• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya baik dalam tingkatan hubungan interpersonal, kelompok dan massa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. lainnya baik dalam tingkatan hubungan interpersonal, kelompok dan massa."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Komunikasi menjadi salah satu aspek terpenting dalam dinamika kehidupan manusia. Melalui komunikasi, manusia mampu membangun relasi sosial, menciptakan pemahaman, mengubah serta mempengaruhi antara satu individu dengan individu lainnya baik dalam tingkatan hubungan interpersonal, kelompok dan massa.

Dakwah tidak pernah lepas dari proses komunikasi. Proses interaksi antara da’i (komunikator) dan mad’u (komunikan) selalu dilakukan dalam proses hubungan komunikasi interpersonal, kelompok, maupun massa. Dalam proses dakwah tentu akan ditemukan fenomena komunikasi, sehingga komunikasi dan dakwah menjadi dua fenomena yang selalu berkaitan serta melengkapi satu sama lain. Dengan adanya komunikasi, dakwah menemukan bentuk dan pengaplikasiannya dalam setiap proses konstruksi sosial di masyarakat. Fenomena dakwah menjadikan bentuk komunikasi manusia menjadi lebih beragam dengan adanya penambahan nilai etis yang berlandaskan pada ajaran agama Islam.

Komunikasi Dakwah menjadi sebuah pertukaran pesan yang diorientasikan pada nilai-nilai keagamaan serta misi keagamaan yang memuat konsep amr ma’aruf dan nahyi munkar. Allah berfirman dalam surat Ali-imran ayat 10 yang berbunyi:

(2)

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Komunikasi dakwah selalu menekankan pada aspek mengajak pada kebaikan serta mencegah dari keburukan. Komunikasi dakwah adalah komunikasi yang memiliki ruh profetik. Dalam setiap pesan yang disampaikan harus termuat misi humanisasi, liberasi, dan transendesi (Syahputra, 2017).

Dakwah memiliki tugas yang amat penting dalam membentuk masyarakat berperadaban dan berkeadaban. Melalui tindakan mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan, Oleh karena itu, komunikasi dakwah memiliki misi mencerdaskan manusia dan menyadarkan manusia pada hal-hal yang tidak sesuai norma agama maupun norma sosial. Komunikasi dakwah melihat fenomena dakwah dalam paradigma komunikasi—begitupun sebaliknya—sehingga dalam paradigma komunikasi dakwah, setiap realitas dakwah yang terus berkembang akan selalu relevan dengan dinamika kehidupan yang terus berubah dengan cepat.

Industri penyiaran berkembang semakin pesat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menunjang tumbuh kembangnya media penyiaran. Semakin banyaknya media penyiaran, masyarakat semakin dimudahkan mengakses konten- konten audio dan visual yang memuat berbagai informasi dari media penyiaran khususnya televisi.

(3)

Hadirnya studi komunikasi massa yang diiringi berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, memicu tumbuh kembang media penyiaran menjadi sangat pesat—terutama media televisi—sehingga media menjadi kekuatan baru dalam membentuk kesadaran masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikan melalui program siaran.

Seperti dilansir pada website www.kpi.go.id dalam siaran persnya pada 11 September 2019 berdasarkan data Nielsen, 30% dari keseluruhan penonton televisi adalah penonton tayangan sinetron, dimana seperti yang diketahui sinetron merupakan tayangan yang banyak menyumbang pelanggaran pada konten siaran. Banyak sinetron yang masih memuat adegen kekerasan, pornografi, serta eksploitasi terhadap identitas tertentu. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan penonton tayangan religi yang hanya memperoleh presentase 2% dari keseluruhan penonton televisi. Tentunya seperti kita ketahui program religi merupakan program yang banyak memuat nilai moralitas dan religiusitas, namun realitanya program religi masih kalah dengan program sinetron, dimana program sinetron masih memuat tayangan tidak mendidik dengan muatan, kekerasan, pornografi, diskriminasi, serta konstruk stereotype terhadap kelompok tertentu.

Jika melihat hasil survei yang dilakukan KPI dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) serta sembilan perguruan tinggi di Sembilan kota di Indonesia dalam buku Penyiaran Sehat dan Mendidik yang diterbitkan KPID Jawa Barat tahun 2018, kualitas tayangan pada program televisi masih terbilang rendah. Berdasarkan hasil

(4)

survei tersebut kualitas program siaran 15 televisi hanya 3,27 di bawah standar ketentuan KPI yaitu 4,0. Program yang mendapat penilaian rendah diantaranya sinetron, infotaiment, dan variety show. Dikutip pada www.kpid.Jabarprov.go.id yang berdasar pada penelitian KPID Jabar mengenai Kajian Akses Masyarakat Terhadap Lembaga Penyiaran, data statistik menunjukan bahwa 33,16 juta penduduk Jawa Barat adalah usia muda produktif dengan median usia antara 15-35 tahun. Demografis yang terus bertumbuh ini sejalan dengan semakin meningkatnya kuantitas lembaga penyiaran televisi maupun radio berizin di Jawa Barat yang berjumlah 466 terhitung sampai dengan Desember 2018. Dari total keseluruhan jumlah lembaga penyiaran di Jawa Barat, tentunya aka ada beragam segmen serta variasi siaran yang berpotensi membentuk kesadaran serta merubah perilaku sosial masyarakat dari sisi kognisi, afeksi atau psikomotorik.

Jika melihat data empirik di atas, dengan demikian industri penyiaran yang semula digunakan untuk mencerdaskan bangsa, berubah haluan menjadi merusak moral bangsa dengan tayangan-tayangan bermutu rendah. Tayangan kekerasan, pornografi, rasisme, diskriminasi serta konstru ksi stereotip menghiasi layar kaca dengan berbagai manifestasinya dalam program-program siaran televisi. Hal ini terjadi akibat kepentingan industri televisi yang mengarah pada komodifikasi konten, yaitu orientasi nilai jual lebih diutamakan dibandingkan nilai guna. Fenomena ini tentu menjadi masalah seiring semakin bergantungnya masyarakat terhadap media. Jika masyarakat semakin bergantung pada media dan media menyajikan konten tidak bermutu maka

(5)

konsekuensi nya masyarakat mau tidak mau harus mengkonsumsi konten-konten yang berdampak negatif bagi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Industri penyiaran seperti televisi menggunakan frekuensi publik untuk mentransmisikan pesan kepada khalayak luas. Karena industri penyiaran menggunakan frekuensi milik publik, maka segala bentuk konten penyiaran haruslah berorientasi pada kepentingan publik, salah satunya adalah menjamin kebutuhan informasi dan edukasi. Akan tetapi, kesadaran bahwa institusi penyiaran menggunakan frekuensi milik publik perlahan telah hilang dari kesadaran setiap pemangku kebijakan di industri penyiaran. Ruh kapitalisme yang semakin menguat dengan ditopang hilangnya kesadaran bahwa frekuensi milik bersama dan harus digunakan untuk kepentingan bersama, mendorong industri penyiaran memproduksi konten yang menekankan nilai jual dibandingkan nilai guna. Akibatnya konten tidak mendidik dan cenderung menuntun pada perilaku buruk di masyarakat semakin banyak.

Media akan menjadi sebuah institusi dimana masyarakat akan menyandarkan referensi tindakannya dalam menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial kepada salah satu institusi media. Jika melihat ketergantungan masyarakat terhadap media tentu media penyiaran televisi yang menyebarkan konten negatif akan memberi dampak begitu cepat, karena individu di masyarakat semakin bergantung kepada media untuk mencari referensi dalam bertindak.

Fenomena menjamurnya konten negatif dalam media penyiaran direspon oleh pemerintah dengan membuat sebuah lembaga sebagai tindak lanjut dari Undang-

(6)

undang No.32 tahun 2002 tentang penyiaran. Lembaga ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia. Komisi penyiaran Indonesia (KPI) menjadi regulator dalam memantau isi siaran televisi maupun radio. Melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tahun 2012, KPI mencoba memfilter program-program yang tidak mendidik, mengandung kekerasan, bermuatan pornografi serta adanya sentimen SARA juga konstruksi stereotip.

Hadirnya P3SPS yang dirancang KPI menjadi pedoman bagi lembaga penyiaran televisi untuk membuat konten siaran sesuai regulasi yang telah ditetapkan KPI. P3SPS ada untuk mengontrol lembaga penyiaran agar mampu mencerdaskan masyarakat melalui regulasi dan mencegah masuknya konten negatif yang berdampak buruk bagi kesadaran masyarakat. P3SPS akan membentuk lembaga penyiaran yang sehat secara konten maupun orientasi dari media tersebut. Publik sebagai pemilik frekuensi punya wewenang untuk mendapatkan program siaran yang sehat. Dengan adanya KPI melalui P3SPS-nya akan bisa menjembatani dan merepresentasikan kepentingan publik dalam menerima konten siaran yang bermutu.

Melihat komunikasi dakwah pada satu sisi dan KPID Jawa Barat di sisi lain, tentu ada titik temu jika ditarik pada proses dakwah. KPID Jawa Barat sebagai badan regulasi penyiaran berfungsi mengawasi, mengontrol, dan memberi sangsi kepada industri penyiaran yang tidak mematuhi aturan. Melalui P3SPS sebagai pedoman yang wajib dipatuhi lembaga penyiaran, KPID Jawa Barat menjadi lembaga yang bisa menciptakan industri penyiaran yang sehat dengan mendorong konten positif dan

(7)

mencegah konten negatif. Proses mengajak lembaga penyiaran untuk membuat konten positif dan mencegah dalam pembuatan konten negatif tentu subtansinya sejalan dengan prinsip dakwah yaitu amr ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahyi munkar (mencegah keburukan). Singkatnya KPID Jawa Barat sebagai da’i (komunikator), P3SPS (pesan), dan lembaga penyiaran serta publik sebagai mad’u (komunikan).

Jika melihat fungsi dari P3SPS, nampaknya ada titik temu antara dakwah dan isi dari P3SPS yang dirancang KPI. Oleh karena itu, proposal ini diajukan untuk meneliti gagasan yang tertuang dalam P3SPS yang dirancang serta diaplikasikan dalam proses pengawasan serta panduan penyiaran.

B. Rumusan Masalah

Dari pembahasan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur teks dalam P3SPS dan pengaruhnya terhadap tayangan program siaran di lembaga penyiaran Jawa Barat?

2. Bagaimana kajian P3SPS dan pengaruhnya terhadap program tayangan di Jawa Barat dalam level kognisi sosial?

3. Bagaimana kajian P3SPS dalam program tayangan di Jawa Barat pada level konteks sosial?

4. Struktur Teks P3SPS dan Pengaruhnya Terhadap Isi Tayangan

(8)

5.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui struktur teks Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

2. Mengetahui bagaaimana kajian P3SPS terhadap program tayangan dalam level kognisi sosial.

3. Mengetahui kajian P3SPS dalam program tayangan di Jawa Barat pada level konteks sosial.

D. Manfaat Penelitian

Terdapat dua jenis manfaat yaitu manfaat teoritis dan praktis pada penelitian ini yaitu:

1. Manfaat teoritis

Menambah referensi mengenai teori dakwah struktural dalam komunikasi dakwah oleh badan regulasi penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat melalui teks P3SPS.

(9)

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman mengenai tugas dan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat di masyarakat yang berkaitan dengan fenomena komunikasi dakwah.

E. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teoritik

Penelitian ini didasari oleh salah satu teori dalam kajian sosiologi komunikasi. Penelitian ini melakukan Iqtibas (meminjam ilmu lain sebagai ilmu bantu) terhadap satu teori yang dibahas dalam ilmu sosiologi komunikasi yaitu teori konstruksi sosial. Teori ini menyatakan bahwa realitas tidak terbentuk dengan sendirinya. Realitas hadir melalui tahapan-tahapan tertentu. Realitas sosial selalu melibatkan individu dan juga struktur-struktur sosial, dimana struktur sosial memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran sosial individu dan individu memiliki andil dalam menciptakan suatu struktur sosial baru (Eriyanto, 2002: 16).. Konsep tentang konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L.

Berger dan Thomas Luckman. Asal mula teori konstruksi sosial bermula dari filsafat konstrukrivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif, dimana kesadaran satu masyarakat bisa dibentuk oleh struktur sosial tertentu

Menurut Berger dan Luckman, manusia sebagai individu dan masyarakat sebagai kelompok merupakan realitas yang dinamis, plural dari produk dialektis

(10)

secara terus menerus dari waktu ke waktu. Teori ini, bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial. Dalam teori fakta sosial, individu merupakan produk dari masyarakat beserta institusi dan struktur sosial yang ada. Struktur social yang ada di masyarakat menentukan tindakan dan persepsi manusia.

(Eryanto, 2002: 15).

Sebaliknya, dalam Bungin (2009) dalam teori definisi sosial, manusia menjadi aktor yang kembali membentuk masyarakat pada tingkatan individu melalui proses interaksi sosial. Dalam Paradigma sosial, manusia dilihat sebagai aktor yang kreatif dalam membentuk realitas sosialnya. Manusia secara aktif dan kreatif mengkonstruk dirinya sebagai hasil dari respon stimulus dunia kognitifnya.

Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pikiran manusia tentang proses sosial.

Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dunianya. Manusia akan sangat dipengaruhi oleh keadaan dan sirkulasi informasi dalam mendefinisikan realitas sosialnya, terutama yang masuk melalui komunikasi massa khususnya media televisi akan mempengaruhi watak masyarakat dalam melihat realitas dan mengaktualisasikan dirinya sebagai individu.

Berger menjelaskan bahwa masyarakat adalah produk interaksi manusia dan manusia merupakan produk dari konstruksi masyarakat (Poloma, 1984).

Gagaasan berger menyatakan, bahwa struktur sosial yang ada menciptakan

(11)

kesadaran pada indicidu-individu di masyarakat dengan proses dialektis dari mulai eksternalisasi pengetahuan, objektivikasi pengetahuan, dan internalisasi pengetahuan.

Komunikasi dakwah KPID Jawa Barat merefleksikan bagaimana sebuah struktur kelompok masyarakat mampu menciptakan individu-individu baru, dengan harapan terjadi transformasi sosial masyarakat ke arah yang lebih baik melalui komunikasi. KPID Jawa Barat sebagai lembaga, mengkonstruksi masyarakat melalui regulasi yang terdapat dalam P3SPS, dimana pedoman ini akan menjadi acuan lembaga penyiaran untuk membentuk konten positif berdasarkan nilai-nilai moralitas, intelektualitas dan religiusitas. Masyarakat akan menerima konten positif dari institusi penyiaran televisi jika televisi itu punya acuan bagaimana membuat konten yang baik, dan acuan itu ada dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI melalui P3SPS akan membentuk watak televisi dan televisi akan membentuk kognisi masyarakat.

Masyarakat merupakan produk dari sebuah institusi dan salah satu institusi yang berpengaruh adalah institusi lembaga penyiaran, dan lembaga penyiaran akan sangat dipengaruhi oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas dalam membentuk konten siaran yaitu regulator penyiaran.

Penelitian ini didasarkan pula pada teori strukturasi Anthony Giddens.

Teori strukturasi adalah teori yang membahas fenomena komunikasi antar

(12)

kelompok. Teori ini menyatakan bahwa tindakan manusia dalam tingkatan individu atau kelompok menjadi sebuah proses untuk menghasilkan sebuah struktur serta menghasilkan ulang berbagai macam sistem sosial baru dari setiap interaksi yang terjadi (Morissan, 2015: 359). Dalam penelitian ini KPID Jawa Barat merupakan kelompok badan regulasi sedangkan televisi merupakan kelompok lembaga penyiaran. Kedua kelompok ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam membentuk struktrur baru dimana struktur yang tercipta dari hasil interaksi ke dua kelompok tersebut menghasilkan sistem penyiaran yang berlandaskan norma sosial, norma agama serta kebudayaan yang sesuai dengan prinsip etis.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis wacana untuk melihat wacana pada teks P3SPS sehingga dapat ditemukan relevansi pesan dakwah dalam teks P3SPS. Analisis wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.

Kajian terhadap suatu wacana dapat dilakukan secara struktural dengan menghubungkan antara teks dan konteks, serta melihat suatu wacana secara fungsional dengan menganalisis tindakan yang dilakukan seseorang untuk tujuan tertentu guna memberikan makna kepada partisipan yang terlibat. Teks di sini merupakan sekumpulan tanda yang ditransmisikan melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu (Sobur, 2012: 53). Data yang digunakan dalam analisis wacana berfokus pada pengontruksian wacana yang meliputi teks tulis yang

(13)

berupa ragam tulisan dan teks lisan yang berupa ragam tuturan (Jorgensen dan Mariane, 2007). Dalam analisis wacana, peneliti melihat teks dalam berbagai sudut pandang sesuai dengan konteks yang melatarbelakanginya sehingga pada analisis ini akan terjadi multi interpretasi pada penafsiran teks (Sarosa, 2012: 71).

Yang diteliti dalam penelitian ini adalah struktur wacana teks dan konteks Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Penelitian ini akan bermuara pada satu pengetahuan bahwa wacana P3SPS akan diteliti sebagai panduan media penyiaran televisi dalam membuat sebuah konten siaran mengandung subtansi pesan dakwah. Hal ini berkenaan dengan industri penyiaran televisi yang mulai mengalami proses konvergensi media dan konglomerasi media, sehingga orientasi para pemilik modal televisi lebih berorientasi pada keuntungan untuk membuat perusahaan media yang dimiliki menjadi lebih besar (Tapsell, 2019: 77).

2. Kerangka Konseptual

Komunikasi dakwah merupakan sebuah proses pertukaran pesan antara satu individu dengan individu lain baik dalam tingkatan interpersonal, kelompok maupun massa yang didasarkan pada prinsip amar ma’ruf dan nahyi munkar yang berorientasi pada pemecahan masalah kebudayaan yang terus berkembang (Muhtadi, 2012: 19). Bentuk dakwah kian beragam, dari mulai dakwah kultural hingga dakwah struktural. Kedua metode dakwah tersebut bisa bersinergi dan

(14)

menjadi satu kesatuan utuh untuk membuat sebuah transformasi sosial di masyarakat. Industri penyiaran semakin berkembang pesat khususnya televisi.

Masyarakat secara kultural dipengaruhi oleh semua konten yang dipublikasi media penyiaran televisi. Namun corak kapitalis pada industri penyiaran sehingga mengakibatkan adanya komodifikasi konten media, dimana media lebih menekankan nilai jual sebuah konten sehingga mengesampingkan aspek moral, intelektual dan spriritual, akibatnya masyarakat tidak menerima tayangan yang sehat dan mendidik. Secara struktural, lembaga penyiaran tidak bisa dipisahkan dengan regulasi penyiaran. Adanya regulasi penyiaran secara struktural memiliki otoritas dalam mengawasi dan mengatur standar etis konten siaran. Hadirnya KPID Jawa Barat sebagai regulator bisa membenahi lembaga penyiaran secara struktural sehingga proses kultural internalisasi pengetahuan dan kebudayaan melalui konten siaran kepada masyarakat bisa menjadi lebih baik.

Sumardiria (2016: 148) mengungkapkan, sesuai UU No. 32 Tahun 2002 dinyatakan bahwa sebagai sumber daya alam terbatas, frekuensi radio adalah milik publik, dikuasasi dan dilindungi negara serta digunakan secara optimal untuk kepentingan publik. Sehingga dalam penyelenggaraan penyiaran pemerintah membentuk KPI berkedudukan di ibu kota negara dan KPID yang berkedudukan di ibu kota provinsi. KPI membentuk Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai pedoman dan aturan bagi lembaga penyiaran untuk membuat konten siaran hal ini berdasar pada wewenang KPI.

(15)

Konstruksi pada lembaga penyiaran tentunya akan mendorong kegiatan dakwah di media terutama televisi. Dakwah di media menjadi salah satu fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media massa, baik cetak, radio maupun televisi. Dakwah di media menjelaskan bagaimana Perkembangan teknologi informasi bisa mempermudah internalisasi nilai-nilai keislaman dalam proses komunikasi (Kusnawan, Solahudin, dkk, 2004). Menurut Muhtadi (2012) setiap pemanfaatan media sebagai istrumen dakwah, harus disesuaikan dengan kebutuhan pragmatis dari setiap proses tranformasi nilai dari berbagai jenis media yang digunakan. Setiap media tentunya memiliki ciri khas masing-masing, apalagi televisi sebagai media audio-visual yang mengandalkan dua kekuatan yaitu suara dan gambar. Berbicara televisi tentunya tidak akan lepas dari fenomena komunikasi dan penyiaran. Televisi merupakan manifestasi fenomena komunikasi dan penyiaran, sehingga televisi menjadi salah satu bentuk teknologi dan kebudayaan yang mempengaruhi realitas sosial di masyarakat (Ibrahim, 2011) .

Hadirnya P3SPS bisa menjadi salah satu langkah konkret KPID Jawa Barat menciptakan sistem penyiaran yang sehat dan mendidik di masyarakat Jawa Barat.

Jika dilihat dalam paradigma komunikasi dakwah, P3SPS ini menjadi salah satu bentuk pesan yang disampaikan pada lembaga penyiaran sebagai mad’u (komunikan) struktural dan masyarakat sebagai mad’u.

Jika dilihat dalam paradigma Komunikasi Dakwah, KPID Jawa Barat melihat KPID sebagai Da’i (Komunikator), pedoman regulasi P3SPS sebagai

(16)

pesan, dan lembaga penyiaran televisi beserta publik Jawa Barat sebagai mad’u (Komunikan).

Bagan 1

Kerangka konseptual

(17)

Masyarakat/Publik Jawa Barat

Da'i/ Komunikator

Mawdhu/Pesan

Mad'u/ Komunikan 1

Mad'u/ Komunikan 2 Komunikasi Dakwah KPID

Jawa Barat

Dakwah Struktural

Dakwah Kultural

P3SPS KPID Jawa Barat

Lembaga Penyiaran

Televisi

(18)

F. Tinjauan Pustaka (Pustaka Yang Relevan) Tabel 1

Penelitian Terdahulu

NO Judul Penelitian Skripsi/Jurnal

Nama Peneliti dan tahun penelitian

Metode penelitian

Persamaan Perbedaan

1 Pengawasan Sistem

Penyiaran Radio Oleh KPID Yogyakarta (Skripsi)

Fahmi, 2013

Studi Deskriptif

Menggunakan metode penelitian kualitatif dan objek yang diteliti adalah badan regulasi penyiaran

Dalam penelitian Fahmi, 2013, berfokus pada sistem

pengawasan radio.

Sedangkan dalam

penelitian ini berfokus pada P3SPS sebagai pedoman

(19)

regulasi yang akan diteliti 2 Pesan Dakwah

dalam Iklan (Analisis Isi Pada Iklan Layanan

Masyarakat

KPID Jawa

Barat (Skripsi)

Aji Ginanjar, 2019

Analisis Isi

Menggunakan penelitian kualitatif dan objek

penelitian yang sama di KPID Jawa Barat

Penelitian Aji Ginanjar, 2019 berfokus pada analisis isi iklan layanan masyarakat.

Sedangkan penelitian ini berfokus pada analisis wacana P3SPS sebagai pedoman konten siaran.

3 Strategi Komunikasi KPID Provinsi Jawa Barat dalam

Membentuk

Laras Pusparanti, 2016

Studi Deskriptif

Persamaan pada

penelitian ini ada di metode penelitian kualitatif serta

Perbedaanya Laras

Pusparanti, 2016 memiliki fokus

penelitian pada

(20)

Masyarakat Peduli

Penyiaran Yang sehat kota Bandung (Studi Kasus Strategi Komunikasi

KPID Jawa

Barat dalam Membentuk Masyarakat Peduli

Penyiaran Sehat di Kota Bandung (skripsi)

objek pebelitian yang sama yaitu KPID Jawa Barat

deskripsi strategi komunikasi.

Sedangkan penelitian ini berfokus pada analisis P3SPS yang dijadikan acuan oleh KPID Jawa Barat

4 Literasi Media dalam

Membangun Isi Siaran yang Sehat dan Pemirsa yang

Ahmad Dzakaria, 2019

Studi Deskriptif

Penelitian ini memiliki persamaan pada objek penelitiannya

Perbedaanya jika Ahmad Dzakaria, 2016 meneliti

bagaimana penegakan

(21)

Cerdas (Studi Deskriptif Kegiatan

Literasi Media

KPID Jawa

Barat Sebagai Nilai-Nilai Dakwah

yaitu KPID Jawa Barat.

literasi media KPID Jawa Barat.

Sedangkan penelitian ini menganalisis P3SPS sebagai acuan KPID Jawa Barat dalam

Mengawasi penyiaran 5 Kajian Perilaku

Menonton Televisi Dan Pendidikan Literasi Media Pada Remaja

Suryadi, 2013

Kualitatif Persamaanya terletak pada topik

pembahasan mengenai penyiaran televisi

Perbedaanya terletak pada objek

penelitian, jika penelitian Suryadi, 2013 membahas perilaku menonton,

(22)

sedangkan penelitian ini membahas regulasi yang terdapat pada P3SPS

6 Pola Hubungan Pelaku Media dengan

Khalayak dan Stakeholders Penyiaran di Jawa Barat (Jurnal)

Pandan Yuda Pramesti, Deta

Rahmawan, Justico Adi Prasetyo 2018

Kualitatif Persamaannya terletak pada topik

pembahasan mengenai fenomena penyiaran di Jawa Barat.

Perbedaanya jika Pandan, dkk meneliti mengenai bentuk-bentuk lembaga

penyiaran di Jawa Barat, maka

penelitian ini menganalisis P3SPS sebagai penegakan regulasi

(23)

penyiaran di Jawa Barat

7 Strategi Media Penyiaran dalam Membuat

Program Siaran yang Sehat Bagi Publik (Studi Deskripsi

Kualitatif

Strategi Media Penyiaran Daerah dalam Membuat

program siaran yang sehat bagi public di Cirebon dan Majalengka

Witri Cahyati, Roni Tabroni, Adi Permana Sidik, Nunung Sanusi, Pupi Indrianti Zaelani.

(2018)

Studi deskripsi, kualitatif

Persamaanya terletak pada pembahasan mengenai kualitas konten program siaran di lembaga penyiaran.

Keduanya sama-sama meneliti bagaimana konten penyiaran yang baik itu dibentuk.

Perbedaanya, jika Witri dkk meneliti

mengenai bagaimana media penyiaran membentuk konten yang positif,

sedangkan penelitian ini berfokus pada bagaimana regulator penyiaran melalui P3SPS bisa

(24)

membentuk lembaga

penyiaran agar membuat konten positif dengan

mematuhi regulasi

8 Model-Model Komunikasi Dakwah (Studi Terhadap

Irta Sulastri Kualitatif Persamaanya terletak pada pembahasan fenomena

Perbedaannya, jika Irta meneliti

tentang model-

(25)

Dakwah di Kota Padang) Jurnal

komunikasi dakwah sebagai salah satu

instrument untuk membentuk masyarakat

model komunikasi dakwah maka penelitian ini meneliti

bagaimana proses penegakan regulasi

melalui P3SPS sebagai

fenomena komunikasi dakwah

G. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah penelitian yang akan diajukan adalah sebagai berikut:

pertama, metode penelitian; kedua, jenis data; ketiga, sumber data;, keempat, teknik pengumpulan data; kelima, analisis data.

1. Metode penelitian

(26)

Dalam meneliti, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang dihubungkan dengan hasil analisis wacana pada struktur teks P3SPS, dimana fokus penelitian ditekankan pada studi dokumentasi serta observasi langsung dalam upaya mendapatkan data dari hasil penglihatan bentuk-bentuk regulasi sebagai acuan industri penyiaran membuat konten siaran. Data-data kualitatif berbentuk deskripsi interpretasi objek peneliti serta konstruksi cara pandang saat setelah melakukan observasi dan analisis (Sugiono, 2018).

Dalam mendapatkan data, penulis juga melakukan analisis wacana terhadap narasi teks P3SPS dengan bantuan kegiatan wawancara untuk memperoleh data yang lebih konkret. Sasaran wawancara disini adalah orang yang kompeten dalam menginterpretasi P3SPS yaitu pemantau di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai tambahan perspektif untuk melihat subtansi P3SPS.

2. Jenis data

Jenis data yang diambil dari penelitian ini berupa data kualitatif yang diurai menjadi data primer dan data sekunder dalam bentuk segala informasi yang berhubungan dengan komunikasi dakwah KPID Jawa Barat.

Data primer dan data sekunder akan memberikan informasi yang berhubungan dengan penelitian yang bersumber dari orang pertama (primer) dan orang kedua (sekuder) dalam bentuk pandangan, pikiran, karya, sikap, perilaku, dan lain sebagainya (Sugiono, 2018).

(27)

Dalam penelitian ini, jenis data yang akan digunakan adalah data dari studi dokumentasi teks Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) serta data tertulis hasil wawancara dengan pengawas isi siaran serta komisaris KPID Jawa Barat untuk mengetahui bagaimana pengaplikasian P3SPS dalam membentuk konten siaran sehat yang mengemban nilai-nilai amr ma’aruf nahy munkar. Data hasil wawancara dan observasi dibutuhkan untuk menajdi pisau analisis wacana-wacana apa saja yang ada dalam P3SPS yang dalam muatan narasinya terdapat nilai-nilai dakwah.

3. Sumber data

Sumber data merupakan tempat dimana peneliti dapat memperoleh data beserta informasi yang digunakan untuk kegunaan penelitian baik berupa orang, buku atau dokumen (Kuswana, 2011: 280). Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer merupakan sumber data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti, atau data yang langsung memberikan informasi kepada peneliti. Dalam penelitian ini, data primer yang peneliti gunakan adalah data yang tertulis langsung dalam P3SPS Komisi Penyiaran Indonesia.

Sedangkan sumber data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Peneliti memperoleh data yang sudah ada dari pihak lain dengan menggunakan berbagai cara. Dalam penelitian ini, sumber data sekunder adalah hasil wawancara tertulis dengan pengawas isi siaran,

(28)

dimana data wawancara akan berkaitan dengan bagaimana pengawas mengaplikasikan isi P3SPS untuk membentuk lembaga penyiaran yang menjadikan dasar nilai-nilai moral, intelektual, kultural, dan spiritual. Sehingga berorientasi pada kegiatan dakwah struktural yang bermuara pada perbaikan di ranah dakwah kultural.

4. Teknik pengumpulan data

Dalam menganalisis komunikasi dakwah dalam regulasi penyiaran, peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik studi dokumentasi. Studi dokumentasi menjadi salah satu bagian dari metode pengumpulan data secara kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen- dokumen yang dibuat oleh seorang subjek secara mandiri atau oleh pihak lain mengenai subjek tersebut. Studi ini digunakan untuk memperoleh gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu dokumen dan media tertulis yang dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan (Herdiansyah, 2010: 143).

Dalam teknik pengumpulan data, peneliti akan mengumpulkan data yang terdokumentasi atau tertulis dalam P3SPS dengan metode analisi wacana untuk mendapatkan pemahaman mengenai struktur teks serta bagaimana komunikasi dakwah KPID Jawa Barat dilihat dari pesan yang disampaikan dalam P3SPS.

Dalam studi dokumentasi ini, penulis akan membaca, mencatat, lalu mengolah

(29)

hingga melakukan kepustakaan agar analisis wacana dapat berada dalam koridor yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan.

Peneliti juga akan melalakukan wawancara dengan pemantau isi siaran yang setiap tindak lanjut pada hasil pemantauan selalu menggunakan P3SPS sebagai acuan. Wawancara merupakan sebuah proses dialog antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan sebuah informasi tertentu dan dengan kepentingan tertentu untuk mengetahui fakta, perspektif, perasaan, perilaku, standar normatif, dan alasan seseorang berbuat atas satu fenomena empiris yang terjadi (Sarosa, 2012: 45).

Peneliti juga akan melakukan observasi langsung dalam melihat dan mengamati proses pemantauan isi siaran oleh pemantau di KPID Jabar serta mengamati bagaimana para pemantau menginterpretasi isi P3SPS dalam rangka melihat konten-konten yang tidak sesuai dengan regulasi. Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati objek yang terjadi serta mencatat segala kejadian untuk keperluan data yang akan dipakai dalam penelitian.

(Moleong, 1996: 125).

5. Analisis data

Adapun tahap dalam analisis isi, penulis akan melakukan beberapa tahap, diantaranya:

(30)

a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan dokumentasi apa yang ada dalam teks P3SPS KPID Jawa Barat, kemudian menganalisis menggunakan metode analisis wacana.

b. Melakukan wawancara dengan pemantau dalam mendapatkan perspektif mengenai isi P3SPS

c. Melakukan Observasi kegiatan pemantauan di KPID Jawa Barat sebagai upaya mengetahui proses pengawasan isi siaran dengan P3SPS sebagai acuannya.

d. Mengklarifikasikan data dengan cara memisahkannya antara yang perlu dengan yang tidak perlu.

e. Mengurutkan pesan agar tersistematis.

f. Mengategorikan pesan dengan menentukan sendiri pesan-pesan yang terkandung dalam naskah.

g. Menafsirkan data dengan cara memahami dan membahasnya dengan analisis wacana yang digunakan.

h. Menarik kesimpulan dengan cara menyempitkan kembali hasil dari pengolahan dan penafsiran data.

(31)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui exercise Half Semont Manuver lebih baik dari exercise Brandt-doroff Manuver dalam menggurangi keluhan vertigo pada gangguan fungsi Vestibular Posterior

Dalam upaya pengembangan literasi informasi terdapat beberapa potensi yang belum secara optimal dimanfaatkan, potensi tersebut antara lain potensi kewenangan,

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

Field research adalah sumber data yang diperoleh dari lapangan penelitian yaitu mencari data terjun langsung ke obyek penelitian untuk memperoleh data yang kongret

Metode yang digunakan untuk steganografi dalam penelitian adalah Low Bit Encoding dengan enkripsi

Untuk mengevaluasi kinerja dosen dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah, maka dilakukan penyebaran kuesioner yang harus diisi mahasiswa serta pemberian kritik dan saran

Zat ini diklasifikasikan sebagai sama berbahayanya dengan debu mudah terbakar oleh Standar Komunikasi Bahaya OSHA 2012 Amerika Serikat (29 CFR 1910.1200) dan Peraturan Produk

Penggunaan daun gamal (Gliricidia sapium), guna mempercepat kematangan buah pisang Raja Sere dan Emas yang dilakukan Yulianingsih dan Dasuki (1989), menyatakan bahwa daun gamal