• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS 2 LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUGAS 2 LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS 2

LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH

KELOMPOK 3

1. Fatih Zain Ramadhani (K2319031) 2. Isykarima Amalia Vita N I (K2319044) 3. Jihan Syarifah Rokhan (K2319046) 4. Lia Dwi Setyaningsih (K2319052) 5. Lulu Fajrotir Rohmah (K2320115)

Dosen Pengampu

Dr. Daru Wahyuningsih, S.Si., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET 2021

(2)

BAB I

LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A. LANDASAN FILOSOFIS

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ‘bhineka tunggal ika.’ Keragaman dalam etnik, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjungjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Pandangan agama khususnya Islam antara lain ditegaskan bahwa:

(1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci,

(2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi(‘inklusif’)

c. Pandangan universal hak asasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.

B. LANDASAN YURIDIS

a. UUD 1945 (Amandemen) Ps 31 : (1) berbunyi setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

b. UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps 48 Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Ps 49 Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

c. UU no 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Ps 5 ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Ayat (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) Warga negara di daerah terpencil

(3)

atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 11 ayat (1) dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal 12 ayat (1) setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1b) Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1e) Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan /atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Dalam penjelasan pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

d. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam PP No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas SDLB, SMPLB, SMALB.

(4)

e. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif.menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten /kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.

C. LANDASAN EMPIRIS

a. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 b. Konvensi Hak Anak, 1989

c. Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk semua, 1990

d. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang persamaan kesempatan bagi orang berkelainan. e. Pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusi, 1994

f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk semua, 2000

g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif,”

h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai :

1) sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar untuk semua

2) sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program- program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi

3) sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.

Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya :

1) inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional

(5)

2) konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosional dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya

3) sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas

4) orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka

5) semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi

6) Demi menjamin pendidikan untuk semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak, maka masalah non diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta

7) semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.

8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam manajemen sistem informasi sekolah harus mencangkup semua anak usia sekolah

9) Program pendidikan pra- jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini

10) Pemerintah (pusat, provinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non – diskriminatif dan inklusif

(6)

D. LANDASAN PEDAGOGIS

Landasan pedadogis termaktub dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan peserta didik berkelainan dibentuk untuk menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab kelak, mereka menjadi individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat.

(7)

BAB II

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. (Permendikbud No. 70 2009, pasal 1).

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pendidikan inklusi bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik tanpa memandang ras, suku, agama, maupun peserta didik yang memiliki kelainan atau memiliki kebutuhan pelayanan khusus dengan peserta didik pada umumnya. Irvan dan Jauhari (2018) menyatakan bahwa dalam implementasinya pendidikan inklusif diarahkan pada pemenuhan hak pendidikan bagi ABK untuk belajar bersama dengan peserta didik pada umumnya dalam satu lingkungan sekolah. Sunardi (1995) mengemukakan bahwa sekolah yang menetapkan pendidikan Inklusif merupakan sekolah yang menerima semua peserta didik dalam satu sekolah yang sama dengan program pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan individu. Pendidikan Inklusif menunjukkan bahwa suatu sistem yang memungkinkan anak berkebutuhan khusus mendapatkan layanan dengan sekolah terdekat dengan lingkungan tempat tinggalnya dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Inklusif juga merupakan salah satu cara untuk mencapai ketuntasan wajib belajar 9 tahun bagi ABK.

Indonesia mulai mengimplementasikan pendidikan Inklusif pada tahun 2005 dengan diawali membangun sekolah-sekolah inklusi percobaan. Pada tahun 2008 Indonesia mulai memiliki 814 sekolah inklusi yang tersebar di beberapa daerah (PKLK, 2011). Indonesia mulai menerapkan sistem pendidikan inklusif dalam setting sekolah inklusi dimulai dari permasalahan kurang tersebarnya Sekolah Luar Biasa (SLB) hingga ke daerah-daerah pelosok.

Sejarah awal penyelenggaraan pendidikan khusus di Indonesia dikenal dengan terselenggaranya tiga jenis sekolah yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Terpadu. Setelah munculnya “The Salamanca Statement on Inclusive Education” dari hasil deklarasi Salamanca di Spanyol pada tahun 1994 yang menyatakan

(8)

komitmen pendidikan untuk semua atau “education for all” maka hampir setiap negara di dunia mulai menerapkan pendidikan inklusif.

Sapon Shevin (dalam O’Neil, John; 1994) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai pendidikan khusus harus dapat melayani semua siswa berkebutuhan khusus dengan siswa lainnya secara bersama-sama dalam satu lingkungan sekolah. Dalam pelaksanaannya, perlu diperhatikan beberapa aspek pendidikan inklusi, antara lain yaitu :

1. Peserta didik

Dalam sekolah inklusi peserta didik terdiri atas dua kelompok, yaitu peserta didik reguler atau peserta didik yang tidak memiliki disabilitas dan dapat dikategorikan “normal”, serta peserta didik khusus atau peserta didik yang mengalami hambatan dalam perkembangan fisik, emosional, mental, sosial, maupun memiliki bakat istimewa.

2. Tenaga pendidik

Pada pelaksanaan sekolah inklusif terdapat 3 jenis tenaga pendidik yang masing-masing memiliki peran dalam proses pelaksanaan pendidikan inklusif. Adapun 3 jenis guru tersebut adalah sebagai berikut:

a. Guru Kelas

Guru kelas memiliki tugas untuk berkoordinasi dengan guru pendamping khusus untuk menyusun program pembelajaran serta menyediakan kegiatan pembelajaran untuk peserta didik berkebutuhan khusus dan peserta didik reguler.

b. Guru Mata pelajaran

Istilah guru mata pelajaran biasa digunakan pada jenjang SMP, SMA, dan SMK.

pada konsep sekolah inklusi, guru mata pelajaran memiliki tugas yang hampir sama dengan guru kelas, yaitu tidak hanya mengajar mata pelajaran tertentu tetapi juga berkoordinasi dengan guru pendamping khusus untuk menyusun program pembelajaran individual khusus untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang tergabung dalam mata pelajaran tersebut.

c. Guru Pendamping Khusus

Guru pendamping khusus merupakan guru yang memiliki kompetensi atau memiliki keilmuan dalam pendidikan khusus. Guru pendamping khusus bertugas

(9)

sebagai pendukung guru kelas dan guru pembelajaran dalam memberikan pelayanan pendidikan khusus sesuai kebutuhan peserta didik di sekolah inklusi.

3. Asesmen

Tujuan utama kegiatan asesmen adalah memperoleh informasi tentang kondisi anak, baik yang berkaitan dengan kemampuan akademik, non akademik dan kekhususan secara lengkap, akurat dan objektif.

Sedangkan fungsi asesmen dalam kontek ini adalah untuk membantu guru dan terapis dalam menyusun perencanaan pembelajaran dan program layanan kebutuhan khusus yang tepat. Dalam hal ini hasil asesmen dapat difungsikan sebagai kondisi kemampuan awal (baseline) anak sebelum diberikan layanan baik akademik maupun program kebutuhan khusus.

Dalam melakukan asesmen, terdapat beberapa kategori asesmen anak berkebutuhan khusus

a. Assessment akademik

Asesmen akademik adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi/kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dalam bidang akademik. Bagi PDBK pada jenjang preeschool, kemampuan akademik yang perlu digali terkait dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan bagi PDBK pada jenjang pendidikan dasar dan selanjutnya, kemampuan akademik yang perlu digali adalah terkait dengan semua bidang studi/mata pelajaran yang diajarkan pada sekolah tersebut

b. Asesmen non-akademik (kekhususan)

Asesmen kekhususan dalam pendidikan khusus adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi PDBK yang berkaitan dengan jenis hambatan/kelainan yang disandangnya secara mendalam komprehensif dan akurat.

c. Asesmen perkembangan

Asesmen non akademik/perkembangan ini adalah suatu proses untuk mengatahui kondisi perkembangan PDBK yang terkait dengan kemampuan intelektual, emosi, perilaku, komunikasi yang sangat bermanfaat dalam mempertimbangankan penggunaan metode, strategi maupun pemilihan alat bantu yang tepat baik dalam

(10)

penyusunan perencanaan pembelajaran (akademik) maupun dalam penyusunan program kebutuhan khusus.

4. Kurikulum

Kurikulum dalam pembelajaran inklusi hendaknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, sehingga peserta didik tidak dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang terkadang lebih cenderung kaku dan mengikuti buah mazhab pembelajaran. Menurut Provest et al (2007) sekolah harus menyesuaikan kurikulum dengan bakat dan potensi yang dimiliki seluruh peserta didik yang ada di sekolah. Dalam pembelajaran inklusi, model kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni duplikat kurikulum, omisi kurikulum, modifikasi kurikulum, substitusi kurikulum.

a. Duplikat kurikulum

Duplikat kurikulum artinya peserta didik berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan kurikulum peserta didik rata-rata atas reguler. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian guru perlu memodifikasi proses,yakni untuk peserta didik tunanetra digunakan huruf braile, dan tunarungu tunawicara digunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.

b. Modifikasi kurikulum

Kurikulum peserta didik rata-rata disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan atau potensi peserta didik berkebutuhan khusus. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum k atas (eskalasi) untuk peserta didik cerdas dan berbakat (gifted and talented)

Model modifikasi kurikulum nasional adalah kurikulum pembelajaran di kelas inklusi sering digunakan di sekolah inklusi modifikasi artinya mengubah untuk disesuaikan, dengan demikian peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi terjadi pada empat komponen utama pembelajaran yaitu tujuan, materi, proses, dan evaluasi. Kurikulum meniscayakan adanya keselarasan tujuan dan program yang

(11)

dijalankan secara simultan. Tujuan yang hendak dicapai setidaknya telah tergambar dalam program yang terdiri dari setiap kurikulum, sehingga mencerminkan harmonisasi target pencapaian yang saling melengkapi satu sama lain.

Target pencapaian dalam kurikulum merupakan tujuan ideal yang tertuang dalam proses kependidikan, karena hal itu merupakan faktor yang sangat penting.

Sedangkan substansi kurikulum yang berkaitan dengan instrumen dan metode merupakan unsur penting dalam mengidentifikasi berbagai unsur pengetahuan yang berkaitan dengan pembelajaran yang berkaitan adalah unsur keterampilan yang harus dimasukan dalam kontek kurikulum sebagai bagian dari penilaian peserta didik agar tidak berhenti dalam mengembangkan potensi kepribadiannya.

Permasalahannya yang dihadapi adalah dalam menerapkan prioritas ilmu pengetahuan yang seharusnya ditunjang dengan kurikulum yang ada.

Sebagaimana diketahui bahwa kurikulum merupakan race-course untuk jarak yang harus ditempuh melalui suatu proses. Akan tetapi proses itu tidak akan pernah selesai, jaraknya tak kunjung berakhir. Untuk pengembangan proses kependidikan, kurikulum harus bersifat dinamis dan konstruktif dalam mengikuti au perkembangan zaman yang selalu menampilkan hal-hal baru yang memiliki prospek dan tujuan yang jelas dalam memberikan corak kehidupan yang lebih berwarna.

c. Substitusi kurikulum

Substitusi kurikulum artinya bahwa beberapa bagian kurikulum peserta didik rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk peserta didik berkebutuhan khusus dilihat berdasarkan situasi dan kondisinya sehingga ketika pembelajaran sedang berlangsung peserta didik berkebutuhan khusus dapat mengikuti pembelajaran dengan baik.

d. Omisi kurikulum

Bagian dari kurikulum umum pada mata pelajaran tertentu ditiadakan secara total karena disesuaikan dengan peserta didik berkebutuhan khusus diana mereka sulit berpikir setara dengan siswa rata-rata. Sehingga perbedaan itu memberikan porsi

(12)

yang berimbang antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik normal

5. Pengelolaan kelas

Pengelolaan kelas untuk siswa berkebutuhan khusus memiliki beberapa model, yakni sistem pengelolaan Kelas Reguler Penuh, kelas Reguler dengan GPK ( Guru Pembimbing Khusus, dan Kelas Khusus.

Kelas reguler penuh ditujukan untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi kelas yang diikuti oleh peserta didik reguler. Dalam arti mereka tidak memiliki permasalahan yang spesifik yang mana dapat mengganggu proses pembelajaran. Kurikulum pada kelas reguler penuh ini sudah menerapkan kurikulum standar nasional bagi semua peserta didik.

Kelas reguler dengan GPK diikuti oleh peserta didik berkebutuhan khusus yang belajar bersama dengan peserta didik reguler menggunakan kurikulum standar nasional, namun peserta didik berkebutuhan khusus memperoleh layanan khusus dari guru pembimbing khusus. Hal ini agar peserta didik berkebutuhan khusus dapat menyesuaikan diri dengan proses belajar mengajar.

Yang ketiga yaitu kelas khusus diikuti oleh peserta didik berkebutuhan khusus yang kegiatan belajarnya dipisahkan dengan peserta didik reguler (Irvan, 2017). Di lingkup kelas khusus, disediakan Ruang Sumber yang berfungsi sebagai fasilitas penunjang untuk memberikan layanan akademik maupun layanan non akademik (kompensatoris) untuk peserta didik berkebutuhan khusus dalam kelas khusus.

6. Aksesibilitas

Sesuai dengan Kepmen Ph Nom 30 Tahun 2006 bahwa setiap bangunan fasilitas umum harus memenuhi standar aksesibilitas untuk anak berkebutuhan khusus. Sekolah inklusi juga memiliki kewajiban menciptakan layanan di setiap gedung agar ramah terhadap anak berkebutuhan khusus.

Berdasarkan data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, dinyatakan bahwa jumlah ABK di Indonesia adalah sebanyak 1,6 juta anak. Dari jumlah total ABK di Indonesia, ternyata hanya sekitar 18% ABK yang mendapatkan layanan pendidikan, baik di sekolah luar

(13)

biasa (SLB) maupun sekolah pelaksana pendidikan inklusi. Terdapat sekitar 115 ribu anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang belum memperoleh hak pendidikan padahal pendidikan harus dipandang sebagai upaya pemberdayaan individu yang memiliki keragaman di mana semua anak terlepas dari kemampuan dan ketidakmampuan mereka latar belakang sosial, ekonomi, suku, budaya, bahasa, agama, dan gender sebaiknya dapat menyatu dalam sebuah komunitas sekolah tanpa adanya diskriminasi. Problematika sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Indonesia diantaranya:

1. Masih minimnya pemahaman tentang pendidikan inklusi dan implikasinya sehingga implementasi sistem pendidikan inklusi belum optimal.

2. Masih adanya kebijakan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yang belum tepat dimana guru kelas tidak memiliki tanggung jawab pada kemajuan belajar peserta didik berkebutuhan khusus dan kurangnya koordinasi pihak sekolah dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait dalam mengimplementasi kebijakan sekolah tentang pendidikan inklusi.

3. Masih adanya kesulitan yang ditemui oleh para guru sekolah inklusi dalam merumuskan dan menerapkan kurikulum serta kurangnya koordinasi dalam proses pembelajaran pendidikan inklusi.

4. Masih minimnya kualitas guru pendidikan inklusi dimana guru masih belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan peserta didiknya.

5. Masih minimnya sistem dukungan dari beberapa pihak misalnya orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, dan pemerintah ditambah masih terbatasnya fasilitas sekolah yang menunjang pendidikan inklusi.

Menurut Slameto (2010), ada dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam pendidikan inklusi ini, yaitu faktor internal (dari dalam diri peserta didik) dan faktor eksternal (dari luar diri peserta didik).

(14)

1. Faktor internal, meliputi faktor jasmaniah ( seperti kesehatan dan cacat tubuh), faktor psikologis ( seperti intelegensi, perhatian, minat, bakat, kesiapan dan keaktifan peserta didik dalam masyarakat)

2. Faktor eksternal, meliputi faktor keluarga ( seperti cara asuh atau cara mendidik orang tua, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga, keadaan ekonomi keluarga, latar belakang kebudayaan), faktor sekolah ( meliputi, metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, hubungan peserta didik satu dengan yang lain), serta faktor masyarakat ( seperti kegiatan peserta didik dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat)

(15)

BAB III

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI 5 SMA

A. Implementasi Pendidikan Inklusif di SMA N 1 Boyolali

Setelah melakukan wawancara dengan guru bagian kurikulum, diperoleh bahwa di SMA N 1 Boyolali tidak ada program pendidikan inklusif. Sejauh ini, belum ada anak dengan kebutuhan khusus mendaftar di SMA ini. Dari yang saya tahu, kebanyakan anak berkebutuhan khusus akan disekolahkan oleh kedua orang tuanya di sekolah khusus untuk anak berkebutuhan khusus yang jaraknya cukup dekat dari SMA N 1 Boyolali tersebut.

Dan jika ada seorang anak berkebutuhan khusus yang mendaftar di SMA N 1 Boyolali ini, akan tetap diterima, dan tidak dibedakan dengan siswa yang lain. Jadi secara tidak langsung, di sekolah tersebut sudah menerapkan pendidikan inklusi, namun program dari sekolah tersebut tidak mengatur mengenai pendidikan inklusif secara khusus.

B. Implementasi Pendidikan Inklusif di SMAN 4 Surakarta

Melalui kegiatan wawancara dengan guru bagian kurikulum, diperoleh bahwa SMAN 4 Surakarta adalah sekolah ramah anak, namun belum menerapkan pendidikan inklusi. Maksud dari pernyataan tersebut adalah apabila ada anak yang berkebutuhan khusus mendaftar maka sekolah akan tetap menerima dan memberikan pelayanan bagi siswa berkebutuhan khusus dengan pendampingan dari guru kelas, guru BK, dan teman sebaya. Namun berdasarkan informasi yang diperoleh sejauh ini jarang atau bahkan belum ada siswa berkebutuhan khusus yang mendaftar di SMAN 4 Surakarta karena banyak masyarakat yang mengetahui bahwa sekolah rujukan atau penyelenggara pendidikan inklusi untuk jenjang SMA/SMK hanya di SMAN 8 Surakarta, SMA Muhammadiyah 6, SMKN 8 Surakarta dan SMKN 9 Surakarta, sehingga banyak dari orang tua siswa ABK yang mendaftarkan anak mereka ke sekolah-sekolah rujukan tersebut. Berdasarkan penuturan dari guru bagian kurikulum, alasan mengapa SMAN 4 Surakarta antara lain yaitu sarana dan prasarana yang kurang memadai untuk memberikan pelayanan khusus pada ABK serta belum adanya Guru Pembimbing Khusus (GPK).

(16)

C. Implementasi Pendidikan inklusi di SMIT Ihsanul Fikri

Melalui kegiatan wawancara dengan guru bagian kurikulum dan guru BK, di sekolah tersebut tidak menerapkan program pendidikan inklusi akan tetapi jika ada siswa yang berkebutuhan khusus ingin mendaftar disitu maka SMA tersebut bisa menerimanya.

Menurut beliau, Sejauh ini guru2 tidak pernah membeda-beda kan peserta didik, baik yang punya bakat istimewa atau berkebutuhan khusus lainnya. Akses dan kesempatan pendidikan sama bagi semua peserta didik. Pernah ada kasus disleksia, akan tetapi kita satukan dengan peserta didik lainnya dan untuk pendampingnya yaitu didampingi oleh wali kelas dan bk. Alhamdulillah berhasil lulus dgn baik seperti teman2 lainnya. Jadi secara menyeluruh SMA tersebut tidak menerapkan program khusus bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus, akan tetapi jika ada siswa yang berkebutuhan khusus akses dan pelayanan dapat didampingi oleh wali kelas dan guru BK.

D. Implementasi Pendidikan Inklusif di SMA N 1 Welahan

Melalui kegiatan wawancara dengan salah satu guru BK, di sekolah tersebut tidak menerapkan pendidikan inklusi. Terlihat bahwa dengan tidak adanya guru pembimbing khusus yang nantinya diperlukan untuk membimbing siswa berkebutuhan khusus di sekolah tersebut dan tidak ada siswa berkebutuhan khusus yang pernah bersekolah di sana. Akan tetapi, jika ada anak berkebutuhan khusus yang mendaftar di sekolah tersebut, maka sekolah akan tetap menerima. Menurut Permendiknas no. 70 tahun 2009 pasal 1, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Jadi, secara tidak langsung, di sekolah tersebut sudah menerapkan pendidikan inklusi.

Selain itu, terkait dengan sistem pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus, sekolah belum pernah menangani secara langsung karena sampai saat ini belum pernah ada siswa berkebutuhan khusus yang mendaftar di sekolah tersebut. Namun, sekolah tetap memberikan pelayanan pendidikan yang sama dengan siswa lainnya yaitu dengan

(17)

memasukkan siswa tersebut ke kelas bersama siswa yang lainnya dengan pendampingan dari wali kelas, guru BK dan dibantu oleh teman sekelasnya.

E. Implementasi Pendidikan Inklusif di SMA MTA Surakarta

Melalui kegiatan wawancara dengan salah satu guru bagian kurikulum, di SMA MTA Surakarta belum menerapkan pendidikan inklusif, namun apabila terdapat murid yang mendaftar dan lolos seleksi maka akan diterima. Selama ini dalam melaksanakan pembelajaran tidak ada pembedaan antara siswa dengan berkebutuhan khusus ataupun tidak. SMA MTA pernah menerima siswa berkebutuhan khusus seperti siswa tunarungu, tunadaksa, dan dwarfisme. Alhamdulillah siswa berkebutuhan khusus disini dapat mengikuti pembelajaran dan lulus tepat waktu, bahkan salah satu siswa menjadi atlet bulutangkis paralimpik berkat adanya fasilitas dari sekolah.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Ashman, A. & Elkins,J.1994.Educating Children With Spercial Needs. New York : Prentice Hall.

Baker, E.T.1994. Metaanalysis enidence for non- inclusive Educational practices. Disertasi.

Temple University.

Colley, Helen.2003.Mentoring for Social Inclusion. London : Routledge Falmer.

Damri, 2019. Panduan Pembelajaran Inklusi di Sekolah Menengah Pertama.

Fish, J.1985. Educational opportunities for All. London : Inner London Educational Authority.

Jauhari, Muhammad Nurrohman & Irvan, Muchamad. 2018. Implementasi Pendidikan Inklusif sebagai Pendidikan di Indonesia.Jurnal FKIP Unipa Surabaya, Tahun XIV, No. 26.

Johnsen, Berit H dan Miriam D.Skjorten.2003. Pendidikan Kebutuhan khusus; Sebuah Pengantar. Bandung : Unipub.

O’Neil, J.1994.Can inclusion work.A Conversation With James Kauffman and Mara Sapon-Shevin. Educational Leadership. 52(4) 7-11.

PKLK. 2011. Pedoman Umum Penyelengaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Skidmare, David.2004. Inclusion the Dynamic of School Development. New York : Open University Press.

Sunardi. (1995). Kecenderungan Pada Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional UNESCO.1994.The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. Paris : Auth

(19)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1) biodata anggota kelompok

No Nama NIM SMA Asal

1 Fatih Zain Ramadhani K2319031 SMAIT Ihsanul Fikri

2 Isykarima Amalia Vita Noor Izzaty K2319044 SMA N 4 Surakarta

3 Jihan Syarifah Rokhan K2319046 SMA Majlis Tafsir Al Qur'an Surakarta

4 Lia Dwi Setyaningsih K2319052 SMA N 1 Boyolali

5 Lulu Fajrotir Rohmah K2320115 SMA N 1 Welahan

2) identitas sekolah SMA A, SMA B, SMA C, SMA D, dan SMA E

No Nama Sekolah Alamat

1 SMAIT Ihsanul Fikri Jl. Pabelan I, Pabelan, Mungkid, Pabelan Satu, Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah

2 SMA N 4 Surakarta Jl. L. U. Adisucipto No. 1, Manahan, Banjarsari, Manahan, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57139

3 SMA Majlis Tafsir Al Qur'an Surakarta

Jl. Kyai Mojo No.Kel, Semanggi, Kec. Ps. Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57191

4 SMA N 1 Boyolali Jl. Kates No.8, Madumulyo, Pulisen, Kec. Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah 57311

5 SMA N 1 Welahan Jl. Raya Welahan, Dukuh Jeruk Wangi, Kalipucang Kulon, Kec. Welahan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah 59464

3) Instrumen yang digunakan untuk pencarian data implementasi pendidikan inklusif di SMA.

Instrumen yang digunakan untuk pencarian data implementasi yaitu melalui wawancara via whatsapp kepada guru di tiap sekolah yang bersangkutan.

(20)

No. Pertanyaan

1. Apakah sekolah telah menerapkan pendidikan inklusi?

2. Jika tidak, apa alasan sekolah tidak menerapkan pendidikan inklusi?

3. Jika ya, bagaimana penerapan pendidikan inklusi di sekolah?

4. Apakah sekolah menerima siswa berkebutuhan khusus?

5. Bagaimana pelayanan pendidikan terhadap siswa berkebutuhan khusus?

6. Apa saja kendala yang dialami dalam menerapkan pendidikan inklusi?

Referensi

Dokumen terkait

Bagi Kepala Sekolah, agar penyelenggaraan pendidikan inklusi yang dipimpinnya bisa berhasil, dalam pengadaan guru pembimbing khusus (GPK) perlu berkoordinasi dengan

Kompetensi Guru Pendidikan Khusus dalam Seting Sekolah Dasar Penyelenggara Pendidikan Inklusif 1. Bagaimanakah kondisi objektif wewenang guru pendidikan khusus dalam

Selama Ibu bertugas sebagai Guru Pembimbing Khusus pada sekolah inklusi di SD TUMBUH 1 Yogyakarta, apakah Guru Bimbingan Konseling juga seringelakukan konsultasi dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tingkat persepsi guru pendamping khusus, koordinator inklusi, dan guru kelas di sekolah inklusi tentang identifikasi dan

Berdasarkan studi observasi, wawancara dan dokumentasi dengan kepala sekolah (MC), Koordinator inklusi (ADM), ketua inklusi (GR) dan Guru pedidik khusus kelas 7 (PPT),

Pedoman Khusus Penyelenggara Inklusi tahun 2007 tugas guru pembimbing khusus atau guru pendidikan khusus antara lain adalah (1) menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama

Berkaitan dengan guru pendamping khusus, Kemendikbud RI pada pedoman penyelenggaraan kurikulum untuk PDBK di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi dikatakan bahwa jumlah guru

Dampak Pengembangan Diri Pelaksanaan bimbingan teknis Pemenuhan Kebutuhan Guru Pembimbing Khusus Pada Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif ini memberi dampak berupa :  Semakin