4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kerangka yang Diteliti
2.1.1 Pendapatan Petani
Salah satu konsep pokok yang sering digunakan untuk mengukur kondisi ekonomi seseorang atau rumah tangga yaitu melalui tingkat pendapatan (Muksit, 2017). Pendapatan dapat menunjukkan material atau seluruh uang yang dapat dicapai dari penggunaan kekayaan yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga tertentu (Winardi, 1997). Untuk menghitung besar kecilnya pendapatan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu (Sukirno,2004) :
1. Pendekatan produksi (Production Approach), adalah dengan menghitung semua nilai produksi barang dan jasa akhir yang dapat dihasilkan dalam periode tertentu.
2. Pendekatan pendapatan (Income Approach), adalah dengan menghitung nilai keseluruhan balas jasa yang dapat di terima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu periode tertentu.
3. Pendekatan pengeluaran (Expenditure Approach), adalah pendapatan yang diperoleh dengan menghitung pengeluaran konsumsi masyarakat.
Penerimaan dibidang pertanian adalah produksi yang dinyatakan dalam bentuk uang tunai sebelum dikurangi dengan biaya pengeluaran selama kegiatan usahatani tersebut (Daniel, 2004). Menurut Mosher (1991), pendapatan merupakan produksi yang dinyatakan dalam bentuk uang setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan selama kegiatan usahatani.
Menurut Soekartawi (1995), pendapatan dibedakan atas dua pengertian yaitu :
1) Pendapatan kotor usahatani merupakan nilai produksi usahatani dikalikan harga dalam jangka waktu tertentu baik yang jual maupun yang dikonsumsi sendiri, digunakan untuk pembayaran dan simpanan.
2) Pendapatan bersih usahatani merupakan selisish antara pendapatan kotor dengan usahatani dengan pengeluaran total usahatani.
Konsep pendapatan yang dimaksud adalah penerimaan dari hasil usahatani padi dikurangi dengan semua biaya faktor produksi yang diperhitungkan sebagai biaya ushatani, termasuk biaya tenaga kerja keluarga dan biaya sewa lahan milik sendiri (Muksit, 2017).
5
Pendapatan petani dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu dari: (1) dari usahatani sendiri, (2) dari sumber usaha lain di bidang pertanian, misalnya buruh tani, peternakan dan perikanan, (3) dari kegiatan luar usahatani (M Fitria, 2012). Pendapatan petani adalah keuntungan atau balas jasa dari pengelolaan usahatani dengan usaha manajemen faktor produksi, selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya yang dikeluarkan. Penerimaan usahatani adalah nilai dari produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, sedangkan biaya merupakan semua jumlah pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dalam satu periode produksi. Pendapatan dari pertanian ini tergantung pada jenis kegiatan yang mengikutsertakan modal atau keterampilan yang akan mempengaruhi produktivitas (Darsono, 2004 : 19 dalam Fitria 2012).
Menurut Tiku (2008), analisis pendapatan dapat membantu seorang petani untuk mengukur apakah usahataninya pada saat itu menguntungkan atau tidak menguntungkan.
Usahatani dikatakan sukses apabila pendapatan yang diperoleh memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersbut.
2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan (termasuk pembayran sewa tanah).
3. Cukup untuk membayar tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah
Menurut (Astari,2015) adapun yang mempengaruhi pendapatan petani yaitu pajak dan sewa lahan. Petani pemilik harus membayar pajak atas kepemilikan lahan, sedangkan untuk petani penggarap harus sewa lahan.
a. Sewa lahan
Bagi petani yang bukan merupakan pemilik lahan, semakin luas lahan yang akan ditanami maka akan menyebabkan biaya sewa terhadap lahan tersebut semakin tinggi. Hal ini menyebabkan biaya untuk produksi akan semakin meningkat dan akan berefek pada menurunnya pendapatan. Teori ini diperkuat oleh (Sicat dan Arndt, 1987) mengatakan karena sedikitnya lahan dan permintaan rendah berarti sewa lahan tersebut juga rendah tapi permintaan lahan yang tinggi menyebabkan sewa semakin tinggi.
6
b. Pajak tanah (lahan) dan pembebanannya
Terbatasnya persediaan lahan menimbulkan gagasan pemungutan pajak atas lahan. Bila permintaan lahan tinggi karena kualitasnya yang istimewa, seperti kesuburan yang luar biasa, atau mengandung bahan tambang yang berharga seperti minyak bumi atau emas, atau berkat dilakukannya perbaikan oleh pemerintah, lahan itu mempunyai nilai untuk dipajaki yang tidak dapat dibebankan selain kepada pemiliknya. Pajak lahan dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang diterima pemilik lahan (Sicat dan Arndt, 1987).
2.1.2 Status Kepemilikan
Petani dapat menguasai lahan garapan dengan cara menyewa atau menggadai dan dengan cara memiliki lahan sendiri. Lahan dapat diperoleh dengan cara membeli dari petani lain tetapi perolehan lahan juga bisa diperoleh dari warisan orang tua sehingga akibat sistem pewarisan ini lahan usaha tani terfragmentasi ke dalam persil-persil yang lebih kecil. Petani yang tidak memiliki lahan kurang dari satu hektar tetapi mempunyai kecukupan modal usaha taninya biasanya menyewa lahan garapan dari petani lain (Apriyanto, 2005). Pentingnya peran lahan sawah dalam kehidupan manusia. Banyaknya masyarakat yang bekerja di sektor agraris dan terbatasanya lahan sawah yang tersedia, menyebakan adanya sistem kepemilikan lahan. Sistem ini memungkinkan setiap warga negara memiliki hak untuk memiliki, mengolah dan menempati lahan yang dikuasainya, sehingga meminimalkan timbulnya konflik perebutan lahan. Status kepemilikan lahan dalam riset ini dapat diartikan sebagai status lahan yang dikuasai seseorang, baik berasal dari lahan milik sendiri maupun lahan yang bukan milik sendiri yang dikuasai seseorang (Oktinafuri, 2016).Menurut Pali (2016) status kepemilikan lahan dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Petani Pemilik
Petani pemilik adalah petani yang memiliki luas lahan area tanah satu atau beberapa hektar dan penggarapan lahan dilakukan oleh orang lain dengan persetujuan.
2. Petani pemilik sekaligus penggarap
7
Petani pemilik penggarap adalah petani yang memiliki area tanah dan menggarapnya sendiri.
3. Petani penggarap
Petani Penggarap adalah petani yang mengerjakan tanah milik orang lain dengan perjanjian bagi hasil dan pendapatannya relatif lebih rendah dari pendapatan pemilik tanah.
Kepemilikan lahan sawah khususnya di Provinsi Jawa dapat dilihat dari dua konsep yang berbeda, yaitu konsep adat (Kepemilikan tanah tradisional) dan hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 (Winarso, 2012). Macam-macam kepemilikan lahan pertanian sawah dalam konsep adat menurut Winarso (2012), antara lain :
a. Tanah Yasan
Tanah Yasan adalah tanah yang diperoleh dari pembukaan hutan/tanah liar oleh diri sendiri atau nenek moyang untuk dijadikan tanah garapan, menurut UUPA menjadi tanah milik perorangan.
b. Tanah Komunal
Tanah Komunal adalah tanah yang dimiliki dan dikuasai komunitas desa. Tanah Komunal dapat dibagi menjadi :
1) Tanah Gogolan (Norowito) adalah tanah desa yang hak pemanfaatannya dibagi secara bergilir sesuai adat daerah kepada sejumlah petani daerah tersebut.
2) Tanah Titisoro adalah tanah kas desa yang secara berkala disewakan dan hasilnya untuk kas desa.
3) Tanah Bangkok adalah tanah milik desa sebagai imbalan gaji/upah untuk kepala dan perangkat desa selama menduduki jabatan.
2.1.3 Luas Lahan
Pada umumnya lahan sawah adalah lahan yang dibatasi oleh pematang, dan lahan yang berpetak-petak, saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status tanah tersebut (Kartikasari, 2011). Luas lahan merupakan sebagai lahan sawah dan lahan bukan sawah baik yang digunakan dan tidak digunakan termasuk lahan yang sementara tidak digunakan atau
8
diusahakan (BPS Provinsi Bali, 2003 dalam Astari 2015). Luas lahan merupakan luas tanah sawah yang digarap atau ditanami padi pada satu kali musim panen dengan satuan hektare (ha), meskipun oleh petani tradisional masih menggunakan ukuran patok dan jengkal (petak) (Hafidh, 2009).
Dalam riset ini, yang dimaksud dengan luas lahan adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan atau menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperoleh atau status lahan tersebut (Mailusiana, 2012).
Menurut (Astari, 2015) pengertian atau definisi luas lahan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1) Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak petak dan dibatasi pematang (galengan atau saluran) untuk menahan atau mengalirkan air yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang status tanah. Lahan sawah digolongkan sebagai berikut:
a) Lahan sawah irigasi teknis adalah sawah yang memperoleh irigasi dan irigasi teknis yaitu jaringan dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irgasi dapat sepenuhnya diatur dengan mudah.
b) Lahan sawah Irigasi Setengah Teknis adalah lahan sawah yang memperoleh irigasi dari irgasi setengah teknis, dimana dinas irigasi hanya menguasai bangunan penyadap untuk mengatur dan mengukur pemasukan air yang ada pada jaringan selanjutnya tidak diukur dan dikuasai oleh dinas irigasi atau pemerintah.
c) Luas lahan tadah hujan adalah lahan yang irigasinya tergantung pada air hujan.
d) Lahan sawah pasang surut adalah lahan sawah yang irigasinya tergantung pada air sungai yang diperoleh pasang surutnya air.
e) Lahan sawah lebak adalah lahan sawah yang irigasinya berasal dari rawa lebak.
9
f) Lahan sawah polder adalah lahan sawah yang terdapat di delta sungai yang irgasinya dipengaruhi oleh air sungai tersebut atau rembesan-rembesan rawa yang biasanya ditanami padi.
g) Lahan sawah lainnya adalah lahan terkena rembesan rawa yang biasanya ditanami padi-padian.
h) Lahan sawah tidak tanam adalah lahan yang selama setahun ditanami selain padi.
i) Lahan sawah sementara tidak diusahakan adalah lahan yang tidak diusahakan, karena alasan misalnya tidak ada tenaga lebih dari setahun dan kurang dari dua tahun.
2) Bukan Lahan Sawah adalah semua lahan selain sawah yang biasanya ditanami dengan tanaman palawija atau padi gogo, dapat dikelompokan sebagai berikut :
a) Pekarangan atau tanah untuk bangunan dan halaman adalah tanah halaman sekitar rumah termasuk dipakai untuk bangunan rumah.
b) Tegal adalah tanah kering yang ditanami tanaman musiman atau tahunan dan letaknya terpisah dengan halaman sekitar rumah serta pemakaiannya tidak terpisah.
c) Ladang adalah tanah yang ditanami tanaman musiman, pemakaiannya hanya semusim atau dua musim, kemudian ditinggalkan karena tidak subur lagi.
d) Pengembalaan atau padang rumput adalah tanah yang dipakai pengembalaan ternak.
e) Lahan yang sementara tidak diusahakan adalah tanah yang biasanya tidak diusahakan tetapi untuk sementara tidak diusahakan.
f) Tanah hutan rakyat adalah tanah yang ditumbuhi kayu-kayuan termasuk bambu baik yang tumbuh sendiri maupun yang sengaja ditanami seperti semak-semak dan pohon-pohonan yang hasilnya utamanya kayu.
g) Hutan negara adalah tanah hutan yang berada di bawah pengawasan Dinas Kehutanan atau Perhutanan.
10
h) Perkebunan adalah tanah yang ditanami tanaman perkebunan seperti vanili, kelapa, kopi, cengkeh, dan lain-lain diusahakan oleh rakyat atau perusahaan wilayah kecamatan.
i) Rawa-rawa adalah tanah yang tergenang air yang tidak dipergunakan untuk sawah.
j) Tambak adalah tanah yang dipergunakan untuk melakukan pemeliharaan ikan, udang, atau binatang lainnya.
Menurut (Soekarwati, 1989 dalam Suprayitno 2015) bahwa terdapat tigagolongan petani berdasarkan luas lahan yang diusahakan yaitu:
1. Lahan sempit yang dimiliki petani kecil adalah <0.5 hektar 2. Lahan sedang yang dimiliki petani adalah 0,5-0,8 hektar 3. Lahan Luas yang dimiliki oleh petani besar adalah >0.8 hektar 2.1.4 Keterkaitan Status Kepemilikan Lahan Terhadap Pendapatan Petani
Menurut Soeharjo dan Patong (2007) biasanya petani pemilik akan memiliki pendapatan yang lebih besar karena semua faktor-faktor produksi, baik berupa tanah, peralatan, dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani sendiri dibandingkan dengan petani lain yang masih harus menyewa. Menurut Syaf (2013) status kepemilikan memiliki hubungan yang signifikan terhadapat tingkat pendapatan petani. Rumah tangga dengan pendapatan petani tinggi berstatus sebagai pemilik lahan, sementara sebagian besar rumah tangga dengan pendapatan rendah berstatus sebagai penggarap. Namun berbeda dengan hasil penelitian (Maulana, 2014) yang menjelaskan bahwa status kepemilikan lahan tidak berpengaruh terhadap hasil produksi, dalam hal ini semakin besar hasil produksi maka pendapatan semakin meningkat. Pendapatan petani penggarap yang diterima tidak sepenuhnya dimiliki sendri, tetapi menganut sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil tidak selalu hasil bersih dibagi dua, artinya 50 persen buat penggarap dan 50 persen buat pemilik lahan.
Sementara sistem lain dapat seperti satu banding tiga, artinya satu bagian untuk penggarap dan tiga bagian buat pemilik lahan. Hal ini sangat bergantung pada perjanjian antara kedua belah pihak anatara pemilik lahan dan penggarap (Winarso, 2012).
11
2.1.5 Keterkaitan Luas Lahan terhadap Pendapatan Petani
Luas lahan adalah proses ataupun usahatani dan usaha pertanian. Dalam usaha tani misalnya pemilikan atau penguasaan lahan sempit sudah pasti kurang efisien dibandingkan dengan lahan yang luas. Semakin sempit usaha, semakin tidak efisien usahatani dilakukan.
Kecuali bila suatu usahatani dijalankan dengan tertib dan administrasi yang baik serta teknologi yang tepat. Tingkat efisiensi sebenarnya terletak pada penerapan teknologi (Daniel, 2004:56 dalam Kartikasari, 2011). Luas lahan pertanian yang relatif sempit mengakibatkan jumlah hasil produksi yang dihasilkan dari lahan tersebut juga sedikit, sehingga pendapatan yang diterima oleh petani pun juga rendah. Petani yang berlahan luas memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada petani yang berlahan sempit, karena dengan skala usaha yang lebih luas, petani berlahan luas dapat menggunakan faktor-faktor produksi yang lebih besar jumlahnya daripada yang diperoleh petani sempit (Santoso, 2013). Petani yang memiliki lahan yang luas dapat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada petani sempit, karena dengan skala usaha yang lebih luas. Petani yang memiliki lahan luas dapat menggunakan faktor-faktor produksi yang lebih besar jumlahnya daripada petani sempit.
Sehingga petani mampu menahan hasil produksinya untuk menunggu harga yang lebih tinggi dari harga yang diterima petani kecil (Musa et.al., 1984 dalam Apriyanto,2005).
2.2 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Suharsimi, 2006:64 dalam Kartikasari,2011).
Berdasarkan kajian teori yang berhubungan dengan permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1: Terdapat perbedaan pendapatan yang diterima petani dalam satu tahun pada kelompok petani dengan status kepemilikan petani penggarap, pemilik sekaligus penggarap, dan pemilik.
H2: Terdapat perbedaan pendapatan yang diterima petani dalam satu tahun berdasarkan luas lahan.