• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab IV Data dan Hasil Pembahasan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

IV.1. Seeding dan Aklimatisasi

Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme pada limbah cair pulp kakao yang akan diolah. Kultur mikroorganisme yang dibiakkan berasal dari limbah pulp kakao itu sendiri mengingat pada limbah kakao telah mengandung sejumlah mikroorganisme sehingga diharapkan mikroorganisme tersebut telah teradaptasi. Pengolahan limbah dengan konsentrasi organik tinggi memerlukan mikroorganisme dalam jumlah yang cukup maka dilakukan seeding untuk menumbuhkan mikroorganisme dalam jumlah banyak. Seeding dilakukan secara bertahap diawali dengan substrat larutan gula 100% tanpa pencampuran limbah atau dengan rasio volume larutan gula:limbah sebesar 100:0. Setelah dicapai kondisi steady maka dilanjutkan dengan aklimatisasi dengan perandingan volume larutan gula:limbah sebesar 70:30, lalu 50:50, hingga 0:100 yaitu substrat berupa limbah 100% tanpa pencampuran larutan gula.

0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000

0 1 2 3 4 5

Hari ke-

COD (mg/L)

Gambar IV.1. Penyisihan COD pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (100:0)

Pada tahap seeding dan aklimatisasi ini dilakukan analisa Chemical Oxygen Demand (COD) dan Volatile Suspended Solid (VSS) untuk mengetahui penurunan

(2)

kandungan senyawa organik dari limbah serta peningkatan jumlah mikroorganisme dalam reaktor. Tahap seeding dihentikan jika penurunan COD telah berada pada kondisi steady state. Tahap pertama dilakukan dengan membuat larutan gula 100 % b/v yang dikondisikan separti limbah cair pulp kakao yaitu sebesar 100.000 mg/L COD. Reaktor diisi dengan 4,5 L campuran yang terdiri dari 20 % inokulum/kultur campur mikroorganisme (mix culture) dan 80% larutan gula. Untuk pengkondisian lingkungan anaerob dilakukan flushing dengan nitrogen selama 15 menit. Pengambilan sampel dilakukan setiap 6 jam karena dikhawatirkan terjadi penurunan yang cepat sehingga kondisinya tetap terpantau.

Dari hasil pengukuran COD dapat dilihat dari Gambar IV.1. bahwa terjadi penurunan COD dari 149.300 mg/L menjadi 61.667 mg/L dalam waktu 5 hari dengan laju penyisihan COD sebesar 17.526,67 mg/L/hari (Tabel IV.1).

Tabel IV.1. Data Hasil Pengamatan Selama Seeding dan Aklimatisasi

Reaktor (rasio volume)

Awal (mg/L COD)

Akhir (mg/L COD)

Efisiensi Removal

(%)

Laju Penyisihan (mg/L)/hari larutan gula:limbah (100:0) 149.300 61.667 58,70 17.526,67 larutan gula:limbah (70:30) 111.667 63.000 43,58 6.083,33 larutan gula:limbah (50:50) 114.286 45.627 60,08 4.038,73 larutan gula:limbah (0:100) 116.096 58.974 49,20 2.856,10

Reaktor dihentikan setelah kondisi steady yaitu tidak terjadi lagi penurunan COD yang signifikan. Pengukuran VSS tidak dapat dijadikan patokan karena nilainya yang fluktuatif. Hal ini terjadi karena pertumbuhan mikroorganisme di dalam reaktor membentuk flok dan biofilm (Gambar IV.2) yang menempel pada dinding reaktor sehingga tidak terjadi pencampuran yang homogen di dalam reaktor. Pada hari kelima nilai VSS mengalami kenaikan menjadi 1.824 mg/L setelah sebelumnya mengalami penurunan (Gambar IV.3).

Biofilm merupakan salah satu bentuk hidup mikroorganisme yang tumbuh dan menempel di suatau permukaan dan dikelilingi oleh senyawa berlendir yang merupakan hasil sekresinya. Biofilm biasanya tumbuh di permukaan yang kontak

(3)

dengan air dan hampir 99% bakteri hidup di komunitas biofilm (http://www.edstrom.com dalam Prameswari, 2004). Acetobacter aceti sebagai salah satu bakteri yang berperan dalam fermentasi biji cokelat dan diperkirakan terdapat di dalam limbah pulp kakao juga mampu membentuk biofilm (Adams, 1997).

Gambar IV.2. Biofilm Mikroorganisme yang Terbentuk pada Reaktor Selama Percobaan

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

0 1 2 3 4 5

Hari ke-

VSS (mg/L)

Gambar IV.3. Fluktuasi Jumlah VSS pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (100:0)

Pembentukan flok dan biofilm ini mengakibatkan jumlah mikroorganisme yang tersuspensi di dalam limbah menjadi lebih sedikit. Sedangkan pengukuran VSS

Biofilm

Mikroorganisme

(4)

didasarkan pada materi padatan yang tersuspensi di dalam limbah sehingga nilainya menjadi lebih kecil. Pada saat pengukuran VSS diusahakan sampel yang diambil hanya limbah dengan materi padatan yang tersuspensi saja tidak mengandung flok maupun biofilm namun kadangkala flok ikut terambil sehinga nilai VSS menjadi berfluktuasi.

Penelitian dilanjutkan dengan menambahkan limbah ke dalam larutan gula dengan perbandingan volume gula dan limbah 70:30. Kultur mikroorganisme yang diperoleh dari hasil aklimatisasi tahap pertama (20% dari volume reaktor atau sebesar 900 mL) dimasukkan ke dalam reaktor kemudian ditambahkan campuran larutan gula dan limbah (70:30) sebanyak 80% dari volume reaktor (3.600 mL).

Setelah dilakukan flushing dengan nitrogen selama 15 menit maka diambil sampel sebagai t0. Sama halnya seperti pada aklimatisasi tahap pertama pengukuran VSS dan COD dilakukan setiap24 jam hingga kondisi steady state.

0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Hari ke-

COD (mg/L)

Gambar IV.4. Penyisihan COD pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (70:30)

Dari Gambar IV.4. dapat dilihat bahwa terjadi penurunan COD dari 111.667 mg/L menjadi 63.000 mg/L pada hari ke-8 dengan laju penyisihan sebesar 6.083,33 mg/L/hari. Kondisi steady state sebenarnya telah terjadi pada hari kelima namun dilakukan penambahan waktu pengamatan untuk melihat kemungkinan terjadinya

(5)

penurunan nilai COD. Seperti halnya pada aklimatisasi tahap pertama, nilai VSS pada tahap aklimatisasi kedua ini cenderung mengalami kenaikan dan penurunan (Gambar IV.5.). Hal tersebut dapat terjadi mengingat kondisi larutan yang tidak homogen karena terbentuknya flok dan sebagian dari mikroorganisme menempel pada dinding reaktor membentuk lapisan biofilm. Setelah terjadi kondisi steady maka pengoperasian reaktor dihentikan, aerator dimatikan dan dilakukan pengendapan selama beberapa jam. Kemudian dilakukan pengambilan kultur mikroorganisme dari reaktor untuk digunakan dalam tahap aklimatisasi selanjutnya. Pada tahap ketiga ini perbandingan campuran larutan gula dan limbah adalah sebesar 50:50. Hasil analisis COD dan VSS dapat dilihat pada Gambar IV.6. dan IV.7.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Hari ke-

VSS (mg/L)

Gambar IV.5. Fluktuasi Jumlah VSS pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (70:30)

Pada tahap ketiga aklimatisasi terjadi peningkatan waktu reaksi namun nilai COD pun mengalami penurunan dengan laju penyisihan 3.814,35 mg/L/hari. Dengan efisiensi penyisihan sebesar 60,08 % pada akhir periode operasi nilai COD mengalami penurunan menjadi 45.627 mg/L dari 114.268 mg/L. Penambahan jumlah waktu reaksi dikarenakan jumlah limbah yang ditambahkan ke dalam larutan menjadi lebih tinggi nilainya sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mengolahnya. Untuk mencapai nilai sekitar 60.000 mg/L seperti pada tahap pertama dan kedua dibutuhkan waktu 8 hari, dengan nilai COD sebesar 67.708

(6)

mg/L. Pada hari ke-9 COD mengalami penurunan yang cukup besar, sehingga untuk mencapai kondisi steady dibutuhkan waktu selama 18 hari dengan nilai akhir COD sebesar 45.627 mg/L.

0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000

0 5 10 15 20

Hari ke-

COD (mg/L)

Gambar IV.6. Penyisihan COD pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (50:50)

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0 5 10 15 20

Hari ke-

VSS (mg/L)

Gambar IV.7. Fluktuasi Jumlah VSS pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (50:50)

Aklimatisasi dilanjutkan dengan mengganti reaktor dengan kultur dari tahap ketiga ini dan substrat berupa limbah pulp kakao tanpa penambahan larutan gula karena dari data yang diperoleh sebelumnya diharapkan mikroorganisme telah

(7)

teradaptasi pada limbah tanpa ada penambahan larutan gula. Hal tersebut juga dilakukan untuk mempersingkat waktu aklimatisasi. Hasil analisis COD dan VSS dapat dilihat pada Gambar IV.8. dan IV.9.

0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

COD (mg/L)

Gambar IV.8. Penyisihan COD pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (0:100)

Setelah dilakukan pengamatan selama 20 hari dan telah mencapai kondisi steady, reaktor dihentikan pada nilai COD 58.974 mg/L karena sudah tidak terjadi penurunan atau kenaikan nilai COD yang signifikan. Seperti yang dikatakan oleh Chairul (2001), perubahan nilai COD yang relatif kecil yaitu kurang dari 10%

berarti bahwa kondisi yang dicapai sudah cukup tunak. Waktu reaksi menjadi lebih panjang karena limbah yang diolah merupakan limbah murni tanpa ada pencampuran larutan gula sehingga mikroorganisme pengolah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguraikan senyawa-senyawa yang terdapat dalam limbah.

Semakin banyak persentase limbah yang ditambahkan maka semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk mencapai steady state. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme dalam melakukan metabolisme. Glukosa merupakan senyawa sederhana yang lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme sedangkan limbah pulp kakao yang ditambahkan dalam proses aklimatisasi ini memiliki kandungan senyawa organik yang lebih kompleks.

(8)

Selain mengandung glukosa, limbah pulp kakao juga mengandung senyawa- senyawa lain seperti sukrosa, pati, pektin, protein, asam-asam volatile dan non volatile serta beberapa mineral dalam jumlah kecil (Rohan, 1963). Ketika reaktor mulai ditambahkan dengan limbah pulp kakao, waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi tunak menjadi lebih lama dikarenakan kandungan senyawa organik limbah lebih kompleks sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengubah senyawa tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana

.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

0 5 10 15 20

Hari ke-

VSS (mg/L)

Gambar IV.9. Fluktuasi Jumlah VSS pada Aklimatisasi Reaktor dengan Perbandingan Volume Larutan Gula:Limbah (0:100)

IV.2. Pengoperasian Reaktor CBR – Anaerob

Setelah proses aklimatisasi selesai maka diperoleh mikroorganisme yang telah teradaptasi pada limbah dengan jumlah yang relatif banyak untuk digunakan pada tahap pengoperasian CBR – anaerob.

IV.2.1. Pengaruh Kehadiran O2 Terhadap Pembentukan Asam Asetat

Pada percobaan pertama digunakan dua buah reaktor flexyglass berkapasitas 6 L.

Kondisi limbah dan kultur kedua reaktor relatif sama masing-masing sebanyak 4,5 L dengan perbandingan volume kultur : limbah sebesar 20 : 80 seperti yang diperlihatkan pada Gambar IV.10. Pada penelitian ini dilakukan pemberian flushing gas nitrogen terhadap salah satu reaktor (reaktor B) selama 10 menit di awal periode operasi. Waktu reaksi adalah selama 20 hari mengingat pada tahap

(9)

aklimatisasi dengan beban COD yang terdiri dari 100 % limbah membutuhkan waktu selama 20 hari.

Gambar IV.10 Reaktor CBR pada Percobaan I

Tabel IV.2. Penyisihan Konsentrasi COD

Reaktor Awal (mg/L COD)

Akhir (mg/L COD)

Efisiensi Removal

(%)

Laju Penyisihan (mg/L)/hari A - I 130.769,23 62.745,10 52,02 3.401,21 B - I 130.769,23 68.627,45 47,52 3.107,09 A - II 130.719,95 81.699,35 37,50 2.450,98 B - II 130.719,95 75.163,40 42,50 2.777,78

ket: A-I (dengan O2); B-I (tanpa O2); A-II (dengan H2); B-II (tanpa H2)

Pada tahap operasi ini selain melakukan pengukuran nilai COD dan VSS juga dilakukan pengukuran pH, turbiditas, konsentrasi alkohol dalam hal ini etil alkohol atau etanol, konsentrasi asam asetat, TAV setiap 24 jam serta pengukuran komposisi gas pada periode waktu tertentu. Setelah dilakukan pengoperasian reaktor selama 20 hari dan pengambilan sampel maka reaktor dihentikan.

Sebelum Pengoperasian Reaktor (t0) Setelah Pengoperasian Reaktor (t20)

(10)

Hasil pengukuran COD kedua reaktor diplotkan ke dalam grafik seperti pada Gambar IV.11. Dari gambar terlihat bahwa terjadi penurunan COD pada kedua reaktor namun tidak terlalu memperlihatkan perbedaan yang berarti yaitu berkisar pada nilai 60.000 mg/L. Reaktor A yaitu reaktor tanpa flushing gas nitrogen memberikan laju penyisihan relatif yang lebih tinggi yaitu sebesar 3.401,21 mg/L/hari (Tabel IV.2).

0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

COD (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran O2) Reaktor B (tanpa kehadiran O2)

Gambar IV.11. Penyisihan COD Limbah Cair Kakao pada Percobaan I selama 20 Hari

Seperti halnya pada saat seeding dan aklimatisasi, nilai VSS kedua reaktor juga mengalami perubahan yang berfluktuasi dan di akhir periode reaksi nilai VSS cenderung mengalami penurunan (Gambar IV.12.). Hal tersebut tidak berarti bahwa jumlah sel mikroorganisme yang berperan dalam proses jumlahnya sedikit.

Namun seperti telah disebutkan dalam sub bab sebelumnya bahwa mikroorganisme yang berasal dari limbah pulp kakao ini memiliki kecenderungan untuk membentuk biofilm pada dinding reaktor dan lapisan pada permukaan atas reaktor serta membentuk flok di dalam cairan limbah sehingga hasil pengukuran tidak merepresentasikan jumlah mikroorganisme yang tersuspensi di dalam reaktor karena mikroorganisme tersebut tidak tersuspensi secara homogen di dalam cairan limbah. Selain itu juga terjadi kematian mikroorganisme akibat adanya kompetisi di dalam reaktor dan terbentuknya metabolit sekunder seperti

62.745,10 130.769,23

68.627,45

(11)

etanol yang bersifat desinfektan sehingga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan mikroorganisme.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

VSS (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran O2) Reaktor B (tanpa kehadiran O2)

Gambar IV.12. Fluktuasi Jumlah VSS Limbah Cair Kakao pada Percobaan I selama 20 Hari

Tabel IV.3. Laju Penyisihan Etanol

Reaktor Tertinggi (mg/L COD)

Terendah (mg/L COD)

Efisiensi Penyisihan

(%)

Laju Penyisihan

(%) A - I 21.562,50 9.241,07 57,14 770,09 B - I 21.973,21 14.375,00 34,58 474,89 A - II 20.125,00 4.415,18 78,06 1.122,13 B - II 17.455,36 4.107,18 76,47 834,26

ket: A-I (dengan O2); B-I (tanpa O2); A-II (dengan H2); B-II (tanpa H2)

Penurunan nilai VSS yang berfluktuasi juga didukung oleh nilai turbiditas kedua reaktor seperti dapat dilihat pada Gambar IV.13. Pengukuran nilai turbiditas dilakukan dengan Turbidimeter. Tingkat kekeruhan reaktor menunjukkan materi organik maupun anorganik yang tersuspensi di dalam reaktor yang diwakili oleh persentase nilai turbiditas. Dari grafik pada Gambar IV.13. tersebut diperlihatkan bahwa turbiditas atau kekeruhan kedua reaktor mengalami penurunan selama periode reaksi. Penurunan tersebut diakibatkan oleh terjadinya degradasi materi organik yang terdapat di dalam reaktor juga akibat terbentuknya biofilm dan flok sehingga mengurangi jumlah mikroorganisme yang tersuspensi di dalam reaktor.

2.006,25 2.020,83

810,00 1.030,0

(12)

Dari Gambar IV.10 terlihat adanya perubahan warna dan kekeruhan limbah cair pulp kakao. Pada awal percobaan kedua reaktor berwarna coklat keruh, setelah dioperasikan selama 20 hari limbah berubah menjadi lebih jernih. Reaktor A memperlihatkan tingkat kekeruhan yang lebih rendah dibandingkan reaktor B dengan intensitas warna yang lebih pekat.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Turbiditas (%)

Reaktor A (dengan kehadiran O2) Reaktor B (tanpa kehadiran O2)

Gambar IV.13. Penyisihan Persentase Turbiditas Limbah Cair Kakao pada Percobaan I selama 20 Hari

0 5000 10000 15000 20000 25000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran O2) Reaktor B (tanpa kehadiran O2)

Gambar IV.14. Perubahan Konsentrasi Etanol Limbah Cair Kakao pada Percobaan I selama 20 Hari

1.850

1.750

1.125

495

1.663,39

9.241,07 14.375,00

1.704,46 21.562,50

21.973,21

(13)

Selain pengukuran nilai VSS dan COD, juga dilakukan pengukuran konsentrasi etanol dan asam asetat. Pada awal periode reaksi terjadi peningkatan konsentrasi etanol, konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada hari keempat oleh reaktor B yaitu sebesar 21.973,21 mg/L (Gambar IV.14). Setelah itu konsentrasi etanol mulai mengalami penurunan, penurunan konsentrasi etanol terbesar terjadi pada reaktor A sebesar 57,14% dengan laju penyisihan 770,09 mg/L/hari, sedangkan reaktor B mengalami penurunan sebesar 34,58 % dan laju penyisihan 474,89 mg/L/hari (Tabel IV.3).

Penurunan konsentrasi etanol ini disertai dengan peningkatan konsentrasi asam asetat karena terjadi pembentukan asam asetat yang berasal dari etanol. Seperti telah disebutkan pada Bab II bahwa asam asetat dapat terbentuk dari etanol oleh bakteri asam asetat melalui dua jalur yaitu jalur aerob maupun anaerob.

Pembentukan asam asetat secara aerob melalui oksidasi etanol membentuk asam asetat dan air, sedangkan secara anaerob asam asetat dapat terbentuk dari reaksi etanol dengan air menghasilkan asam asetat dan H2.

Pada awal penelitian terjadi fermentasi glukosa menjadi etanol. Pembentukan etanol tertinggi berlangsung pada awal periode reaksi terutama pada hari keempat.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wang et al., (1979) yang menyebutkan bahwa pembentukan etanol tertinggi terjadi dalam 4-5 hari kemudian laju kecepatan pembentukan etanol semakin lama akan semakin berkurang. Prescott &

Dunn (1980) juga mengemukakan bahwa pada umumnya proses fermentasi etanol berlangsung selama 48 – 72 jam. Pada penelitian ini di awal proses hingga hari keempat terjadi peningkatan konsentrasi etanol, seperti halnya pada penelitian yang dilakukan oleh Prameswari (2004) yang menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae, konsentrasi etanol mengalami peningkatan di awal periode reaksi hingga hari kelima (120 jam), kemudian terjadi penurunan karena etanol diubah menjadi asam asetat.

Pada reaktor A terjadi perubahan dari etanol menjadi asetat secara cepat melalui reaksi aerob karena pada reaktor A masih terdapat oksigen (dapat dilihat pada

(14)

Gambar IV.18). Pada reaktor B reaksi mulai bergeser ke arah anaerob yang ditandai dengan terbentuknya gas H2 dalam reaktor (Gambar IV.19) sehingga reaksi pembentukan asam asetat dari etanol berlangsung secara anaerob dan berjalan lambat.

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

TAV (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran O2) Reaktor B (tanpa kehadiran O2)

Gambar IV.15. Pembentukan TAV Limbah Cair Kakao pada Percobaan I selama 20 Hari

Dalam bab sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam proses anaerob akan terbentuk asam-asam volatil rantai pendek seperti asam asetat, propionat, dan butirat. Pembentukan asam asetat dan asam-asam volatil lainnya dapat diketahui dari hasil pengukuran Total Asam Volatil (TAV). Gambar IV.15 memperlihatkan konsentrasi TAV sebagai asam asetat yang terukur selama penelitian berlangsung.

TAV kedua reaktor memperlihatkan nilai yang berbeda, pada reaktor A terjadi pebentukan TAV yang sangat cepat dibandingkan dengan reaktor B. Dari Gambar IV.16. terlihat bahwa peningkatan konsentrasi TAV sebanding dengan peningkatan konsentrasi asam asetat. Sebagian besar asam volatil yang dihasilkan pada penelitian ini adalah asam asetat yang memberikan kontribusi bagi peningkatan konsentrasi TAV. Pada kondisi aerob dengan kehadiran O2 (reaktor A) pembentukan asam asetat dari etanol berlangsung secara cepat dengan laju pembentukan TAV sebesar 1.053,18 mg/L sedangkan pada reaktor dengan kondisi

12.248,46 14.691,63

18.465,48 33.311,97

(15)

anaerob (reaktor B) pembentukan asetat cenderung lebih lambat sebesar 188,68 mg/L (Tabel IV.4).

Tabel IV.4. Laju Pembentukan TAV

Reaktor Awal (mg/L COD)

Akhir (mg/L COD)

Efisiensi Pembentukan

(%)

Laju Pembentukan

(mg/L)

A - I 12.248,46 33.311,97 63,23 1.053,18

B - I 14.691,93 18.465,48 20,44 188,68

A - II 12.078,66 23.529,21 48,67 572,53

B - II 14.778,48 23.620,02 37,43 442,08

ket: A-I (dengan O2); B-I (tanpa O2); A-II (dengan H2); B-II (tanpa H2)

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi Asam Asetat (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran O2) Reaktor B (tanpa kehadiran O2)

Gambar IV.16. Pembentukan Asam Asetat Limbah Cair Kakao pada Percobaan I selama 20 Hari

Pembentukan asam asetat pada kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar IV.16.

Pada awal periode reaksi cenderung tidak terlihat adanya pembentukan asam asetat atau jumlahnya sangat sedikit sekali. Peningkatan konsentrasi asam asetat mulai terlihat setelah hari kelima karena pada hari pertama hingga hari kelima masih terjadi fermentasi glukosa menjadi etanol. Konsentrasi asam asetat tertinggi diperoleh reaktor A yang menghasilkan asam asetat sebesar 27.517,7 mg/L dengan laju pembentukan sebesar 780,14 mg/L/hari. Pada reaktor B dihasilkan asam asetat sebesar 15.035,5 mg/L dengan laju pembentukan sebesar 156,03 mg/L/hari (Tabel IV.5).

11.631,21

11.489,36

15.035,46 27.517,73

(16)

Tabel IV.5. Laju Pembentukan Asam Asetat

Reaktor Awal (mg/L COD)

Akhir (mg/L COD)

Efisiensi Pembentukan

(%)

Laju Pembentukan

(mg/L)

A - I 11.914,89 27.517,73 56,70 780,14

B - I 11.914,89 15.035,46 20,75 156,03

A - II 11.347,52 21.482,52 47,18 533,42

B - II 11.347,52 21.650,35 47,59 542,25

ket: A-I (dengan O2); B-I (tanpa O2); A-II (dengan H2); B-II (tanpa H2)

3,66 3,68 3,7 3,72 3,74 3,76 3,78 3,8 3,82 3,84 3,86

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

pH

Reaktor A (dengan kehadiran O2) Reaktor B (tanpa kehadiran O2)

Gambar IV.17. Penurunan pH Limbah Cair Kakao pada Percobaan I selama 20 Hari

Pembentukan asam asetat yang cepat pada reaktor A terjadi melalui reaksi aerob yang ditandai dengan kehadiran O2 di dalam reaktor. Pada reaktor B terjadi pembentukan asam asetat yang sangat lambat karena knsentrasi oksigen di dalam reaktor sangat kecil akibat dilakukannya flushing gas nitrogen sehingga reaksi yang terjadi mulai bergesar ke arah anaerob. Kondisi anaerob pada reaktor (dan kehadiran ragi di dalam reaktor) tanpa diberi treatment lanjutan mengakibatkan terjadinya pembentukan etanol yang terus menerus sedangkan pembentukan asam asetat yang terjadi dari etanol berlangsung secara lambat. Konsentrasi asam asetat yang terbentuk berbanding terbalik dengan derajat keasaman yang diwakili oleh

3,83 3,84

3,75

3,67

(17)

nilai pH tiap reaktor. Semakin tinggi konsentrasi asam asetat yang terbentuk maka akan menurunkan nilai pH reaktor tersebut (Gambar IV.17).

Pengukuran komposisi gas dengan Kromatografi Gas di Departemen Teknik Kimia ITB, hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Lampiran K. Gambar IV.18. dan IV.19. memperlihatkan konsentrasi beberapa gas di dalam reaktor.

Pada Gambar IV.19 terlihat bahwa pada saat t0, konsentrasi gas O2 di dalam reaktor yang di-flushing dengan nitrogen (reaktor B) nilainya relatif rendah.

sedangkan reaktor A yang tidak di-flushing dengan nitrogen menunjukkan konsentrasi O2 yang cukup tinggi yaitu sebesar 14,1975 % v/v. Pada akhir reaksi, konsentrasi O2 reaktor B mengalami penurunan menjadi 2,7908 % v/v sedangkan pada reaktor A masih relatif tinggi namun mengalami penurunan menjadi 9,6232

% v/v.

Kehadiran O2 di dalam reaktor mempengaruhi alur pembentukan asetat. Pada reaktor A dengan konsentrasi O2 yang relatif lebih tinggi, pembentukan asam asetat dari etanol terjadi lebih cepat dan berlangsung secara aerob. Konsentrasi O2

yang rendah pada reaktor B mengakibatkan pembentukan asam asetat dari etanol terjadi secara anaerob dan berlangsung lebih lambat.

0 20 40 60 80 100

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi Gas (%)

CO2 A O2 A N2 A

Gambar IV.18. Komposisi Gas Reaktor A pada Percobaan I selama 20 Hari

89,3782

28,43

14,20 57,37

0,99 9,62

(18)

Konsentrasi N2 Reaktor B pada awal reaksi (t0) mencapai lebih dari 80 % v/v sedangkan reaktor A yang tidak di-flushing memiliki konsentrasi N2 yang relatif rendah yaitu sebesar 57,3702 % v/v namun pada akhir reaksi konsentrasi N2 di dalam kedua reaktor relatif sama. Pada reaktor B terjadi sedikit perbedaan yaitu terjadinya penurunan konsentrasi gas N2, penurunan tersebut disertai dengan peningkatan konsentrasi gas CO2. Konsentrasi CO2 reaktor cenderung mengalami penurunan pada reaktor A namun tidak demikian halnya reaktor B. Pada reaktor B konsentrasi CO2 cenderung meningkat di pertengahan reaksi dan mengalami penurunan di akhir periode reaksi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada reaktor B terjadi pembentukan etanol dari glukosa yang relatif cukup tinggi jika dibandingkan dengan ketiga reaktor yang lain, sehingga menghasilkan CO2 yang tinggi pula.

0 20 40 60 80 100

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi Gas (%)

CO2 H2 O2 N2

Gambar IV.19. Komposisi Gas Reaktor B pada Percobaan I selama 20 Hari

Pada reaktor A tidak ditemukan adanya gas H2, sedangkan pada reaktor B ditemukan adanya gas H2 pada hari ke 12 yaitu sebesar 0,0039 % v/v. Kehadiran gas H2 pada reaktor tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya bakteri penghasil H2 di dalam reaktor. Seperti disebutkan dalam Grady & Lim (1980) bahwa di dalam proses anaerob terdapat bakteri penghasil hidrogen yang termasuk dalam kelompok bakteri non-metanogenik. Bitton (1994) juga mengemukakan bahwa terdapat kelompok bakteri fermentatif asidogenik dan bakteri asetogenik yang

85,85 85,26

11,36 10,72

2,79 0,0039

0,00 4,02

0,00

(19)

menghasilkan H2 dalam proses anaerob. Kehadiran H2 ini menunjukkan bahwa pada reaktor B telah masuk ke dalam tahap anaerob. Tidak dilakukannya treatment lanjutan pada reaktor B mengakibatkan terdapat kemungkinan pembentukan asam asetat terhambat karena kehadiran H2. Kehadiran H2 akan mengakibatkan tekanan hidrogen parsial menjadi meningkat, tekanan hidrogen parsial di atas 10-4 akan mengakibatkan pembentukan asam asetat menjadi terhambat.

IV.2.2. Pengaruh Kehadiran H2 dalam Pembentukan Asam Asetat

Seperti halnya pada pengoperasian tahap pertama, pada tahap operasi kedua juga digunakan reaktor flexyglass dengan kapasitas 6 L. Pada percobaan kedua ini digunakan dua buah reaktor dengan kondisi limbah dan mikroorganisme yang relatif sama dengan yang digunakan pada percobaan pertama. Perbedaan yang terjadi adalah pada variasi pemberian flushing pada reaktor. Pemberian flushing gas nitrogen dilakukan terus-menerus pada salah satu reaktor yaitu reaktor B untuk dibandingkan dengan reaktor A, yaitu reaktor yang tidak diberikan flushing gas nitrogen. Waktu reaksi adalah selama 20 hari. Pada tahap operasi dilakukan pengukuran harian nilai COD, VSS, turbiditas, konsentrasi etanol, TAV, konsentrasi asam asetat, pH, serta pengukuran komposisi gas pada periode waktu tertentu.

Gambar IV.20 Reaktor CBR pada Percobaan II

Sebelum Pengoperasian Reaktor (t0) Setelah Pengoperasian Reaktor (t20)

(20)

Hasil pengukuran COD kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar IV.21. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terjadi penurunan COD pada kedua reaktor dan tidak terlihat perbedaan yang signifikan pada kedua reaktor ini. Akan tetapi jika dibandingkan dengan tahap operasi pertama penurunan COD pada tahap kedua ini lebih kecil. Pada tahap operasi pertama nilai COD hari ke-20 mencapai nilai yang berkisar di antara 60.000 mg/L namun pada operasi tahap kedua ini nilai COD di hari terakhir hanya mencapai nilai sebesar 80.000 mg/L. Hal tersebut mungkin terjadi akibat kinerja mikroorganisme yang terdapat dalam reaktor tidak sebaik pada tahap operasi pertama. Tabel IV.2. memperlihatkan laju penyisihan COD reaktor A adalah sebesar 2.450,98 mg/L/hari sedangkan reaktor B 2.777,78 mg/L/hari.

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

COD (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran H2) Reaktor B (tanpa kehadiran H2)

Gambar IV.21. Penyisihan COD Limbah Cair Kakao pada Percobaan II selama 20 Hari

Nilai VSS reaktor pada operasi tahap kedua ini dapat dilihat pada Gambar IV.22, di awal periode terlihat adanya peningkatan biomassa mikroorganisme sampai dengan hari ketujuh kemudian terjadi penurunan nilai VSS hingga akhir periode operasi. Penurunan nilai VSS menunjukkan bahwa telah terjadi kematian mikroorganisme, selain itu penurunan nilai VSS pada penelitian ini, sama halnya dengan pada operasi tahap pertama, juga diakibatkan terbentuknya lapisan biofilm pada dinding dan permukaan reaktor sehingga nilai VSS yang terukur menjadi kecil. Namun pada operasi tahap kedua ini penurunan nilai VSS tidak sebesar

130.718,95

75.163,40 81.699,35

(21)

pada tahap pertama begitu pula dengan biofim yang terbentuk, secara kasat mata tidak sebanyak pada operasi tahap pertama sehingga materi yang tersuspensi di dalam reaktor masih lebih tinggi. Hal itu juga ditunjukkan oleh hasil pengukuran turbiditas masing-masing reaktor (Gambar 4.23)

Tabel IV.6 Perbandingan Nilai VSS Reaktor (mg/L) Percobaan I Percobaan II Hari

ke- Reaktor A Reaktor B Reaktor A Reaktor B

0 2006.25 2020.83 2616.00 2660.00

1 4410.42 2353.19 2546.43 2570.37

2 4234.00 2320.00 2082.14 3089.29

3 2394.00 2462.00 3538.46 3142.86

4 2202.00 1910.00 3339.29 3417.86

5 2566.00 2088.00 3257.14 3442.86

6 1656.00 1504.00 3807.14 3789.29

7 2192.00 2182.00 4075.00 4300.00

8 1842.00 1444.00 3253.57 3164.29

9 1374.00 1278.00 3027.27 3009.09

10 1540.00 1618.00 2513.64 3359.09

11 1486.00 1586.00 2712.50 2737.50

12 730.00 934.00 3259.09 3058.33

13 686.00 918.00 2050.00 2679.17

14 1004.00 1004.00 2500.00 2262.50

15 924.00 1222.00 2245.00 2100.00

16 760.00 1102.08 1331.82 2218.18

17 946.00 1112.00 2118.18 2118.18

18 738.00 1032.00 2527.27 2263.64

19 - - 2145.45 2281.82

20 810.00 1030.00 1472.73 1681.82

ket: A-I (dengan O2); B-I (tanpa O2); A-II (dengan H2); B-II (tanpa H2)

Dari grafik yang diperoleh dari hasil pengukuran oleh Turbidimeter menunjukan tingkat kekeruhan yang tidak terlalu berbeda dari kedua reaktor namun terdapat perbedaan waktu terjadinya kekeruhan tertinggi. Tingkat kekeruhan tertinggi pada reaktor A diperoleh pada hari ke-9 sedangkan reaktor B pada hari ke-6. Tingkat kekeruhan itu mengalami penurunan selama tahap operasi.

(22)

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

VSS (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran H2) Reaktor B (tanpa kehadiran H2)

Gambar IV.22. Fluktuasi Jumlah VSS Limbah Cair Kakao pada Percobaan II selama 20 Hari

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Turbiditas (%)

Reaktor A (dengan kehadiran H2) Reaktor B (tanpa kehadiran H2)

Gambar IV.23. Perubahan Persentase Turbiditas Limbah Cair Kakao pada Percobaan II selama 20 Hari

Jika dibandingkan dengan percobaan pertama, nilai VSS pada percobaan kedua ini relatif lebih tinggi. Dari Tabel IV.6. berikut dapat dilihat perbandingan VSS rektor baik pada operasi tahap pertama maupun kedua. Pada akhir operasi tahap pertama dapat terlihat nilai VSS yang tertinggi sampai terendah diperoleh reaktor B kemudian reaktor A. Jika dibandingkan dengan operasi tahap pertama nilai VSS kedua reaktor pada tahap kedua menunjukkan nilai yang lebih tinggi dengan nilai tertinggi sebesar 1681,82 mg/L yaitu pada reaktor A.

2.640

1.740

1.960 2.100 2.660,00

2.616,00 1.681,82

1.472,73

(23)

Tingginya nilai VSS menunjukkan bahwa terjadi peningkatan biomassa mikroorganisme di dalam reaktor, berarti pemakaian substrat (dalam hal ini glukosa) sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan biomassa mikroorganisme sehingga konversi substrat glukosa menjadi asam asetat menjadi relatif rendah jika dibandingkan dengan operasi tahap pertama.

0 5000 10000 15000 20000 25000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran H2) Reaktor B (tanpa kehadiran H2)

Gambar IV.24. Perubahan Konsentrasi Etanol Limbah Cair Kakao pada Percobaan II selama 20 Hari

Konsentrasi etanol yang diperoleh pada periode operasi yang kedua ini tidak setinggi yang diperoleh pada tahap pertama. Dari Gambar IV.24 dapat dilihat bahwa konsentrasi etanol yang tertinggi diperoleh Reaktor A pada hari keenam sebesar 20.125 mg/L dengan laju penyisihan sebesar 1.122,13 mg/L/hari (Tabel IV.3), pada Reaktor B konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada hari keempat yaitu sebesar 17.455,36 mg/L. Treatment lanjutan dengan melakukan flushing gas nitrogen yang dilakukan terus-menerus terhadap reaktor B mengakibatkan gas O2

tidak lagi ditemukan dalam reaktor sehingga reaksi pembentukan asam asetat terjadi secara anaerob. Pembentukan asam asetat secara anaerob akan menghasilkan pula H2 dan CO2. Kehadiran gas H2 di dalam reaktor dapat menghambat pembentukan asam asetat namun dengan pemberian flushing gas N2

yang terus menerus akan mengakibatkan H2 terusir dari reaktor. Hal tersebut akan

4.107,14 4.415,18

1.421,52 1.382,27

20.125,00

17.455,36

(24)

mengakibatkan pembentukan asam asetat secara anaerob dapat berlangsung lebih cepat. Pembentukan asam-asam volatil dapat dilihat pada konsentrasi TAV sebagai asam asetat (Gambar IV.25) dan laju pembentukannya dapat dilihat pada Tabel IV.4, sedangkan konsentrasi asam asetat dapat dilihat pada Gambar IV.26.

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

TAV (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran H2) Reaktor B (tanpa kehadiran H2)

Gambar IV.25. Pembentukan TAV Limbah Cair Kakao pada Percobaan II selama 20 Hari

Konsentrasi asam asetat tertinggi diperoleh reaktor B sebesar 21.650,35 mg/L namun perbedaannya dengan reaktor A tidak terlalu signifikan, reaktor A memperoleh asam asetat sebesar 21.482,52 mg/L (Gambar IV.26). Laju pembentukan asam asetat kedua reaktor dapat dilihat pada Tabel IV.5. Begitu pula dengan nilai pH yang diukur tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu besar (Gambar IV.27). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini kurang memuaskan jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukkan oleh Prameswari (2004).

Penelitian yang menggunakan fermentasi bertingkat dengan waktu reaksi yang lebih singkat yaitu selama 12 hari (5 hari untuk fermentasi etanol dan 7 hari fermentasi asam asetat) diperoleh asam asetat sebesar 4,8 % b/v atau sekitar 48.000 mg/L. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan rekayasa teknologi yang dapat dilakukan untuk menghasilkan asam asetat dengan konsentrasi yang tinggi.

4.415,18

4.415,18

4.415,18 4.415,18

(25)

10000 12000 14000 16000 18000 20000 22000 24000

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi (mg/L)

Reaktor A (dengan kehadiran H2) Reaktor B (tanpa kehadiran H2)

Gambar IV.26. Pembentukan Asam Asetat Limbah Cair Kakao pada Percobaan II selama 20 Hari

3,45 3,5 3,55 3,6 3,65 3,7 3,75 3,8 3,85 3,9

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

pH

Reaktor A (dengan kehadiran H2) Reaktor B (tanpa kehadiran H2)

Gambar IV.27. Penurunan pH Limbah Cair Kakao pada Percobaan II selama 20 Hari

Konsentrasi asam asetat kedua reaktor menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Meskipun reaksi pembentukan asam asetat pada reaktor B berlangsung secara anaerob (ditandai dengan konsentrasi O2 yang sangat kecil sekali pada Gambar IV.29) namun konsentrasi asam asetat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan reaktor A. Hal tersebut terjadi karena meskipun reaksi berjalan secara anaerob namun dilakukan flushing yang terus menerus sehingga dapat mengusir gas H2 (yang dapat menghambat pembentukan asam asetat) yang

21.482,52 21.650,35

11.205,67 11.489,36

3,53

3,48 3,81

(26)

terbentuk dari reaksi anaerob. Di awal percobaan, masih terdapat O2 di dalam reaktor A sehingga pembentukan asam asetat terjadi secara aerob namun pada pertengahan hingga akhir reaksi O2 di dalam reaktor menurun jumlahnya akibat konsumsi oleh bakteri asam asetat sehingga reaksi berjalan secara anaerob yang mengakibatkan terbentuknya H2 di dalam reaktor (Gambar IV.28). H2 yang terbentuk akan terakumulasi di dalam reaktor dan menghambat pembentukan asam asetat di pertengahan dan akhir percobaan sehingga konsentrasi asam asetat yang dihasilkan relatif lebih rendah.

0 20 40 60 80 100

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi (% v/v)

O2 N2 CO2 H2

Gambar IV.28. Komposisi Gas Reaktor A pada Percobaan II selama 20 Hari

Dari kedua grafik komposisi gas dapat dilihat bahwa konsentrasi gas yang dominan adalah nitrogen. Konsentrasi nitrogen tertinggi terdapat pada reaktor B, hal tersebut terjadi karena sepanjang tahap operasi ini berlangsung, reaktor B di- flushing terus menerus dengan gas nitrogen. Sedangkan pada reaktor A tidak sehingga konsentrasi gas nitrogennya lebih kecil, namun masih relatif lebih besar jika dibandingkan dengan konsentrasi gas yang lain Komposisi gas reaktor A menunjukkan terjadinya pergeseran reaksi aerob yang terjadi di dalam reaktor menjadi reaksi anaerob yang ditandai dengan terbentuknya CO2 dan H2. Kehadiran H2 di dalam reaktor (Reaktor B pada pecobaan I dan reaktor A pada percobaan II) terbukti akan menghambat terbentuknya asam asetat. Pemberian flushing gas nitrogen yang terus menerus dapat menjadi salah satu solusi rekayasa teknologi yang dapat dilakukan untuk menghasilkan asam asetat secara anaerob.

73,18

0,00

20,03 22,14

76,84

0,0047 1,02 0,00

(27)

0 20 40 60 80 100

0 5 10 15 20 25

Hari ke-

Konsentrasi (% v/v

O2 N2 CO2

Gambar IV.29. Komposisi Gas Reaktor B pada Percobaan II selama 20 Hari

IV.3. Neraca Massa

Menurut Chairul (2001), perhitungan neraca massa didasarkan pada bahan organik yang dikonversi dalam mg/L COD. Beberapa konversi zat organik dan gas terhadap COD pada suhu 25° C dan 1 atm dapat dilihat pada Tabel IV.8.

Tabel IV.8 Faktor Konversi pada 25° C dan 1 atm Zat atau Gas Satuan Nilai COD Glukosa g COD/g glukosa 1,066 Asam Asetat g COD/g asam asetat 1,067

CH4 g COD/g CH4 2,619

H2 g COD/g H2 0,655

VSS g COD/g VSS 1,420

Etanol g COD/g etanol 2,087

sumber: Chairul, 2001

Dari keempat gambar (Gambar IV.30 s.d. IV.33) terlihat terjadinya penyisihan nilai COD akibat adanya aktivitas biomassa yang menguraikan substrat organik menjadi produk gas dan sel baru serta memanfaatkannya menjadi sumber energi.

Influen keempat reaktor masih menunjukkan nilai tak terukur yang relatif masih besar berarti belum semua glukosa dalam reaktor yang terurai menjadi asam

93,46

6,54

0,00 1,57 0,00

0,43 99,57

(28)

asetat. masih berada dalam bentuk lain separti asam propionat, butirat, laktat, gas dan senyawa lain yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan neraca massa.

0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 100.000,00 120.000,00 140.000,00

Konsentrasi (mg/L COD)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Hari ke-

Alkohol Asam Asetat TAV non Asetat Tak Terukur

Gambar IV.30. Neraca Massa Reaktor A pada Percobaan I selama 20 Hari

0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 100.000,00 120.000,00 140.000,00

Konsentrasi (mg/L COD)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Hari ke-

Alkohol Asam Asetat TAV non Asetat Tak Terukur

Gambar IV.31. Neraca Massa Reaktor B pada Percobaan I selama 20 Hari

Dari neraca massa tersebut dapat dilihat terjadinya penguraian alkohol dalam hal ini etanol menjadi asam asetat yang ditandai dengan menurunnya konsentrasi alkohol dan disertai dengan peningkatan konsentrasi asam asetat. Penurunan konsentrasi alkohol pada ketiga reaktor (Gambar IV.30, Gambar IV.32 dan

(29)

Gambar IV.33) memperlihatkan kecenderungan penurunan yang hampir sama sedangkan pada Reaktor B percobaan I terlihat bahwa kurva yang terbentuk lebih landai (Gambar IV.31) karena pembentukan asam asetat dari alkohol masih berjalan sangat lambat.

0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 100.000,00 120.000,00 140.000,00

Konsentrasi (mg/L COD)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Hari ke-

Alkohol Asam Asetat Asam Laktat TAV non asetat Tak Terukur

Gambar IV.32. Neraca Massa Reaktor A pada Percobaan II selama 20 Hari

0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 100.000,00 120.000,00 140.000,00

Konsentrasi (mg/L COD)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Hari ke-

Alkohol Asam Asetat Asam Laktat TAV non asetat Tak Terukur

Gambar IV.33. Neraca Massa Reaktor B pada Percobaan II selama 20 Hari

(30)

Asam asetat terbentuk seiring dengan penurunan konsentrasi alkohol. Asam asetat yang terbentuk secara aerob menunjukkan konsentrasi tertinggi sebesar 27.517,73 mg/L yaitu pada reaktor A percobaan I (Gambar IV.30). Pembentukan asam asetat secara anaerob tanpa kehadiran H2 berlangsung relatif lebih cepat yaitu pada reaktor B percobaan II (dengan flushing N2 terus-menerus) dengan konsentrasi akhir asam asetat sebesar 21.650,35 mg/L. Pengolahan limbah pulp kakao dalam skala besar sebaiknya dilakukan secara anaerob karena jalur pembentukan asam asetat secara aerob akan membutuhkan O2 sehingga akan diperlukan energi yang besar untuk menjaga kondisi reaktor tetap aerobik. Sedangkan secara anaerob efisiensi pembentukan asam asetat dapat dilakukan dengan rekayasa teknologi, salah satunya adalah dengan pemberian flushing gas nitrogen. Asam asetat juga dapat terbentuk dari limbah pulp kakao secara anaerob tanpa rekayasa teknologi.

Limbah pulp kakao yang didiamkan tanpa diberikan perlakuan tertentu, secara alami akan membentuk kondisi yang anaerob sehingga sistem anaerobik dapat dijalankan tanpa memerlukan energi yang besar namun akan memerlukan waktu reaksi yang lebih panjang.

Referensi

Dokumen terkait

Parameter yang digunakan dalam analisis program BoEF meliputi nilai modulus elastisitas ( E ) bahan, nilai koefisien reaksi subgrade ( k' ), titik pembebanan dan

Hal ini karena dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa perceraian orang tua bukanlah faktor tunggal yang dapat memberikan dampak negative pada psikologis anak,

Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan

Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data indikator pengangguran Data ini akan diolah menggunakan beberapa metode data mining sehingga diperoleh metode

Dengan Balance Scorecard, tujuan suatu unit usaha tidak hanya dinyatakan dalam suatu ukuran keuangan saja, melainkan dijabarkan lebih lanjut ke dalam pengukuran bagaimana unit

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan diagnosis, dari 50 pasien yang terpasang kateter urin dengan kandiduria positif didapatkan 3 urutan terbanyak yaitu

Dari studi pembuatan paduan Zr-2,5Nb dan Zr-2,5Nb-0,5Mo dengan proses peleburan dalam tungku busur listrik dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan penambahan 0,5 %berat

Forbo Siegling sangat menyarankan Anda untuk tidak mengencangkan belt lebih dari dua tahap, sebaliknya perilaku elo- ngasi beban poros pada bahan ketegang- an dapat berubah. F Ws =