• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "I. PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Padi merupakan komoditas strategis nasional dan memiliki sensitivitas yang tinggi ditinjau dari aspek politis, ekonomi, dan kerawanan sosial. Peran strategis padi dalam perekonomian nasional adalah: (1) merupakan bahan pangan pokok bagi 95% lebih penduduk Indonesia dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras lebih dari 55%; (2) sekitar 30% total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras; dan (3) usaha tani padi menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi lebih dari 25,6 juta rumah tangga petani (Suryana, 2005).

Ketersediaan pangan yang "cukup" merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988), dan hal ini sejalan dengan Undang Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Berdasarkan PP tersebut, ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Pemerintah Indonesia dalam kerangka Millenium Development Goals/MDGs, berkewajiban mengurangi angka kemiskinan dan menurunkan penderita kekurangan pangan sebesar 50% pada 2015 dari kondisi tahun 1990. Oleh sebab itu sangat logis dan wajar menjadikan program ketahanan pangan sebagai prioritas utama pembangunan nasional.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan bidang ketahanan pangan merupakan isu strategis yang menjadi salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi (Sen, 1989 dalam Simatupang, 2007). Menurut Timmer (1997), ketahanan pangan adalah salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan.

Tantangan utama dalam penyediaan pangan dihadapkan pada ketersediaan sumber daya lahan yang semakin langka (lack of resources), baik luas maupun kualitas serta konflik penggunaan (conflict of interest) (Pasandaran, 2006). Kelangkaan tersebut disebabkan semakin meningkatnya penggunaan lahan pertanian ke non pertanian yang bersifat permanen (irreversible).

Di Indonesia lahan sawah memegang peranan penting dalam penyediaan pangan khususnya beras, karena lebih dari 90% produksi padi dihasilkan dari

(2)

sistem produksi padi sawah. Sejalan dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, dan pesatnya pembangunan, permasalahan lahan menjadi semakin kompleks. Di satu sisi lahan sangat penting sebagai aset produktif proses produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, pada sisi yang lain, permintaan lahan meningkat secara signifikan untuk keperluan permukiman, industri dan infrastruktur pendukung lainnya, yang memacu percepatan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian.

Secara empiris lahan sawah termasuk lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).

Data Dirjen PLA (2006), menunjukkan luas lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan non pertanian mencapai 110.000 ha tahun-1. Pencetakan sawah baru untuk mengganti peluang produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah membutuhkan biaya besar dan jangka waktu yang panjang, lebih dari 10 tahun (Asyik, 1996, Pasandaran, 2006). Konversi lahan sawah irigasi yang terjadi tidak saja berdampak pada penurunan luas baku sawah, juga dapat menyebabkan rusaknya jaringan irigasi dan terjadinya konversi penggunaan air untuk keperluan non pertanian.

Usaha untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan produktivitas terhambat oleh keterbatasan teknologi, antara lain telah dicapainya batas maksimum potensi hasil varietas, penurunan kualitas lahan karena terdegradasi, semakin terbatasnya sumber daya air, variabilitas iklim dan meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (Sumarno, 2006). Perluasan areal panen melalui peningkatan indeks pertanaman dihadapkan pada keterbatasan jaringan irigasi dan debit air, serta masih rendahnya insentif dari usaha tani padi.

Rendahnya insentif yang diterima petani dapat mempengaruhi keputusan petani untuk beralih ke komoditas lain ataupun mencari sumber pendapatan lain di luar pertanian, sehingga dapat menimbulkan masalah yang lebih kompleks, sehingga usaha tani padi dapat dipandang sebagai alternatif usaha yang terakhir.

Mencukupi kebutuhan pangan merupakan masalah yang sangat kompleks, bersifat multidisiplin dan multisektor, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial oleh satu sektor saja, melainkan dengan pendekatan sistem atau system approach (Eriyatno, 2003). Pembangunan pertanian memerlukan dukungan yang nyata dari lintas sektor, karena 80% keberhasilannya tergantung dari sektor lain, termasuk pentingnya sinergi antara pusat dan daerah dalam era otonomi. Sistem produksi padi mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara sub sistem hulu,

(3)

usaha tani, hilir, dan sub sistem pendukung. Demikan pula keberlanjutan sistem produksi padi dipengaruhi oleh keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan serta teknologi dan infrastruktur baik pada kondisi saat ini maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu pendekatan sistem dinamis sangat cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecenderungan sistem yang seringkali berubah cepat dan mengandung ketidakpastian.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan utama dalam mewujudkan kemandirian pangan berkaitan dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan lebih cepat dari pertumbuhan produksi. Permintaan pangan yang meningkat cepat merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan perubahan selera masyarakat. Sebaliknya, pertumbuhan kapasitas produksi berjalan lambat sebagai akibat adanya kompetisi pemanfaatan lahan dan air dan stagnannya produktivitas padi.

Ketidakseimbangan laju permintaan dan penyediaan, mengakibatkan penyediaan pangan yang berasal dari impor cenderung meningkat.

Sekalipun Indonesia adalah negara produsen beras terbesar ketiga dunia setelah Cina dan India, akan tetapi Indonesia adalah sekaligus konsumen dan pengimpor beras cukup besar (FAO, 2007). Impor beras terbesar terjadi pada tahun 1999 yang mencapai 4,75 juta ton, meskipun secara berangsur-angsur menurun, akan tetapi hal ini membuktikan kemandirian pangan masih rapuh.

Sebaliknya ekspor beras Indonesia adalah yang terendah di Asia Tenggara.

Konsumsi beras penduduk Indonesia relatif masih tinggi, yaitu 139,15 kg (Firdaus et al., 2008; Nainggolan, 2008). Sebagai perbandingan, Thailand dan Jepang dalam dua dasawarsa terakhir telah mampu menurunkan konsumsi beras menjadi 80 kg dan 50 kg kapita-1tahun-1. Beras tidak hanya diperlukan untuk konsumsi langsung tetapi diperlukan sebagai bahan baku agroindustri yang diperkirakan mencapai 23,5% dari kebutuhan konsumsi penduduk dan cadangan/stock pemerintah sebesar 10% dari total kebutuhan konsumsi (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Elastisitas pendapatan masyarakat terhadap konsumsi beras masih positif, yang berarti laju permintaan beras tidak semata- mata disebabkan karena pertambahan penduduk, tetapi juga disebabkan oleh peningkatan pendapatan (Irawan, 2005).

(4)

Konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah yang terus berlanjut, menjadikan upaya peningkatan produksi padi semakin terkendala. Kegiatan usaha tani terdesak ke lahan-lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman padi. Pengelolaan lahan marjinal membutuhkan input yang lebih besar, tetapi produktivitasnya rendah. Selain itu usaha tani padi sawah sebagian besar diusahakan oleh petani kecil berlahan yang sempit (kurang dari 0,4 ha).

Pemilikan lahan yang sempit yang dibarengi rendahnya marjin keuntungan, menjadikan kegiatan usaha tani sebagai alternatif terakhir mata pencaharian penduduk pada umumnya.

Permodalan masih menjadi masalah yang krusial bagi petani padi yang sebagian besar tergolong miskin. Skim kredit yang tersedia untuk petani belum sepenuhnya dapat diakses petani. Hambatan petani dalam mengakses perbankan antara lain karena tidak adanya jaminan (collateral), administrasi perbankan yang kurang dipahami, tingginya cost of transaction dan cara pembayaran bulanan yang tidak sesuai dengan pendapatan petani yang bersifat musiman (Ratnawati, 2009). Akibatnya, proporsi kredit perbankan nasional untuk sektor pertanian masih sangat rendah, yaitu berkisar antara 5,14-5,92% selama kurun waktu 2004-2008 (Ashari, 2009).

Posisi tawar petani yang masih lemah menyebabkan marjin keuntungan yang diterima petani masih rendah. Hal ini terkait dengan banyaknya jumlah rumah tangga petani, skala usahanya yang kecil, lokasinya tersebar sampai ke pelosok, infrastruktur pertanian dan perdesaan yang kurang memadai, dan kurang berkembangnya kelembagaan asosiasi petani. Petani dihadapkan pada pasar masukan usaha tani yang “ologopolistik” dan pasar keluaran usaha tani yang “oligopsonistik”. Secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan, struktur pasar tersebut menciptakan perilaku pasar yang kurang menguntungkan petani yang performanya tercermin dari tingkat harga dimana petani harus membayar masukan yang lebih tinggi dan menerima harga penjualan hasil panen yang lebih rendah dari level normatifnya. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya harga gabah yang diterima petani pada saat panen raya, bahkan di bawah harga pembelian pemerintah (HPP). Sebaliknya, pada periode dimana petani tidak berproduksi, harga gabah melonjak tinggi dan dalam jangka yang panjang, kondisi tersebut biasanya dinikmati oleh sebagian kecil petani dan para tengkulak. Dampak negatif dari fenomena on-and-off produksi padi ini menyebabkan terjadinya fluktuasi harga. Fluktuasi harga yang sangat besar dan tidak menentu dapat

(5)

menjadi salah satu faktor yang tidak merangsang petani untuk meningkatkan produksi. Pada sisi yang lain, harga sarana produksi dan upah tenaga kerja pada saat dimana petani memerlukan biasanya ditawarkan lebih tinggi dari biasanya.

Dunia usaha tidak tertarik untuk berinvestasi pada kegiatan produksi padi, kecuali untuk usaha yang dapat memberikan hasil cepat (quick yielding), dengan alasan kecepatan perputaran modal, stabilitas harga dan kelayakan ekonomi.

Investasi yang lebih memadai adalah pada kegiatan off-farm, seperti produksi pupuk, benih dan pestisida (hulu), dan pengolahan hasil (hilir).

Ketersediaan air terutama di wilayah beriklim kering sering menjadi faktor pembatas untuk meningkatkan produksi padi sawah. Pada musim kemarau debit air sangat rendah. Terjadinya variabilitas iklim menyebabkan kondisi iklim menjadi tidak menentu, dan kondisi ekstrim lebih sering terjadi. Kejadian-kejadian ekstrim, seperti banjir, longsor, musim hujan yang singkat dan musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya sering menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) dan berakibat penurunan produktivitas dan bahkan pada kegagalan panen atau puso.

Usaha tani padi sangat sensitif terhadap perubahan iklim, karena dapat mempengaruhi unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan padi, antara lain: (a) naiknya suhu udara yang berdampak pada unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan dan meningkatnya intensitas kajadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina (Las, 2007), yang dapat menurunkan produktivitas, meningkatnya kehilangan hasil panen akibat kejadian banjir dan kekeringan yang semakin meningkat baik frekuensi maupun intensitasnya, serta meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Kelangkaan lahan (lack of resources) serta konflik penggunaan lahan (comflict of interest) akan menjadi persoalan yang kritis dalam mencapai kemandirian pangan. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian diperkirakan akan terus berlanjut dan bersifat permanen (irreversible), padahal potensi lahan yang sesuai untuk areal sawah di NTB sangat terbatas.

Secara skematis hubungan keterkaitan berbagai permasalahan sistem produksi padi sawah di NTB, disajikan pada Gambar 1.1.

(6)

Gambar 1.1. Keterkaitan permasalahan dalam sistem produksi padi sawah di wilayah beriklim kering mencapai kemandirian pangan.

Dengan memperhatikan keterkaitan berbagai dimensi permasalahan pada Gambar 1.1, maka pertanyaan utama penelitian adalah “Bagaimanakah gambaran aktual sistem produksi padi sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan kebutuhan konsumsi padi yang terus meningkat di NTB?”

Secara spesifik pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi aktual usaha tani padi sawah dan peluang mencapai kondisi optimal pada tipologi lahan sawah yang berbeda?

2. Berapa kebutuhan hidup layak petani di NTB dan berapa kontribusi pendapatan usaha tani padi terhadap kebutuhan hidup layak petani di NTB?

3. Bagaimana kondisi kapasitas produksi dan kebutuhan konsumsi padi di NTB saat ini?

4. Bagaimana indeks dan status keberlanjutan sistem produksi padi sawah dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh untuk mencapai kemandirian pangan berkelanjutan di NTB saat ini?

5. Bagaimana rumusan model dan alternatif skenario untuk penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah pada wilayah beriklim kering mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB?

SISTEM PRODUKSI PADI SAWAH

PERMINTAAN KONSUMSI PADI

Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Kebijakan dan Kelembagaan

Dimensi Teknologi dan Infrastruktur

Luas baku sawah berkurang, sumber dan debit

air berkurang, resiko iklim

meningkat

Pendapatan usaha tani padi

rendah, kontribusinya terhadap KHL petani masih

rendah

Pertumbuhan pendu- duk tinggi, kebutuhan pangan dan lahan meningkat, pengua-

saan lahan sempit, konflik lahan, KHL petani tidak terpenuhi

Kebijakan pembangunan

pertanian dan kelembagaan petani belum

efektif

Produktivitas stagnan, kualitas air dan

jaringan irigasi menurun, infrastruktur

terbatas

Kapasitas Produksi Padi Sawah Menurun

Kebutuhan Konsumsi Padi Meningkat

Feedback Produksi Padi Tidak Mencukupi Kebutuhan, Target Kemandirian Pangan Tidak Tercapai

Feedback

(7)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model untuk penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah pada wilayah beriklim kering mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB.

Secara spesifik penelitian ini bertujuan:

(1) Menganalisis pendapatan dan optimasi usaha tani padi sawah pada tipologi lahan sawah irigasi teknis, semi teknis dan tadah hujan;

(2) Menganalisis kebutuhan hidup layak petani dan menentukan kontribusi pendapatan usaha tani padi terhadap kebutuhan hidup layak petani;

(3) Menganalisis kapasitas produksi dan kebutuhan konsumsi padi untuk menentukan derajat kemandirian pangan;

(4) Menilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi sistem produksi padi sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan;

(5) Menyusun model dan alternatif skenario penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah pada wilayah beriklim kering mendukung kemandirian pangan berkelanjutan.

1.4. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai instrumen perumusan kebijakan dalam hal: (1) staretgi peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum (kebutuhan dasar) penduduk (beras) dari produksi domestik; (2) strategi peningkatan pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup layak minimalnya, dan (3) srategi pengendalian konsumsi beras.

1.5. Kerangka Pemikiran

Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa, yang ditentukan oleh kemampuan produksi dalam negeri dan kebijakan perdagangan pangan domsetik maupun global. Dari sisi kebijakan, Kementerian Pertanian untuk periode 2010-2014 telah menetapkan empat target utama pembangunan pertanian, yaitu: (1) pencapaian swasembada yang berkelanjutan, (2) percepatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (Mentan, 2010).

Pencapaian swasembada yang berkelanjutan akan terwujud apabila lahan pertanian sebagai aset produktif untuk menghasilkan pangan dapat

(8)

dipertahankan kelestariannya secara berkelanjutan. Kesejahteraan petani akan tercapai apabila kebutuhan hidup layaknya dapat terpenuhi. Usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani akan dapat dicapai apabila luas lahan usaha tani yang dikelola mampu memberikan pendapatan yang layak bagi petani. Oleh karena itu luas lahan dan tingkat pendapatan petani menjadi faktor penentu kesejahteraan petani.

Di wilayah beriklim kering seperti NTB, menjaga eksistensi lahan sawah beririgasi sangat penting. Infrastruktur irigasi yang ada di wilayah dengan ketersediaan air terbatas, memiliki kepentingan relatif yang lebih besar dari pada di wilayah lain yang memiliki curah hujan yang lebih tinggi. Efisiensi irigasi, pemanfaatan lahan dan air secara optimal merupakan kata kunci upaya peningkatan produksi padi. Faktor ini menjadi penting mengingat dalam hal sawah, masalah ketersediaan air sama pentingnya dengan ketersediaan lahan.

Lahan sawah memegang peranan yang sangat strategis, karena lebih dari 90% produksi padi di NTB bersumber dari produksi padi sawah, dan usaha tani padi sawah mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 45% (BPS NTB, 2009).

Apabila dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk miskin di perdesaan dengan mata pencaharian bergantung pada sektor pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan dan upaya pengentasan kemiskinan sangat terkait dengan sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam kerangka MDGs yang berkewajiban menurunkan angka kemiskinan sebesar 50% pada tahun 2015 dari kondisi tahun 1990.

Determinan utama produksi padi sawah adalah luas panen dan produktivitas, sedangkan kapasitas produksi padi sawah diproyeksikan dari luas baku sawah, produktivitas dan indeks pertanaman padi sawah (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Sebaliknya, kebutuhan produksi padi diproyeksikan dari jumlah penduduk, konsumsi kapita-1tahun-1, kebutuhan agroindustri, jumlah stock/cadangan pemerintah, kebutuhan benih padi dan jumlah ekspor atau transfer (Rachman et al. 2004). Elastisitas pendapatan masyarakat terhadap konsumsi beras masih positif yang berarti bahwa laju permintaan konsumsi beras sejalan dengan peningkatan pendapatan.

Analisis kebutuhan lahan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan penetapan luas lahan optimum untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum sangat strategis dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mencapai kemandirian pangan secara berkelanjutan. Pemahaman yang

(9)

mendalam tentang dinamika dan kompleksitas sistem produksi padi sawah dan permasalahan kemiskinan petani di perdesaan adalah hal yang mendasari pentingnya penelitian ini dilakukan.

Sistem produksi padi sawah mempunyai keterkaitan yang sangat erat dan saling mempengaruhi antara penyediaan sarana produksi (sub sistem hulu), kegiatan usaha tani (sub sistem on farm), serta pemasaran dan pengolahan hasil (sub sistem hilir), sehingga diperlukan sub sistem pendukung yang memadai untuk mengaturnya. Hal ini mencerminkan peran dan keterlibatan berbagai sektor dan stakeholders dalam sistem produksi padi sawah. Sinergi lintas sektor dan stakeholders baik horizontal maupun vertikal termasuk antara pusat dan daerah dalam era otonomi akan menentukan keberhasilan sistem produksi padi.

Pada sisi yang lain, keberlanjutan sistem produksi padi dipengaruhi oleh keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan serta dimensi teknologi dan infrastruktur baik pada kondisi saat ini (existing condition) maupun kondisi yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

Pemahaman yang mendalam tentang setiap dimensi tersebut sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor yang kunci yang menjadi determinan utama keberlanjutan sistem produksi padi sawah. Dengan mengetahui faktor- faktor kunci tersebut akan memudahkan dalam proses pengambilan keputusan baik pada tataran perencanaan maupun implementasinya. Secara ringkas kerangka pemikiran di atas, divisualisasikan pada Gambar 1.2.

1.6. Kebaharuan Penelitian (Novelty)

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah neraca penyediaan dan kebutuhan beras atau swasembada beras, antara lain: penelitian Mulyana (1998) tentang

”Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas”, bertujuan mengevaluasi dan meramalkan masa depan swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral, multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik.

Mulyana menggunakan analisis model ekonometrika penawaran dan permintaan beras di pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima wilayah, yaitu: Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sisa wilayah Indonesia, sedangkan permintaannya dihitung agregat nasional.

(10)

Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penyusunan model penetapan luas lahan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak petani dan kemandirian pangan Rachman (2001) melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)”. Menurut Rachman, konsumsi beras mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara keseluruhan menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI lebih rendah dibandingkan nasional.

Rachman juga memproyeksi produksi dan kebutuhan konsumsi beras nasional 2005, 2010 dan 2015 berdasarkan data times series 1997-2001, tetapi tidak menggunakan model sistem dinamis.

Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002) melakukan

(11)

”Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015 Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian”, menggunakan analisis ekonometrika. Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia melakukan ”Analisis Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Nasional 2015 Ditinjau Dari Aspek Sosial Kelembagaan Pertanian dan Perdesaan” menggunakan analisis regresi linier (trend analysis).

Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi (energi) tahun 2002-2015 dilakukan analisis berdasarkan angka kecukupan zat gizi dari Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupan ini diterjemahkan dalam bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang.

Menurut hasil penelitian ini, pendekatan produksi dan availability masih menjadi tema yang dianggap mampu menjamin ketahanan pangan.

Irawan (2005) melakukan ”Analisis Ketersediaan Beras Nasional, Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”, menggunakan data sekunder.

Pengolahan data dengan menggunakan sistem dinamis (Powersim). Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanan, yaitu tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran.

Nurmalina (2007) meneliti tentang ”Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Penelitian menitikberatkan neraca ketersediaan hanya pada pangan pokok beras pada tingkat nasional dan regional dengan waktu analisis 2005-2015. Penilaian indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras dianalisis pada tingkat nasional dan regional menggunakan teknik ordinasi Rap-Rice dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Tingkat regional mencakup beberapa wilayah, yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya (Bali, NTB, NTT, Maluku dan Irian). Metode MDS memfokuskan pada lima dimensi analisis, yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagan dan teknologi. Sedangkan dimensi kebijakan dan infrastruktur tidak dimasukkan dalam analisis ini.

Penentuan faktor-faktor kunci keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Faktor yang berpengaruh terhadap sistem ketersediaan beras yang berkelanjutan adalah pencetakan sawah, konversi lahan, kesesuaian lahan, penduduk, produksi, produktivitas dan konsumsi penduduk kapita-1. Menurut Nurmalina, kebijakan perbaikan faktor kunci dari sisi penyediaan (produktivitas, produksi, pencetakan sawah dan kesesuaian lahan) memberikan hasil kinerja

(12)

model lebih baik terhadap neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan di masa yang akan datang, dibandingkan dengan kebijakan perbaikan pada sisi kebutuhan (penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan konsumsi kapita-1).

Perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang sekaligus merupakan kebaruan (novelty) penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

(1) Tingkat agregasi penelitian-penelitian sebelumnya adalah nasional dan regional, sedangkan penelitian ini fokus pada tingkat agregasi provinsi yang diperkuat oleh data dan informasi sistem produksi padi sawah pada tingkat mikro (usaha tani).

(2) Penelitian-penelitian sebelumnya membahas masalah neraca penyediaan beras dan kebutuhan konsumsi beras, sedangkan penelitian ini mencakup permasalahan yang lebih luas, yaitu membahas sistem produksi padi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pada agregasi provinsi, dan peningkatan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) petani.

(3) Penelitian sebelumnya dalam mencapai tujuan menggunakan analisis ekonometrika, regresi linier dengan pendekatan yang parsial. Analisis sistem dinamis digunakan oleh Irawan (2005) dengan mengabaikan pengaruh faktor lingkungan. Nurmalina (2007) menggunakan analisis keberlanjutan dan analisis sistem dinamis. Dalam penelitian ini menggabungkan analisis MDS, analisis input-output, optimasi, analisis KHL dan Lm petani dan analisis sistem dinamis.

(4) Output yang dihasilkan Nurmalina (2007) adalah model neraca penyediaan dan kebutuhan beras regional dengan tiga skenario, yaitu skenario I intensifikasi plus dengan tiga alternatif, skenario II ekstensifikasi plus dan skenario III penekanan penduduk dan konsumsi kapita-1. Penelitian ini menghasilkan model penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan dengan tiga skenario, yaitu skenario pesimis, moderat dan optimis masing-masing dengan tiga alternatif.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi novelty penelitian ini adalah dihasilkannya rekayasa Model Penunjang Keputusan Berbasis Data Kuantitatif yang mengintegrasikan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan- kelembagaan dan teknologi-infrastruktur dalam sistem produksi padi sawah dan permintaan konsumsi padi untuk mencapai kemandirian pangan yang berkelanjutan.

Gambar

Gambar 1.1. Keterkaitan permasalahan dalam sistem produksi padi sawah di wilayah beriklim kering mencapai kemandirian pangan.
Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penyusunan model penetapan luas lahan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak petani dan kemandirian pangan Rachman (2001) melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)”

Referensi

Dokumen terkait

Pengendalian derivatif (D) menggunakan tingkat perubahan sinyal error sebagai elemen prediksi pada aksi pengendalian. Komponen derivatif tidak dapat digunakan sebagai

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Kelompok bahan baku yang termasuk ke dalam kelompok sumber protein utama dan kelompok yang bukan sumber protein utama (sebut saja sebagai kelompok sumber protein

dalam Perbankan Syariah$ tercatat hingga saat ini sudah C% "at8a yang dikeluarkan .S- ,+I terkait ;embaga Keuangan Syariah ,aka$ dari "at8a?"at8a .S- dan

Pemberian nama adat merupakan sebuah identitas masyarakat di Desa Julah yang secara khusus sebagai tanda pengenalnya di desa ataupun luar desa. Nama adat ini hanya ada

Dalam kegiatan penelitian ini dilakukan metode wawancara dengan para teknisi dari PT. Nutech Integrasi yang diberikan tanggung jawab oleh perusahaan dalam menangani sebuah

A1, A4, A5, B1, B2, B3 6 6 Mengidentifikasi peran bahasa dalam pembangunan bangsa Peran bahasa dalam pembangunan bangsa Ceramah dan Diskusi Ketepatan resume,

Pada dasarnya peran advokat pada tingkat pemeriksaan di muka sidang adalah membela tersangka/terdakwa dan mengikuti jalannya proses persidangan sehingga setelah