor dan penulis scenario untuk film ‘Vote for Love’ dan ‘Pretty Boys’. Pemeran utama di film ini adalah 2 pembawa acara ternama bernama Vincent Ryan Rompies (berperan sebagai Anugerah) dan Deddy Mahendra Desta ( berperan sebagai Rahmat). Di dalam film ini ada peran gay yang dimainkan oleh Onadio Leonardo (sebagai Roni), Tora Sudiro, Dwi Sasono, Derry Maryadi. Pemain lain sebagai tokoh pelengkap dan pendamping dari film ini seperti Danilla Riyadi (sebagai Asti). Imam Darto, Roy Marten, dan banyak lagi. Diproduksi oleh The Pretty Boys Pictures, sebuah production House yang didirikan Vincent dan Desta sendiri dengan bekerja sama dengan Anami Film.

(19)

30

Cerita ini berawal dari masa kecil Anugerah dan Rahmat, bersahabat sejak kecil, dengan Rahmat yang tumbuh tanpa orang tua, dan Anugerah yang memiliki konflik maskulinitas dengan ayahnya, seorang pensiunan tentara. Sang ayah sangat membenci perilaku Anugerah yang sering menjadi pembawa acara, baik acara kecil di kampungnya ataupun menjadi artis, pertengkaran besar terjadi menjadi pemicu sang anak untuk berangkat ke Jakarta bersama Rahmat, sahabatnya. Di Jakarta, kehidupan tidak semulus yang diharapkan, dengan cita- cita untuk menjadi pembawa acara, Anugerah dan Rahmat justru terjebak menjadi staff dan juru masak disebuah restoran kecil dengan bos yang menyebalkan, disanalah mereka bertemu Asti, yang kemudian menjadi bagian dari kisah cinta dalam persahabatan ini.

Suatu ketika muncul kesempatan untuk tampil di televisi, sebagai penonton bayaran, di adegan ini mulai bermunculan konflik berat yang menyangkut maskulinitas dan homofobia, Anugerah dan Rahmat yang tidak pernah bertemu dengan orang-orang dibalik layar kaca kini kaget melihat betapa banyaknya gay di stasiun televisi. Kemudian mereka terlibat dalam adegan di acara TV dimana mereka menjadi penonton bayarannya, dan kemudian diberikan tawaran untuk menjadi co-host di acara tersebut, dengan syarat mereka harus berdandan dan berpenampilan seperti homoseksual. Dengan manajer Roni, dan host acara tersebut, Koko, yang diceritakan sebagai homoseksual asli. Sejak saat itu, film ini banyak dibubuhi oleh dialog komedi yang sedikit menyentil kaum Gay.

Tompi

(Sumber gambar: IDNTimes.com)

Imam Darto

(Sumber gambar: Infopena.com)

(20)

31

Di masyarakat, film ini cukup kontroversial. Karena membahas isu transgender dan membahas tuntutan dunia televisi, melalui wawancara, Imam Darto mengatakan bahwa mereka ingin mengangkat isu dibelakang layar, dimana seseorang yang tampil didepan televisi harus mengikuti tuntutan penonton. Dan isu transgender ini menjadi jembatan, mereka mengakui adanya fakta sosial dimana ketika bekerja di belakang layar, menjadi transgender adalah hal yang cukup membantu ketika tampil, mereka lebih menarik perhatian masyarakat sehingga banyak laki-laki biasa yang akhirnya harus berpenampilan seperti seorang transgender, walaupun terdapat gejolak di dalam hatinya tidak ingin menjadi seperti itu. (Putsanra, 2019)

2. 2 Penelitian Terdahulu

No Judul Deskripsi

Penelitian

Perbedaan Elemen Penelitian Ini Dengan Topik Penelitian

Penulis 1 Skripsi

‘Homofobia dalam Film Indonesia (Analisis Semiotika Dalam Film Suka Mas Suka

dan Film

Lovely Man)’

karya Dita Rahmasari.

Ilmu

Komunikasi Universitas Islam Indonesia 2018

Penelitian ini mengangkat

homofobia pada 2 film, ‘suka ma suka’(2018) dan

‘Lovely Man’(2011) adalah film yang memiliki tokoh utama seorang homoseks, dan Homoseksual.

Diikuti dengan pemeran lain yang tidak meyukai LGBT, dengan menggunakan teori Roland Barthes,

Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes, sedangkan pada topik ini, peneliti menggunakan teori Semiotika menurut Charles Sanders Peirce.

Peneliti terdahulu menggunakan 2 judul film, ‘suka ma suka’(2018) dan ‘Lovely Man’(2011) sedangkan pada topik ini, peneliti menggunakan 1 judul film yaitu ‘Pretty Boys’(2019)

(21)

32 2 “Representasi

Kecantikan dalam Video Klip Bercahaya (Analisis

Semiotika John Fiske dalam Iklan Kosmetik Ponds) karya Abi Ardianda, Ratih Sudrajat, S.Sos., M.Si, dan Kharisma Nasionalita, S.Sos., MA3

Penelitian ini membahas tentang representasi

kecantikan pada sebuah video klip iklan produk kecantikan, Ponds.

Penelitian ini menggunakan representasi sebagai dasar penelitiannya, kemudian

diturunkan pada semiotika John Fiske untuk membantu

membaca tanda dan simbol yang ada di dalam ikan tersebut.

Penelitian terdahulu meneliti tentang kecantikan pada iklan kosmetik Ponds, sedangkan penelitian yang dilakukan sekarang adalah mengenai homofobia di dalam film “Pretty Boys” karya Tompi.

Penelitian terdahulu lebih singkat dan padat, karena ditulis dalam bentuk artikel jurnal, sedangkan pada penelitian ini, lebih menjabarkan konsep dan penelitiannya secara detail karena berbentuk skripsi kualitatif

Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis semiotika film ‘Pretty Boys’ karya Tompi yang merepresentasikan gejala homofobia. Homofobia di Indonesia merupakan perilaku yang berupa suatu tindak kekerasan baik verbal maupun non verbal kepada pelaku LGBT, penelitian ini mendalami analisis semiotika oleh Charles Sanders Peirce, dengan fokus mengidentifikasi perilaku homofobia yang ada pada objek penelitian, yaitu film “Pretty Boys” karya Tompi. Perilaku tersebut ada pada pemain film tersebut,benda yang terdapat pada setting film tersebut, ataupun kejadian yang ada pada adegan film tersebut.

Penelitian ini perlu untuk diteliti, karena tidak banyak film menggambarkan sikap homofobia secara gamblang, dan tokoh utama yang juga menjadi homoseksual namun bukan karena pilihannya, melainkan tuntutan pekerjaan. Film

(22)

33

ini memberikan kesan bahwa Homofobia adalah sifat yang normal dan wajar untuk dilakukan, sedangkan pada kenyataannya perilaku homofobia dapat mengarah kepada bullying atau perpeloncoan yang megganggu hak hidup individu yang lain. Film ini akan dianalisis dengan menggunakan kajian Analisis semiotika menurut Charles Sanders Peirce.

Gambar

Gambar II-1

Referensi

Dokumen terkait

pengawasan jarak jauh, dapat melalui laporan tertulisa maupun lisan dari karyawan pelaksana kegiatan. Peningkatan efektivitas, efesiensi, dan produktivitas kerja perlu

Pendidik yang memiliki dan menguasai berbagai keterampilan pendidik dalam mengajar dan dapat menerapkan dalam proses pembelajaran akan dinilai oleh peserta didik

Pembangunan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat yang ber­ watak sosial harus semakin dikembangkan dan diperkuat khususnya dalam bidang organisasi dan manajemen dalam

Senyawa yang diisolasi dari tumbuhan terpilih Michelia champaca L., yaitu liriodenin memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I dan II yang merupakan salah satu

Dilihat dari prinsip kesantunan, dalam tuturan ini Arsene Wenger mematuhi maksim kebijaksanaan, karena dengan mengatakan bahwa dia tidak melihat insiden

DARUSSALAM 1990.. Us£he untuk r.cneiptalwn kebersihan ling lwngan hidup. p ortisipDSi semua wa.rgn o8.syera!tat un - tuk nendukung pro~rem tersebut. Penelitian lni

mempengaruhi bagaimana mereka mempersepsikan mengenai model pembelajaran blended learning yang mereka jalankan, yang mana persepsi didefinisikan oleh Atkinson (2000)

Penelitian ini berfokus pada sikap dan perilaku komunikasi mahasiswa perantau dalam menghadapi gegar budaya atau culture shock serta mengetahui bagaimana bentuk adaptasi