• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tindak Pidana Gratifikasi

Mengetahui arti dari suatu hal adalah penting, demikian halnya dengan gratifikasi yang menjadi pokok bahasan tugas akhir penulis. Seiring dengan berkembangnya zaman yang diikuti dengan perkembangan kejahatan, dahulu gratifikasi hanyalah berupa tindakan memberi dan diberi yang tidak bertentangan dengan hukum, namun saat ini tindak gratifikasi dimaknai sebagai tindakan yang melanggar hukum karena adanya suatu kepentingan pribadi didalamnya.

Awalnya, gratifikasi merupakan pemberian yang biasa diberikan dan diterima masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi suatu tindakan memberi dan diberi yang bertentangan dengan kepentingan umum. Sehingga makna awal gratifikasi yang bersifat sosial bergeser menjadi kegiatan terlarang dan menjadi suatu bentuk tindak pidana. Sehingga gratifikasi dianggap bertentangan dengan rasa keadilan.12

Berdasarkan pendapat Topo Santoso diatas, dapat diketahui awal mula terjadinya gratifikasi, yang dimulai dari tindakan tidak melanggar norma, yakni hanya sebatas kegiatan memberi dan diberi, namun kemudian gratifikasi dinilai bertentangan dengan nilai keadilan karena berkembang menjadi tindakan yang berlatar belakang suatu kepentingan. Kutipan ini mendukung penjelasan terkait tindak gratifikasi dalam pembahasan tugas akhir penulis

12 Topo Santoso, Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia, Jurnal dinamika Hukum Vol.

13 No. 3 September 2013, diakses dari www.scholar.ui.ac.id pada 5 Juni 2020

11

(2)

Gratifikasi berasal dari kata gratificatie (dalam bahasa Belanda) ,yang sama sama memiliki arti sebagai “hadiah”. (muncul di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental). Gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery).13 Penjelasan makna gratifkasi dari segi bahasa diatas menegaskan arti dari gratifikasi itu sendiri, yakni sebagai bentuk “hadiah”.

Serta diketahui bahwa di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental, gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana suap.

Tinjauan pengertian gratifikasi dari segi bahasa diatas memperkuat dan mempertegas analisa penulis terkait gratifikasi seksual di Indonesia. dengan meninjau gratifikasi secara umum, dapat diketahui karakteristik, makna dan sifat dari tindak gratifikasi yang disebut sebagai hadiah namun mengandung makna yang buruk dan tercela sebagaimana pada tindak pidana korupsi.

Sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang selama ini banyak terjadi dalam birokrasi pegawai negeri dan penyelenggara Negara, selain memahaminya dari segi bahasa, perlu ditinjau pula bagamaina hukum positif di Indonesia mengatur dan memaknai tindak pidana gratifikasi itu sendiri. Yang mana hal ini dapat ditinjau dari penjelasan pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengartikan gratifikasi sebagai:

“Pemberian dalam arti luas yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma - cuma dan fasilitas lainnya”.14

13 Ibid.

14 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(3)

Berkaca dari tinjauan penjelasan pasal diatas, dapat diketahui bahwa dalam peraturan hukum di Indonesia, khususnya undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi dimaknai secara luas dan cenderung tidak terbatas. Sehingga hal ini dapat menunjang pembahasan penulis terkait gratifikasi seksual di Indonesia.

Sejalan dengan makna gratifikasi menurut Undang-undang yang tertuang dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 12 B mengatur secara khusus dan menjadi dasar hukum tindak pidana gratifikasi yang berbunyi:15

(1) Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut : a. Yang nilainya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukn merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) ,pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh Penuntut Umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun , dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Kutipan pasal diatas menegaskan bahwa tindak pidana gratfikasi yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

15 Ibid.

(4)

Pidana Korupsi mengandung unsur pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai negeri dan penyelenggara negara. Sedangkan ayat selanjutnya menegaskan tentang ancaman denda dan pidana penjara terhadapnya. Pasal ini mendukung terjawabnya rumusan masalah pertama penulis terkait dengan pengaturan gratifikasi menurut Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai mengatur gratifikasi secara khusus untuk pertama kalinya. Namun sebenarnya larangan terhadap menerima dan/atau memberi hadiah sudah muncul sejak beberapa tahun lalu, hal ini dapat dilihat pada PERPU No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 17 yang dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa PERPU No. 24 Tahun 1960 tidak mengatur larangan menerima hadiah, namun mengatur tentang larangan memberi hadiah bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Hingga Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, belum diatur ketentuan mengenai larangan bagi pegawai negeri menerima hadiah atau janji. Barulah pada Undang-undang No.

20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999, menggunakan nomenklatur ‘gratifikasi’. Hal ini dimuat dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C. Pasal 12 B menjabarkan rumusan pidana terhadap perbuatan gratifikasi yang dikategorikan sebagai suap, sedangkan Pasal 12 C menjabarkan prosedur pelaporan penerimaan gratifikasi.16

16 Ibid.

(5)

Tinjauan tentang pengaturan gratifikasi diatas mendukung pembahasan untuk terjawabnya rumusan masalah penulis terkait dengan pengaturan gratifikasi dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menjelaskan awal mula digunakannya nomenklatur gratifikasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Untuk memperkuat pembahasan penulis tentang gratifikasi seks, penulis meninjau Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari segi filosofis, sosiologis dan yuridis, untuk mengetahui dan dapat mengenal undang-undang ini secara lebih mendalam, khususnya pada pasal 12 B yang merupakan pasal yang mengatur secara khusus tentang gratifikasi.

Ditinjau dari segi Filosofis, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan penjelasan umum bahwa maksud dari penyisipan pasal 12 B adalah bertujuan untuk menghilangkan rasa ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam nilai korup yang relatif kecil.17

Tinjauan dari segi filosofis diatas dapat menunjang pembahasan penulis terkait pengaturan tindak pidana gratifikasi dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia. Tinjauan ini memberikan penjelasan bahwa penyisipan pasal 12 B ini berperan penting untuk menjadi salah satu pilar

17 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

(6)

pemberantasan korupsi, khususnya dalam hal gratifikasi. Sehingga diketahui pula maksud dan tujuan penyisipan pasal 12 B dalam Undang-undang ini.

Ditinjau dari segi Sosiologis, adanya fenomena dalam masyarakat tentang masalah pemberian hadiah, khususnya yang berkaitan dengan janji hubungan kerja, kedinasan, karena jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang dewasa ini telah menjadi masalah sosial, maka dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu mengatur mengenai gratifikasi yang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya belum diatur.18

Tinjauan dari segi sosiologis diatas dapat menunjang pembahasan penulis terkait pengaturan tindak pidana gratifikasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta dasar pembenar pengaturan gratifikasis seksual dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan diketahuinya latar belakang dan tujuan diaturnya gratifikasi dalam Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sangat erat kaitannya dengan fenomena dan masalah sosial dalam masyarakat.

Ditinjau dari segi Yuridis, Poin penting dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah disisipkannya beberapa pasal baru, khususnya pasal 12 B yang mengatur secara khusus tentang gratifikasi yang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya

18 Topo Santoso, Op.cit.

(7)

belum diatur.19 Hal ini menunjukkan bahwa sifat hukum yang dinamis yang oleh sebabnya pengaturan tentang gratifikasi haruslah selalu berkembang mengikuti perilaku dan perkembangan kejahatan yang ada.

Tinjauan dari segi Yuridis diatas dapat menunjang pembahasan penulis terkait pengaturan tindak pidana gratifikasi dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia serta dasar pembenar pengaturan gratifikasis seksual dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan diketahui fakta bahwa pengaturan tentang gratifikasi timbul karena adanya perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

2. Layanan Seks Dalam Gratifikasi Seksual

Untuk menunjang pembahasan penulis yang pada pokoknya membahas tentang gratifikasi seksual di Indonesia, maka penulis meninjau terkait definisi dan teori-teori, konsep seks, perilaku seksual yang menjadi objek tindak pidana gratifikasi, serta komersialisasi jasa seks yang juga erat kaitannya dengan gratifikasi seksual. Sehingga tinjauan ini dapat mendukung dan memperkuat pembahasan penulis khususnya untuk menjawab rumusan masalah kedua penulis tentang dasar pembenar pengaturan gratifikasi seksual sebagai tindak pidana korupsi di Indonesia

19 Ibid.

(8)

Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan seks, penulis meninjaunya menurut pendapat Sarwono yang membagi pengertian dari istilah seks menjadi dua, yakni:20

a. Seks dimaknai secara sempit

Dalam konteks ini, Seks berarti kelamin (alat kelamin); anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, pertumbuhan kumis, pertumbuhan payudara, kelenjar-kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang dapat mempengaruhi bekerjanya alat kelamin (senggama, percumbuan, proses perubahan, kehamilan dan kelahiran).

b. Seks dimaknai secara luas

Dalam hal ini Seks dinilai sebagai sesuatu yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin, yakni: perbedaan tingkah laku (lembut, kasar, genit dan sebagainya) Perbedaan atribut (pakaian, nama dan lainnya) Perbedaan peran dan pekerjaan: hubungan antara pria dan wanita: tata krama pergaulan, pacaran, perkawinan dan percintaan.

Pendapat Sarwono diatas dapat menunjang terjawabnya rumusan masalah penulis tentang dasar pembenar gratifikasi seksual sebagai tindak pidana korupsi dengan menelaah pengertian seks dalam tindak gratifikasi seksual. Sehingga dapat diketahui secara jelas bentuk dan kaitan seks yang menjadi objek tindak pidana gratifikasi.

Istilah seks tentu erat kaitannya dengan perilaku seksual di dalamnya.

Ditinjau dari pengertiannya, perilaku seksual dimaknai sebagai manifestasi dari aktivitas seksual yang mencakup baik hubungan seksual (intercouse ; coitus)

20 Universitas Lampung, Perilaku Seksual, diakses dari www.digilib.unila.ac.id pada 30 Mei 2020

(9)

maupun masturbasi. Dorongan/nafsu seksual adalah minat/niat seseorang untuk memulai atau mengadakan hubungan intim (sexual relationship).21

Menurut Hartono, bentuk-bentuk perilaku seksual dapat dikategorikan sebagai berikut:22

a. Perilaku seksual tingkatan ringan

Dalam tingkatan ringan, perilaku seksual dapat berupa berpelukan, berciuman dan masturbasi atau onani.

b. Perilaku seksual tingkatan tinggi

Dalam tingkatan tinggi, perilaku seksual dapat berupa tindakan petting, (ciuman, gigitan, remasan payudara dan isapan pada klitoris atau penis untuk orgasme, namun secara teknis pihak wanita tetap mempertahankan kegadisannya), Coitus (senggama).

Pendapat Hartono diatas menunjang terjawabnya rumusan masalah penulis tentang dasar pembenar gratifikasi seksual sebagai bentuk tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk perilaku seksual yang dijelaskan dapat mempertegas aktivitas seksual sebagai bentuk layanan yang menjadi objek tindak gratifikasi seksual.

Menurut Binaharati Rusyidi, Layanan seksual sangat erat kaitannya dengan komersialisasi jasa seks di Indonesia, atau pelaku penyedia layanan seksual yang sering dikenal dengan PSK (pekerja seks komersial) dan berbagai istilah lain, seperti prostitusi dan pelacuran. Pelacuran merupakan praktek penjualan jasa seksual oleh seseorang terhadap pengguna jasa seks.23

21 Seksualitas, diakses dari www.digilib.unila.ac.id pada 1 April 2019

22 Ibid.

23 Binaharati Rusyidi, Nunung Nurwati, Penanganan Pekerja Seks Komersial di Indonesia, Jurnal Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 5 No. 3 Tahun 2018 Universitas Padjajaran, diakses dari www.jurnal.unpad.ac.id pada 30 Mei 2020

(10)

Dari tinjauan diatas dapat diketahui bahwa imumnya wanita tuna susila atau PSK perempuan didefinisikan sebagai seseorang yang memberikan jasa pelayanan seks atas permintaan dan bertujuan untuk memuaskan pengguna layanan seks dengan imbalan berupa uang dan/atau barang. Pendapat Binaharati Rusyidi diatas menegaskan tentang layanan seksual yang erat kaitannya dengan komersialisasi jasa seks di Indonesia, pendangan atau pendapat ini akan menunjang terjawabnya rumusan masalah penulis terkait dasar pembenar gratifikasi seksual sebagai tindak pidana korupsi di Indonesia.

3. Tindak Pidana Korupsi

Dari segi bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio.

Dalam bahasa Inggris disebut corruption/corrupt, dan dalam bahasa Belanda disebut dengan coruptie, yang kemudian dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia.24 Korupsi berarti busuk, buruk, suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).25

Dari tinjauan tentang makna korupsi dalam segi bahasa diatas, dapat diketahui nilai dari tindak korupsi itu sendiri yang telah dianggap sebagai tindakan tercela dan buruk. Pengertian dan tinjauan ini dapat menunjang keseluruhan pembahasan penulis terkait gratifikasi seksual yang merupakan bagian dari jenis tindak pidana korupsi di Indonesia.

24 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1991

25 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982

(11)

Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.26 Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri semata- mata.27

Pandangan atau pendapat beberapa tokoh tentang korupsi diatas menegaskan dampak dari tindak pidana korupsi yang menimbulkan berbagai kerugian secara besar. Hal ini turut menunjang keseluruhan pembahasan penulis terkait gratifikasi seksual sebagai bentuk tindak pidana korupsi di Indonesia.

Baharuddin Lopa (mengutip pendapat dari David M. Chalmers), menguraikan arti dari korupsi dalam berbagai bidang, kaitannya dengan masalah penyuapan, hubungannya dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan dalam hal kepentingan umum. Pendapat David M. Chalmers yang dikemukakan berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). “The term is often applied also to midjudgements by officials in the public economies” (istilah ini sering juga terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum.28

26 Wicipto Setiadi, Korupsi di Indonesia ((Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi), Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta, diakses dari www.e- journal.peraturan.go.id pada 20 Agustus 2020

27 Ibid.

28 Hadi Iman, Analisis Hukum Tindak Pidana Gratifikasi Melalui Hibah, diakses dari www.repository.unhas.ac.id pada 1 April 2019

(12)

Kutipan pendapat David M. Chalmers dalam Baharudin Lopa diatas menegaskan bahwa korupsi sangat rentan terjadi di berbagai bidang, khususnya menyangkut perekonomian dan kepentingan umum, sehingga sebagaimana tercantum dalam rumusan masalah penulis, kutipan pendapat ini akan menunjang keseluruhan pembahasan tugas akhir penulis tentang gratifikasi seksual sebagai bentuk tindak pidana korupsi.

Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyatno, korupsi didefinisikan 4 jenis yaitu:29

a. Discretionary corruption, korupsi yang dilakukan sebagai akibar dari adanya kebebasan dalam penentuan kebijaksanaan.

b. Ilegal corruption, bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

c. Mercenary corruption, korupsi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

d. Ideological corruption, korupsi illegal atau discretionary yang bermaksud untuk mengejar tujuan kelompok.

Tinjauan tentang pembagian jenis-jenis korupsi menurut Benvensite diatas dapat menunjang terjawabnya rumusan masalah tugas akhir penulis serta pembahasan terkait klasifikasi tindak gratifikasi seksual sebagai bentuk tindak pidana korupsi.

29 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk tujuan ini, baik Fakultas maupun Sekolah menyediakan sumber daya akademik maupuan sumber daya pendukung akademik (laboratorium, studio, perpustakaan), bukan

dokumen AMDAL yang dinilai oleh Tim Komisi AMDAL dan Peningkatan Kualitas Laboratorium Lingkungan Menurunkan tingkat pencemaran dari industri menengah/besar dan

Peran dan Fungsi Tenaga Kesehatan Pada Home Care.. Kondisi

Yaitu Kriya Rakyat (Folk Craft) yang dapat dipakai serta beredar luas pada semua golongan masyarakat.. Jenis Kriya Rakyat sangat mengedepankan nilai fungsi yang dimiliki oleh

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

diantaranya yakni kebijakan pemerintah, penetapan peraturan perundang-undangan, atau bahkan putusan pengadilan. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Warga Negara