• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kesantunan dan keefektifan tuturan bahasa slang sebagai bahasa percakapan dalam komunitas pesepeda di Yogyakarta : suatu tinjauan pragmatik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat kesantunan dan keefektifan tuturan bahasa slang sebagai bahasa percakapan dalam komunitas pesepeda di Yogyakarta : suatu tinjauan pragmatik."

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Sumarwanto, Bambang. 2013. Tingkat Kesantunan dan Keefektifan Tuturan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan dalam Komunitas Pesepeda di Yogyakarta (Suatu Tinjauan Pragmatik). Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas dua persoalan, (1) tingkat kesantunan tuturan bahasa slang, dan (2) efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas pesepeda di Yogyakarta. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda Yogyakarta. Ada empat sumber data utama yang digunakan: (1) komunitas sepeda tinggi, (2) komunitas sepeda fixie, (3) komunitas sepeda BMX, dan (4) komunitas sepeda MTB (mountain bike), dengan jangka waktu April – Juni 2013.

Jika dilihat dari metode yang digunakan, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sadap sebagai teknik dasar dan teknik simak bebas libat cakap serta teknik catat sebagai teknik lanjutan.

Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada dua hal yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, tingkat kesantunan beberapa tuturan bahasa slang yang digunakan dalam komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta tergolong tidak santun. Hal tersebut dapat dilihat melalui lima aspek (skala) yang dipaparkan oleh Leech sebagai alat ukur kesantunan bahasa slang tersebut, yakni: (1) untung rugi, (2) opsional, (3) ketaklangsungan, (4) otoritas, dan (5) jarak sosial.

(2)

ABSTRACT

Sumarwanto, Bambang, 2013. Politeness Degree and Effectiveness of Verbal Slang Language Used by Cyclist Communities in Yogyakarta (A Pragmatic Review), Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This study focused on two main issues, (1) the politeness degree of slang language and (2) the effectiveness of verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta. The verbal speech among the cyclists was considered as the data of the study. There were four cyclist communities; they are Tall-Bike Community, Fixie Community, BMX Community, and MTB (Mountain Bike) Community. Those communities were observed during 3 months, from April to June 2013.

This study belongs to qualitative and descriptive study. Recording during observation, as the main technique, and conversation and note taking during observation, as the advance techniques, were implemented in order to get the data.

(3)

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN

BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN

DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia

Oleh:

Bambang Sumarwanto 091224070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

ii SKRIPSI

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

Oleh:

Bambang Sumarwanto NIM: 091224070

Telah Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing,

(5)

iii SKRIPSI

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Bambang Sumarwanto

NIM: 091224070

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 4 November 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ……….

Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ……….

Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ……….

Anggota : Dr. B. Widharyanto, M.Pd. ……….

Anggota : Dr. Y. Karmin, M.Pd. ……….

Yogyakarta, 4 November 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(6)

iv MOTTO

Jangan terlelap dalam impian, karena jika kamu sudah terlelap dalam mimpimu,

kamu tidak akan sempat lagi untuk menggapainya.

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Kedua orangtua saya Bapak Urbanus Sutiyono dan Margaretha Suliyah Kakakku tercinta, Tri Astanto

Ketiga adikku tercinta, Indra Pratama, Febri Wiguna, Yusak Saputra Fransiska Pujiastuti

Segenap sahabat PBSID

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 November 2013 Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Bambang Sumarwanto

Nomor Mahasiswa : 091224070

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 4 November 2013 Yang menyatakan,

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Bahasa merupakan hal penting dalam kehidupan, karena peran dan fungsinya yang utama yaitu sebagai alat komunikasi. Dalam sebuah bahasa (tuturan) seseorang dapat mengerti dengan baik apa maksud dan tujuan dari tuturan yang diucapkan tersebut. Banyak hal yang bisa tersampaikan melalui suatu bahasa, asalkan ada kerjasama yang baik antara pembicara (penutur) dan pendengar (mitra tutur). Bagaimana tuturan tersebut dapat menarik orang lain untuk mendengarnya, tentu hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah konteks. Konteks tuturan harus menjadi sesuatu yang dipelajari supaya percakapan bisa berjalan dengan baik. Di dalam ilmu pragmatik, ada empat bidang utama yang dibahas, yakni: deiksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan.

Tulisan ini hanya membahas salah satu dari keempat bidang di atas, yakni tindak ujaran. Tindak ujaran itu sendiri masih sangat luas dan dapat dirinci menjadi sub-sub bidang tertentu. Dalam hal ini, penulis hanya membahas satu kajian dari tindak ujaran yakni mengukur tingkat kesantunan suatu tuturan.

Tulisan ini, secara berurutan mencoba untuk mengungkapkan gagasan-gagasan berdasarkan hasil penelitian terhadap tuturan di beberapa komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta mengenai tingkat kesantunan dan keefektifan tuturan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas sepeda di Yogyakarta. Penulis sadar bahwa penelitian ini dapat berjalan lancar karena adanya rahmat dan penyertaan Tuhan mulai dari awal, proses hingga akhir penelitian ini kepada penulis. Selain itu, ada pihak lain yang tentunya dengan caranya masing-masing telah memberikan sumbangan kepada penulis dalam upaya menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., yang bersedia membimbing dan mengarahkan penulis menyelesaikan skripsi ini;

(11)

ix

3. Robertus Marsidiq, yang sudah membantu dan melayani penulis dalam mengurusi berbagai hal yang sifatnya administratif;

4. Sahabat PBSID seperjuangan, Rm. Eduardus Sateng Tanis, S.Pd., Mikael Jati Kurniawan, S.Pd., Theresia Banik Putriana, S.Pd., Christiana Tri Jatuningsih, S.Pd., Ade Henta Hermawan, Yudha Hening Pinandhito, Dedy Setyo Herutomo, Nuridang Fitra Nagara, Fabianus Angga Renato, Ignatius Satrio Nugroho, Yustina Cantika Advensia, Valentina Tris Marwati, Katarina Ita Simanullang, Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda Natalia, Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Agatha Wahyu Wigati, Yohanes Marwan Setiawan, Prima Ibnu Wijaya, Martha Ria Hanesti, Agustinus Eko Prasetyo, Reinardus Aldo Aggasi, Danang Istianto, Yustinus Kurniawan, Asteria Ekaristi, Elisabeth Ratih Handayani, Petrus Temistokles Jelaha terima kasih atas kebersamaan, kekocakan serta hiburan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Kalian telah memberi banyak warna dalam setiap perjalanan masa studi di Universitas Sanata Dharma khususnya di PBSI; 5. Teman-teman PBSID angkatan 2009, secara khusus kelas B, yang telah

memberikan dukungan serta memberikan banyak masukan serta semangat sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini;

6. Para sahabat Sendowers, Bernardus Purnawan, S.Pd., Yohanes Heri Pranoto, S.Pd., Robertus Adi Hermawan Pradipta, Eko Sularsono, Vintentius Yudha dan Naradhipa yang selalu mengisi hari-hari penulis di saat “selo”, dan selalu

memberi warna baru saat berada di luar kampus;

7. Komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta, secara khusus Komunitas Sepeda Tinggi, Komunitas Sepeda BMX, Komunitas Sepeda Fixie, dan Komunitas Sepeda MTB, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk membantu penulis dalam mencari data-data yang diperlukan;

8. Pihak Universitas Sanata Dharma, yang telah menciptakan kondisi serta menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung penulis dalam studi dan penyelesaian skripsi ini.

(12)

x

Universitas Sanata Dharma. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada berbagai pihak itu yang namanya tidak sempat disebutkan satu per satu di dalam tulisan ini, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini tidaklah seideal yang dipikirkan oleh pembaca; masih ada banyak kekurangan. Walaupun demikian, penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi para pembaca.

Yogyakarta, 4 November 2013 Penulis

(13)

xi ABSTRAK

Sumarwanto, Bambang. 2013. Tingkat Kesantunan dan Keefektifan Tuturan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan dalam Komunitas Pesepeda di Yogyakarta (Suatu Tinjauan Pragmatik). Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas dua persoalan, (1) tingkat kesantunan tuturan bahasa slang, dan (2) efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas pesepeda di Yogyakarta. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda Yogyakarta. Ada empat sumber data utama yang digunakan: (1) komunitas sepeda tinggi, (2) komunitas sepeda fixie, (3) komunitas sepeda BMX, dan (4) komunitas sepeda MTB (mountain bike), dengan jangka waktu April – Juni 2013.

Jika dilihat dari metode yang digunakan, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sadap sebagai teknik dasar dan teknik simak bebas libat cakap serta teknik catat sebagai teknik lanjutan.

(14)

xii

ABSTRACT

Sumarwanto, Bambang, 2013. Politeness Degree and Effectiveness of Verbal Slang Language Used by Cyclist Communities in Yogyakarta (A Pragmatic Review), Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This study focused on two main issues, (1) the politeness degree of slang language and (2) the effectiveness of verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta. The verbal speech among the cyclists was considered as the data of the study. There were four cyclist communities; they are Tall-Bike Community, Fixie Community, BMX Community, and MTB (Mountain Bike) Community. Those communities were observed during 3 months, from April to June 2013.

This study belongs to qualitative and descriptive study. Recording during observation, as the main technique, and conversation and note taking during observation, as the advance techniques, were implemented in order to get the data.

(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Batasan Istilah ... 9

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

A. Penelitian Terdahulu ... 13

B. Landasan Teori ... 14

1. Teori Kesantunan Bahasa ... 16

2. Bahasa Slang ... 33

3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan ... 36

(16)

xiv

C. Kerangka Berpikir ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Sumber Data dan Data ... 50

C. Metode Pengumpulan Data ... 50

D. Instrumen Penelitian ... 51

E. Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Deskripsi Data ... 53

B. Hasil Analisis Data ... 55

1. Tingkat Kesantunan Tuturan Bahasa Slang dalam Komunitas Sepeda di Yogyakarta... 55

a. Skala biaya-keuntungan (untung-rugi) ... 56

b. Skala keopsionalan ... 62

c. Skala ketaklangsungan ... 68

d. Skala keotoritasan ... 71

e. Skala jarak sosial ... 73

2. Efektivitas Penggunaan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan ... 76

a. Pemakaian pilihan kata (diksi) ... 77

b. Pemakaian gaya bahasa ... 80

C. Pembahasan ... 89

BAB V PENUTUP ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

LAMPIRAN ... 102

TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN ... 82

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Interaksi antara satu orang dengan yang lain itu sangat penting. Hal terpenting dalam interaksi adalah adanya bahasa. Maksud dan tujuan seseorang saat menyampaikan sesuatu dapat tersampaikan dengan jelas saat kita bertutur kata dengan lawan tutur, tentunya dengan memperhatikan kesantunan saat kita bertutur kata. Saat kita sedang bertutur kata, kita juga harus mengerti bahasa yang digunakan. Kesantunan saat berbahasa merupakan cerminan diri, karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang berlangsung.

(18)

Bahasa yang sering digunakan saat ini, sebut saja bahasa slang menurut KBBI Dalam Jaringan (Daring) adalah ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti maksud dari yang digunakan. Keberadaan bahasa slang yang berkembang pesat saat ini sepertinya malah memberikan nuansa baru saat sedang bercakap-cakap. Tuturan yang terucap malah terdengar indah di setiap golongan masing-masing. Saat ini sepertinya sudah tersedia sarana untuk mempermudah setiap orang agar mengerti arti kata slang tertentu melalui www.kamusslang.com. Adanya kamus slang tersebut sepertinya membuat banyak orang tidak lagi menjadikan bahasa slang sebagai bahasa musiman, tetapi malah menjadikannya sebagai bahasa resmi pada zaman ini (khususnya dalam kelompok tertentu).

(19)

komunikasi. Seorang yang sedang berbicara dengan menggunakan bahasa slang seakan hanya mencari kepuasan saat bertutur kata. Unsur atau kaidah bahkan aturan tidak lagi menjadi acuan saat mereka melakukan kegiatan komunikasi.

Beberapa kata jika dihubungkan dengan kesantunan berbahasa, bahasa slang di kalangan pesepeda juga banyak yang memiliki arti/maksud yang positif. Misalnya saja: “ Cah, malam jumat kita gowes yuk!!!” (“teman,

malam Jumat kita bersepeda yuk!!!”). Kata gowes tersebut ternyata memiliki

arti positif yang juga akan memudahkan setiap orang (tentunya dalam komunitas pesepeda) mengerti akan maksud yang dikatakan oleh penutur. Kata gowes jika dikatakan pada forum resmi tampaknya sangat tidak pantas dan tidak lazim karena memang bahasa tersebut bukan bahasa resmi dan tidak ada dalam KBBI, bahkan orang lain yang tidak biasa mengikuti kegiatan bersepeda banyak yang tidak tahu tentang kata gowes yang dimaksud.

Penggunaan bahasa slang yang sangat luas akan sangat menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Saat ini peneliti ingin meneliti tentang kesantunan bahasa slang dalam lingkup yang lebih kecil yaitu beberapa komunitas pesepeda Yogyakarta. Tentunya ada perbedaan bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda dan komunitas lain di luar komunitas sepeda, karena bahasa slang biasanya hanya dimengerti oleh kelompoknya saja untuk menjalin komunikasi yang lebih dekat.

(20)

strukturnya pungutan-pungutan itu dapat digolongkan menjadi empat macam: (1) kata-kata dasar, (2) kata-kata kompleks, (3) kata-kata yang berkonstruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI, dan (4) kata-kata yang berkonstruksi dasar BI dan imbuhan daerah. Komunitas pesepeda Yogyakarta kebanyakan memakai pungutan dari bahasa pertama yang kedua, yaitu dari bahasa daerah yang mengalami perubahan secara kompleks.

Keadaan seperti ini akan terus terjadi karena akan banyak perubahan bahasa. Bentuk dasar bahasa Indonesia saja misalnya, saat ini sudah banyak sekali kata yang diplesetkan. Contoh yang sangat sering kita dengar dan dipakai oleh banyak orang adalah kata: serius menjadi ciyus, demi apa menjadi miapah, ah masa menjadi amaca, dan lain-lain. Kata slang yang sebenarnya hanya dapat dimengerti oleh sebagian orang saat ini memang sudah seperti rahasia umum. Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman seakan tidak hanya ingin mengikis kebudayaan yang ada, tetapi juga ingin merebut bahasa yang telah ada sejak dahulu dan digunakan di seluruh Indonesia.

(21)

menyebabkan bahasa Indonesia menjadi benar-benar dilupakan oleh generasi muda.

Tingkat kesantunan bahasa slang jika diperhatikan dan dianalisis secara lebih mendalam, akan terlihat dan terdengar memiliki tingkat kesantunan yang sangat rendah. Rahardi (2005:119) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan yang digunakan, akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan cenderung semakin tidak santunlah tuturan itu. Hal ini apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa slang dalam percakapan, kita akan melihat bahwa bahasa slang adalah bahasa yang sangat singkat. Banyak sekali kata baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia mengalami singkatan atau perubahan. Misalnya saja sebagai contoh kata demi apa, dalam bahasa slang kata itu menjadi miapah. Dua kata yang digabungkan menjadi satu tentu akan sangat membingungkan banyak orang terutama bagi orang-orang yang ketinggalan informasi kata-kata modern (slang).

(22)

Saat ini banyak kejadian memalukan berkaitan dengan bahasa yang digunakan. Seseorang dapat membunuh rekannya sendiri hanya karena kata-kata yang digunakan tidak berkenan dengan lawan tuturnya. Seorang yang tidak lagi memperhatikan tuturan saat melakukan percakapan, biasanya juga sangat terpengaruh dengan keadaan dan lingkungan sekitarnya. Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun tentang kesantunan berbicara tersebut karena memang belum ada peraturan tertulis tentang berbahasa secara santun. Sekolah yang menjadi tempat belajar, khususnya saat mempelajari bahasa Indonesia hanya diajarkan tentang materi-materi yang mungkin tidak ada hubungannya sama sekali tentang kesantunan berbahasa. Guru bahkan tidak pernah mengatakan tentang batas-batas kesantunan berbahasa saat kita berada di luar sekolah.

(23)

Kelompok (komunitas) pesepeda merupakan suatu kelompok yang muncul karena adanya kesamaan hobi/kegemaran. Munculnya bahasa slang dalam komunitas tersebut tentunya disebabkan supaya komunikasi antar anggota menjadi lancar dan mudah dimengerti. Satu komunitas dengan komunitas lain tentu memiliki kata/frasa bahasa slang khusus yang mungkin tidak dimiliki komunitas pesepeda yang lain. Hal ini bisa saja digunakan sebagai kata kunci atau semacam rahasia terhadap sesama komunitas. Komunitas tidak ingin kata yang sudah diciptakan dipakai dalam komunitas lain. Hal yang menyedihkan ialah ketika suatu komunitas menciptakan suatu kata slang tanpa memperhatikan kaidah dan aturan yang berlaku dalam penggunaan bahasa.

Kesantunan itu tidak hanya dibutuhkan saat kita bertingkah laku, melainkan kesantunan saat kita bertutur kata sangatlah dianjurkan. Percakapan akan menjadi efektif apabila kita memperhatikan kesantunan saat bertutur kata dengan mitra tutur dalam kondisi dan situasi apapun. Kesantunan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa yang dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu tidak lagi menjadi bahasa asing melainkan bisa menjadi bagian dari keanekaragaman bahasa (variasi bahasa).

(24)

melihat dan meninjau kembali sejauh mana keefektifan bahasa slang sebagai bahasa yang digunakan dalam bahasa percakapan suatu kelompok tertentu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah tingkat kesantunan tuturan bahasa slang di kalangan kelompok-kelompok pesepeda di Yogyakarta?

2. Bagaimanakah efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan?

C. Tujuan Penelitian

1. Ingin mendeskripsikan tingkat kesantunan tuturan bahasa slang dalam komunitas pesepeda di Yogyakarta.

2. Ingin mendeskripsikan efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan dalam komunitas sepeda Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan hasil dan manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara lain sebagai berikut.

(25)

2. Berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca tentang tindak tutur, khususnya kesantunan saat bertindak tutur dengan mitra tutur.

3. Penelitian ini mengajak pembaca mengerti akan penanda apa saja yang membuat tuturan menjadi santun saat ada komunikasi dari penutur dan mitra tutur.

4. Dengan mengetahui kesantunan berbahasa, masyarakat menjadi mengerti akan bahasa yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan alat komunikasi dalam kehidupannya.

5. Penelitian ini diharapkan menjadi temuan yang dapat memperlancar komunikasi dengan santun antara penutur dan mitra tutur.

E. Batasan Istilah

Pembahasan dalam penelitin ini tentunya hanya mencakup beberapa hal saja, maka dari itu penulis mencantumkan batasan istilah yang dipakai supaya pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh dan dapat dimengerti oleh pembacanya.

1. Slang

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mendefinisikan slang sebagai ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern

(26)

suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi yang populer dan pengulasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata-kata pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok tertentu.

2. Kesantunan

KBBI Daring mendefinisikan santun sebagai halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Fraser (Gunarwan, 1994:88) mengartikan kesantunan sebagai property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Dari definisi tersebut kita mengetahui bahwa yang mengukur seberapa santunnya tuturan adalah orang lain, bukan penuturnya.

3. Diksi

(27)

4. Gaya Bahasa

Gaya bahasa dikenal dengan sebutan style. Style tersebut kemudian berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 1981:112). Gaya bahasa penting digunakan karena gaya bahasa diibaratkan sebagai bumbu yang menambah rasa dalam bahasa yang kita gunakan.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai suatu penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya mendeskripsikan tingkat kesantunan pada tuturan yang terdapat dalam komunitas pesepeda. Komunitas pesepeda yang diteliti adalah komunitas pesepeda yang berada di Kota Yogyakarta.

G. Sistematika Penulisan

(28)

terdiri dari deskripsi data, hasil penelitian dan pembahasan. Bab V berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

(29)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan penggunaan bahasa yang ada di sekitar kita.

Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo berjudul “Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”.

Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini menyimpulkan dalam suatu tuturan yang diucapkan memberikan penilaiannya (berpersepsi) terhadap tuturan dari sopan santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan tuturan yang ditemukan, yakni: 1) analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4) penggunaan keterangan atau modalitas, 5) penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan 6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda ini dapat terjadi hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di dalam satu tuturan terkandung lebih dari satu penanda yang digunakan oleh penutur.

Penelitian yang dilakukan oleh Mujiyono Wiryotinoyo berjudul

Analisis Pragmatik dalam Penelitian Penggunaan Bahasa” (Jurnal Bahasa dan

(30)

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., berjudul

Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan

Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm. 1-12). Dalam penelitiannya, Jamal memberikan beberapa kesimpulan tentang kesantunan berbahasa. Ia menuliskan bahwa setiap masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah eksplisit untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah itu ditentukan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakat tersebut.

B. Landasan Teori

Ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji tentang penggunaan bahasa. Pragmatik sendiri mengkaji tentang penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu pragmatik lebih mengarahkan kajiannya tentang maksud atau daya suatu ujaran. Kesantunan tuturan dalam bahasa saat ini bisa diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik karena dalam setiap tuturan tentu terkandung maksud yang ingin disampaikan kepada mitra tutur (lawan tutur).

(31)

dengan orang lain. Pragmatik mengajari bagaimana memahami makna yang terdapat dalam setiap tuturan dalam suatu percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Purwo (1990:1-2) menuliskan bahwa pragmatik dapat dibedakan menjadi dua hal: (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian (1) dibedakan lagi menjadi dua hal (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa bidang kajian pragmatik merupakan salah satu ilmu yang digunakan untuk mengajarkan kepada setiap orang ilmu tentang bahasa. Penggunaan bahasa akan lebih baik jika dapat mengerti akan bahasa itu sendiri.

Kegiatan komunikasi merupakan suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan ini. Tidak mungkin dapat melakukan suatu hal dengan orang lain tanpa adanya komunikasi. KBBI Daring mendefinisikan komunikasi sebagai pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak. Kegiatan komunikasi tak bisa dipungkiri harus melibatkan lebih dari satu orang di dalamnya. Komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik apabila tidak ada sesuatu yang dikirim dan yang menerima, dalam hal ini menerima suatu informasi.

(32)

1. Teori Kesantunan Berbahasa

Kesantunan oleh Yule disamakan dengan kesopanan. Kesopanan dalam suatu interaksi didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam hal ini kesopanan dapat disempurnakan dalam kejauhan dan kedekatan sosial (Yule, 1996:104). Saat melakukan komunikasi dengan orang lain, hal yang dibutuhkan ialah mengetahui jenjang sosial dalam kehidupan. Misalnya saja saat berbicara dengan dosen/guru, bahasa yang digunakan tentunya tidak sama dengan bahasa pergaulan dengan teman-teman sebaya.

Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan simpati dari lawan tutur/mitra tutur. Banyak hal yang perlu diperhatikan bahkan dipelajari supaya dapat menggunakan bahasa secara santun, khususnya dalam percakapan yang dilakukan dengan mitra tutur. Kesantunan saat berbahasa membawa penutur dan mitra tutur menjadi saling mengerti. Sikap saling mengerti dapat memperlancar kegiatan komunikasi yang sedang berlangsung.

(33)

Banyak hal yang harus diperhatikan supaya tuturan menjadi santun. Penelitian ini menguraikan bagaimana dan apa saja yang harus diperhatikan saat bertutur kata. Beberapa ahli menuliskan hal-hal yang mungkin dapat diterapkan saat bertutur kata, seperti prinsip kesantunan, cara berkomunikasi secara santun, indikator yang perlu diperhatikan supaya tuturan menjadi santun, dan juga kaidah-kaidah kesantunan yang ada dalam bahasa Indonesia. a. Prinsip kesantunan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech. Prinsip yang dikemukakan oleh Leech lebih dikenal sebagai prinsip kerja sama, dalam hal ini kerja sama antara penutur dan mitra tutur saat melakukan tuturan. Prinsip kesantunan Leech (1983) dalam Rahardi (2005:59) ialah prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif. Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut.

1)Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.

2)Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self.

3)Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other.

4)Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.

5)Agreement maxim: minimize disagreement between self and other.

Maximize agreement between self and other.

6)Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize

(34)

Sebelum membahas keenam maksim Leech, Wijana (1996:55-56) menerangkan tentang berbagai bentuk ujaran yang digunakan untuk mempermudah menangkap makna yang terkandung di dalam maksim tersebut. Bentuk-bentuk ujaran tersebut yaitu bentuk ujaran komisif digunakan untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.

Wijana (1996:56-61) membahasakan keenam maksim Leech tersebut secara lebih ringkas berturut-turut sebagai berikut.

1) Maksim kebijaksanaan: Maksim ini diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

2) Maksim penerimaan: Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif. Maksim ini mewajibkan penutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

(35)

4) Maksim kerendahan hati: Maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

5) Maksim kecocokan: Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.

6) Maksim Kesimpatian: Maksim ini juga diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.

(36)

b. Berkomunikasi secara santun

Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang lebih kompleks karena harus bisa melihat situasi dan kondisi saat tuturan antara penutur dan mitra tutur terjadi. Penggunaan bahasa yang baik dan benar saja belum cukup untuk melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi (Pranowo, 2009:4). Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku (Pranowo, 2009:5).

Agar komunikasi bisa berjalan secara santun, penutur perlu mengetahui strategi bagaimana supaya bahasa yang digunakan menjadi santun. Pranowo (2009:39-46) menyebutkan tiga strategi supaya kita dapat berkomunikasi dengan santun.

1) Apa yang dikomunikasikan: Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain tetapi tidak jelas tentang pokok masalah pembicaraannya, maka mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak berkualitas. Pembicaraan menjadi tidak terarah dan tidak konsekuen dan bahkan bisa saja dalam suatu pembicaraan penutur bisa membahas beberapa pokok masalah sehingga membuat mitra tuturnya menjadi bingung.

(37)

diberikan oleh penutur cukup seperlunya saja, jangan kurang dan jangan lebih.

3) Mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan: Penutur diajak untuk bersikap jujur. Apa yang diungkapkan harus sesuai dengan hati nuraninya. Jadi, apa yang akan dibicarakan harus benar-benar dipikirkan secara matang supaya tidak terjadi salah paham antara penutur dan mitra tutur.

Untuk menentukan kesantunan bahasa verbal lisan kita juga perlu memperhatikan aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat (Pranowo, 2009:76).

Intonasi harus diperhatikan saat berkomunikasi supaya mitra tutur merasa nyaman saat komunikasi sedang berlangsung. Tidak mungkin seorang dengan jarak yang dekat akan menggunakan intonasi yang keras saat sedang berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Hal tersebut bisa saja menyindir mitra tutur karena seolah menganggap mitra tutur tuli sehingga penutur harus menggunakan intonasi yang keras saat sedang berbicara dengan mitra tuturnya.

(38)

bicara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan supaya apa yang dirasakan bisa tersampaikan kepada mitra tutur.

Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal, seperti gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan sebagainya (Pranowo, 2009:78). Gerak-gerik anggota tubuh biasanya terjadi secara tidak kita sadari. Alwasillah (1985:13) menuliskan bahwa aspek-aspek ini tidak perlu dibukukan atau sengaja diajarkan secara formal pada mereka dan penerus mereka. Faktor bahasa nonverbal merupakan hal yang dipelajari sebelum kita bisa bertutur kata, maka bahasa nonverbal dapat juga disebut sebagai bumbu bahasa dalam percakapan.

c. Kriteria (skala) kesantunan

Kriteria (skala) ialah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu (KBBI Daring). Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai ukuran suatu kesantunan, khususnya kesantunan dalam bahasa. Beberapa ahli telah merangkum berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan. Tentunya seseorang harus benar-benar mengetahui sesantun apakah tuturan yang terucap, supaya dalam melakukan percakapan dengan mitra tuturnya tidak menyinggung atau menyakiti mitra tuturnya.

(39)

1) Skala Kesantunan Leech

Skala kesantunan yang dipaparkan oleh Leech terdiri dari lima skala kesantunan saat bertutur kata.

a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, ukuran dari skala ini ialah semakin tuturan merugikan diri penutur, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Dalam hal ini, penutur sebisa mungkin harus bersikap rendah hati saat bertutur kata. Seorang penutur tidak seharusnya sombong dan angkuh bahkan tidak peduli dengan mitra tuturnya, tetapi seorang penutur harus bisa membuat mitra tuturnya merasa tidak dirugikan saat sedang melakukan percakapan.

b) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampakan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

(40)

Di negara Indonesia ini, skala ketidaklangsungan sering terjadi pada masyarakat Jawa. Biasanya mereka menyampaikan sesuatu tidak secara langsung melainkan harus berputar-putar sampai akhirnya ke inti permasalahan yang ingin diutarakan.

d) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Hal ini sangat jelas, saat berbicara dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi darinya, tentu bahasa yang digunakan akan sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan jika sedang bertutur kata dengan teman. Maka dari itu, status sosial juga sangat mempengaruhi dan bisa menjadi tolok ukur suatu kesantunan dalam berbahasa.

(41)

2) Skala kesantunan Brown and Levinson

Brown dan Levinson hanya mencantumkan tiga kriteria (skala) supaya bahasa yang kita gunakan itu santun. Tiga kriteria (skala) tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural. Uraian dari ketiga kriteria di atas akan dijelaskan lebih lanjut seperti di bawah ini.

a) Social distance between speaker and hearer atau skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

b) The speaker and hearer relatif power atau Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan

asimetrik (adanya kesenjangan) antara penutur dan mitra tutur.

c) The degree of imposition associated with required expenditure of goods or services atau skala peringkat (rank rating) tindak tutur, didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.

3) Skala kesantunan Robin Lakoff

(42)

tersebut menjadi jelas, di bawah ini akan dijelaskan tentang ketiga kriteria (skala) yang dimaksudkan oleh Robin Lakoff.

a) Formality scale atau skala formalitas. Skala ini dinyatakan agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dengan lainnya.

b) Hesitancy scale atau skala ketidaktegasan. Skala ini menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Seseorang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.

c) Equality scale atau skala kesekawanan (kesamaan). Orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Agar tercapai maksud demikian, penutur haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai (Rahardi, 2005:66-70).

(43)

penjelasan yang diberikan oleh Leech, Brown dan Levinson, serta Robin Lakoff, mereka menjelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang isinya hampir sama. Pada dasarnya pemikiran ketiga tokoh di atas sama, karena ketiga unsur yang disebutkan oleh masing-masing ahli banyak kesamaan maksud di dalamnya.

Jika disimpulkan secara singkat, kriteria kesantunan yang harus diperhatikan ialah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya satu pilihan saat kita bertutur, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan maksud saat bertutur kata, kedekatan dengan mitra tutur, dan adanya otoritas antara penutur dan mitra tutur.

Gunarwan (1994:91-93) menuliskan pendapat Leech berkaitan dengan skala kesantunan. Ia menuliskan bahwa ada tiga skala yang perlu

kita pertimbangkan untuk “menilai” derajat kesantunan sebuah direktif.

(44)

(1) Bersihkan toilet saya

(2) Kupaskan mangga

(3) Ambilkan koran di meja itu

(4) Beristirahatlah

(5) Dengarkan lagu kesukaanmu ini

(6) Minum kopinya

Dari contoh skala biaya-keuntungan di atas, kita bisa melihat bahwa dalam tuturan modus imperatif juga pun memiliki tingkat kesantunan yang berbeda. Apabila diamati dan dibaca dengan cermat mulai dari contoh (1) sampai (5) perbedaan itu bisa kita lihat. Misalnya saja pada kalimat (1) pur murni memberikan perintah kepada par tanpa adanya imbalan sama sekali. Itu menunjukkan bahwa par mengalami kerugian. Sedangkan pada (5) pur memerintahkan par untuk meminum kopi. Secara tidak langsung par akan mendapatkan keuntungan apabila ia meminum kopi tersebut.

Kedua, skala keopsionalan, dipakai untuk “menghitung” berapa

pur memberi par pilihan dalam melaksanakan tindakan. Makin besar jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarnya.

(1) Pindahkan kotak ini

(2) Kalau tidak lelah, pindahkan kotak itu

(45)

(4) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau

(5) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan

Skala ketiga, skala ketaklangsungan, dipakai untuk “mengukur” ketaklangsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ilokuksioner sampai ia tiba di tujuan ilokusioner.

(1) Jelaskan persoalannya

(2) Saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya.

(3) Maukah Saudara menjelaskan persoalannya?

(4) Saudara dapat menjelaskan persoalannya.

(5) Berkeberatankah Saudara menjelaskan persoalannya?

d. Indikator kesantunan

Agar tuturan menjadi santun ada beberapa indikator kesantunan yang perlu diperhatikan. Beberapa indikator tersebut telah dikemukakan oleh para ahli. Pranowo (2009:100-104) menuliskan beberapa indikator kesantunan oleh para ahli yang harus diperhatikan supaya komunikasi bisa berjalan dengan baik.

1) Indikator kesantunan Dell Hymes (1978)

a) (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi.

Lebih langsung

Lebih tak langsung

Kurang santun

(46)

b) (P) Participants (peserta) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. Lebih mengarah kepada sikap untuk saling menjaga dan menghormati perasaan baik dari penutur atau dari mitra tutur.

c) (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang akan dicapai dalam berkomunikasi. Berkaitan dengan ini, tuturan yang diutarakan oleh penutur harus lebih halus dan jangan sampai mitra tutur sakit hati terhadap tuturan penutur.

d) (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan dalam bahasa tulis misalnya berupa permintaan, sedangkan isi pesan ialah wujud permintaannya.

e) (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya, bagaimana pesan tersebut disampaikan kepada mitra tutur (cara penyampaian).

f) (I) Instrumentalities (Sarana) mengacu pada bentuk dan gaya bicara. Maksudnya, penutur harus mempunyai gaya bicara saat bertutur kata supaya menjadi menarik bagi mitra tuturnya (Emiritus, 1995:7).

g) (N) Norms (norma) yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.

(47)

2) Indikator kesantunan Grice (2000)

a) Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan.

b) Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.

c) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur. d) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga

mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.

e) Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib atau kelebihan diri sendiri.

3) Indikator kesantunan Leech (1983)

a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim

kebijaksanaan “tact maxim”)

b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim

kedermawanan “generosity maxim”)

c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian

praise maxim”)

d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati “Modesty maxim”)

e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim

(48)

f) Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami

oleh mitra tutur (maksim simpati “thy maxim”)

g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada

mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”)

4) Indikator kesantunan Pranowo (2005)

a) Angon rasa: memperhatikan suasana hati mitra tutur dan sebisa mungkin membuat hati mitra tutur berkenan.

b) Adu rasa: mempertemukan perasaan penutur dan mitra tutur supaya isi komunikasi menjadi sama-sama dikehendaki.

c) Empan papan: menjaga tuturan agar dapat diterima oleh mitra tutur. d) Sifat rendah hati: menjaga agar penutur memperlihatkan

ketidakmampuannya di hadapan mitra tutur.

e) Sikap hormat: memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih tinggi.

f) Sikap tepa selira: tuturan memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur.

(49)

2. Bahasa Slang

Penggunaan kata slang yang semakin marak menambah ragam bahasa yang terdapat di negara Indonesia. Keraf (1981:108) mendefinisikan kata slang sebagai kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun secara khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. Bahasa slang yang hadir saat ini memang tampak telah disusun secara khas, karena mudah dimengerti bagi kelompoknya, dan juga hanya dipakai sebagian orang saja.

Kata slang sebenarnya bukan hanya digunakan oleh kaum muda saja. Semua orang tanpa batasan apapun sebenarnya seringkali menggunakan bahasa slang sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Kesadaran dalam pemakaian bahasa slang tersebut yang sebenarnya perlu ditinjau ulang dan dilihat secara lebih serius. Pei dan Gaynor (1954) dalam Alwasilah

(1985:56-57) menuliskan ”a style of language in faitly common use, produced by

popular adaptation and extension of the meaning of existing words and by

coining new words with disregard for scholastic standards and linguistic

principles of the formation of words, generally peculiar to certain classes and

social or age groups”. Intinya, Pei dan Gaynor ingin mengatakan bahwa

(50)

Alwasillah (1985:57) juga mengutip tulisan Hartman & Stork (1972:120) yang mendefinisikan kata slang. “a variety of speech characterized by newly coined and rapidly changing vocabulary, used by the

young or by social and professional groups for ‘in-group’ communication

and thus tending top revent understanding by the rest of the speech

community”. Mereka mengatakan bahwa slang merupakan berbagai ujaran

yang ditandai dengan kosakata baru yang diciptakan, tetapi kemudian kosakata tersebut cepat berubah, biasanya digunakan oleh generasi muda atau kelompok sosial dan profesional. Bahasa ini digunakan untuk komunikasi 'dalam kelompok'. Dengan demikian cenderung tidak seluruh masyarakat mengetahui tuturan yang digunakan dalam kelompok tersebut.

Bahasa slang yang telah dikenal tidak bisa bertahan lama karena bahasa tersebut ternyata adalah bahasa musiman. Kebosanan setiap orang dalam penggunaan bahasa slang terletak pada intensitas penggunaan bahasa tersebut. Semakin sering bahasa baru digunakan dan semakin banyak orang mengetahui bahasa tersebut, maka bahasa tersebut lama-kelamaan tidak akan lagi dipakai karena setiap orang pasti memiliki titik jenuh terhadap sesuatu.

Sebagai contoh kata slang yang sering digunakan, kata ”ciyus” yang memiliki

arti serius. Kata itu muncul pada akhir tahun 2012, belum mencapai umur yang panjang kata tersebut saat ini sudah sangat jarang digunakan.

(51)

menggunakan kata tersebut untuk menjawab atau menanggapi sesuatu yang sebenarnya penting. Misalnya saja dalam suatu percakapan:

(A)Hei, hari ini kamu kelihatan sumringah, ada apa? (B)Ciyuuss…??

Dari percakapan tersebut kita mengetahui bahwa percakapan secara tidak langsung tidak dapat dilanjutkan. Penutur yang bertanya secara halus dan sopan ternyata hanya dibalas dengan jawaban singkat dan bahkan itu pun tidak menjawab pertanyaan dari penutur sama sekali. Mitra tutur seakan tidak mengerti keadaan/situasi yang terjadi saat itu.

Kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja, atau kadangkala berupa pengrusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu bidang makna yang lain (Keraf, 1985:108). Secara tak langsung, Keraf ingin mengatakan bahwa kata slang itu muncul karena kebiasaan ngawur saat bertutur kata. Saat seseorang mengucapkan sesuatu dan menghasilkan ucapan yang mungkin terdengar menarik bahkan mudah untuk dimengerti, maka dengan persetujuan bersama (kelompok tertentu) kata tersebut digunakan sebagai bahasa percakapan.

(52)

3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan

Kesantunan merupakan hal yang dibutuhkan setiap orang dalam melakukan interaksi. Terjadinya interaksi yang ideal membutuhkan suatu penanda supaya apa yang dikomunikasikan menjadi jelas dan berjalan dengan lancar. Hubungan antara penutur dan mitra tutur menjadi lebih baik karena keduanya saling mengerti apa yang sedang dipercakapkan. Berikut dijelaskan tentang dua faktor kebahasaan yang bisa dijadikan sebagai penanda kesantunan saat bertindak tutur.

a. Pemakaian pilihan kata (diksi)

Kemunculan bahasa slang bisa dijadikan sebagai kekayaan bahasa dalam ragam bahasa. Bahasa slang muncul supaya komunikasi yang terjadi di kalangan tertentu menjadi mudah dan lancar. Hanya saja kemunculan bahasa slang tersebut kurang memperhatikan diksi dalam menggunakan kata. Beberapa bahasa slang malah banyak yang menimbulkan kata menjadi tidak benar. Memang bahasa slang digunakan untuk mempermudah seseorang dalam berkomunikasi, tetapi kemudahan itu malah menjadikan bahasa slang yang muncul sebagai bentuk ragam bahasa tidak memperhatikan ketepatan dalam pemilihan kata.

(53)

bisa berjalan dengan benar. Ide dan gagasan yang dituangkan harus benar-benar matang, supaya jangan sampai kita menyinggung perasaan mitra tutur saat sedang melakukan percakapan.

Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap persoalan pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar pada setiap manusia (Keraf, 1985:23). Pilihan kata bagi Keraf bukanlah permasalahan bagaimana kita memilih kata secara benar, tetapi juga ini menyangkut bagaimana tuturan dari penutur bisa diterima oleh mitra tutur. Setiap kata yang terucap harus mengandung arti dan maksud tentang apa yang sedang dibicarakan. Seseorang tidak boleh berucap dengan asal-asalan, bahkan sampai tidak ada artinya.

Finoza (2005:105-106) menuliskan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pilihan kata. Pertama, kemahiran memilih kata hanya dimungkinkan bila seseorang menguasai kosakata yang cukup luas. Kedua, diksi atau pilihan kata mengandung pengertian upaya kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang memiliki nuansa makna serumpun. Ketiga, diksi atau pilihan kata menyangkut kemampuan untuk memilih kata-kata yang tepat dan cocok untuk situasi tertentu.

(54)

dengan baik dan lancar ketika keduanya saling mengerti maksud dalam percakapan yang dilakukan.

Gorys Keraf (dalam Finoza 2005:108-110) menyebutkan enam syarat supaya menjadi pemilih kata yang akurat.

1) Dapat membedakan denotasi dan konotasi.

2) Dapat membedakan kata-kata yang hampir bersinonim.

3) Dapat membedakan kata-kata yang hampir mirip dalam ejaannya. 4) Dapat memahami dengan tepat makna kata-kata abstrak.

5) Dapat memakai kata penghubung yang berpasangan secara tepat.

6) Dapat membedakan antara kata-kata yang umum dan kata-kata yang khusus.

Dilihat dari syarat-syarat yang disebutkan oleh Keraf, untuk menjadi seorang pemilih kata yang akurat tentu membutuhkan kemampuan berbahasa yang tidak sembarangan. Sebagai masyarakat bahasa, yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi tidak perlu semua syarat tersebut terpenuhi. Hal yang diperlukan oleh masyarakat tidaklah sedetail yang tersebut di atas, melainkan hanya perlu beberapa hal saja untuk bisa menjadi pemilih kata yang baik. Untuk menjadi pemilih kata yang akurat adalah pilihan setiap orang, tetapi hal yang wajib adalah bisa menjadi pemilih kata yang baik, sehingga saat melakukan percakapan kita bisa melakukannya dengan maksimal.

(55)

pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara (Keraf, 1985:87). Untuk bisa melakukan pemilihan kata yang benar-benar sesuai, tentu hal yang sangat dibutuhkan ialah menguasai kosakata sebanyak-banyaknya. Seorang penutur yang memiliki banyak kosakata, akan lebih bebas memilih-milih kata yang sesuai dengan konteks tuturan yang ada. Tuturan yang dapat diterima oleh orang lain merupakan tuturan yang benar-benar sudah dipersiapkan secara matang, karena dengan persiapan matang tersebut penutur dapat memilih kata dengan tepat.

Keraf (1985:88-89) menyebutkan beberapa butir perhatian dan persoalan yang harus diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan katanya.

1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi.

2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. 3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya.

4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri.

5) Waspadalah terhadap pernggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut.

6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara otomatis.

7) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus.

(56)

9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.

10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

Salah satu cara untuk menjaga ketepatan pilihan kata adalah kelangsungan. Yang dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis (Keraf, 1985:100). Setelah mengetahui bagaimana memilih kata secara tepat, penutur harus bisa mempertahankan kelangsungan pilihan kata supaya tuturan dapat berlangsung sesuai dengan maksud dan tujuan dari penutur tersebut. Penutur juga harus memperhatikan pillihan kata yang digunakan, apabila ia ingin tindak tutur berjalan dengan lancar. Penutur tidak boleh mempergunakan terlalu banyak kata saat sedang berbicara dengan mitra tuturnya, karena bisa mengakibatkan mitra tutur malah tidak mengerti maksud dari tuturan yang diutarakan oleh penutur.

(57)

kata lebih melihat ke situasi dan lingkungan/keberadaan punutur dan mitra tutur saat melakukan interaksi.

Kesesuaian pilihan kata juga memiliki syarat-syarat yang perlu diperhatikan. Keraf (1985:103) menyebutkan tujuh persyaratan yang perlu diperhatikan supaya pilihan kata yang digunakan sesuai dengan situasi tuturan.

1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi formal.

2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. 3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum.

4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata slang.

5) Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. 6) Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). 7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial.

(58)

b. Pemakaian gaya bahasa

Unsur keindahan merupakan suatu bentuk yang seharusnya banyak diinginkan oleh sebagian besar orang. Supaya kata yang digunakan menjadi indah, tentunya kita harus memiliki kemampuan dan keahlian khusus untuk mempergunakan kata-kata tersebut. Bahasa slang muncul karena dianggap memiliki keindahan tertentu bagi sebagian orang. Gaya bahasa slang kurang begitu diperhatikan sehingga bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa percakapan kurang diminati oleh semua orang.

Gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata

style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 1985:112). Dalam tuturan tentu hal ini berkaitan dengan tindak tutur antara penutur dan mitra tutur saat melakukan percakapan. Bagaimana penutur bisa bertutur kata secara indah dengan mitra tuturnya.

(59)

Bertutur kata merupakan hal yang berkaitan erat dengan kehidupan kita. Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan supaya sebuah gaya bahasa menjadi baik (Keraf, 1985:113-115).

1) Kejujuran

Kejujuran yang dimaksud berkaitan dengan gaya bahasa ialah kejujuran diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan tentang bahasa yang berlaku di masyarakat umum. Penutur diharapkan tidak berbelit-belit saat bertutur kata. Semakin penutur mengungkapkan sesuatu secara berbelit-belit, menandakan bahwa penutur tidak mengetahui apa yang dikatakannya.

2) Sopan santun

Sopan santun yang dimaksudkan adalah bagaimana penutur menghormati mitra tutur. Rasa hormat yang dimaksudkan adalah tentang kejelasan dan kesingkatan kata yang digunakan. Berbicara secara jelas bisa menguntungkan mitra tutur, karena tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud penuturnya. Kesingkatan dimaksudkan supaya penutur mempergunakan kata-kata secara efisien, atau mengadakan repetisi yang tidak perlu.

3) Menarik

(60)

gembira saat melakukan tuturan serta memiliki daya khayal supaya percakapan menjadi lebih hidup.

Dapat dikatakan bahwa gaya bahasa percakapan bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi (Keraf, 1985:120). Bahasa percakapan memang biasanya lebih luas dan lebih bebas dibandingkan bahasa tulis, karena bahasa percakapan pasti akan digunakan dalam situasi apapun dan dimana pun kita berada. Sedangkan bahasa tulis ada batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan dan tidak di semua kesempatan kita bisa menggunakan bahasa tulis.

Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa fungsi komunikatif dalam penggunaan bahasa slang, secara khusus di kalangan komunitas pesepeda yang ada di Yogyakarta. Klasifikasi data tersebut telah diidentifikasi berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan deskripsi analisis data akan dipaparkan sebagai berikut.

1) Ada beberapa kriteria (skala) kesantunan yang dapat dipakai sebagai alat ukur kesantunan dalam percakapan bahasa slang di komunitas sepeda Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan kriteria (skala) kesantunan Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan bahasa slang dalam komunitas sepeda.

(61)

memungkinkan pendengar atau mitra tutur memberikan penilaiannya (berpersepsi) tentang tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan tuturan bahasa slang tersebut. Inilah yang dalam tulisan ini disebut sebagai penanda keefektifan tuturan yang ditemukan, yakni: (a) pemakaian pilihan kata (diksi), dan (b) pemakaian gaya bahasa. Dalam suatu tuturan dapat terjadi hanya satu penanda, tetapi dapat pula terjadi lebih dari satu penanda digunakan dalam satu tuturan secara bersamaan.

Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan simpati atau perhatian dari lawan tutur/mitra tutur. Semua bahasa (baik dalam kata, frasa, atau pun kalimat) dalam hal ini, memiliki tingkat kesantunan yang berbeda-beda. Hal itu bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti intonasi, nada bicara, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Tuturan yang santun ialah tuturan yang memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat dan tidak melanggar norma serta merugikan diri mitra tutur.

(62)

4. Konteks

Dalam suatu percakapan, tentu akan terjadi suatu tindak tuturan antara penutur dan mitra tutur. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam suatu tindak tuturan tersebut tentunya suatu konteks pembicaraan yang sedang berlangsung. Apabila penutur dan mitra tutur sudah mengerti konteks pembicaraannya, sudah pasti tuturan akan menjadi lancar dan dimengerti satu

dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya, Imam Syafi’i (melalui Mulyana,

2005:24) menuliskan tentang konteks tuturan yang terjadi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan.

b. Konteks epostemis (epistemis context), adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.

c. Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan, obyek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan partisipan.

d. Konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antara pelaku atau partisipan dalam suatu percakapan.

(63)

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir sebagai berikut:

1. Penelitian ini akan mendeskripsikan bahasa percakapan komunitas sepeda Yogyakarta.

2. Sebagai landasan teori digunakan teori pragmatik pada umumnya dan kesantunan pada khususnya.

3. Atas dasar teori tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan tingkat kesantunan dan efektivitas tuturan.

4. Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan instrumen penelitian peneliti sendiri yang berbekal pengetahuan teori pragmatik pada umumnya dan kesantunan pada khususnya.

(64)

Bagan 1 Kerangka Berpikir

BAHASA PERCAKAPAN KOMUNITAS SEPEDA YOGYAKARTA

TEORI KESANTUNAN

METODE PENELITIAN KUALITATIF DESKRIPTIF

METODE PENGUMPULAN DATA: METODE SIMAK DAN METODE CAKAP

TEKNIK ANALISIS DATA: DESKRIPTIF

HASIL PENELITIAN

TINGKAT KESANTUNAN

(65)

49 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu proses yang memerlukan persiapan matang supaya hasil yang diteliti benar-benar akurat dan sesuai. Untuk mendukung penelitian ini, penulis dalam bab ini menguraikan tentang: (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) metode pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, dan (5) teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengkaji tingkat kesantunan tindak tutur bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda yang ada di Yogyakarta, tidak mengkaji tentang kegunaan bahasa. Berdasarkan penjelasan pada bab II sebelumnya, jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kebahasaan secara khusus pada bidang pragmatik.

Gambar

TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN .................................  82
TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN
tabel 1. kriteria kefektivitasan tuturan. Walau masih banyak tuturan yang

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan responden di Desa Kawinda nae Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima mampu berprilaku positif dalam merawat dan membersihkan jamban dengan rutin dan

Perilaku tanggung jawab peserta di- dik terhadap orang lain dalam kegiatan ke- pramukaan di SMP Negeri 2 Windusari ini dengan menjalankan menjalankan tugas yang diberikan

Meskipun ada software-software khusus yang dimaksudkan untuk memudahkan pekerjaan, Anda boleh saja mengetikkan sebuah dokumen HTML dengan MS-Word, NotePad dan WordPad

Memperkuat jaringan jalan arteri primer di wilayah pantai Timur Sumatera Utara, dan di wilayah pantai Barat, serta memperkuat jaringan jalan arteri primer di wilayah bagian

10 Namun dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh

Pemerintah daerah Kabupayen Gresik harus bekerjasama dengan masyarakat untuk bersama-sama mengelola sampah sedini mungkin dari sumbernya, terutama di daerah-daerah yang tidak

Pada papila veteri ini bermuara saluran empedu ( duktus koledukus ) dan saluran pankreas ( duktus pankreatikus ). Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen

Dalam rapat panitia yang dipimpin langsung oleh Sekretaris MWA UNAIR, Iman Prihandono, SH., MH., LLM., semua seksi melaporkan kesiapannya, baik seksi protokol yang akan