• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jawa yang menghasilkan pigmen berwarna merah muda dan merah tua lebih virulen daripada isolat yang tidak menghasilkan pigmen. Penelitian tahap satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jawa yang menghasilkan pigmen berwarna merah muda dan merah tua lebih virulen daripada isolat yang tidak menghasilkan pigmen. Penelitian tahap satu"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

viii

RINGKASAN

Juni Safitri Muljowati, Program Studi S3 Ilmu Biologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Judul Disertasi: Karakteristik

Colletotrichum acutatum Simmonds Pada Cabai Merah di Jawa. Promotor: Prof. Ir.

Loekas Soesanto, M.S., Ph.D. Ko-Promotor: Prof. Dr. L. Hartanto Nugroho, M.Agr. Penyakit antraknosa merupakan faktor pembatas utama terhadap produksi cabai merah. Kerugian yang ditimbulkannya di Indonesia dapat mencapai hingga 65%. Salah satu spesies Colletotrichum yang menyebabkan penyakit antraknosa adalah

Colletotrichum acutatum Simmonds. Sentra produksi cabai merah di Indonesia

terutama berada di Pulau Jawa, antara lain Malang, Temanggung, Kulonprogo, Brebes, Garut, dan Pandeglang. Perbedaan faktor lingkungan dan metode pengelolaan budidaya tanaman cabai merah di sentra produksi cabai merah tersebut berpengaruh terhadap virulensi C. acutatum.

Tujuan penelitian adalah menganalisis persamaan dan perbedaan karakter jamur

C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dalam aspek morfologi, fisiologi, biokimia,

histopatologi, pengelompokan berdasarkan Vegetative Compatibility Group (VCG), dan keragaman genetika molekul. Sentra produksi cabai merah di Malang, Temanggung, Kulonprogo, Brebes, Garut, dan Pandeglang sebagai lokasi pengambilan sampel buah cabai merah bergejala penyakit antraknosa. Laboratorium Mikologi, dan Laboratorium Pengajaran Fakultas Biologi Unsoed sebagai lokasi mengisolasi jamur C. acutatum, lokasi seleksi isolat C. acutatum, pengamatan karakter morfologi jamur C. acutatum, dan pengamatan karakter histopatologi C. acutatum pada buah cabai merah. Waktu penelitian sejak Agustus 2016 sampai November 2018. Pengamatan terhadap jamur hasil isolasi dilakukan secara deskriptif. Seleksi dilakukan dengan cara uji patogenisitas terhadap C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah tersebut, untuk mendapatkan isolat yang memiliki virulensi tertinggi dari setiap lokasi sampling (sentra produksi cabai merah). Selanjutnya, terhadap hasil seleksi atau isolat terpilih, dilakukan pengamatan karakter morfologi, fisiologi, biokimia, histopatologi, pengelompokan berdasarkan VCG, dan karakter genetika molekul.

Tahap koleksi dan seleksi dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan isolat

C. acutatum, dan mendapatkan isolat C. acutatum yang memiliki virulensi tertinggi

dari masing-masing sentra produksi cabai merah di Jawa (setiap lokasi sampling). Tahap koleksi dan seleksi dilakukan secara survai, dengan pengambilan sampel buah cabai merah bergejala penyakit antraknosa di enam sentra produksi cabai merah yaitu

Malang, Temanggung, Kulonprogo, Brebes, Garut, dan Pandeglang. Isolasi

C. acutatum mendapatkan isolat C. acutatum dari sentra produksi Malang sebanyak

52 isolat, dari sentra produksi Temanggung sebanyak 46 isolat, dari sentra produksi Kulonprogo sebanyak 56 isolat, dari sentra produksi Brebes sebanyak 47 isolat, dari sentra produksi Garut sebanyak 70 isolat, dan dari sentra produksi Pandeglang sebanyak 55 isolat. Berdasarkan warna, keseluruhan isolat C. acutatum dibagi dalam empat kelompok dengan warna koloni putih, oranye, merah muda, dan ungu. Isolat

C. acutatum dalam kelompok warna merah muda dan ungu menghasilkan pigmen yang

disekresikan pada medium biakan. Hasil seleksi berdasarkan uji patogenisitas didapatkan isolat C. acutatum yang memiliki virulensi tertinggi pada masing-masing

sentra produksi cabai merah. Berdasarkan kategori isolat terkait patogenisitas,

C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Malang, Kulonprogo, Brebes,

Garut, dan Pandeglang tergolong sangat virulen, sedangkan C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Temanggung tergolong virulen. Jamur C. acutatum isolat

(2)

ix

Jawa yang menghasilkan pigmen berwarna merah muda dan merah tua lebih virulen daripada isolat yang tidak menghasilkan pigmen.

Penelitian tahap satu dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan morfologi antar-jamur C. acutatum isolat Jawa yang diisolasi dari enam sentra produksi cabai merah di Jawa. Karakter morfologi yang diamati meliputi warna koloni tampak atas dan warna koloni tampak sebaliknya, tepi koloni, topografi koloni, pertumbuhan miselium, diameter hifa, bentuk dan ukuran konidium, konsentrasi konidium/mL, konidiomata, ada tidaknya seta, bentuk dan ukuran konidiofor, bentuk dan ukuran apresorium, dan menghasilkan pigmen atau tidak. Persamaan karakter morfologi C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah meliputi bentuk tepi koloni, warna hifa, permukaan hifa, hifa bersekat, percabangan hifa, bentuk konidium, dan ada tidaknya seta, sedangkan perbedaan karakter morfologi jamur tersebut meliputi warna koloni tampak atas dan warna koloni tampak sebaliknya, topografi koloni, pertumbuhan miselium, diameter hifa, ukuran konidium, konsentrasi konidium/mL, ukuran apresorium, bentuk dan ukuran konidiofor, dan membentuk pigmen atau tidak yang disekresikan pada medium biakan. Perbedaan karakter morfologi yang

berhubungan dengan virulensi adalah menghasilkan pigmen atau tidak. Jamur

C. acutatum isolat Jawa yang berwarna merah muda dan ungu menghasilkan pigmen

dan memiliki virulensi lebih tinggi daripada yang berwarna oranye dan tidak menghasilkan pigmen.

Penelitian tahap dua dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan kemampuan pertumbuhan miselium C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah yang diisolasi dari enam sentra produksi cabai merah di Jawa pada lingkungan dengan suhu ruang inkubasi, pH medium, dan durasi pemberian cahaya yang berbeda. Pengamatan karakter fisiologi dilakukan secara eksperimen dengan mengukur diameter koloni jamur C. acutatum tersebut yang telah diinkubasi pada (1) suhu yang berbeda yaitu 5, 10, 20, 30, dan 35oC; (2) pH medium biakan yang berbeda yaitu dengan perlakuan 4,5; 5,0; 6,0; 7,0 dan 7,5; dan (3) durasi pemberian cahaya yang berbeda yaitu dengan perlakuan 24 jam dalam ruang terang; 24 jam dalam ruang gelap; dan 12 jam dalam ruang terang dan 12 jam dalam ruang gelap. Intensitas cahaya yang digunakan adalah 250 lux. Hasil penelitian tahap dua ini menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Malang,

Kulonprogo, dan Brebes terbaik pada suhu 20oC, C. acutatum isolat Jawa pada cabai

merah dari daerah Temanggung dan Garut pada suhu 30oC, sedangkan C. acutatum

isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Pandeglang pada suhu 20-30oC.

Pertumbuhan koloni C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Malang, Temanggung, Brebes, Garut, dan Pandeglang terbaik pada pH 7, sedangkan pertumbuhan C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Kulonprogo terbaik pada pH 5. Secara keseluruhan, pertumbuhan koloni C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah terbaik pada durasi pemberian cahaya 24 jam gelap.

Penelitian tahap tiga dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan kemampuan C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dalam memproduksi enzim pektinase dan tumbuh pada medium biakan yang diberi asam askorbat. Pengamatan karakter biokimia dilakukan dengan mengukur lama periode maserasi enzim, bobot kering miselium, luas zona jernih dan substrat sisa pektin pada biakan C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah yang pada medium biakannya menggunakan pektin sebagai sumber karbon; diameter koloni dan bobot kering miselium C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah yang pada medium biakannya diberi asam askorbat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa seluruh C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah mampu menghasilkan enzim pektinase, dan mampu

(3)

x

tumbuh pada medium yang diberi asam askorbat. Jamur C. acutatum isolat Jawa dari Kulonprogo mampu menghasilkan enzim pektinase lebih banyak dan mampu tumbuh lebih baik pada medium biakan yang diberi asam askorbat daripada yang berasal dari daerah lain.

Penelitian tahap empat dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan kemampuan C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dalam menimbulkan kerusakan jaringan pada buah cabai merah pada fase awal infeksi. Pada

tahap ini dikaji ciri histopatologi buah cabai merah pada fase awal infeksi

C. acutatum isolat Jawa, dan mengamati perubahan yang terjadi pada jaringan yang

terjadi akibat infeksi jamur tersebut. Hasil penelitian menunjukkan pada fase awal infeksi oleh C. acutatum isolat Jawa dari Kulonprogo kerusakan jaringan mulai tampak pada 8 jam setelah inokulasi (jsi). Kerusakan jaringan akibat infeksi jamur tersebut dari Malang, Brebes, Garut, dan Pandeglang tampak mulai 16 jsi, sedangkan akibat infeksi jamur tersebut dari Temanggung tampak mulai 24 jsi. Temuan baru pada penelitian ini adalah pada awal infeksi mulai berlangsung aktivitas patogen, dan

C. acutatum isolat Jawa memiliki virulensi berbeda.

Penelitian tahap lima dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis keragaman intra-spesies C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah berdasarkan VCG. Pada tahap ini dilakukan pengelompokan C. acutatum berdasarkan VCG. Pengelompokan ini dilakukan dengan mengamati ada tidaknya komplemen antara 2 nit mutan, yang dicirikan adanya pertumbuhan prototrof pada zona kontak antar keduanya. Hasil pengelompokan ini berupa terbentuknya empat kelompok VCG. Kelompok VCG 1 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Malang dan Pandeglang, yang dicirikan dengan menghasilkan pigmen berwarna merah muda, pertumbuhan terbaik pada suhu 20oC dan pH 7, mampu menghasilkan enzim pektinase, dan tumbuh pada medium

biakan yang diberi asam askorbat. Kelompok VCG 2 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Brebes dan Garut, yang dicirikan dengan menghasilkan pigmen berwarna merah muda, pertumbuhan terbaik pada suhu 20-30oC dan pH 7, mampu menghasilkan enzim pektinase, dan tumbuh pada medium biakan yang diberi asam askorbat. Kelompok VCG 3 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Kulonprogo, yang dicirikan dengan menghasilkan pigmen berwarna merah tua,

pertumbuhan terbaik pada suhu 20oC dan pH 5, mampu menghasilkan enzim

pektinase, dan tumbuh pada medium biakan yang diberi asam askorbat. Kelompok VCG 4 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Temanggung, yang dicirikan

tidak menghasilkan pigmen, pertumbuhan terbaik pada suhu 30oC dan pH 7, mampu

menghasilkan enzim pektinase, dan tumbuh pada medium biakan yang diberi asam askorbat.

Penelitian tahap enam dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis keragaman genetika intra-spesies C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah. Pengamatan karakter genetika secara molekul dilakukan menggunakan teknik PCR-RFLP dengan primer ITS4 dan ITS5, serta enzim restriksi MspI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa restriksi menggunakan enzim MspI menghasilkan polimorfisme dalam dua klaster. Klaster 1 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Malang, Temanggung, Brebes, dan Garut, sedangkan klaster 2 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Kulonprogo dan Pandeglang.

Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah (1) Persamaan karakter morfologi yang dimiliki C. acutatum isolat Jawa meliputi bentuk tepi koloni, karakter hifa, bentuk konidium, konidiomata, bentuk apresorium, bentuk konidiofor, dan ada-tidaknya seta. Perbedaan karakter morfologi yang dimiliki C. acutatum isolat Jawa meliputi warna koloni tampak atas, warna koloni tampak sebaliknya, pertumbuhan

(4)

xi

miselium, topografi koloni, ukuran konidium, konsentrasi konidium/mL, ukuran apresorium, ukuran konidiofor, terbentuk atau tidaknya pigmen pada medium biakan. (2) Keenam C. acutatum isolat Jawa memerlukan suhu, pH, dan durasi pemberian cahaya yang berbeda untuk pertumbuhan miselium yang optimum. (3) Keenam

C. acutatum isolat Jawa mampu memproduksi enzim pektinase dan tidak terhambat

pertumbuhannya oleh asam askorbat pada medium biakan. (4) Aktivitas patogen oleh

C. acutatum isolat Jawa sudah tampak mulai 8 jsi. (5) Keenam C. acutatum isolat

Jawa membentuk empat kelompok berdasarkan VCG. Kelompok VCG 1 terdiri atas

C. acutatum isolat Jawa dari daerah Malang dan Pandeglang, VCG 2 terdiri atas

C. acutatum isolat Jawa dari daerah Brebes dan Garut, VCG 3 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Kulonprogo, dan VCG 4 terdiri atas C. acutatum

isolat Jawa dari daerah Temanggung. (6) Jamur C. autatum isolat Jawa pada cabai merah memiliki keragaman intra-spesies yang terbagi dalam dua klaster, yaitu klaster 1 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Malang, Temanggung, Brebes, dan Garut, dan klaster 2 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa dari daerah Kulonprogo dan Pandeglang.

Berdasarkan hasil pengamatan tahap satu hingga tahap enam, dilakukan analisis filogenetika terhadap C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa terbentuk sebanyak dua klaster. Klaster 1 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Brebes dan Garut yang dicirikan dengan menghasilkan pigmen berwarna merah muda, sangat virulen, pertumbuhan terbaik

pada suhu 20-30oC dan pH 7, mampu menghasilkan enzim pektinase dan tumbuh pada

medium biakan yang diberi asam askorbat, dan termasuk kelompok VCG 2. Klaster 2 terdiri atas C. acutatum isolat Jawa pada cabai merah dari daerah Malang, Temanggung, Kulonprogo, dan Pandeglang yang dicirikan dengan tidak menghasilkan pigmen sampai menghasilkan pigmen berwarna merah muda atau merah tua, virulen

maupun sangat virulen, pertumbuhan terbaik pada suhu 20-30oC dan pH 5-7, mampu

menghasilkan enzim pektinase dan tumbuh pada medium biakan yang diberi asam askorbat, dan termasuk kelompok VCG 1, VCG 3, dan VCG 4.

Secara umum, keenam C. acutatum isolat Jawa tersebut memiliki perbedaan karakter, baik morfologi, fisiologi, biokimia, histopatologi, kelompok berdasarkan VCG, maupun keragaman genetika intra-spesies secara molekul. Artinya, keragaman intra-spesies C. acutatum isolat Jawa menunjukkan bahwa jamur tersebut adalah ras yang berbeda, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar penelitian aplikatif untuk menentukan teknik pengendaliannya.

(5)

xii

SUMMARY

Juni Safitri Muljowati, Doctoral Biology Study Program, Faculty of Biology, Jenderal Soedirman University, Purwokerto. Dissertation Title: Characteristics of

Colletotrichum acutatum Simmonds on Red Chili Fruits in Java. Supervisor: Prof. Ir.

Loekas Soesanto, M.S., Ph.D. and Co-Supervisor: Prof. Dr. L. Hartanto Nugroho, M.Agr.

Anthracnose is known as the main limiting factor in the production of red chillies, with total lost in Indonesian is up to 65%. Among those Colletotrichum, the

Colletotrichum acutatum Simmonds is known to be the organism causing anthracnose.

Red chillies center of production in Indonesia is dominated by some areas in Java, for example, Malang, Temanggung, Kulonprogo, Brebes, Garut, and Pandeglang. However, some environmental factors, as well as cultivation practices in those areas, affect the virulence of C. acutatum in attacking red chillies.

The current study was aimed to find some similarities and/or differences of

C. acutatum in some characters like morphology, physiology, biochemistry,

histopathology, as well as molecular characteristics which then further to group them according to Vegetative Compatibility Group (VCG). Samples of anthracnose symptom red chili fruits were collected from the center of red chillies productions above. Isolation, selection, and observation of the above characteristics such as morphology and histopathology were done in the Laboratory of Mycology, as well as Teaching Laboratory. The study was done from August 2016 to November 2018. The isolates were observed descriptively followed by selection using the pathogenicity test. Selection for the potential pathogenic fungus was done by pathogenicity test among those samples on red chilli fruits. Isolate with the highest virulence was then subjected for further observations namely: morphology, physiology, biochemistry, and histopathology. They were also grouped according to the VCG which based on molecular characteristics.

Collection and selection of C. acutatum Java isolates from red chilli fruits were aimed to test their pathogenicity of each red chillies production center from six different centers namely Malang, Temanggung, Kulonprogo, Brebes, Garut, dan Pandeglang by a survey. The survey was based on survey methods by collecting red chilli fruits characterized by anthracnose symptoms. Of those sampling sites, the Garut location obtained the highest numbers of isolates, i.e., 70 isolates and followed by Kulonprogo, Pandeglang, Malang, and Temanggung as 56, 55, 52, 47, and 46 isolates, respectively. Of those morphological characteristics, all isolates were grouped into four different colors as follows: white, orange, pink and violet. The C. acutatum with pink and dark red groups were able to secrete pigment to the growing media. Based on the pathogenicity test, the highly virulent isolates were Malang, Kulonprogo, Brebes, Garut, and Pandeglang but the Temanggung isolate was virulent only. The fungi with pink and violet pigments were more virulent than those who did not secrete any pigment.

The first phase of the study was aimed to find morphological similarity and dissimilarity among those C. acutatum Java isolates of six sampling sites. At this phase some similarities and also dissimilarities were found in color of colony’s upper side and reverse side, edges, topography, mycelial growth, hyphae diameter, shape and size of conidia/mL, conidiomata, the presence and absence of the setae, shape, and size of conidiophore, shape and size of appressoria, secrete or does not excrete pigment. The Java isolates of C. acutatum have shown some morphological similarity on the colony’s edges, the color of the hyphae, hyphae's surface, hyphae's setae, hyphae's

(6)

xiii

branches, shape of conidia, presence or absence of the hyphae. On the other hand, some dissimilarities were also noted of those isolates like both colony’s upper and reverse sides color, colony’s topography, mycelial growth, hyphae diameter, conidia’s size, numbers of conidia/mL, size of appressoria, shape, and size of conidiophore, secrete the pigment or not. The last character related to virulence level of the fungi to cause anthracnose on red chilli fruits, the pinky fungus had more virulent than orange. The second phase of this study, however, was focusing on similarities and dissimilarities of those C. acutatum Java isolates to grow on the different temperatures of incubation room, pH media, and duration of light exposures. The physiological characters was done experimentally by giving different incubation’s temperatures as follows: 5, 10, 20, 30, and 35oC; (2) pH of the growing media as 4.5; 5.0; 6.0; 7,0 and 7.5; and (3) duration of light exposure, i.e., 24 hours bright; 24 hours dark; and 12 hours bright followed by 12 hours dark. The light intensity used was at 250 lux. This study found that the Malang, Kulonprogo, and Brebes isolates grew well at 20oC

incubation room, while the Temanggung and Garut isolates required 30oC incubation

room and the Pandeglang isolate needed temperature of 20-30oC. From the growing

media acidity level, the pH 7 was favorable for the growth of Malang, Temanggung, Brebes, Garut, and Pandeglang isolates, but the lover pH of 5 was a favor for Kulonprogo ones. The fungi overall required 24 hours of darkness to grow well.

The third phase of this study was aimed to explore the ability of C. acutatum Java isolates to produce pectinase and grow in added media with ascorbic acid. For this purpose, biochemical characteristics were observed by measuring time required for enzyme maceration, mycelial dry weight, the width of clear zone and total pectin left in the fungal growth medium with additional pectin on its media; colony’s diameter, mycelial dry weight in the growing media containing ascorbic acid. The data showed if all C. acutatum Java isolates were able to produce pectinase even with those isolates were grown in such media containing ascorbic acid. However, Kulonprogo isolate produced the most amount of pectinase as they also grew better than others in media containing ascorbic acid.

The fourth phase of this study was focusing on the ability of C. acutatum Java isolates to cause physical damages on the red chilli fruits at the early phase of infection. At his phase, the study dealt with any histopathological characteristics on the red chilli fruits at the early phase of infected by C. acutatum, followed by observing the physical changes on the red chillies tissues. Result showed that at the early phase of infection, Kulonprogo isolate able to decay at 8 hours, other isolates (Malang, Brebes, Garut, and Pandeglang) started to cause similar effects at 16 hours, and 24 hours (Temanggung). New findings in this study are that pathogenic activity has already begun at the onset of infection, and C. acutatum Java isolates have different virulences. The fifth step was aimed to test similarities and dissimilarities of the intra-species of Java isolates of C. acutatum which based n the VCG. Following this, the Java isolates of C. acutatum were then grouped. Grouping the fungi was done by observing the presence of the complementary 2 nit gene of the mutants which allow them to grow as prototroph organisms in contact zones. The data showed there were 4 different VCG of C. acutatum as follows: VCG 1 were those isolates of C. acutatum

taken from Malang and Pandeglang, both producing pinky pigment, grew well at 20oC

and pH 7, able to produce pectinase even when the media were added with ascorbic acids. VCG 2 consisted of Brebes and Garut isolates having characteristics like

producing pinky pigment, favor to grow well at 20-30oC and pH 7, able to produce

pectinase and even grew at such media containing ascorbic acid. VCG 3 consisted of

(7)

xiv

producing carmine pigment requires a temperature of 20oC and pH 5, produced pectinase enzyme and able to grow at ascorbic acid containing media. VCG 4 consist of Temanggung isolate with characteristics of did not able to produce pigment grew well at 30oC and pH 7, able to produce pectinase and ascorbic acid containing medium. The sixth step, however, was aimed to test the intra-species genetic variability of the C. acutatum Java isolates. Genetic characteristics were observed by running molecular observation applying an RFLP-PCR technique using ITS4 and ITS5 primers, and restriction enzyme of MspI. The study noted if the MspI restriction enzyme was able to show polymorphisms of two different clusters. The first cluster consisted of isolates taken from Malang, Temanggung, Brebes, and Garut, another cluster were those of Kulonprogo and Pandeglang isolates.

The conclusions (1) Some physiological characters of Java C. acutatum are similar, especially on those colony’s edges, hyphae characteristics, conidia’s shape, conidiomata, appressoria shape, conidiophores shape, and presence or absence of setae. However, there are also some discrepancies among C. acutatum Java isolates like upper and reverse side color of the colony, mycelial growth, colony’s topography, size of the conidia, concentration of conidia/mL, size of appressoria’s and conidiophores, producing pigmentation or not on their growing media. (2) all six

C. acutatum Java isolates required different incubation temperatures, pH, and light

exposure duration for growing optimally. (3) All six isolates were also able to produce pectinase and grew well even though their growing media were added by ascorbic acids. (4) The pathogenicity activities were notified started from 8 hours incubation time. (5) Based on VCG analysis, all six isolates of Java C. acutatum from four different groups as follows: VCG 1 group consisted of Malang and Pandeglang isolates, VCG 2 group were Brebes and Garut isolates, VCG 3 was Kulonprogo isolate, and VCG 4 was Temanggung isolate. (6) Meanwhile, intra-species variability of those six C. acutatum Java isolates allow to group them into two different clusters as follows Cluster 1 consisted of Malang, Temanggung, Brebes, and Garut isolates, and the cluster 2 was Kulonprogo and Pandeglang isolates.

Based on the current study of phases one to six, the analysis was then continued to the phylogenetics relationship of the six C. acutatum Java isolates to be grouped in two different clusters. The first cluster consisted of Brebes and Garut isolates with specific characters like producing pink pigment and pectinase enzyme on their

growing media, highly virulent in causing anthracnose, grew well at 20-30oC and pH

7 even when the growing media were added by ascorbic acid. These isolates belonged to VCG 2 group. The cluster 2 consisted of Malang, Temanggung, Kulonprogo, and Pandeglang isolates. These isolates were characterized by several characteristics like able to produce either pink or violet pigmentations as well as pectinase enzymes on their growing media even when the growing media were added by ascorbic acid, either

virulence or highly virulence, grew well at 20-30oC and pH 5-7, belong to VCG 1,

VCG 3, and VCG 4.

Overall, the six different types of C. acutatum Java isolates had also some character differences either in morphological, physiological, biochemical, and histopathological, as well as according to VCG, and intra-species genetic variability. This means that intra-species variability of the Java isolates of C. acutatum showed that those isolates are different races which can be used as data for further study, especially dealing with handling this plant diseases to increase the production.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diperoleh peneliti terkait pola asuh yang diterapkan orangtua kepada subjek penelitian menunjukkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orangtua

Adapun batasan analisa data dalam Tugas Akhir ”Perancangan Instalasi Pemadam Kebakaran pada Gedung Kantor Central Park Jakarta” adalah sebagai berikut:..

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor pendorong masyarakat Desa Peninsung dalam menjaga hutan adat serta menganalisis hubungan dari masing-masing

Qbonk Media Group Panduan Merakit, Merawat dan Memperbaiki Komputer Untuk : Pemula-Menengah Syarat kedua adalah sistem restore hanya dapat dilakukan jika sebelumnya Anda

Dari proses recording harian menghasilkan data hasil recording harian yang merupakan input dari proses perhitungan FCR, mortalitas dan indeks produksi serta proses pemanenan yang

Berhubung strategi yang ditetapkan di Bab 3 tidak hanya meliputi hal- hal yang berkaitan dengan pembuatan aplikasi website tapi juga berkaitan dengan hal-hal umum lain

Apakah petugas menuliskan setiap pasien yang dating pada register rawat jalan dengan lengkap.. Apakah petugas menuliskan resep dengan benar

Pembelajaran piano memiliki kesamaan dengan proses pembelajaran disiplin ilmu yang lain, yaitu terdapat empat faktor dalam pembelajarannya, seperti yang diungkapkan