• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA BURUH TANI MIGRAN DI DESA KACINAMBUN KECAMATAN TIGAPANAH KABUPATEN KARO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA BURUH TANI MIGRAN DI DESA KACINAMBUN KECAMATAN TIGAPANAH KABUPATEN KARO"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

KACINAMBUN KECAMATAN TIGAPANAH KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

PEBINTA TAMBUNAN 150902037

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

ABSTRAK

Kemiskinan merupakan persoalan yang kerap muncul dalam kehidupan masyarakat. Salah satu ciri kemiskinan adalah tingginya angka pengangguran yang merupakan akibat dari terbatasnya lapangan pekerjaan. Kondisi ini tentunya menjadi kesulitan tersendiri bagi masyarakat dengan pendidikan dan keterampilan rendah, serta tidak memiliki modal atau lahan sebagai faktor produksi mata pencaharian. Fenomena yang kerap ditemui dari kondisi ini yaitu munculnya buruh tani migran di beberapa daerah. Daerah yang cukup banyak menyerap buruh tani migran yaitu Desa Kacinambun Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran serta faktor yang mendapatkan gambaran tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran. Informan utama dalam penelitian ini adalah lima keluarga buruh tani migran yang telah menetap minimal 10 tahun, informan kunci yaitu kepala desa, serta informan tambahan yaitu dua pemilik lahan atau pengguna jasa buruh tani migran di Desa Kacinambun Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh di lapangan kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan kesejahteraan keluarga buruh tani migran sebelum dan sesudah bermigrasi di Desa Kacinambun didapati mengalami peningkatan. Hal ini dilihat dari delapan indikator kesejahteraan keluarga yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran rumah tangga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi. Faktor yang mempengaruhi meningkatnyanya kesejahteraan keluarga buruh tani migran yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang ditemukan yaitu keadaan fisik, mental emosional, spiritual, psikologis yang baik, serta dukungan anggota keluarga yaitu istri untuk bekerja menambah pendapatan keluarga. Faktor eksternal yang ditemukan yaitu kondisi geografis yang baik di daerah tujuan migrasi dengan tanah subur dan peluang pekerjaan yang tersedia lebih banyak dibanding daerah asal buruh tani migran.

Kata Kunci : Kemiskinan, Kesejahteraan Keluarga, Buruh Tani, Migran, Pengangguran

(3)

ABSTRACT

Poverty is a problem that oftentimes occur in people's lives. One of the characteristics of poverty is the high unemployment rate which caused by limited available employment. This condition certainly becomes a problem for people with low education and skills, and those who don’t have any fund or land as a factor in livelihood production. The phenomenon that often found in this particular condition is the emergence of migrant farm laborers in several areas.

One of the examples of areas that permeate quite a lot of migrant farm laborers is Kacinambun Village, Tigapanah Subdistrict, Karo District. The purpose of this research is to ascertain migrant farm laborers level of family welfare and the factors that affect migrant farm laborers level of family welfare. The main informants in this research are five families of migrant farm laborers who had settled for at least 10 years, the key informant is the headman, and the additional informants are two land owners or users of migrant farmer services in Kacinambun Village, Tigapanah subdistrict, Karo District. Data collection techniques are carried out by literature study, observation, interviews, and documentation. All the data obtained are then analyzed qualitatively to generate a conclusion. The results of this research indicate that the migrant farm laborers level of family welfare before and after migrating to Kacinambun Village was found to be increased. This can be seen out of eight indicators of family welfare which are income, consumption or household expenses, home condition, home facility, family health, ease of getting health services, ease of getting education for children, and ease of getting transportation facilities. Factors that influence the increment of the welfare level of migrant farm laborers families are internal factors and external factors. The internal factors found were physical, mental emotional, spiritual, good psychological state, and the support of the family members specifically the spouse to work in order to increase the family income.

External factors found were good geographical conditions in the destination of migration with fertile land and many job offers received by migrant farm workers.

Keywords : Poverty, Family Welfare, Farmer Labor, Migrants, Unemployment

(4)

anugerah-Nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menerima bantuan moril dan materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih sedalam – dalamnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.HUM, selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Departemen Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Bengkel, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bahkan lebih dari itu terimakasih telah menjadi teladan disiplin yang baik dan memotivasi penulis menghasilkan penelitian yang berkualitas.

5. Kak Mia Aulina Lubis, S.Sos, M.Kessos, selaku Dosen Penguji atas saran dan kritik, dan teladan yang diberikan.

6. Seluruh dosen dan pegawai Departemen Kesejahteraan Sosial yang telah memberikan banyak ilmu dan bantuan dalam hal perkuliahan kepada penulis.

7. Terkhusus untuk Mama ku tersayang Nurhayati Perangin – angin, yang telah pergi sebelum melihat Pebin mendapat Gelar Sarjana, terimakasih Mam telah berjuang dan merawat Pebin dari dalam kandungan sampai pada hari

(5)

8. Untuk Bapak ku terkasih Edison Tambunan, atas pengajaran, dukungan, kasih sayang, serta doa yang memberi penguatan kepada aku dalam menjalani proses pengerjaan skripsi ini. Terimakasih telah berusaha mengambil peran ibu di masa duka penulis.

9. Kedua saudaraku Kak Penita Tambunan dan Prenta Tambunan, yang tetap mendukung dalam pengerjaan skripsi ini. Segala pengorbanan, doa, kasih sayang dan motivasi yang memberi energi positif.

10. Mami Jepi, untuk waktu, tenaga, dan semangat yang diberikan dalam proses penelitian di Desa Kacinambun.

11. Namboru Kobol atas perhatian dan semangat yang diberikan untuk menghibur di masa terjatuh penulis.

12. Seluruh informan penelitian dan masyarakat Desa Kacinambun yang telah bersedia menyediakan waktu dan informasi untuk keperluan skripsi penulis.

13. Teman – teman seperjuangan Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP USU terkhusus stambuk 2015 yang telah bersama menjalani proses perkuliahan.

14. Saudaraku terkasih yang menemani hari – hariku selama perkuliahan di kota perantauan ini, Agusto Benyamin Samosir, Della Okthalia Simamora, Jonathan Parasian Parapat, Juny Artha Panggabean, Lusi Triana Sianturi, Romeo Ignasito Sipayung, Yuana Octavia br Dolok Saribu. Jangan iri – irian kalian ya gais, itu pengurutan namanya sesuai abjad kok. Terimakasih untuk kalian yang masih ada sampai masa akhir perkuliahanku bahkan sampai sekarang. Apapun keadaannya aku tetap mengasihi dan menyangai kalian.

(6)

15. Kelompok Kecil Godelva yaitu PKK kami Kak Sonni Odet yang sangat mengenal gadis melankolis akut ini serta memberi energi positif saat penulis sangat berduka, Ferina, dan Juny untuk dukungan yang diberikan, saling mendukung, dan menopang dalam doa.

16. Kepanitiaan Retreat UKM KMK UP PEMA FISIP USU telah mendukung penulis dalam pengerjaan skripsi ditengah padatnya kegiatan pesiapan retreat.

Terimakasih atas pengalaman baru, semangat, serta melatih penulis memafaatkan waktu dengan bijak.

17. Terkhusus dua pembimbingku Bang Goklas Wisely, S.AP dan Kak Fhida Samosir, S.AP yang telah meluangkan cukup banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk berdiskusi dan membantu pengerjaan skripsi penulis.

18. Kezia dan Ginda sebagai mood booster penulis selama masa perkuliahan sampai pengerjaan skripsi ini. Jangan lupa sama Ratu ya Ke Gin kemungkinan ratu akan meninggalkan kota ini, jangan nakal dan berantam kalian ya.

19. Nova Simbolon yang telah mengingatkan dan bertanya mengenai perkembangan skripsi penulis. Terimakasih juga atas bantuan yang diberikan dalam penulisan skripsi ini.

20. Teman – teman Jawa ku sayang, Rifqa Afriliani, Dita Ginting, Astika Rahmawati, Vicky Arya, Grizelda Jenindya, Raditya Febriani, Kartika Wulan, dan Margaretha. Terimakasih selalu mengingatkan untuk

(7)

21. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu atas dukungan, kerjasama dan doa yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua.

Medan, Juli 2019 Penulis

Pebinta Tambunan

(8)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Peneitian ... 8

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.4 Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis ... 11

2.1.1 Kemiskinan 2.1.1.1 Pengertian Kemiskinan ... 11

2.1.1.2 Ciri – Ciri Kemiskinan ... 14

2.1.1.3 Faktor Penyebab Kemiskinan ... 16

2.1.2 Keluarga ... 20

2.1.3 Migrasi ... 21

2.1.4 Buruh Tani Migran ... 25

2.1.5 Sistem Pengupahan Buruh Tani ... 27

2.1.6 Mobilitas Sosial ... 28

2.1.7 Kesejahteraan Sosial 2.1.7.1 Konsep Kesejahteraan Sosial ... 30

2.1.7.2 Tingkat Kesejahteraan ... 31

2.2 Penelitian yang Relevan ... 34

2.3 Konsep Penelitian ... 37

2.4 Defenisi Konsep ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 41

3.2 Lokasi Penelitian ... 42

3.3 Informan Penelitian ... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 43

3.5 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Buruh Tani Migran di Desa Kacinambun ... 46

4.2 Sejarah Singkat Desa Kacinambun ... 48

4.3 Letak Geografis Desa Kacinambun ... 49

4.4 Keadaan Alam dan Tata Guna Lahan ... 49

4.5 Komposisi Penduduk ... 50

4.6 Sarana dan Prasarana Umum ... 52

(9)

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 57

5.1.1 Informan Kunci ... 58

5.1.2 Informan Utama I ... 61

5.1.3 Informan Utama II ... 67

5.1.4 Informan Utama III ... 71

5.1.5 Informan Utama IV ... 76

5.1.6 Informan Utama V ... 82

5.1.7 Informan Tambahan I ... 88

5.1.8 Informan Tambahan II... 91

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian 5.2.1 Tingkat Kesejahteraan Keluarga Buruh Tani Migran Sebelum dan Sesudah Bermigrasi di Desa Kacinambun ... 95

5.2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Keluarga Buruh Tani Migran di Desa Kacinambun ... 110

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 114

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 115

6.2 Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

LAMPIRAN ... 120

(10)

Tabel 4.1 Sejarah Pemerintahan Desa Kacinambun ... 49

Tabel 4.2 Tata Guna Lahan Desa Kacinambun ... 50

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Agama ... 50

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 51

Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Usia ... 51

Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 52

Tabel 5.1 Informasi Umum Informan Penelitian ... 57

(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan suatu negara yang sedang berkembang dengan beberapa kondisi seperti pembangunan infrastruktur yang belum merata, pertumbuhan penduduk tinggi, tingkat pendidikan yang masih rendah, kualitas hidup yang rendah, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang lambat, tingkat pengangguran yang sulit diatasi, serta angka kemiskinan yang cukup tinggi.

Salah satu ciri yang melekat pada Indonesia sebagai negara berkembang adalah kemiskinan. Kemiskinan dapat dilihat sebagai suatu kondisi ketidakmampuan dalam individu, keluarga, maupun kelompok. Sehingga rentan terhadap munculnya masalah sosial seperti tindakan kriminal. Mencher (dalam Siagian, 2012 : 5) mengatakan bahwa, kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah, sehingga mempengaruhi daya dukung hidup untuk mencapai taraf hidup yang layak. Dalam upaya mencapai taraf hidup yang layak, seseorang atau sekelompok orang membutuhkan dukungan, baik dari diri sendiri yang disebut sebagai faktor internal maupun dari wilayah atau faktor eksternal.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga September 2017 mencapai 26,58 juta jiwa yaitu 10,27 juta penduduk miskin di kota dan 16,31 juta penduduk miskin di desa. Jumlah ini memang berkurang jika dibandingkan dengan periode September 2016 yang mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia berjumlah 27,76 juta

(12)

jiwa, namun pemerintah masih sangat perlu membenahi hal ini karena data tersebut menyatakan begitu banyak jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan berada dalam kondisi yang tidak sejahtera.

Kemiskinan kemudian dapat dilihat sebagai akibat dari keterbatasan lapangan pekerjaan serta tidak tersedianya faktor produksi. Mereka yang tidak dapat bersaing sebagai akibat dari rendahnya kualitas pendidikan dengan kondisi lapangan kerja yang terbatas dan tidak memiliki faktor produksi tentu menimbulkan adanya pengangguran. Angka untuk masalah pengangguran disebutkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2018 yaitu dari 133,9 juta jiwa total tenaga kerja, ada sebanyak 127,1 juta penduduk yang bekerja dan 6,9 juta penduduk Indonesia atau 5,1 persen merupakan tenaga kerja yang menganggur. Angka ini memang menurun dari tahun 2017 yang menyebutkan sebanyak 7 juta jiwa tenaga kerja menganggur dan 121 juta jiwa penduduk merupakan angkatan kerja yang bekerja di Indonesia. Nilai tersebut masih merupakan angka pengangguran yang cukup tinggi serta belum mengalami penurunan yang signifikan.

Ditengah masalah pengangguran yang cukup tinggi, sektor informal kemudian dapat berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Pada dasarnya ada dua sektor perekonomian di Indonesia, yaitu sektor formal dan informal. Sektor usaha formal yaitu bidang usaha yang memiliki bentuk dan badan hukum tertentu seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), serta koperasi. Sektor usaha informal adalah bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit produksi dimiliki secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga

(13)

kerja dan teknologi yang dipakai relatif sederhana contohnya adalah pedagang, peternak, tukang jahit, bengkel, serta petani.

Pada Februari 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penduduk yang bekerja di sektor formal yaitu 53,12 juta jiwa sementara sektor informal lebih banyak menyerap tenaga kerja yaitu berjumlah 73,98 juta jiwa.

Dari banyaknya tenaga kerja sektor informal ternyata angka yang paling tinggi berada pada sektor informal pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) kemudian menyatakan 88,27 persen tenaga kerja informal berada pada sektor pertanian, terkhususnya di Sumatera Utara 80,55 persen tenaga kerja informal berasal dari sektor pertanian. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian memberi sumbangan yang cukup besar untuk menyerap tenaga kerja di Indonesia khususnya Sumatera Utara.

Dalam sejarah Indonesia sendiri terdapat beberapa program pemerintah yang mendorong sektor pertanian untuk menyerap tenaga kerja, salah satunya adalah transmigrasi. Transmigrasi merupakan sebuah cetusan untuk meratakan persebaran penduduk Indonesia dikarenakan persebaran penduduk cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jauh sebelum pemerintah Indonesia mencanangkan program transmigrasi, pemerintah kolonial Belanda yang saat itu menjajah Indonesia menggulirkan program serupa yang disebut kolonialisasi. Latar belakang dari kolonialisasi itu sendiri dikarenakan lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menyusut pada awal abad ke-20 serta peningkatan penduduk yang tajam. Salah satu lokasi yang menjadi tujuan program ini adalah Pulau Sumatera.

Transmigrasi mencapai puncak kejayaannya pada era orde baru ketika Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada masa itu

(14)

masyarakat begitu akrab dengan kata “transmigrasi”. Kebijakan orde baru mengenai transmigrasi tidak semata – mata untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, namun juga menekankan pada produksi beras guna mencapai swasembada pangan. Pembukaan daerah transmigrasi kemudian diperluas sampai Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi, bahkan Papua.

Adapun saat transmigrasi meluas ke setiap daerah yang memiliki lahan produktif di bidang pertanian memunculkan kelas sosial baru, yaitu buruh tani migran. Buruh tani diyakini sebagai suatu mata pencaharian bagi individu atau sekelompok migran yang tidak memiliki lahan pertanian dengan kondisi tidak memiliki pekerjaan lain sebagai akibat dari terbatasnya lapangan pekerjaan serta rendahnya pendidikan dan keterampilan khusus. Salah satu wilayah yang memiliki lahan produktif untuk bertani dan menjadi tujuan sekelompok buruh migran di Sumatra Utara ialah Kabupaten Karo.

Ketertarikan masyarakat luar daerah Kabupaten Karo dapat dilihat dari adanya sekelompok buruh tani yang merupakan bukan masyarakat setempat yang kemudian disebut sebagai buruh tani migran. Penelitian mengenai buruh tani yang dilakukan Sembiring (2009) dan Kristiani (2017) juga menyebutkan buruh tani di Kabupaten Karo cenderung berasal dari luar Kabupaten Karo. Daerah ini merupakan salah satu daerah yang bergerak di sektor pertanian dengan luas lahan pertanian mencapai 212.725 ha. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo menyebutkan sektor pertanian merupakan bagian terpenting dalam perekonomian masyarakat Karo. Sektor pertanian kemudian dikelompokkan menurut beberapa sub sektor yaitu sub sektor tanaman pangan yang menghasilkan padi atau palawija dan hortikultura, sub sektor perkebunan berupa kemiri, kopi, kelapa, tembakau,

(15)

coklat, kelapa sawit, cengkeh, dan aren, sub sektor peternakan seperti sapi, kerbau, kambing, babi, kuda, ayam, kelinci, dan itik, sub sektor perikanan dan sub sektor kehutanan yang menghasilkan getah damar, rotan, dan kayu.

Fenomena buruh tani migran ini juga didapati di Desa Kacinambun Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo. Awal munculnya buruh tani dari luar Kabupaten Karo di Desa Kacinambun tidak dapat diketahui secara pasti. Bapak Peristiwa Perangin – angin selaku kepala desa menyatakan bahwa sudah berpuluh tahun lamanya fenomena ini didapati. Pendapat yang lain juga diungkapkan oleh pengguna jasa buruh tani migran serta mantan kepala desa yaitu Bapak Jainudin yang sudah menggunakan jasa buruh tani migran sejak dua puluh tahun yang lalu.

Pengakuan dari mereka menyatakan bahwa masyarakat cukup terbantu dalam peningkatan produksi pertanian dengan hadirnya pekerja dari luar daerah atau disebut sebagai buruh tani migran.

Buruh tani migran yang didapati di Desa Kacinambun yaitu Suku Jawa, Sunda, dan Batak yang berasal dari Daerah Binjai, Rantau Prapat, Pancur Batu, serta Aceh. Mereka pindah dari tempat asal dengan membawa keluarga dan ada juga beberapa yang belum berkeluarga tinggal di desa tersebut. Buruh tani migran bekerja kepada pemilik lahan atau petani dalam proses mencangkul, menanam, menyiangi, memupuk, sampai memanen dengan upah yang dibayar harian serta beberapa diantaranya di fasilitasi bertempat tinggal di sapo atau gubuk ladang.

Hal yang unik adalah ketika melihat ada sekelompok buruh yang berpindah dari berbagai tempat asal ke tanah Karo namun masih bertahan dengan kehidupan tidak layak jika di tinjau dari ukuran kesejahteraan.

(16)

Berdasarkan observasi dan wawacanara singkat yang dilakukan peneliti ketika mengunjungi Desa Kacinambun, mendapati beberapa hal : pertama, bahwa ada sebagian keluarga buruh tani migran tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Hal tersebut tampak karena sulitnya mendapatkan air bersih, struktur bangunan tempat tinggal yang tidak kokoh, bahkan beberapa diantaranya tinggal di gubug yang berlokasi ditengah – tengah ladang dan jauh dari fasilitas umum, juga kondisi pendidikan anak yang tidak melanjutkan sekolah sebagai akibat dari tidak mendapatkan fasilitas umum desa.

Kedua, tidak memiliki pendapatan yang tetap dan tidak ada ketentuan jumlah upah. Buruh tani migran sebagian besar hanya bekerja sebagai pekerja serabutan yang dibayarkan 80.000 sampai 120.000 rupiah per hari sesuai dengan kesepakatan buruh dengan pengguna jasa. Buruh tani migran mendapat penghasilan ketika bekerja sewaktu masa panen, menanam, dan merawat tanaman agar tidak tercemar oleh hama.

Ketiga, buruh tani migran didapati tidak tersetuh oleh kebijakan pemerintah, seperti program pengetasan kemiskinan Kredit Usaha Rakyat (KUR), program beras untuk rakyat sejahtera (RASTA), Program Keluarga Harapan (PKH), maupun program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Selanjutnya dilihat bahwa keluarga buruh tani migran tidak memiliki jaminan kesehatan dan tabungan jangka panjang. Didapati juga beberapa buruh tani migran tidak berbaur dengan masyarakat setempat, hubungan sosial buruh tani dilihat hanya sebatas pemilik lahan dengan buruh. Hal ini peneliti simpulkan karena mendapati para buruh tani tidak ikut serta dalam komunitas atau organisasi di Desa Kacinambun.

(17)

Namun, dari sekian banyaknya kondisi tersebut didapati ada beberapa keluarga buruh tani migran di Desa Kacinambun yang bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dengan kondisi mampu menyekolahkan anaknya, memiliki jaminan kesehatan, tidak lagi tinggal di gubuk ladang seperti kebanyakan dari mereka, bahkan beberapa diantaranya sudah memiliki rumah dan kendaraan pribadi.

Peneliti akan membahas bagaimana tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran sebelum dan sesudah bermigrasi serta apa saja faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran di Desa Kacinambun Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo. Mudahnya mendapati buruh tani yang bukan merupakan penduduk Kabupaten Karo serta adanya ketertarikan peneliti untuk mengetahui tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran, cara mereka memenuhi kebutuhan hidup di daerah rantau, serta ingin mengetahui faktor yang mempengaruhi kesejahteraanya. Peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi penelitian dengan judul “Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Keluarga Buruh Tani Migran di Desa Kacinambun Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo”.

(18)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah di uraikan maka masalah yang dirumuskan adalah :

a. Bagaimana tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran sebelum dan sesudah bermigrasi ke Desa Kacinambun Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo?

b. Apa faktor – Faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran di Desa Kacinambun Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran serta faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga buruh tani migran di Desa Kacinambun, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo.

1.3.2 Manfaat penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai refrensi dalam pengembangan

1. Secara Akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap keilmuan di Departemen Kesejahteraan Sosial dan menjadi sumber informasi bagi peneliti lain maupun mahasiswa yang tertarik melakukan penelitian yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial ekonomi keluarga buruh tani migran di Kabupaten Karo.

(19)

2. Secara Teoritis, diharapkan bermanfaat sebagai bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan melahirkan konsep ilmiah dalam mengatasi masalah kesejahteraan sosial ekonomi keluarga buruh tani migran.

3. Secara praktis, diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah daerah serta masyarakat untuk memperhatikan kesejahteraan sosial ekonomi buruh tani migran.

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah 2. Rumusan Masalah

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Landasan Teoritis

2. Penelitian Yang Relevan 3. Konsep Pikir

4. Definisi Konsep

BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

2. Lokasi Penelitian 3. Informan Penelitian 4. Teknik Pengumpulan Data 5. Teknik Analisis Data

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 1. Sejarah Perkembangan Informan Penelitian 2. Sejarah Lokasi Penelitian

3. Profil Lokasi Penelitian

(20)

4. Keadaan Alam dan Tata Guna Lahan Lokasi Penelitian 5. Komposisi Penduduk Lokasi Penelitian

6. Keadaan Sarana dan Prasarana Lokasi Penelitian 7. Kondisi Umum Informan Penelitian

8. Struktur Organisasi Lokasi Penelitian BAB V HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Data Hasil Penelitian 2. Pembahasan Hasil Penelitian 3. Keterbatasan Penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN – LAMPIRAN

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Kemiskinan

2.1.1.1 Pengertian kemiskinan

Kemiskinan merupakan persoalan yang sudah ditemui sejak manusia ada bahkan sampai saat ini. Masalah ini bukan hanya masalah individu atau keluarga tetapi juga merupakan masalah negara bahkan dunia. Kemiskinan dinilai sebagai suatu kondisi yang di nyatakan dari bentuk komparasi yang beragam umat manusia, dengan kata lain kemiskinan itu ada karena adanya perbedaan dan perbandingan. Sekelompok orang yang disebut miskin karena ada kelompok lain yang tidak miskin (Siagian, 2012 : 30).

Pada saat ini kemiskinan juga menjadi pusat perhatian kalangan luas bahkan dunia. World Bank (2015) merevisi garis kemiskinan internasional (international poverty line) untuk pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 1,9 dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan standar kemiskinan ini, seseorang terkategori sangat miskin jika memiliki pendapatan atau pengeluaran kurang dari 1,9 dolar per kapita per hari.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018 menyatakan angka rata – rata garis kemiskinan adalah 401.220 rupiah per kapita per bulan. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pada Maret 2017 yang berjumlah 361.496 rupiah per kapita per bulan.

Kemiskinan Menurut Friedman (dalam Suyanto, 2013 : 2) adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Yang dimaksud

(22)

basis kekuasaan sosial tersebut meliputi : Pertama, modal produktif atas aset, misalnya tanah perumahan, peralatan, dan kesehatan. Kedua, sumber keuangan, seperti income dan kredit yang memadai. Ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, seperti koperasi.

Keempat, network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang – barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Kelima, informasi yang berguna untuk kehidupuan.

Pearce (dalam Siagian, 2012 : 7) mengemukakan, kemiskinan merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya manusia dan modal, dengan sumber daya manusia serta kelembagaan. Analisis kemiskinan seperti ini didasarkan pada hipotesis bahwa berbagai unsur yang menjadi elemen suatu ekosistem senantiasa terlibat dalam suatu interaksi. Kemiskinan ini merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang bersifat timpang di antara berbagai elemen yang ada dalam suatu ekosistem. Sehingga berdampak negatif terhadap kehidupan manusia.

BKKBN menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan kesejahteraan. Keluarga dapat dibagi dalam beberapa kategori yaitu prasejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III, dan sejahtera III plus. Keluarga dapat di kategorikan dalam tahap Prasejahtera apabila tidak dapat memenuhi salah satu syarat dari keluarga sejahtera tahap I. Menurut BKKBN (1999) indikator kesejahteraan keluarga sesuai dengan kategorinya yaitu :

1. Keluarga Sejahtera Tahap I dengan kriteria sebagai berikut : a. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama.

b. Pada umumnya anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.

(23)

c. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda dirumah / pergi/bekerja / sekolah.

d. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.

e. Anak sakit ataupun pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber KB dibawa kesarana kesehatan.

2. Keluarga Sejahtera Tahap II, meliputi :

a. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur.

b. Paling kurang sekali seminggu lauk daging / ikan / telur.

c. Setahun terakhir anggota keluarga menerima satu stel pakaian baru.

d. Luas lantai paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.

e. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan dapat melaksanakan tugas.

f. Ada anggota keluarga umur 15 tahun keatas berpenghasilan tetap.

g. Anggota keluarga umur 10 – 60 tahun bisa baca tulis latin.

h. Anak umur 7 – 15 tahun. Bersekolah

i. PUS (Penduduk Usia Subur) dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi.

3. Keluarga Sejahtera Tahap III, meliputi :

a. Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.

b. Sebagian penghasilan keluarga ditabung.

c. Keluarga makan bersama paling kurang sekali sehari untuk berkomunikasi.

d. Keluarga sering ikut dalam kegiatan mesyarakat dilingkungan tempat tinggal.

(24)

e. Keluarga rekreasi bersama paling kurang sekali dalam enam bulan.

f. Keluarga memperoleh berita dari surat kabar, majalah, televisi, atau radio.

g. Anggota keluarga menggunakan sarana transportasi setempat.

4. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, meliputi :

a. Keluarga secara teratur memberikan sumbangan.

b. Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus yayasan atau institusi masyarakat (Hamid, 2016 : 59).

2.1.1.2 Ciri – ciri kemiskinan

Dengan melihat banyaknya ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan seseorang atau sekelompok orang untuk disebut miskin atau tidak miskin maka umumnya para ahli akan merasa kesulitan dalam mengklasifikasikan masyarakat menurut garis kemiskinan. Namun, dari berbagai studi yang ada, pada dasarnya ada beberapa ciri dari kemiskinan, yaitu :

1. Mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal atau keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya sedikit, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas.

2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk terpenuhinya kredit perbankan, seperti jaminan kredit dan lain – lain, yang

(25)

mengakibatkan mereka berpaling ke lintah darat yang biasamya untuk pelunasannya meninta syarat – syarat berat dan bunga yang amat tinggi.

3. Tingkat pendidikan golongan miskin umumnya rendah, tidak sampai tamat Sekolah Dasar. Waktu mereka umumnya habis tersita untuk mencari nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian juga dengan anak – anak mereka, tidak dapat menyelesaikan sekolah oleh karena harus membantu orang tua mencari nafkah tambahan.

4. Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, ataupun kalaupun ada relatif kecil sekali. Pada umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerjaan kasar diluar pertanian. Tetapi, karena bekerja di pertanian berdasarkan musiman, maka kesinambungan pekerjaan mereka menjadi kurang terjamin. Banyak diantara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed) yang berusaha apa saja. Akibat didalam situasi penawaran tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka selalu hidup dibawah garis kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak diantara mereka mencoba berusaha ke kota (urbanisasi) untuk mengadu nasib.

5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan atau skill dan pendidikan. Sedangkan kota sendiri terutama di negara berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa tersebut. Apabila di negara maju pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk kerja di kota, maka proses urbanisasi di negara

(26)

sedang berkembang tidak di sertai proses penyerapan tenaga kerja dalam perkembangan industri (Suyanto, 2013 : 5).

2.1.1.3 Faktor penyebab kemiskinan

Menurut faktor yang melatarbelakanginya, penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber – sumber daya yang langka jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor – faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan – perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata – pranata tradisional, seperti pola hubungan patron clien, jiwa gotong royong, dan sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.

Kedua, kemiskinan buatan, yaitu kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas – fasilitas secara merata dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan struktural, biasanya terjadi didalam suatu masyarakat dimana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup kemewahan dan kaya raya.

Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu misalnya terdiri dari para

(27)

petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau kaum migran dikota yang bekerja disektor informal dengan hasil yang tidak menentu sehingga pendapatannya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarga.

Ciri utama dari kemiskinan struktural ialah tidak terjadinya atau lamban sekali mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya, sedangkan yang kaya akan tetap menikmati kekayaannya. Ciri lain dari kemiskinan structural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial ekonomi diatasnya. Menurut Mohtar Mas’ud, adanya ketergantungan inilah yang selama ini berperan besar dalam merosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah dan penggarap, antara majikan dan buruh. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual dan tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan untuk menentukan nasib ke arah yang lebih baik (Suyanto, 2013 : 8).

Dalam (Siagian, 2012 : 114) Secara umum kemiskinan juga didorong oleh beberapa faktor-faktor yang secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu:

1. Faktor Internal

Dalam hal ini kemiskinan berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang meliputi:

a. Fisik, dimana individu mengalami cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

(28)

b. Intelektual, kurangnya pengetahuan atau miskinnya informasi.

c. Mental emosional atau temperamental, dimana individu merasa putus asa, mudah menyerah atau malas.

d. Spritual, individu yang tidak jujur, serakah serta tidak disiplin.

e. Sosial Psikologis, seperti kurangnya motivaasi, kurangnya rasa percaya diri, depresi, stres, kurang relasi serta ketidakmampuan mencari pendukung.

f. Keterampilan, dimana individu yang kurang memiliki keterampilan atau keahlian sesuai dengan tuntutan lowongan lapangan pekerjaan.

g. Aset, dimana individu tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor Eksternal

Kemiskinan yang berasal dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, hal ini meliputi :

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.

b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat memenuhi kebutuhan hidup.

c. Terbatasnya lowongan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal.

d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro.

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor rill masyarakat banyak.

(29)

f. Sistem mobilisasi dan penyalahgunaan dana sosial masyarakat yang kurang optimal.

g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (Structural adjusment program).

h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.

i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.

Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo (dalam Itang, 2016:12), yaitu :

a. Pendidikan yang terlampau rendah

Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang di perlukan dalam kehidupannya.

Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.

b. Malas bekerja

Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja.

c. Keterbatasan sumber alam

Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumber daya alam nya miskin.

(30)

d. Keterbatasan lapangan kerja

Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil kemungkinannya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan keterampilan.

e. Keterbatasan modal

Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan satu tujuan untuk memperoleh penghasilan.

f. Beban keluarga

Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningkatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.

2.1.2 Keluarga

Pengertian keluarga menurut UU No 10 tahun 1992, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu atau anaknya. Keluarga adalah wahana utama dan pertama untuk mengembangkan potensi keluarga, mengembangkan aspek sosial ekonomi keluarga dan school of love atau penyemanyan cinta-kasih- sayang. Namun tidak semua keluarga berjalan baik fungsinya, beberapa permasalan dalam keluarga kerap muncul seperti permasalahan sosial psikologis dan permasalahan sosial ekonomi. Permasalahan sosial psikologi yang di alami

(31)

keluarga seperti ketidakpuasan hubungan sosial dalam keluarga, konflik antar pribadi anggota keluarga, kesulitan dalam pelaksanaan peranan, serta masalah pelanggaran hak azazi dan perlakuan tidak adil dari pihak – pihak tertentu.

Sementara permasalahan sosial ekonomi keluarga dapat berupa : 1. Tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai dan layak.

2. Tidak memiliki aset yang bernilai ekonomi, seperti tanah, sawah, kebun, ternak, dan lain – lain.

3. Ketidakmampuan dalam mengelola ekonomi rumah tangga, pengeluaran lebih besar daripada pemasukan (dari segi keuangan).

4. Perilaku konsumtif, yaitu senang berbelanja secara berlebihan sehingga menghabiskan sebagian besar keuangan rumah tangga, bahkan berbelanja secara kredit, menggunakan kartu kredit tanpa perhitungan.

5. Terbatasnya akses terhadap sumber – sumber ekonomi dan pelayanan – pelayanan sosial.

6. Tidak memiliki keterampilan atau keahlian kerja.

7. Minimnya kepemilikan pribadi, seperti rumah atau tempat tinggal dan sumber daya lainnya (Direktorat Pemberdayaan Keluarga, 2009).

2.1.3 Migrasi

Di Indonesia migrasi telah dikenal sejak tahun 1905. Migrasi penting bagi pembangunan nasional. Migrasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencapai keseimbangan penyebaran penduduk, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan. Migrasi berfungsi untuk mempercepat perubahan pengelompokan dan penggolongan manusia dan membentuk jaminan hubungan sosial dan interaksi sosial yang baru. Migrasi di

(32)

Indonesia sudah berlangsung cukup lama tetapi migrasi tetap memicu timbulnya pengaruh terhadap daerah migran. Pengaruh tersebut bisa berupa pengaruh baik maupun buruk bagi masyarakat asli dan pendatang (Novitasari,2015:3).

Munir (dalam Emalisa, 2003 : 1) mengemukakan migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik atau negara ataupun batas administrasi atau batas bagian dalam suatu negara. Sedangkan menurut Lee (1996) mengatakan bahwa yang disebut migrasi haruslah melibatkan faktor terjadinya perubahan tempat tinggal yang permanen dengan tidak usah memperhatikan jarak yang ditempuh dalam proses perpindahan penduduk tersebut.

Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya. Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses setidak - tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas – batas geografis tertentu. Young (dalam Emalisa, 2003 : 1).

Definisi migran menurut PBB (2000) adalah seoang yang berpindah tempat kediaman dari suatu unit administratf atau politis ke unit daerah administratif atau daerah politis yang lain. Untuk menentukan seseorang disebut migran atau bukan, konsep operasional Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, dan 2000 menetapkan minimal lamanya tinggal di daerah tujuan enam bulan dan unit daerah migrasinya kabupaten atau kota.

Menurut Everest S. Lee (dalam Emalisa, 2003 : 2) ada 4 faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaiitu:

(33)

a. Faktor – faktor yang terdapat di daerah asal.

b. Faktor – faktor yang terdapat di tempat tujuan.

c. Rintangan – rintangan yang menghambat.

d. Faktor – faktor pribadi.

Di setiap tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor yang menahan orang untuk tetap tinggal disitu, dan menarik orang luar untuk pindah ke tempat tersebut; Ada sejumlah faktor negatif yang mendorong orang untuk pindah dari tempat tersebut; dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalam keputusan untuk migrasi. Selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan – keadaan tertentu tidak seberapa beratnya, tetapi dalam keadaan lain dapat diatasi. Rintangan – rintangan itu antara lain adalah mengenai jarak, walaupun rintangan “jarak” ini meskipun selalu ada, tidak selalu menjadi faktor penghalang.

Rintangan – rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda – beda pada setiap orang yang ingin pindah. Ada orang yang memandang rintangan - rintangan tersebut sebagai hal sepele, tetapi ada juga yang memandang sebagai hal yang berat yang menghalangi orang untuk pindah. Sedangkan faktor dalam pribadi mempunyai peranan penting karena faktor – faktor nyata yang terdapat di tempat asal atau tempat tujuan belum merupakan faktor utama, karena pada akhirnya kembali pada tanggapan seseorang tentang faktor tersebut, kepekaan pribadi dan kecerdasannya.

Lowry Nelson (dalam Dera, 2012 : 2) menggolongkan 3 faktor penyebabab perpindahan yaitu :

a. Push factor (faktor yang mendorong) yang ada pada daerah asal.

b. Pull factor (faktor yang menarik) yang ada pada daerah tujuan.

(34)

c. Other factor (faktor – faktor lainnya).

Berdasarkan pendapat Nelson tersebut, faktor migrasi yang termasuk sebagai faktor pendorong manusia untuk pindah adalah adanya kekeringan sumber daya alam, adanya perasaan tidak puas dan tidak aman di daerah asal, sedangkan faktor yang menarik orang untuk bermigrasi adalah munculnya sumber alam serta sumber mata pencaharian baru, dan iklim yang sangat baik di daerah tujuan.

Secara umum perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, pada dasarnya ingin meningkatkan kemakmuran, meningkatkan kesejahteraan yang dilatarbelakangi oleh keberadaan daerah asal yang dianggapnya tidak mendukung kehidupannya dan di daerah tujuan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik.

Teori migrasi menurut Ravensten (dalam Ashari, 2018 : 8) mengungkapkan tentang perilaku mobilisasi (migrasi) yang disebut dengan hukum – hukum migrasi dan berkenaan sampai sekarang. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Para migran cenderung memilih tempat tinggal terdekat dengan daerah tujuan.

b. Faktor yang paling dominan yang paling mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah sulitnya memperoleh pendapatan di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan.

c. Berita – berita dari sanak saudara atau teman yang telah pindah ke daerah lain merupakan informasi yang sangat penting.

d. Informasi yang negatif dari daerah tujuan mengurangi niat penduduk untuk bermigrasi.

(35)

e. Para migran cenderung memilih daerah dimana telah terdapat teman atau sanak saudara yang bertempat tinggal di tempat tujuan.

f. Pola migrasi baik seseorang maupun sekelompok penduduk sulit untuk diperkirakan.

g. Penduduk yang masih muda dan belum menikah lebih banyak melakukan migrasi dibandingkan mereka yang berstatus menikah.

2.1.4 Buruh Tani Migran

Pengertian dari pekerja atau buruh dapat ditemukan di dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyebutkan yaitu

“setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Bekerja yang dimaksudkan dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 77 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja yaitu 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam satu minggu untuk 6 hari kerja dan 8 jam kerja dalam 1 satu hari dengan ketentuan 5 hari kerja dalam satu minggu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pekerja atau buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah pekerja.

Sementara itu Pasal 1 angka 6 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja juga memberikan pengertian yang sama dari definisi pekerja buruh yaitu “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Pekerja buruh berupa orang –orang yang bekerja pada satu tempat, pekerja tersebut pada perintah dan peraturan kerja yang diadakan oleh pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkungan perusahaannya yang kemudian

(36)

atas pekerjaannya pekerja tersebut akan memperoleh upah dan atau jaminan hidup lainnya yang layak. Hal ini didasarkan karena adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha (majikan).

Buruh tani adalah seseorang yang bekerja mengurus atau mengelola di lahan pertanian milik orang lain dan mendapatkan upah sesuai perjanjian kedua belah pihak. Menurut Sunindhia Y.W (dalam Dianita, 2017 : 2) buruh tani sebagian besar tidak memiliki lahan, sehingga buruh tani bekerja kepada petani – petani yang mempunyai lahan dengan imbalan berupa upah. Hal ini menimbulkan hubungan kerja sama yang saling membantu satu sama lain. Buruh dibedakan menjadi 2 yaitu tenaga kerja harian (harian tetap dan harian lepas) dan tenaga kerja borongan.

Buruh harian lepas merupakan pekerja yang hanya memiliki ikatan kerja dari hari ke hari dan menerima upah sesuai dengan jam kerja, banyaknya hari kerja, banyaknya barang atau jenis pekerjaan yang disediakan. Disebut sebagai buruh harian lepas karena buruh yang bersangkutan tidak ada kewajiban untuk masuk kerja dan tidak mempunyai hak yang sama seperti buruh tetap.

Buruh tani yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu buruh tani migran harian lepas dikarenakan hanya menerima penghasilan apabila yang bersangkutan bekerja dalam proses mencangkul, menanam, menyiangi, memupuk, sampai memanen. Dengan upah yang dibayar harian berdasarkan banyak jam bekerja dan penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemilik lahan.

Disebut sebagai buruh tani migran karena buruh tersebut bukanlah penduduk asli desa. Mereka adalah masyarakat bukan penduduk setempat menuju daerah tujuan dengan kondisi sendiri ataupun bersama keluarga. Tinggal dalam

(37)

jangka waktu cukup lama untuk bekerja di daerah tujuan dengan maksud memenuhi kebutuhan hidup melalui pekerjaan sebagai buruh tani.

2.1.5 Sistem Pengupahan Buruh Tani

Upah merupakan faktor yang penting bagi buruh tani untuk menarik kinerja seorang buruh tani dalam menjalankan pekerjaan. Pemberian upah atau sebuah balas jasa ini dimaksudkan untuk tetap menjaga buruh tani untuk tetap bekerja dan agar memicu antusias dan semangat kerjanya dan juga ikut mempertahankan atau menciptakan suatu potensi untuk keberlangsungan pekerjaan yang dilakukan.

Upah berupa uang adalah suatu cara membayar buruh tani yang sudah lazim juga di seluruh Indonesia. Di Jawa cara ini sudah dikenal sejak pertengahan abad ke-19 yang lalu. Para petani sering memiliki bantuan tenaga buruh yang tetap, yang memberi bantuan dalam pertanian pada waktu – waktu sibuk, dan yang juga membantu dalam rumah tangga pada waktu - waktu senggang.

Pembantu – pembantu serupa itu biasanya menumpang (mondhok) dirumah keluarga tani bersangkutan, ikut makan, mendapat pakaian, dan biasanya juga mendapat sekedar upah berupa uang. Buruh tani yang paling lazim adalah buruh tani yang memburuhkan tenaganya untuk pekerjaan tertentu, tetapi tidak pada satu keluarga tani saja. Buruh semacam ini dapat disewa secara borongan, dapat juga secara harian. Tarif upah buruh tani di Indonesia tentu berbeda – beda menurut daerahnya, yang tentu erat pula kaitannya dengan besar kecilnya penawaran tenaga buruh (Koentjaraningrat, 1984 : 8).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan upah nominal buruh tani nasional pada Januari 2019 naik sebesar 1,03 persen dibanding upah buruh tani

(38)

Desember 2018, yaitu dari Rp.53.056,00 menjadi Rp53.604,00 per hari. Upah riil ini mengalami peningkatan sebesar 0,77 persen.

2.1.6 Mobilitas Sosial

Bentuk – bentuk mobilitas sosial menurut Nimatur (2017 : 126) dilihat dari arah pergerakannya terdapat dua bentuk mobilitas sosial, yaitu :

1. Mobilitas Vertikal

Mobilitas vertikal merupakan perpindahan status sosial yang dialami seseorang atau sekelompok orang pada lapisan sosial yang berbeda. Mobilitas vertikal mempunyai dua bentuk yang utama :

a. Mobilitas vertikal keatas (social climbing) adalah mobilitas yang terjadi karena adanya peningkatan status atau kedudukan seseorang.

Adapun penyebabnya adalah melakukan peningkatan prestasi kerja dan menggantikan kedudukan yang kosong akibat adanya proses peralihan generasi.

b. Mobilitas vertikal kebawah (social sinking) merupakan proses penurunan status atau kedudukan seseorang. Proses social sinking sering kali menimbulkan gejolak psikis bagi seseorang karena ada perubahan pada hak dan kewajibannya. Penurunan itu berupa turunnya kedudukan seseorang ke kedudukan lebih rendah atau tidak dihargainya lagi suatu kedudukan sebagai lapisan sosial. Penyebabnya adalah berhalangan tetap atau sementara, memasuki masa pensiun, berbuat kesalahan fatal yang menyebabkan diturunkan atau di pecat dari jabatannya.

(39)

2. Mobilitas horizontal

Mobilitas horizontal adalah perubahan status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam lapisan sosial yang sama. Dengan kata lain mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek – obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Ciri utama mobilitas horizontal adalah tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya. Mobilitias sosial horizontal dibedakan dua bentuk:

a. Mobilitas sosial antar wilayah geografis. Gerak sosial ini adalah perpindahan individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain seperti transmigrasi, urbanisasi, dan migrasi.

b. Mobilitas antar generasi, secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi.

Faktor pendorong mobilitas sosial antara lain sebagai berikut : 1) Faktor struktural, adalah jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus di isi serta kemudahan untuk memperolehnya; 2) faktor individu atau kualitas seseorang; 3) status sosial; 4) keadaan ekonomi; 5) situasi politik; 6) kependudukan (demografi); 7) keinginan melihat daerah lain; 8)perubahan kondisi sosial; 9) ekspansi teritorial dan gerak populasi ; 10) komunikasi yang bebas; 11) pembagian kerja; dan 12) kemudahan dalam akses pendidikan.

(40)

Sedangkan faktor – faktor penghambat itu antara lain sebagai berikut : (1) kemiskinan; (2) diskriminasi; (3) perbedaan ras dan agama; (4) perbedaan jenis kelamin atau gender dalam masyarakat; (5) pengaruh sosialisasi dan perbedaan kepentingan.

2.1.7 Kesejahteraan Sosial 2.1.7.1 Konsep kesejahteraan sosial

Kesejahteraan berasal dari kata “sejahtera”. Sejahtera ini mengandung pengertian dari bahasa Sansekerta “Catera” yang berarti Payung. Dalam konteks ini, kesejahteraan yang terkandung dalam arti “catera” (payung) adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dari hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin. Sedangkan sosial berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan, teman, dan kerja sama. Orang yang sosial adalah orang yang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungan nya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkungan nya secara baik (Fahruddin, 2012 : 8).

Skidmore menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial dalam arti luas meliputi keadaan yang baik untuk kepentingan orang banyak yang mencukupi kebutuhan fisik, mental, emosional, dan ekonominya. Sementara Suparlan menjelaskan kesejahteraan sosial bukan hanya sekedar perbaikan dan pemberantasan kondisi sosial ekonomi tertentu saja, meliankan juga merupakan suatu keadaan dan kegiatan (Pujileksono, 2015 : 21).

Kata kesejahteraan sosial bukanlah sesuatu yang asing dan sudah sering kita temukan pembahasannya. Terlebih Indonesia merupakan Negara yang

(41)

menitik beratkan pada kesejahteraan warga negaranya yang disebut dengan welfare state atau negara kesejahteraan. Hal ini juga didapati dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa tujuan negara yaitu

“memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan yang termuat di dalam pembukaan tersebut dan di dalam batang tubuh UUD 1945 yang dituangkan dalam berbagai ketentuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Ketentuan yang mengatur masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat terdapat dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional (Pasal 33) dan Kesejahteraan Sosial (Pasal 34) (Pujileksono, 2015 : 78).

Dengan konsep kesejaheraan sosial ini kemudian Indonesia merupakan negara yang memperhatikan dan memperjuangkan kesejahteraan dari berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, serta jaminan sosial masyarakatnya.

Menurut Friedlander, kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan – pelayanan sosial dan institusi – institusi yang dirancang untuk membantu individu – individu dan kelompok – kelompok guna mencapai standart hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi – relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan – kebutuhan keluarga dan masyarakatnya (Fahruddin, 2012 : 9).

2.1.7.2 Tingkat kesejahteraan

Menurut Undang – Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu

(42)

mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya (Wibhawa, 2010:28).

Menurut Kolle (dalam Sugiharto, 2007 : 6), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan:

1. Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagianya.

2. Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya.

3. Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya.

4. Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.

Menurut Drewnoski (dalam Sugiharto,2007 : 8), melihat konsep kesejahteraan dari tiga aspek; (1) dengan melihat pada tingkat perkembangan fisik (somatic status), seperti nutrisi, kesehatan, harapan hidup, dan sebagianya;

(2)dengan melihat pada tingkat mentalnya, (mental/educational status) seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya; (3) dengan melihat pada integrasi dan kedudukan social (social status).

Menurut Badan Pusat Statistik (2005), indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan, yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak kejenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.

(43)

Pendapatan yang dimaksudkan BPS adalah pendapatan berupa gaji atau upah yang diterima karena telah memberikan jasa. Pendapatan yang dimaksudkan dapat berupa uang dan juga dapat berupa barang seperti Selanjutnya Biro Pusat Statistik memerinci pendapatan ke dalam kategori sebagai berikut (Ghufran &

Kordi, 2018 : 108):

a. Pendapatan berupa uang yaitu :

(1) Gaji dan upah yang diperoleh dari kerja pokok, kerja sampingan, kerja lembur dan kerja musiman.

(2) Usaha sendiri yang meliputi hasil dari usaha sendiri, komisi, penjualan dari kerajinan rumah.

(3) Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah.

(4) Keuntungan sosial yakni pendapatan yang diperoleh dari kerja sosial.

b. Pendapatan berupa barang yaitu pendapatan berupa:

(1) Bagian dari pembayaran upah dan gaji yang dibentuk ke dalam beras, pengobatan, transportasi, rekreasi atau perumahan

(2) Barang yang diproduksi dan dikonsumsi di rumah antara lain pemakaian barang yang diproduksi di rumah, sewa yang seharusnya dikeluarkan terhadap rumah yang ditempati.

Kriteria tempat tinggal yang dinilai ada 5 item yaitu jenis atap rumah, dinding, status kepemilikan rumah, dan bahan lantai. Fasilitas tempat tinggal yang dinilai terdiri dari tujuh item, yaitu pekarangan, alat elektronik, penerangan,

(44)

kendaraan yang dimiliki, bahan bakar untuk memasak, sumber air bersih, dan water closet (WC).

Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan terdiri dari 4 item yaitu jarak rumah sakit terdekat, jarak toko obat, penanganan obat-obatan, dan alat kontrasepsi. Kriteria kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan terdiri dari 3 item yaitu biaya sekolah, jarak ke sekolah dan proses penerimaan.

Kemudahan mendapatkan transportasi terdiri 3 item, yaitu ongkos kendaraan, fasilitas kendaraan dan status kepemilikan kendaraan.

2.2 Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan perlu diacu dengan tujuan agar peneliti mampu melihat letak penelitiannya dibandingkan dengan penelitian lainnya. Kemudian melihat hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Kristiani (2017), Universitas Sumatera Utara yang berjudul Tinjauan Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Tani Harian Lepas (Aron) di Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan, wawancara, pengamatan, dan dokumetasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa :

a. Para buruh tani harian lepas (aron) di Desa Jaranguda banyak berasal dari luar Kabupaten Karo. Tingkat pendidikan mereka sudah lumayan baik yakni sudah tamat SMP dan SMA, namun karena minimnya keterampilan yang mereka miliki memaksa mereka harus bekerja sebagai buruh harian lepas (aron). Menjadi buruh harian lepas (aron) adalah pekerjaan utama

(45)

yang dilakukan oleh warga desa, bahkan mereka datang dari berbagai daerah ke Desa Jaranguda karena mereka beranggapan bahwa luasnya lahan didesa tersebut membuat mereka lebih mudah memenuhi kebutuan hidup sehari – hari.

b. Tingkat pendapatan yang diperoleh buruh harian lepas (aron) tergolong masih rendah yang umumnya berjumlah Rp. 280.000 dengan jumlah jam kerja rata – rata 10 jam mulai Pukul 08:00 sampai 17:00 WIB. Sedangkan untuk hari mereka bekerja 4 sampai 5 hari dalam satu miggu. Dengan pendapatan yang demikian mereka hidup dalam keadaan yang masih kurang dan sulit sehingga mereka harus memiliki cara sendiri dalam mempertahankan hidup, baik itu dengan cara berhemat, menabung, serta mencari pekerjaan sampingan.

c. Untuk tingkat interaksi sosial dapat dilihat bahwa sebagian para buruh belum mencapai interaksi sosial yang baik, karena mereka hanya berinteraksi hanya dengan teman yang sama dengan profesinya dan karena mereka adalah pekerja yang bekerja sampai larut malam sehingga tidak sempat mengikuti perkumpulan secara rutin. Bahkan masih ada individu – individu yang merasa tidak begitu tertarik untuk melakuka interaksi dengan warga lain karena lebih memilih untuk berdiam diri di rumah.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Babun Nimatur Rohmah & Riska Ayu Purnama Sari (2017) yang berjudul Tingkat Perubahan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Buruh migran di Desa Panggungrejo Gondanglegi Malang.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam kepada 6 responden buruh migran yang

(46)

bekerja sebagai buruh tani, kuli, supir, agen TKI, dan TKI. Hasil dari penelitian ini menunjukkan perubahan kesejahteraan ekonomi keluarga buruh migran relatif kecil karena mereka tidak memiliki keterampilan khusus dalam hal pekerjaan.

Hanya ada sedikit perubahan dalam keluarga buruh migran tersebut, seperti mempunyai tempat tinggal yang lebih layak daripada sebelum menjadi buruh migran.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Linda Novitasari (2015), Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul Kondisi sosial ekonomi migran di Desa Caturtunggal Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deksriptif dengan pendekatan kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa persentase terbesar responden berasal dari Provinsi Jawa Tengah dengan kondisi responden paling banyak berpendidikan terakhir SLTP, kondisi akses kesehatan yang belum memadai atau belum secara keseluruhan memiliki asuransi kesehatan, interaksi sosial cukup baik dilihat dari keikutsertaan responden dalam kegiatan sosial di Desa Caturtunggal.

Mata pencaharian yang dimiliki responden sebelum bermigrasi ke Yogyakarta paling banyak adalah serabutan, setelah bermigrasi terjadi perubahan mata pencaharian. Mata pencaharian setelah responden bermigrasi adalah menjadi wiraswasta, petani, serta buruh tani. Jumlah pendapatan yang diterima migran meningkat dan memiliki pekerjaan sampingan untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari – hari responden namun jika dinilai dari status kepemilikan rumah, responden masih tinggal di rumah kontrak karena belum mampu untuk membeli atau membangun rumah di daerah migrasi atau Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga bertujuan agar mahasiswa tepacu untuk mendalami dunia penelitian dibidang biologi guna memperluas wawasan untuk persiapan menuju dunia kerja

Perlunya melakukan penyuluhan dan sosialisiasi perpajakan untuk menumbuhkan, membina, dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam ,

Penggunaan Berlebihan (paling dominan dan berpengaruh) pada pelaksanaan proyek dermaga di Sulawesi Utara, aspek Perubahan Lingkungan yang Tak Terduga, aspek

Depdiknas (2007c, p.27) menyebutkan tiga tujuan penulisan modul adalah (1) memperjelas dan memudahkan penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal; (2)

• Local newspapers • Australian Taxation Offi ce • Hawkesbury River County Council • Local Government NSW • WSROC apprentices • Western Sydney Institute of TAFE • Department of

Pada pengkajian berdasarkan kasus yang ada tidak semua data terdapat pada teori3. ditemukan dalam kasus nyata, tidak ada riwayat hipertensi,

dan petunjuk teknis serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan perumusan kebijakan, penyusunan rencana dan pelaksanaan pembinaan teknis, fasilitasi, monitoring

The conducted analyses demonstrate that the proposed damage model based on the strain gradient continuum theory is able to successfully predict the initiation of the damage

Berdasarkan hasil penelitian tentang Pengarun infeksi Mycobacterium tuberculosis terhadap nilai Laju Endap Darah (LED) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat